Anda di halaman 1dari 62

Bab 4 ANALISIS KASUS

26

Analisis kasus yang dilakukan pada pelayanan medik dari kacamata hukum pertama kali adalah untuk mengetahui apakah pada kasus tersebut sudah ada HUBUNGAN DOKTER PASIEN atau belum. Kejelasan adanya HUBUNGAN DOKTER PASIEN merupakan kunci pembuka untuk memasuki analisis selanjutnya. Jika HUBUNGAN DOKTER PASIEN ditetapkan ada, baik dengan proses ius delicto ataupun ius contractu1, kemudian baru dilakukan analisis selanjutnya yang berkaitan dengan pemenuhan persyaratan sahnya suatu kontrak terapetik. Pertama kali yang dicoba untuk dicari adalah adanya saling setuju terutama persetujuan dari pasien yang disebut denan informed consent (IC). IC baik dalam bentuk tersirat atau tersurat dicoba untuk ditetapkan, baru kemudian evaluasi dari aspek disiplin. Aspek disiplin dilihat dari kacamata hukum adalah dokter harus bekerja sesuai dengan SOP, atau kebiasaan yang dibenarkan oleh tim dokter yang bekerja selingkung2. Jika dokter sudah bekerja sesuai dengan kebiasaan yang terjadi pada lingkungan dokter selingkung, atau sudah seperti SOP maka dokter dapat dikatakan benar.

HUBUNG AN DOKTER PASIEN


KONTRAK TERAPETIK

1320 KUH PERDATA SS C HT HH IC Dewasa, dll


PRESTASI
TIDAK DILARANG OLEH HUKUM

SS = SALING SETUJU; C = CAKAP; HT = HAL TERTENTU; HH = HAL YANG HALAL; IC = INFORMED CONSENT; HUBUNGAN DOKTER PASIEN = HUBUNGAN DOKTER PASIEN

Jika dilakukan juga analisis terhadap aspek etika kedokterannya, maka penentuan tindakan medik yang akan dilakukan pada pasien dicoba dilihat sudahkan ada landasan pertimbangan etikanya. Tindakan medik sebagai prestasi dokter harus berdasar
1 2

Baca, Wujoso, kontrak terapetik Selingkung = satu lingkungan. Misalnya dokter puskesmas, maka yang layak menjadi saksi adalah dokter puskesmas juga, karena mereka selingkung. Dokter yang bekerja di rumah sakit tidak dapat menjadi saksi karena tidak bekerja pada tempat dan tingkat yang selingkung atau sederajat.

27

indikasi medis dan indikasi etik sehingga tindakan tersebut menjadi berindikasi etikmedik. Jika indikasi etik itu dipakai juga sebagai pertimbangan maka tindakan medik tersebut sudah beraspek etik. Kemudian yang perlu danalisis selanjutnya benarkah landasan etik yang dipakai?

SESUAI KEBIASAAN DOKTER SELINGKUNG

Prestasi dokter = Tindakan medis Kaidah dasarbioetik

SOP

ASPEK HUKUM

28

KASUS 1 Seorang pria umur 50 tahun datang kesalah seorang dokter spesialis THT di salah satu kota dengan keluhan hidung mampet, berbau dan nyeri diwajah. Setelah terjadi dialog dan dokter melakukan anamnesis dan pemeriksaan THT, maka dokter kemudian menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan penunjang diagnostik yaitu foto Rontgent. Setelah dilakukan pemeriksaan foto Rontgent SPN (sinus paranasal) dan Panoramic. Pasien di diagnosa Sinusutis Maxilaris. Kemudian diputuskan untuk dilakukan operasi CWL untuk sinusitisnya. 6 bulan setelah operasi CWL pasien datang kembali dengan keluhan yang sama dan setelah dilakukan pemeriksaan, pasien di diagnosa sinusitis. Dilakukan tes alergi dan pasien positif mempunyai alergi sehingga penyakitnya kambuh lagi. Pasien kemudian menuntut dokter karena setelah operasi penyakitnya kambuh lagi. ANALISIS a. aspek etik = bioetik Bagaimana pertimbangan aspek etika kedokterannya? Apakah sudah ada pertimbangan aspek etika dari perilaku dokter dalam kegiatan pelayanan kesehatan yang dia lakukan? Aspek etik yang dipakai landasan dokter dalam kasus ini adalah autonomy3, dengan alasan pasien dalam keadaan sadar sepenuhnya, dewasa, dapat menentukan sendiri apa yang akan dilakukan pada dirinya. Sehingga dokter dalam halini tidak boleh melakukan pemaksaan. Dokter tidak boleh menggiring pasien sehingga mau atau terpaksa untuk dilakukan foto ronsen SPN dan mau atau terpaksa untuk operasi CWL. Ke-autonomian-an pasien mutlak utuh sehingga keputusannya adalah keputusan yang bertanggung jawab. Dilandasi dengan pertimbangan etika autonomi maka diatasnya dilakukan tindakan medik seperti pemeriksaan foto Rontgent SPN dan tindakan operasi CWL

b. aspek hukum = medical-law


3

Baca Hari Wujoso, KAIDAH DASAR BIOETIK dan PRIMA FACIE

29

Apakah disana sudah ada HUBUNGAN DOKTER PASIEN. Ya ada, bahkan adanya HUBUNGAN DOKTER PASIEN dapat dilihat dengan adanya bentuk kegiatan pelayanan kesehatan berupa anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan lanjutan dari pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan penunjang diagnostik berupa foto rontgent SPN. Jika tidak HUBUNGAN DOKTER PASIEN maka pelayanan kesehatan dalam bentuk anamnesis, pemeriksaan fisik dan lanjutan itu otomatis tidak terjadi. Apakah pada kasus sudah ada saling setuju dari dokter dan pasein untuk melakukan kontrak terapetik? Saling setuju antara dokter dan pasien dapat tersurat ataupun tersirat. Walaupun dalam kasus diatas tidak tertulis tampak adanya persetujuan dari pasien pada awal anamnesis. Adanya kegiatan dokter berupa anamnesis dan pemeriksaan fisik THT menggambarkan sudah adanya persetujuan dari pasien atau sudah ada ic dari pasien. Pelayanan kesehatan dari dokter berupa operasi CWL terjadi dalam HUBUNGAN DOKTER PASIEN. Operasi CWL adalah operasi yang bersifat elektif artinya merupakan tindakan yang sudah direncanakan. Dokter mengusulkan untuk di lakukan operasi CWL dan kemudian pasien menyetujui untuk operasi. CWL bukan tindakan gawat darurat. Otomatis karena bukan tindakan gawat darurat maka ada fase waktu yang dapat dipakai pasien untuk mempertimbangkan perlu tidaknya operasi CWL itu, adakah kesiapan dananya, dan lain sebagainya. Jika kemudian terjadi operasi CWL maka, tindakan operasi itupun sudah terencana tentunya pasien juga sudah tahu dan sudah memberikan persetujuannya. Sebab suatu tindakan intervensif harus diikuti dengan adanya persetujuan dari pasien, terlebih jika tindakan operatif. Tanpa adanya persetujuan pasien atau ic maka tindakan operasi itu tentu tidak boleh dilakukan dan dokter dapat dianggap melanggar hukum. Baik anggap saja CWL sudah dilakukan dan kemudian 6 bulan kemudian mengeluh kepada dokter yang sama dengan keluahanyang sama dan setelah dilakukan pemeriksaan lagi dikatakan pasien ternyata menderita alergi dan sinusitis.

