Anda di halaman 1dari 14

TUGAS HUKUM PERDATA

NAMA : GINA HANIFAH

NPM : 191000230

KELAS : F

1. Buatlah contoh kasus dari materi yang saya paparkan tadi. Dan berbentuk PDF!

Apa Itu Hak Kebendaan?

Hak kebendaan adalah adalah hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu
benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, hak kebendaan dibedakan menjadi dua, yaitu hak kebendaan yang memberikan
jaminan (gadai, hipotek, hak tanggungan, fidusia ), dan hak kebendaan yang memberikan
kenikmatan (hak milik, bezit).

Karakteristik Hak Kebendaan

1. Hak kebendaan bersifat absolut, yang berarti haknya dapat dipertahankan terhadap
setiap orang.

2. Jangka waktunya tidak terbatas.

3. Hak kebendaan mempunyai droit de suite (zaaksgevolg) yang berarti mengikuti


bendanya dimanapun benda tersebut berada. Dalam hal hak kebendaan di atas suatu
benda, maka kekuatan hak itu ditentukan berdasarkan urutan terjadinya (asas prioritas).

4. Hak kebendaan memberikan wewenang yang sangat luas kepada pemiliknya. Hak ini
dapat dijual, dijaminkan, disewakan, atau dapat digunakan sendiri.
Berikut merupakan beberapa contoh kasus mengenai hak kebendaan :

Jaminan dan Contoh Kasus Fidusia, Gadai, Hak Tanggungan dan Hipotik

A. Fidusia

Fidusia menurut asal katanya berasal dari bahasa Romawi fides yang berarti
kepercayaan. Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia.
Begitu pula istilah ini digunakan dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia. Dalam terminologi Belanda istilah ini sering disebut secara lengkap
yaitu Fiduciare Eigendom Overdracht (F.E.O.) yaitu penyerahan hak milik secara
kepercayaan. Sedangkan dalam istilah bahasa Inggris disebut Fiduciary Transfer of
Ownership.

Pengertian fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam
penguasaan pemilik benda. Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia terdapat berbagai pengaturan mengenai fidusia diantaranya adalah
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun telah memberikan kedudukan
fidusia sebagai lembaga jaminan yang diakui undang-undang.

Jaminan Fidusia adalah jaminan kebendaan atas benda bergerak baik yang berwujud
maupun tidak berwujud sehubungan dengan hutang-piutang antara debitur dan kreditur.
Jaminan fidusia diberikan oleh debitur kepada kreditur untuk menjamin pelunasan hutangnya.

Jaminan Fidusia diatur dalam Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia. Jaminan fidusia ini memberikan kedudukan yang diutamakan privilege kepada
penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.

Dari definisi yang diberikan jelas bagi kita bahwa Fidusia dibedakan dari Jaminan
Fidusia, dimana Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan Jaminan
Fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia.
CONTOH KASUS

Jika eksekusi tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan
umum. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dapat digugat ganti
kerugian. Dalam konsepsi hukum pidana, eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk
dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditor melakukan pemaksaan dan ancaman
perampasan. Pasal ini menyebutkan:

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk
memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau
orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena
pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.

Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.

Situasi ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil
barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik
orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditor
yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia.

Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi mengingat bahwa dimana-mana


eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan
aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor
dan debitor. Bahkan apabila debitor mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan dibawah
tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang jaminan
fidusia, karena tidak syah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat.

Mungkin saja debitor yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas
tuduhan penggelapan sesuai Pasal 372 KUHPidana menandaskan: “Barang siapa dengan
sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam
karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah”.

Oleh kreditor, tetapi ini juga bisa jadi blunder karena bisa saling melaporkan karena
sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditor dan debitor, dibutuhkan
keputusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukan porsi masing-masing
pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak. Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi
proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

Akibatnya, margin yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin
merugi, termasuk rugi waktu dan pemikiran. Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan
jaminan fidusia sebenarnya rugi sendiri karena tidak punya hak eksekutorial yang legal.
Poblem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan customer service yang prima selalu tidak
sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang
tidak selalu secepat perkembangan zaman.

B. Gadai

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak,
yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau oleh seorang lain atas namanya dan
yang memberikan kekuasaan kepada si piutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang
tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya dengan kekecualian
biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan
(Badrul Zaman, 1991).

