Anda di halaman 1dari 17

TUNTUT DOKTER DAN PERAWAT KARENA KEGUGURAN

Endang Pebrina Silalahi

150600152

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Sumatera Utara
Jl. Alumni No. 2 Kampus USU Medan

______________________________________________________________________________

PENDAHULUAN

Malpraktek merupakan salah satu fenomena yang sering terjadi di dunia kesehatan.
Malpraktek merupakan salah satu fenomena yang sering terjadi di dunia kesehatan. Malpraktek
dapat terjadi karena ketidaktahuan, kelalaian, kurangnya keterampilan, kurangnya ketaatan
dalam profesi maupun perbuatan salah yang disengaja1.

Sorotan masyarakat yang cukup tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh tenaga
kesehatan, khususnya dengan terjadinya berbagai kasus yang menyebabkan ketidakpuasan
masyarakat memunculkan isu adanya dugaan malpraktek medis yang secara tidak langsung
dikaji dari aspek hukum dalam pelayanan kesehatan, karena penyebab dugaan malpraktek belum
tentu disebabkan oleh adanya kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan,
khususnya dokter. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu
indikator positif meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat.

Sisi negatifnya adalah adanya kecenderungan meningkatnya kasus malpraktek


dikalangan kedokteran, diadukan atau bahkan dituntut pasien yang akibatnya seringkali
membekas bahkan mencekam para tenaga kedokteran yang pada gilirannya akan mempengaruhi
proses pelayanan kesehatan dimasa yang akan datang. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan
kesehatan hasilnya selalu memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya dengan
mudah menimpakan beban kepada pasien bahwa telah terjadi malpraktek. Kasus malpraktek
yang sering dipahami sebagai kelalayan dokter juga harus dianalisis lebih dalam terkait alat-alat
kedokteran yang menjadi penunjang keberhasilan pada proses pelayanan kesehatan.
Mengingat semakin maraknya kemunculan kasus-ksus malpraktek yang terjadi akhir-
akhir ini bersamaan dengan semakin meningkatnya kemajuan dalam pelayanan medis, maka
kasus malpraktek ini harus dikaji sebagai sebuah kasus kriminalitas yang terjadi akibat suatu
kelalaian dan profesionalan kedokteran. Namun dunia kedokteran yang dahulu seakan tak
terjangkau oleh hukum, dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhannya
tentang perlindungan hukum, menjadikan dunia pengobatan bukan saja sebagai hubungan
keperdataan, bahkan sering berkembang menjadi persoalan pidana. Seorang dokter akan selalu
terkait dengan bioetika maupun etika kedokteran, yang kemudian akan diatur dalam kode etik
kedokteran. Memahami etika kedokteran merupakan tuntutan yang dipandang semakin perlu.
Bahkan penanganan secara serius atas masalah etika kedokteran merupakan tuntutan yang
dipandang semakin perlu. Bahkan penanganan secara serius atas masalah etika kedokteran
cukuplah mendesak1.
Untuk memperkecil risiko adanya malapraktik dan pelanggaran lainnya, dibuat beberapa
ketentuan dan aturan yang perlu dipatuhi sebagai seseorang yang berprofesi di bidang pelayanan
kesehatan yaitu etika kedokteran. Aspek etik kedokteran mencantumkan juga kewajiban yang
memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang
diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Berdasarkan hal-hal di
atas, terdapat beberapa hal yang perlu dipenuhi dalam melakukan tindakan dalam kedokteran,
yang biasanya disebut dengan prinsip-prinsip bioetika kedokteran dan adanya “informed
consent” antara dokter pasien1.

Sehingga terciptalah dokter yang berperilaku baik dan selalu memegang teguh prinsip-
prinsip bioetika dan tindak melanggar etika kedokteran dalam mengahadapi pasien.