30

Pasien setelah tahu kalau menderita sinusitis lagi padahal sudah di operasi CWL, maka merasa tidak puas. KEJADIAN TIDAK DIINGINKAN pada kasus ini adalah kejadian sinusitis ulang padahal sudah dilakukan CWL. Analisis kita adakah KEJADIAN TIDAK DIINGINKAN itu malpraktik atau bukan malpraktik? Memperhatikan ada tidaknya malpraktik dapat dilihat dengan memperhatikan kasus tersebut diatas dan dibandingkan dengan petunjuk menganalisa adanya KEJADIAN TIDAK DIINGINKAN seperti pada bab 3. apakah dokter ada melakukan wanprestasi, adakah melakukan kelalaian, adakah dokter memenuhi 4D sehingga benar dokter telah melakukan malpraktik, dan adakah dokter menyengaja melakukan perbuatan jelek? Dilihat dari keluhan pasien dengan munculnya KEJADIAN TIDAK DIINGINKAN, maka antara sinusitis yang pertama dan yang kedua berselang waktu 6 bulan. CWL jelas tidak menjamin tidak akan terjadi lagi peristiwa sinusitis. Kalau yang dijanjikan dokter di dalam kasus pengobatan yang pertama dengan mengatakan CWLnya akan menyebabkan pasien tidak akan mengalami sinusitis lagi maka benar saja jika pasien menuntut dokter karena dokter ternyata tidak dapat memenuhi prestasinya yang terwujud dengan kambuhnya lagi sinusitis pasien. Tapi jika, dokter tidak pernah menjanjikan resiko tidak ada kasus sinusitis lagi, sebab sinusitis adalah peradangan rongga sinus dan dapat terkena lagi jika korban ternyata mendapat kontaminasi kuman pada rongga sinusnya, maka jelas bahwa dokter sudah memenuhi prestasi operasi CWL yang pertama dan pada keluhan kedua merupakan kasus baru sama sekali, sebab mungkin sekali bisa terjadi infeksi ulang pada rongga sinus lebih dari satu kali. Pada kasus ini saya pikir belum ada kejelasan dari pasien perihal tindakan cwl yang dilakukan kepadanya. Dokter dalam hal ini bisa jadi belum menerangakan kepada pasien atau sudah menerangakan tetapi pasien lupa atau pasien belum dapat mengerti, tetapisudah pasien setuju untuk dilakukan cwl.

31

Sebagian besar dari kasus ketidak puasan pasien lebih terlatarbelakangi karena adanya miskomunikasi antara dokter dengan pasien. c. Aspek disiplin = biomedik Aspek biomedik dari pelayanan dokter merupakan hal yang dijadikan pokok perjajnjian. Karena kemampuan di aspek biomedik inilah maka pasien datang ke dokter. Ilmu kedokteran pada dasarnya tidak lain adalah berisi ketentuan-ketentuan ilmiah dari gejala-gejala alamiah dari tubuh manusia. Jika seseorang dapat mempelajari keteraturan dari sistem perederan darah maka keteraturan tersebut dipakai sebagai ketentuan untuk mengetahui baik buruknya sistem peredaran darah yang ada tersebut. Dokter adalah orang yang sudah mempelajari ketentuanketentuan yang terdapat di dalam tubuh manusia, keadaan normalnya dan keadaan tidak normalnya. Kesemua ketentuan itu tercatat dan terbentuklah ilmu kedokteran. Dalam hal ketentuanketenuan yang ada tersebut maka dibuatlah suatu standart operasional prosedur yang dipakai oleh semua dokter dalam lingkungan tempat dokter itu bekerja. Dokter yang sudah bekerja sesuai dengan SOP maka jelas doker tersebut tidak salah dilihat dari aspek disiplin ilmu kedokteran dan hal ini berarti juga tidak melanggar hukum, karena hukum melihat ketentuan yang ada pada ilmu kedokteran itu sendiri sebagai hukum (hukum administrasi kedokteran sebagai lex spesialis4). Jika dokter yang telah melakukan operasi CWL tadi melakukan semua prosedur tindakan operasi CWL dan tidak menjanjikan bahwa operasi tersebut tidak menjamin akan terulangnya kejadian sinusitis maka dokter tersebut tidak bersalah.

Baca, Wujoso, ASPEK HUKUM PELAYANAN DOKTER.

32

KASUS 2 Kasus yang terjadi dalam bidang THT, yaitu kasus meninggalnya seorang pasien pasca tindakan Tonsilektomi. Kasus tersebut terjadi di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta. Pasien Ny. A dilakukan tindakan tonsilektomi dimana di RS tersebut pasien tonsilektomi dapat menjalani operasi One Day Care. Sehingga setelah pasien sadar, pasien dapat langsung pulang ke rumah. Setibanya Ny. A di rumah, Ny. A mengalami perdarahan dengan gejala muntah darah yang semakin lama semakin banyak jumlahnya. Ny. A kemudian dilarikan ke RS terdekat, tetapi kemudian menuntut pihak RS H dan dokter D yang mengoperasi Ny. A karena dianggap telah melakukan tindakan medik yang mengakibatkan kematian pada pasien Analisis kasus a. aspek hukum Analisis kasus tersebut dari aspek hukum, pertama kali melihat adakah hubungan dokter pasien antara ny. A dengan dr. D dan rs. H. Dari kasus diatas tampak ada hubungan antara pasien ny. A dengan dr. D, juga hubungan antara ny. A dengan rs. H. Adanya hubungan dokter pasien dan adanya kejadian tidak diinginkan dalam hal ini adalah kematian pasien ny. A, maka membuat keluarga dari ny. A melakukan tuntutan hukum kepada dr. D dan rs. H. Benarkah kejadian tidak diinginkan terjadi sebagai malpraktik? Sebelum menjawab kita lihat dahulu adakah persyaratan dari kontrak terapetik antara ny. A dan dr. D juga rs. H terebut memenuhi syarat sehingga kontrak terapetik tersebut sah secara hukum? Terdapat 4 syarat sahnya kontrak yaitu 1) saling setuju, 2) cakap, 3) hal tertentu, dan 4) hal yang halal. Saling setuju tampak sudah ada miskipun tidak tertulis dalam kasus tersebut adanya tindakan operasi yang merupakan tindakan invasif dan juga pasien ada menghendaki atau setuju dengan progran operasi tonsilektomi one day care. Kecakapan dari parapihak untuk melakukan kontrak terapetik sepertinya tidak ada masalah, karena dilakukan oleh dokter, rumah sakit dengan pasien dewasa yaitu ny. A.