Barang yang dapat digadaikan yaitu semua barang bergerak seperti barang-barang
perhiasan, elektronik, peralatan rumah tangga, mesin, tekstil dan lain-lain.

Barang yang tidak dapat digadaikan seperti barang milik pemerintah, surat-surat
berharga, hewan dan tanaman, bahan makanan dan benda yang mudah busuk, benda-benda
yang kotor, benda-benda yang untuk menguasai dan memindahkan dari satu tempat ke tempat
lain memerlukan izin, barang yang karena ukurannya yang besar maka tidak dapat disimpan
digadaian, barang yang tidak tetap harganya. (Badrul Zaman, 1991).

Hak dan Kewajiban pemegang gadai :

• Hak pemegang gadai

Menjual gadai dengan kekuasaan sendiri dan atau dengan perantara hakim, atas izin hakim
tetap menguasai benda gadai, mendapat ganti rugi, retorsi dan hak undang-undang untuk
didahulukan.
• Kewajiban pemegang gadai

Bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan barang gadai karena kelalaiannya,
memberitahukan kepada pemberi gadai apabila barang gadai itu di jual dan bertanggung jawab
terhadap hasil penjualan barang gadai tersebut (Badrul Zaman, 1991).

CONTOH KASUS

Aparat Polres Bireuen membongkar kasus pengadaian mobil rental yang melibatkan
sejumlah orang. Hasilnya, lima unit mobil berhasil diamankan dan seorang perantara ditahan.
Sementara empat mobil lainnya sedang diburu dan dua warga lain yang terlibat dalam kasus
itu sudah dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Polres Bireuen. Terungkapnya
kasus itu berawal dari laporan dua pengusaha rental di Bireuen ke Polres setempat, Dimana
mobil-mobil mereka yang dirental seseorang diketahui sudah digadaikan kepada pihak lain.

Dua pengusaha itu melapor ke pihaknya karena keberadaan mobil mereka sekarang tak
jelas lagi dan bahkan ada yang sudah digadaikan orang yang merental pertama kali.
Berdasarkan laporan itu, pihak polres membentuk tim khusus melacak modus penipuan dengan
mengadaikan mobil sewaan.

Akhirnya, tim berhasil mendapatkan lima mobil milik dua usaha rental yang digadaikan
kepada pihak lain dan kini mobil itu sudah diamankan ke Polres Bireuen.

Modusnya, pelaku merental mobil untuk tiga sampai atau empat hari dengan membayar
lunas biaya rentalnya. Setelah itu, orang yang merental mobil itu mencari perantara yang mau
mengadaikan mobil tersebut ke pihak lain dengan harga rata-rata Rp 30 juta/unit.

Setelah masa rental habis, mobil tersebut tidak dikembalikan kepada pemilik rental
dengan alasan sedang di luar daerah dan tambahan biaya akan dilunasi kemudian. Setelah
disilidiki, ternyata mobil yang dirental pihak pertama sudah pindah tangan ke pihak kedua
dengan status gadai.
C. Hak Tanggungan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria


(UUPA) sebagai induk peraturan perundang-undang tentang segala sesuatu yang berkaitan
dengan tanah, tidak mengatur secara tegas tentang Hak Tanggungan. Berdasarkan ketentuan
Pasal 51 UUPA dinyatakan bahwa :

“Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak
Guna Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan undang-undang”.

Selanjutnya ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT pengertian Hak Tanggungan adalah:


“Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah
yang selanjunya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan diutamakan kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya”

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan


diharapkan akan memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan tanah
berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan yang
pengaturannya selama ini menggunakan ketentuan-ketentuan Hypotheek dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada
dasarnya adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun, pada
kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang
secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula
dijaminkan. Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum
adat, yang menggunakan asas pemisahan Horizontal, yang menjelaskan bahwa setiap
perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda
tersebut. Penerapan asas tersebut tidak mutlak, melainkan selalu menyesuaikan dan
memperhatikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat. Sehingga
atas dasar itu UUHT memungkinkan dilakukan pembebanan Hak Tanggungan yang meliputi
benda-benda diatasnya sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah
bersangkutan dan ikut dijadikan jaminan yang dinyatakan secara tegas dalam Akta Pemberian
Hak Tanggungan (APHT). Menurut Purwahid Patrik, dalam Penjelasan Umum Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan disebutkan bahwa Hak Tanggungan
sebagai lembaga jaminan atas tanah yang kuat harus mengandung ciri-ciri :

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (droit


de preference), hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1); Apabila debitor
cidera janji (wanprestasi), maka kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual tanah yang
dibebani Hak Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum dengan hak mendahului dari
kreditor yang lain.

