Anda di halaman 1dari 23

Majalah Hukum Forum Akademika

Perlindungan Hukum Hak-Hak Pasien Dalam


Transaksi Terapeutik
Oleh;

Elizabeth Siregar dan Arrie Budhiartie1

Abstrak
Transaksi terapeutik merupakan sebuah hubungan perikatan antara dokter dan
pasien yang memiliki implikasi luas dalam ranah hukum.Sebagai sebuah
hubungan hukum maka adanya hak dan kewajiban para pihak merupakan unsur
yang tidakdapat dipisahkan dari konsep transaksi terapeutik.Berbeda dengan
perikatan pada umumnya yang mempunyai kesamaan dalam kedudukan, maka
dalam transaksi terapeutik yang sering terjadi adalah adanya ketidakseimbangan
kedudukan para pihak karena adanya pengetahuan dan pemahaman objek
perikatan. Oleh karena itu, hukum berkewajiban memberikan keseimbangan
tersebut melalui pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak pasien di
dalam peraturan perundang-undangan yang melandasai bergeraknya transaksi
terapeutik tersebut.Hak-hak pasien yang bermuara dari dua hak dasar yakni the
right to health care dan the right of self determination dalam pelaksanaannya
harus mencerminkan nilai-nilai hak hak asasi manusia itu kembali.Di samping itu
pemenuhan hak-hak pasien ini pun nantinya dapat dijadikan dalah satu indikator
terhadap kesalahan medis yang dilakukan dokter.
Kata Kunci : hak pasien, transaksi terapeutik, informed consent, hak asasi
manusia.

A. Pendahuluan
Pembangunan di bidang kesehatan pada prinsipnya adalah membangun
masyarakat yang sehat dan produktif yang dilandasi pada kesadaran akan segala
bentuk hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan anggota masyarakat.
Setiap unsur dalam pembangunan kesehatan akan mempunyai peranan yang
penting dalam setiap proses penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Dan adalah
kewajiban bagi Pemerintah untuk selalu menjamin agar setiap unsur
pembangunan kesehatan tersebut dapat berfungsi dengan baik melalui berbagai
produk hukum yang memberikan landasan terhadap pelaksanaan fungsi tersebut.

1
Dosen Fakultas Hukum Universitas

172
Majalah Hukum Forum Akademika

Salah satu masalah utama terkait kesehatan adalah pelayanan kesehatan


yang diberikan oleh dokter. Pelayanan yang diberikan oleh dokter tersebut bersifat
pertolongan atau bantuan yang didasarkan kepercayaan pasien terhadap dokter.
Tanpa adanya kepercayaan tersebut, upaya kesehatan yang diberikan tidak akan
memperoleh hasil yang maksimal. Hubungan yang timbul di dalam pelayanan
kesehatan antara dokter dan pasien itu dalam ilmu kedokteran sering disebut
dengan transaksi terapeutik.
Makna transaksi itu sendiri mengarah pada suatu pengertian yuridis
sebagaisebuah hubungan timbal balik yang dihasilkan melalui komunikasi,
sedangkan terapeutik diartikan sebagai sesuatu yang mengandung unsur atau nilai
pengobatan. Akan tetapi transaksi terapeutik antara dokter dan pasien senantiasa
berlangsung dalam suasana yang berubah-ubah karena timbulnya berbagai faktor
yang mempengaruhi pola hubungan antara dokter sebagai pemberi pelayanan
medis dan pasien sebagai penerima pelayanan medis. Padahal pelayanan medis
merupakan bagian yang penting dalam seluruh sistem pelayanan kesehatan,
khususnya merupakan bidang kerja para dokter, tidak terlepas dari berbagai sektor
kehidupan manusia yang saling kait mengkait terlebih bagi negara berkembang
seperti Indonesia. 2
Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan pola hubungan hukum
dalam transaksi terapeutik yang terjadi adalah meningkatnya kesadaran
masyarakat akan pengetahuan tentang hak-hak mereka sebagai pasien. Sebagian
besar masyarakat telah memahami bahwa dalam kedudukan sebagai pasien
mereka memiliki hak-hak tertentu yang wajib dihormati oleh dokter. Kesadaran
ini membuat mereka tidak lagi bersikap pasif menunggu dan mengiyakan apa pun
yang disodorkan dokter. Namun seringkali kesadaran ini tidak diiringi dengan
pengetahuan terhadap kewajiban yang menyertai hak-hak pasien, sehingga ketika
muncul kondisi yang tidak diinginkan oleh pasien, akan langsung dianggap
sebagai sebuah pelanggaran hak yang dapat dijadikan landasan untuk melakukan

2
Veronika Komalawati; 1999; Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik,
Suatu Tinjauan Yuridis persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien; Citra Aditya Bakti;
Bandung, hlm. 1

173
Majalah Hukum Forum Akademika

gugatan atau tuntutan hukum. Dan gugatan maupun tuntutan hukum ini kemudian
sering diartikan oleh kalangan profesi dokter sebagai sebuah intervensi sehingga
mereka bereaksi dengan sangat defensif. Pada akhirnya reaksi ini berujung pada
mutu tindakan medis yang diberikan. Dokter akan sangat bersikap hati-hati dalam
menjalani profesinya bahkan cenderung mengambil langkah menolak memberikan
tindakan bila diperkirakan tindakan tersebut tidak akan banyak membantu dalam
proses penyembuhan.
Di sisi lain, sebagaimana layaknya sebuah negara berkembang, peningkatan
kesadaran akan hak-hak pasien baru menjangkau lapisan masyarakat tertentu di
Indonesia. Masih banyak masyarakat yang tetap belum menyadari hak-haknya,
terutama dari kalangan masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah. Golongan
masyarakat ini masih bersikap pasif dalam menerima pelayanan
kedokteran/kesehatan, sehingga terkadang dimanfaatkan oleh profesi dokter untuk
mengambil keuntungan sepihak. Dan bila muncul kondisi yang tidak diinginkan,
maka pasien hanya bisa pasrah dan menerimanya sebagai sebuah takdir.
Kondisi ini jelas tidak menguntungkan dari segi pembangunan kesehatan
nasional. Suatu pelayanan medis yang dilakukan dengan terlalu hati-hati justru
tidak akan memberikan hasil pengobatan yang maksimal. Sedangkan pelayanan
medis yang diberikan di bawah standar pun hanya akan menimbulkan
katidakpercayaan masyarakat pada praktik kedokteran.
Di sinilah arti penting perlindungan hukum bagi semua pihak yang terlibat
dalam pelayanan medis, baik dokter maupun pasien. Seperti yang dinyatakan oleh
Aristoteles bahwa hukum berfungsi sebagai instrumen untuk mewujudkan
keadilan karena law can be determined only in relation to the just.3 Bahwa
hukum tidak hanya terbatas pada masalah adil tetapi jauh lebih besar dari yakni
memberikan suatu kepastian dan perlindungan hukum. Di dalam ilmu hukum
disebutkan bahwa tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban dan
4
keadilan . L.J van Apeldoorn yang dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki,

