Anda di halaman 1dari 15

Artikel: Etika dan Malpraktek Kedokteran

Akhir-akhir ini banyak kalangan masyarakat yang menyoroti profesi dokter, baik sorotan
yang disampaiakn secara langsung ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai induk organisasi
profesi dokter, ke rumah sakit dimana dokter tersebut bekerja, maupun yang disiarkan
melalui media cetak dan media elektronik. Seharusnya IDI menganggap sorotan-sorotan
tersebut sebagai suatu kritik yang konstruktif terhadap profesi kedokteran, dan diharapkan
agar para dokter dapat meningkatkan pelayanan profesi kedokterannya sesuai dengan harapan
masyarakat. Kritik yang muncul tersebut hanya merupakan puncak gunung es artinya masih
banyak kritik yang tidak muncul ke permukaan karena keengganan pasien atau keluarganya
untuk menyatakannya, atau karena pasien atau keluarganya menganggap apa yang
dialaminya tersebut merupakan sesuatu yang wajar dan memang begitulah perawatan dokter
di Indonesia.
Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi dokter merupakan satu pertanda bahwa pada
saat ini sebagaian masyarakat belum puas terhadap pelayanan dan pengabdian para dokter
kepada masyarakat umumnya atau pada pasien khususnya, sebagai pengguna jasa para
dokter. Pada dasarnya ketidakpuasan para pasien atau keluarga pasien terhadap pelayanan
dokter disebabkan karena harapannya tidak dapat dipenuhi oleh para dokter, atau dengan kata
lain terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang didapatkan oleh pasien atau
keluarganya.
Istilah malpraktek yang dipahami masyarakat dan media massa berbeda dengan malpraktek
yang biasa digunakan di bidang kedokteran. Malpraktek adalah suatu istilah yang mempunyai
konotasi buruk, praktek buruk dari seseorang yang memegang suatu jabatan profesi dalam
arti umum, dan tidak hanya kedokteran saja. Bila malpraktek ditujukan kepada profesi dokter
maka disebut malpraktek medik. Namun ternyata dimana-mana juga diluar negeri istilah
malpraktek selalu diasosiasikan kepada profesi dokter.
Dalam sistem perundang-undangan di Indonesia saat inipun belum ada pengaturan tentang
malpraktek medik. Sehingga bila ada suatu tuntutan, tuduhan atau gugatan malpraktek
kedokteran, penyelesaian dapat melalui berbagai peraturan perundangan yang ada, dapat
melalui jalur pidana, perdata, perlindungan konsumen, Majelis disiplin, atau peraturan-
peraturan lainnya. Masyarakat dan media menganggap bahwa setiap hasil perawatan dokter
tidak sesuai dengan harapan, misalnya tidak sembuh, kecacatan atau kematian adalah
malpraktek. Sebagaian pihak kepolisian atau kejaksaan biasanya berpendapat bahwa
kematian atau kecacatan pada perawatan dokter pasti bukan suatu kesengajaan, jadi tidak
merupakan malpraktek. Akan tetapi pihak kepolisian atau kejaksaan kadang-kadang
menganggap bahwa kematian atau kecacatan pada perawatan oleh dokter mungkin akibat
suatu kelalaian atau kealpaan (negligence) dan dapat diproses dengan menggunakan KUHP
pasal 359, pasal 360, dan pasal 361, yaitu kealpaan yang menyebabkan kematian atau
kecacatan. Beberapa pengacara menganggap bahwa semua perawatan dokter yang
menimbulkan kerugian terhadap pasien, baik kematian, kecacatan atau komplikasi, dianggap
sebagai suatu malpraktek dan dapat digugat dengan menggunakan KUH Perdata pasala 1365,
pasal 1366 atau pasal 1367. Lembaga perlindungan konsumen, beranggapan bahwa dokter