MALPRAKTEK MEDIK

Akhir-akhir ini tuntutan hukum terhadap dokter dengan dakwaan melakukan malpraktek
makin meningkat dimana-mana. Ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran hukum
masyarakat, dimana mayarakat lebih menyadari haknya. Disisi lain dokter dituntut untuk
melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya dengan lebih hati-hati dan penuh tanggung jawab.
Seorang doker hendaknya dapat menegakkan diagnosis dengan benar sesuai dengan prosedur,
memberikan terapi dan melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, dan tindakan
itu memang wajar dan perlu dilakukan.

Malpraktek berasal dari kata mal yang berarti buruk dan kata praktek yang berarti
tindakan. Secara harafiah malpraktek adalah adalah suatu tindakan atau praktik yang buruk.
Dengan kata lain malpraktek adalah kelalaian kaum profesi yang terjadi sewaktu melaksanakan
profesinya1,2.

Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat


keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau yang
terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud dengan kelalaian disini adalah
sikap kurang hati-hati, yaitu melakukan tindakan kedokteran dibawah standar pelayanan medik.

Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika1 :

Dokter kurang menguasai iptek kedokteran yang sudah berlaku umum dikalangan profesi
kedokteran.
Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi (tidak lege artis.
Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati.
Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.
Jika dokter hanya melakukan indakan yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka ia
hanya telah melakukan malpraktek etik. Untuk dapat menuntut pergantian kerugian karena
kelalaian, maka penggugat harus dapat membuktikan adanya 4 unsur berikut :

Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien.


Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan.
Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti-ruginya.
Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
Sesuai dengan beberapa kategori bidang hukum, maka malpraktek menurut DR. Soerjono
Soekanto, SH, MA dan Dr. Kartono Muhammad dapat dikategorikan dalam bidang hukum3,4:

Malpraktek dalam bidang hukum pidana, ditemukan antara lain karena :


Menipu penderita atau pasien (Pasal 378 KUHP)
Membuat surat keterangan palsu (Pasal 263 dan 267 KUHP)
Melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan kematian atau luka-luka (Pasal 359, 360
dan 361 KUHP)
Melakukan pelanggaran kesopanan (Pasal 290-1, 294-2, 285dan 286 KUHP)
Melakukan penguguran tanpa indikasi medis (Paal 299, 4348, 349 dan 350 KUHP)
Membocorkan rahasia kedokteran yang diadukan penderita (Pasal 322 KUHP)
Kesengajaan memberikan penderita tak tertolong (Pasal 322 KUHP)
Tidak memberikan pertolongan kepada orang yang berada dalam keadaan bahaya maut
(Pasal 351 KUHP)
Memberikan atau menjual obat palsu (Pasal 386 KUHP)
Euthanasia (Pasal 344 KUHP)

Malpraktek dalam bidang hukum perdata ditemukan antara lain dalam hal:
Melakukan wanprestasi (Pasal 1239 KUH Perdata)
Melakukan pelanggaran hukum (Pasal 1365 KUH Perdata)
Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (Pasal 1366 KUH Perdata)
Melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab (Pasal 1367 ayat 3 KUH Perdata)

Malpraktek dalam bidang hukum administrasi ditemukan antara lain dalm hal 2:
Berpraktek tanpa izin (Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 1964)
Melanggar wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak dikenakan pasal 322 atau pasal
112 KUHP (Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1966)
PEMBUKTIAN MALPRAKTEK DI BIDANG KESEHATAN

Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice (malpraktek dibidang kesehatan)
pembuktiannya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :

Cara langsung1
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur 4D yakni :
Duty (Kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah
bertindak berdasarkan :
Adanya indikasi medis
Bertindak secara hati-hati dan teliti
Bekerja sesuai standart profesi
Sudah ada informed consent.
Dereliction of Duty (Penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang dokter tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka
dokter dapat dipersalahkan.
Direct Cause (Penyebab Langsung)
Damage (Kerugian)
Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung)
antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya
dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya, dan hal ini haruslah
dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar
menyalahkan dokter. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka
pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh penggugat
(pasien).

Cara tidak langsung


Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni
dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan
perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa dapat diterapkan apabila fakta-
fakta yang ada memenuhi kriteria :
Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain ada contributy
neglience.
Di dalam transaksi teraupetik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain1 :

Contractual Liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari
hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang
harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care
provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas
pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.