3
Titon Slamet Kurnia; 2007; Hak Atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di
Indonesia; PT ALmuni; Bandung; hlm. 2
4
Peter Mahmud Marzuki; 2006; Penelitian Hukum; Kencana; Jakarta; hlm. 58

174
Majalah Hukum Forum Akademika

mengatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mempertahankan ketertiban dalam


masyarakat dan dalam mempertahankan ketertiban tersebut hukum harus secara
seimbang melindungi kepentingan - kepentingan yang ada dalam masyarakat.
Apabila keadilan yang terlalu dikedepankan maka akan sulit menciptakan
peraturan yang bersifat umum. Dan untuk dapat menciptakan peraturan yang
bersifat umum, maka rasa keadilan masyarakat sedikit banyak harus dikorbankan,
Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan kepastian hukum. Dan Van Apeldoorn
mengatakan bahwa kepastian hukum dapat diartikan dari beberapa segi yakni5:
1. kepastian hukum berarti dapat ditentukan hukum apa yang berlaku
untuk masalah-masalah yang konkret.
2. kepastian hukum berarti perlindungan hukum.
Di bidang kesehatan, kepastian hukum terhadap hubungan dokter dan
pasien di dalam sebuah transaksi terapeutik akan memberikan kepastian di dalam
pelaksanaan suatu pelayanan medis. Kepastian hukum terutama di dalam
pemenuhan hak para pihak akan menjamin tercapainya tujuan akhir pembangunan
kesehatan itu sendiri yakni masyarakat yang sehat lahir , batin, dan sosial
sehingga masyarakat tersebut dapat berfungsi optimal dalam segala bidang.
B. Rumusan Masalah
Beranjak dari keadaan di atas maka penulis tertarik untuk melakukan kajian
ilmiah tentang perlindungan hukum terhadap hak-hak pasien dalam suatu
perjanjian terapeutik agar nantinya diperoleh suatu gambaran tentang fungsi dan
efektifitas hukum itu sendiri dalam pelaksanaan suatu pelayanan medis. Dan
untuk membatasi kajian penelitian, maka permasalahan dibatasi pada persoalan
yang dianggap sangat mendasar di dalam upaya perlindungan hukum hak-hak
pasien yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan hak-hak pasien di dalam tatanan hukum positif?
2. Bagaimana fungsi dan kedudukan hak-hak pasien di dalam transaksi
terapeutik?

5
Ibid; hlm. 59-60

175
Majalah Hukum Forum Akademika

C. Pengaturan Tentang Hak -Hak Pasien Dalam Hukum Positif


Sebelum berbicara tentang fungsi dan kedudukan hak-hak pasien dalam
transaksi terapeutik maka perlu dilihat pengaturan hak-hak pasien tersebut dalam
tatanan hukum positif dan arti penting pengaturan tersebut. Hukum positif
memberikan pengaturan terhadap bentuk-bentuk hak pasien dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, mulai dari undang-undang, (UU No. 29/2004
tentang praktik kedokteran, UU 36/2009 tentang Kesehatan dan UU No. 44/2009
tentang RS), Peraturan Pemerintah (PP No. 39/1995 tentang penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, PP No /1960 tentang Wajib Simpan Rahasia
Kedokteran) hingga peraturan yang berbentuk tekhnis yang diatur di dalam
Peraturan /Keputusan Menteri Kesehatan (Permenkes No.269.2008 tentang
Rekam Medik, Permenkes No. 2902008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran, Kepmenkes No. 1333/2002 tentang Persetujuan Penelitian Kesehatan
Terhadap Manusia).

Hak pasien sebenarnya merupakan hak asasi yang bersumber dari hak dasar
individu dan hak dasar sosial. Dua asas hukum yang melandasi hukum kesehatan
yaitu the right to health care atau hak atas pelayanan kesehatan dan the right of
self determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan hak dasar
atau hak primer dalam bidang kesehatan khususnya hukum kedokteran. The right
to health care ini yang diakomodir oleh Pasal 4 UU Kesehatan, yang kemudian
melahirkan hak-hak turunan yang lain, baik yang bersifat individu maupun sosial.
Skema di bawah ini memperlihatkan perkembangan hak-hak tersebut:

176
Majalah Hukum Forum Akademika

Hak Dasar Kesehatan

SOSIAL INDIVIDUAL

The right to health care The right of self determination

Hak atas pelayanan medis


(the right to medical care)
Hak atas 'privacy' Hak atas badan sendiri

Hak atas rahasia - Hak atas informed


kedokteran consent
- Hak memilih dokter &
kedokteran RS
- Hak menolak
(informed refusal &
hak waiver)
tertentu
- Hak menolak :
- Hak untuk
menghentikan
-
- Hak atas second
opinion
- Hak atas rekam medis

Pengaturan hak pasien dalam hukum positif sebenarnya telah dimulai sejak
dikeluarkannya UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran.Dengan adanya
undang-undang ini, pengaturan hak-hak pasien yang selama ini mengacu pada UU
Perlindungan Konsumen mulai goyah, Terlebih bila dikaitkan dengan bentuk
hubungan dokter-pasien yang mempunyai karakteristik berbeda dengan konsep
konsumen di dalam UU Perlindungan Konsumen. Pengakuan hak pasien tersebut

