Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fraktur adalah hilangnya kontinuitas struktur tulang baik secara complete maupun

incomplete. Patahan tadi mungkin bisa lebih dari satu retakan, biasanya patahan itu lengkap

dengan fragmen tulang yang bergeser. (Appley, 1995).

Tingginya mobilitas manusia dalam menghadapi kemajuan teknologi pada tahun ini

memberikan dampak meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di jalan raya. Di Indonesia

pada tahun 2010-2014, proporsi cidera karena kecelakaan lalu lintas berkisar antara 15-22

persen. (Korlantas Polri RI, 2015). Salah satu akibat dari kecelakaan tersebut adalah fraktur

atau patah tulang. Penyebab fraktur adalah adanya tekanan atau hantaman yang sangat keras

dan diterima secara langsung. Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat di tahun 2011 terdapat

lebih dari 5,6 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1.3 juta orang

mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup

tinggi yaitu insiden fraktur ekstrimitas bawah sekitar 40% dari insiden kecelakaan yang terjadi.

Salah satu contoh fraktur yang biasanya terjadi pada kecelakaan lalu lintas adalah fraktur pada

tulang tibia. Fraktur tibia merupakan salah satu jenis fraktur pada ekstremitas bawah yaitu suatu

istilah untuk patah tulang tibia yang biasanya terjadi pada bagian metafisis dan diafisis.

Dilihat dari aspek fisioterapi pada patah tulang dapat ditangani dengan terapi secara

konservatif dan operatif,, fraktur tibia dapat menimbulkan berbagai tingkat gangguan yaitu

impairment berupa bengkak pada ankle dan tungkai bawah, nyeri sekitar luka operasi,

keterbatasan luas gerak sendi ankle. Dampak lebih lanjut adalah adanya satu bentuk functional

1
limitation yang berupa kesulitan dalam melakukan aktivitas fungsional terutama jongkok,

berdiri dan berjalan. Disamping itu timbul juga adanya ketidakmampuan dalam melaksanakan

aktivitasnya seperti semula yaitu sebagai buruh yang disebut dengan disability.

Menurut standar pelayanan fisioterapi disarana kesehatan tahun 2008, fisioterapi sebagai

salah satu tenaga kesehatan yang mempunyai peranan penting dalam upaya melakukan

pelayanan kesehatan, sesuai dengan bidangnya yaitu bertujuan untuk pencegahan,

penyembuhan dan pemulihan terhadap impermen, injuri, keterbatasan fungsi, disabilitas, serta

memelihara dan meningkatkan kesehatan, kebugaran, kualitas hidup pada individu segala umur,

maupun kelompok masyarakat.

Modalitas yang digunakan oleh fisioterapi dalam upaya pemulihan dan pengembalian

kemampuan fungsional pada pasien fraktur adalah dengan terapi latihan yang sesuai dengan

fase rehabilitasi fraktur. Peran fisioterapi sangat penting dalam mengatasi permasalahan akibat

dari tindakan operasi yaitu dengan memberikan terapi latihan yang berupa static contraction

yang dikombinasi dengan positioning (elevasi) untuk pengurangan oedem pada tungkai bawah

sehingga nyeri dapat berkurang, latihan gerak pasif untuk pemeliharaan dan pengembalian luas

gerak sendi ankle , latihan gerak aktif untuk pemeliharaan luas gerak sendi ankle , latihan

ambulasi untuk aktivitas fungsional berjalan secara bertahap.

Terapi latihan merupakan salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang

pelaksanaannya menggunakan latihan gerak pasif dan aktif . Macam dari terapi latihan tersebut

diantaranya breathing exercise, posisioning, static contraction,passive exercise, active exercise,

latihan jalan. Terapi latihan disini bermanfaat dalam mengurangi nyeri akibat oedem dan luka

incisi, mengurangi adanya pembengkakan pada daerah sekitar fraktur, mempertahankan,

2
menambah atau memelihara luas ger ak pergelangan kaki serta melatih aktivitas jalan sehingga

dengan latihan tersebut pasien diharapkan bisa kembali beraktivitas seperti semula.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana penatalaksanaan fisioterapi yang

dilakukan pada pasien fraktur proksimal tibia di RSUD Sidoarjo?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan pada makalah ini adalah untuk melaksanakan penatalaksanaa program

fisioterapi pada pasien fraktur proksimal tibia di RSUD Sidoarjo.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan makalah ini adalah; (1) bagi fisioterapu untuk menambah pengetahuan

dan wawasan mengenai penatalaksanaan fisioterapi pada pasien fraktur tibia sehingga dapat

mengurangi nyeri dan meningkatkan luas gerak sendi dan kekuatan otot serta mencegah potensial

problem sehingga dapat memperbaiki kapasitas fisik dan kemampuan fungsional dalam

melakukan aktivitas sehari–hari, (2) bagi masyarakat dapat memberikan wawasan atau

pengetahuan mengenai gambaran fraktur tibia dan penanganannya.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tibia

2.1.1Tulang

Tulang tibia terdiri dari tiga bagian yaitu epyphysis proksimalis, diaphysis dan

epiphysis. Epiphysis proksimalis terdiri dari dua bulatan yaitu condilus medialis dan

condilus lateralis. Pada permukaan proksimal terdapat permukaan sendi untuk bersendi

dengan tulang femur disebut facies articularis superior yang ditengahnya terdapat

peninggian disebut eminentia intercondyloidea. Di ujung proksimal terdapat dataran sendi

yang menghadap ke lateral disebut facies articularis untuk bersendi dengan tulang fibula.

Diaphysis mempunyai tiga tepi yaitu margo anterior, margo medialis, dan crista

interosea disebelah lateral. Sehingga terdapat tiga dataran yaitu facies medialis, facies

posterior dan facies lateralis. Margo anterior di bagian proksimal menonjol disebut

tuberositas tibia.

Pada epiphysis distalis bagian distal terdapat tonjolan yang disebut malleolus

medialis, yang mempunyai dataran sendi menghadap lateral untuk bersendi dengan talus

disebut facies malleolus lateralis. Epiphysis distalis mempunyai dataran sendi lain yaitu

facies articularis inferior untuk dengan tulang talus dan incisura fibularis untuk bersendi

dengan tulang fibula.

4
Gambar 2.1 Anatomi tulang tibia

2.1.2 Sistem Otot

a. Otot penggerak sendi lutut

- Otot penggerak fleksi lutut antara lain : m. biceps femoris, m. semi tendi nosus, m.

semi membranosus.

- Otot penggerak ekstensi lutut antara lain : m.s vastus lateralis, vastus intermedius, m.

vastus medialis, m. rectus femoris.

- Otot penggerak eksorotasi lutut antara lain : m. biceps femoris, m.extensor fascialata,

m. gastrocnemius caput medialis.

- Otot penggerak endorotasi lutut antara lain : m. semitendinosus, m.

semimembranosus, m. gracilis, m.popliteus, m. gastrocnemius caput lateral.

5
b. Otot penggerak sendi ankle.

- Otot penggerak plantar fleksi antara lain : m. gastrocnemius, m. Soleus, m. plantaris,

m. fleksor hallucis longus,m. tibialis posterior, m. peroneus longus, m. peroneus

brevis.

- Otot penggerak dorsi fleksi antara lain : m. Tibialis anterior, m. extensor digitorum

longus, m. peroneus tertius, m. extensor hallucis longus.