2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada (droit
de suite), hal ini ditegaskan dalam Pasal 7; Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi
kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun obyek Hak Tanggungan telah berpindah
tangan dan mejadi milik pihak lain, namun kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya
untuk melakukan eksekusi apabila debitor cidera janji (wanprestasi).

3. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, hal ini diatur dalam Pasal 6. Apabila debitor
cidera janji (wanprestasi), maka kreditor tidak perlu menempuh acara gugatan perdata biasa
yang memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Kreditor pemegang Hak Tanggungan dapat
menggunakan haknya untuk menjual obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum. Selain
melalui pelelangan umum berdasarkan Pasal 6, eksekusi obyek hak tanggungan juga dapat
dilakukan dengan cara “parate executie” sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR dan Pasal
158 RBg bahkan dalam hal tertentu penjualan dapat dilakukan dibawah tangan.

Hak Tanggungan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan dan setiap bagian
darinya. Dengan telah dilunasinya sebagian dari hutang yang dijamin hak tanggungan tidak
berarti terbebasnya sebagian obyek hak tanggungan beban hak tanggungan, melainkan hak
tanggungan tersebut tetap membebani seluruh obyek hak tanggungan untuk sisa hutang yang
belum terlunasi. Dengan demikian, pelunasan sebagian hutang debitor tidak menyebabkan
terbebasnya sebagian obyek hak tanggungan. Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa hak tanggungan bersifat tidak dapat dibagibagi
(ondeelbaarheid). Sifat tidak dapat dibagi-bagi ini dapat disimpangi asalkan hal tersebut telah
diperjanjikan terlebih dahulu dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Sehingga, hak
tanggungan hanya membebani sisa dari obyek hak tanggungan untuk menjamin sisa hutang
yang belum dilunasi asalkan hak tanggungan tersebut dibebankan kepada beberapa hak atas
tanah yang terdiri dari beberapa bagian yang masingmasing merupakan suatu kesatuan yang
berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri.

CONTOH KASUS

Perlawanan terhadap rencana eksekusi lelang yang diajukan debitur Bank NISP (PT
Bank NISP Tbk) kandas. Pelawan adalah Koo Ay Tjen, nasabah NISP yang mendapatkan
fasilitas kredit dari bank tersebut. Majelis hakim yang dipimpin Nirwana menganggap prosedur
lelang sudah sesuai dengan ketentuan dalam UU No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah.

Berdasarkan Pasal 6 UU Hak Tanggungan, apabila debitur cedera janji, pemegang hak
tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut. Berdasarkan ketentuan itu, NISP memiliki hak untuk melakukan lelang.

Terkait prosedur, dari bukti yang disampaikan, terlihat bahwa pihak NISP sudah
memberitahukan perihal rencana pelelangan kepada pihak Koo. Sudah ada pengumuman
lelang sesuai dengan ketentuan yang diatur Pasal 20 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No
40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

Bagi Majelis, lelang yang akan dilakukan NISP sah menurut hukum. Sehingga
perlawanan pelawan dianggap sebagai perlawanan yang tidak benar dan harus ditolak.

Ditemui usai sidang, kuasa hukum NISP, Renanto menilai putusan Majelis sudah tepat.
Karena, pihaknya melakukan lelang dengan prosedur yang sudah sesuai dengan ketentuan.

Sementara kuasa hukum Koo Ay Tjen Himawan Budi menerangkan, perlawanan


dilayangkan karena pelaksanaan lelang tidak melalui penetapan pengadilan. Seharusnya, lelang
dilakukan setelah mendapatkan penetapan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, NISP
langsung melakukan lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
Berdasarkan Pasal 6 UU Hak Tanggungan, NISP memang berhak untuk melakukan
lelang. Namun, bukan berarti dapat dilakukan lelang secara langsung tanpa melalui pengadilan
negeri.