177
Majalah Hukum Forum Akademika

semakin diperkuat melalui revisi Permenkes No585/1989 tentang Informed


Consent dan Permenkes No.749a/1989 tentang Rekam Medik menjadi Permenkes
Nomor 290/2008 dan Permenkes No.269/2008. Hak-hak ini semakin mendapat
aktualisasinya dengan diundangkannya UU No.36/2009 dan UU No.44/2009.
Sehingga meskipun UU Praktik Kedokteran lahir lebih dahulu, namun penulis
akan beranjak dari UU No.36/2009 sebagai undang-undang yang bersifat pokok di
dalam pengaturan masalah kesehatan termasuk masalah praktik kedokteran.
Hak pasien yang bersifat social (the right to health care) dirumuskan di
dalam Pasal 4 UU 36/2009 yang menyebutkan bahwa Setiap orang berhak atas
kesehatan.Konsep hak atas kesehatan ini merujuk pada makna hak untuk
memperoleh pelayanan kesehatan dari fasilitas kesehatan agar dapat mewujudkan
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Konsep ini sejalan dengan prinsip the
right to health care yang diakui di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
serta Kovenant Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang
merupakan landasan pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia secara
universal. Pengakuan bahwa hak atas kesehatan adalah bagian dari hak asasi pun
dinyatakan di dalam Penjelasan Umum UU No.36/2009.Pengakuan ini berarti
melahirkan tanggung jawab bagi pemerintah/negara untuk mewujudkan hal
tersebut, maka itu berarti merupakan hak setiap orang untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan dari setiap fasilitas kesehatan yang ada dan merupakan
tanggung jawab negara untuk menyediakan berbagai fasilitas kesehatan sesuai
tingkat kebutuhan masyarakat / warga negara. Termasuk dalam hal itu adalah
perlindungan hak-hak atas kesehatan yang bersifat individual . Berbeda dengan
hak yang bersifat sosial dimana pemenuhannya langsung menjadi tanggung jawab
negara, maka hak kesehatan yang bersifat individu pemenuhannya akan
bergantung pada pihak kedua, yang dalam konteks hak pasien ini maka tuntutan
pemenuhannya ada pada dokter.
Hak atas kesehatan di dalam Pasal 4 UU No. 36/2009 kemudian melahirkan
hak-hak yang lain diantaranya adalah hak untuk menentukan sendiri pelayanan
kesehatan yang dibutuhkan serta hak untuk memperoleh informasi atas kesehatan
dirinya. Hak-hak inilah yang kemudian mendapat penguatan penguatan norma

178
Majalah Hukum Forum Akademika

melalui Pasal 56 dan Pasal 57 UU Kesehatan yang mengatur tentang perlindungan


pasien. Undang-Undang Kesehatan memberikan perumusan yang berbeda
terhadap hak yang dimiliki setiap orang di bidang kesehatan serta setiap orang
ketika berada dalam kedudukan sebagai pasien.Hal ini berarti UU Kesehatan
memberikan sebuah pengakuan dan perlindungan terhadap arti penting suatu
transaksi terapeutik sebagai bagian dari suatu penyelenggaraan pelayanan
kesehatan, karena transaksi terapeutik adalah bagian dari pelayanan kesehatan
secara luas.
Disamping hak atas informasi dan hak persetujuan atas tindakan pelayanan
kesehatan tertentu, UU No.36/2009 pun memberikan perlindungan terhadap hak
untuk menolak (informed refusal) dan yang terpenting, adanya hak untuk
menggugat ketika pasien merasa dirugikan, termasuk kerugian yang diderita
sebagai akibat dari pembocoran rahasia kedokteran.(Pasal 58).Pengakuan hak ini
merupakan sebuah langkah besar pemerintah di dalam memberikan perlindungan
hukum kepada pasien.
Sementara UU Praktik Kedokteran mengakui eksistensi tiga hak utama
dalam transaksi terapeutik yakni hak persetujuan tindakan (informed consent), hak
atas rahasia kedokteran (medical secrecy) dan hak atas rekam medis (medical
record).Pengakuan dan perlindungan atas hak-hak tersebut diperkuat dengan
perumusan tentang kewajiban dokter di dalam menjalankan praktik
kedokterannya.Di samping ketiga hak utama tersebut, undang-undang pun
memberikan perlindungan terhadap hak second opinion, hak mendapatkan
pelayanan medis yang sesuai kebutuhannya, dan hak menolak (informed
refusal).Dan sebagai bagian dari kewajiban dokter, dibebankan pula kewajiban
memberikan pertolongan dalam keadaan darurat medis.
Hak-hak pasien yang mendapat pengakuan dan perlindungan hukum
tersebut mendapat perluasan bentuk di dalam UU No.44/2009 tentang Rumah
Sakit yang tidak saja memberikan hak-hak yang sama yang diatur di dalam kedua
undang-undang di atas, tetapi memperluas dengan hak-hak lain yang justru lebih
bersifat sosial antara lain hak keagamaan dan hak mempublikasikan
ketidaknyamanan yang dideritanya sebagai akibat pelayanan Rumah Sakit yang

