Abstrak
Transaksi terapeutik merupakan sebuah hubungan perikatan antara dokter dan
pasien yang memiliki implikasi luas dalam ranah hukum.Sebagai sebuah
hubungan hukum maka adanya hak dan kewajiban para pihak merupakan unsur
yang tidakdapat dipisahkan dari konsep transaksi terapeutik.Berbeda dengan
perikatan pada umumnya yang mempunyai kesamaan dalam kedudukan, maka
dalam transaksi terapeutik yang sering terjadi adalah adanya ketidakseimbangan
kedudukan para pihak karena adanya pengetahuan dan pemahaman objek
perikatan. Oleh karena itu, hukum berkewajiban memberikan keseimbangan
tersebut melalui pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak pasien di
dalam peraturan perundang-undangan yang melandasai bergeraknya transaksi
terapeutik tersebut.Hak-hak pasien yang bermuara dari dua hak dasar yakni the
right to health care dan the right of self determination dalam pelaksanaannya
harus mencerminkan nilai-nilai hak hak asasi manusia itu kembali.Di samping itu
pemenuhan hak-hak pasien ini pun nantinya dapat dijadikan dalah satu indikator
terhadap kesalahan medis yang dilakukan dokter.
Kata Kunci : hak pasien, transaksi terapeutik, informed consent, hak asasi
manusia.
A. Pendahuluan
Pembangunan di bidang kesehatan pada prinsipnya adalah membangun
masyarakat yang sehat dan produktif yang dilandasi pada kesadaran akan segala
bentuk hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan anggota masyarakat.
Setiap unsur dalam pembangunan kesehatan akan mempunyai peranan yang
penting dalam setiap proses penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Dan adalah
kewajiban bagi Pemerintah untuk selalu menjamin agar setiap unsur
pembangunan kesehatan tersebut dapat berfungsi dengan baik melalui berbagai
produk hukum yang memberikan landasan terhadap pelaksanaan fungsi tersebut.
1
Dosen Fakultas Hukum Universitas
172
Majalah Hukum Forum Akademika
2
Veronika Komalawati; 1999; Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik,
Suatu Tinjauan Yuridis persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien; Citra Aditya Bakti;
Bandung, hlm. 1
173
Majalah Hukum Forum Akademika
gugatan atau tuntutan hukum. Dan gugatan maupun tuntutan hukum ini kemudian
sering diartikan oleh kalangan profesi dokter sebagai sebuah intervensi sehingga
mereka bereaksi dengan sangat defensif. Pada akhirnya reaksi ini berujung pada
mutu tindakan medis yang diberikan. Dokter akan sangat bersikap hati-hati dalam
menjalani profesinya bahkan cenderung mengambil langkah menolak memberikan
tindakan bila diperkirakan tindakan tersebut tidak akan banyak membantu dalam
proses penyembuhan.
Di sisi lain, sebagaimana layaknya sebuah negara berkembang, peningkatan
kesadaran akan hak-hak pasien baru menjangkau lapisan masyarakat tertentu di
Indonesia. Masih banyak masyarakat yang tetap belum menyadari hak-haknya,
terutama dari kalangan masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah. Golongan
masyarakat ini masih bersikap pasif dalam menerima pelayanan
kedokteran/kesehatan, sehingga terkadang dimanfaatkan oleh profesi dokter untuk
mengambil keuntungan sepihak. Dan bila muncul kondisi yang tidak diinginkan,
maka pasien hanya bisa pasrah dan menerimanya sebagai sebuah takdir.
Kondisi ini jelas tidak menguntungkan dari segi pembangunan kesehatan
nasional. Suatu pelayanan medis yang dilakukan dengan terlalu hati-hati justru
tidak akan memberikan hasil pengobatan yang maksimal. Sedangkan pelayanan
medis yang diberikan di bawah standar pun hanya akan menimbulkan
katidakpercayaan masyarakat pada praktik kedokteran.
