Anda di halaman 1dari 13

BENTUK SENGKETA & TEKNIK PENANGANAN PERKARA

OLEH
TIM PEMAKALAH:
I.B PUTRA ATMADJA, SH.,MH
SAGUNG PUTRI M.E. PURWANI, SH.,MH

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
Denpasar-2018
BENTUK SENGKETA & TEKNIK PENANGANAN PERKARA

OLEH

1
TIM PEMBUAT MAKALAH

Pendahuluan

Ada dua jenis hubungan hukum antara pasien dan dokter dalam pelayanan

kesehatan, yaitu hubungan karena terjadinya kontrak terapeutik dan hubungan karena

adanya peraturan-perundangan. Hubungan yang pertama, diawali dengan perjanjian

(tidak tertulis) sehingga kehendak kedua belah pihak diasumsikan terakomodasi pada

saat kesepakatan tercapai. Kesepakatan yang dicapai antara lain berupa persetujuan

tindakan medis atau malah penolakan pada sebuah rencana tindakan medis. Hubungan

karena peraturan-perundangan biasanya muncul karena kewajiban yang dibebankan

kepada dokter karena profesinya tanpa perlu dimintakan persetujuan pasien.

Bagian yang sangat esensial dalam hubungan kontrak terapeutik adalah

komunikasi. Informasi yang lengkap dari pasien. Informasi ini diperlukan dokter untuk

kepentingan asosiasi dalam temuan dalam rangka menegakkan diagnosa dan merancang

pengobatan. Sementara itu informasi lengkap dari dokter diperlukan pasien untuk

menentukan persetujuannya dalam tindakan medis yang memenuhi standar.

Secara hukum hubungan antara dokter dan pasien berlangsung sebagai

hubungan biomedis aktif-pasif. Hubungan ini adalah hubungan pelayanan kesehatan.

(ahli lain menyebutnya sebagai hubungan medik). Dalam hubungan demikian

superioritas dokter terhadap pasien sangat dominan. Yaitu dokter aktif menemukan sign

and symphtom, membuat asosiasi dan mengambil keputusan. Dalam paradigma lama,

pasien selalu pasrah, diam dan ditentukan. Dari sisi pandang hukum pribadi, hubungan

ini tampak berat sebelah, tidak sempurna, dan potensial melahirkan masalah. Banyak

pihak beranggapan bahwa disini terasa ada unsur pemaksaan kehendak dokter pada

2
pasien. Alasannya walaupun didasarkan pada keahlian khusus, komunikasi yang buruk

dari dokter tetap membuka dan memberi celah munculnya ketidak puasan pasien. Oleh

karena hubungan dokter pasien merupakan hubungan antar manusia, seyogyanya

hubungan itu merupakan hubungan yang mendekati persamaan hak antar manusia.

Dokter dan pasien adalah dua subyek hukum yang terkait dalam Hukum

Kedokteran. Keduanya membentuk baik hubungan medik maupun hubungan hukum.

Hubungan medik dan hubungan hukum antara dokter dan pasien adalah hubungan yang

obyeknya pemeliharaan kesehatan pada umumnya dan pelayanan kesehatan pada

khususnya. Sengketa Medik adalah sengketa yang terjadi antara pasien atau keluarga

pasien dengan tenaga kesehatan atau antara pasien dengan rumah sakit / fasilitas

kesehatan. Biasanya yang dipersengketakan adalah hasil atau hasil akhir pelayanan

kesehatan dengan tidak memperhatikan atau mengabaikan prosesnya. Padahal dalam

hukum kesehatan diakui bahwa tenaga kesehatan atau pelaksana pelayanan kesehatan

saat memberikan pelayanan hanya bertanggung jawab atas proses atau upaya yang

dilakukan (Inspanning Verbintennis) dan tidak menjamin/ menggaransi hasil akhir

(Resultalte Verbintennis). Biasanya pengaduan dilakukan oleh pasien atau keluarga

pasien ke instansi kepolisian dan juga ke media massa. Akibatnya sudah dapat diduga

pers menghukum tenaga kesehatan mendahului pengadilan dan menjadikan tenaga

kesehatan sebagai bulan-bulanan, yang tidak jarang merusak reputasi nama dan juga

karir tenaga kesehatan ini. Sementara itu pengaduan ke kepolisian baik di tingkat

Polsek, Polres maupun Polda diterima dan diproses seperti layaknya sebuah perkara

pidana. Menggeser kasus perdata ke ranah pidana, penggunaan pasal yang tidak

konsisten, kesulitan dalam pembuktian fakta hukum serta keterbatasan pemahaman

3
terhadap seluk beluk medis oleh para penegak hukum di hampir setiap tingkatan

menjadikan sengketa medik terancam terjadinya disparitas pidana.