33

Hal tertentu yang dijanjikan dalam kontrak adalah tindakan tonsilektomi one day care. Tindakan ini jelas merupakan kewajiban yang dijanjikan oleh rumahsakit dan dokter (yan gmerupakan prestasonya) kepada pasien. Tindakan ini jelas tidak dilarang oleh hukum yang berlaku di indonesia. Sehingga halal atau boleh dilakukan di indonesia. Kejadian tidak diinginkan yang menjadi obyek permasalahan adalah timbulnya perdarahan pasca operasi setelah pasien dibolehkan pulang dan miskipun suda diusahaka untuk dilakukan pertolongan (di rumah sakit lain) ny. A tidak dapat tertolong dan meninggal dunia. Kajian aspek hukum dari kasus ini lebih banyak memperhatikan dari aspek disiplinnya. Karena aspek hukum dalam hal ini bergantung dari aspek hukum administrasi kedokteran yang tidak lain adalah kebenaran dari ilmu kedokteran yang telah diterapkan oleh dokter itu kepada pasiennya yaitu ny. A tadi. Dokter dan rumah sakit dalam kasus ini melakukan bentuk perjanjian yang bersifat menjanjikan hasil yaitu operasi tonsilektomi one day care = TODC. Beberapa hal yang harus ditanyakan kepada ahli (dokter THT yang selingkung) adalah kelaikan dari TODC itu. Seperti apakah TODC itu sudah lolos dari uji kelaikkan? Andaikan belum maka lubang kesalahan dari tim dokter D dan rumah sakit H semakin besar, tapi jika sudah laik, maka adakah sudah dibuat SOP yang terkait dengan kejadian seperti pasien A tadi? Jika belum maka, apakah pertimbangan dari tim dokter dan rumah sakit untuk berani memulngkan pasien A pasca operasi TODC tadi? Singkat kata umpamanya pada kasus tadi tim dokter D dan rumah sakit H sudah bekerja sesuai dengan SOP, dan operasi TODC sudah lolos uji kalaikkan, maka kejadian tadi dapat daikatakan sebagai kejadian tidak diinginkan non malpraktik. Terlebih jika pada kasus tadi dokter D sudah memberi advis tatacara perawatan kasus pasca TODC di rumah tetapi pasien tidak mengindahkannya dan berakibat terjadinya perdarahan, maka kondisi ini adalah diluar kontrol dari SOP yang sudah ditetapkan oleh tim dokter untuk TODC. Hanya saja mungkin saja memang terjadi adanya kejadian tidak diinginkan malpraktik, jika SOP tidak menyebutkan jika pasien tidak layak pulang dalam sehari miskipun mengikuti progran TODC, maka akan dimasukkan dalam kasus pasien biasa maka

34

dapat jadi dokter dan rumah sakit melakukan kelalaian, karena memulangkan pasien post-op TODC pada kondisi tak layak pulang. Miskipun mungkin dokter dan rumah sakit sudah memenuhi prestasi dengan dengan dapat memulangkan pasein program operasi TODC dalam sehari (yang berarti tepat waktu), tetapi kondisi pasien yang tidak layak pulang dan diijinkan pulang adalah merupakan kelalaian yang dapat berakibat buruk pada kesehatan pasien. Aspek kelalaian atau negligence dapat menjadi pemberat pada kasus ini. Dilihat dari konsep malpraktik 4D5, maka pada kasus ini evaluasi dilakukan dengan melihat D1 yaitu adakah dokter dan rumah sakit masih memiliki kewajiban terhadap pasien pada kasus TODC ini jika pasien sudah dipulangkan? Sepgnetahuan saya hubungan dokter pasien tidak berhenti begitu saja setelah psien pulanga dari rumah sakit, sebab kasus kesehatan adalah kasus yang terus berkaitan, hanya saja perlu dicari adakah kejadian tidak diinginkan tadi berkaitan dengan kewajiban dokter atau tidak, dan juga dicari adakah SOP yang dibuat oleh rumah sakit berkaitan dengan pelayanan pasien setelah keluar dari rumah sakit? Sebut saja dokter dan rumah sakit masih memliki kewajiban untuk melakukan pelayanan kesehatan pada pasien ny. A termasuk juga memlikikewajiban untuk memastikan tidak adanya resiko perdarahan jika pasien sudah diijinkan pulang. D2 dari kasus ini dapat dilihat dengan aturan yang ada di rumah sakit atau SOPnya, juga kewajiban yang muncul dari dokter dan rumah sakit untuk memelihari kesehatan pasiennya. Melihat tugas atau kewajiban tersebut maka dokter dan rumah sakit dapat dievaluasi adakah dokter dan rumah sakit sudah meninggalkan tugasnya, atau menelantarkan kewajibannya? Jika pada kasus ini diupamkana dokternya tidak membuat analisa yang sudah ditetapkan dalam SOP untuk dapat memberikan kepastian tidak akan timbulnya perdarahan pasc TODC terutama jika terjadi di rumah. D3 dari kasus ini berwujud kematian pasien, juga adanya perdarahan dari yang terjadi sebelum pasien meninggal. Antara perdarahan yang terjadi dengan kematian itu sendiri dapat merupakan hal berbeda dari kasus ini tapi dapat juga berkaitan. Untuk itu nani pemerisaan dilakukan dengan TODC dikaitkan
5

Baca, Wujoso, Konsep-konsep malpraktik dokter, 2008

35

dengan resiko perdarahan dan resiko perdarahan dengan adanya kematian. D4 dari kasus ini adalah mempelajari keterkaitan antara adanya kejadian tidak diinginkan dengan (D3) dengan peristiwa menelantarkan tugas (D2). Jika pada kasus ini ternyata tidak ada kaitan antara D3 dengan D2 maka kejadian kejadian tidak diinginkan tersebut tidak dapat disebut malpraktik. b. aspek etika aspek etika dipertimbangkan sejak awal bersamaan saat terjadinya hubungan dokter pasien. Pada kasus ini tindakan TODC dilakukan dalam kondisi pasien sadar dan dokter dan rumah sakit berusaha untuk memberikan pelayanan kesehtan dengan sebaik-baiknya. Hal ini saja dapat dimengerti jika pelayana yang dilakukan berlandaskan kaidah dasar bioetik beneficence. Dalam hal ini dokter dan rumah sakit berusaha untuk melakukan perbuatan baik berupa pelayanan kesehatan TODC. Dalam hal ini juga dokter dan rumah sakit tidak boleh hanya menekankan pada aspek finansial untuk tindakan yang dilakukannya, malahan jika tindakan itu yang diutamakan dapat menjadikan pelayanan kesehatan dinomor duakan yang berarti malah dapat dikatakan melanggar aspek etika yaitu tidak mengutamakan keselamatan pasien. c. aspek disiplin aspek disiplin dari kasus ini adalah penerapan dari iptek terkait TODC tersebut. Adakah iptek yang digunakan dalam TODC tersebut sudah merupakan teknik yang teruji. Adakah persyarakatan dari pasien-pasien yang akan di program dalam TODC tersebut sudah dipenuhi dengan baik? Adakah sudah dibuat sistem (SOP) yang terkoordinasi terkait untuk upaya keselamatan pasien? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tadi sudahkan dapat diberikan dengan benar? Aspek disiplin dilakukan untuk mengetahui apakah dokter dan rumah sakit sudah menerapkan ilmu kedokteran dengan benar sehingga mereka yang melaksanakan dan memberikan pelayanan tindakan tersebut adalah mereka yang memang sudah memiliki kompetesi yang sesuai. Jika kemudian dokter dan rumah sakit yang bekerja dan memeberikan pelayanan tersebut tidak memiliki suatu sistem yang dapat dipertanggung jwabkan secara ilmiah maka dapatdikatakan

36

mereka telah melakukan pelanggaran aspek disiplin karena mereka sebenarnya tidak kompeten melakukan tindakan itu. Kajian kompetensi dari dokter dan rumah sakit yang melakukan TODC tersebut dapat dimintakan pada tim dokter ahli THT dan kolegium dokter THT.