Vicarius Liability
Vicarius Liability atau respondent superior ialah tanggung gugat yang timbul atas
kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggungjawabnya (sub
ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang
mengakibatkan kelalaian perawat sebagai karyawannya.
Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum,
kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, tetapi termasuk
juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut
dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hoogeraad
31 Januari 1919)

ASAS ETIK KEDOKTERAN (Ethical Principles)

Asas etik merupakan kepercayaan atau aturan umum yang mendasar dan dikembangkan
dari sistem etik. Meskipun terdapat perbedaan aliran dan pandangan hidup, serta ada perubahan
dalam tata nilai kehidupan masyarakat secara global, tetapi asas dasar etik kedokteran:
“Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan”. (The health of my patient will be my first
consideration) tetap merupakan asas yang tidak pernah berubah dan merupakan rangkaian kata
yang mempersatukan para dokter di dunia4. Ada enam asas etik yang bersifat universal yang juga
tidak akan berubah dalam etik profesi kedokteran, yaitu :

Asas Menghormati Otonomi Pasien (Principle of Respect to the Patient’s Autonomy)


Pasien mempunyai kebebasan untuk mengetahui serta memutuskan apa yang akan dilakukan
terhadapnya, dan untuk itu perlu diberikan informasi yang cukup. Pasien berhak untuk
dihormati pendapat dan keputusannya, dan tidak boleh dipaksa, untuk itu perlu ada
“informed consent”5.
Asas Kejujuran (Principle of Veracity)
Dokter hendaknya mengatakan hal yang sebenarnya secara jujur apa yang terjadi, apa yang
akan dilakukan serta akibat/risiko yang dapat terjadi. Informasi yang diberikan hendaknya
disesuaikan dengan tingkat pendidikan pasien. Selain jujur kepada pasien, seorang dokter
juga harus jujur kepada dirinya sendiri5.
Asas Manfaat (Principle of Beneficence)
Semua tindakan dokter yang dilakukan terhadap pasien harus bermanfaat bagi pasien untuk
mengurangi penderitaan atau memperpanjang hidupnya. Untuk itu, dokter diwajibkan
membuat rencana perawatan/tindakan yang berlandaskan pengetahuan yang sahih dan dapat
berlaku secara umum, kesejahteraan pasien perlu mendapat perhatian yang utama. Risiko
yang mungkin timbul dikurangi sampai seminimal mungkin dan memaksimalkan manfaat
bagi pasien5.
Asas Tidak Merugikan (Principle of Non Maleficence)
Dokter berpedoman “Primum non nocere” (first of all do no harm), tidak melakukan
tindakan yang tidak perlu, dan mengutamakan tindakan yang tidak merugikan pasien, serta
mengupayakan supaya risiko fisik, risiko psikologik, maupun risiko sosial akibat tindakan
tersebut seminimal mungkin3.
Asas Keadilan (Principle of Justice)
Dokter harus berlaku adil dan tidak berat sebelah pada waktu merawat pasien5.
Asas Kerahasiaan (Principle of Confidentiality)
Dokter harus menghormati kerahasiaan penderita, meskipun penderita telah meninggal5.

PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK DI INDONESIA

Pada tanggal 4 September 1989 di Indonesia mulai berlaku Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 585/MENKES/PER/IX//1989, tentang Persetujuan Tindakan Medik di
Indonesia, dan pada tanggal 17 September 1992 di Indonesia berlaku UU No. 23 tahun 1992
tentang Kesehatan1,3.