Sengketa yang terjadi antara dokter dengan pasien biasanya disebabkan oleh

kurangnya informasi dari dokter, padahal informasi mengenai segala sesuatu yang

berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan oleh dokter merupakan hak pasien,

hal tersebut terjadi karena pola paternalistik yang masih melekat dalam hubungan

tersebut. Upaya penyelesaian sengketa melalui peradilan umum yang selama ini

ditempuh tidak dapat memuaskan pihak pasien, karena putusan hakim dianggap tidak

memenuhi rasa keadilan pihak pasien. Hal ini disebabkan sulitnya pasien atau Jaksa

Penuntut Umum maupun Hakim untuk membuktikan adanya kesalahan dokter.

Kesulitan pembuktian dikarenakan minimnya pengetahuan mereka mengenai

permasalahan-permasalahan tehnis sekitar pelayanan medik.

Penyelesaian sengketa yang dianggap ideal bagi para pihak adalah

penyelesaian yang melibatkan para pihak secara langsung sehingga memungkinkan

dialog terbuka, dengan demikian keputusan bersama kemungkinan besar dapat tercapai.

Disamping itu karena pertemuan para pihak bersifat tertutup maka akan memberikan

perasaan nyaman, aman kapada para pihak yang terlibat sehingga kekhawatiran

terbukanya rahasia dan nama baik yang sangat dibutuhkan oleh dokter maupun sarana

pelayanan kesehatan dapat dihindari.

Konflik adalah sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan pada

perbedaan kepentingan. Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sengketa

apabila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puasnya atau

keprihatinannya baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab

kerugian atau kepada pihak lain. Jadi konflik dapat berubah atau berlanjut menjadi

4
sengketa, yang berarti pula bahwa sebuah konflik yang tidak terselesaikan akan berubah

menjadi sengketa.

Pasal 66, :Undang-undang Nomor Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran

Ayat (1): Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas

tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat

mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran

Indonesia.

DIMENSI HUKUM SENGKETA MEDIK DALAM DIMENSI

PELAYANAN KESEHATAN

Berbicara sengketa medik dalam pelayanan kesehatan ada dua hal yang perlu

mendapat perhatian serius karena kedua memberikan konsekwensi hukum yang

menuntut pertanggungan jawab dokter sebagai tenaga kesehatan dan atau rumah

sakit/klinik sebagai fasilitas kesehatan.

KELALAIAN MEDIK

Kelalaian medik adalah sebuah sikap atau tindakan yang dilakukan oleh

dokter/dokter gigi atau tenaga kesehatan lainnya yang merugikan pasien. Menurut

kepustakaan ada beberapa pandangan tentang kelalaian medik. Secara umum kelalaian

medik dimaknai sebagai melakukan sesuatu yang tidak semestinya dilakukan atau tidak

melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Pendapat lain juga mengatakan

kelalaian adalah tidak melakukan sesuatu apa yang seorang yang wajar yang

berdasarkan pertimbangan biasa yang umumnya mengatur peristiwa manusia, akan

melakukan, atau telah melakukan sesuatu yang wajar dan hati-hati justru tidak akan

5
melakukan. Pandangan lain menyatakan kelalaian adalah suatu kegagalan untuk

bersikap hati-hati yang secara wajar dilakukan dalam ukuran umum.

Menurut Oemar Seno Adji, “voorportaal” (pintu muka) untuk dapat

menentukan ada tidaknya malpraktik medik, khususnya dalam hal unsur kelalaian.

1. Adanya kecermatan (zorgvuldigheid), artinya seorang dokter mempunyai

kemampuan yang normal, suatu zorgvuldigheid yang biasa, dengan hubungan

yang wajar dalam tujuan merawat (pasien).

