Anda di halaman 1dari 12

Sanksi Bagi Rumah Sakit yang menolak Memberikan Tindakan

Medis
Upaya Defensif Medik yang dilakukan oleh tenaga medis
terhadap pasien, apakah termasuk :
1. Penyimpangan atau pelanggaran terhadap standar

profesi Kedokteran / kesalahan profesi atau malah


malpraktek

medis?

KODEKI?

Apakah

dengan

menolak menangani pasien gawat darurat, dapat


dikategorikan melakukan kelalaian?
2. Menyebabkan terpenuhinya unsur kelalaian berat /
culpa lata?
(Tindakan

menimbulkan

akibat

serius,

fatal,

mengakibatkan kematian (Pasal 359 KUHP, Pasal


360 dan 361))
3. Terdapat hubungan kausal antara wujud perbuatan
di atas dengan akibat pasien tersebut?
4. Apakah Informed consent menjadi hal utama yang
harus

dimiliki

agar

dapat

melakukan

praktek

kedokteran?
5. Bagaimana dengan UU perlindungan konsumen No
8 tahun 1999 yang menyebutkan bahwa pihak
sarana kesehatan mempunyai kewajiban untuk
memberikan pertolongan pengobatan di UGD tanpa
meminta jaminan materi terlebih dahulu?
Defensive Medicine

The Conggressional Office of Technology Assessment ( OTA ) provided a


useful definition of defensive medicine in 1994, defensive medicine
occurs when doctors order tests, or visits, or avoid high risk pateints or
procedures, primarily ( but not necessarily or solely) to reduce their
exposure to malpractice liabillity.
Defensif Medis dikenal ada 2 macam, defensif positif dan defensif
negatif.
Defensif negatif terjadi apabila pihak pemberi pelayanan kesehatan
menghindari atau menolak pasien atau tindakan medis tertentu.
Sedangkan defensif positif terjadi apabila pihak pemberi pelayanan
kesehatan melakukan berbagai pemeriksaan test tambahan atau pun
prosedur untuk mengurangi kerentanan akan tuduhan malpraktek.
Sebagian

besar

defensif

medis

terjadi

untuk

mengurangi

resiko

terjadinya terjadinya tuntutan malpraktek.


Hal ini akan mengakibatkan sistem legal/hukum mempunyai celah untuk
merubah (addressed) kejadian error medis (termasuk di dalamnya error
pada masalah administrasi medis, error saat melakukan triage di unit
gawat darurat) menjadi masalah kriminalitas; dan apabila sampai terjadi
kematian

pasien,

dapat

dituntut

dengan

penelantaran

kriminal

( criminal negligence ) dan pembunuhan tidak berencana.

Budetti notes ( journal of American Medical Association ) , mengatakan


bahwa praktek defensif medis akan mengakibatkan pelanggaran serius

terhadap standar legal pelayanan medis, dan dapat menjadi dasar bagi
tuntutan malpraktek.
Definisi Malpraktek Medis
Menurut WMA ( World Medical Association ) adalah adanya kegagalan
dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien,
atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan / negligence perawatan
pasien yang menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera
pada pasien.
Di dalam profesi tenaga medis berlaku dua norma yaitu norma etika dan
norma hukum.
Apabila terjadi kesalahan dari sudut pandang norma etika maka disebut
ethical malpractice dan apabila terjadi pada sudut pandang hukum
maka disebut yuridical malpractice.
Setiap malpraktik pada norma etik, belum tentu merupakan suatu
pelanggaran pada norma hukum. Akan tetapi setiap malpraktek pada
norma hukum juga merupakan pelanggaran pada norma etika.
Unsur Pelanggaran :
1) Negliegence (kelalaian)
Terjadi apabila tenaga medis dengan tidak sengaja melakukan
sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak boleh dilakukan atau tidak
melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang
lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan
situasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama.
Suatu peristiwa buruk yang timbul yang tidak dapat diduga sebelumnya,
yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar terapi

mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk dalam malpraktik


atau kelalaian medik.
Suatu kegagalan medis sering dikaitkan dengan kejadian malpraktek
dan menjadi sebuah tuntutan hukum. Padahal kegagalan tersebut dapat
disebabkan oleh empat hal yaitu :
1. Hasil dari perjalanan penyakit penyakitnya sendiri, tidak
berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan dokter.
2. Hasil dari suatu resiko medis yang tidak dapat dihindari, yaitu
resiko yang tidak dapat diketahui sebelumnya ( unforeseeable )
atau pun resiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya
( foreseeable ) tetapi tidak dapat/ tidak mungkin dapat
dihindari, karena tindakan yang dilakukan adalah satu-satunya
cara terapi. Resiko tersebut harus diinformasikan terlebih
dahulu.
3. Hasil dari suatu kelalaian medik / culpa (lata, levis, levissima).
Kelalaian dapat berupa malfeasance (melanggar hukum/tidak
tepat dengan melakukan tindakan medis tanpa indikasi medis
yang jelas), misfeasance (melakukan pilihan tindakan medis
yang tepat tapi tidak tepat), dan nonfeasance (tidak melakukan
tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya).
4. Hasil dari suatu kesengajaaan, professional misconduct dan
merupakan tindakan pidana.