179
Majalah Hukum Forum Akademika

dianggap tidak sesuai standar. Bila ditinjau secara eksplisit, pengaturan hak-hak
pasien di dalam Pasal 32 yang berjumlah 18 item tersebut debenarnya dapat
dipilah ke dalam klasifikasi:

a. hak atas pelayanan kesehatan sesuai standar ;


b. hak atas perlindungan dan pemenuhan hak pasien, termasuk hak-
hak informed consent, informed refusal, rekam medis, rahasia
kedokteran dan keagamaan;
c. hak gugat/hak menuntut;
d. hak publikasi
Secara prinsip UU rumah Sakit telah memberikan semua jenis hak pasien,
baik yang bersifat individual maupun yang bersifat sosial, bahkan memperluas
hak tersebut dengan hak yang sebenarnya bersifat moral yakni hak keagamaan,
meski tetap memberikan batasan terhadap penyelenggaraan hak ini melalui
rumusan kalimat selama tidak mengganggu pasien lainnya. Klausul ini
diberikan mengingat sebagai bangsa yang mengakui keanekaragaman agama dan
keyakinan seseorang atas Sang Maha Pencipta maka kebebasan seseorang
beribadah tetap dibatasi oleh hak orang lain atas kenyamanan dan keyakinan
orang lain tersebut. Terlebih di dalam sebuah rumah sakit yang pada umumnya
pasien diharapkan berada dalam keadaan yang tenang secara fisik, mental dan
emosional.Hak ini dicantumkan secara proporsional agar tidak menimbulkan
konflik yang berbau SARA. Diharapkan oleh para pembentuk undang-undang,
pencantuman bentuk hak atas agama dan kepercayaan/keyakinan seseorang
(dalam hal ini pasien) akan disadari sebagai sebuah wujud azas non diskriminasi
seperti yang tertuang dalam Pasal 2 UU No. 44 Tahun 2009 itu sendiri. Demikian
pula pihak RS tidak dapat memaksakan pasien menerima keyakinan tertentu yang
berbeda dengan keyakinan yang dianut RS (melalui lembaga kepemilikan atau
yayasan pendiri RS) melalui pemasangan simbol-simbol agama tertentu di ruang
perawatan. Simbol-simbol agama tersebut hanya diperkenankan
diletakkan/dipasang di ruang yang bukan ruang perawatan seperti ruang
administrasi dan sebagainya.Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan kenyamanan

180
Majalah Hukum Forum Akademika

psikologis bagi setiap pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan dan medis
di RS yang bersangkutan.
Dan upaya perlindungan pasien dirasakan tidak cukup hanya dengan
pencantuman sebagai sebuah hak pasien, para legislator dan wetgever
menambahkannya ke dalam bentuk kewajiban RS yang tercantum di dalam Pasal
29.Bahkan pelanggaran terhadap kewajiban ini diancam dengan sanksi hukum
berupa sanksi administrasi terhadap penyelenggara RS. Adapun kewajiban RS
yang terkait erat dengan kepentingan dan perlindungan hukum pasien adalah:
1. memberi informasi yang benar tentang pelayanan RS kepada
masyarakat;
2. memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi,
dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan
standar pelayanan RS;
3. memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan
kemampuan pelayanannya;
4. melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas
pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa
uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian
luar biasa atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan;
5. membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan
kesehatan di RS sebagai acuan dalam melayani pasien;
6. menyelenggarakan rekam medis;
7. melaksanakan sistem rujukan;
8. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan
kewajiban pasien;
9. menghormati dan melindungi hak-hak pasien;
10. menyusun dan melaksanakan peraturan internal RS (hospital by laws)
11. memberlakukan seluruh lingkungan RS sebagai kawasan tanpa rokok.

Di samping ketiga undang-undang tersebut, secara terpisah beberapa hak


pasien mendapat pengaturan tersendiri melalui peraturan pemerintah, peraturan

181
Majalah Hukum Forum Akademika

menteri kesehatan dan keputusan menteri kesehatan. Hak-hak pasien yang diatur
secara tersendiri tersebut adalah tiga hak pilar atau yang disebut dengan Trilogi
Rahasia Pelayanan medis6 yakni hak atas informed consent, hak atas rekam medis
dan hak atas rahasia kedokteran. Hak informed consent pun kemudian mendapat
pengaturan lebih khusus terkait suatu objek tindakan medis tertentu yakni
penelitian kesehatan pada manusia. Melalui berbagai peraturan pelaksana ini
diharapkan adanya pemahaman terhadap konsep, landasan hukum dan filosofis
serta unsur-unsur yang tercakup di dalam sebuah informed consent.
Secara prinsip informed consent merupakan suatu persetujuan yang
diberikan oleh pasien atas tindakan medis yang akan diberikan oleh dokter setelah
pasien mendapat penjelasan/informasi yang cukup kuat oleh dokter yang akan
merawat/memberikan tindakan. Hak informed consent lahir sebagai perwujudan
hak otonomi dan kebebasan yang dimiliki setiap orang oleh karena itu wajib
dipegang teguh sebagai landasan etik dan hukum oleh profesi kedokteran.
Penghormatan kepada hak otonomi pasien (The Principle of respect to the
patients autonomy) sebagai prinsip utama dalam profesi kedokteran mempunyai
makna bahwa pasien diberi kebebasan untuk menentukan sikap terhadap tindakan
yang akan dilakukan setelah dokter memberikan penjelasan yang cukup. Makna
dasar inilah yang sebenarnya dimiliki oleh hak atas informed consent. Informed
consent bukan semata-mata sebuah persetujuan berbentuk tanda tangan pasien di
atas selembar kertas namun lebih pada sebuah proses timbal balik antara pasien
dan dokter dalam menentukan tindakan pengobatan yang terbaik demi
kesembuhan pasien maupun ketika berhubungan dengan kondisi dimana manusia
dipergunakan sebagai objek penelitian ilmu kedokteran.
Khusus menyangkut hak pasien ketika berkedudukan sebagai subjek
maupun objek penelitian kedokteran, maka disamping hak untuk menyetujui yang
merupakan prinsip utama dalam etik penelitian kedokteran seperti yang
dicantumkan dalam Deklarasi Helsinki, pasien juga memiliki hak untuk
dirahasiakan identitasnya dan yang terpenting bahwa pasien diberikan hak untuk