Persetujuan Tindakan Medik adalah terjemahan yang dipakai untuk istilah informed
consent. Informed artinya telah diberitahukan, telah disampaikan, atau telah diinformasikan.
Consent artimya persetujuan yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu. 3,4 Dengan
demikian informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah
diberikan penjelasan. Yang dimaksud informed atau memberikan penjelasan disini adalah semua
keadaan yang berhubungan dengan penyakit pasien dan tindakan medik yang akan dilakukan
dokter serta hal-hal lain yang perlu dijelaskan atas pertanyaan pasien dan keluarga.3

Beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai informasi yang diberikan adalah4 :

Informasi harus diberikan, baik diminta maupun tidak


Informasi tidak boleh memakai istilah kedokteran karena tidak dapat dimengerti oleh
orang awam
Informasi harus diberikan sesuai dengan tingkat pendidikan, kondisi dan situasi pasien
Informasi harus diberikan secara lengkap dan jujur, kecuali bila dokter menilai bahwa
informasi tersebut dapat merugikan kepentingan atau kesehatan pasien atau pasien
menolak diberi informasi. Dalam demikian, informasi tersebut diberikan pada keluarga
terdekat dengan didampingi oleh seorang perawat sebagai saksi dan dengan seizin dengan
pasien
Untuk tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasif yang lain, informasi harus diberikan
oleh dokter yang akan melakukan operasi
Untuk tindakan yang bukan bedah dan tindakan yang tidak invasif lainnya, informasi
dapat diberikan oleh dokter atau perawat dengan sepengetahuan atau petunjuk dokter
yang bertanggung jawab
Inti dari persetujuan adalah persetujuan harus didapat sesudah pasien mendapat informasi
yang kuat. Yang harus diperhatikan dan berhak memberikan persetujuan setelah mendapat
informasi adalah5 :

Pasien sendiri, yaitu apabila pasien telah berumur 21 tahun atau telah menikah
Bagi pasien dibawah umur 21 tahun, persetujuan (informed consent) atau penolakan
tindakan medis diberikan oleh mereka yang menurut urutan hak sebagai berikut : ayah/
ibu kandung dan saudara-saudara kandung
Bagi pasien dibawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai orangtua atau orangtuanya
berhalangan hadir, persetujuan (informed consent) atau penolakan tindakan medis
diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut : ayah/ibu adopsi, saudara-
saudara kandung, atau induk semang
Bagi pasien dewasa dengan gangguan mental, persetujuan (informed consent) atau
penolakan tindakan medis diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut :
ayah/ibu kandung, wali yang sah, dan saudara-saudara kandung
Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan (curatelle), persetujuan (informed
consent) atau penolakan tindakan medis diberikan oleh mereka menurut urutan hak
sebagai berikut : wali dan kurator
Bagi pasien dewasa yang telah menikah/orangtua persetujuan (informed consent) atau
penolakan tindakan medis diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut :
suami/istri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung, dan saudara-saudara kandung
REKAM MEDIS

Dengan meningkatnya kerumitan sistem pelayanan kesehatan dewasa ini, rekam medis
atau rekam kesehatan menjadi makin penting. Rekam kesehatan besar pengaruhnya terhadap
kualitas kesehatan yang diterima pasien, juga menyumbangkan nhal yang penting dibidang
hukum kesehatan. Juga rekam mesdis dapat dipergunakan sebagai bahan pendidikan, penelitian
dan akreditas. Oleh karena itu rekam medis harus dipelihara secara cermat, karena penting bagi
sistem pelayanan kesehatan dan penderita. Sebelum rekam medis popular seperti sekarang,
kalangan kesehatan menggunakan istilah “status pasien”. Namun belakangan ini orang lebih
cenderung menggunakan istilah rekam medis sebagai terjemahan dari “medical record”, biarpun
terjemahan yang dibuat oleh Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa Indonesia sebagai hasil
kerjasama dengan Panitia Kerja Pembinaan dan Pengembangan Sistem Pencataan Medis adalah
“rekam medis/kesehatan”.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa rekam medis adalah kumpulan keterangan
tentang identitas, hasil anamnesis, pemeriksaan dan catatan segala kegiatan para pelayan
kesehatan atas pasien dari waktu ke waktu. Catatan ini berupa tulisan maupun gambar, dan
belakangan ini dapat berupa rekaman elektronik seperti komputer, microfilm dan rekaman suara.