- Otot penggerak inversi antara lain : m. Tibialis anterior, m. Tibialis posterior, m.

fleksor hallucis brevis

2.1.3 Sistem saraf

Otot-otot disekitar tibia dan fibula dipersarafi oleh nervus ischiadicus yang

merupakan cabang plexus sacralis (L4, 5 dan S1, 2, 3) meningggalkan regio glutealis

menuju kebawah sepanjang caput longum m. Biceps femoris. Setelah sampai pertengahan

paha pada bagian posterior ditutupi oleh tepian m. Biceps femoris dan m.

Semimembranosus yang berdekatan. Nervus ini terletak pada apex posterior m. Adductor

magnus pada sepertiga pada bagian paha bawah kemudian berahkir dan pecah menjadi n.

Tibialis dan n. Peroneus communis. Nervus ischiadicus pecah menjadi terminal pada

bidang lebih tinggi pada bagian atas paha, regio gluteal bahkan didalam pelvis.

2.2 Gambaran Umum Tentang Fraktur

2.2.1 Definis Fraktur

Fraktur adalah pemecahan atau kerusakan suatu bagian terutama tulang (Dorland, 2002).

Literatur lain menyebutkan bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas

jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma (Mansjoer A, 2002)

6
Fraktur atau patah tulang adalah hilangnya kontinuitas struktur pada tulang rawan atau

senditulang rawan epifisis baik secara complete maupun incomplete. Kebanyakan fraktur terjadi

karena kegagalan tulang menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar dan

tarikan. Pada fraktur complete dengan fragmen tulang yang bergeser. Sedangkan fraktur

incomplete merupakan patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan garis patah tidak

menyeberang, sehingga tidak mengenai seluruh korteks (masih ada korteks yang utuh).Trauma

pada fraktur dapat bersifat langsung maupun tidak tangsung. Trauma langsung menyebabkan

tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi

biasanya besifat kominutif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan. Trauma tidak

langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur,

misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada

keadaan ini jaringan lunak tetap utuh.

2.2.2 Etiologi

Secara umum tulang bersifat relative rapuh, meskipun mempunyai kekuatan dan gaya

pegas untuk menahan tekanan atau gaya. Berikut merupakan etiologi terjadinya fraktur:

a. Trauma

Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan,

yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau penarikan. Bila

terkena kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat yang terkena, jaringan lunaknya

juga pasti rusak. Bila terkena kekuatan tak langsung, tulang dapat mengalami fraktur pada

tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu, kerusakan jaringan lunak di tempat

fraktur mungkin tidak ada (Appley, 1995).

7
b. Fraktur kelelahan/stress

Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia atau fibula atau metatarsal, terutama

pada atlet, penari, dan calon tentara yang jalan berbaris dalam jarak jauh.

c. Fraktur patologik

Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah (misalnya

oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit Paget).

2.2.3 Patofisiologi

Fraktur merupakan ganggguan pada tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma yang

menyebabkan adanya gangguan dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik

dan gangguan patologik. mendapat tekanan yang berlebihan, baik secara langsung maupun

tidak langsung. Kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan tersebut mengakibatkan jaringan tidak

mampu menahan kekuatan yang mengenainya. Maka tulang menjadi patah sehingga tulang

yang mengalami fraktur akan terjadi perubahan posisi tulang, kerusakan hebat pada struktur

jaringan lunak dan jaringan disekitarnya yaitu ligament, otot, tendon, pembuluh darah dan

persyarafan yang mengelilinginya (Long, B.C, 1996). Periosteum akan terkelupas dari tulang

dan robek dari sisi yang berlawanan pada tempat terjadinya trauma. Ruptur pembuluh darah

didalam fraktur, maka akan timbul nyeri. Tulang pada permukaan fraktur yang tidak mendapat

persediaan darah akan mati sepanjang satu atau dua millimeter.

Setelah fraktur lengkap, fragmen-fragmen biasanya akan bergeser, sebagian oleha karena

kekuatan cidera dan bias juga gaya berat dan tarikan otot yang melekat. Fraktur dapat tertarik

dan terpisah atau dapat tumpang tindih akibat spasme otot, sehingga terjadi pemendekkan

tulang (Apley, 1995), dan akan menimbulkan derik atau krepitasi karena adanya gesekan antara

fragmen tulang yang patah (Long, B.C, 1996). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh

8
darah serta saraf dalam korteks, marrow dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.

Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula

tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang

mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan

vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit serta infiltrasi sel darah putih yang akhirnya menjadi

dasar penyembuhan tulang (Black, J.M, 1993).

2.2.4 Jenis- Jenis Fraktur

Menurut Mansjoer A (2002), ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia

luar di bagi menjadi 2 antara lain:

a. Fraktur tertutup (closed) Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara

fragmen tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh)

tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan

keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:

- Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak

sekitarnya.

- Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.

- Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam

dan pembengkakan.

- Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan

ancaman sindroma kompartemen.

b. Fraktur terbuka (open/compound fracture) Dikatakan terbuka bila tulang yang

patah menembus otot dan kulit yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi

9
dimana kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derajat

patah tulang terbuka:

- Derajat I Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.

- Derajat II Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen jelas.

- Derajat III Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.

Sedangkan menurut Price dan Wilson (2006) kekuatan dan sudut dari tenaga

fisik, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah

fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh

tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan

tulang. Bentuk garis patahan dan hubungannya dengan mekanisme trauma ada 5, yaitu:

- Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan

akibat trauma angulasi atau langsung.

- Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu

tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.

- Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya spiral yang di sebabkan oleh

trauma rotasi.

- Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong

tulang kearah permukaan lain.

- Fraktur Avulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot

pada insersinya pada tulang.

Menurut Smeltzer dan Bare (2001), fraktur yang dibedakan pada jumlah

garis patahan ada 3 antara lain:

10
- Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling

berhubungan.

- Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak

berhubungan.

- Fraktur Multipel : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang

yang sama

Gambar 2.2 Tipe-Tipe Fraktur

2.2.5 Fase Penyembuhan Fraktur

Proses penyembuhan fraktur beragam sesuai dengan tulang yang terkena dan

tempat fraktur. Penyembuhan dimulai dengan lima tahap, yaitu : Tahap kerusakan jaringan

dan pembentukan hematom, tahap radang dan proliferasi seluler, tahap pembentukan kalus,

osifikasi, konsolidasi, dan remodeling.

11
Tahap kerusakan jaringan dan pembentukan hematom terjadi pada 1-3 hari. Pada

tahap ini dimulai dengan robeknya pembuluh darah dan terbentuk hematoma di sekitar dan di

dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, yang tidak mendapat persediaan darah, akan

mati sepanjang satu atau dua milimeter. Hematom ini kemudian akan menjadi medium

pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan

fibrosis dengan kapiler di dalamnya (Black & Hawks, 2001).

Tahap radang dan proliferasi seluler terjadi pada tiga hari sampai dua minggu.

Setelah pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel di bawah

periosteum dan di dalam saluran medulla yang tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh

jaringan sel yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahanlahan

diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke dalam daerah tersebut (Sjamsuhidajat

dkk, 2011).