Pada malpraktik hukum, terdapat 3 kategori yaitu


1. criminal malpractice
2. civil malpractice
3. administrative malpractice
A. Criminal Practice

Suatu

tindakan

dikategorikan

malpraktik

kriminal

apabila

perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan tercela, dilakukan


dengan

sikap

batin/mens

rea

yang

sengaja,

kecerobohan

(reckleness) atau kealpaan (nehligence). Pertanggung jawaban di


depan hukum pada malpraktik ini bersifat individual.
B. Civil Malpractice
Apabila tidak / terlambat melaksanakan kewajiban atau tidak
memberikan prestasinya/ ingkar janji.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individu atau
korporasi

(selama

individu

tersebut

bekerja

dalam

rangka

melaksanakan tugas kewajibannya) , dan dapat pula dialihkan ke


pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Bisa dibuktikan
dengan ditemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa
loquitur)
C. Administrative malpractice
Apabila tenaga medis tersebut melanggar ketentuan / hukum
administrasi.

Dalam kasus atau gugatan civil malpractice, pembuktian dilakukan


dengan dua cara :
1. Cara langsung
Kelalaian dibuktikan dengan 4 D yaitu
a. Duty / kewajiban
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien
haruslah

dokter

bekerja

berdasarkan

indikasi

medis,

bertindak secara hati-hati dan teliti, sesuai standar profesi,


dan sesuai informed consent.
b. Dereliction of Duty
Jika tenaga medis melakukan tindakan yang menyimpang
dari apa yang seharusnya ia kerjakan, atau tidak melakukan
apa yang sesuai menurut standar profesi.
c. Direct cause
d. Damage
Adanya hubungan langsung antara penyebab (causal) dan
kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak
ada tindakan/peristiwa diantaranya, serta dibuktikan dengan
jelas. Hasil outcome atau negatif tidak dapat sebagai dasar
menyalahkan dokter.
2. Cara tidak langsung
Yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya
sebagai hasil layanan perawatan ( doktrin res ipsa loquitur ).
Dokgrin ini dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada
memenuhi kriteria :

a. Fakta tidak mungkin terjadi apabila dokter tidak lalai


b. Fakta yang terjadi memang berada dalam tanggung jawab
dokter
c. Fakta tersebut terjadi tanpa adsa kontribusi dari pasien,
tidak ada contributory negligence.
Di dalam tindakan terapeutik ada beberapa macam hal yang dapat
digugat :
I. Contractual liability

Akibat tidak terpenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual


yang sudah disepakati, kecuali di lapangan pengobatan. Di
lapangan pengobatan, kewajiban yang harus dipenuhi adalah daya
upaya maksimal bukan keberhasilan.
II. Vicarius liability / respondeat superior
Pihak yang bertanggung jawab adalah RS, atas kesalahan yang
diakibatkan oleh tenaga medisnya
III. Liability of port
Tanggung gugat yang tidak didasarkan atas adanya contractual
obligation tetapi atas perbuatan melawan hukum.
IV. Strict liability
Tanggung gugat tanpa kesalahan ( liability without fault ) baik
yang

bersifat

Tanggung

intensional,

gugat

ini

reckleness

biasanya

atau

berlaku

pun

bagi

negligence.

produk

yang

dihasilkannya, kecuali produsen telah memberikan peringatan


akan kemungkinan terjadinya resiko tersebut.
Informed consent (menurut Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 585 tahun 1989)
Adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya
atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut.
Suatu Informed consent harus meliputi :
I. Penjelasan mengenai tindakan, terapi dan penyakitnya
II. Penjelasan mengenai hasil terapi yang diharapkan dan
seberapa besar kemungkinan keberhasilannya
III. Penjelasan mengenai beberapa alternatif yang ada dan
akibat apabila penyakit tidak diobati

IV. Resiko apabila menerima atau menolak terapi


V. Efek samping yang meungkin terjadi dalam penggunaan
obat atau tidakan pemeriksaan dan operasi yang dilakukan.
Ada 2 bentuk persetujuan Tindakan medis :
I. Implied consent (dianggap diberikan)
Dokter

dapat

menangkap

persetujuan

tindakan

medis

tersebut sebagai isyarat yang diberikan/dilakukan pasien.


Apabila dokter memerlukan tindakan segera namun pasien
dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan
keluarganya

tidak

ada

ditempat

maka

dokter

dapat

melakukan tindakan medis terbaik menurut dokter.