Dalam PERMENKES No. 749a/MENKES/XII/89 tentang rekam medis disebut


penegrtian rekam medis adalah : berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas
pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana
pelayanan kesehatan.
Adapun kegunaan-kegunaan rekam medis antara lain sebagai berikut:

Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ikut ambil
bagian dalam memberikan pelayanan , pengobatan dan perawatan pasien.
Merupakan dasar untuk perncanaan pengobatan/perawatan yang harus diberikan pada
pasien.
Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit dan pengobatan
selama pasien berkunjung/dirawat di rumah sakit.
Sebagai dasar analisis, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan kepada
pasien.
Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun dokter dan tenaga
kesehatan lainnya.
Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk kepentingan penelitian dan
pendidikan.
Sebagai dasar didalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medic pasien.
Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta sebagai bahan
pertanggungjawaban dan laporan.
Keterlibatan banyak dalam menangani kesehatan penderita menyebabkan lahirnya
banyak informasi didalam rekam medis. Dengan adanya data kesehatan yang dihasilkan oleh
unit-unit di rumah sakit dan mengandung nilai-nilai ilmiah, maka terciptalah suatu berkas rekam
medis yang dpat dipertanggungjawabkan isinya.

UPAYA PENCEGAHAN MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN KESEHATAN

Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga kesehatan karena


adanya malpraktek diharapkan para dokter dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-
hati, yakni:

Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian
berbentuk daya upaya (inspanin vibintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat
verbintenis)
Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
Mencatat semua tindakan dilakukan rekam medis.
Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter lain.
Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memusakan sehingga dokter
menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga kedokteran seharusnyalah bersifat pasif dan pasien
atau keluarganyalah yang aktif membuktkan kelalaian dokter. Apabila tuduhan kepada bidan
merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan dapat melakukan :

Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa


tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-dotrin yang ada,
misalnya dokter mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi
merupakan resiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dalam
perumusan delik yang dituduhkan.

Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk


pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak
unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri
dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah
pengaruh daya paksa.

PERMASALAHAN

Ade Irma Affandy (37) keguguran saat kandungannya berusia empat bulan. Ibu satu anak
ini menganggap keguguran itu akibat kesalahan dokter dan perawat rumah sakit. Ia pun
melaporkan kasus ini ke polisi. Di kantor pengacaranya, Yasri Febrian Marly, S.H. di Vila Melati
Mas, Serpong (Banten), Ade menuturkan kisah sedihnya. Sudah cukup lama anakku, Muhammad
Mileniu Muchtar (4 tahun 3 bulan) yang akrab kusapa Mimil, minta adik. Aku memang ingin
punya momongan lagi. Namun, tak mudah bagiku untuk hamil. Dulu, setelah menikah dengan
suamiku, Affandy (47), pada tahun 1995, aku juga tidak langsung hamil. Aku selalu mohon pada
Yang Kuasa agar diberi kepercayaan momong bayi. Untuk itu, saya banyak salat, tahajud, puasa
Senin dan Kamis.
Doaku didengar Tuhan. Lima tahun kemudian, barulah aku mengandung Mimil. Doa
yang sama juga kupanjatkan untuk memberi adik pada Mimil. Syukurlah, Januri lalu, kehamilan
yang kutunggu-tunggu datang juga.

Tahu aku hamil, tentu saja seisi rumah gembira menyambutnya. Bahkan, Mimil tak henti-
hentinya berceloteh kalau di perutku ada adik. Sungguh sayang, aku malah keguguran setelah
janin di kandunganku berusia empat bulan. Ya, tentu saja aku kecewa. Apalagi, semua ini karena
keteledoran dokter. Aku kesal, kecewa, dan sakit hati. Aku enggak rela satu nyawa diambil
dariku. Aku sudah dianiaya dan dizalimi.