adalah pelaku usaha, sehingga dapat dikenai Undang-undang RI No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan konsumen. Kematian, kecacatan atau ketidak sembuhan pada perawatan pasien
oleh dokter atau rumah sakit, merupakan ingkar janji atau tidak memenuhi apa yang
diharapkan oleh pasien dan keluarganya.
Ketidakpastian seperti uraian diatas bisa menyebabkan para dokter selalu bekerja dengan
penuh kekhawatiran dan was-was, jangan-jangan upaya dokter untuk mengobati pasien
malahan berakibat tuduhan atau gugatan malpraktek. Dokter beranggapan bahwa belum tentu
suatu hasil perawatan yang tidak sesuai dengan harapan pasien, misalnya kematian, kecacatan
atau komplikasi akibat perawatan, merupakan malpraktek. Sebab hasil akhir suatu perawatan
kedokteran sangat bervariasi dan dapat merupakan perjalanan atau komplikasi penyakit
(clinical course of the desease), resiko akibat pengobatan yang tak dapat diramalkan (medical
risk), resiko akibat tindakan operatif (surgical risk), efek samping pengobatan (side
effect/adverse reaction), keterbatasan fasilitas (limitation of resources), kemalangan medik
(medical accident), diagnosis yang kurang tepat (error of judgement), kelalaian medik
(medical negligence), malpraktek medik (medical malpractice).
Di dalam beberapa kepustakaan, dikenal berbagai batasan malpraktek, seperti dalam
Coughlin’s dictionary of Law menyatakan :
“Professional misconduct on the part of a professional person, such as a physician, engineer,
lawyer, accountant, dentist, veterinarian. Malpractice may be the result of ignorance, neglect,
or lack of skill or fidelity in the performance of professional duties, internatinal wrongdoing,
or illegal or unethical practice”
Malpraktek adalah “sikap tindak profesional yang salah dari seorang profesi, seperti dokter,
insinyur, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan. Malpraktek bisa diakibatkan karena
sikap tindak yang bersifat tidak peduli, kelalaian, atau kekurangan keterampilan atau kurang
kehati-hatian di dalam melaksanakan kewajiban profesinya, tindakan salah yang disengaja
atau praktek yang bersifat tidak etis”.
Harus dibedakan antara malpraktek medik dengan suatu hasil yang tidak diharapkan yang
timbul pada perawatan dan pengobatan medik yang bukan merupakan kesalahan dokter.
Malpraktek dokter adalah karena tidak melaksanakan standar perawatan terhadap pasien, atau
kurangnya keterampilan atau kelalaian dalam memberikan perawatan pada pasien yang
secara langsung mengakibatkan kerugian atau perlukaan pada pasien. Suatu kerugian atau
perlukaan yang terjadi dalam perjalanan perawatan medik yang tidak dapat diramalkan, dan
bukan akibat kurang keterampilan atau pengetahuan dokter yang merawat merupakan suatu
hasil tak diharapkan, untuk itu dokter seharusnya tidak dapat dipersalahkan.
Pengertian malpraktek medik seringkali dikaitkan dengan kelalaian medik (medical
negligence), sehingga Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai anggota World Medical
Association (WMA), tentunya juga akan mengikuti batasan malpraktek yang dianut oleh
WMA, yaitu :
Malpraktek kedokteran meliputi dokter yang tidak melaksanakan standar perawatan terhadap
pasien, atau kurangnya keterampilan, atau kelalaian dalam memberikan perawatan pada
pasien yang secara langsung mengakibatkan kerugian atau perlukaan pada pasien.