Di sinilah arti penting perlindungan hukum bagi semua pihak yang terlibat
dalam pelayanan medis, baik dokter maupun pasien. Seperti yang dinyatakan oleh
Aristoteles bahwa hukum berfungsi sebagai instrumen untuk mewujudkan
keadilan karena law can be determined only in relation to the just.3 Bahwa
hukum tidak hanya terbatas pada masalah adil tetapi jauh lebih besar dari yakni
memberikan suatu kepastian dan perlindungan hukum. Di dalam ilmu hukum
disebutkan bahwa tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban dan
4
keadilan . L.J van Apeldoorn yang dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki,
3
Titon Slamet Kurnia; 2007; Hak Atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di
Indonesia; PT ALmuni; Bandung; hlm. 2
4
Peter Mahmud Marzuki; 2006; Penelitian Hukum; Kencana; Jakarta; hlm. 58
174
Majalah Hukum Forum Akademika
5
Ibid; hlm. 59-60
175
Majalah Hukum Forum Akademika
Hak pasien sebenarnya merupakan hak asasi yang bersumber dari hak dasar
individu dan hak dasar sosial. Dua asas hukum yang melandasi hukum kesehatan
yaitu the right to health care atau hak atas pelayanan kesehatan dan the right of
self determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan hak dasar
atau hak primer dalam bidang kesehatan khususnya hukum kedokteran. The right
to health care ini yang diakomodir oleh Pasal 4 UU Kesehatan, yang kemudian
melahirkan hak-hak turunan yang lain, baik yang bersifat individu maupun sosial.
Skema di bawah ini memperlihatkan perkembangan hak-hak tersebut:
176
Majalah Hukum Forum Akademika
SOSIAL INDIVIDUAL
Pengaturan hak pasien dalam hukum positif sebenarnya telah dimulai sejak
dikeluarkannya UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran.Dengan adanya
undang-undang ini, pengaturan hak-hak pasien yang selama ini mengacu pada UU
Perlindungan Konsumen mulai goyah, Terlebih bila dikaitkan dengan bentuk
hubungan dokter-pasien yang mempunyai karakteristik berbeda dengan konsep
konsumen di dalam UU Perlindungan Konsumen. Pengakuan hak pasien tersebut
177
Majalah Hukum Forum Akademika
178
Majalah Hukum Forum Akademika
179
Majalah Hukum Forum Akademika
dianggap tidak sesuai standar. Bila ditinjau secara eksplisit, pengaturan hak-hak
pasien di dalam Pasal 32 yang berjumlah 18 item tersebut debenarnya dapat
dipilah ke dalam klasifikasi:
180
Majalah Hukum Forum Akademika
psikologis bagi setiap pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan dan medis
di RS yang bersangkutan.
Dan upaya perlindungan pasien dirasakan tidak cukup hanya dengan
pencantuman sebagai sebuah hak pasien, para legislator dan wetgever
menambahkannya ke dalam bentuk kewajiban RS yang tercantum di dalam Pasal
29.Bahkan pelanggaran terhadap kewajiban ini diancam dengan sanksi hukum
berupa sanksi administrasi terhadap penyelenggara RS. Adapun kewajiban RS
yang terkait erat dengan kepentingan dan perlindungan hukum pasien adalah:
1. memberi informasi yang benar tentang pelayanan RS kepada
masyarakat;
2. memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi,
dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan
standar pelayanan RS;
3. memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan
kemampuan pelayanannya;
4. melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas
pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa
uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian
luar biasa atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan;
5. membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan
kesehatan di RS sebagai acuan dalam melayani pasien;
6. menyelenggarakan rekam medis;
7. melaksanakan sistem rujukan;
8. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan
kewajiban pasien;
9. menghormati dan melindungi hak-hak pasien;
10. menyusun dan melaksanakan peraturan internal RS (hospital by laws)
11. memberlakukan seluruh lingkungan RS sebagai kawasan tanpa rokok.
181
Majalah Hukum Forum Akademika
menteri kesehatan dan keputusan menteri kesehatan. Hak-hak pasien yang diatur
secara tersendiri tersebut adalah tiga hak pilar atau yang disebut dengan Trilogi
Rahasia Pelayanan medis6 yakni hak atas informed consent, hak atas rekam medis
dan hak atas rahasia kedokteran. Hak informed consent pun kemudian mendapat
pengaturan lebih khusus terkait suatu objek tindakan medis tertentu yakni
penelitian kesehatan pada manusia. Melalui berbagai peraturan pelaksana ini
diharapkan adanya pemahaman terhadap konsep, landasan hukum dan filosofis
serta unsur-unsur yang tercakup di dalam sebuah informed consent.
