Anda di halaman 1dari 6

HUKUM KESEHATAN

NAMA : GINA HANIFAH


NPM : 191000230
KELAS : 20
DOSEN : Dr. Taty Sugiarti Ramlan, SH.,MHKes

TUGAS!
MATERI INFORMED CONSENT DALAM PERSPEKTIF HAM
1. JELASKAN OLEH SAUDARA MENGENAI SEJARAH INFORMED CONSENT
Informed consent menjadi kewajiban bagi tenaga kesehatan dalam melakukan
tindakan medis di Amerika Serikat dan Eropa sejak tahun 1960. Informed Consent lahir
karena ada hubungan teurapeutik antara tenaga kesehatan dengan pasiennya. Masing-
masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus dihormati. Hak untuk menerima
yang dimiliki seseorang akan bersinggungan dengan kewajiban pihak lain untuk
memberi, demikian pula sebaliknya. Interaksi antara hak dan kewajiban inilah yang
melahirkan hubungan hukum yang akan dan harus diatur oleh hukum agar fungsi hukum
yaitu tercapainya keteraturan (kepastian) dan ketertiban dalam kehidupan manusia di
dalam masyarakat dapat terwujud.
Hak adalah wewenang, kekuasaan supaya berbuat sesuatu atau menuntut sesuatu,
sebaliknya kewajiban adalah tunduk pada, menghormati hak tersebut atau berbuat sesuatu
yang diwajibkan oleh hak tersebut. Hak pasien sebagai pengguna jasa pelayanan
kesehatan akan berhubungan dengan kewajiban tenaga kesehatan dan rumah sakit untuk
menunaikan hak-haknya. Dalam konteks ini, adalah Hak Asasi Manusia (HAM) untuk
memutuskan sendiri apa yang akan dilakukan terhadap dirinya sendiri, sehingga
memunculkan doktrin informed consent.
Sejarah hukum tentang informed consent berjalan seiring dengan sejarah hukum
tentang riset di bidang kedokteran. Sebab, terhadap riset dibidang kedokteran, memang
dipersyaratkan adanya informed consent dari pasien objek riset tersebut.
Sejarah informed consent bermula pada tahun 1851-1902, saat itu tentang wabah
yakni yellow fever experiment oleh Walter Reed (dokter Angkatan Darat). Pada saat itu
terjadi wabah yang luar biasa sehingga dibutuhkan penelitian untuk menyelesaikan
masalah tersebut, namun beresiko kepada subjeknya. Sehingga subjek yang ingin
bergabung dalam penelitian perlu menandatangani kesepakatan.
Beberapa kasus besar tentang ketiadaan informed consent juga menyangkut riset
medis, seperti kasus pengadilan Nuremburg. Dalam kasus ini, dilakukan riset terhadap
manusia tanpa persetujuan dari manusia objek riset tersebut, hanya karena mereka adalah
tawanan perang Nazi di kamp-kamp tawanan. Kasus pengadilan karena tidak adanya
informed consent ini disebut dengan ”Pengadilan Dokter Nuremberg” (Nuremberg
Doctors trial) pada tahun 1947. Dari kasus-kasus dalam pengadilan dokter Nuremburg
tersebut kemudian lahir apa yang disebut dengan Undang-Undang Nuremburg
(Nuremberg Code), yang sebenarnya dibuat oleh hakim yang mengadilinya dalam tahun
1947 dan diterima oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam tahun 1948 yang menentukan
bahwa jika dilakukan eksperimen yang melibatkan manusia sebagai objek eksperimen,
kepada orang tersebut harus hak-haknya diberikan.38 Rekomendasi yang serupa dengan
ketentuan dalam” The Nuremburg Code” juga dilakukan oleh Asosiasi Medis Sedunia
(World Medical Association) pada tahun 1964 dalam World Medical Assembly yang ke –
18, dengan deklarasinya yang terkenal dengan ” Deklarasi Helsinki” yang telah beberapa
kali mengalami perubahan
Di Perancis walaupun Nuremberg code acapkali dikatakan sebagai asal mulanya
informed consent, namun yurisprudensi Perancis memastikan kebutuhan untuk
memperoleh informed consent baru pada tahun 1920. Opini ini dipastikan oleh
Mahkamah Agung Perancis pada 28 Januari 1942, bahwa semua dokter mempunyai
kewajiban fundamental terhadap negara untuk memperoleh persetujuan dari pasien
terlebih dahulu.
Pada awal mulanya, dikenal hak atas Persetujuan/Consent, baru kemudian dikenal
hak atas informasi yang kemudian menjadi “Informed Consent”. Penambahan istilah
“consent” menjadi “Informed Consent” di dalam prakteknya harus melalui beberapa fase.
Maka dikatakan bahwa Informed Consent itu adalah suatu “Comunication Process”.
Appelbaum, et al menekankan “ ....consent as a process, not an event”. Meisel & Lorel
Roth memberi definsi doktrin Informed Consent sebagai “the legal model of the medical
decision making process”. Doktrin Informed Consent timbul berdasarkan karena 2 (dua)
hal pokok, yaitu:
a. Equity, dalam arti kepatutan, dan
b. Battery, dalam arti penyentuhan/pencederaan tubuh seseorang tanpa izinnya.
Keputusan-keputusan pengadilan yang menyangkut masalah Equity sudah
dimulai sejak abad ke-12 dan ke-13. Di dalam sejarahnya, hal ini berkaitan dengan
masalah hubungan yang didasarkan atas suatu kepercayaan penuh pasien yang awam
tentang kesehatan dengan dokternya yang dianggap profesi yang menguasai ilmunya
dengan baik karena sudah ditempuh melalui jalur pendidikan. Maka, menjadi kewajiban
dokter untuk memberi penjelasan kepada pasiennya, sehingga pasien bisa memutuskan
atau mempertimbangkan suatu tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Di Indonesia masalah informed consent sudah diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 585 tahun 1989, namun pelaksanaannya belum sebagaimana mestinya.
Kendala yang dihadapi menyangkut bidang sosial budaya dan kebiasaan,dan belum ada
yurisprudensi yang dapat dibuat pegangan sehingga belum dapat berkembang. Selain itu