6
J.Guwandi,.

182
Majalah Hukum Forum Akademika

menyatakan mengundurkan diri dari penelitian tersebut pada setiap tahapan yang
dikehendaki pasien itu sendiri.
Prinsip informed consent sesungguhnya adalah sebuah hak kebebasan
individu untuk memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri yang juga sering
disebut sebagai hak otonomi pasien. Di dalam hak otonomi terkandung hak
privacy, dimana hak ini kemudian melahirkan hak yang lain yakni hak untuk tidak
diceritakan kepada pihak ketiga perihal segala sesuatu yang menyangkut kondisi
kesehatan pasien. Dikaitkan dengan pola hubungan dokter-pasien yang
berlandaskan pada kepercayaan (Pasal 39 UU No.29/2004 jo Pasal 14 Permenkes
No.512/2007) maka adalah suatu kewajiban bagi dokter untuk merahasiakan
segala sesuatu tentang pasien bahkan hingga pasien meninggal dunia (Sumpah
Hippocrates dan KODEKI). Namun kewajiban ini bukan saja suatu kewajiban
moral dan etik melainkan sudah memasuki ranah hukum. Kewajiban bagi dokter
untuk menyimpan rahasia pasiennya, yang kemudian dikenal dengan istilah hak
atas rahasia kedokteran (the right of medical secrecy) di samping secara tegas
diatur di dalam ketiga undang-undang pokok, hak ini sebelumnya telah diatur di
dalam PP No.10 tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.
Pemerintah mengakui arti penting terhadap hak ini sehingga perlu
memberikan perlindungan yang lebih kuat melalui upaya hak gugat atas
pelanggaran rahasia kedokteran yang dilakukan dokter yang dianggap melahirkan
kerugian bagi pasien.Bahkan jeratan hukum pidana melalui KUHP pun dapat
diberlakukan apabila pasien merasa dirugikan.Dalam hukum pidana, tindakan
pembocoran rahasia kedokteran tanpa alas hak yang sah merupakan sebuah delik
aduan (klach delik) dan bersifat sebagai delik formal. Hukum pun memberi
perlindungan kepada dokter untuk menjaga kerahasiaan pasiennya di dalam suatu
proses peradilan pidana melalui hak tolak ungkap (Pasal 108, Pasal 120, dan Pasal
170).
Di dalam pelaksanaan praktek kedokteran di Indonesia, penyelenggaraan
informed consent dan rahasia kedokteran ini mempunyai karakteristik yang
berbeda dengan pelaksanaan di negara-negara maju, yang lebih mengutamakan
nilai kebebasan dan individualistic.Bila pada prinsipnya rahasia kedokteran harus

183
Majalah Hukum Forum Akademika

dipegang teguh oleh dokter dan tidak diperkenankan dibuka pada siapapun tanpa
seijin pasien itu sendiri, di Indonesia prinsip ini mendapat sedikit penyimpangan
terutama terkait dengan penggunaan hak waiver.Hak waiver adalah hak pasien
untuk menolak diberi informasi oleh dokter tentang kondisi penyakitnya.
Demikian pula apa yang disebut dengan hak previleges dokter, yang merupakan
hak dokter berdasarkan penilaian medisnya untuk tidak memberitahukan kondisi
kesehatan pasien kepada pasien itu sendiri karena dikhawatirkan akan membuat
kondisi pasien bertambah parah. Di negara-negara liberalis, hak waiver dan hak
clinical previleges ini akan meniadakan kewajiban dokter untuk menyampaikan
informasi terkait kondisi pasien. Namun di Indonesia, kedua hak ini tidak
menggugurkan kewajiban dokter, hanya mengalihkan kewajiban tersebut pada
surrogate patient (istilah yang dipergunakan untuk anggota keluarga terdekat atau
wali yang berwenang memberikan persetujuan ketika pasien sendiri dalam
keadaan inkompeten).
Undang-undang telah mewajibkan dokter dan rumah sakit untuk melakukan
rekam medis atas semua yang berhubungan dengan kondisi kesehatan seorang
pasien. Hal ini berarti segala sesuatu yang disetujui atau ditolak pasien terkait
tindakan medis terhadap dirinya, termasuk pemberian berbagai obat-obatan,
merupakan bagian dari hal yang harus dirahasikan dokter dari pihak ketiga yang
tidak berwenang untuk mengetahui dan tanpa seijin pasien. Pemahaman ini
melahirkan imlplikasi hukum bahwa berkas rekam medis yang diselenggarakan
oleh health providers merupakan milik dokter/RS namun isi rekam medis
merupakan milik pasien, sehingga pihak dokter/RS tidak diperkenankan untuk
menghalangi-halangi keinginan pasien yang meminta isi rekam medis untuk
kepentingan diri pasien itu sendiri (Pasal 12 Permenkes No.269/2008). Oleh
karena itu hak ini cenderung disebut dengan hak inzage rekam medis atau hak
akses terhadap isi (hak untuk melihat) rekam medis dan bukan hak terhadap
berkas rekam medis itu sendiri.Kondisi ini yang masih sering ditemukan
kesalahpahaman antara dokter/RS dengan pihak pasien. Di satu sisi pasien
menganggap rekam medis adalah miliknya karena berisikan segala informasi
tentang kesehatan dirinya yang hanya boleh diketahui orang lain (pihak ketiga)

184
Majalah Hukum Forum Akademika

dengan seiijin dirinya sehingga ia dapat meminta dan memperoleh rekam medis
tersebut ketika ia menghendaki. Namun di sisi lain, pihak dokter/RS pun
beranggapan bahwa rekam medis adalah milik fasilitas kesehatan yang bersifat
rahasia sehingga tidak boleh dibaca/diketahui oleh pihak luar selain dokter yang
merawat atau tenaga kesehatan tertentu yang telah diberi kewenangan untuk itu.
Perselisihan ini dapat menjadi pemicu konflik yang berkepanjangan seperti kasus
Pritta Mulyasari vs RS Omni Internasional yang berakhir di pengadilan.Oleh
karena itu penulis menganggap perlu untuk memahami makna sebenarnya dari
sebuah rekam medis, pihak-pihak yang berwenang dan hak serta kewajiban yang
melingkupi pihak-pihak tersebut agar tidak terulang sengketa medis yang bermula
dari masalah rekam medis.

B. Fungsi dan Kedudukan Hak Pasien Dalam Transaksi Terapeutik


Pasien sebagai pihak yang langsung berhubungan dengan pelayanan
kesehatan khususnya pelayanan medis dalam suatu transaksi terapeutik pada
umumnya berada dalam kedudukan yang lebih lemah dibandingkan kedudukan
dokter dan Rumah Sakit. Hal ini dimungkinkan terjadi mengingat pasien pada
umumnya tidak memiliki pengetahuan yang seimbang tentang penyakit yang
dideritanya, sehingga secara prinsip ia akan menyerahkan segala sesuatu
menyangkut upaya penyembuhannya pada dokter yang dianggap lebih
mengetahui dan memahami kondisi yang dihadapi. Oleh karena itu seringkali
dokter bersikap tidak peduli pada hak-hak pasien dan hanya terpusat pada upaya
penyembuhan itu sendiri dan bukan pada aspek kemanusiaannya.Pasien tak jarang
dianggap semata-mata sebagai suatu objek bergerak atas segala tindakannya dan
mengabaikan nilai-nilai humanis yang menyertai segala praktik
kedokterannya.Dengan demikian hukum dibutuhkan untuk memberikan
keseimbangan tersebut dengan memberikan perlindungan terhadap hak-hak pasien
sehingga terlihat bahwa hak-hak pasien itu sendiri mempunyai peranan dan
kedudukan yang signifikan di dalam suatu mekanisme perlindungan hukum di
bidang pelayanan kesehatan dan praktik kedokteran. Peran dan kedudukan hak-
hak pasien tersebut mencakup dua (2) aspek yakni :

185
Majalah Hukum Forum Akademika

1. Sebagai Implementasi/Perwujudan Perlindungan Hak Azasi Manusia


di Bidang Kesehatan.
Upaya Perlindungan pasien sebagai perwujudan hak asasi ini dapat
dibaca di dalam ketiga undang-undang pelayanan kesehatan, baik di
dalam considerans, pasal-pasal dalam undang-undang hingga
penjelasan yang merupakan penerapan azas-azas hukum yang
menjiwai pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan kesehatan
maupun penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan/atau medis di
dalam suatu transaksi terapeutik, baik yang dilakukan secara
perorangan oleh dokter maupun yang diberikan di dalam sebuah
fasilitas kesehatan dalam hal ini RS.
Salah satu asas yang menjadi landasan penyelenggaraan pelayanan
kesehatan/kedokteran adalah asas kemanusiaan.Penerapan asas ini
diwujudkan dalam bentuk pelayanan kesehatan/kedokteran yang
humanis dengan menempatkan setiap individu/pasien dalam
kedudukan yang sesuai harkat dan martabat kemanusiaan dengan
segala kunikan dirinya.Oleh karena itu pasien wajib dilindungi dan
dijadikan prioritas dalam segala pelayanan yang diberikan, termasuk
ketika melibatkannya menjadi objek penelitian dan/atau percobaan
kedokteran.
Hukum telah memberikan pengakuan atas hak-hak pasien, baik hak
yang bersifat individu maupun hak yang bersifat social. Hak ini
tentunya akan berimplikasi melahirkan kewajiban hukum bagi negara
dan bagi pihak penyelenggara pelayanan kesehatan (health providers).
Hak- hak pasien tersebut seperti telah disebutkan di atas sebenarnya
ber merefleksikanuara dari dua hak dasar yakni hak untuk menentukan
diri sendiri (the right of self determination) dan hak atas hidup (the
right of live) sebagai hak yang melandasai hak-hak yang bersifat
individu serta the right to health care sebagai hak asasi yang melandasi
hak-hak social seseorang.

186
Majalah Hukum Forum Akademika

Bila dikaitkan dengan azas etik kedokteran yang berlaku dalam


profesi kedokteran maka pada prinsipnya azas-azas hukum yang diatur
di dalam UU Praktik Kedokteran tidak jauh berbeda dengan azas etik
kedokteran tersebut. Dan pengakuan atas hak-hak pasien secara hukum
berarti menguatkan apa yang telah dipedomani secara moral dan etik
tersebut. Antara lain hak atas informed consent adalah perwujudan dari
nilai etik menghormati hak pasien, nilai kejujuran, dan prinsip tidak
merugikan (the principle of respect to the patients autonomy, the
principle of veracity and The Principle of non-maleficence).
Hak atas rahasia kedokteran yang dilindungi oleh hukum
mempunyai konsekuensi bahwa dokter tidak saja terikat secara
moral/etik (The Principle of confidentiality) untuk merahasiakan segala
sesuatu mengenai pasiennya, namun juga terikat secara
hukum.Pelanggaran dokter/dokter gigi dalam memenuhi kedua hak
pasien ini dapat dijadikan dasar tuntutan/gugatan hukum dan bukan
sekedar pengaduan etika.
Demikian pula penerapan asas manfaat dan keadilan yang
diamanatkan UU Praktik Kedokteran diharapkan merupakan
penguatan terhadap nilai-nilai etik di dalam profesi kedokteran yakni
The Principle of beneficence danThe Principle of justice dimana
dokter/dokter gigi dalam melakukan transaksi terapeutik tidak boleh
dipengaruhi unsur-unsur seperti ras, agama dan sebagainya sebagai
landasan dalam melakukan pelayanan medis. Ilmu kedokteran yang
diterapkan pun benar-benar ilmu yang telah teruji kemanfaatannya
sehingga tidak hanya memberikan manfaat secara individu pada pasien
namun juga pada masyarakat secara umum, sebagai bagian dari
pemenuhan hak asasi masyarakat di bidang kesehatan.