II. Expressed Consent
Dapat dinyatakan secara tertulis dan lisan. Dalam tindakan
yang mengandung resiko, dokter sebaiknya mendapat
persetujuan secra tertulis, atau yang secara umum dikenal
sebagai surat ijin operasi.
Dalam keadaan gawat darurat, informed consent tetap merupakan
hal yang penting namun bukanlah prioritas teratas. Prioritas utama
adalah tetap menyelamatkan nyawa seorang pasien, pada saat
keluarganya tidak ada di tempat. Walaupun keluarga pasien telah
hadir dan kemudian tidak menyetujui tindakan medis, maka
berdasarkan

doktrin

of

necesity,

PerMenKes

No.

585/

PerMenKes/Per/IX/1989 ( tentang persetujuan tindakan medis ),


bahwa dalam keadaan emergensi, tidak diperlukan informed
consent.

Berikut

adalah

Undang-undang

dan

peraturan

yang

mengatur tentang penangan pasien gawat darurat di


rumah sakit :
o Pada Pasal 32 Undang-undang No 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan, menyebutkan bahwa rumah sakit sebagai salah
satu fasilitas, pelayanan kesehatan dilarang menolak pasien
yang dalam keadaan darurat serta wajib memberikan
pelayanan untuk menyelamatkan nyawa pasien.
o Pada pasal 85 UU kesehatan juga menyebutkan bahwa pada
keadaan

bencana,

pemerintah

dan

fasilitas

swasta

pelayanan

wajib

kesehatan

memberikan

baik

pelayanan

kesehatan pada bencana bagi penyelamatan nyawa pasien

dan mencegah kecacatan. Fasilitas pelayanan kesehatan


dilarang untuk menolak pasien pasien dan atau meminta
uang muka terlebih dahulu.
o Pada pasal 190 ayat 1 dan 2 UU kesehatan menyebutkan
bahwa baik pihak fasilitas pelayanan kesehatan ataupun
tenaga kesehatan yang melakukan praktik / pekerjaan di
fasilitas tersebut, dapat dipidana dengan penjara paling
lama

(dua)

tahun

dan

denda

paling

banyak

200.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah ) apabila menolak


dengan sengaja memberikan pertolongan kepada pasien
yang gawat darurat.
Apabila timbul kecacatan atau kematian, maka pimpinan
fasilitas kesehatan tersebut dan / tenaga kesehatan tersebut
dapat dipidana paling lama 10 ( sepuluh ) tahun dan denda
paling banyak 1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah ).
o UU No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, pasal 29 ayat 1
huruf c, menyebutkan bahwa rumah sakit wajib memberikan
pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan
kemampuan pelayanannya.
o Undang-undang

No

36

tahun

2014

tentang

tenaga

kesehatan, pasal 59 ayat 1 menyebutkan bahwa tenaga


kesehatan

yang

menjalankan

pelayanan

kesehatan

wajib

praktek

pada

memberikan

fasilitas

pertolongan

pertama kepada penerima pelayanan kesehatan dalam


keadaan gawat darurat dan/ bencana untuk penyelematan
nyawa dan pencegahan kecacatan.

Mengenai persetujuan tindakan medik / informed consent baik


dari pasien aataupun keluarganya diatur dalam :
o UU No 29 tahun 2004 tentang praktek Kedokteran, dalam pasal 51
menyebutkan bahwa salah satu kewajiban dokter atau dokter gigi
dalam

melaksanakan

praktik

kedokteran

harus

melakukan

pertolongan gawat darurat atau atas dasar kemanusiaan serta


memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional, serta kebutuhan medis pasien.
o Pasal 37 ayat 1 UU Rumah Sakit bahwa setiap tindakan kedokteran
harus memperoleh persetujuan dari pasien kecuali pasien tidak
cakap atau pada keadaan darurat.
o Penjelasan pasal 68 ayat 1 UU Tenaga Kesehatan yang berbunyi
Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan nyawa
penerima pelayanan kesehatan, tidak diperlukan persetujuan.

Namun, setelah penerima pelayanan kesehatan sadar atau dalam


kondisi yang sudah memungkinkan segera diberi penjelasan.
o Peraturan KKI No 4 tahun 2011 tentang disiplin profesional Dokter
dan Dokter Gigi, penjelasan pasal 3 ayat o :
a.

Menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan adalah


kewajiban yang mendasar bagi setiap manusia, utamanya
bagi profesi Dokter dan Dokter Gigi di sarana pelyanan
kesehatan.

b.

Kewajiban tersebut dapat diabaikan apabila membahayakan


dirinya atau apabila telah ada individu lain yang mau dan
mampu melakukannya atau karena ada ketentuan lain yang
telah diatur oleh sarana pelayanan kesehatan tertentu.

o Pertolongan yang secara ilmu kedokteran harus segera dilakukan


untuk mencegah kematian, kecacatan atau penderitaan yang
berat pada seseorang.

Anda mungkin juga menyukai