Tahap pembentukan kalus terjadi pada 2-6 minggu. Sel yang berkembangbiak

memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan

mulai membentuk tulang dan dalam beberapa keadaan, juga kartilago. Populasi sel juga

mencakup osteoklas yang mulai membersihkan tulang yang mati. Massa sel yang tebal,

dengan pulau-pulau tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada

permukaan periosteal dan endosteal. Sementara tulang fibrosa yang imatur menjadi lebih

padat, gerakan pada tempat fraktur semakin berkurang pada empat minggu setelah fraktur

menyatu (Sjamsuhidajat dkk, 2011)

Osifikasi terjadi pada tiga minggu sampai enam bulan. Kalus (woven bone) akan

membentuk kalus primer dan secara perlahan–lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang

oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur lamellar dan kelebihan kalus akan di resorpsi

12
secara bertahap. Pembentukan kalus di mulai dalam 2-3 minggu setelah patah tulang melalaui

proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar

bersatu (Smeltzer & Bare, 2002).

Konsolidasi terjadi pada 6-8 bulan. Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik

berlanjut, fibrosa yang imatur berubah menjadi tulang lamellar. Sistem itu sekarang cukup

kaku untuk memungkinkan osteoblast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan

dekat di belakangnya osteoblas mengisi celah-celah yang tersisa antara fragmen dengan tulang

yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu sebelum tulang cukup kuat untuk

membawa beban yang normal (Sjamsuhidajat dkk, 2011).

Remodeling terjadi pada 6-12 bulan. Proses resorpsi dan pembentukan tulang yang

baru terbentuk agar dapat dibentuk kembali sehingga akan memperoleh bentuk yang mirip

dengan struktur normalnya (Appley, 1995).

Gambar 2.3 Fase Penyembuhan Fraktur

Terdapat beberapa faktor yang bisa menentukan lama penyembuhan. Setiap faktor

akan memberikan pengaruh penting terhadap proses penyembuhan (Noor, 2013). Faktor –

faktor tersebut antara lain :

13
a. Umur penderita. Waktu penyembuhan tulang pada anak-anak jauh lebih cepat

daripada orang dewasa.

b. Lokalisasi dan konfigurasi fraktur. Lokalisasi fraktur memegang peranan

penting. Fraktur metafisis penyembuhannya lebih cepat

daripada diafisis. Disamping itu fraktur transversal lebih lambat dibandingkan

dengan fraktur oblik karena kontak yang lebih banyak.

c. Pergeseran awal fraktur. Pada fraktur yang tidak bergeser di mana periosteum

tidak bergeser, maka penyembuhan dua kali lebih cepat dibandingkan pada fraktur

yang bergeser.

d. Vaskularisasi pada kedua fragmen. Apabila kedua fragmen mempunyai

vaskularisasi yang baik,maka penyembuhan biasanya tanpa komplikasi.

e. Reduksi serta imobilisasi. Reposisi fraktur akan memberikan kemungkinan untuk

vaskularisasi yang lebih baik dalam bentuk asalnya.

f. Waktu imobilisasi. Jika imobilisasi tidak dilakukan sesuai waktu penyembuhan

sebelum terjadi tautan,maka kemungkinan terjadinya non union sangat besar.

g. Ruangan diantara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan lunak. Jika

ditemukan interposisi jaringan baik berupa periosteum maupun otot atau jaringan

fibrosa lainnya, maka akan menghambat vaskularisasi kedua ujung fraktur.

h. Faktor adanya infeksi dan keganasan lokal. Infeksi dan keganasan akan

memperpanjang proses inflamasi lokal yang akan menghambat proses

penyembuhan dari fraktur.

14
2.2.6 Komplikasi

a. Sindrom kompartemen

Sindrom kompartemen, komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam

ruang tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan

hambatan aliran darah 15 yang berat dan berikutnya menyebabakan kerusakan pada otot. Gejala -

gejalanya mencakup rasa sakit karena terdapat ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang

berhubungan dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan

pasif pada otot yang terlibat.

b. Nekrosis avaskular

Nekrosis avaskular dapat tejadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling

sering mengenai fraktur intrascaplar femur. Karena nekrosis 10 avaskuler mencakup proses yang

terjadi dalam periode waktu yang cukup lama, pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya

sampai pasien keluar dari sumah sakit.

c. Osteomyelitis

Osteomyelitis adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan atau korteks

tulang dapat berupa eksogenous atau hematogeneus. Patogen dapat masuk melalui fraktur terbuka,

luka tembus, atau selama operasi. luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat

tulang tulangnya, luka amputasi karena truma dan frakturfraktur dengan sindrom kompartemen

atau luka vaskuler memiliki resiko osteomyelitis yang lebih besar.

d. Neglected

Neglected fraktur adalah yang penanganannya lebih dari 72 jam. sering terjadi akibat

penanganan fraktur pada ekstremitas yang salah oleh bone 11 setter (ahli patah tulang). Umumnya

15
terjadi pada yang berpendidikan dan berstatus sosioekonomi yang rendah. Neglected fraktur dibagi

menjadi beberapa derajat, yaitu:

- Derajat 1 : fraktur yang telah terjadi antara 3 hari -3 minggu

- Derajat 2 : fraktur yang telah terjadi antara 3 minggu -3 bulan

- Derajat 3 : fraktur yang telah terjadi antara 3 bulan ± 1 tahun

- Derajat 4 : fraktur yang telah terjadi lebih dari satu tahun

e. Malunion

Malunion adalah keadaan dimana fraktur menyembuh padasaatnya, tetapi terdapat

deformitas yang berbentuk angulasi, varus/valgus, rotasi, kependekan, atau union secara

menyilang misalnya pada fraktur radius dan ulna.

f. Delayed union

Delayed union adalah fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu 3-5 bulan (tiga bulan

untuk anggota gerak atas dan lima bulan untuk anggota gerak bawah).

g. Nonunion

Terjadi apabila fraktur tidak menyembuh dalam 6-8 bulan dan tidak didapatkan konsolidasi

dehingga terdapat peseudoartrosis (sendi palsu).

h. Infeksi pada tulang

Komplikasi frktur terbuka atau reduksi terbuka suattu fraktur tertutup yang eradikasinya

kurang baik, dapat menyebabkan terjadinya osteomielitis kronik yang resisten terhadap

pengobatan. Selain itu, osteomielitis kronik lokalsering menyebabkan delayed union bahkan

nonunion dan fraktur tidak dapat sembuh walaupun infeksi dapat diatasi.

16
i. Atrofi Sudeck

Komplikasi ini biasanya ditemukan akibat kegagalan penderita untuk mengembalikan fungsi

normal tangan atau kaki setelah penyebuhan trauma. Penderita mengeluh nyeri hebat pada tangan

dan kaki jika digerakkan. Sendi menjadi kaku, jaringan lunak membengkak dan kulit menjadi

lembab, berbintik-bintik, licin, dan mengkilat. Gambaran radiologik menunjukkan adanya

penigkatan derajat disuse osteoporosis.

j. Miositis osifikans paska trauma

Miositis osifikans kadang-kadang terjadi seteah suatu fraktur/dislokasi serta trauma otot

khususnya pada daerah siku dan paha pada anak-anak dan orang dewasa. Ditemukan

pembengkakan dan nyeri yang hebat akibat trauma pada jaringan. Massa ini merupakan suatu

hematoma yang bersifat radiolusen tapi pada pemeriksaan radiologis ditemukan adanyaosifikasi

yang luas.

2.2.7 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan

ekstrimitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna. 1. Nyeri terus menerus dan

bertambah beratnya sampai fragmen tulang di imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur

merupakan bentuk bidai alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen

tulang. 2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak

tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan deformitas,

ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas yang normal.

Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada

integritas tulang tempat melekatnya otot. 9 3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang

yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. 4. Saat

17
ekstrimitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang dinamakan krepitus yang

teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainya. 5. Pembengkakan dan perubahan

warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

Tanda ini biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera (Smelzter dan

Bare, 2001).

2.2.8 Open Reduction Internal Fixation (ORIF)

ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang

yang mengalami fraktur dan merupakan open reduksi merupakan suatu tindakan pembedahan

untuk memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah / fraktur sedapat mungkin kembali seperti

letak asalnya. Internal fiksasi biasanya melibatkan penggunaan plat, sekrup, paku maupun suatu

intramedulary (IM) untuk mempertahan kan fragmen tulang dalam posisinya sampai

penyembuhan tulang yang solid terjadi. Orif adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan

internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi

fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa

Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers.

ORIF merupakan reposisi secara operatif yang diikuti dengan fiksasi interna. Fiksasi

interna yang dipakai biasanya berupa plate and screw. Keuntungan ORIF adalah tercapainya

reposisi yang sempurna dan fiksasi yang kokoh sehingga pascaoperasi tidak perlu lagi dipasang

gips dan mobilisasi segera bisa dilakukan. Kerugiannya adalah adanya risiko infeksi tulang

(Sjamsuhidajat & Jong, 2010). Indikasi tindakan ORIF pada fraktur femur bagian distal antara lain

fraktur terbuka, fraktur yang dihubungkan dengan neurovascular compromise, seluruh displaced

fractures, fraktur ipsilateral ekstrimitas bawah, irreducible fractures, dan fraktur patologis

18
(Thomson & Jonna, 2014). Prinsip umum dari fiksasi interna antara lain dengan menggunakan pin

and wire, plate and screw, tension‒band principle, intramedullary nails dan biodegradable fixation.

Pin and wires menggunakan metode Kirschner wires (K‒wires) dan Steinmann pins memiliki

beberapa kegunaan, mulai dari traksi skeletal hingga fiksasi fraktur yang sementara dan definitif.

Metode ini juga memberikan fiksasi sementara untuk rekonstruksi dari fraktur yang melibatkan

kerusakan tulang dan soft tissue yang minimal (Lakatos, 2014).

Perubahan patologi setelah dilakukan operasi pembedahan ORIF adalah :

1) Oedema

Oedema dapat terjadi karena adanya kerusakan pada pembuluh darah akibat dari

incisi, sehingga cairan yang melewati membran tidak lancar dan tidak dapat tersaring lalu

terjadi akumulasi cairan sehingga timbul bengkak.

2) Nyeri

Nyeri dapat terjadi karena adanya rangsangan nociceptor akibat incisi dan adanya

oedema pada sekitar fraktur.

3) Keterbatasan LGS

Permasalahan ini timbul karena adanya rasa nyeri, oedema, kelemahan pada otot

sehingga pasien tidak ingin bergerak dan beraktivitas. Keadaan ini dapat menyebabkan

perlengketan jaringan dan keterbatasan lingkup gerak sendi (Apley, 1995).

4) Potensial terjadi penurunan kekuatan otot

19
Pada kasus ini potensial terjadi penurunan kekuatan otot karena adanya nyeri dan

oedema sehingga pasien enggak menggerakkan dengan kuat. Tetapi jika dibiarkan terlalu

lama maka penurunan kekuatan otot ini akan benar-benar terjadi.

5) Tanda dan gejala klinis

Pada penderita pasca operasi fraktur tibia akan ditemui berbagai tanda dan gejala

yaitu pasien mengalami oedema pada daerah yang mengalami fraktur, timbul nyeri akibat

incisi, keterbatasan lingkup gerak sendi, dan gangguan aktivitas fungsional terutama

gangguan berjalan.

6) Komplikasi

Pada kasus ini jarang sekali terjadi komplikasi karena incisi relatif kecil dan fiksasi

cenderung aman. Komplikasi akn terjadi bila ada penyakit penyerta dan gangguan pada

proses penyambungan tulang.

7) Prognosis

Prognosis pada pasca operasi fraktur tibia dikatakan baik apabila pasien secepat

mungkin melakukan terapi latihan untuk membantu mengembalikan aktivitas

fungsionalnya. Prognosis pada status fungsional yaitu baik selama pasien mendapatkan

penanganan berupa terapi latihan dengan baik.

2.2.9 Rehabilitasi Fraktur

Pada rehabilitasi post fraktur tibia dibagi menjadi lima fase, fase I (hari pertama sampai

satu minggu), fase II (dua sampai empat minggu), fase III (empat sampai enam minggu), fase IV

(delapan sampai 12 minggu), fase V (12 sampai 16 minggu)

20
Pada fase I (hari pertama sampai satu minggu) merupakan fase inflamasi. Hematoma

fraktur didominasi oleh sel-sel radang dan debridement fraktur baru dimulai. Pada sinar-x kalus

belum ada.

Pada fase II (dua minggu sampai empat minggu) adalah fase reparatif yaitu sel-sel

osteoprogenitor berdiferensiasi menjadi osteoblast dan melakukan anyaman tulang. Pada sinar-x

biasanya tampak terbentuknya kalus awal tetapi garis fraktur masih terlihat.

Pada fase I dan II harus menghindari gerakan pasif. Kisaran gerak aktif yang diperbolehkan

adalah fleksi 600 sampai 900 dan ekstensi penuh pada lutut serta tidak boleh menumpu berat badan

pada sisi yang cidera. Latihan pada lutut dengan latihan isometrik untuk otot quadriceps dengan

posisi telentang dan lutut ekstensi penuh.

Pada fase III (empat minggu sampai enam minggu), masuk pada fase reparatif. Kalus

endosteal terlihat mendominasi menjembatani tempat fraktur, sehingga stabil tetapi kekuatan kalus

terutama pada beban torsial jauh lebih rendah dari tulang normal. Garis fraktur terlihat berkurang.

Pada fase ini gerakan yang tidak diperbolehkan adalah melakukan kisaran gerak pasif. Lathan

gerak aktif pada lutut lebih dari 90⁰ dan jika fraktur stabil latihan gerakan fleksi dan ekstensi

dengan gerak aktifbantuan. Latihan penguatan otot dimulai dengan latihan isometrik pada otot

quadricep dan otot hamstring tetapi belum boleh menumpu berat badan.

Pada fase IV (delapan minggu sampai 12 minggu), masuk pada fase remodeling awal.

Anyaman tulang diganti dengan tulang lamelar. Proses remodeling memerlukan waktu berbulan-

bulan sampai bertahuntahun hingga sempurna. Pada fase ini, yang harus diperhatikan adalah tidak

diperbolehkannya melakukan kisaran gerak pasif agresif. Latihan gerak aktif, aktif dengan bantuan

21
dan gerak pasif dilakukan secara bertahap. Penguatan otot pada lutut dengan latihan isometrik dan

isotonic untuk otot quadricep dan hamstring. Latihan ambulasi tanpa penanggungan beban.

Pada fase V (12 minggu sampai 16 minggu), masuk pada tahap remodeling. Anyaman

tulang terus diganti dengan tulang lamelar. Proses remodeling berlangsung berbulan-bulan sampai

bertahun-tahun hingga selesai. Seiring dengan waktu, akan terjadi resorpsi kalus. Pada fase ini,

yang perlu diperhatikan adalah jangan terlalu agresif saat melakukan latihan gerak pasif terutama

gerakan ekstens. Penguatan otot lutut dengan latihan isometrik, isotonik, dan isokinetik pada otot

quadricep dan otot hamstring dilakukan dengan tahanan ringan yang progresif. Ambulasi dan

transfer dengan partial weight bearing menggunakan tongkat penyangga, ditingkatkan sampai

pembebanan penuh (Thomas, 2011).