37

KASUS 3 Anak A umur 2 tahun pada tanggal 7 maret 2006 menjalani operasi di RSUD X dengan diagnosa dari dokter menderita usus buntu, dan setelah operasi hasilnya diketahui bahwa korban menderita usus buntu dan usus berlipat. Pihak medis menunjukkan potongan usus buntu tanpa memberikan bukti adanya usus berlipat. Setelah seminggu dioperasi dan dirawat kondisi bekas jahitan dibawah pusar bernanah dan membengkak, kondisi hidung bocah tersebut juga mengalami pembengkakan akibat terpasang selang sebagai alat bantu pernapasan, Selain itu bagian belakang telinga sebelah kiri juga mengalami pembengkakan. Karena kondisi semakin kritis korban dirujuk ke RSUD Y tapi kerena tidak sanggup merawat dirujuk lagi ke RSUD Z, Sumatera Barat. Tetapi karena alasan ekonomi pihak keluarga memutuskan korban dibawa pulanh kerumah. Dan selama beberapa hari di rumah kondisi semakin memburuk, keluarga membawa ke RSUD X, setelah dirawat selama 2 hari akhirnya meninggal dunia pada tanggal 26 Maret 2006, dengan bekas jahitan operasi yang terkoyak, hidung yang membusuk dan bagian telinga juga membengkak Analisis kasus: a. aspek hukum hubungan dokter pasien antara pasien (anak A) dilakukan dengan dokter (tim dokter rumah sakit X, Y, dan Z). Oleh karena pasien belum cakap6 (masih anak) tentunya dalam kasus ini hubungan dokter pasien harus diwakili oleh orangtuanya atau walinya. Adakah dalam hal ini pasien sudah diberi penjelasan yang cukup terhadap tindakan yang akan dilakukan juga komplikasi yang mungkin terjadi. Sehingga ada keterbukaan yang bijak dari pihak tim dokter selama proses perjalanan penyakit tersebut terjadi. Kemudian pada kasus ini, hal tertentu yang dijadikan obyek pelayanan adalah pelayanan kesehatan pasien, dengan tindakan operatif kasus apendisitis.
6

Baca, Wujoso, Kontrak terapetik, 2008

38

Tindakan operatif kasus apendisitis adalah prestasi yang dijanjikan untuk dilakukan dengan sebaik-baiknya oleh tim dokter rumah sakit, juga upaya penyehatan dari pasiennya. Kewajiban atau pretasi yang dijanjikan tersebut dapat dijadikan pedoman untuk mengevaluasi adakah malpraktik dari kasus ini. (dilihat dengan 4D). D1. Kewajiban dari dokter dan rumah sakit adalah untuk berusaha mengembalikan kesehatan pasien menjadi lebih baik. Pada kasus diatas maka dokter dan rumahsakit berusaha membantu mengembalikan kesehatan anak A umur 2 tahun yang menderita apendisitis (usus buntu) dengan cara melakukan operasi apendiktomi. Tim dokter rumah sakit sewaktu proses operasi juga menemukan adanya usus berlipat (mungkin volvulus-penulis) dan juga melakukan pemotongan usus untuk memperbaiki kesehatan pasien7. Sebenarnya perluasan operasi harus tetap mendapat persetujuan dahulu setidaknya dari keluarga pasien. Jika kondisi pasien sedang diatas meja operasi dan keterbatasan waktu operasi serta menimbang bahwa tindaka perluasan operasi itu harus diambil maka disini dokter dapat mengambil KDB non maleficence sebagai landasan bioetiknya untuk malakukan tindakan mediknya. Tetapi kondisi ini tidak dapat dilakukan setiap saat. Hukum dapat mengetahui apakah tindakan itu benar atau salah dapat dilakukan cek silang dengan menanyakan pada dokter selingkung8 apakah tindakan dokter tersebut benar atau tidak. Pasien selama proses perawatan pasca operasi menunjukkan ada infeksi pada bekas jahitan dibawah pusar. Pada hidung pasien juga
7

Perluasan operasi. Tindakan perluasan operasi sebaiknya sudah diinformasikan sebelumnya kepada pasien yang kemudian pasien juga menyetujui dalam informed consent. Sehingga di dalam informed consent sebaiknya tercantum klausula persetujuan untuk perluasan operasi selama bertujuan untuk kebaikan pasien, selain itu jika ada walinya langsung diberitahu saat operasi itu berlangsung.
8

Dokter selingkung, artinya dokter lain yang dipakai untuk melakukan cek silang dalam rangka mengetahui apakah tindakan sorang dokter itu salah atau benar. Dokter selingkung itu berarti memilikisituasi dan kondisi yang sama dengan dokter yang akan dievaluasi.

39

terjadi pembengkakan. Pasien saat ini masih dalam posisi di rumah sakit dalam rangka perawatan. Sehingga kualitas perawatan pasien mulai perawatan luka jahitan operasi, adalah tanggung jawab rumah sakit (juga perawat) yang secara langsung bertangung jawab untuk melakukan asuhan keperawatan pada pasien. Jika luka bernanah dibawah pusar tersebut disebabkan oleh karena infeksi nosokomial maka rumah sakit harus bertanggung jawab, demikian juga peristiwa pembengkakan pada hidung yang diduga akibat slang nafas. Pada prinsipnya selama di dalam perawatan rumah sakit maka manajemen rumah sakit memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan yang baik tanpa membedakan-bedakan (terlebih rumah sakit pemerintah yang merupakan kepanjangan dari pelaksana amanat undang undang bertanggungjawab memelihara kesehatan warna negaranya9). Kesehatan pasien berkembang menjadi semakin buruk, sehingga dirujuk ke RSUD Y, kemudian RSUD Z. Perujukan merupakan keharusan dari suatu proses pelayanan jika memang fasilitas dari pemberi pelayanan kesehatan tersebut tidak lagi sanggup menangani. D2. Adakah dari dokter atau rumah sakit melakukan penelataran terhadap kewajiban yang mereka miliki. Terkait kasus ini adanya infeksi pada jahitan bawah pusar, maka perlu dievaluasi bagaimana perawatan luka yang telah dilakukan perawat, bagaimana pemberian obat dan keteraturan pemberian obat? Apakah obat dapat masuk semua sesuai jadwal, sudahkan dokter memberikan antibiotik yang sesuai? Apakah mungkin proses operasi (laparatomi?) tersebut berjalan tidak steril? Apakah dokter sewaktu visite tidak memeriksa dengan teliti? D3. infeksi di jahitan dibawah pusar, pembengkakan hidung, kematian. Dapat dilihat sebagai damage dalam kasus ini. Pada kasus ini ada beberapa kejadian tidak diinginkan, yaitu infeksi di jahitan bawah pusar, pembengkakan hidung, pembengkakan telinga, dan kematian.

