Anda di halaman 1dari 15

Malpraktek dan Pertanggungjawaban Hukumnya

Pendahuluan
Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum, dengan
berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhannya tentang perlindungan
hukum menjadikan dunia pengobatan bukan saja sebagai hubungan keperdataan,
bahkan sering berkembang menjadi persoalan pidana. Banyak persoalan-persoalan
malpraktek yang kita jumpai, atas kesadaran hukum pasien maka diangkat menjadi
masalah pidana. Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu pemikiran dan langkah-
langkah yang bijaksana sehingga masing-masing pihak baik dokter maupun pasien
memperoleh perlindungan hukum yang seadil adilnya. Membiarkan persoalan ini
berlarut-larut akan berdampak negativ terhadap pelayanan medis yang pada akhirnya
akan dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Memang disadari oleh semua
pihak, bahwa dokter hanyalah manusia yang suatu saat bisa salah dan lalai sehingga
pelanggaran kode etik bisa terjadi, bahkan mungkin sampai pelanggaran norma-
norma hukum. Soerjono Soekanto dan Kartono Muhammad berpendapat bahwa
belum ada parameter yang tegas tentang batas pelanggaran kode etik dan
pelanggaran hukum.
Belum adanya parameter yang tegas antara pelanggaran kode etik dan pelanggaran
didalam perbuatan dokter terhadap pasien tersebut, menunjukan adanya kebutuhan
akan hukum yang betul-betul diterapkan dalam pemecahan masalah-masalah medik,
yang hanya bisa diperoleh dengan berusaha memahami fenomena yang ada didalam
profesi kedokteran.
Sekalipun pasien atau keluarganya mengetahui bahwa kualitas pelayanan yang
diterimanya kurang memadai, seringkali pasien atau keluarganya lebih memilih diam
karena kalau mereka menyatakan ketidak puasannya kepada dokter, mereka khawatir
kalau dokter akan menolak menolong dirinya yang pada akhirnya bisa menghambat
kesembuhan sang pasien. Walapun demikian tidak semua pasien memilih diam
apabila pelayanan dokter tidak memuaskan dirinya ataupun keluarganya terutama
bila salah satu anggota keluarganya ada yang mengalami cacat atau kematian setelah
prosedur pengobatan dilakukan oleh dokter. Berubahnya fenomena tersebut terjadi
karena perubahan sudut pandang terhadap dokter dengan pasiennya.
Kedudukan pasien yang semula hanya sebagai pihak yang bergantung pada dokter
dalam menentukan cara penyembuhan (terapi) kini berubah menjadi sederajat dengan
dokter. Dengan demikian dokter tidak boleh lagi mengabaikan pertimbangan dan
pendapat pihak pasien dalam memilih cara pengobatan termasuk pendapat pasien
untuk menentukan pengobatan dengan operasi atau tidak. Akibatnya apabila pasien
merasa dirugikan dalam pelayanan dokter maka pasien akan mengajukan gugatan
terhadap dokter untuk memberikan ganti rugi terhadap pengobatan yang dianggap
merugikan dirinya. Dokterpun bereaksi, tindakan-tindakan penuntutan dipengadilan
itu mereka anggap sebagai ancaman. Penerapan hukum dibidang kedikteran
dianggap sebagai intervensi hukum. Mereka mengemukakan bahwa KODEKI (Kode
Etik Kedokteran Indonesia) sudah cukup untuk mengatur dan mengawasi dokter
dalam bekerja, sehingga tidak perlu lagi adanya intervensi hukum tersebut. Lebih
jauh dari itu kekhawatiran paling utama adalah profesi kedokteran akan kehilangan
martabatnya manakala diatur oleh hukum. Dokter merasa resah dan merasa
diperlakukan tidak adil sehingga mereka menuntut perlindungan hukum agar dapat
menjalankan profesinya dalam suasana tentram. Sampai sekarang yang mereka
persoalkan adalah perlindungan hukum dan bukan mengenai masalah tanggung
jawab hukum serta kesadaran hukum dokter dalam menjalankan profesinya. Hal ini
menunjukan kurangnya pengertian mengenai Etika dan Hukum dalam kalangan
dokter. Demikian juga kerancuan pemahaman atas masalah medical malpractice,
masih sering dianggap pelanggaran norma etis profesi saja yang tidak seharusnya
diberikan sanksi ancaman pidana.
Kenyataan menunjukan bahwa kemajuan teknologi memang mampu meningkatkan
mutu dan jangkauan diagnosis (penentuan jenis penyakit) dan terapi (penyembuhan)
sampai batasan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Namun demikian tidak
selalu mampu menyelesaikan problema medis seseorang penderita, bahkan kadang-
kadang muncul problem baru dimana untuk melakukan diagnosa dokter sangat
bergantung pada alat bantu diagnosis. Patut disadari bahwa ilmu dokter bukanlah
ilmu pasti, menentukan diagnosis merupakan seni tersendri karena memerlukan
imajinasi setelah mendengar keluhan-keluhan pasien dan melakukan pengamatan