Secara prinsip informed consent merupakan suatu persetujuan yang
diberikan oleh pasien atas tindakan medis yang akan diberikan oleh dokter setelah
pasien mendapat penjelasan/informasi yang cukup kuat oleh dokter yang akan
merawat/memberikan tindakan. Hak informed consent lahir sebagai perwujudan
hak otonomi dan kebebasan yang dimiliki setiap orang oleh karena itu wajib
dipegang teguh sebagai landasan etik dan hukum oleh profesi kedokteran.
Penghormatan kepada hak otonomi pasien (The Principle of respect to the
patients autonomy) sebagai prinsip utama dalam profesi kedokteran mempunyai
makna bahwa pasien diberi kebebasan untuk menentukan sikap terhadap tindakan
yang akan dilakukan setelah dokter memberikan penjelasan yang cukup. Makna
dasar inilah yang sebenarnya dimiliki oleh hak atas informed consent. Informed
consent bukan semata-mata sebuah persetujuan berbentuk tanda tangan pasien di
atas selembar kertas namun lebih pada sebuah proses timbal balik antara pasien
dan dokter dalam menentukan tindakan pengobatan yang terbaik demi
kesembuhan pasien maupun ketika berhubungan dengan kondisi dimana manusia
dipergunakan sebagai objek penelitian ilmu kedokteran.
Khusus menyangkut hak pasien ketika berkedudukan sebagai subjek
maupun objek penelitian kedokteran, maka disamping hak untuk menyetujui yang
merupakan prinsip utama dalam etik penelitian kedokteran seperti yang
dicantumkan dalam Deklarasi Helsinki, pasien juga memiliki hak untuk
dirahasiakan identitasnya dan yang terpenting bahwa pasien diberikan hak untuk
6
J.Guwandi,.
182
Majalah Hukum Forum Akademika
menyatakan mengundurkan diri dari penelitian tersebut pada setiap tahapan yang
dikehendaki pasien itu sendiri.
Prinsip informed consent sesungguhnya adalah sebuah hak kebebasan
individu untuk memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri yang juga sering
disebut sebagai hak otonomi pasien. Di dalam hak otonomi terkandung hak
privacy, dimana hak ini kemudian melahirkan hak yang lain yakni hak untuk tidak
diceritakan kepada pihak ketiga perihal segala sesuatu yang menyangkut kondisi
kesehatan pasien. Dikaitkan dengan pola hubungan dokter-pasien yang
berlandaskan pada kepercayaan (Pasal 39 UU No.29/2004 jo Pasal 14 Permenkes
No.512/2007) maka adalah suatu kewajiban bagi dokter untuk merahasiakan
segala sesuatu tentang pasien bahkan hingga pasien meninggal dunia (Sumpah
Hippocrates dan KODEKI). Namun kewajiban ini bukan saja suatu kewajiban
moral dan etik melainkan sudah memasuki ranah hukum. Kewajiban bagi dokter
untuk menyimpan rahasia pasiennya, yang kemudian dikenal dengan istilah hak
atas rahasia kedokteran (the right of medical secrecy) di samping secara tegas
diatur di dalam ketiga undang-undang pokok, hak ini sebelumnya telah diatur di
dalam PP No.10 tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.
Pemerintah mengakui arti penting terhadap hak ini sehingga perlu
memberikan perlindungan yang lebih kuat melalui upaya hak gugat atas
pelanggaran rahasia kedokteran yang dilakukan dokter yang dianggap melahirkan
kerugian bagi pasien.Bahkan jeratan hukum pidana melalui KUHP pun dapat
diberlakukan apabila pasien merasa dirugikan.Dalam hukum pidana, tindakan
pembocoran rahasia kedokteran tanpa alas hak yang sah merupakan sebuah delik
aduan (klach delik) dan bersifat sebagai delik formal. Hukum pun memberi
perlindungan kepada dokter untuk menjaga kerahasiaan pasiennya di dalam suatu
proses peradilan pidana melalui hak tolak ungkap (Pasal 108, Pasal 120, dan Pasal
170).