Aspk HAM keterjangkauan, ketersediaan,

40

D4. Mungkinkah kejadian infeksi pada jahitan dibawah pusar dan pembengkakan di hidung itu merupakan akibat penelantaran, bahkan sampai pada kejadian kematian itu merupakan suatu kejadian tidak diinginkan yang berkaitan dengn adanya penelataran? Kajian untuk ini memang diperlukan penilian dari tim ahli yang selingkung,. Juga perlu dinilai adakah SOP yang ada sudah dikerjakan dengan benar atau malahan belum ada SOPnya? Jika dari hasil penilaian itu ditemukan adanya suatu hubungan antara kejadian tidak diinginkan yang terjadi dengan penelantaran tugas atau d2 maka disitu berati ada malpraktik dan dokter dapat dikenakai sanksi. Evaluasi dari aspek ini juga harus dipertimbangkan dari aspek kewajiban dari perawat (d1 dari perawat). Perawat sebagai profesi tetap memiliki tanggung jawab mandiri. Perlu diperhatikan apakah status perawat tersebut sebagai pelaksana kewenangan dokter. Pendidikan perawatan yang ada dengan strata 1 maka membuat status perawat sebagai profesi mempunyai kewenangan sendiri di rumah sakit, sehingga kejadian tidak diinginkan pada kasus tersebut dapat dipakai sebagai adanya d3 pada evaluasi adakah kemungkinan kejadian tidak diinginkan tersebut sebagai kesalahan perawat. b. aspek etik Evalusi aspek etik dapat dilihat dari kdb apa yang dipakai dalam melandasi tindakan medik pertama kali. Setelah hubungan dokter pasien terbentuk, maka dokter akan memberikan bantuan menyelesaikan masalahnya dengan cara tepat, cepat, dan murah dengan akhir hasil pasien menjadi sehat kembali. Pertolongan yang dilakukan dokter adalah indikasi medis berupa tindaan medis dan seharusnya dokter memberi landasan dari tindakan medisnya tersebut dengan kdb beneficence atau nonmaleficence dimana tujuan dokter adalah untuk berbuat baik atau mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah dari pasien. Tindakan dokter dengan sudah melakukan tindakan operasi tersebut adalah benar. Kebenaran dalam hal ini juga harus dievalusi dengan adanya SOP adakah tindakan dokter itu sudah sesuai dengan SOP yang ada. Juga kemudian kemudian perlu dinilai adanya usaha dari dokter utuk mencegah adanya kerusakan lebih lanjut dengan kedatangan pasien yangkeduakalinya

41

c. aspek disiplin Melihat aspek disiplin dari kasus ini, dapat dilihat sejak awal kondisi umum pasien. Pada saat evaluasi awal kondisi awal pasien yang memang sudah tidak baik akan dapat memberi prognosa jelek dari kesembuhan pasien. Tetapi, memperhatikan dari keberanian dokter untk melakukan tindakan operasi apendektomi menunjukkan kondisi pasien memungkainkan utnuk dilakukan operasi dan mampu untuk mendapatkan kembali kesembuhannya. Instruksi dari dokter yang lengkap dan terapi yang sudah benar akan membuat dokter sudah melaksanakan dengan benar jika dinilai dari aspek disiplinnya. Hanya saja perlu juga dievaluasi dalam hal ini kejadian tersbut dengan meliahat aspek disiplindari perawat. Pasien dalam hal ini dikelola oleh banyak profesi, termasuk mungkin perawat, ahli gizi, selain dokter (dokter bedah). Kesalahan juga dapat dilihat dari kelengkapan adanya SOP. Hal mana ketidaklengkapan SOP dapat disalahkan pada manajemen rumah sakit, dalam hal ini terkait juga keberadaan komite medik yang bertanggung secara moral untuk selalu mengevaluasi SOP yang ada dan belum ada.

42

KASUS 4 Di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS X kedatangan seorang pasien, Ny. Y, umur 45 tahun didampingi oleh suaminya. Wanita tersebut adalah pasien dengan Ca Serviks yang sudah berulang kali menjalani kemoterapi, saat datang pasien dalam keadaan anemis, lemah dan sukar untuk berkomunikasi. Hasil pemeriksaan Hb atas permintaan dokter yang menangani pada waktu itu sudah didapatkan namun hasilnya dirasa dokter tidak sesuai dengan kondisi pasien, yaitu sebesar 10,5gr%. Dokter berkeyakinan telah terjadi kekeliruan atas pemeriksaan Hb tersebut dan meminta ijin kepada suami pasien untuk dilakukan pemeriksaan ulang, dengan memberikan penjelasan yang lengkap bahwa pemeriksaan tersebut sangat penting untuk keperluan pengobatan pasien. Seketika itu juga suami pasien menjawab bahwa dirinya keberatan dan mengaku pasrah dengan keadaan istrinya, meminta agar dibawa saja kebangsal bagaimanapun kondisinya, serta mengatakan pada dokter bahwa dirinya memilih menandatangani surat penolakan tindakan tanpa dokter menawarkan pilihan tersebut sebelumnya. Bagaimanakah solusi permasalahan ini? Analisis kasus a. aspek hukum aspek hukum dokter pasien dalam semua kasus harus dilakukan setelah adanya hubungan dokter pasien. Kecuali dalam aspek hukum dari aspek administratif formal doker dan atau rumahsakitnya sendiri. Pada kasus tersebut langsung digambarkan bahwa pasien Y sudah berulangkali melakukan kemoterapi (tidak jelas apa dilakukan di rumahsakit X juga) tapi dalam hal ini jelas sudah ada anamnesa dari dokter sehingga mengetahui adanya riwayat tersebut. Adanya anamnesa menunjukkan sudah ada hubungan dokter pasien. Dalam hal ini saling setuju terjadi dapat dikatakan secara implisit. Kedaan umum yang anemis, lemah, dan sukar berkomunkasi mengarahkan pada kondisi umum yang sedang-jelek dan kemudian dokter melakukan pemeriksaan Hb. Tidak ada penolokkan dari pemeriksaan Hb pertama kali ini

43

menggambarkan telah terjadi ss untuk tindakan ini hal mana dapat dikatakan telah ada ic dari pasien. Hasil Hb setelah dibaca dokter, dokter merasa kurang puas, rasanya ada kekeliruandari hasil pemeriksaan Hb tersebut. Kemudian minta kepada pasien (suami pasien) untuk melakukan pemeriksaan ulang Hb. Hanya saja dalam hal ini kemudian suami pasien menolak. Dokter sudah berusaha untuk melakukan pendekaan dengan menerangkan manfaat dari pemeriksaan tersebut, tapi suami pasien tetap menolak pemeriksaan Hb ulang tersebut. Melihat kasus ini saya tidak melihat ada kejadian tidak diinginkan dari kasus ini, hanya ada dugaan kemungkinan hasil pemeriksaan Hb kurang pas. Untukini dokter dapat melakukan cek silang langsung dengan bagian laboratorium yang melakukan pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan ulang kalau saya sarankan nanti dpat dilakukan ulang setelah kondisi suami pasien merasa longgar hatinya, sehingga dokter dapat memperlah ijin untuk melakukan pemeriksaan Hb lagi. b. aspek etika hubungan dokter pasien pada tahap awal dapat berlangsung dengan lancar. Memperhatikan kondisi pasien maka dapat disimpulkan kalau dokter dalam hal ini mengambil kdb beneficence. Kdb b ini dapat dilihat dengan dokter mendapat ijin untuk melakukan pemeriksaan Hb. Pemeriksaan ulang Hb dalam kasus ini tampak kalau dokter memberi kebebasan pada pasien untuk melakukan pilihannya sendiri, miskipun disini istri yang sakit diwakili oleh suaminya. Hal ini menggambarkan kalau dokter memberikan autonomi pada pasien untuk menentukan sendiri setuju atau tidak akan tindakan pemeriksaan Hb ulang yang akan dilakukan. Terjadi penggunaan teknik prima facie dalam kasus ini yaitu dari b ke a. Hal mana hal ini menunjukkan dokter cukup tepat dalam mengambil kdb dalam tindakan medik yang akan diambilnya. Hanya saja memperhatikan kasus adanya keraguan dari dokter maka dokter atau tim pelayaan kesehatan untuk segera membangun kesadran dari suami pasien untuk dapat memberi ijin pemeriksaan Hb ulang. Adalah tanggug jawab moral dokter untuk mendidik pasien dan keluarganya.