2. Sebagai Indikator Kesalahan Dokter


Pengaturan dan pengakuan hakhak pasien dalam berbagai
undang-undang selain berfungsi sebagai sarana perlindungan dan

187
Majalah Hukum Forum Akademika

pemenuhan hak asasi kepada pasien, maka pengaturan tersebut juga


berfungsi sebagai indikator terhadap ada tidaknya kesalahan yang
dilakukan dokter/dokter gigi dalam transaksi terapeutik.Hal ini
dikaitkan dengan bentuk dan karakteristik suatu transaksi terapeutik
sebagai sebuah inspaningverbintenis. Ketentuan tentang bentuk
transaksi terapeutik sebagai suatu inspaningverbintenis memang tidak
secara eksplisit dinyatakan dalam undang-undang, namun hal tersebut
dapat ditafsirkan dari ketentuan Pasal 39 UU Praktik Kedokteran jo
Pasal 14 Permenkes RI No. 512/PER/IV/2007 tentang Izin Praktik dan
Pelaksanaan Praktik Kedokteran.
Pasal 39 UU Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa
Praktek kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan
antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk
pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan

Sementara Pasal 14 Peraturan Meneteri Kesehatan Nomor


512/MENKES/PER/IV/2007 menyatakan :
Praktik kedokteran dilaksanakan berdasarkan pada kesepakatan
berdasarkan hubungan kepercayaan antara dokter atau dokter gigi
dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan,
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan
pemulihan kesehatan. (Pasal 14 ayat 1).
Kesepakatan dimaksud merupakan upaya maksimal pengabdian
profesi kedokteran yang harus dilakukan dokter dan dokter gigi dalam
penyembuhan dan pemulihan kesehatan pasien sesuai dengan standar
pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional dan kebutuhan
medis pasien (Pasal 14 ayat 2)
Upaya maksimal dimaksud adalah sesuai dengan situasi dan kondisi
setempat (Pasal 14 ayat 3)

Kedua rumusan pasal tersebut telah menyiratkan bahwa transaksi


terapeutik merupakan suatu inspaningverbintenis yakni suatu
perjanjian yang didasarkan pada suatu usaha maksimal dan bukan pada
suatu hasil akhir (resultaantverbintenis). Dan melihat dari isi Pasal 14
Permenkes No. 512 Tahun 2007 di atas bahwa yang menjadi tolok

188
Majalah Hukum Forum Akademika

ukur usaha maksimal adalah standar pelayanan, standar profesi,


standar prosedur operasional dan kebutuhan medis pasien. Kriteria ini
dipertegas oleh UU Kesehatan melalui Pasal 24 yang menyebutkan
bahwa tenaga kesehatan (termasuk dokter) harus memenuhi ketentuan
kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional.Pasal ini menghendaki
pemenuhan hak pasien sebagai salah satu indikator suatu pelayanan
kesehatan yang diberikan.
Sementara perumusan istilah kebutuhan medis pasien di dalam
Pasal 14 ayat (2) Permenkes No.512/2007 di atas secara spesifik telah
dikuatkan dalam Penjelasan Pasal 23 ayat (4) UU Kesehatan yang
menyatakan bahwa selama memberikan pelayanan kesehatan tenaga
kesehatan harus mengutamakan indikasi medis dan tidak diskriminatif
demi kepentingan terbaik dari pasien dan sesuai dengan indikasi
medis.
Bila membaca rumusan penjelasan Pasal 23 ayat (4) tentang
berdasarkan indikasi medis menunjukkan bahwa ketentuan pasal ini
diarahkan/ditujukan kepada tenaga kesehatan yang berwenang
melakukan tindakan medis, dalam hal ini adalah dokter dan/atau dokter
gigi7 dengan mensyaratkan aspek keselamatan pasien sebagai tolok
ukur pelayanan kesehatan yang secara substansial tidak bertentangan
dengan hukum.
Suatu tindakan medis yang secara substansial atau secara materiil
dikatagorikan sebagai tidak bertentangan dengan hukum memiliki
beberapa aspek hukum yang wajib melingkupi tindakan medis
tersebut.Dhani Wiradharma8 menyatakan bahwa suatu tindakan medis
dikatakan tidak bertentangan dengan hukum apabila memenuhi 3 (tiga)

7
Lihat PP Nomor 39 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan yang menyebutkan jenis-jenis tenaga
kesehatan salah satunya adalah tenaga medis yang mencakup dokter dan dokter gigi.
8
Danny Wiradharma; 2003; Aspek Etis & Yuridis Tindakan Medis; Penerbit Universitas Trisakti;
hlm 38

189
Majalah Hukum Forum Akademika

persyaratan utama yakni adanya indikasi medis, dilakukan sesuai


dengan ilmu dan tekhnologi kedokteran yang berlaku umum dan
adanya persetujuan pasien (informed consent).
Persyaratan material tersebut dapat disejajarkan dengan
persyaratan sebuah perikatan yang sah yang didasarkan pada Pasal
1320 KUHPerdata yang menyebutkan adanya 4 (empat) persyaratan
yang harus dipenuhi yakni
a. Adanya kecakapan dari para pihak
b. Adanya kesepakatan para pihak
c. Adanya objek perjanjian/perikatan yang jelas
d. Dimana objek perjanjian/perikatan tersebut harus dilandaskan
pada alasan yang sah.
Di dalam transaksi terapeutik, syarat kecakapan dan kesepakatan
tertuang dalam bentuk informed consent, sementara syarat objek yang
jelas dan alasan yang sah termasuk sebagai syarat yang disebut dengan
lege artis (adanya indikasi medis dan penggunaan tekhnologi
kedokteran yang sesuai ). Meski memiliki kesejajaran konsep
persyaratan namun keduanya memiliki implikasi hukum yang berbeda.
Apabila di dalam perikatan pada umumya persyaratan kecakapan dan
kesepatakan para pihak merupakan persyaratan subjektif yang apabila
dilanggar akan menyebabkan perikatan/perjanjian dapat dibatalkan
(nietigbaar) sementara pelanggaran terhadap persyaratan objek yang
jelas dan alasan yang sah sebagai syarat objektif mengakibatkan
perjanjian/perikatan batal demi hukum; tidak demikian halnya di
dalam sebuah transaksi terapeutik.
Transaksi terapeutik tidak melihat konsep perbedaan syarat
subjektif dan syarat objektif terhadap persyaratan material tersebut.
Penulis berpendapat bahwa ketiga persyaratan medis tersebut
(informed consent, lege artis dan indikasi medis) harus bersifat
limitative dalam arti semuanya harus terpenuhi dan tidak dapat tidak,
sehingga ketiadaan salah satunya dapat mengakibatkan transaksi batal