Dengan demikian kelalaian dalam memberikan perawatan yang secara langsung
menyebabkan kerugian atau perlukaan pada pasien dapat digolongkan pada malpraktek
kedokteran. Kelalaian medik harus mengandung syarat antara lain :
1. Adanya kewajiban profesi (duty) yaitu mempergunakan segala kemampuannya untuk
menyembuhkan atau mengurangi penderitaan pasien, bertindak secara hati-hati dan teliti,
bertindak sesuai dengan standar profesi, meminta persetujuan setelah penjelasan (informed
consent)
2. Penyimpangan kewajiban (dereliction of the duty)
Tindakannya menyimpang dari apa yang seharusnya : dilakukan tanpa indikasi yang benar,
tidak sesua standar profesinya, maka dokter dapat dipersalahkan. Pembuktian penyimpangan
dilakukan oleh saksi ahli.
3. Kerugian diserita pasien (damage)
4. Hubungan sebab akibat langsung
Bahwa kerugian yang dialami pasien merupakan akibat langsung dari penyimpangan yang
dilakukan dokter.
Malpraktek medik dan kelalaian medik seringkali digunakan secara bergantian seolah-olah
keduanya mempunyai arti yang sama didalam menyelesaikan masalah sengketa medik.
Tetapi sebenarnya malpraktek tidak sama dengan kelalaian. Jika dilihat dari definisi dalam
uraian diatas bahwa malpraktek mempunyai arti yang lebih luas daripada “negligence”.
Karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktek pun mencakup tindakan-tindakan
yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus) dan melanggar Undang-undang.
Sedangkan arti negligence lebih berintikan ketidaksengajaan (alpa), kurang teliti, kurang hati-
hati, acuh tak acuh, ceroboh, sembrono, tak peduli terhadap kepentingan orang lain, namun
akibat yang timbul memang bukan disengaja dan bukan menjadi tujuannya. Harus diakui
bahwa kasus malpraktek murni yang berintikan kesengajaan (criminal malpractice) memang
tidak banyak, misalnya dengan sengaja melakukan abortus tanpa indikasi medik, melakukan
euthanasia, memberi surat keterangan medik yang isinya tidak benar, dan sebagainya.
Sedangkan malpraktek karena kelalaian misalnya menelantarkan pengobatan pasien karena
lupa atau tidak hati-hati sehingga pasien penyakitnya menjadi bertambah berat dan kemudian
meninggal.
Dalam realitas kehidupan sehari-hari sebenarnya akibat yang tidak diinginkan dari suatu
hubungan dokter-pasien bisa pula terjadi bukan karena kesalahan dokter sepihak. Hal ini
dapat terjadi juga karena kesalahan pasien yang tidak secara jujur mengungkapkan apa yang
dirasakan atau dinyatakan kepada dokter pada waktu anamnesa (pemeriksaan fisik), dapat
pula karena pasien tidak mentaati nasihat dokter. Keadaan lain yang mempengaruhi
terjadinya akibat negatif ini adalah keadaan penyakit yang sudah lanjut, terlambat diobati
secara dinii. Atau dapat pula terjadi karena reaksi hipersensitivitas yang tidak dapat
diperhitungkan terlebih dahulu, misalnya suntikan obat yang biasanya tidak menimbulkan
reaksi alergi tiba-tiba pada pasien tertentu bereaksi alergi.
Adanya penyimpangan dari standar profesi medis, adanya kesalahan dan kategori dari akibat
yang terjadi maka aspek pidana mensyaratkan adanya kelalaian berat dan terjadinya akibat
yang serius atau fatal. Sedangkan aspek perdata adalah adanya kelalaian ringan untuk
mengganti kerugian terhadap akibat yang ditimbulkan.
Kasus Dugaan Malpraktek Di Puskesmas Tanggul Berlanjut