44

c. aspek disiplin analisis dari aspek disiplin dalam kasus ini dapat dikatakan secara umum adalah sudah benar, hanya saja dokter obgin dan dokter lain yang terkait segera mengevaluasi dari aspek kedaruratan dari kondisi pasien tersebut, hal ini penting untuk menentukan jenis tindakanmedik selanjutnya dan juga jenis kdb apa yangkan dipakai dalam menlandasi tindakan medik yang akan diambil tersebut.

45

KASUS 5 Seorang ibu A melahirkan anak di sebuah Rumah Sakit Swasta di kota K. Lahir spontan dengan selamat dan bayi laki-laki bernama X dalam keadaan sehat. Dilihatkan bayi tersebut oleh bidan kepada Bapak bayi tersebut. Kemudian bayi tersebut dibawa kembali ke ruang rawat bayi. Disisi lain seoran ibu B juga melahirkan bayi laki-laki Y beberapa saat setelah ibu A melahirkan. Kemudian kedua bayi tersebut sama-sama dirawat di ruang rawat bayi. Esok harinya keluarga ibu A mau pulang kerumah membawa bayinya. Setelah diambil bayinya oleh bidan dan diantar ke ibunya ternyata keluarga ibu A merasa bayinya tertukar, begitu juga Bapak bayi si X merasa bukan anaknya. Tetapi pihak Rumah sakit dalam hal ini bidan merasa sudah yakin akan keadaan bayi tesebut adalah keluarga ibu A. Sehingga terjadi konflik antara rumah sakit dengan keluarga bayi X. Analisis kasus a. aspek hukum Awal adanya hubungan dokter pasien dalam kasus ini jelas tidak ada masalah. Kejadian tidak diinginkan terjadi berupa rasa curiga adakah sudah terjadi pertukaran bayi. Ibu a merasa mendapat bukan bayi yang bukan dilahirkannya. Evaluasi dari kemungkinan adanya malpraktik dengan cara 4d. Tenaga kesehatan yang terlibat dalam kasus ini adalah bidan. Adanya d1 dari bidan untuk melakukan identifikasi bayi yang baru lahir dengan erbagai stadart yg sudah ditetapkan dalam rumah sakit x. Adakah bidan melakukan d2? Disini dapat dilihat dengan apakah bidan sudah melakukanidentifikasi yang sudah ditetapkan, yaitu sudah sesuai dengan SOP? Jika sudah maka tidak ada d2. jika kemudian terjadi d3 atau kejadian tidak diinginkan berupa terjadinya tertukarnya bayi, maka dapat diketahui bahwa mungkin terjadi kekurang hafalan dari pihak orang tua dari bayi, mungkin demkian. Disini untuk menuju pada d4 maka harus ditetapkan dulu identitas bayi tersebut. Untuk itu maka ada biaknya biaya identifikasi ditanggung pihak rumah sakit dengan adanya persetujuan dari orrang tua masing masing pihak orang tua yang terkait. Jika kemudian disini tidak

46

ditemukan adanya kekeliruan makandapat saja biaya menjadi tanggungandari pihak orang tua bayi x. Jika yang terjadi demikianmakan tidak ada kelalaian dalam pelayantenaga kesehtan dari rumahs akit atau bidan. Yang berarti tidak ada peristiwa malpraktik dlam peristiwa ini. b. aspek etika aspek etik dalam kasus ini ditujukan untuk memberikan perlakuan yg terbaik bagi pasien. Pada kasus ini usaha untuk melakukan kejelasan status dari bayi siapa milik siapa adalah hal yan gmenjadi obyek pekerjaan. Kdb yang dapat dipakai untuk kasus ini adalah aspek justice. Krmudian dengan pmeriksaan golongan darah, atau DNA mungkin maka identitas bayi akan segera dapat dijelaskan. Maka segera permasalahan dapat diselesaikan. c. aspek disiplin kasus diatas dilihat dari aspek dispilin tidak ada kesalahan. Adanya kejadian tidak diinginkan terpicu karena adanya rasa tidak yakin akan bayi ini milik siapa.

47

KASUS 6 Suatu hari di Rumah Sakit Jiwa mendapat telepon dari seorang lelaki yang meminta bantuan pihak RSJ karena istrinya yang menderita Gangguan Jiwa Kronis tiba-tiba mengamuk. Sesuai dengan PROTAP ( Prosedur Tetap) Di RSJ tersebut maka pihak rumah sakit mengirim satgas yang terdiri dari 2 orang perawat dan seorang Petugas Satuan Pengamanan (SATPAM) ke rumah penderita. Sesampai dirumah penderita ternyata didapatkan seorang penderita Skizofrenia yang dalam keadaan gaduh gelisah. Setelah dilakukan pemeriksaan standar oleh perawat, kemudian hasil pemeriksaan tersebut dikonsultasikan ke psikiater Di RSJ melalui telepon. Atas dasar laporan hasil pemeriksaan itu lalu psikiater memberi terapi kegawatdaruratan psikiarti penderita tersebut berupa Injeksi Diazepam. Namun beberapa saat kemudian tiba-tiba penderita mengalami sesak nafas. Setelah dilakukan pertolongan berupa resusitasi jantung paru, penderita tidak dapat ditolong Analisis kasus a. aspek hukum pada kasus tersebt diatas hubungan dokter pasien terbentuk tidak dengan dokter secara langsung, tetapi melalui perawat. Pada kasus ini hubungan pasien-rumah sakit, hubunga perawatpasien juga terbentuk. Analisis hukum dikaitkan dengan hubungan dokter-perawat, hubungan pasien-rumah sakit, juga hubungan pasien-perawat. Terdapat hubungan pasien dengan ketiga pihak tersebut dapat dikaji secara hukum dan kemudian kaitan sanksi hukum jika ada kejadian tidak diinginkan terkait dengan kontrak terapetik yang terjadi. Pada pokoknya ada hubungan hukum yang disebut sebagai kontrak terapetik antara pasien sebagai satu pihak dengan dokter, rumah sakit, dan perawat sebagai pihak lain. Pada kasus ini dapat saja terjadi pasien melakukan kontrak terapetikdengan ketiga pihak itu bersamaan. Analisis hukum adakah ada pelangaran hukum dapat dilihat dengan menggunakan pernagkat 4d. Dari pihak rumah sakit memiliki d1 yaitu kewajiban untuk menolong pasien. Terlebih jika disini rumah sakit tersebut adalah rumah sakit pemerintah, maka menjadi kewajibandari rumahsakit tersebut untuk