2. Adanya diagnosis dan terapi, artinya perbuatan-perbuatan ini dilakukan dokter

yang sangat tergantung dari ilmu pengetahuan yang ia miliki, kemampuan

yang wajar dan pengalaman yang ada.

3. Standard profesi medis yang mengambil ukuran:

a. Dokter memiliki kemampuan rata-rata (average).

b. Equal category and condition (kategori dan keadaan yang sama).

Seorang dokter spesialis tentunya memiliki persyaratan yang lebih berat

dari dokter umum, atau kategori dokter di Puskesmas akan berlainan

dengan dokter di rumah sakit moderen dengan sarana dan prasarana yang

lengkap.

c. Asas proporsionalitas dan subsidiaritas, yaitu adanya keseimbangan yang

wajar dengan tujuan untuk menangani pasiennya.

Pada kenyataannya, dalam penanganan pasien, sering terjadi beda sudut

pandang antara pasien dan dokter. Perbedaan sudut pandang ini dapat berlanjut menjadi

sengketa antara pasien dan dokter dengan gugatan atau tuntutan dokter telah melakukan

kelalaian medik. Seperti dijelaskan dalam tinjauan malpraktik medik dan kelalaian

medik sebelumnya, perkara dugaan kelalaian medik di negara common law memakai

6
pendekatan tort, dimana secara hukum lebih banyak menggunakan pendekatan hukum

perdata. Hal ini berbeda dengan sistem hukum di Indonesia yang menempatkan perkara

dugaan kelalaian medik sebagai pelanggaran etika profesi, disiplin profesi ataupun

hukum pada umumnya baik perdata maupun pidana, sebagaimana Agus Purwadianto

mengatakan bahwa „Risiko pengobatan yang tidak diinginkan dalam proses pengobatan

dapat terjadi karena empat hal, yaitu: Dokter yang mengobati melakukan praktik di

bawah standar profesi, melanggar etik, melanggar disiplin, dan melanggar hukum“

Perspektif hukum perdata, gugatan atas dugaan kelalaian medik dapat

menggunakan pasal-pasal sebagai berikut :

1. Wanprestasi, dengan memakai pasal 1239 KUH Perdata. Pasal ini dapat dipakai jika

hubungan hukum yang terbentuk antara dokter-pasien adalah perjanjian yang

berorientasi hasil (resultaat verbintenis).

2. Kelalaian dengan menggunakani pasal 1366 KUH Perdata sebagai berikut : “Setiap

orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya,

tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”.

Perspektif hukum pidana dikenal adanya kesalahan (schuld), baik yang berupa

kesengajaan (opzet, dolus) maupun kelalaian / kealpaan (culpa). Kesengajaan yang

sering disebut Criminal Malpractice sangat kecil angka kejadiannya; contohhya antara

lain adalah melakukan abortus tanpa indikasi medik dan euthanasia aktif.

Kelalaian yang dilakukan dokter sesuai tolok ukur kelalaian berat atau culpa

lata (grove schuld, gross negligence) seperti yang diatur dalam KUHP pada pasal 359

dan 360 . Berikut adalah pasal-pasal KUHP yang memungkinkan dikenakan kepada

dokter dan diindikasikan sebagai tindakan pidana adalah:

1. Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.

7
2. Pasal 359 KUHP yaitu karena kesalahannya menyebabkan orang mati.

3. Pasal 360 KUHP yaitu karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat.

4. Pasal 361 KUHP yaitu karena kesalahannya dalam melakukan suatu jabatan atau

pekerjaannya hingga menyebabkan mati atau luka berat akan dihukum lebih

berat.

5. Pasal 322 KUHP tentang pelanggaran rahasia kedokteran.

6. Pasal 346, 347, 348 KUHP yang berkenaan dengan abortus provocatus.

7. Pasal 344 KUHP tentang euthanasia.

8. Pasal 304 KUHP sebagai pembiaran.

Tuntutan atau gugatan kelalaian medik yang dialamatkan ke dokter pada

hakekatnya adalah proses hukum yang ingin meminta pertanggungjawab atas kesalahan

yang dibuatnya, baik yang berupa kelalaian maupun kesengajaan. Dengan kata lain

tanggungjawab dokter lah yang menjadi obyek tuntutan atau gugatan kelalaian medik,

dengan wujud tanggungjawab dokter dapat berbentuk ganti rugi atau hukuman lain

sesuai keputusan hakim.