Jemberpost.com Kasus dugaan mala


praktek yang dilakukan oleh Puskesmas Tanggul terhadap pasien Ika Kustinawati (22)
yang bersalin itu berlanjut.  Kini, dua lembaga layanan kesehatan yang menangani
mulai saling lempar dan saling tuduh. RSUD dr Soebandi, menyalahkan penanganan
oleh Puskesmas Tanggul, karena sebelum dibawa ke RSUD dr Soebandi, pasien ini
ditangani Puskesmas Tanggul.

Supriyadi, suami pasien menceritakan bahwa saat itu dirinya mempertanyakan kepada pihak
RSUD dr Soebandi. Dijawab oleh pihak RSUD dr Soebandi dalam hal ini oleh Tim Medis
yang menangani bahwa kesalahan ada di pihak Puskesmas Tanggul.

“Tim Medis RSUD dr Soebandi, mengatakan bahwa pihak Puskesmas yang menangani
pertama itu yang keliru,” ujar Supriyadi.

Supriyadi, tidak berhasil mengingat siapa yang menyatakan itu. Entah dari pihak perawat atau
dokter yang menangani di RSUD dr Soebandi. Yang jelas, saat dia kebingungan dan
menanyakan pertanggungjawaban ke RSUD , pihak RSUD menyatakan kesalahan lebih di
pihak Puskesmas Tanggul.

Sekadar diketahui, saat ini polisi sedang mengusut kasus ini. Kasat Reskrim Polres Jember
AKP Kusworo Wibowo, SIk, mengatakan bahwa Tim Penyidik Tipiter telah melakukan
penyelidikan. Bahkan, dalam waktu dekat para pihak akan dilakukan pemanggilan secara
resmi.

“Terima kasih, laporannya. Dan kita akan tindak lanjuti segera,” ujar Kasat Reskrim AKP
Kusworo, kemarin.

Sebelumnya, kasus ini muncul setelah korban Ika Kustinawati, yang hamil 9 bulan lebih itu
merasakan akan melahirkan. Lalu oleh keluarga dibawa ke Puskesmas Tanggul, yakni pada
tanggal 2 Pebruari 2011.

Saat itu kontraksi terjadi. Dan penanganan dilakukan seperti pasien biasa selama ini yang
hendak melahirkan.  Pihak perawat, bidan, dan tim medis magang itu menangani serius Ika.
“Sebetulnya, saya diminta ke bidan terdekat. Tetapi saya ada menyuruh ke Puskesmas saja.,”
ujarnya.

Penanganan itu dilakukan setelah tanggal 3 Pebruari 2011, pukul 15.00 WIB besoknya,
karena air ketuban sudah pecah. Baru kemudian karena sudah pecah, maka vagina bagian atas
digunting.

Sebab, saat itu tidak segera keluar bayinya. Karena belum keluar juga digunting lagi di
bagian bawah. Bahkan, saat itu perutnya didorong dengan perawat dan bidan – bidan itu.
“Yang menggunting saya itu lebih banyak bidan magang,” ujar Ika Kustinawati.

Baru setelah beberapa jam, bayi bisa dikeluarkan. Beratnya sekitar 3,1 Kg. Kemudian vagina
dijahit. Hanya saja saat itu mengalami kekacauan sebab batas vagina dan dubur itu sudah
tidak ada lagi batas. Hanya tersisa satu centimeter saja.

Karena Puskesmas akhirnya tidak sanggup, maka dirujuk ke RSUD dr Soebandi. Hanya saja
sampai di RSUD dr Soebandi ditangani biasa.

“Saat itu, pihak RSUD menyayangkan kenapa kok jadi seperti ini. Kalau tidak sanggup sejak
awal kan seharusnya dikirim ke RSUD. Bayi 3,1 Kg, kok seperti ini,” ujar dokter di RSUD dr
Soebandi.

Kini keluarga dan pasien saat meminta pertanggungjawaban ke Puskesmas tidak digubris.
Bahkan dicampakkan begitu saja. “Kita seperti dibuang begitu saja,” ujarnya.

Bidan Siti Muawanah – adalah saksi kunci dalam kasus ini. Proses persalinan diduga tidak
wajar karena pengguntingan vagina hingga 3 centi meter lebih. Kini, orangtua bayi laki – laki
bernama Ifza Praditya Akbar (1 bulan) terbaring lemah di tempat tidur. Dia menunggu
kejelasan penanganan dan pertanggungjawaban dari pihak Puskesmas Tanggul. ki
10 Kasus Malpraktek Paling Fatal Dalam Sejarah Dunia Kedokteran-
Medis
Posted by Armhando Togatorov On 0 komentar

Menurut data yang ada, lebih dari 195.000 orang amerika meninggal karena malpraktik atau
kesalahan Dokter dari 37 Juta catatan pasien setiap tahunnya daripada kecelakaan lalulintas darat laut
dan udara, AIDS, Kanker digabungkan menjadi satu.