48

memberikan pelayanan kepada warga negara indonesia, sebagai tanggungjawab pemerintah untuk memelihara kesehatan warganya. Kasus ini melibatkan lebih dari satu profesi (dokter dan perawat) dan satu institusi pelayanan kesehatan (yaitu rumah sakit). Jenis pelayanan dengan multiprofesi dengan seorag pasien, maka analisis perihal kewajiban profesi (D1) menjadi penting sekali. Sebab mana kewajiban dokter dan mana kewajiban perwat dan juga mana kewajiban dari rumah sakit menjadi tolok ukur nantinya untuk menentukan siapa yang dikatakan telah meninggalkan tugasnya (D2). D1 yang terkait dengan dokter adalah dokter memiliki kewajiban untuk menolong pasien sesuai dengan protap yaitu SOP penanganan pasien home visite. Juga kewajiban yang dibebankan pada dokter adalah tatacara penangan kasus serupa dengan ilmu yang terbaru, misalnya untuk kasus kedaruratan psikiatri maka tidak baik jika menggunakan injeksi diazepan, pemberian dengan diazepan dapat diberikan jika kondisi vital sign dari dapat dipastikan dokter aman dengan melihat sendiri, begitu misalnya, sehingga laporan dari perawat saja dapat dikatakan sebagai kesalahan, atau untuk kasus kegawatdaruratan psikiatri harus menggunakan valium saja, maka penggunaan diazepan dapat merupakan kesalahan medik. Sementara D1 dari perawat dapat dilihat dalam hal ini adakah perawat memiliki kewenangan yang absolut dalam hal menilai keberadaan kondisi pasien yang kemudian disampaikan kepada dokter yang sedang bertugas di rumah sakit? Jika keberadaan perawat tersebut dalam hal ini adalah hanya sebatas melaksanakan kewenangan dokter, maka kesalahan yang dilakukan perawat dapat dibebankan kepada dokter, karena kesalahan dokter memberikan kewenangan kepada orang yang tidak diketahui secara pasti kemampuannya. Hanya saja jika kewajiban dari perawat itu sudah ditetapkan oleh aturan rumah sakit, dan jikakemudian ternyata ada kesalahan perawat dalam memeriksa kondisi pasien, maka perawat tidak dapat menghindar dari tanggungjawabnya dan wajib menanggung dari kelalaian perbuatannya. D2 dari kasus ini dilihat adakah dokter, perawat dan atau rumah sakit melakukan penelantaran kewajiban terkait dalam menangani kasus ini? Hal dapat dilihat dengan merinci

49

kewajiban-kewajiban dari masing-masing yaitu dokter, perawat dan rumahsakit. Jika ditemukan adanya kewajiban yang lalai dilakukan maka dapat jadi ditemukan adanya D2. D3 pada kasus ini adalah kematian dari pasien. Kematian dari pasien diawali dengan adanya sesak nafas dan walaupun sudah diusahakan pertolongan resusitasi jantung paru tetap tidak tertolong. D4 pada kasus ini mencari adakah kelalaian dari dokter, perawat dan atau rumah sakit sebagai manifestsi D2 itu menjadi penyebab langsung terjadinya kematian atau D4? b. aspek etika Apakah yang menjadi dasar dokter untuk menolong pasien? Atas dasar pertimbangan etik apa maka dokter kemudian melakukan instruksi pemberian diazepan pada pasien hanya dengan mendapatkan laporan dari perawat saja tanpa melihat kondisi pasien sebelumnya? Pada kasus ini dokter melihat adanya kedaruratan psikiatri, yaitu terdapat pasien dengan gangguan jiwa dan sedang dalam keadaan gaduh gelisah melakukan perusakan dan dapat membahayakan orang disekitarnya. Kasus gawa darurat ini harus segera diatasi untuk mencegah munculnya keadaan yang lebih merugikan pada pasien dan lingkungannya. Berdasar ini dokter semestinya dapat mengambil asas kdb non-maleficence. Tujuan dari pengambilan kdb non-maleficence ini adalah untuk menghindari kejadian yang lebih buruk pada pasien dan lingkungannya. c. aspek disiplin aspek disiplin ilmu dari dokter, dapat dilihat dengan membuat pertanyaan, apakah yang dilakukan dokter tersebut sudah sesuai dengan protap yang ada? Yaitu sesuai dengan SOP. Jika tidak dengan SOP adakah tindakan dokter itu sesuia dengan perkembangan ilmu kedokteran yang terbaru? Pertanyaan ini dapat dilihat oleh tim ahli sebagai evaluator untuk menilai adakah tindakan dokter dalam menolong pasien dalam kasus tersebut ada kekeliruan atau tidak.

50

KASUS 7 Tn. X seorang Penderita Skizofrenia Paranoid ditangkap polisi karena mengedarkan obat psikotropika. Dalam pemeriksaan Tn. X mengatakan dirinya pasien dr. Y, SpKJ, dan saat ini sedang dalam perawatan rawat jalan. Obat yang dijualnya adalah obat yang didapatkan dari dr. Y, SpKJ. Polisi kemudian memanggil dr. Y, SpKJ untuk dimintai keterangannya dalam kasus ini Analisis kasus a. aspek hukum Adakah hubungan dokter pasien pada kasus ini? Ini adalah pertanyaan yang selalu harus anda lakukan saat akan menganalisis aspek hukum dalam pelayanan kesehatan yang anda lakukan. Jika tidak ada hubungan dokter pasien ... maka bagaimana dapat dilakukan penuntutan pada dokternya? Jadi asal permasalahan dari kasus dalam perilaku dokter adalah adanya hubungan dokter pasien dan dalam hubungan dokter pasien itu kemudian terjadi kejadian tidak diinginkan. Dan atas dasar adanya kejadian tidak diinginkan itu pada umumnya muncul permasalahan hukum berupa dugaan adanya malpraktik. Yang menjadi pertanyaan saya adalah, apakah betul obat psikotropika yang dijual Tn X itu didapat langsung dari praktik dokter? Ataukah Tn X mendapat resep dari dokter Y yang kemudian ditebus ke apotik, .. kemudian obat yang diperoleh dari apotik itu oleh Tn X kemudian dijual. Ada beberapa analisis. Pertama dokter jelas tidak boleh menyimpan obat psikotropika oral dalam praktiknya. Obat jenis psikotropika dan narkotika oral hanya dapat ditulis dalam bentuk resep. Jadi jika dokter memilikiobt psikotropika dan narkotika oral dan langsung diberikan pada pasiennya, maka disini kesalahan dokter bukan karena adanya hubungan dokter pasien, .. tapi karena dia menyimpan obat psikotropika dan narkotika tersebut. Sedang tindakan Tn X menjual obat psikotropika itu adalah murni tindak pidana Tn X sendiri.

51

b. aspek etika. Analisis etika dari kasus ini dapat dilakukan dengan membuat pertanyaan, dengan dasar kdb apa dokter Y memberikan obat psikotropika kepada Tn X. Jika jawabannya adalah atas dasar kdb beneficence, maka dapat ditanyakan lebih lanjut lagi, apakah dokter Y sudah merasa yakin bahwa penggunaan obat psikotropika yang diresepkannya itu nanti tidak akan disalah gunakan ... mengingat jelas Tn X adalah penderitan gannguan jiwa. Dan apakah mungkin Tn X sebagai penderitan gangguan jiwa dapat menyadari akan tujuan dari perginya ke dokter Y itu dalam rangka mengobati dirinya, dan apakah tidak ada keluarga yang ikut mengantarkan saat periksa ke dokter tersebut? c. aspek disiplin di dalam kasus diatas tidak dapat dikaitkan dengan masalah pelangaran disiplin. Kecuali jika memang dokter salah dalam memberi resep obat psikotropika tersebut.