2.3 FRAKTUR TIBIA

2.3.1 Definisi

a. Definisi

Fraktur tibia adalah terputusnya kontinuitas dari tulang tibia. Fraktur pada tibia dapat

terjadi pada bagian metafisis pada proksimal atau distal dari tulang tibia, dan juga pada bagian

diafisis. Fraktur juga dapat terjadi pada tibia dan fibula secara bersamaan.

b. Pemeriksaan Radiologis

Dengan pemeriksaan radiologis dapat ditentukan lokasi fraktur, jenis fraktur, apakah

fraktur pada tibia dan fibula atau pada tibia saja atau fibula saja. Juga dapat ditentukan apakah

fraktur bersifat segmental.

22
2.3.2 Problematika Fisioterapi

Problematika yang sering terjadi pada pasca operasi fraktur tibia, antara lain : (1)

impairment berupa nyeri gerak akibat luka incisi operasi, oedema pada tungkai kanan terjadi

karena suatu reaksi radang terhadap cidera jaringan, rasa nyeri dan oedema dapat mengakibatkan

menurunnya lingkup gerak sendi, serta menurunnya kekuatan otot aoabila dibiarkan lama tidak

bergerak. Hal ini juga dapat menimbulkan atrofi pada otot akibat tidak bergerak (2) functional

limitation berupa penurunan kemampuan transfer dan ambulasi, (3) participation restriction berupa

ketidakmampuan pasien melaksanakan kegiatan bersosialisasi dalam masyarakat

2.3.3 Teknologi Intervensi Fisioterapi

Tujuan utama penatalaksanaan rehabilitasi pada perawatan pasca fraktur adalah

mengembalikan pasien tersebut dalam tingkat aktivitas normalnya (Garrison, 1996). Modalitas

fisioterapi yang digunakan untuk penanganan pasca operasi fraktur tibia dengan terapi latihan.

Terapi latihan adalah suatu usaha penyembuhan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaannya

menggunakan gerakan tubuh, baik secara aktif maupun pasif (Priatna, 1985). Terapi latihan yang

dapat dilakukan adalah Static contraction, Latihan ROM (Active ROM dan Active Assisted ROM).

Latihan ini bertujuan untuk ememlihara fungsi dari otot dan juga untk mencegah tejadinya

komplikasi seperti kontraktur, stiffnes, dan juga atrofi. Selain itu terapi latihan yang dapat

diberikan jika sudah pada fasi IV atau V dapat diberikan latihan penguatan (strengthening) yang

bertujuan untuk menambah luas gerak sendi dan juga kekuatan otot (Kisner,2007) kemudian

diberikan juga latihan ambulasi bertahap sesuai dengan fase penyembuhan tulang.

Modalitas yang dapat digunakan untuk memaksimalkan latihan adalah ultrasound

dhithermy. Ultrasound adalah suatu alat yang mengeluarkan gelombang suara frekuensi tinggi

23
yang menimbulkan vibrasi sehingga menghasilkan efek fisiologis thermal dan non thermal

(Pretince, 2005). Ultrasound secara umum diberikan untuk mengurangi nyeri, melancarkan

peredaran darah dan meningkatkan elastisitas jaringan ikat, yang diantaranya adalah kapsul sendi.

Terapi Ultrasound merupakan jenis thermotherapy (terapi panas) yang menghasilkan gelombang

suara dapat mengakibtkan molekul-molekul pada jaringan bergetar sehingga menimbulkan energi

mekanis dan panas (Arofah, 2010).

24
BAB III

LAPORAN KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1 LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. Tri Andajani

Umur : 47 th

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Buruh

Alamat : Graha kota A7 no 10

No CM : 19895739

B. SEGI FISIOTERAPI DAN PEMERIKSAAN

1. Deskripsi pasien dan Keluhan Utama

KU : Tidak bisa menekuk lutut full dan nyeri pada area lutut kiri ketika berjalan

RPS : pasien mengalami kecelakaan lalu lintas ditabrak oleh mobil dari belakang

mengalami patah tulang pada tibia sinistra kemudian 21 maret menjalani

pemasangan pen . setelah, 5 bulan masa recovery, pasien mengeluh sulit

menekuk lutut dan menggerakan tumit. Kemudian di rujuk ke rehab untuk

menjalani Fisioterapi 2x/ per minggu

RPP : DM : -

HT : -

25
2. Data Medis pasien

a. Diagnosa medis : Fraktur Tibia 1/3 Proximal Sinistra

b. Pemeriksaan Rontgen

- Setelah pemasangan ORIF

Gambar 3.1 Foto Rontgen

3. Pemeriksaan tanda vital

Tekanan Darah : 110/80 mmHg

Nadi : 80x/ menit

Suhu : 37º

Frekuensi Pernafasan : 18x/ menit

Tinggi Badan : 155 cm

Berat Badan : 42 kg

4. Inspeksi :

Statis : - terlihat bekas luka incise di lutut (S)

26
- Tampak atrofi pada m. quadriceps (S)

- Tidak tampak odem

- Panjang kaki tampak sama

Dinamis : - pasien berjalan menggunakan kruk dengan pola jalan antalgic gait dengan

sedikit menyeret

5. Palpasi : - suhu normal pada area incisi

- nyeri tekan pada area proksimal genu sinistra

6. Pemeriksaan VAS

Diam : 0

Tekan : 3 (sekitar bekas luka imcisi)

Gerak : 3 (saat gerak fleksi lutut)

7. Joint test (PFGD)

 Gerak aktif : pasien dapat menggerakan lutut kiri tidak full rom dan
terdapat nyeri
 Gerak Pasif : lutut kiri pasien dapat digerakan namun tidak full rom,
terdapat neyri dan firm endfeel
8. Pemeriksaan ROM

Regio dextra sinistra

Hip (s) 15º-0º-120º 15º-0º-100º

(f) 10º-0º-45º 10º-0º-40º

(t) 45º-0º-45º 40º-0º-40º

Knee (s) 0º-0º-130º 0º-0º-90º

Ankle (s) 20º-0º-50º 15º-0º-5º

Tabel 3.1 Pemeriksaan ROM

27
9. Pemeriksaan MMT dan Antroometri

 MMT

Gerakan Dextra Sinistra


fleksi 5 4
HIP
Ekstensi 5 4
Abduksi 5 4
Adduksi 5 4
Rotasi 5 4
Fleksi 5 3
Knee
Ekstensi 5 4
Dorsifleksi 5 3-
Ankle
Plantarfleksi 5 3-

Tabel 3.2 Pemeriksaan MMT

 Lingkar segmen (Antropometri)