Berikut 10 besar kesalahan fatal Malpraktek dalam dunia kedokteran :

01. Salah Sperma Dalam Bayi Tabung

Ketika Nancy Andrews, dari Commack, NY, menjadi hamil setelah di vitro pemupukan sperma di
klinik kesuburan Newyork, dia dan suaminya yang tampan mengharapkan sepertinya. Apa yang
mereka harapkan adalah seorang anak yang signifikan dengan kulit yang gelap lebih baik dari orang
tuanya. Menyusul tes DNA yang disarankan dokter di Kedokteran New York Layanan bagi
Pengobatan Reproduksi, disengaja menggunakan sperma orang lain untuk ditanamkan ke sel telur
Nancy Andrews’ .Kemudian bayi tersebut lahir 19 Oktober 2004, mereka menuntut karena malpraktik
tindakan ceroboh seorang pemilik klinik.

02. Salah Mencangkok Jantung dan Paru-Paru, Sehingga Meninggal

17 tahun Jésica Santillán meninggal 2 minggu setelah menerima jantung dan paru-paru pasien dari
golongan darah yang tidak cocok dengan dia. Dokter di Duke University Medical Center gagal untuk
memeriksa kompatibilitas sebelum operasi dimulai. . Setelah operasi kedua transplantasi untuk
mencoba memperbaiki kesalahan, dia menderita kerusakan otak dan komplikasi yang
menyebabkannya meninggal.
Santillán, seorang imigran Meksiko,datang ke Amerika Serikat tiga tahun sebelumnya untuk mencari
perawatan medis atas jantung dan paru-parunya. transplantasi Jantung & paru-paru oleh Dokter Ahli
Bedah Rumah Sakit di Universitas Duke di Durham, NC, diharapkan akan memperbaiki kondisi ini,
bukan menempatkan dia dalam bahaya besar; Santillán, yang memiliki jenis darah-O, telah menerima
organ dari tipe donor A .

03. Operasi Testis Yang Salah

Hal lain adalah salah-sisi operasi, Dokter Ahli Bedah keliru membuang testis yang sehat sebelah
kanan dari vetran Air Force 47 tahun Benjamin Houghton. Pasien yang telah yg mengeluh sakit dan
berkurangnya mentalitas dari testis sebelah kiri jadi dokter memutuskan untuk menjadwalkan operasi
untuk membuangnya karena takut kanker. Namun, apa yang dibuangnya adalah testis yang sehat,
yakni yang sebelah kanan, pasangan tersebut kemudian mengajukan ganti rugi sebesar Us$200.000
karena kesalahan fatal tersebut

04. Pasca Operasi Logam Tertinggal di Dalam

Donald Church, 49 tahun, memiliki tumor di perut ketika ia tiba di Universitas Washington Medical
Center di Seattle pada bulan Juni 2000. Ketika dia kembali, tumor sudah tidak ada namun sebuah
logam retractor ketinggalan didalamnya. Dokter mengakui kesalahannya meninggalkan logam
retractor sepanjang 13 Inci didalam perut, Untungnya, Dokter Ahli Bedah mampu mengangkat
retractor tersebut segera setelah ditemukan, dan ia tidak mengalami kesehatan jangka panjang akibat
dari kesalahan tersebut. Rumah sakit setuju untuk membayar ganti rugi sebesar US$ 97,000.