Baiklah, aku akan menceritakan masalahku. Rabu (14/4), aku mendapati bercak cokelat
di celana dalamku. Tak mau terjadi sesuatu, aku segera memeriksakan diri ke Rumah Sakit
Siloam Gleneagles (RSSG), Lippo Karawaci, Tangerang. Dokter langgananku, Dr. Antonius,
memeriksaku, baik fisik maupun USG. Katanya, kondisi dan kandunganku sehat dan baik. Aku
cuma diminta perlu banyak istirahat dan disuruh minum obat.

Dua hari kemudian, kulihat lagi bercak di celana dalamku. Kali ini tidak berwarna
cokelat tapi merah. Pikiranku jelas kalut. Tanpa menunggu aku kembali ke RSSG. Kembali aku
ditangani dr. Antonius. Dia meyakinkanku bahwa kandunganku tak bermasalah. Dia hanya
memintaku banyak istirahat. Pilihannya, istirahat total di rumah atau dirawat di RS. Kupikir, di
RS perawatannya lebih baik. Suamiku dan Mimil juga berpendapat sama.

Aku pun dirawat di RSGG dan sempat diinfus. Hanya saja, perasaanku enggak enak.
Apalagi, Dr. Antonius sibuk. Ia minta perawat menanganiku atas instruksi tertulisnya, termasuk
memberikan obat. Namun, lima menit setelah minum obat, terjadi kontraksi. Rasanya
kandunganku berputar seperti orang mau melahirkan. Sungguh heran, ketika kukeluhkan
kondisiku pada perawat, mereka bilang enggak apa-apa. Ya, sudah saya pikir juga enggak
masalah. Aku diam saja.

Hanya sebentar aku bisa tenang. Beberapa menit kemudian, kandunganku kembali
berputar. Sungguh sakit. Setelah sakitnya tak terasa lagi, para perawat segera mencari denyut
janin di bawah pusar. Rupanya, mengalami kontraksi. Sakitnya sungguh luar biasa seperti orang
mau melahirkan. Sejurus kemudian, kulihat air keluar dari arah bawah. "Apa itu," pikirku.
Ternyata air ketuban. Segera aku berteriak pada perawat. Mereka membersihkan air ketuban
yang pecah. "Lalu, bagaimana nasib kandunganku?" (Ade tak kuasa menahan tangis. Sesaat ia
terisak-isak, sebelum melanjutkan ceritanya.)

Aku minta perawat untuk menghubungi dr. Antonius agar segera menanganiku. Mereka
bilang agar aku bersabar saja. Dokter akan segera datang karena rumahnya dekat dari RS.
Namun, dokter tidak datang juga. Tak ada jalan lain yang kulakukan selain pasrah.
Namun, pikiranku menjadi semakin kalut ketika melihat darah keluar begitu banyak dari
vaginaku. Rupanya terjadi perdarahan. Para perawat membersihkan darah yang keluar. Tak lama
kemudian, kembali terjadi perdarahan. Setelah itulah janin keluar. Ah, aku tak sanggup lagi
menceritakannya. Yang terbayang di benakku, aku sudah gagal memberi adik pada Mimil.
Aku masih minta perawat untuk menghubungi dr. Antonius. Perawat bilang, dokter sudah
dihubungi tiga kali. Oleh karena sudah diluar jam praktik, bukan tanggung jawab dokter lagi.
Lantas, mana tanggung jawab dia sebagai dokter?

Sungguh aku sedih dan kecewa. Aku menghubungi suamiku lewat ponsel. Begitu
suamiku datang bersama anakku, aku minta dia membawaku pulang. Aku telanjur sudah kecewa
pada dokter dan rumah sakit. Aku, kan, berharap mereka merawat pasien sepertiku dengan baik.
Namun, kejadiannya malah jadi begini. Malam itu juga aku pulang. Ketika bertemu Mimil, aku
merasa berdosa. Apalagi, Mimil ogah kudekati. Aduh, sakitnya hati ini.5

Adapun permasalahan yang timbul dari kasus ini adalah :