Pengukuran dextra sinistra

Tubeositas tibia 32cm 30 cm

5 cm ke atas 33 cm 32 cm

10 cm ke atas 36 cm 34 cm

5 cm ke bawah 33 cm 32 cm

10 cm ke bawah 34 cm 34 cm

Tabel 3.3 Pemeriksaan Antropometri

28
10. Pemeriksaan kemampuan fungsional

No. Item yang dinilai Skor Nilai

1. Makan (Feeding) 0 = tidak mampu


1= Butuh Bantuan 2
2= mandiri

2. Mandi (Bathing) 0=membutuhkan


bantuan orang lain 2
1= mandiri

3. Perawatan Diri (Grooming) 0=membutuhkan


bantuan orang lain 2
1= mandiri

4. Berpakaian (Dressing) 0 = tidak mampu

1= Butuh Bantuan
2
Sebagaian
2= mandiri

5. Buang Air Kecil (Bowel) 0= inkontensia

1= kadang
2
inkontensi
2= kontinensia

6. Buang Air Besar (Bladder) 0 = tidak mampu

1= Butuh Bantuan 2
2= mandiri

7. Toilteing 0 = tidak mampu


1= Butuh Bantuan
Sebagaian
1
2= mandiri

29
8. Transfer 0= tidak mampu
1= butuh bantuan
untuk bisa duduk
2
2= butuh bantuan
sedikit

3= mandiri

9. Mobility 0= immobile
1= menggunakan
kursi roda

2= berjalan dengan 3
bantuan 1 orang
3= mandiri meskipun
dengan alat bantu

10. Naik Turun Tangga 0= tidak mampu


1= menggunakan
1
alat bantu
2= mandiri

Tabel 3.4 Pemeriksaan kemampuan fungsional

Skor Total = 19 (Ketergantungan Ringan)

30
C. ALGORITMA (CLINICAL REASONING)

TRAUMA (Fraktur Tibia 1/3 Proksimal)

Langsung Tidak Langsung Tidak


A

Terbuka Tertutup

Tidak YA
A
A Terjadi perubahan fragmen tulang dan
tulang yang patah
pembuluh darah
menembus otot dan kulit
YA
A
Pendarahan &Hematom di daerah fratur

Tidak YA
A A
Non-Operasi Operasi

YA
YA
Pemasangan Orif
A
A

YA YA
YA YA
A YA

A YAA
Imobilisasi
A

Inflamasi A
A
YA YA YA
YA
YA
BengkakYA YA
ROM YA
YAAA
Kekuatan Otot
YA
YAAA YAAA
A
A A
YA
A YA A YA A
YA YA YA
Nyeri YA YA YA
Stiffness Atrofi Otot
YA

A
A YAA
A YAAA

A
A (Kekakuan
A
A Sendi A
A

Diagnosa
Diagnosa

Aktifivitas
Fungsional

31
D. KODE DAN KETERANGAN PEMERIKSAAN ICF

1. Body Function

 B28015 : pain in lower limb

 B7101 : mobility in several joint

 B7300 : power of isolated muscle and

muscles group

 B7800 : sensation of muscle stiffness

2. Body Structure

 S75012 : muscle of lower leg

3. Activities and Participation

 D465 : moving araound using equipment

 D435 : walking

4. Environtment

 E1760 : immediate family

E. DIAGNOSA FISIOTERAPI

1. Impairment

- Terdapat nyeri pada lutut kiri

- Terdapat atrofi pada m,quadrisep sinistra

- Adanya penurunan kekuatan otot pada pada fleksi hip, ekstensi dan fleksi lutut dan pada

ankle sinistra

- Penurunan LGS ankle dan knee sinistra

32
2. Functional Limitation

- Pasien belum mampu berjalan tanpa menggunakan alat bantu

3. Disability / Participant restriction

- Pasien masih kesulitan untuk sholat dan melakukan aktivitas pekerjaanya

F. PROGRAM FISIOTERAPI

1. Tujuan jangka panjang

- Untuk meningkatkan kemampuan fungsi berjalan tanpa bantuan

2. Tujuan jangka pendek

- Mengurangi nyeri pada lutut

- Mengurangi atrofi pada m.quadrisep sinistra

- Meningkatkan kekuatan otot pada pada fleksi hip, ekstensi dan fleksi lutut dan pada ankle

sinistra

- Meningkatkan LGS pada knee dan ankle sinistra

3. Teknologi intervensi fisioterapi

- USD

- Muscle release

- Isometric Exercise

- AROM Exercise

- AAROM Exercise

- Strengthening Exercise

- Latihan ambulasi bertahap

- Edukasi

33
G. RENCANA EVALUASI

- Nyeri (VAS)

- LGS

- MMT

- Antropometri

- Indeks Barthel

G. PROGNOSIS

o Quo ad Vitam : baik

o Quo ad Sanam : baik

o Quo ad Functionam : baik

o Quo ad Cosmeticam : baik

H. PELAKSANAAN TERAPI

 USD Intensitas : 1 mHz

Frekuensi : 0,95

Time : 7 menit

Area : sekitar lutut

 Isometrik Exercise

- Untuk otot quadrisep : pasien meminta menekan bantalan yang

diberikan terapi dibawah lutut dan ditahan selama 8 detik dan diulang

8x

34
- Untuk otot hamstring : bantalan diberikan di bawah ankle dan pasien

diminta menekannya lalu di tahan 8 detik dan diulang 8 x

 AROM

- Paien diminta untuk menggerakan sendi hip, knee, ankle secara aktif

dan diulang 8x dalam 3 sesi

 Strengthening exercise

Pasien diminta untuk menggerakan sendi hip, knee , ankle dengan mendorong tahanan

dari terapis. Di ulang 8x, selama 2 sesi

 Latihan ambulasi bertahap

- Dilakukan menggunakan kruk dengan partical weight bearing dan

diawasi oleh terapi

 Edukasi Isometric Exercise

AROM Exercise

Dilakukan di rumah dengan 8x pengulangan

I. EVALUASI DAN TINDAK LANJUT

1. Pemeriksaan VAS

- Diam :0

- Tekan : 3 (sekitar bekas luka imcisi)

- Gerak : 2 (saat gerak fleksi lutut)

35
2. Evaluasi LGS

Regio dextra sinistra

Hip (s) 15º-0º-120º 15º-0º-120º

(f) 10º-0º-45º 10º-0º-40º

(t) 45º-0º-45º 40º-0º-40º

Knee (s) 0º-0º-130º 0º-0º-100º

Ankle (s) 20º-0º-50º 15º-0º-25º

Tabel 3.5 Evaluasi LGS


3. Evaluasi Pemeriksaan MMT dan Antropometri

 MMT

Gerakan Dextra Sinistra

fleksi 5 4
HIP
Ekstensi 5 4
Abduksi 5 4
Adduksi 5 4
Rotasi 5 4
Fleksi 5 4
Knee
Ekstensi 5 4
Dorsifleksi 5 3
Ankle
Plantarfleksi 5 3

Tabel 3. 6 Evaluasi Pemeriksaan MMT

36
 Lingkar segmen (Antropometri)

sinistra
Pengukuran dextra

Tubeositas tibia 32cm 30 cm

5 cm ke atas 33 cm 32 cm

10 cm ke atas 36 cm 34 cm

5 cm ke bawah 32 cm 32 cm

10 cm ke bawah 34 cm 34 cm

Tabel 3.7 Evaluasi Antropometri

4. Pemeriksaan Fungsional

No. Item yang dinilai Skor Nilai

1. Makan (Feeding) 0 = tidak mampu


1= Butuh Bantuan 2
2= mandiri

2. Mandi (Bathing) 0=membutuhkan


bantuan orang lain 2
1= mandiri

3. Perawatan Diri (Grooming) 0=membutuhkan


bantuan orang lain 2
1= mandiri

4. Berpakaian (Dressing) 0 = tidak mampu


1= Butuh Bantuan
2
Sebagaian
2= mandiri

37
5. Buang Air Kecil (Bowel) 0= inkontensia
1= kadang
inkontensi 2
2= kontinensia

6. Buang Air Besar (Bladder) 0 = tidak mampu


1= Butuh Bantuan 2

2= mandiri

7. Toilteing 0 = tidak mampu


1= Butuh Bantuan
Sebagaian
1
2= mandiri

8. Transfer 0= tidak mampu


1= butuh bantuan
untuk bisa duduk
2
2= butuh bantuan
sedikit
3= mandiri

9. Mobility 0= immobile
1= menggunakan
kursi roda
2= berjalan dengan 3
bantuan 1 orang
3= mandiri meskipun
dengan alat bantu

38
10. Naik Turun Tangga 0= tidak mampu
1= menggunakan
1
alat bantu
2= mandiri

Tabel 3.8 Pemeriksaan Fungsional

Skor Total = 19 (Ketergantungan Ringan)

J. HASIL TERAPI AKHIR

Pasien atas nama Ny. TA berusia 47 tahun dengan fraktur 1/3 proksimal pada tibia sinistra

akibat trauma yang dialami pada maret 2019 setelah mengalami kecelakaan lalu lintas.