Himawan juga mempermasalahkan perihal adanya tumpang tindih ketentuan. Tumpang


tindih ada di UU Hak Tanggungan dan Peraturan Menteri Keuangan tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang yang terakhir diperbarui dengan No 93 /PMK.06/2010. Menurutnya,
Peraturan Menteri Keuangan itulah yang seringkali menyebabkan Bank melakukan lelang
tanpa melalui pengadilan negeri.

D. Hipotik

Salah satu hak kebendaan sebagai jaminan pelunasan hutang adalah hipotik. Hipotik di
atur dalam buku II KUH Perdata Bab XXI Pasal 1162 sampai dengan 1232. Sejak
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) mak Hipotik atas tanah dan segala
benda-benda uang berkaitan dengan benda dengan tanah itu menjadi tidak berlaku lagi. Namun
diluar itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan, Hipotik
masih berlaku dan dapat dijaminkan atas kapal terbang dan helicopter. Demikian juga
berdasarkan Pasal 314 ayat (3) KUH Dagang dan Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 Tentang
Pelayaran, Kapal Laut dengan bobot 20m3 ke atas dapat dijadikan jaminan Hipotik. Oleh
karena itu di dalam tulisan ini Hipotik yang bersumber dari KUH Perdata Barat sengaja
disinggung sekedaernya saja hanya sebagai latar belakang atau pebanding dengan Hak
Tanggungan menurut UUHT.

CONTOH KASUS

1. Adanya Hak Kebendaan (pasal 1168 – 1170 dan pasal 1175 KUHPerdata)

Yang dimaksud dengan adanya Hak Kebendaan tersebut adalah kapal tersebut sudah ada
dan terdaftar sehingga haknya sudah lahir. Contohnya seperti pada kasus Arief tersebut di atas.
Kapal-kapal yang masih dalam proses pembangunannya dan belum memiliki Grosse Akta
Pendaftaran kapalnya (seperti dalam kasus Budi) belum dapat dibebani dengan Hipotik (pasal
1175 KUHPerdata).
2. Objeknya adalah kapal yang beratnya di atas 20-M3

Untuk kapal yang beratnya di bawah 20-M3 karena bukan merupakan objek Hipotik
(pasal 1167 KUHPerdata), maka jika ingin dijaminkan menurut pendapat saya pribadi
sebaiknya menggunakan lembaga jaminan lain seperti Jaminan Fidusia yang memang
dikhususkan untuk benda-benda bergerak. Namun jika kantor fidusia menolak mendaftarkan
jaminan atas kapal yang beratnya di bawah 20-M3 dengan alasan bahwa hal tersebut
bertentangan dengan UU No. 42/1999 tentang Jaminan Fidusia, maka dapat dibuatkan akta
Kuasa Menjual yang dibuat di hadapan Notaris (pasal 1172 KUHPerdata) sebagai pengaman
bagi pihak Bank. Akta kuasa menjual tersebut juga seharusnya mencantumkan suatu ketentuan
bahwa berlakunya akta tersebut apabila debitur sudah wanprestasi atau macet.

3. Kapal tersebut harus yang dibukukan (di daftarkan) di Indonesia.

Hal ini sesuai dengan penjelasan saya pada point 1 di atas. Bahwa kapal tersebut harus
sudah terdaftar pada kantor pelabuhan setempat.

4. Diberikan dengan akta autentik (pasal 1171 KUHPerdata)

Sebagaimana halnya dengan pemberian jaminan lainnya, seperti Hak Tanggungan,


Gadai, dan Fidusia, maka pemberian jaminan berupa Hipotik atas kapal tersebut harus dibuat
di secara otentik di hadapan Pejabat Umum yang berwenang. Namun demikian, bedanya
adalah, yang berwenang untuk membuat akta Hipotik Kapal bukanlah Notaris; melainkan
Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal yang berada pada Kantor Pendaftaran dan
Pencatatan Baliknama kapal, dimana kapal tersebut terdaftar. Apa peran notaries dalam
pembebanan hipotik kapal? Notaris dalam hal ini berwenang untuk membuat akta Surat Kuasa
Memasang Hipotik (SKMH) Kapal. Dimana dalam akta SKMH Kapal tersebut yang akan
digunakan sebagai dasar untuk pembuatan akta Hipotik Kapal di hadapan Pejabat Pendaftar
dan Pencatat Baliknama kapal pada kantor pelabuhan setempat.