05. Maunya Operasi Otak Malah dioperasi Jantung


Joan Morris (nama samaran) adalah perempuan 67 mengakui ke rumah sakit untuk belajar namun
kesalahannya fatal, karena telah mengambil pasien yang salah yang harusnya dioperasi otak malah
dioperasi jantungya. sang pasien sudah di meja operasi selama satu jam. Dokter telah membuat
torehan -torehan di dada, artery, alur dalam sebuah tabung dan snaked atas ke dalam hatinya (prosedur
dengan risiko perdarahan, infeksi, serangan jantung dan stroke).

Yaitu saat telepon berdering dan dokter dari departemen lain ditanya “apa yang anda lakukan dengan
pasien saya?” tidak ada yang salah dengan jantungnya ! “. Kardiolog yang bekerja pada wanita itupun
memeriksa grafik, dan melihat bahwa dia telah membuat kesalahan yang hebat. Kajian ini dibatalkan,
dan dia kembali ke kamar itu dalam kondisi stabil.

06. Operasi Otak Salah Hingga 3 Kali Dalam Setahun

Untuk yang ketiga kalinya pada tahun yang sama, dokter di RS Rhode Island telah mengoperasi salah
satu sisi kepala pasien. Kejadian yang terbaru terjadi Nov 23 2007. perempuan 82-an tahun suatu
operasi untuk menghentikan pendarahan otak dan tengkorak nya. J neurosurgeon di rumah sakit
memulai mengoperasi pengeboran sisi sebelah kanan kepala pasien, meskipun sebuah CT scan
menunjukkan perdarahan di sebelah kiri, menurut laporan setempat. Para penduduk melaporkan
kesalahan, setelah mana menutup lubang sebelah kiri dari kepala pasien. Pasien tersebut dalam
kondisi yang baik pada hari Minggu.
Echoes kasus dari kesalahan yang sama Februari lalu, di mana yang berbeda adalah dokter
mengoperasi pada salah satu sisi kepala pasien. Dan terakhir Agustus, pria 86 tahun meninggal tiga
minggu setelah seorang ahli bedah di Rumah Sakit Rhode Island mengooperasikan secara tidak
sengaja di salah satu samping kepalanya.

07. Salah Amputasi Kaki

Mungkin ini adalah kasus yang paling terkenal yakni kasus kesalahan pemotongan kaki di Tampa
(Florida) terhadap pria 52 tahun Willie King, saat prosedur pemotongan pada Februari 1995. Akibat
kesalahan fatal rumah sakit tersebut di cabut licensi nya selama 6 bulan dan denda 10.000 US$ dan
membayar 900.000 US$ terhadap Willie King dan terakhir tim operasi membayar juga 250.000 US$
terhadap King

08.Kesalahan Mengeluarkan Ginjal Yang Sehat

Louis Park, Minnesota, pasien yang dirujuk ke Rumah Sakit Park Nicollet Metodhist karena memiliki
tumor yang diyakini menjadi kanker. Namun, dokter salah mendiagnosa dan membuang ginjal yang
sehatnya
“Penemuan ini dilakukan pada hari berikutnya ketika diperiksa oleh tim patologi dan tidak
menemukan bukti dari segala kejahatan,” kata Samuel Carlson, MD dan pimpinan Park Nicollet Chief
Medical Officer. Yang berpotensi kanker, ginjal tetap utuh dan berfungsi. Untuk privasi dan
permintaan keluarga, tidak ada rincian tentang pasien.

09. Bangun Ketika dioperasi

Pria dari Virginia Barat ini mengaku terbangun dari Pingsannya ketika dioperasi dan merasakan setiap
sayatan dari pisau bedah yang dilakukan tim dokter ketika mengoperasi, yang menyebabkan
mengalami trauma selama dua minggu kemudian, Sherman Sizemore kemudian mengajukan tuntutan
ke Rumah Sakit Umum Raleigh Beckley, W.Va., Jan 19, 2006 untuk operasi penyelidikan dan
menentukan penyebab nya ia terbangun. Tetapi pada saat operasi, dia dilaporkan mengalami
fenomena yang dikenal sebagai yg menyebabkan kematirasaan kesadaran – sebuah negara di mana
seorang pasien bedah dapat merasakan sakit, tekanan atau kegelisahan saat operasi, tetapi tidak dapat
bergerak atau berkomunikasi dengan dokter.Tim Dokter Telah melukai pria 73 tahun tersebut dengan
pengalaman yang terjaga selama operasi tetapi tidak dapat bergerak atau menjerit kesakitan.