karena menyangkut HAM, informed consent sebenarnya kelak harus diatur di dalam
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya seperti undang-undang atau peraturan
pemerintah.
2. JELASKAN PENGERTIAN TRANSAKSI TERAPEUTIK DAN INFORMED
CONSENT
Pengertian Transaksi Terapeutik
Upaya perawatan/pelayanan oleh seorang dokter kepada pasien berawal dari
hubungan dasar antara dokter dengan pasien dalam bentuk transaksi terapeutik. Transaksi
terapeutik sebagai suatu transaksi mengikat dokter dan pasien sebagai para pihak dalam
transaksi tersebut untuk mematuhi/memenuhi apa yang telah diperjanjikan, yaitu dokter
mengupayakan penyembuhan pasien melalui pencarian terapi yang paling tepat
berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya, sedangkan pasien
berkewajiban secara jujur menyampaikan apa yang dikeluhkannya agar dapat ditemukan
beberapa alternatif pilihan terapi untuk akhirnya pasien memilih terapi yang paling tepat
untuk penyembuhannya. Apapun terapi yang telah dipilih di antara beberapa alternatif
pilihan itu tidak menjanjikan suatu hasil yang pasti, terapi yang dipilih itu hanya
merupakan suatu upaya untuk kesembuhan.
Dalam transaksi terapeutik yang diperjanjikan adalah upaya mencari /menemukan
terapi yang paling tepat untuk upaya penyembuhannya, yang harus dilakukan dengan
cermat dan hati-hati, dan karena itu pula merupakan suatu ”inspanningverbintenis”.
Disinilah letak keterkaitan antara etik dan hukum, yaitu dokter yang terlibat dalam
hubungan transaksi terapeutik dengan pasien itu dalam melaksanakan tugasnya dilandasi
oleh dasar-dasar etik sebagai seorang dokter yang dibekali dengan sumpah jabatan dan
kode etik profesi dokter. Sedangkan keterkaitannya dengan pasien dilandasi oleh dasar-
dasar hukum yang mengatur hubungan hukum antara 2 (dua) pihak yang masing-masing
dibebani hak dan kewajiban yang sifatnya mengikat untuk dipatuhi . Jadi, secara hukum
hubungan dokter-pasien merupakan suatu hubungan ikhtiar atau usaha maksimal. Dokter
tidak menjanjikan kesembuhan, akan tetapi dokter berikhtiar sekuatnya agar pasien
sembuh.
Pengertian Informed Consent
Informed consent berarti suatu izin (consent), atau pernyataan setuju dari pasien
yang diberikan dengan bebas dan rasional, sesudah mendapatkan informasi dari dokter
yang sudah dimengertinya. di Indonesia informed consent diterjemahkan dengan
“Persetujuan Tindakan Medik”. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medik.
Terhadap informed consent ini sering juga disebut dengan “persetujuan
pengobatan” (consent to treatment) atau bahkan ada yang menyebutnya sebagai
“kebebasan untuk memilih” (freedom to choose) bagi pasiennya. Menurut Achmad Biben
istilah informed consent belum ada pembakuan dalam bahasa Indonesia. Kadang
informed consent diterjemahkan sebagai persetujuan atas dasar penjelasan, persetujuan
sesudah penjelasan, persetujuan tindakan medis (Permeskes Nomor
585/Men.Kes/Per/XI/1989. Batasan lain menurut Biben sebenarnya istilah informed
consent kurang tepat. Sebaiknya informed consent berbentuk pilihan persetujuan atau
penolakan atau penghentian terhadap tindakan medis pasien atau walinya setelah pasien
atau walinya mendapatkan diskusi informasi mengenai alternatif pilihan tindakan medis
atau penelitian kedokteran yang sudah dipahami.
Walaupun definisi yang spesifik informed consent tidak sama dari suatu negara ke
negara lain, hal yang sangat mendasar dari informed consent adalah bahwa, seorang
dokter atau tenaga kesehatan lainnya harus memberikan informasi semua potensi manfaat
yang diberikan, risiko yang mungkin terjadi, dan pilihan-pilihan terapi atau tindakan lain.
Dengan demikian informed consent merupakan suatu proses dimana seorang
pasien yang telah mendapatkan informasi yang lengkap tentang penyakitnya ikut
berpartisispasi atau berkolaborasi dalam menentukan pilihan terapi atau tindakan yang
akan diberikan kepadanya. Informed Consent ini berawal dari hak pasien yang diakui
secara etis dan hukum untuk menentukan apa yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Menurut Veronica Komalawati informed consent tersebut mencakup peraturan
yang mengatur perilaku dokter dalam berinteraksi dengan pasien, di samping landasan
etis untuk menghargai nilai otonomi. Oleh karena itu, gagasan dasar informed consent
adalah keputusan untuk perawatan dan pengobatan didasarkan pada kerja sama antara
dokter dan pasien. Perawatan dan pengobatan tersebut merupakan istilah operasional dari
kegiatan pemulihan kesehatan dan penyembuhan penyakit, sedangkan tindakan adalah
perilaku dokter dalam kegiatan tersebut. Di samping itu, pengertian yang diberikan oleh
Departemen Kesehatan adalah suatu persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang dilakukan terhadap
pasien tersebut. Persetujuan yang diberikan oleh pasien, setelah kepada pasien tersebut
diberikan informasi yang cukup dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien
(sehingga pasien dapat mengambil keputusan yang tepat) tentang segala sesuatu yang
berkenaan dengan tindakan yang akan dilakukan oleh dokter tersebut.
Tujuan paling penting dari informed consent adalah bagaimana seorang pasien
yang telah mendapat penjelasan berperan secara aktif dalam menentukan keputusan yang
diambil mengenai tindakan medik yang akan dilakukan.

3. CARI OLEH SAUDARA KASUS YANG TERKAIT DENGAN INFORMED


CONSENT DAN BERIKAN PENDAPAT SAUDARA TERKAIT KASUS
TERSEBUT

Dari segi yuridis, hubungan antara dokter dan pasien merupakan suatu hubungan
perjanjian diantara mereka. Apabila ada suatu persetujuan yang harus ditanda tangani
pasien, berarti telah terjadi suatu perjanjian secara tertulis. Sedangkan apabila tidak
dilakukan penanda tanganan suatu persetujuan, artinya telah terjadi suatu perjanjian
secara diam-diam. Bertitik tolak dari adanya perjanjian diatas, maka suatu informed
consent haruslah sedemikian rupa agar isi perjanjian tersebut baik tertulis maupun lisan
dapat dimengerti oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian
Contoh kasus malpraktik kedokteran yang pernah terjadi di Indonesia yaitu:
“Memberikan suntikan stretommycin mengakibatkan kematian pasien”. Fakta-fakta
yang ada disini didapatkan dari putusan Pengadilan Negeri Pati No. 8/1980/Pid/PN.Pt:2-
9-1981.
Kasus posisi
Peristiwa ini terjadi bermula dari seorang pasien perempuan bernama Rosmini (25
tahun) pada tanggal 4 Januari 1979 pukul 17.00 datang ke tempat praktek dr. Strm untuk
berobat. Setelah pasien diperiksa, dokter menarik diagnosis bahwa pasien sakit flu dan
pilek yang kadang-kadang batuk yang sukar keluar dahak dan ada peradangan saluran
napas bagian atas (ton sila pbaryngitis) . Dokter menanyakan pada pasien apakah pernah
disuntik dengan obat streptommycin? Pasien menerangkan bahwa ia pernah diperiksa
dokter lain dan disuntik dengan streptommycin. Dokter percaya atas keterangan pasien.
Karena itu dokter memberikan suntikan dengan streptommycin 1 gram melalui bokong
sebelah kiri setelah menerima suntikan itu pasien mengeluh menahan sakitnya merasa
mual lalu muntah, lemas dan pucat. Kemudian dokter memberikan lagi suntikan kedua
dengan cortizon 2 cc, lalu diminumi wedang kopi dan diberikan suntikan lagi (ketiga)
dengan delladryl 2 cc.
Setelah itu dokter memriksa nadi kecil, tekanan darahnya rendah, penderita
mengalami anapbylazis kemudian dokter memberikan suntikan lagi (keempat) dengan
obat adrenalin ½ cc. Keadaan paisen tambah menurun tidak sadar, pernapasan terhenti,
tekanan darah tidak terukur, denyutan nadi kecil tidak teratur, dan asien mengalami shock
irreversible. Kemudian pasien diangkut dengan mobil ke RSU Pati. Di RSU Pati, pasien
langsung ditangani dan periksa dr. Goesmoro Suparno. Hasil pemeriksaan, didapatkan
kelainan-kelainan pada diri pasien yaitu penderita dalam keadaan tidak sadar, pernapasan
terhenti, tekanan darah tidak terukur, denyut nadi tidak teratur, isi dan tegangan kurang
nadi sulit diraba. Reflek cahaya mata sudah tidak ada akral dingin pupil lebar. Pasien
mengalami shock irrvesible.
Dokter menyimpulkan : kelainan kelainan di atas disebabkan reaksi tubuh yang
tidak tahan obat yang di terimanya. Dokter telah melakukan pemijatan jantung (cardiatc
massage), diberikan bantuan pernapasan buatan (oxygen) tapi dokter tidak ada reaksinya.
Lima belas menit setelah diberikan pertolongan medis di RSU Pati, pasien dinyatakan
meninggal dunia.

Pendapat penulis
Menurut pendapat saya, perlakuan medis yang menyimpang dari standar profesi
yang menimbulkan kerugian pasien dapat masuk dalam kategori perbuatan melawan
hukum menurut Pasal 1365 BW dapat diterapkan dalam kasus pelayanan medis yang
menyimpang (malpraktik kedokteran) karena terdapat frasa “karena salahnya”, apa yang
dimaksud dengan salahnya dalam pasal tersebut boleh dalam bentuk kesengajaan ataupun
dalam bentuk kelalaian dokter, baik dalam hal berbuat (aktif) maupun tidak berbuat
(perbuatan pasif) yang seharusnya berbuat dalam perlakuan medis terhadap pasien.
Kerugian haruslah benar-benar diakibatkan oleh perlakuan medis yang salah dan harus
dibuktikan baik dalam sudut pandang ilmu kedokteran dan ilmu hukum.
Tindakan nmedis yang dilakukan oleh dokter tanpa persetujuan yang sah dari
pihak pasien atau keluarga, karena pasien tidak memiliki keterangan yang lengkap maka
seorang dokter dapat di proses secara hukum. Sehingga jika terbukti bersalah maka
dokter tersebut dapat dianggap melakukan malpraktek dokter dan harus dibuktikan di
depan pengadilan.
Perbuatan melawan hukum informed consent yang berujung malpraktik dapat
dilihat dalam dua hal yakni secara hukum perdata dilihat dari segi kerugian material
pribadi yang ditimbulkan maupun hukum pidana dilihat dari terpenuhinya rumusan
undang-undang yang dilanggar, rasa keadilan, dan norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat yang dilanggar dan menimbulkan pertenggungjawaban pidana.
Dalam menentukan bersalah atau tidaknya seorang dokter dalam melakukan
kesalahan medis memang tidak hanya ditentukan oleh adanya informed consent, tetapi
hal ini tidak menjadi alasan para tenaga medis untuk tidak memperhatikan beradaan
informed consent untuk melakukan upaya medis. Para medis diharapkan agar Jclalu
memberikan surat yang berisi kolom tanda tangan sebagai bukti bahwa pasien atau
keluarganya telah menyetujui tindakan itu dilakukan untuk dirinya. Serta pemberian
informasi tentang tindakan apa yang akan dilakukan, risiko yang terjadi haruslah secara
jelas agar pasien memahami apa yang akan dilakukan pada dirinya karena tubuh pasien
itu merupakan hak dari pada pasien tersebut. Keberadaan informed consent pun dapat
melindungi dokter secara hukum saat melakukan upaya medis
Berdasarkan kasus diatas, Dalam malpraktek kedokteran yang menimbulkan
kerugian pasien, dapat diajukan gugatan atas dasar wanprestasi dan atau perbuatan
melawan hukum. Tanggung jawab yang dibebankan kepada dokter merupakan akibat dari
kesalahan perlakuan medis yang ia lakukan yang menyebabkan kerugian bagi pasien.
Dalam putusan perkara nomor 8/1980/Pid/PN.Pt:2-9-1981dokter yang melakukan
kelalaian terhadap tugasnya juga dibebani tanggung jawab perdata. Karena ia telah dinilai
melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan meninggalnya pasien, dalam
hukum perdata tanggung jawab perdata dokter berupa mengganti kerugian baik kerugian
materil dan imateril yang dialami oleh penggugat.

Anda mungkin juga menyukai