Apakah para pihak dapat langsung hadir di hadapan Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama
Kapal tersebut tanpa melalui Notaris? Secara teori seharusnya bisa. Sebagaimana para pihak
langsung membuat akta APHT atas tanah (lihat sub bab tentang Hak Tanggungan) di hadapan
Camat setempat. Namun pada prakteknya hal tersebut hampir tidak pernah dilakukan.

Satu hal lagi yang menarik dari pembebanan hipotik ini adalah: bahwa pemberian hipotik
tersebut tidak boleh dibuat berdasarkan suatu perjanjian pembebanan yang dibuat di luar
negeri, apabila kapal tersebut secara hukum terdaftar di Indonesia; kecuali ada traktat atau
konvensi Internasional yang memperbolehkan mengenai hal tersebut (pasal 1173 KUH
Perdata). Oleh karena itu, walaupun kreditur dan debitur berada di luar negeri, hendak
membebankan hipotik atas kapal di Indonesia, maka perjanjian tentang pembebanan hipotik
tersebut harus dibuat di Indonesia.

5. Menjamin tagihan hutang (pasal 1176 KUHPerdata)

Dalam pemberian Hipotik pada kapal, harus ada hutang yang dijamin dengan
pembebanan hipotik tersebut. Oleh karenanya, biasanya dalam akta hipotik, selain
mencantumkan mengenai identitas kapal yang dijaminkan, juga mencantumkan data mengenai
berapa besar hutang yang dijamin dan berapa nilai penjaminan dari Kapal dimaksud. Hal ini
untuk memberikan kepastian hukum pada saat dilaksanakannya eksekusi atas kapal dimaksud.

Selain kasus diatas ada beberapa contoh kasus yang lainnya diantaranya :

1. KASUS HUKUM KEBENDAAN MENGENAI POSISI

Kasus harta peninggalan Schneider. A berasal dari Swiss tapi berkewarganegaraan AS dan
berdomisili di salah satu Negara bagian New York. A meninggal dan meninggalkan sebuah
tanah dan rumah di Swiss. Sebenarnya tanah di Swiss telah dijual dan uangnya ditransfer ke
New York, tapi untuk kepentingan proses pewarisan tetap dianggap sebagai benda tetap.
Sepeninggalnya, A mewariskan harta itu pada pihak ketiga yang bukan merupakan ahli waris
menurut keturunan. Akhirnya ahli waris keturunan, di Pengadilan New York menggugat tanah
tersebut sebagai miliknya sesuai Undang-undang.

Intern swiss mengualifikasikan perkara sebagai perkara tentang kedudukan ahli waris
menurut UU dalam pewarisan testamenter, sedang New York mengualifikasikan perkara
sebagai perkara pewarisan tanah melalui testamenter. Kaidah HPI New York menetapkan
bahwa perkara pewarisan benda tetap mengikuti tempat benda tersebut terletak. Kaidah HPI
Swiss menetapkan bahwa status dan kedudukan ahli waris dalam proses pewarisan tastementer
harus tunduk pada tempat dimana pewaris memiliki kewarganegaraannya yang terakhir.
Kaidah intern New York menetapkan bawa seorang pewaris testamenter dapat dengan sah
mewariskan kekayaannya kepada pihak ketiga, bahkan juga mengabaikan kedudukan ahli
warisnya. Sedang kaidah intern Swiss menetapkan bahwa seorang pewaris tidak dapat
mewariskan kekayaannya melalui testamen dengan mengabaikan bagian ahli waris menurut
UU.

A. ANALISIS KASUS

a. Pengadilan manakah yang berwenang dalam mengadili kasus ini ?

Dalam kasus ini dikarenakan perbedaan prinsip HPI antara swiss dan amerika, maka terjadi
kebingungan untuk menentukan pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili, karena
bila melihat dari prinsip HPI di masing-masing tempat, kedua tempat merasa tidak berwenang
untuk mengadili dikarenakan, pengadilan intern newyork mengatakan berdasarkan prinsip HPI
mereka bahwa peradilan seharusnya dilakukan di tempat dimana benda tersebut berada,
sedangkan pengadilan di swiss mengatakan sesuai dengan prinsip HPI yang berlaku di swiss
bahwa peradilan seharusnya dilakukan di tempat dimana pewaris memiliki kewarganegaraan
terakhir.

b. Apakah kasus ini termasuk kasus HPI ?