yang seksama terhadapnya. Hipocrates mengatakan bahwa ilmu kedokteran
merupakan perpaduan antara pengetahuan dan seni (science and art) yang harus
diramu sedemikian sehingga menghasilkan suatu diagnosa yang mendekati
kebenaran.
Memang kita harus berkata jujur bahwa profesi kedokteran merupakan suatu profesi
yang penuh dengan resiko dan kadang-kadang dalam mengobati penderita atau
pasien dapat terjadi kematian sebagai akibat dari tindakan dokter. Resiko ini
kadangkala diartikan oleh pihak luar profesi kedokteran sebagai malpraktek medik.
Latar belakang timbulnya Malpraktek
Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan
pengobatan terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan medis yang
dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang
membutuhkan penyembuhan. Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut
terjadi transaksi terapeutik artinya masing-masing pihak mempunyai hak dan
kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis yang sebaik-baiknya
bagi pasien. Pelayanan media ini dapat berupa penegakan diagnosis dengan benar
sesuai prosedur, pemberian terapi, melakukan tindakan medik sesuai standar
pelayanan medik, serta memberikan tindakan wajar yang memang diperlukan untuk
kesembuhan pasiennya. Adanya upaya maksimal yang dilakukan dokter ini adalah
bertujuan agar pasien tersebut dapat memperoleh hak yang diharapkannya dari
transaksi yaitu kesembuhan ataupun pemulihan kesehatannya. Namun
adakalanya hasil yang dicapai tidak sesuai dengan harapan masing-masing pihak.
Dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien, adakalanya pasien menderita cacat atau
bahkan sampai terjadi kematian dan tindakan dokterlah yang diduga sebagai
penyebab kematian tersebut. Dalam hal terjadi peristiwa yang demikian inilah dokter
sering kali dituduh melakukan kelalaian yang pada umumnya dianggap sebagai
malpraktek.
Jenis Malpraktek
Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan
da dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma
yang berlaku untuk dokter.
Ngesti Lestari berpendapat bahwa malpraktek etik ini merupakan dampak negative
dari kemajuan teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang
sebenarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien,
dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih
cepat, lebbih tepat dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat,
ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan.
Efek samping ataupun dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran tersebut
antara lain :
Kontak atau komunikasi antara dokter dengan pasien semakin berkurang
Etika kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis.
Harga pelayanan medis semakin tinggi, dsb.
Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran yang merupakan
malpraktek etik ini antara lain :
Dibidang diagnostic
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak
diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena
laboratorium memberikan janji untuk memberikan “hadiah” kepada dokter yang
mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan
hadiah tersebut.
Dibidang terapi
Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji
kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut,
kadang-kadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan
terapi kepada pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji pabrik obat yang
sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga merupakan
malpraktek etik.
Malpraktek Yuridik
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridik ini menjadi :
Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian
(wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain,
atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga
menimbulkan kerugian pada pasien.
Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :
Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melaksanakannya.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah
memenuhi beberapa syarat seperti :
Harus ada perbuatan (baik berbuat naupun tidak berbuat)
Perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupuntidak tertulis)
Ada kerugian
Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang melanggar hukum
dengan kerugian yang diderita.
Adanya kesalahan (schuld)
Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian
dokter, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsure berikut :
Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien.
Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim.
Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
Namun adakalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya kelalaian dokter.
Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “res ipsa loquitor” yang artinya fakta telah
berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter terdapat kain kasa yang tertinggal dalam
perut sang pasien tersebut akibat tertinggalnya kain kasa tersebut timbul komplikasi
paksa bedah sehingga pasien harus dilakukan operasi kembali. Dalam hal demikian,
dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.
Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)
Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau
tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atua kurang cermat dalam melakukan
upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional)
Misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia,
membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat
padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan
surat keterangan dokter yang tidak benar.
Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness)
Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar
profesi serta melakukan tindakn tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence)
Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang
kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga
tubuh pasien.
Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice)
Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap
hukum Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter
tanpa lisensi atau izinnya, manjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa
dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana
Untuk memidana seseorang disamping orang tersebut melakukan perbuatan yang
dilarang dikenal pula azas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa kesalahan).
Azas ini merupakan hukum yang tidak tertulis tetapi berlaku dimasyarakat dan juga
berlaku dalam KUHP, misalnya pasal 48 tidak memberlakukan ancaman pidana bagi
pelaku yang melakukan perbuatan pidana karena adanya daya paksa. Oleh karena itu
untuk dapat dipidananya suatu kesalahan yang dapat diartikan sebagai
pertanggungjawaban dalam hukum pidana haruslah memenuhi 3 unsur, sebagai
berikut :
Adanya kemampuan bertanggung jawab pada petindak artinya keadaan jiwa petindak
harus normal.
Adanya hubungan batin antara petindak dengan perbuatannya yang dapat berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
Tidak adanya alas an penghapus kesalahan atau pemaaf.
Perbedaaan kesengajaan dan kealpaan.
Mengenai kesengajaan, KUHP tidak menjelaskan apa arti kesengajaan tersebut.
Dalam Memorie van Toelichting (MvT), kesengajaan diartikan yaitu melakukan
perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki dan diketahui.
Dalam tindakannya, seorang dokter terkadang harus dengan sengaja menyakiti atau
menimbulkan luka pada tubuh pasien, misalnya : seorang ahli dokter kandungan
yang melakukan pembedahan Sectio Caesaria untuk menyelamatkan ibu dan janin.
Ilmu pengetahuan (doktrin) mengartikan tindakan dokter tersebut sebagai
penganiayaan karena arti dan penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Didalam
semua jenis pembedahan sebagaimana sectio caesare tersebut, dokter operator selalu
menyakiti penderita dengan menimbulkan luka pada pasien yang jika tidak karena
perintah Undang-Undang “si pembuat luka” dapat dikenakan sanksi pidana
penganiayaan. Oleh karena itu, didalam setiap pembedahan, dokter operator haruslah
berhati-hati agar luka yang diakibatkannya tersebut tidak menimbulkan masalah
kelak di kemudian hari. Misalnya terjadi infeksi nosokomial (infeksi yang terjadi
akibat dilakukannya pembedahan) sehingga luka operasi tidak bisa menutup. Bila ini
terjadi dokter dianggap melakukan kelalaian atau kealpaan.
Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi
juga bukan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin
seseorang menghendaki melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak
menghendaki ada niatan jahat dari petindak. Walaupun demikian, kealpaan yang
membahayakan keamanan dan keselamatan orang lain tetap harus dipidanakan.
Moeljatno menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar
dilakukan dengan menentang larangan, sedangkan kealpaan adalah kekurang
perhatian pelaku terhadap obyek dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan
keadaan yang dilarang, sehingga kesalahan yang berbentuk kealpaan pada
hakekatnya sama dengan kesengajaan hanya berbeda gradasi saja.
Penanganan Malpraktek di Indonesia
Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum substantive,
diantaranya hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi tidak mengenal
bangunan hukum “malpraktek”.
Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai peraturan hukum yang dapat
dijadikan pedoman bagi mereka dalam menjalankan profesinya dan sedapat mungkin
untuk menghindari pelanggaran etika kedokteran.
Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter, merupakan
bibidang hukum baru dalam ilmu hukum yang sampai saat ini belum diatur secara
khusus. Padahal hukum pidana atau hukum perdata yang merupakan hukum positif
yang berlaku di Indonesia saat ini tidak seluruhnya tepat bila diterapkan pada dokter
yang melakukan pelanggaran. Bidang hukum baru inilah yang berkembang di
Indonesia dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas
dikenal dengan istilah Hukum Kesehatan.
Istilah hukum kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan dari Health Law
yang digunakan oleh World Health Organization. Kemudian Health Law
diterjemahkan dengan hukum kesehatan, sedangkan istilah hukum kedokteran
kemudian digunakan sebagai bagian dari hukum kesehatan yang semula disebut
hukum medik sebagai terjemahan dari medic law.
Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan
berkembang pesat di Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum
pada tanggal 1 Nopember 1982 dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di
Indonesia dengan tujuan mempelajari kemungkinan dikembangkannya Medical Law
di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical Law masih belum muncul dalam
bentuk modifikasi tersendiri. Setiap ada persoalan yang menyangkut medical law
penanganannya masih mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang berupa
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Kalau ditinjau dari budaya hukum Indonesia, malpraktek merupakan sesuatu
yang asing karena batasan pengertian malpraktek yang diketahui dan dikenal oleh
kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal dari alam pemikiran barat. Untuk
itu masih perlu ada pengkajian secara khusus guna memperoleh suatu rumusan
pengertian dan batasan istilah malpraktek medik yang khas Indonesia (bila memang
diperlukan sejauh itu) yakni sebagai hasil oleh piker bangsa Indonesia dengan
berlandaskan budaya bangsa yang kemudian dapat diterima sebagai budaya hukum
(legal culture) yang sesuai dengan system kesehatan nasional.
Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan malpraktek di
Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan jalur non
litigasi (diluar peradilan).
Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian
dokter dalam melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala
yuridis yang dijumpai dalam pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah
ini berkait dengan masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh orang pada
umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai penanggung jawab hak dan
kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena menyangkut 2
(dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang digunakan dalam
mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara pendekatan terhadap
masalah medik melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah
Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang
menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung
diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur
organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus
yang terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga
diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa
penentuan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis
Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui
Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995
tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada
atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab
profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non structural yang
keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili
organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi.
Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat
diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter
yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak
dan membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa
puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang
memikirkan kepentingan pasien.
Malpraktek atau Tidak dr Ayu? Lihat
Empat Poin Ini

http://www.tempo.co/read/news/2013/11/27/173532785/Malpraktek-atau-Tidak-dr-
Ayu-Lihat-Empat-Poin-Ini

Mencuatnya kasus vonis penjara terhadap dokter Dewa Ayu Sasiary Prawan, 38
tahun, beserta dua koleganya menyedot perhatian masyarakat. Banyak yang
bertanya-tanya argumen siapa yang benar? Apakah argumen keluarga korban yang
dikabulkan oleh Mahkamah Agung atau argumen para dokter, pengurus Ikatan
Dokter Indonesia, yang juga diamini oleh Pengadilan Negeri Manado.

Kasus dokter Ayu dan kawan-kawan berawal dari meninggalnya pasien yang mereka
tangani, Julia Fransiska Maketey, di Rumah Sakit R.D. Kandou Malalayang,
Manado, Sulawesi Utara, pada 10 April 2010. Keluarga Julia menggugat ke
pengadilan negeri. Hasilnya, Ayu dan kedua rekannya dinyatakan tidak bersalah.
Namun, di tingkat kasasi, ketiga dokter itu divonis 10 bulan penjara. (Baca: Inilah
Alasan Hakim MA Menghukum dr Ayu)

Majelis hakim kasasi memvonis Dewa Ayu Sasiary serta dua rekannya, Hendy
Siagian dan Hendry Simanjuntak, bersalah saat menangani Julia Fransiska Maketey.
Julia akhirnya meninggal saat melahirkan. Berikut ini pertimbangan majelis kasasi
seperti yang tercantum dalam putusan yang dirumuskan dalam sidang 18 September
2012. (Baca: DPR Jamin Aksi Para Dokter Tak Ganggu Layanan)

Berikut ini beberapa poin penting yang menjadi perdebatan soal ada atau tidak
malpraktek dalam kasus dokter Ayu:

1. Pemeriksaan jantung baru dilakukan setelah operasi.


Menurut dr. Januar, pengurus Ikatan Dokter Indonesia, operasi yang dilakukan
terhadap Siska, tak memerlukan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan
jantung. "Operasinya bersifat darurat, cepat, dan segera. Karena jika tidak dilakukan,
bayi dan pasien pasti meninggal," ucap dokter kandungan ini.

2. Penyebab kematian masuknya udara ke bilik kanan jantung. Ini karena saat
pemberian obat atau infus karena komplikasi persalinan.
Menurut O.C. Kaligis, pengacara Ayu, putusan Mahkamah Agung tak berdasar.
Dalam persidangan di pengadilan negeri, kata Kaligis, sudah dihadirkan saksi ahli
kedokteran yang menyatakan Ayu dan dua rekannya tak melakukan kesalahan
prosedural. Para saksi itu antara lain Reggy Lefran, dokter kepala bagian jantung
Rumah Sakit Profesor Kandou Malalayang; Murhady Saleh, dokter spesialis obygin
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta; dan dokter forensik
Johanis.

Dalam sidang itu, misalnya, dokter forensik Johanis menyatakan hasil visum et
repertum emboli yang menyebabkan pasien meninggal BUKAN karena hasil operasi.
Kasus itu, kata dia, jarang terjadi dan tidak dapat diantisipasi.

Para ahli itu juga menyebutkan Ayu, Hendry, dan Hendy telah menjalani sidang
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran pada 24 Februari 2011. Hasil sidang
menyatakan ketiganya telah melakukan operasi sesuai dengan prosedur. (Baca juga:
MKEK Pusat Sebut dr. Ayu Tidak Melanggar Etik)

3. Terdakwa tidak punya kompetensi operasi karena hanya residence atau


mahasiswa dokter spesialis dan tak punya surat izin praktek (SIP)
Ketua Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) dr. Nurdadi, SPOG
dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi mengatakan tidak benar mereka
tidak memiliki kompetensi. "Mereka memiiki kompetensi. Pendidikan kedokteran
adalah pendidikan berjenjang. Bukan orang yang tak bisa operasi dibiarkan
melakukan operasi," katanya.

Soal surat izin praktek juga dibantah. Semua mahasiswa kedokteran spesialis yang
berpraktek di rumah sakit memiliki izin. Kalau tidak, mana mungkin rumah sakit
pendidikan seperti di RS Cipto Mangunkusumo mau mempekerjakan para dokter itu.

4. Terjadi pembiaran pasien selama delapan jam.


Menurut Januar, pengurus Ikatan Dokter Indonesia, saat menerima pasien Siska, Ayu
telah memeriksa dan memperkirakan pasien tersebut bisa melahirkan secara normal.
Namun, hingga pukul 18.00, ternyata hal itu tak terjadi. "Sehingga diputuskan
operasi," ujar Januar.

Sesuai prosedur kedokteran saat air ketuban pecah, biasanya dokter akan menunggu
pembukaan leher rahim lengkap sebelum bayi dilahirkan secara normal. Untuk
mencapai pembukaan lengkap, pembukaan 10, butuh waktu yang berbeda-beda
untuk tiap pasien. Bisa cepat bisa berjam-jam. Menunggu pembukaan lengkap itulah
yang dilakukan dokter Ayu.
Inilah Kronologi Kasus Malpraktek Dr
Ayu Selengkapnya
http://www.aktualpost.com/2013/11/27/5807/inilah-kronologi-kasus-malpraktek-dr-
ayu-selengkapnya/

Kasus malpraktek yang menimpa dr.Dewa Ayu Sasiary Prawan yang merupakan
dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang terjadi pada tahun 2010 di rumah
sakit Dr Kandau Manado , menimbulkan banyak reaksi dari para dokter di Indonesia
Seperti pada hari ini Rabu (27/11/2013), para dokter melakukan demo di Tugu
Proklamasi, Jakarta dengan menggunakan Ambulans dan juga Metro mini, para
dokter tersebut melakukan demo dengan tuntutan menolak kriminalisasi profesi
dokter.

Kasus yang menimpa dokter ayu dan dua orang temanya tersebut berawal dari
tuduhan pihak keluarga korban Julia Fransiska Makatey (25) yang meninggal dunia
sesaat setelah melakukan operasi kelahiran anak pada tahun 2010 yang lalu. Akibat
dari kasus tersebut dr ayu dan kedua temanya divonis oleh MA dengan hukuman 10
bulan penjara.

Berikut ini kronologi kasus penangkapan dokter Ayu dan kedua orang temanya yang
juga ikut dihukum atas tuduhan kasus malpraktek menurut keterangan dari Ketua
Umum Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Dr Nurdadi Saleh,
SpOG seperti dilansir dari Liputan6.

Tanggal 10 April 2010


Korban, Julia Fransiska Makatey (25) merupakan wanita yang sedang hamil anak
keduanya. Ia masuk ke RS Dr Kandau Manado atas rujukan puskesmas. Pada waktu
itu, ia didiagnosis sudah dalam tahap persalinan pembukaan dua.

Namun setelah delapan jam masuk tahap persalinan, tidak ada kemajuan dan justru
malah muncul tanda-tanda gawat janin, sehingga ketika itu diputuskan untuk
dilakukan operasi caesar darurat.
“Saat itu terlihat tanda tanda gawat janin, terjadi mekonium atau bayi mengeluarkan
feses saat persalinan sehingga diputuskan melakukan bedah sesar,” ujarnya.

Tapi yang terjadi menurut dr Nurdadi, pada waktu sayatan pertama dimulai, pasien
mengeluarkan darah yang berwarna kehitaman. Dokter menyatakan, itu adalah tanda
bahwa pasien kurang oksigen.
“Tapi setelah itu bayi berhasil dikeluarkan, namun pasca operasi kondisi pasien
semakin memburuk dan sekitar 20 menit kemudian, ia dinyatakan meninggal dunia,”
ungkap Nurdadi, seperti ditulis Senin (18/11/2013).

Tanggal 15 September 2011


Atas kasus ini, tim dokter yang terdiri atas dr Ayu, dr Hendi Siagian dan dr Hendry
Simanjuntak, dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) hukuman 10 bulan penjara
karena laporan malpraktik keluarga korban. Namun Pengadilan Negeri (PN) Manado
menyatakan ketiga terdakwa tidak bersalah dan bebas murni.

“Dari hasil otopsi ditemukan bahwa sebab kematiannya adalah karena adanya emboli
udara, sehingga mengganggu peredaran darah yang sebelumnya tidak diketahui oleh
dokter. Emboli udara atau gelembung udara ini ada pada bilik kanan jantung pasien.
Dengan bukti ini PN Manado memutuskan bebas murni,” tutur dr Nurdadi.

Tapi ternyata kasus ini masih bergulir karena jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung yang kemudian dikabulkan.

18 September 2012
Dr. Dewa Ayu dan dua dokter lainnya yakni dr Hendry Simanjuntak dan dr Hendy
Siagian akhirnya masuk daftar pencarian orang (DPO).

11 Februari 2013
Keberatan atas keputusan tersebut, PB POGI melayangkan surat ke Mahkamah
Agung dan dinyatakan akan diajukan upaya Peninjauan Kembali (PK).

Dalam surat keberatan tersebut, POGI menyatakan bahwa putusan PN Manado


menyebutkan ketiga terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan kalau ketiga
dokter tidak bersalah melakukan tindak pidana. Sementara itu, Majelis Kehormatan
dan Etika Profesi Kedokteran (MKEK) menyatakan tidak ditemukan adanya
kesalahan atau kelalaian para terdakwa dalam melakukan operasi pada pasien.

8 November 2013
Dr Dewa Ayu Sasiary Prawan (38), satu diantara terpidana kasus malapraktik
akhirnya diputuskan bersalah oleh Mahkamah Agung dengan putusan 10 bulan
penjara. Ia diciduk di tempat praktiknya di Rumah Sakit Ibu dan Anak Permata Hati,
Balikpapan Kalimantan Timur (Kaltim) oleh tim dari Kejaksaan Agung (Kejagung)
dan Kejari Manado sekitar pukul 11.04 Wita.

Kronologi Menurut Yulin Mahengkeng, ibu Julia Fransiska Makatey seperti


dilansir dari detik

Saat itu anaknya, masuk ke Puskesmas di Bahu Kecamatan Malalayang jelang


melahirkan. Tanda-tanda melahirkan terlihat pukul 04.00 WITA, keesokan harinya,
setelah pecah air ketuban dengan pembukaan 8 hingga 9 Centimeter.
Tapi dokter Puskemas merujuk ke RS Prof dr Kandou Malalayang karena Fransiska
mempunyai riwayat melahirkan dengan cara divakum pada anak pertamanya. “Kami
tiba pukul 07.00 WITA, lalu dimasukkan ke ruangan Irdo,” kata Yulin kepada
detikcom, Senin (25/11/2013) malam.

Karena hasil pemeriksaan terjadi penurunan pembukaan hingga 6 cm, pagi itu
Fransiska lalu diarahkan ke ruang bersalin. Yulin lalu mengatakan, saat itulah seakan
terjadi pembiaran terhadap anaknya, karena terkesan mengulur waktu menunggu
persalinan normal.

“Padahal anak saya harus dioperasi karena air ketuban sudah pecah dan kondisinya
sudah lemah,” terangnya.

Hingga malam hari sekitar pukul 20.00 WITA, tindakan melakukan operasi baru
dilakukan dr Ayu dan dua rekannya. Keluarga pun bolak-balik ruang operasi dan
apotek untuk membeli obat. Dengan kondisi tidak membawa uang cukup, tawar-
menawar obat dan peralatan terjadi.

“Bahkan saya coba menjamin kalung emas yang saya pakai, sambil menunggu uang
yang masih dalam perjalanan, tapi tetap tidak dihiraukan. Operasi pun akhirnya
mengalami penundaan,” beber Yulin.

Lanjutnya, pada pukul 22.00 WITA, uang dari adiknya pun tiba. Jumlahnya pun
tidak mencukupi seperti permintaan pihak rumah sakit. Setelah bermohon berulang
kali, operasi kemudian dilaksanakan. 15 menit kemudian, dokter keluar membawa
bayi dan memberi kabar anaknya dalam keadaan sehat. Tapi hanya berselang 20
sampai 30 menit kemudian, dokter bawa kabar lagi kalau anaknya sudah meninggal
dunia.

“Kami kecewa terjadi pembiaran selama 15 jam terhadap anak saya. Kenapa
tindakan operasi baru dilakukan setelah kondisi anak saya sudah menderita dan tidak
berdaya?” tandasnya.

“Ini jelas ada kesalahan yang dilakukan dokter, itu makanya kami keluarga
melaporkan ke polisi,” tambah Yulin.
Menurutnya, kejadian itu sudah beberapa kali diceritakannya ke berbagai pihak
untuk membuktikan adanya pembiaran yang dilakukan para dokter yang menangani
anaknya.

“Makanya saya menangis saat dengar, putusan bebas Pengadilan Negeri Manado.
Tapi Tuhan dengar doa kami, karena kasasi kami dan Kejaksaan diterima Mahkamah
Agung dan mengabulkan tuntutan 10 bulan penjara,” tutupnya.

Anda mungkin juga menyukai