10.Bedah Jantung Yang Salah

Dua bulan setelah dua kali operasi bypass jantung yang diduga untuk menyelamatkan hidupnya,
pelawak dan mantan Pembawa acara Saturday Night Live cast anggota Dana Carvey mendapat
berita : ahli bedah jantung yang telah mem bypassed salah artery. Butuh waktu lain operasi darurat
untuk menghapus blockage yang mengancam membunuh pria 45 tahun, pelawak dan ayah dua anak.
Menuntut US $ 7,5 juta Carvey membawa perkara terhadap rumah sakit tersebut, dengan mengatakan
ahli bedah telah melakukan kesalahan fatal “Ini seperti mengeluarkan ginjal yang salah. Ada
kesalahan yang besar,” demikian seperti dikutip People Magazine
MALPRAKTEK BIDAN + KASUS
Diposkan oleh Luria Ingrassia di 4:26:00 AM

2.1 PENGERTIAN MALPRAKTEK


Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara
harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau
“tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti
harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya
tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi malpraktek profesi
kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien,
yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang
sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi bidan.
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh
sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat
dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical
malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami
mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada
kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada
perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran
normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan
sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice
akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief
Justice, 1893).
2.2 MALPRAKTEK DI BIDANG HUKUM
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum
yang dilanggar, yakni Criminal malpractice,Civil malpractice dan Administrative malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan
tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional),
kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
• Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional:
1. Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi:
Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau
pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahuluj diancam dengan pidana penjara paling
lama sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah.
Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut
ata pengaduan orang itu.
2. Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP
Mengatakan:
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang
lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
3. Pasal 348 KUHP menyatakan:
Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau me¬matikan kandungan seorang wanita
dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan
Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita ter¬sebut, dikenakan pidana penjara paling
lama tujuh tahun.
4. Pasal 349 KUHP menyatakan:
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346,
ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347
dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan di¬lakukan.
5. Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan, yang berbunyi:
Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara
paling lama lima tahun.
Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipdana.
• Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis
tanpa persetujuan pasien informed consent.
1. Pasal 347 KUHP menyatakan:
Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan kandungan seorang wanita
tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart pidana penjara paling
lama lima belas tahun.
2. Pasal 349 KUHP menyatakan:
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346,
ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347
dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan di¬lakukan.
• Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati melakukan proses
kelahiran.
1. Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-
luka berat.
Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati :
Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
2. Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga
menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu
tertentu, diancam de¬ngan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga
ratus rupiah.
3. Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter,
bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya
hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.
Pasal 361 KUHP menyatakan:
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-lakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau
pen¬caharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk
menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya
putusnya di-umumkan.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal
dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2. Civil malpractice
Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau
tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula
dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah
sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (bidan)
selama bidan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
3. Administrative malpractice
Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut telah melanggar
hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai
kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi
bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta
kewajiban bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat
dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
2.3 PEMBUKTIAN MALPRAKTEK DI BIDANG PELAYANAN KESEHATAN
Dari definisi malpraktek adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat
dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan
merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos,
California, 1956).
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian bidan
dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan
diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan
resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam
transaksi teraputik antara bidan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning
verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaat verbintenis).
Apabila bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang
mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya
kesalahan. Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice,harus dibuktikan apakah
perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh
atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien
meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela
(salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara
yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak berdasarkan
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan pekerjaan
menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut
standard profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal)
dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela
diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai
dasar menyalahkan bidan.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan
dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan
fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory
negligence.
Misalnya ada kasus saat bidan akan memotong tali pusat bayi, saat memotong tali pusat ikut terluka
perut pasien tersebut. Dalam hal ini perut yang luka dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung
dapat membuktikan kesalahan bidan, karena:
a. Perut bayi tidak akan terluka apabila tidak ada kelalaian tenaga perawatan.
b. Memotong tali pusat bayi adalah merupakan/berada pada tanggung jawab bidan.
c. Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.
2.4 TANGGUNG JAWAB HUKUM
Seperti dikemukakan di depan bahwa tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan
kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin
dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat
kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung
gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian bidan. Di dalam transaksi teraputik ada
beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual
yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal,
bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya
bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang
dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit
akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.
3. Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum
baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan
dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup
terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
2.5 UPAYA PENCEGAHAN DAN MENGHADAPI
Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek
diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk
daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi
tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif
membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang
diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan
mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of
treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea)
sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada
doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur
pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban,
dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga
yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi
sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan
perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau
pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung
jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta
yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan
menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara
menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus
membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan
bidan.
ILUSTRASI KASUS
Kasus Operasi Pembersihan Kandungan (Kuret) Ngatemi
Dalam kasus (Kuret) Ngatemi ini, Abdul Mutalib (sebagai suami) karena merasa telah dirugikan, ia
menggugat secara perdata terhadap suami-istri (dokter-bidan) dari Rumah Sakit Bersalin “Kartini" di
Pengadilan Negeri Belawan.