Kesalahan dalam meminta persetujuan perawatan atau informed consent dari pasien yang
bernama Irma Affandy.
Kesalahan dr. Antonius dalam mendiagnosis kandungan pasien yang bernama Irma
Affandy.
Sebagai dokter, dr. Antonius tidak melaksanakan hak dan kewajibannya secara umum
maupun kepada penderita
Malpraktek yang dilakukan oleh dr. G. Muhamad Husaeni (menyebabkan kerugian)
dr. Antonius melanggar prinsip etik kedokteran
PEMBAHASAN

Pada kasus yang dihadapi oleh Irma Affandy, terdapat beberapa kesalahan ataupun
kelalaian yang dilakukan oleh dokter dalam melakukan pperawatan terhadap pasien. Salah
satunya yaitu kesalahan dalam permintaan persetujuan ataupun informed consent mengenai
tindakan yang telah dilakukan kepada pasien.

Telah tercantum dalam Permenkes No. 585/Menkes/Per/IX/1989 pasal 3 ayat 1 bahwa


“Setiap tindakan medik yang mengandung risiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.” Dalam kasus ini, dr. Antonius
melakukan kesalahan dalam hal adanya persetujuan tidak tertulis. Dokter tidak memperhatikan
bagaimana keadaan yang dialami oleh Irma Affendy pada saat pertama kali kunjungan pertama
kali5.

Selain itu, pada dasarnya kesenjangan komunikasi antara dokter dan pasien akan
berdampak pada kasus Irma Affandy ini. Sebagai perbandingan, bagaimana perlindungan hak-
hak pasien secara hukum sebagaimana telah diketahui pada tahun 1972 ditetapkan oleh “Patients
Bill of Right” yang direalisasikan oleh The American Hospital Association dimana ditetapkan
hak-hak pasien adalah hak untuk mendapatkan dari dokter informasi yang lengkap mengenai
diagnosis, perawatan dan prognosisnya, hak untuk mendapatkan dari dokter informasi yang
diperlukan untuk mendapat izin lebih dahulu guna memenuhi perawatan, termasuk prosedur
khusus, serta resiko-resiko yang timbul dan hak untuk menolak perawatan yang diperlukan yang
diperbolehkan yang bisa timbul. Apabila perlindungan hak-hak pasien seperti yang telah
ditetapkan oleh “Patients Bill of Right” dilaksanakan dr. Antonius sebagaimana mestinya, maka
kasus Irma Affandy tidak terjadi, karena segala informasi yang sangat diperlukan bagi pihak
pasien biasa diperoleh, demikian juga tentang resiko apa yang bakal diterima oleh pasien sudah
dapat dibayangkan sebelumnya, sehingga tinggal keputusan terakhir pada pasien, bersedia apa
tidak memberikan izin untuk dilakukan perawatan1.

Dan juga, dr. Antonius tidak memperhatikan pasiennya sebagimana yang pasien harapkan
dari seorang dokter. Dr. Antonius juga tidak memberikan keterangan lengkap tentang kandungan
Irma Affandy, dimana pada saat awalnya adanya bercak merah pada celana dalam pasien dan
pasien mengkhawatirkan adanya gangguan dalam janinny dan dokter mengatakan bahwa tidak
apa-apa dan juga bahwa si pasien hanya membutuhkan istirahat. Dan pada saatnya banyak hal
lagi yang terjadi dan dokter hanya menyarankan untuk istirahat. Sampai pada saatnya si pasien
meminum obat dan membuat rahimnya berkontraksi dan mengalami keguguran.
Jika ditinjau dari hukum perdata dan pidana, maka perbuatan dr. Antonius tersebut dapat
dikategorikan sebagai tindak perdata dan pidana yang dapat dihukum sebagaimana tercantum
dalam:

Sanksi pidana yang dapat diterima dr. Antonius


Pasal 360 ayat (2) KUHP : “Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka
sedemikian rupa sehingga menderita sakit untuk sementara waktu dan tidak dapat menjalankan
jabatan atau pekerjaannya selama waktu tertentu diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau kurungan enam bulan atau denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

Sanksi perdata yang dapat diterima dr. Antonius


Pasal 1366 KUH Perdata : “ Setiap orang bertanggungjawab tidak saja atas kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalaian
atau kurang hati-hatinya.”