Di dalam pelaksanaan praktek kedokteran di Indonesia, penyelenggaraan
informed consent dan rahasia kedokteran ini mempunyai karakteristik yang
berbeda dengan pelaksanaan di negara-negara maju, yang lebih mengutamakan
nilai kebebasan dan individualistic.Bila pada prinsipnya rahasia kedokteran harus
183
Majalah Hukum Forum Akademika
dipegang teguh oleh dokter dan tidak diperkenankan dibuka pada siapapun tanpa
seijin pasien itu sendiri, di Indonesia prinsip ini mendapat sedikit penyimpangan
terutama terkait dengan penggunaan hak waiver.Hak waiver adalah hak pasien
untuk menolak diberi informasi oleh dokter tentang kondisi penyakitnya.
Demikian pula apa yang disebut dengan hak previleges dokter, yang merupakan
hak dokter berdasarkan penilaian medisnya untuk tidak memberitahukan kondisi
kesehatan pasien kepada pasien itu sendiri karena dikhawatirkan akan membuat
kondisi pasien bertambah parah. Di negara-negara liberalis, hak waiver dan hak
clinical previleges ini akan meniadakan kewajiban dokter untuk menyampaikan
informasi terkait kondisi pasien. Namun di Indonesia, kedua hak ini tidak
menggugurkan kewajiban dokter, hanya mengalihkan kewajiban tersebut pada
surrogate patient (istilah yang dipergunakan untuk anggota keluarga terdekat atau
wali yang berwenang memberikan persetujuan ketika pasien sendiri dalam
keadaan inkompeten).
Undang-undang telah mewajibkan dokter dan rumah sakit untuk melakukan
rekam medis atas semua yang berhubungan dengan kondisi kesehatan seorang
pasien. Hal ini berarti segala sesuatu yang disetujui atau ditolak pasien terkait
tindakan medis terhadap dirinya, termasuk pemberian berbagai obat-obatan,
merupakan bagian dari hal yang harus dirahasikan dokter dari pihak ketiga yang
tidak berwenang untuk mengetahui dan tanpa seijin pasien. Pemahaman ini
melahirkan imlplikasi hukum bahwa berkas rekam medis yang diselenggarakan
oleh health providers merupakan milik dokter/RS namun isi rekam medis
merupakan milik pasien, sehingga pihak dokter/RS tidak diperkenankan untuk
menghalangi-halangi keinginan pasien yang meminta isi rekam medis untuk
kepentingan diri pasien itu sendiri (Pasal 12 Permenkes No.269/2008). Oleh
karena itu hak ini cenderung disebut dengan hak inzage rekam medis atau hak
akses terhadap isi (hak untuk melihat) rekam medis dan bukan hak terhadap
berkas rekam medis itu sendiri.Kondisi ini yang masih sering ditemukan
kesalahpahaman antara dokter/RS dengan pihak pasien. Di satu sisi pasien
menganggap rekam medis adalah miliknya karena berisikan segala informasi
tentang kesehatan dirinya yang hanya boleh diketahui orang lain (pihak ketiga)
184
Majalah Hukum Forum Akademika
dengan seiijin dirinya sehingga ia dapat meminta dan memperoleh rekam medis
tersebut ketika ia menghendaki. Namun di sisi lain, pihak dokter/RS pun
beranggapan bahwa rekam medis adalah milik fasilitas kesehatan yang bersifat
rahasia sehingga tidak boleh dibaca/diketahui oleh pihak luar selain dokter yang
merawat atau tenaga kesehatan tertentu yang telah diberi kewenangan untuk itu.
Perselisihan ini dapat menjadi pemicu konflik yang berkepanjangan seperti kasus
Pritta Mulyasari vs RS Omni Internasional yang berakhir di pengadilan.Oleh
karena itu penulis menganggap perlu untuk memahami makna sebenarnya dari
sebuah rekam medis, pihak-pihak yang berwenang dan hak serta kewajiban yang
melingkupi pihak-pihak tersebut agar tidak terulang sengketa medis yang bermula
dari masalah rekam medis.