Pengadilan Negeri Belawan, dengan Hakim: Panut Alflsah dalam kasus gugatan ini menjatuhkan
vonis memenangkan gugatan Abdul Mutalib, sehingga suami-istri tergugat (dpkter-bidan) harus
membayar ganti rugi. (Keputusan Pengadilan Negeri Belawan tertanggal 16Juli 1984).
Namun demikian, rupanya kemenangan tidak selalu harus diikuti dengan kepuasan maupun
keberuntungan, sebab walaupun vonis hakim mewajibkan suami-istri (tergugat) membayar sejumlah
ganti rugi kepada penggugat (Abdul Mutalib) sampai kini entah karena apa Abdul Mutalib tidak
pernah merasakan menerima ganti rugi uang yang dinanti-nantikan itu.
Peristiwa kuret Ngatemi, istri Abdul Mutalib, penduduk dari desa Batang Kilat Sungai Mati,
Kecamatan Labuhan, Belawan, Sumatera Utara, yang mengalami operasi pembersihan kandungan
akibat pengguguran pada umur 2 bulan (kuret) dilakukan di Rumah Sakit Bersalin "Kartini" pada
bulan Maret 1983.
Kronologis Peristiwa Kuret, dilakukan oleh seorang bidan, istri seorang dokter pada rumah Sakit
tersebut. Rupanya kesalahan fatal telah terjadi pada waktu dilakukan kuret tersebut, yang menurut
pengakuan Ngatemi, sang bidan telah menarik bagian dalam perutnya dengan paksa, entah apa yang
ditarik, tentu saja Ngatemi tidak mengetahuinya. "Tarikan" itu baru dihentikan oleh sang bidan setelah
dilarang oleh suaminya (dokter).
Melihat keadaan yang tidak semestinya itu, Abdul Mutalib dengan cepat bertindak untuk melarikan
istrinya ke Rumah Sakit Kodam Bukit Barisan I. Di Rumah Sakit inilah akhirnya diketahui bahwa
usus Ngatemi telah putus sepanjang 10 sentimeter dan kandungannya kedapatan "rusak", sehingga
mengakibatkan saluran pembuangan Ngatemi terpaksa harus dipindahkan ke bagian perutnya. Dengan
demikian, Ngatemi hingga sekarang apabila buang air besar melalui lubang buatan, dari perutnya.

Anda mungkin juga menyukai