190
Majalah Hukum Forum Akademika

demi hukum dan kondisi ini dapat dijadikan landasan gugatan/tuntutan


hukum yang berdampak pada batalnya transaksi terapeutik tersebut.
Pemikiran ini dilandasi oleh perumusan Pasal 23 ayat (4) dan Pasal 24
UU No.36/2009 serta Pasal 51 UU No.29/2004yang telah dijabarkan di
atas.
Pasal 23 ayat (4) dan Pasal 24 UU No.36/2009 telah menetapkan
adanya hak-hak pasien (salah satunya adalah informed consent)
sebagai kewajiban tenaga kesehatan dalam menyelenggarakan
pelayanan kesehatan yang sesuai asas-asas hukum positif yang telah
ditetapkan UU.Sementara pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 51
yang berintikan kewajiban dokter di dalam melakukan pelayanan
medisnya termasuk kewajiban di dalam pemenuhan hak-hak pasien,
diancam dengan sanksi pidana.Pemahaman-pemahaman terhadap
perumusan-perumusan di atas telah memberikan makna ketegasan
terhadap kedudukan dan fungsi hak-hak pasien sebagai indikator ada
tidaknya suatu kesalahan yang dilakukan dokter di dalam transaksi
terapeutik yang berjalan.

C. Penutup
1. Kesimpulan
1.1. Pengakuan terhadap hak-hak pasien di dalam suatu penyelenggaraan transaksi
terapeutik merupakan salah satu unsur yang tidak dapat diabaikan di dalam proses
peningkatan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya yang merupakan hak setiap
warga negara di bidang kesehatan. Pemerintah melalui instrument normatifnya
telah berupaya memberikan perlindungan hukum melalui berbagai peraturan
perundang-undangan yang menjadi landasan pemenuhan hak-hak pasien oleh
penyelenggara pelayanan kesehatan (health providers).Meskipun hingga kini
peraturan perundangan-undangan yang memuat tentang hak-hak pasien tersebut
masih bersifat kompleks dalam arti menyebar daam berbagai perundang-
undangan, namun tetap berupaya mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dan
perlindungan terhadap hak asasi.Hak dasar pasien dapat dikatagorikan ke dalam

191
Majalah Hukum Forum Akademika

hak yang bersifat sosial dan individu. Beberapa hak pasien yang telah mendapat
landasan yuridis di dalam pelaksanaannya yakni:
1. Hak akses terhadap fasilitas kesehatan
2. Hak memilih dan mendapatkan tindakan/pelayanan kesehatan yang
sesuai kebutuhannya
3. Hak atas informed consent (termasuk di dalamnya hak informed
refusal dan hak waiver)
4. Hak atas rahasia kedokteran
5. Hak inzage rekam medis
6. Hak atas second opinion
7. Hak gugat
8. Hak keagamaan; dan
9. Hak publikasi.
Pengakuan dan pelindungan hak-hak tersebut diatur di dalam UU Nomor
29 Tahun 2004 tentang praktik Kedokteran, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
kesehatan, UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Peraturan Pemerintah
Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan,Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/MENKES/SK/X/2002
tentang Persetujuan Penelitian Kesehatan Terhadap Manusia, Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/X/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008
tentang Rekam Medis, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang
Wajib Simpan Rahasia Kedokteran, dan dengan melakukan interpretasi maka
dapat diterapkan beberapa ketentuan di dalam KUHP dan KUHAP.
1. 2. Ditinjau dari prinsip hak dasar, hak-hak pasien dalam suatu transaksi
terapeutik dapat berfungsi sebagai Refleksi pengakuan hak-hak asasi manusia di
bidang kesehatan karena pada prinsipnya hak-hak tersebut lahir dari the right to
health care dan the right of self determination. Oleh karena itu substansi dan
mekanisme pemenuhan hak-hak tersebut harus tetap mengedepankan nilai-nilai
kemanusiaan.Hak-hak pasien juga berfungsi sebagai indikator penentu ada

192
Majalah Hukum Forum Akademika

tidaknya kesalahan medis yang dilakukan dokter di dalam menjalankan praktik


kedokterannya.
2. Saran
Menyikapi arti penting kedudukan dan fungsi hak-hak pasien tersebut, penulis
menyarankan hendaknya pemerintah segera merealisasikan amanat UU Kesehatan
untuk segera membentuk peraturan perundang-undangan yang lebih kuat secara
hirarki hukum yang mengatur masalah perlindungan pasien, agar kepastian dan
keadilan hukum dapat diwujudkan melalui mekanisme penegakan hukum efisein
dan efektif karena nilai-nilai di dalam hukum merupakan nilai-nilai yang tumbuh,
berkembang dan diakui oleh masyarakat Indonesia.

193
Majalah Hukum Forum Akademika

Daftar Pustaka

Alexandra Indriyanti Dewi; 2008; Etika dan Hukum Kesehatan; Pustaka Book
Publisher; Yogyakarta

Arrie Budhiartieet all, 2011; Aspek Hukum Penelitian Kedokteran Pada


Manusia; tidak dipublikasikan; Lembaga Penelitian Universitas Jambi

____, 2010; Aspek Hukum Wajib Simpan Rahasia Kedokteran sebagai


Implementasi Pemenuhan Hak Pasien; Laporan Penelitian Kelompok Dana
DIPA, Lembaga Penelitian Universitas Jambi.

Anny Isfandyarie; 2006; Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku
I; Prestasi Pustaka Publisher; Jakarta

Danny Wiradharma; 2003; Aspek Etis & Yuridis Tindakan Medis; Penerbit
Universitas Trisakti

J.Guwandi; 2006; Informed Consent & Informed Refusal; Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia; Jakarta

Mertokusumo; 1986; Mengenal Hukum; Liberty; Yogyakarta

Peter Mahmud Marzuki; 2006; Penelitian Hukum; Kencana; Jakarta

Titon Slamet Kurnia; 2007; Hak Atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM
di Indonesia; PT Almuni; Bandung

Veronika Komalawati; 1999; Peranan Informed Consent Dalam Transaksi


Terapeutik, Suatu Tinjauan Yuridis Persetujuan Dalam Hubungan Dokter
dan Pasien; Citra Aditya Bakti; Bandung

Perundang-undangan:

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Undang-Undang No, 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-Undang Nomor 44 Thaun 2009 tentang Rumah Sakit

Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

194

Anda mungkin juga menyukai