185
Majalah Hukum Forum Akademika
186
Majalah Hukum Forum Akademika
187
Majalah Hukum Forum Akademika
188
Majalah Hukum Forum Akademika
7
Lihat PP Nomor 39 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan yang menyebutkan jenis-jenis tenaga
kesehatan salah satunya adalah tenaga medis yang mencakup dokter dan dokter gigi.
8
Danny Wiradharma; 2003; Aspek Etis & Yuridis Tindakan Medis; Penerbit Universitas Trisakti;
hlm 38
189
Majalah Hukum Forum Akademika
190
Majalah Hukum Forum Akademika
C. Penutup
1. Kesimpulan
1.1. Pengakuan terhadap hak-hak pasien di dalam suatu penyelenggaraan transaksi
terapeutik merupakan salah satu unsur yang tidak dapat diabaikan di dalam proses
peningkatan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya yang merupakan hak setiap
warga negara di bidang kesehatan. Pemerintah melalui instrument normatifnya
telah berupaya memberikan perlindungan hukum melalui berbagai peraturan
perundang-undangan yang menjadi landasan pemenuhan hak-hak pasien oleh
penyelenggara pelayanan kesehatan (health providers).Meskipun hingga kini
peraturan perundangan-undangan yang memuat tentang hak-hak pasien tersebut
masih bersifat kompleks dalam arti menyebar daam berbagai perundang-
undangan, namun tetap berupaya mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dan
perlindungan terhadap hak asasi.Hak dasar pasien dapat dikatagorikan ke dalam
191
Majalah Hukum Forum Akademika
hak yang bersifat sosial dan individu. Beberapa hak pasien yang telah mendapat
landasan yuridis di dalam pelaksanaannya yakni:
1. Hak akses terhadap fasilitas kesehatan
2. Hak memilih dan mendapatkan tindakan/pelayanan kesehatan yang
sesuai kebutuhannya
3. Hak atas informed consent (termasuk di dalamnya hak informed
refusal dan hak waiver)
4. Hak atas rahasia kedokteran
5. Hak inzage rekam medis
6. Hak atas second opinion
7. Hak gugat
8. Hak keagamaan; dan
9. Hak publikasi.
Pengakuan dan pelindungan hak-hak tersebut diatur di dalam UU Nomor
29 Tahun 2004 tentang praktik Kedokteran, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
kesehatan, UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Peraturan Pemerintah
Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan,Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/MENKES/SK/X/2002
tentang Persetujuan Penelitian Kesehatan Terhadap Manusia, Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/X/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008
tentang Rekam Medis, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang
Wajib Simpan Rahasia Kedokteran, dan dengan melakukan interpretasi maka
dapat diterapkan beberapa ketentuan di dalam KUHP dan KUHAP.
1. 2. Ditinjau dari prinsip hak dasar, hak-hak pasien dalam suatu transaksi
terapeutik dapat berfungsi sebagai Refleksi pengakuan hak-hak asasi manusia di
bidang kesehatan karena pada prinsipnya hak-hak tersebut lahir dari the right to
health care dan the right of self determination. Oleh karena itu substansi dan
mekanisme pemenuhan hak-hak tersebut harus tetap mengedepankan nilai-nilai
kemanusiaan.Hak-hak pasien juga berfungsi sebagai indikator penentu ada
192
Majalah Hukum Forum Akademika
193
Majalah Hukum Forum Akademika
Daftar Pustaka
Alexandra Indriyanti Dewi; 2008; Etika dan Hukum Kesehatan; Pustaka Book
Publisher; Yogyakarta
Anny Isfandyarie; 2006; Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku
I; Prestasi Pustaka Publisher; Jakarta
Danny Wiradharma; 2003; Aspek Etis & Yuridis Tindakan Medis; Penerbit
Universitas Trisakti
Titon Slamet Kurnia; 2007; Hak Atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM
di Indonesia; PT Almuni; Bandung
Perundang-undangan:
194