Menurut saya kasus ini termasuk dalam kasus hukum perdata Internasional dikarenakan
mengenai sengketa perwarisan tanah, dan sengketa ini terjadi lintas Negara sehingga kasus ini
dapat dikatakan sebagai kasus Perdata Internasional. Masing-masing Negara mempunyai
Undang-Undang yang berlaku, sehingga dalam kasus ini dicari jalan tengah dalam
penyelesaiannya. Dimana Negara Amerika menganut Asas tempat kelahiran (Ius Soli),
kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahiran, bila seseorang lahirkan di
wilayah X, maka ia warganegara daripada negara X tersebut.
c. Kasus diatas termasuk kualifikasi hukum apa?

Karena di dalam kasus ini yang dibahas mengenai sertifikat tanah maka kasus ini dikategorikan
kedalam hukum kebendaan. Karena dalam hal ini tanah di kategorikan sebagai benda tetap atau
benda tidak bergerak. Suatu benda dapat tergolong dalam golongan benda yang tak bergerak
(Onreorend) pertama karena sifatnya; kedua karena tujuan pemakaiannya dan ketiga karena
memang demikian ditentukan oleh undang-undang. Adapun benda yang tak bergerak karena
sifatnya ialah tanah, termasuk segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung, karena
perbuatan alam atau perbuatan manusia, digabungkan secara erat menjadi satu dengan tanah
itu

d. Hukum mana yang harus diterapkan?

Dalam kasus ini akhirnya memutuskan bahwa hukum yang diterapkan adalah hukum Negara
bagian new York, tetapi dengan mempertimbangkan prinsip HPI yang berlaku di swiss yaitu
yang berhak mengadili adalah pengadilan dimana sang pewaris terakhir memiliki
kewarganegaraan. Walaupun kedua Negara berbeda kaidah dan Undang-Undang dan akhirnya
mereka memutuskan bahwa harta warisan tersebut akan dibagi rata antara pewaris sah dengan
pihak ketiga yang diwariskan oleh pewaris.

B. KESIMPULAN

Bahwa dari kasus diatas menyatakan A berasal dari Swiss tetapi berkewarganegaraan AS
dan berdomisili di salah satu Negara bagian New York. A meninggal dan meninggalkan sebuah
tanah dan rumah di Swiss. Sebenarnya tanah di Swiss telah dijual dan uangnya ditransfer ke
New York, tapi untuk kepentingan proses pewarisan tetap dianggap sebagai benda tetap.
Sepeninggalnya, A mewariskan harta itu pada pihak ketiga yang bukan merupakan ahli waris
menurut keturunan. Akhirnya ahli waris keturunan, di Pengadilan New York menggugat tanah
tersebut sebagai miliknya sesuai Undang-undang yang berlaku di New York.
Kewarganegaraan para pihak dapat merupakan faktor TPP karena mana timbul HPI. Dimana
keewarganegaraan daripada pihak dalam suatu peristiwa hukum tertentu menjadi sebab lainnya
hubungan-hubungan HPI. Kewarganegaraan pihak-pihak bersangkutan yang merupakan faktor
bahwa stalsel-stalsel hukum Negara-negara tertentu di pertautkan. Pengadilan yang dipakai
dalam penyelesaian malah dipakai pengadilan New York tetepi tetap mempertimbangkan
prinsip HPI swiss sehingga dapat dicari jalan tengah atas kasus tersebut.
2. CONTOH KASUS:

Andi menjual sebuah sepeda motor kepada Budi. Di dalam jual beli tersebut terdapat
hubungan hukum antara Andi dan Budi yang telah diatur oleh hukum. Di dalam perjanjian,
Andi yang menjual motor wajib menyerahkan kendaraannya kepada Budi dan setelahnya
Budi wajib untuk membayar sesuai dengan harga yang telah ditentukan.

Analisis Kasus :

Kasus diatas merupakam contoh kasus dari hak atas kekayaan yaitu hak kebendaan
(zakelijke rechten),yang mana Andi menjual motornya kepada Budi, sehingga Budi berhak
mendapatkan motornya dan Andi juga berhak untuk mendapatkan sejumlah uang yang
telah disepakati. Kedua belah pihak juga wajib untuk menghormati haknya masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai