PENDAHULUAN
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas struktur tulang baik secara complete maupun
incomplete. Patahan tadi mungkin bisa lebih dari satu retakan, biasanya patahan itu lengkap
Tingginya mobilitas manusia dalam menghadapi kemajuan teknologi pada tahun ini
pada tahun 2010-2014, proporsi cidera karena kecelakaan lalu lintas berkisar antara 15-22
persen. (Korlantas Polri RI, 2015). Salah satu akibat dari kecelakaan tersebut adalah fraktur
atau patah tulang. Penyebab fraktur adalah adanya tekanan atau hantaman yang sangat keras
dan diterima secara langsung. Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat di tahun 2011 terdapat
lebih dari 5,6 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1.3 juta orang
mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup
tinggi yaitu insiden fraktur ekstrimitas bawah sekitar 40% dari insiden kecelakaan yang terjadi.
Salah satu contoh fraktur yang biasanya terjadi pada kecelakaan lalu lintas adalah fraktur pada
tulang tibia. Fraktur tibia merupakan salah satu jenis fraktur pada ekstremitas bawah yaitu suatu
istilah untuk patah tulang tibia yang biasanya terjadi pada bagian metafisis dan diafisis.
Dilihat dari aspek fisioterapi pada patah tulang dapat ditangani dengan terapi secara
konservatif dan operatif,, fraktur tibia dapat menimbulkan berbagai tingkat gangguan yaitu
impairment berupa bengkak pada ankle dan tungkai bawah, nyeri sekitar luka operasi,
keterbatasan luas gerak sendi ankle. Dampak lebih lanjut adalah adanya satu bentuk functional
1
limitation yang berupa kesulitan dalam melakukan aktivitas fungsional terutama jongkok,
berdiri dan berjalan. Disamping itu timbul juga adanya ketidakmampuan dalam melaksanakan
aktivitasnya seperti semula yaitu sebagai buruh yang disebut dengan disability.
Menurut standar pelayanan fisioterapi disarana kesehatan tahun 2008, fisioterapi sebagai
salah satu tenaga kesehatan yang mempunyai peranan penting dalam upaya melakukan
penyembuhan dan pemulihan terhadap impermen, injuri, keterbatasan fungsi, disabilitas, serta
memelihara dan meningkatkan kesehatan, kebugaran, kualitas hidup pada individu segala umur,
Modalitas yang digunakan oleh fisioterapi dalam upaya pemulihan dan pengembalian
kemampuan fungsional pada pasien fraktur adalah dengan terapi latihan yang sesuai dengan
fase rehabilitasi fraktur. Peran fisioterapi sangat penting dalam mengatasi permasalahan akibat
dari tindakan operasi yaitu dengan memberikan terapi latihan yang berupa static contraction
yang dikombinasi dengan positioning (elevasi) untuk pengurangan oedem pada tungkai bawah
sehingga nyeri dapat berkurang, latihan gerak pasif untuk pemeliharaan dan pengembalian luas
gerak sendi ankle , latihan gerak aktif untuk pemeliharaan luas gerak sendi ankle , latihan
Terapi latihan merupakan salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang
pelaksanaannya menggunakan latihan gerak pasif dan aktif . Macam dari terapi latihan tersebut
latihan jalan. Terapi latihan disini bermanfaat dalam mengurangi nyeri akibat oedem dan luka
2
menambah atau memelihara luas ger ak pergelangan kaki serta melatih aktivitas jalan sehingga
dengan latihan tersebut pasien diharapkan bisa kembali beraktivitas seperti semula.
Rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana penatalaksanaan fisioterapi yang
Tujuan penulisan pada makalah ini adalah untuk melaksanakan penatalaksanaa program
Manfaat penulisan makalah ini adalah; (1) bagi fisioterapu untuk menambah pengetahuan
dan wawasan mengenai penatalaksanaan fisioterapi pada pasien fraktur tibia sehingga dapat
mengurangi nyeri dan meningkatkan luas gerak sendi dan kekuatan otot serta mencegah potensial
problem sehingga dapat memperbaiki kapasitas fisik dan kemampuan fungsional dalam
melakukan aktivitas sehari–hari, (2) bagi masyarakat dapat memberikan wawasan atau
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1Tulang
Tulang tibia terdiri dari tiga bagian yaitu epyphysis proksimalis, diaphysis dan
epiphysis. Epiphysis proksimalis terdiri dari dua bulatan yaitu condilus medialis dan
condilus lateralis. Pada permukaan proksimal terdapat permukaan sendi untuk bersendi
dengan tulang femur disebut facies articularis superior yang ditengahnya terdapat
yang menghadap ke lateral disebut facies articularis untuk bersendi dengan tulang fibula.
Diaphysis mempunyai tiga tepi yaitu margo anterior, margo medialis, dan crista
interosea disebelah lateral. Sehingga terdapat tiga dataran yaitu facies medialis, facies
posterior dan facies lateralis. Margo anterior di bagian proksimal menonjol disebut
tuberositas tibia.
Pada epiphysis distalis bagian distal terdapat tonjolan yang disebut malleolus
medialis, yang mempunyai dataran sendi menghadap lateral untuk bersendi dengan talus
disebut facies malleolus lateralis. Epiphysis distalis mempunyai dataran sendi lain yaitu
facies articularis inferior untuk dengan tulang talus dan incisura fibularis untuk bersendi
4
Gambar 2.1 Anatomi tulang tibia
- Otot penggerak fleksi lutut antara lain : m. biceps femoris, m. semi tendi nosus, m.
semi membranosus.
- Otot penggerak ekstensi lutut antara lain : m.s vastus lateralis, vastus intermedius, m.
- Otot penggerak eksorotasi lutut antara lain : m. biceps femoris, m.extensor fascialata,
5
b. Otot penggerak sendi ankle.
brevis.
- Otot penggerak dorsi fleksi antara lain : m. Tibialis anterior, m. extensor digitorum
Otot-otot disekitar tibia dan fibula dipersarafi oleh nervus ischiadicus yang
merupakan cabang plexus sacralis (L4, 5 dan S1, 2, 3) meningggalkan regio glutealis
menuju kebawah sepanjang caput longum m. Biceps femoris. Setelah sampai pertengahan
paha pada bagian posterior ditutupi oleh tepian m. Biceps femoris dan m.
Semimembranosus yang berdekatan. Nervus ini terletak pada apex posterior m. Adductor
magnus pada sepertiga pada bagian paha bawah kemudian berahkir dan pecah menjadi n.
Tibialis dan n. Peroneus communis. Nervus ischiadicus pecah menjadi terminal pada
bidang lebih tinggi pada bagian atas paha, regio gluteal bahkan didalam pelvis.
Fraktur adalah pemecahan atau kerusakan suatu bagian terutama tulang (Dorland, 2002).
Literatur lain menyebutkan bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas
jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma (Mansjoer A, 2002)
6
Fraktur atau patah tulang adalah hilangnya kontinuitas struktur pada tulang rawan atau
senditulang rawan epifisis baik secara complete maupun incomplete. Kebanyakan fraktur terjadi
karena kegagalan tulang menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar dan
tarikan. Pada fraktur complete dengan fragmen tulang yang bergeser. Sedangkan fraktur
incomplete merupakan patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan garis patah tidak
menyeberang, sehingga tidak mengenai seluruh korteks (masih ada korteks yang utuh).Trauma
pada fraktur dapat bersifat langsung maupun tidak tangsung. Trauma langsung menyebabkan
tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi
biasanya besifat kominutif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan. Trauma tidak
langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur,
misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada
2.2.2 Etiologi
Secara umum tulang bersifat relative rapuh, meskipun mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan atau gaya. Berikut merupakan etiologi terjadinya fraktur:
a. Trauma
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan,
yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau penarikan. Bila
terkena kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat yang terkena, jaringan lunaknya
juga pasti rusak. Bila terkena kekuatan tak langsung, tulang dapat mengalami fraktur pada
tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu, kerusakan jaringan lunak di tempat
7
b. Fraktur kelelahan/stress
Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia atau fibula atau metatarsal, terutama
pada atlet, penari, dan calon tentara yang jalan berbaris dalam jarak jauh.
c. Fraktur patologik
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah (misalnya
oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit Paget).
2.2.3 Patofisiologi
Fraktur merupakan ganggguan pada tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma yang
menyebabkan adanya gangguan dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik
dan gangguan patologik. mendapat tekanan yang berlebihan, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan tersebut mengakibatkan jaringan tidak
mampu menahan kekuatan yang mengenainya. Maka tulang menjadi patah sehingga tulang
yang mengalami fraktur akan terjadi perubahan posisi tulang, kerusakan hebat pada struktur
jaringan lunak dan jaringan disekitarnya yaitu ligament, otot, tendon, pembuluh darah dan
persyarafan yang mengelilinginya (Long, B.C, 1996). Periosteum akan terkelupas dari tulang
dan robek dari sisi yang berlawanan pada tempat terjadinya trauma. Ruptur pembuluh darah
didalam fraktur, maka akan timbul nyeri. Tulang pada permukaan fraktur yang tidak mendapat
Setelah fraktur lengkap, fragmen-fragmen biasanya akan bergeser, sebagian oleha karena
kekuatan cidera dan bias juga gaya berat dan tarikan otot yang melekat. Fraktur dapat tertarik
dan terpisah atau dapat tumpang tindih akibat spasme otot, sehingga terjadi pemendekkan
tulang (Apley, 1995), dan akan menimbulkan derik atau krepitasi karena adanya gesekan antara
fragmen tulang yang patah (Long, B.C, 1996). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh
8
darah serta saraf dalam korteks, marrow dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula
tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan
vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit serta infiltrasi sel darah putih yang akhirnya menjadi
Menurut Mansjoer A (2002), ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia
a. Fraktur tertutup (closed) Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh)
tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
- Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
- Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
- Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam
dan pembengkakan.
- Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
patah menembus otot dan kulit yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi
9
dimana kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derajat
- Derajat II Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen jelas.
- Derajat III Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
Sedangkan menurut Price dan Wilson (2006) kekuatan dan sudut dari tenaga
fisik, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah
fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh
tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan
tulang. Bentuk garis patahan dan hubungannya dengan mekanisme trauma ada 5, yaitu:
- Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan
- Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu
- Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya spiral yang di sebabkan oleh
trauma rotasi.
- Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong
- Fraktur Avulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), fraktur yang dibedakan pada jumlah
10
- Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
- Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
- Fraktur Multipel : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama
Proses penyembuhan fraktur beragam sesuai dengan tulang yang terkena dan
tempat fraktur. Penyembuhan dimulai dengan lima tahap, yaitu : Tahap kerusakan jaringan
dan pembentukan hematom, tahap radang dan proliferasi seluler, tahap pembentukan kalus,
11
Tahap kerusakan jaringan dan pembentukan hematom terjadi pada 1-3 hari. Pada
tahap ini dimulai dengan robeknya pembuluh darah dan terbentuk hematoma di sekitar dan di
dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, yang tidak mendapat persediaan darah, akan
mati sepanjang satu atau dua milimeter. Hematom ini kemudian akan menjadi medium
pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan
Tahap radang dan proliferasi seluler terjadi pada tiga hari sampai dua minggu.
Setelah pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel di bawah
periosteum dan di dalam saluran medulla yang tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh
jaringan sel yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahanlahan
diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke dalam daerah tersebut (Sjamsuhidajat
dkk, 2011).
Tahap pembentukan kalus terjadi pada 2-6 minggu. Sel yang berkembangbiak
memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan
mulai membentuk tulang dan dalam beberapa keadaan, juga kartilago. Populasi sel juga
mencakup osteoklas yang mulai membersihkan tulang yang mati. Massa sel yang tebal,
dengan pulau-pulau tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada
permukaan periosteal dan endosteal. Sementara tulang fibrosa yang imatur menjadi lebih
padat, gerakan pada tempat fraktur semakin berkurang pada empat minggu setelah fraktur
Osifikasi terjadi pada tiga minggu sampai enam bulan. Kalus (woven bone) akan
membentuk kalus primer dan secara perlahan–lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang
oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur lamellar dan kelebihan kalus akan di resorpsi
12
secara bertahap. Pembentukan kalus di mulai dalam 2-3 minggu setelah patah tulang melalaui
proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar
Konsolidasi terjadi pada 6-8 bulan. Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik
berlanjut, fibrosa yang imatur berubah menjadi tulang lamellar. Sistem itu sekarang cukup
kaku untuk memungkinkan osteoblast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan
dekat di belakangnya osteoblas mengisi celah-celah yang tersisa antara fragmen dengan tulang
yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu sebelum tulang cukup kuat untuk
Remodeling terjadi pada 6-12 bulan. Proses resorpsi dan pembentukan tulang yang
baru terbentuk agar dapat dibentuk kembali sehingga akan memperoleh bentuk yang mirip
Terdapat beberapa faktor yang bisa menentukan lama penyembuhan. Setiap faktor
akan memberikan pengaruh penting terhadap proses penyembuhan (Noor, 2013). Faktor –
13
a. Umur penderita. Waktu penyembuhan tulang pada anak-anak jauh lebih cepat
c. Pergeseran awal fraktur. Pada fraktur yang tidak bergeser di mana periosteum
tidak bergeser, maka penyembuhan dua kali lebih cepat dibandingkan pada fraktur
yang bergeser.
g. Ruangan diantara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan lunak. Jika
ditemukan interposisi jaringan baik berupa periosteum maupun otot atau jaringan
h. Faktor adanya infeksi dan keganasan lokal. Infeksi dan keganasan akan
14
2.2.6 Komplikasi
a. Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen, komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam
ruang tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan
hambatan aliran darah 15 yang berat dan berikutnya menyebabakan kerusakan pada otot. Gejala -
gejalanya mencakup rasa sakit karena terdapat ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang
berhubungan dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan
b. Nekrosis avaskular
Nekrosis avaskular dapat tejadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling
sering mengenai fraktur intrascaplar femur. Karena nekrosis 10 avaskuler mencakup proses yang
terjadi dalam periode waktu yang cukup lama, pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya
c. Osteomyelitis
Osteomyelitis adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan atau korteks
tulang dapat berupa eksogenous atau hematogeneus. Patogen dapat masuk melalui fraktur terbuka,
luka tembus, atau selama operasi. luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat
tulang tulangnya, luka amputasi karena truma dan frakturfraktur dengan sindrom kompartemen
d. Neglected
Neglected fraktur adalah yang penanganannya lebih dari 72 jam. sering terjadi akibat
penanganan fraktur pada ekstremitas yang salah oleh bone 11 setter (ahli patah tulang). Umumnya
15
terjadi pada yang berpendidikan dan berstatus sosioekonomi yang rendah. Neglected fraktur dibagi
e. Malunion
deformitas yang berbentuk angulasi, varus/valgus, rotasi, kependekan, atau union secara
f. Delayed union
Delayed union adalah fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu 3-5 bulan (tiga bulan
untuk anggota gerak atas dan lima bulan untuk anggota gerak bawah).
g. Nonunion
Terjadi apabila fraktur tidak menyembuh dalam 6-8 bulan dan tidak didapatkan konsolidasi
Komplikasi frktur terbuka atau reduksi terbuka suattu fraktur tertutup yang eradikasinya
kurang baik, dapat menyebabkan terjadinya osteomielitis kronik yang resisten terhadap
pengobatan. Selain itu, osteomielitis kronik lokalsering menyebabkan delayed union bahkan
nonunion dan fraktur tidak dapat sembuh walaupun infeksi dapat diatasi.
16
i. Atrofi Sudeck
Komplikasi ini biasanya ditemukan akibat kegagalan penderita untuk mengembalikan fungsi
normal tangan atau kaki setelah penyebuhan trauma. Penderita mengeluh nyeri hebat pada tangan
dan kaki jika digerakkan. Sendi menjadi kaku, jaringan lunak membengkak dan kulit menjadi
Miositis osifikans kadang-kadang terjadi seteah suatu fraktur/dislokasi serta trauma otot
khususnya pada daerah siku dan paha pada anak-anak dan orang dewasa. Ditemukan
pembengkakan dan nyeri yang hebat akibat trauma pada jaringan. Massa ini merupakan suatu
hematoma yang bersifat radiolusen tapi pada pemeriksaan radiologis ditemukan adanyaosifikasi
yang luas.
ekstrimitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna. 1. Nyeri terus menerus dan
bertambah beratnya sampai fragmen tulang di imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur
merupakan bentuk bidai alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang. 2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas yang normal.
Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot. 9 3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang
yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. 4. Saat
17
ekstrimitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang dinamakan krepitus yang
teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainya. 5. Pembengkakan dan perubahan
warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
Tanda ini biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera (Smelzter dan
Bare, 2001).
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang
yang mengalami fraktur dan merupakan open reduksi merupakan suatu tindakan pembedahan
untuk memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah / fraktur sedapat mungkin kembali seperti
letak asalnya. Internal fiksasi biasanya melibatkan penggunaan plat, sekrup, paku maupun suatu
intramedulary (IM) untuk mempertahan kan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi. Orif adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan
internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi
fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa
Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers.
ORIF merupakan reposisi secara operatif yang diikuti dengan fiksasi interna. Fiksasi
interna yang dipakai biasanya berupa plate and screw. Keuntungan ORIF adalah tercapainya
reposisi yang sempurna dan fiksasi yang kokoh sehingga pascaoperasi tidak perlu lagi dipasang
gips dan mobilisasi segera bisa dilakukan. Kerugiannya adalah adanya risiko infeksi tulang
(Sjamsuhidajat & Jong, 2010). Indikasi tindakan ORIF pada fraktur femur bagian distal antara lain
fraktur terbuka, fraktur yang dihubungkan dengan neurovascular compromise, seluruh displaced
fractures, fraktur ipsilateral ekstrimitas bawah, irreducible fractures, dan fraktur patologis
18
(Thomson & Jonna, 2014). Prinsip umum dari fiksasi interna antara lain dengan menggunakan pin
and wire, plate and screw, tension‒band principle, intramedullary nails dan biodegradable fixation.
Pin and wires menggunakan metode Kirschner wires (K‒wires) dan Steinmann pins memiliki
beberapa kegunaan, mulai dari traksi skeletal hingga fiksasi fraktur yang sementara dan definitif.
Metode ini juga memberikan fiksasi sementara untuk rekonstruksi dari fraktur yang melibatkan
1) Oedema
Oedema dapat terjadi karena adanya kerusakan pada pembuluh darah akibat dari
incisi, sehingga cairan yang melewati membran tidak lancar dan tidak dapat tersaring lalu
2) Nyeri
Nyeri dapat terjadi karena adanya rangsangan nociceptor akibat incisi dan adanya
3) Keterbatasan LGS
Permasalahan ini timbul karena adanya rasa nyeri, oedema, kelemahan pada otot
sehingga pasien tidak ingin bergerak dan beraktivitas. Keadaan ini dapat menyebabkan
19
Pada kasus ini potensial terjadi penurunan kekuatan otot karena adanya nyeri dan
oedema sehingga pasien enggak menggerakkan dengan kuat. Tetapi jika dibiarkan terlalu
Pada penderita pasca operasi fraktur tibia akan ditemui berbagai tanda dan gejala
yaitu pasien mengalami oedema pada daerah yang mengalami fraktur, timbul nyeri akibat
incisi, keterbatasan lingkup gerak sendi, dan gangguan aktivitas fungsional terutama
gangguan berjalan.
6) Komplikasi
Pada kasus ini jarang sekali terjadi komplikasi karena incisi relatif kecil dan fiksasi
cenderung aman. Komplikasi akn terjadi bila ada penyakit penyerta dan gangguan pada
7) Prognosis
Prognosis pada pasca operasi fraktur tibia dikatakan baik apabila pasien secepat
fungsionalnya. Prognosis pada status fungsional yaitu baik selama pasien mendapatkan
Pada rehabilitasi post fraktur tibia dibagi menjadi lima fase, fase I (hari pertama sampai
satu minggu), fase II (dua sampai empat minggu), fase III (empat sampai enam minggu), fase IV
20
Pada fase I (hari pertama sampai satu minggu) merupakan fase inflamasi. Hematoma
fraktur didominasi oleh sel-sel radang dan debridement fraktur baru dimulai. Pada sinar-x kalus
belum ada.
Pada fase II (dua minggu sampai empat minggu) adalah fase reparatif yaitu sel-sel
osteoprogenitor berdiferensiasi menjadi osteoblast dan melakukan anyaman tulang. Pada sinar-x
biasanya tampak terbentuknya kalus awal tetapi garis fraktur masih terlihat.
Pada fase I dan II harus menghindari gerakan pasif. Kisaran gerak aktif yang diperbolehkan
adalah fleksi 600 sampai 900 dan ekstensi penuh pada lutut serta tidak boleh menumpu berat badan
pada sisi yang cidera. Latihan pada lutut dengan latihan isometrik untuk otot quadriceps dengan
Pada fase III (empat minggu sampai enam minggu), masuk pada fase reparatif. Kalus
endosteal terlihat mendominasi menjembatani tempat fraktur, sehingga stabil tetapi kekuatan kalus
terutama pada beban torsial jauh lebih rendah dari tulang normal. Garis fraktur terlihat berkurang.
Pada fase ini gerakan yang tidak diperbolehkan adalah melakukan kisaran gerak pasif. Lathan
gerak aktif pada lutut lebih dari 90⁰ dan jika fraktur stabil latihan gerakan fleksi dan ekstensi
dengan gerak aktifbantuan. Latihan penguatan otot dimulai dengan latihan isometrik pada otot
quadricep dan otot hamstring tetapi belum boleh menumpu berat badan.
Pada fase IV (delapan minggu sampai 12 minggu), masuk pada fase remodeling awal.
Anyaman tulang diganti dengan tulang lamelar. Proses remodeling memerlukan waktu berbulan-
bulan sampai bertahuntahun hingga sempurna. Pada fase ini, yang harus diperhatikan adalah tidak
diperbolehkannya melakukan kisaran gerak pasif agresif. Latihan gerak aktif, aktif dengan bantuan
21
dan gerak pasif dilakukan secara bertahap. Penguatan otot pada lutut dengan latihan isometrik dan
isotonic untuk otot quadricep dan hamstring. Latihan ambulasi tanpa penanggungan beban.
Pada fase V (12 minggu sampai 16 minggu), masuk pada tahap remodeling. Anyaman
tulang terus diganti dengan tulang lamelar. Proses remodeling berlangsung berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun hingga selesai. Seiring dengan waktu, akan terjadi resorpsi kalus. Pada fase ini,
yang perlu diperhatikan adalah jangan terlalu agresif saat melakukan latihan gerak pasif terutama
gerakan ekstens. Penguatan otot lutut dengan latihan isometrik, isotonik, dan isokinetik pada otot
quadricep dan otot hamstring dilakukan dengan tahanan ringan yang progresif. Ambulasi dan
transfer dengan partial weight bearing menggunakan tongkat penyangga, ditingkatkan sampai
2.3.1 Definisi
a. Definisi
Fraktur tibia adalah terputusnya kontinuitas dari tulang tibia. Fraktur pada tibia dapat
terjadi pada bagian metafisis pada proksimal atau distal dari tulang tibia, dan juga pada bagian
diafisis. Fraktur juga dapat terjadi pada tibia dan fibula secara bersamaan.
b. Pemeriksaan Radiologis
Dengan pemeriksaan radiologis dapat ditentukan lokasi fraktur, jenis fraktur, apakah
fraktur pada tibia dan fibula atau pada tibia saja atau fibula saja. Juga dapat ditentukan apakah
22
2.3.2 Problematika Fisioterapi
Problematika yang sering terjadi pada pasca operasi fraktur tibia, antara lain : (1)
impairment berupa nyeri gerak akibat luka incisi operasi, oedema pada tungkai kanan terjadi
karena suatu reaksi radang terhadap cidera jaringan, rasa nyeri dan oedema dapat mengakibatkan
menurunnya lingkup gerak sendi, serta menurunnya kekuatan otot aoabila dibiarkan lama tidak
bergerak. Hal ini juga dapat menimbulkan atrofi pada otot akibat tidak bergerak (2) functional
limitation berupa penurunan kemampuan transfer dan ambulasi, (3) participation restriction berupa
mengembalikan pasien tersebut dalam tingkat aktivitas normalnya (Garrison, 1996). Modalitas
fisioterapi yang digunakan untuk penanganan pasca operasi fraktur tibia dengan terapi latihan.
Terapi latihan adalah suatu usaha penyembuhan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaannya
menggunakan gerakan tubuh, baik secara aktif maupun pasif (Priatna, 1985). Terapi latihan yang
dapat dilakukan adalah Static contraction, Latihan ROM (Active ROM dan Active Assisted ROM).
Latihan ini bertujuan untuk ememlihara fungsi dari otot dan juga untk mencegah tejadinya
komplikasi seperti kontraktur, stiffnes, dan juga atrofi. Selain itu terapi latihan yang dapat
diberikan jika sudah pada fasi IV atau V dapat diberikan latihan penguatan (strengthening) yang
bertujuan untuk menambah luas gerak sendi dan juga kekuatan otot (Kisner,2007) kemudian
diberikan juga latihan ambulasi bertahap sesuai dengan fase penyembuhan tulang.
dhithermy. Ultrasound adalah suatu alat yang mengeluarkan gelombang suara frekuensi tinggi
23
yang menimbulkan vibrasi sehingga menghasilkan efek fisiologis thermal dan non thermal
(Pretince, 2005). Ultrasound secara umum diberikan untuk mengurangi nyeri, melancarkan
peredaran darah dan meningkatkan elastisitas jaringan ikat, yang diantaranya adalah kapsul sendi.
Terapi Ultrasound merupakan jenis thermotherapy (terapi panas) yang menghasilkan gelombang
suara dapat mengakibtkan molekul-molekul pada jaringan bergetar sehingga menimbulkan energi
24
BAB III
A. IDENTITAS PASIEN
Umur : 47 th
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh
No CM : 19895739
KU : Tidak bisa menekuk lutut full dan nyeri pada area lutut kiri ketika berjalan
RPS : pasien mengalami kecelakaan lalu lintas ditabrak oleh mobil dari belakang
RPP : DM : -
HT : -
25
2. Data Medis pasien
b. Pemeriksaan Rontgen
Suhu : 37º
Berat Badan : 42 kg
4. Inspeksi :
26
- Tampak atrofi pada m. quadriceps (S)
Dinamis : - pasien berjalan menggunakan kruk dengan pola jalan antalgic gait dengan
sedikit menyeret
6. Pemeriksaan VAS
Diam : 0
Gerak aktif : pasien dapat menggerakan lutut kiri tidak full rom dan
terdapat nyeri
Gerak Pasif : lutut kiri pasien dapat digerakan namun tidak full rom,
terdapat neyri dan firm endfeel
8. Pemeriksaan ROM
27
9. Pemeriksaan MMT dan Antroometri
MMT
5 cm ke atas 33 cm 32 cm
10 cm ke atas 36 cm 34 cm
5 cm ke bawah 33 cm 32 cm
10 cm ke bawah 34 cm 34 cm
28
10. Pemeriksaan kemampuan fungsional
1= Butuh Bantuan
2
Sebagaian
2= mandiri
1= kadang
2
inkontensi
2= kontinensia
1= Butuh Bantuan 2
2= mandiri
29
8. Transfer 0= tidak mampu
1= butuh bantuan
untuk bisa duduk
2
2= butuh bantuan
sedikit
3= mandiri
9. Mobility 0= immobile
1= menggunakan
kursi roda
2= berjalan dengan 3
bantuan 1 orang
3= mandiri meskipun
dengan alat bantu
30
C. ALGORITMA (CLINICAL REASONING)
Terbuka Tertutup
Tidak YA
A
A Terjadi perubahan fragmen tulang dan
tulang yang patah
pembuluh darah
menembus otot dan kulit
YA
A
Pendarahan &Hematom di daerah fratur
Tidak YA
A A
Non-Operasi Operasi
YA
YA
Pemasangan Orif
A
A
YA YA
YA YA
A YA
A YAA
Imobilisasi
A
Inflamasi A
A
YA YA YA
YA
YA
BengkakYA YA
ROM YA
YAAA
Kekuatan Otot
YA
YAAA YAAA
A
A A
YA
A YA A YA A
YA YA YA
Nyeri YA YA YA
Stiffness Atrofi Otot
YA
A
A YAA
A YAAA
A
A (Kekakuan
A
A Sendi A
A
Diagnosa
Diagnosa
Aktifivitas
Fungsional
31
D. KODE DAN KETERANGAN PEMERIKSAAN ICF
1. Body Function
muscles group
2. Body Structure
D435 : walking
4. Environtment
E. DIAGNOSA FISIOTERAPI
1. Impairment
- Adanya penurunan kekuatan otot pada pada fleksi hip, ekstensi dan fleksi lutut dan pada
ankle sinistra
32
2. Functional Limitation
F. PROGRAM FISIOTERAPI
- Meningkatkan kekuatan otot pada pada fleksi hip, ekstensi dan fleksi lutut dan pada ankle
sinistra
- USD
- Muscle release
- Isometric Exercise
- AROM Exercise
- AAROM Exercise
- Strengthening Exercise
- Edukasi
33
G. RENCANA EVALUASI
- Nyeri (VAS)
- LGS
- MMT
- Antropometri
- Indeks Barthel
G. PROGNOSIS
H. PELAKSANAAN TERAPI
Frekuensi : 0,95
Time : 7 menit
Isometrik Exercise
diberikan terapi dibawah lutut dan ditahan selama 8 detik dan diulang
8x
34
- Untuk otot hamstring : bantalan diberikan di bawah ankle dan pasien
AROM
- Paien diminta untuk menggerakan sendi hip, knee, ankle secara aktif
Strengthening exercise
Pasien diminta untuk menggerakan sendi hip, knee , ankle dengan mendorong tahanan
AROM Exercise
1. Pemeriksaan VAS
- Diam :0
35
2. Evaluasi LGS
MMT
fleksi 5 4
HIP
Ekstensi 5 4
Abduksi 5 4
Adduksi 5 4
Rotasi 5 4
Fleksi 5 4
Knee
Ekstensi 5 4
Dorsifleksi 5 3
Ankle
Plantarfleksi 5 3
36
Lingkar segmen (Antropometri)
sinistra
Pengukuran dextra
5 cm ke atas 33 cm 32 cm
10 cm ke atas 36 cm 34 cm
5 cm ke bawah 32 cm 32 cm
10 cm ke bawah 34 cm 34 cm
4. Pemeriksaan Fungsional
37
5. Buang Air Kecil (Bowel) 0= inkontensia
1= kadang
inkontensi 2
2= kontinensia
2= mandiri
9. Mobility 0= immobile
1= menggunakan
kursi roda
2= berjalan dengan 3
bantuan 1 orang
3= mandiri meskipun
dengan alat bantu
38
10. Naik Turun Tangga 0= tidak mampu
1= menggunakan
1
alat bantu
2= mandiri
Pasien atas nama Ny. TA berusia 47 tahun dengan fraktur 1/3 proksimal pada tibia sinistra
akibat trauma yang dialami pada maret 2019 setelah mengalami kecelakaan lalu lintas.
Pasien dibawa ke rsud dan diberika tindakan pemasangan ORIF. Kemudian dirujuk oleh
Poli Orthopedi ke Rehab medic untuk menjalani fisioterapi.. Keluhan utama pasien adalah
nyeri dan kaku pada lutut kiru.. Setelah dilakukan pemeriksaan fisioterapi didapatkan nyeri
pada lutut kiri, terdapat atrofi pada m,quadrisep sinistra, adanya penurunan kekuatan otot
pada pada fleksi hip, ekstensi dan fleksi lutut dan pada ankle sinistra, penurunan LGS ankle
dan knee sinistra. Pasien diberikan intervensi fisioterapi yaitu USD, Muscle release,
ambulasi bertahap, Edukasi. Setelah 2 kali diberikan intervensi tersebut didapati hasil akhir
dari evaluasi yang dilakukan yaitu terdapat penurunan nyeri, terdapat peningkatan LGS
knee dan ankle namun belum full ROM. atrofi pada m.quadrisep menurun, da nada
39
3.2 PEMBAHASAN
Pasien atas nama Ny. TA berusia 47 tahun dengan fraktur 1/3 proksimal pada tibia sinistra
akibat trauma yang dialami pada maret 2019 setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien
dibawa ke rsud dan diberika tindakan pemasangan ORIF. Kemudian dirujuk oleh Poli Orthopedi
ke Rehab medic untuk menjalani fisioterapi. Hal ini sesuai dengan etiologi terjadinya fraktur
menurut Appley (1995) dimana sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba
dan berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau
penarikan. Bila terkena kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat yang terkena, jaringan
lunaknya juga pasti rusak. Bila terkena kekuatan tak langsung, tulang dapat mengalami fraktur
pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu, kerusakan jaringan lunak di tempat
fraktur mungkin tidak ada Keluhan utama pasien adalah nyeri dan kaku pada lutut kiru.. Setelah
dilakukan pemeriksaan fisioterapi didapatkan nyeri pada lutut kiri, terdapat atrofi pada
m,quadrisep sinistra, adanya penurunan kekuatan otot pada pada fleksi hip, ekstensi dan fleksi
lutut dan pada ankle sinistra, penurunan LGS ankle dan knee sinistra.
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi otot, pembengkakan lokal, dan
perubahan warna.Tanda ini biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera
Pemberian ORIF juga memberikan fiksasi sementara untuk rekonstruksi dari fraktur yang
melibatkan kerusakan tulang dan soft tissue yang minimal (Lakatos, 2014). Maka perubahan
patologi setelah dilakukan operasi pembedahan ORIF adalah 1) Nyeri yang terjadi karena adanya
rangsangan nociceptor akibat incisi dan adanya oedema pada sekitar fraktur, 2) Keterbatasan LGS
merupakan masalah yang timbul karena adanya rasa nyeri, oedema, kelemahan pada otot sehingga
40
pasien tidak ingin bergerak dan beraktivitas. Keadaan ini dapat menyebabkan perlengketan
jaringan dan keterbatasan lingkup gerak sendi (Apley, 1995), 3) penurunan kekuatan otot
Pada kasus ini potensial terjadi penurunan kekuatan otot karena adanya nyeri dan oedema
sehingga pasien enggak menggerakkan dengan kuat. Tetapi jika dibiarkan terlalu lama maka
penurunan kekuatan otot ini akan benar-benar terjadi. Dan 4) Oedema yang dapat terjadi karena
adanya kerusakan pada pembuluh darah akibat dari incisi, sehingga cairan yang melewati
membran tidak lancar dan tidak dapat tersaring lalu terjadi akumulasi cairan sehingga timbul
bengkak.
Tanda dan gejala klinisPada penderita pasca operasi fraktur tibia akan ditemui berbagai
tanda dan gejala yaitu pasien mengalami oedema pada daerah yang mengalami fraktur, timbul
nyeri akibat incisi, keterbatasan lingkup gerak sendi, dan gangguan aktivitas fungsional terutama
gangguan berjalan.
Intervensi fisioterapi yang diberikan juga menurut fase oenyembyhan tulang. pada pasien
ini sudah memasuki fase V (12 minggu sampai 16 minggu), yaitu masuk pada tahap remodeling.
Anyaman tulang terus diganti dengan tulang lamelar. Proses remodeling berlangsung berbulan-
bulan sampai bertahun-tahun hingga selesai. Seiring dengan waktu, akan terjadi resorpsi kalus.
Pada fase ini, yang perlu diperhatikan adalah jangan terlalu agresif saat melakukan latihan gerak
pasif terutama gerakan ekstens. Penguatan otot lutut dengan latihan isometrik, isotonik, dan
isokinetik pada otot quadricep dan otot hamstring dilakukan dengan tahanan ringan yang progresif.
Ambulasi dan transfer dengan partial weight bearing menggunakan tongkat penyangga,
Maka dari itu intervensi yang diberikan memiliki tujuan utama penatalaksanaan rehabilitasi
pada perawatan pasca fraktur adalah mengembalikan pasien tersebut dalam tingkat aktivitas
41
normalnya (Garrison, 1996). Pasien pada kasus ini diberikan intervensi fisioterapi yaitu USD,
Exercise, Latihan ambulasi bertahap Setelah dua kali diberikan intervensi fisioterapi didapati hasil
yaitu terdapat penurunan nyeri, terdapat peningkatan LGS knee dan ankle namun belum full ROM.
Modalitas fisioterapi yang digunakan untuk penanganan pasca operasi fraktur tibia dengan
terapi latihan. Terapi latihan adalah suatu usaha penyembuhan dalam fisioterapi yang dalam
pelaksanaannya menggunakan gerakan tubuh, baik secara aktif maupun pasif (Priatna, 1985).
Terapi latihan yang dapat dilakukan adalah Static contraction, Latihan ROM (Active ROM dan
Active Assisted ROM) yang bertujuan untuk memelihara fungsi otot dan mencegah komplikasi
seperti terjadinya stiffnes atau kontraktur serta atrifi otot. Selain itu terapi latihan yang dapat
diberikan jika sudah pada fasi IV atau V dapat diberikan latihan penguatan (strengthening) yang
bertujuan untuk menambah luas gerak sendi dan juga kekuatan otot (Kisner,2007) kemudian
diberikan juga latihan ambulasi bertahap sesuai dengan fase penyembuhan tulang.
dhithermy. Ultrasound adalah suatu alat yang mengeluarkan gelombang suara frekuensi tinggi
yang menimbulkan vibrasi sehingga menghasilkan efek fisiologis thermal dan non thermal
(Pretince, 2005). Ultrasound secara umum diberikan untuk mengurangi nyeri, melancarkan
peredaran darah dan meningkatkan elastisitas jaringan ikat, yang diantaranya adalah kapsul sendi.
Terapi Ultrasound merupakan jenis thermotherapy (terapi panas) yang menghasilkan gelombang
suara dapat mengakibtkan molekul-molekul pada jaringan bergetar sehingga menimbulkan energi
42
Dari hasil evaluasi yang didapat bahwa rutinnya latihan menentukan pengaruh dari hasil
latihan yang di dapatkan, jangka waktu latihan menentukan efektifitas dari latihan untuk
meningkatkan luas gerak sendi. Kooperatif dari pasien juga diperlukan untuk mengoptimalkan
43
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas struktur tulang baik secara complete maupun
incomplete. Patahan tadi mungkin bisa lebih dari satu retakan, biasanya patahan itu lengkap dengan
Fraktur tibia adalah terputusnya kontinuitas dari tulang tibia. Fraktur pada tibia dapat
terjadi pada bagian metafisis pada proksimal atau distal dari tulang tibia, dan juga pada bagian
diafisis. Fraktur juga dapat terjadi pada tibia dan fibula secara bersamaan.
Pada kasus ini potensial terjadi penurunan kekuatan otot karena adanya nyeri dan oedema sehingga
pasien enggak menggerakkan dengan kuat. Tetapi jika dibiarkan terlalu lama maka penurunan
kekuatan otot ini akan benar-benar terjadi. Dan 4) Oedema yang dapat terjadi karena adanya
kerusakan pada pembuluh darah akibat dari incisi, sehingga cairan yang melewati membran tidak
lancar dan tidak dapat tersaring lalu terjadi akumulasi cairan sehingga timbul bengkak.
Tanda dan gejala klinisPada penderita pasca operasi fraktur tibia akan ditemui berbagai
tanda dan gejala yaitu pasien mengalami oedema pada daerah yang mengalami fraktur, timbul
nyeri akibat incisi, keterbatasan lingkup gerak sendi, dan gangguan aktivitas fungsional terutama
gangguan berjalan.
Intervensi fisioterapi yang diberikan juga menurut fase penyembuhan tulang. pada pasien
ini sudah memasuki fase V (12 minggu sampai 16 minggu), yaitu masuk pada tahap remodeling.
44
Penatalaksanaan fisioterapi yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian USD, Muscle
release, Isometric Exercise, AROM Exercise, AAROM Exercise, Strengthening Exercise, dan
Setelah dua kali diberikan intervensi fisioterapi didapati hasil yaitu terdapat penurunan
nyeri gerak yang semula adalah 3 menjadi 2, masih terdapat atrofi pada otot, dan terdapat
peningkatan ROM fleksi knee yang semula 0º-0º-90º menjadi 0º-0º-100º dan ROM ankle saat
sebelum 15º-0º-5º menjadi 15º-0º-25º, serta terdapat peningkatan kekuatan otot fleksi knee dan
grup otot dorso fleksi dan plantar fleksi namun tidak signifikan.
4.2 Saran
Pada kesimpulan diatas disebutkan bahwa sedikit ada penurunan nyeri gerak dan
peningkatan luas gerak sendi serta peningkatan kekuatan otot pada tungkai kiri. Namun masih
terdapat atrofi pada otot pada tungkai atas kiri. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan waktu
sehingga pemberian intervensi kurang maksimal. Karena pembagian tugas ruangan yang sehingga
penatalaksanaan hanya bisa dilakukan 2 kali. Selain itu petugas atau fisioterapi yang bertugas
untuk meberi latihan hanya sedikit dan juga ketersediaan kamar juga sedikit namun pasien lainnya
yang diberi latihan sangat banyak. Sehingga waktu terbatas dan menjadi kurang maksimal untuk
melakukan intervensi. Maka dari itu, sebaiknya diberi penambahan kamar/memperluas ruangan
untuk latihan dan juga menambah petugas/fisioterapi yang berjaga di ruang latihan.
Selain itu penatalaksanaan pada kasus fraktur 1/3 proksimal sangat dibutuhkan kerjasama
antar terapis dengan penderita dan juga tim medis lainnya agar tercapai hasil pengobatan yang
maksimal. Selain itu hal hal yang perlu diperhatikan adalah: (1) bagi penderita diminta untuk
melakukan terapi rutin di rumah sakit dan juga tetap menjalankan home program yang telah
diberikan serta menghindari aktivitas yang dapat memperberat keluhan seperti tidak boleh mepaka
45
sepenuhnya saat berjalan, (2) bagi fisioterapi adalah selalu menambah ilmu pengetahuan dan
wawasan serta mengikuti perkembangan ilmu sehingga dapat memberika terapi yang lebih tepat
dan maksimal. Dan juga selalu me-follow up pasien agar tetap melakukan home program atau
edukasi yang telah diberikan dan selalu memperhatikan dosis USD yang diberikan.
46
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A , Graham, Solomon Luis. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Ahli
bahasa Edi Nugroho, Edisi ke-7 Jakarta : EGC. Aspek Fisioterapi ; Perpustakaan Nasional
RI, Surakarta.
Arovah, Novita Intan. 2010. Dasar-dasar Fisioterapi Pada Cedera Olahraga. Yogyakarta
Black, Joyce M., Hawks JH. 2006. Medikal Surgical Nursing, (Edisi 8), Philadelpia : WB Saunders
Company
Bloch, Bernard. 1986. Fraktur dan Dislokasi. Cetakan 6, Jogjakarta, Yayasan Essential Medika.
Kisner,C. and Colby,L.A 2007. Therapeutic Exercise. 5th edition, Philadelphia : T.A Davis
Company.
Mansjoer, Arif, Suprohaita, et all. Kapita Selekta Kedokteran edisi ke 3 jilid 2. 2002 : Jakarta,
Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2, Jakarta : EGC
Smeltzer, S.C & Bare, B.R. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Brunner dan Suddarth.
Jakarta: EGC.
Thomas, A, Mark, et al. 2011. Terapi & Rehabilitasi Fraktur. Jakarta : EGC
Tortora dan Grabowski. 2003. Principles of Anatomy and Physiology. (9th ed.). Toronto: John
47