Dalam kasus tersebut pula, dokter juga telah melanggar prinsip etika kedokteran yaitu
non-maleficence dan autonomy, karena disebutkan bahwa dr. Antonius telah merugikan pasien
Irma Affandy dan menyebabkan pasien mengalami keguguran. Selain itu, dokter tidak
memberikan kesempatan kepada pasien untuk memenuhi haknya dalam mengambil keputusan
mengenai tindakan pengobatan yang akan dilakukan kepadanya serta pada akhirnya malah
memperburuk keadaan pasien. Pada prinsip ini, seharusnya seorang dokter memberikan hak
kepada pasien untuk menentukan nasibnya sendiri. melanggar prinsip kedokteran etik Indonesia,
yaitu asas tidak merugikan (Non-malaficence).

KESIMPULAN DAN SARAN

Menerapkan prinsip bioetika dan etika kedokteran dalam menjalankan tugas profesi
sangat penting bagi seorang dokter. Dengan selalu mempertahankan prinsip-prinsip bioetika dan
etika kedokteran, maka akan memperlancar tindakan perawatan terhadap pasien sehingga akan
menghasilkan apa yang diharapkan oleh pasien, tidak memperburuk keadaan pasien.

Dalam melakukan tindakan perawatan dan pengobatan terhadap pasien, harus senantiasa
memberikan informasi yang dibutukan pasien mengenai keadaan yang dialaminya, dan juga
apabila merasa kurang mengerti dengan keadaan yang dialami pasien dapat langsung merujuk ke
dokter yang lebih ahli dibidang itu dan juga mungkin dapat berkonsultasi dengan dokter yang
lainnya.

Pasien memiliki hak-hak tertentu saat menjalani perawatan kesehatan, seperti hak untuk
mendapatkan informasi, sehingga dokter harus memberikan informasi secara lengkap dan jelas
tentang kesehatan pasien, dan dokter hendaknya meminta persetujuan pasien sebelum melakukan
tindakan medis, karena pasien juga memiliki hak untuk memberi persetujuan. Dan juga dokter
tersebut haruslah memperhatikan obat yang diberikan kepada pasien, karena kelalaian tersebut
dapat berakibat fatal seperti yang dialami pasien tersebut.

Seorang dokter dalam menjalankan profesi medis, hendaknya berdasarkan pada tingkat
standar profesi yang tertinggi sehingga segala tindakan yang dapat memicu malpraktik dapat
diminimalisasikan. Adapun saran yang dapat diberikan apabila seorang dokter ingin memberikan
perawatan kepada pasien yaitu:

Seorang dokter hendaknya melaksanakan tugas profesinya sesuai etik kedokteran dan kode
etik kedokteran.
Seorang dokter hendaknya menjalankan informed consent supaya terhindar dari malpraktik.
Seorang dokter hendaknya membuat rekam medis atas segala keluhan pasien dan perawatan
yang telah dilakukan terhadap pasien.
DAFTAR PUSTAKA

William RJ. Panduan Etika Medis. Alih Bahasa : Tim PSKI FK UMY. Yogyakarta : PSKI FK
UMY. 2005 : 36-45.
Setiawan GC. Jurnal Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Atas Tindakan Malpraktik
yang Dilakukan Oleh Dokter yang Dihubungkan UU No. 29 Tahun 2004 dan UU No. 36
Tahun 2009. UKI Jurnal Online. 2005 : 1-6.
Pohan TS. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Korban Malpraktik Berdsarkan Hukum Positif
Indonesia. FH Universitas Mataram. 2009 : 4-9.
Syafroni M. Tanggungjawab RS Terhadap Malpraktek yang Dilakukan Tenaga Medis
Berdasarkan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. FH Iniversitas Mataram. 2013 : 8-
14.
Syukur H. Tuntut dokter dan Perawat Karena Keguguran. Tabloid Nova Online. 17 Desember
2015. http://nostalgia.tabloidnova.com/articles.asp?id=5062

Anda mungkin juga menyukai