Ditinjau dari hubungan hukum, tanggungjawab dokter dapat dilihat dari dua

aspek, yaitu :

1). Tanggungjawab professional (verantwoordelijkheid).

2). Tanggungjawab hukum (aansprakelijkheid).

Penyelesaian sengketa medik dalam hal pembiaran medik yang dilakukan oleh

tenaga kesehatan di rumah sakit dapat di selesaikan dengan beberapa penuntutan, baik

secara pidana maupun secara perdata namun dalam perjalanan perkembangan hukum

kesehatan tidak menutup kemungkinan penyelesaian sengketa medik dapat diselesaikan

melalui mediasi medis, atau kalau memang harus di selesaikan di tingkat pengadilan

8
maka sangat dibutuhkan suatu pengadilan umum yang hakim-hakimnya sebaiknya

hakim yang memahami secara khusus tentang kesehatan atau telah dilatih khusus untuk

penyelesaian sengketa medik.

PEMBIARAN MEDIK

Pembiaran medik ini sering kali terjadi di rumah sakit terlebih khusus bagi

masyarakat atau pasien miskin dengan alasan harus memenuhi beberapa syarat

administrasi, pembiaran medik juga sering terjadi pada Instalasi Gawat Darurat (IGD)

atau Unit Gawat Darurat (UGD) setiap pasien yang masuk ke unit tersebut seringkali

tidak diberikan pelayanan yang memadai sehingga dapat terjadi pembiaran, dalam hal

tersebut, dokter atau tenaga kesehatan yang bertugas di unit tersebut harus bertanggung

jawab, dalam pertanggung jawab tersebut juga tidak lepas dari peran rumah sakit yang

melaksanakan pelayanan kesehatan.

Kasus pembiaran medik yang berdampak pada kecacatan atau kematian kepada

pasien menimbulkan dampak hukum yang sangat besar, namun begitu karena

ketidaktahuan atau kurang pahamnya pasien dalam sistem pelayanan kesehatan menjadi

suatu hal yang biasa saja. Dalam sistem hukum Indonesia pembiaran medik secara

umum belum tercantum secara jelas namun dalam hal yang demikian dapat diasumsikan

ke dalam beberapa peraturan perundang-undangan.

Penjelasan di atas sedikit banyak telah mengulas tentang pelayanan kesehatan

di rumah sakit yang menyebabkan banyak kejadian yang bertentangan dengan standar

prosedur pelayanan kesehatan yang berdampak pada penuntutan atau gugatan hukum,

maka diwajibkan kepada tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan

khususnya di rumah sakit dalam menjalankan tugasnya harus sesuai dengan standar

prosedur pelayanan kesehatan yang telah ditetapkan di rumah sakit.

9
Bila terjadi sengketa medik, penyelesaiannya yang ada pada saat ini, ada dua

jalur yaitu jalur Litigasi dan jalur Non Litigasi. Dari ke 2(dua) jalur tersebut ada 5 (lima)

lembaga penyelesaian. Ke 5 (lima) lembaga penyelesaian sengketa medik tesebut

adalah: Lembaga Peradilan Hukum Perdata, Lembaga Peradilan Hukum Pidana, Majelis

Kehormatan etika kedokteran Indonesia(MKEK), Panitia Pertimbangan dan Pembinaan

etik kedokteran (P3EK), serta melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran

Indonesia(MKDKI).