Pasien dibawa ke rsud dan diberika tindakan pemasangan ORIF. Kemudian dirujuk oleh

Poli Orthopedi ke Rehab medic untuk menjalani fisioterapi.. Keluhan utama pasien adalah

nyeri dan kaku pada lutut kiru.. Setelah dilakukan pemeriksaan fisioterapi didapatkan nyeri

pada lutut kiri, terdapat atrofi pada m,quadrisep sinistra, adanya penurunan kekuatan otot

pada pada fleksi hip, ekstensi dan fleksi lutut dan pada ankle sinistra, penurunan LGS ankle

dan knee sinistra. Pasien diberikan intervensi fisioterapi yaitu USD, Muscle release,

Isometric Exercise, AROM Exercise, AAROM Exercise, Strengthening Exercise, Latihan

ambulasi bertahap, Edukasi. Setelah 2 kali diberikan intervensi tersebut didapati hasil akhir

dari evaluasi yang dilakukan yaitu terdapat penurunan nyeri, terdapat peningkatan LGS

knee dan ankle namun belum full ROM. atrofi pada m.quadrisep menurun, da nada

peningkatan kekuatan otot.

39
3.2 PEMBAHASAN

Pasien atas nama Ny. TA berusia 47 tahun dengan fraktur 1/3 proksimal pada tibia sinistra

akibat trauma yang dialami pada maret 2019 setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien

dibawa ke rsud dan diberika tindakan pemasangan ORIF. Kemudian dirujuk oleh Poli Orthopedi

ke Rehab medic untuk menjalani fisioterapi. Hal ini sesuai dengan etiologi terjadinya fraktur

menurut Appley (1995) dimana sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba

dan berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau

penarikan. Bila terkena kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat yang terkena, jaringan

lunaknya juga pasti rusak. Bila terkena kekuatan tak langsung, tulang dapat mengalami fraktur

pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu, kerusakan jaringan lunak di tempat

fraktur mungkin tidak ada Keluhan utama pasien adalah nyeri dan kaku pada lutut kiru.. Setelah

dilakukan pemeriksaan fisioterapi didapatkan nyeri pada lutut kiri, terdapat atrofi pada

m,quadrisep sinistra, adanya penurunan kekuatan otot pada pada fleksi hip, ekstensi dan fleksi

lutut dan pada ankle sinistra, penurunan LGS ankle dan knee sinistra.

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi otot, pembengkakan lokal, dan

perubahan warna.Tanda ini biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera

(Smelzter dan Bare, 2001).

Pemberian ORIF juga memberikan fiksasi sementara untuk rekonstruksi dari fraktur yang

melibatkan kerusakan tulang dan soft tissue yang minimal (Lakatos, 2014). Maka perubahan

patologi setelah dilakukan operasi pembedahan ORIF adalah 1) Nyeri yang terjadi karena adanya

rangsangan nociceptor akibat incisi dan adanya oedema pada sekitar fraktur, 2) Keterbatasan LGS

merupakan masalah yang timbul karena adanya rasa nyeri, oedema, kelemahan pada otot sehingga

40
pasien tidak ingin bergerak dan beraktivitas. Keadaan ini dapat menyebabkan perlengketan

jaringan dan keterbatasan lingkup gerak sendi (Apley, 1995), 3) penurunan kekuatan otot

Pada kasus ini potensial terjadi penurunan kekuatan otot karena adanya nyeri dan oedema

sehingga pasien enggak menggerakkan dengan kuat. Tetapi jika dibiarkan terlalu lama maka

penurunan kekuatan otot ini akan benar-benar terjadi. Dan 4) Oedema yang dapat terjadi karena

adanya kerusakan pada pembuluh darah akibat dari incisi, sehingga cairan yang melewati

membran tidak lancar dan tidak dapat tersaring lalu terjadi akumulasi cairan sehingga timbul

bengkak.

Tanda dan gejala klinisPada penderita pasca operasi fraktur tibia akan ditemui berbagai

tanda dan gejala yaitu pasien mengalami oedema pada daerah yang mengalami fraktur, timbul

nyeri akibat incisi, keterbatasan lingkup gerak sendi, dan gangguan aktivitas fungsional terutama

gangguan berjalan.

Intervensi fisioterapi yang diberikan juga menurut fase oenyembyhan tulang. pada pasien

ini sudah memasuki fase V (12 minggu sampai 16 minggu), yaitu masuk pada tahap remodeling.

Anyaman tulang terus diganti dengan tulang lamelar. Proses remodeling berlangsung berbulan-

bulan sampai bertahun-tahun hingga selesai. Seiring dengan waktu, akan terjadi resorpsi kalus.

Pada fase ini, yang perlu diperhatikan adalah jangan terlalu agresif saat melakukan latihan gerak

pasif terutama gerakan ekstens. Penguatan otot lutut dengan latihan isometrik, isotonik, dan

isokinetik pada otot quadricep dan otot hamstring dilakukan dengan tahanan ringan yang progresif.

Ambulasi dan transfer dengan partial weight bearing menggunakan tongkat penyangga,

ditingkatkan sampai pembebanan penuh (Thomas, 2011).

Maka dari itu intervensi yang diberikan memiliki tujuan utama penatalaksanaan rehabilitasi

pada perawatan pasca fraktur adalah mengembalikan pasien tersebut dalam tingkat aktivitas

41
normalnya (Garrison, 1996). Pasien pada kasus ini diberikan intervensi fisioterapi yaitu USD,

Muscle release, Isometric Exercise, AROM Exercise, AAROM Exercise, Strengthening

Exercise, Latihan ambulasi bertahap Setelah dua kali diberikan intervensi fisioterapi didapati hasil

yaitu terdapat penurunan nyeri, terdapat peningkatan LGS knee dan ankle namun belum full ROM.

atrofi pada m.quadrisep menurun, dan ada peningkatan kekuatan otot.

Modalitas fisioterapi yang digunakan untuk penanganan pasca operasi fraktur tibia dengan

terapi latihan. Terapi latihan adalah suatu usaha penyembuhan dalam fisioterapi yang dalam

pelaksanaannya menggunakan gerakan tubuh, baik secara aktif maupun pasif (Priatna, 1985).