Kasus Sengketa Medis

 Salah satu contoh sengketa medik adalah kasus Josua Situmorang yang meninggal

dunia setelah menerima tindakan pencabutan gigi oleh drg. Didi Alamsyah. Tindakan

tersebut dilakukan tanpa adanya Informed Consent dan dilakukan pada saat Josua

mengalami pembengkakan pada gusinya. Saat ini keluarga Josua berniat untuk

menuntut drg. Alamsyah dengan dugaan malpraktek. Tuntutan atas drg. Alamsyah

dapat berupa tuntutan pidana dan perdata dan sekaligus secara etika karena bukan

hanya norma hukum yang dilanggar tetapi juga norma-norma dalam etika profesi

kedokteran atau etikolegal

 The Straits Times, 25 oktober 1986:

Harian ini memuat berita tentang seorang ahli bedah yang melakukan operasi pada

tumor paru atas. Tumor tersebut agak besar dan terletak ditempat yang sulit, didekat

pembuluh darah arteri. Operasi harus dilakukan, karena tanpa operasi diperkirakan

umur pasien tinggal 6 bulan lagi. Tindakan operasi yang dilakukan sangat beresiko,

karena letaknya yang berdekatan dengan jantung dan pembuluh darh besar. Pada

waktu dilakukan operasi, terjadi "kecelakaan" yang tak disengaja dengan tertusuknya

10
dua pembuluh darah, dan perdarahan yang terjadi tidak dapat dihentikan, karena

banyaknya perlekatan-perlekatan didaerah tersebut. Berdasarkan keterangan ahli,

operasi ini memang sulit sekali untuk bisa dilakukan, sehingga dokter ahli bedah

yang terpandai sekalipun mungkin akan dapat mengalami hal yang sama. Walaupun

akhirnya pasien meninggal, dokter tidak dapat dipersalahkan.

 Demikian juga dalam kecelakaan medis yang merupakan kecelakaan murni tanpa

ditemukan adanya unsur kelalaian pada dokter, dokter tidak bisa dipersalahkan bila

terjadi akibat yang tidak dikehendaki pasien yang akibat tersebut disebabkan oleh

kecelakaan medis yang tidak dapat diduga sebelumnya. Untuk menentukan bahwa

akibat yang diderita pasien merupakan kecelakaan medis dan bukan merupakan

kelalaian medis, memberikan ciri-ciri sebagai berikut :

a. Kecelakaan merupakan peristiwa yang tidak terduga, tindakan yang tidak

disengaja (accident, misfortune, bad fortune, mischance, ill luck).

b. Tidak ditemukan adanya unsur kesalahan (schuld) dalam kecelakaan.

c. Dokter sudah melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar profesi

medis dan etika profesi.

d. Kecelakaan yang mengandung unsur yang tidak dapat dipersalahkan

(verwijtbaarheid), tidak dapat dicegah (vermijdbaarheid) dan terjadinya

tidak dapat diduga sebelumnya.

e. Dokter sudah melakukan tindakan dengan hati-hati, melakukan upaya

dengan sungguh-sungguh dengan menggunakan segala ilmunya,

keterampilan dan pengalaman yang dimilikinya.

11
f. Dokter telah berusaha meminimalisasi resiko yang mungkin terjadi dengan

melakukan anamnese yang teliti, pemeriksaan pendahuluan yang adekuat,

dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan.

g. Dalam hal kasus pembedahan / pembiusan, dokter telah berusaha

melakukan terapi awal terhadap kelalaian yang ditemukan atau telah

melakukan konsultasi dengan spesialis lainnya yang berkompeten terhadap

kelainan yang diderita pasiennya

12
Daftar Pustaka

Barda Nawawi A, 2007. Mediasi penal dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan
,disampaikan dalam Seminar Nasional: Pertanggungjawaban Hukum dalam Kontek Good
Corporate Goverance, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Jakarta.

Edi Soponyono, 2008, Pemahaman etik medikolegal, pedoman bagi profesi dokter
(memahami pasal-pasal perdata dan pidana berkaitan dengan profesi dokter serta kiat
menghadapi somasi dan teknik pelaksanaan persidangan di Pengadila), Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang

Endang Kusuma Astuti, 2009, Perjanjian terapeutik dalam upaya pelayanan medis di Rumah
Sakit, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Khotibul Umam, 2010. Penyelesaian sengketa di luar pengadila, Pustaka Yustisia. Yogyakarta

Liliana Tedjosaputro, 2010. Bahan kuliah hukum perlindungan konsumen kesehatan,


UNTAG, Semarang.

M. Yahya Harahap, 2009. Hukum acara perdata, Sinar Grafika. Jakarta

13

Anda mungkin juga menyukai