Terapi latihan yang dapat dilakukan adalah Static contraction, Latihan ROM (Active ROM dan

Active Assisted ROM) yang bertujuan untuk memelihara fungsi otot dan mencegah komplikasi

seperti terjadinya stiffnes atau kontraktur serta atrifi otot. Selain itu terapi latihan yang dapat

diberikan jika sudah pada fasi IV atau V dapat diberikan latihan penguatan (strengthening) yang

bertujuan untuk menambah luas gerak sendi dan juga kekuatan otot (Kisner,2007) kemudian

diberikan juga latihan ambulasi bertahap sesuai dengan fase penyembuhan tulang.

Modalitas yang dapat digunakan untuk memaksimalkan latihan adalah ultrasound

dhithermy. Ultrasound adalah suatu alat yang mengeluarkan gelombang suara frekuensi tinggi

yang menimbulkan vibrasi sehingga menghasilkan efek fisiologis thermal dan non thermal

(Pretince, 2005). Ultrasound secara umum diberikan untuk mengurangi nyeri, melancarkan

peredaran darah dan meningkatkan elastisitas jaringan ikat, yang diantaranya adalah kapsul sendi.

Terapi Ultrasound merupakan jenis thermotherapy (terapi panas) yang menghasilkan gelombang

suara dapat mengakibtkan molekul-molekul pada jaringan bergetar sehingga menimbulkan energi

mekanis dan panas (Arofah, 2010).

42
Dari hasil evaluasi yang didapat bahwa rutinnya latihan menentukan pengaruh dari hasil

latihan yang di dapatkan, jangka waktu latihan menentukan efektifitas dari latihan untuk

meningkatkan luas gerak sendi. Kooperatif dari pasien juga diperlukan untuk mengoptimalkan

terapi (Tortora & Grabowski 2003).

43
BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Fraktur adalah hilangnya kontinuitas struktur tulang baik secara complete maupun

incomplete. Patahan tadi mungkin bisa lebih dari satu retakan, biasanya patahan itu lengkap dengan

fragmen tulang yang bergeser. (Appley, 1995).

Fraktur tibia adalah terputusnya kontinuitas dari tulang tibia. Fraktur pada tibia dapat

terjadi pada bagian metafisis pada proksimal atau distal dari tulang tibia, dan juga pada bagian

diafisis. Fraktur juga dapat terjadi pada tibia dan fibula secara bersamaan.

Pada kasus ini potensial terjadi penurunan kekuatan otot karena adanya nyeri dan oedema sehingga

pasien enggak menggerakkan dengan kuat. Tetapi jika dibiarkan terlalu lama maka penurunan

kekuatan otot ini akan benar-benar terjadi. Dan 4) Oedema yang dapat terjadi karena adanya

kerusakan pada pembuluh darah akibat dari incisi, sehingga cairan yang melewati membran tidak

lancar dan tidak dapat tersaring lalu terjadi akumulasi cairan sehingga timbul bengkak.

Tanda dan gejala klinisPada penderita pasca operasi fraktur tibia akan ditemui berbagai

tanda dan gejala yaitu pasien mengalami oedema pada daerah yang mengalami fraktur, timbul

nyeri akibat incisi, keterbatasan lingkup gerak sendi, dan gangguan aktivitas fungsional terutama

gangguan berjalan.

Intervensi fisioterapi yang diberikan juga menurut fase penyembuhan tulang. pada pasien

ini sudah memasuki fase V (12 minggu sampai 16 minggu), yaitu masuk pada tahap remodeling.

44
Penatalaksanaan fisioterapi yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian USD, Muscle

release, Isometric Exercise, AROM Exercise, AAROM Exercise, Strengthening Exercise, dan

Latihan ambulasi bertahap.

Setelah dua kali diberikan intervensi fisioterapi didapati hasil yaitu terdapat penurunan

nyeri gerak yang semula adalah 3 menjadi 2, masih terdapat atrofi pada otot, dan terdapat

peningkatan ROM fleksi knee yang semula 0º-0º-90º menjadi 0º-0º-100º dan ROM ankle saat

sebelum 15º-0º-5º menjadi 15º-0º-25º, serta terdapat peningkatan kekuatan otot fleksi knee dan

grup otot dorso fleksi dan plantar fleksi namun tidak signifikan.

4.2 Saran

Pada kesimpulan diatas disebutkan bahwa sedikit ada penurunan nyeri gerak dan

peningkatan luas gerak sendi serta peningkatan kekuatan otot pada tungkai kiri. Namun masih

terdapat atrofi pada otot pada tungkai atas kiri. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan waktu

sehingga pemberian intervensi kurang maksimal. Karena pembagian tugas ruangan yang sehingga

penatalaksanaan hanya bisa dilakukan 2 kali. Selain itu petugas atau fisioterapi yang bertugas

untuk meberi latihan hanya sedikit dan juga ketersediaan kamar juga sedikit namun pasien lainnya

yang diberi latihan sangat banyak. Sehingga waktu terbatas dan menjadi kurang maksimal untuk

melakukan intervensi. Maka dari itu, sebaiknya diberi penambahan kamar/memperluas ruangan

untuk latihan dan juga menambah petugas/fisioterapi yang berjaga di ruang latihan.

Selain itu penatalaksanaan pada kasus fraktur 1/3 proksimal sangat dibutuhkan kerjasama

antar terapis dengan penderita dan juga tim medis lainnya agar tercapai hasil pengobatan yang

maksimal. Selain itu hal hal yang perlu diperhatikan adalah: (1) bagi penderita diminta untuk

melakukan terapi rutin di rumah sakit dan juga tetap menjalankan home program yang telah

diberikan serta menghindari aktivitas yang dapat memperberat keluhan seperti tidak boleh mepaka

45
sepenuhnya saat berjalan, (2) bagi fisioterapi adalah selalu menambah ilmu pengetahuan dan

wawasan serta mengikuti perkembangan ilmu sehingga dapat memberika terapi yang lebih tepat

dan maksimal. Dan juga selalu me-follow up pasien agar tetap melakukan home program atau

edukasi yang telah diberikan dan selalu memperhatikan dosis USD yang diberikan.

46
DAFTAR PUSTAKA

Apley, A , Graham, Solomon Luis. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Ahli

bahasa Edi Nugroho, Edisi ke-7 Jakarta : EGC. Aspek Fisioterapi ; Perpustakaan Nasional

RI, Surakarta.

Arovah, Novita Intan. 2010. Dasar-dasar Fisioterapi Pada Cedera Olahraga. Yogyakarta

Black, Joyce M., Hawks JH. 2006. Medikal Surgical Nursing, (Edisi 8), Philadelpia : WB Saunders

Company

Bloch, Bernard. 1986. Fraktur dan Dislokasi. Cetakan 6, Jogjakarta, Yayasan Essential Medika.

Kisner,C. and Colby,L.A 2007. Therapeutic Exercise. 5th edition, Philadelphia : T.A Davis

Company.

Mansjoer, Arif, Suprohaita, et all. Kapita Selekta Kedokteran edisi ke 3 jilid 2. 2002 : Jakarta,

Media Aesculapius FKUI

Prentice, E.William. 2005. Therapeutic Modalities in Rehabilitation. Department of Exercise and

Sport Science. University of North Carolina. Chapel Hill. North Carolina

Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2, Jakarta : EGC

Smeltzer, S.C & Bare, B.R. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Brunner dan Suddarth.

Jakarta: EGC.

Thomas, A, Mark, et al. 2011. Terapi & Rehabilitasi Fraktur. Jakarta : EGC

Tortora dan Grabowski. 2003. Principles of Anatomy and Physiology. (9th ed.). Toronto: John

Wiley & Sons, Inc

47

Anda mungkin juga menyukai