52

KASUS 8 Seorang pasien laki-laki dewasa, dibawa ke IGD RS Moewardi karena tidak mau bicara dan tidak mau makan. Pasien hanya diam, lalu dikonsulkan kebagian psikiatri. Dibagian psikiatri di diagnosa Schizoprenia kataton dengan gangguan dehidrasi sedang. Sebelum dilakukan terapi ect, dipastikan dulu tidak ada gangguan mental organik yang menyertainya. Maka dilakukan pemeriksaan, laboratorium, ekg, foto rongent. Setelah yakin tidak ada gangguan organik, maka terapi ect dilakukan. 2 hari setelah ect pasien kejang dan tidak sadarkan diri. Analisis kasus a. aspek disiplin analisis dari aspek disiplin pada kasus ini adalah untuk mencari adakah tindakan dokter tersebut sudah sesuai dengan sop? Jika sudah, adakah sebenarnya peristiwa kejang itu merupakan resiko yang terbawa dari tindakan ect? Jika ya, maka sebenarnya kejadian itu adalah preventable yaitu dapat dicegah, maka dalam hal ini ... masih ada kemungkinan terdapat kesalahan dari dokter. Jika tidak, ... maka kejadian itu tergolong dalam peristiwa yang tak laik bayang (unforeseable risk), maka disini dokter jelas tidak dapat disalahkan. Selain mencari kemungkinan bahwa kejadian kejang itu terkait dengan tindakan ect, dapat juga dicari kemungkinan penyebab lain dari timbulnya kejang tersebut. Pada prinsipnya untuk mengetahui adanya kemungkinan adanya kesalahan dalam aspek disiplin maka dapat dilakukan penelitian dari peristiwa itu oleh tim ahli untuk mencari fakta adakah tindakan dokter itu sebenarnya sudah sesuai dengan disiplin ilmu kedokteran atau belum. b. aspek hukum Analisis dari aspek hukum dilihat dengan adanya hubungan dokter pasien atau tidak. Pada kasus ini sudah jelas ada hubungan dokter pasien. Adanya hubungan dokter pasien memungkinkan terjadinya tindakan medik berupa ect tersebut. Oleh karena tindakan ect sendiri merupakan tindakan interfensif dan beresiko, maka pasti sebelumnya sudah ada

53

informed consent dari keluarganya. ( dalam hal ini jika ic dari pasien ... malah dapat dipertanyakan, karena pasien adalah penderita gangguan jiwa, apakah pasien kompeten untuk melakukan persetujuan. c. aspek etika Indikasi etik harus terbangun sebagai landasan untuk terbentuknya tindakan medik. Tindakan medik pada kasus diatas adalah ect. Apakah landasan etik yang sudah dipilih oleh dokter untuk tindakan mediknya (ect) itu? Ambil saja dokternya sudah mengambil landasan etik autonomy. Dokter dalam hal ini sudah menerangkan kepada keluarga pasien menfaat, resiko, keuntungan dan kerugian dari tindkan ect itu. Setelah keluarga pasien merasa puas dan cukup jelas dan kemudian kelurga pasien membuat informed consent, maka disini jelas dokternya sudah melandaskan tindakan mediknya berdasarkan kdb autonomy.

54

KASUS 8 Datang seorang laki-laki, umur 40 tahun (dengan diantar oleh ketua RT dan Kepala Dusun dimana laki-laki itu tinggal), di suatu IGD Rumah Sakit Umum. Pasien tampak kesakitan, kaki kanan tidak bisa digerakkan dan terdapat luka menganga ditungkai bawah kaki kanan pasien. Pasien juga berteriak-teriak, sambil mengucapkan suatu perkataan yang tidak jelas maknanya. Oleh dokter IGD pasien diserahkan ke bagian Bedah. Dari bagian Bedah, pasien mendapatkan diagnosis: open fraktur os tibia-fibula 1/3 distal dextra, kemudian dilakukan debridement. Kerena pembicaraan kacau dan riwayat sakitnya karena dipukuli warga atas tindakannya yang sering mengganggu warga sekitar, maka bagian bedah mengkonsulkan pasien tersebut kebagian psikiatri. Dari bagian psikiatri pasien mendapatkan diagnosa skizofrenia paranoid, dan akhirnya pasien ini menjadi pasien raber antara bedah dan psikiatri. Bagian Bedah hendak melakukan tindakan operasi atas tungkai bawahnya tapi tidak bisa karena keluarga tidak bisa membeli alat yang diperlukan ( pasien ini adalah pasien askeskin ). Karena keluarga kurang kerja sama ( sering tidak ada yang menjaga pasien ) maka pasien sering terlihat kesakitan. Pasien dirawat kurang lebih 1 bulan dibangsal perawatan, tapi karena beberapa hal tersebut diatas pasein hanya mengeluh kesakitan terus. Karena sering pasien tidak ada yang menunggu maka Rumah Sakit memanggil Kepala Dusun yang dulu mengantar pasein pada waktu masuk, dan akhirnya pasien dibawa pulang kepala dusun dengan meringis kesakitan.

Analisis kasus a. aspek hukum hubungan dokter pasien dalam hal ini terjadi antara rumah sakit dengan pasien. Hubungan dokter pasien antara dokter dengan pasien berjalan tanpa ada masalah. Pasien mendapat perawatan bersama dokter bedah dan dokter psikiatri. Diagnosa dokter psikiatri pasien adalah penderita skizofrenia paranoid. Dan diagnosa bedah penderita mengalami fraktur terbuka os tibia fibula kanan 1/3 bawah.

55

Hubungan pasien dengan rumah sakit dapat dibedakan antara rumahsakit pemerintah dengan rumah sakit swasta. Rumah sakit pemerintah jelas mempunyai kewajiban untuk membantu warga negara yang tidak mampu. Kewajiban tersebut tertuang dalam undangundang HAM tentang pelayanan kesehatan untuk orang miskin. Jelas secara formal rumah sakit pemerintah tidak dapat menghidari dari keharusan memberikan pelayanan tersebut kepada pasien, termasuk untuk memebelikan alat yang diperlukan untuk operasi kalau hal itu memeng alternatif yang paling memungkinkan. Jadi, .. dalam kasus ini bukan kasus hukum yang banyak berkembang, tetapi aspek ham, .. khususnya ham kesehatan. Untuk itu pihak terkait erat adalah rumah sakit sebagai personifikasi pemerintah dalam pelayanan kesehatan dengan warga negara dalam hal ini adalah pasien. b. aspek etika bagaimana aspek etik yang dari kasus diatas? Dokter dalam menetapkan tindakan medik harus sudah melandasi dengan indikasi medik. Pada saat pertama kali masuk rumah sakit dengan luka fraktur terbuka tindakan di ugd adalah melakukan debridement. Tindakan debridement ini dilandasi dengan kdb nonmaleficence, karena tindakan yang dilakukan saat ini adalah tindakan darurat untuk mencegah terjadinya kerusakan lebih parah dari luka yg ada, ... misalnya terjadi infeksi dan sepsis. Setelah debridement selesai pasien dirawat dan korban direncanakan untuk dilakukan operasi, maka kdb yang diambil berubah dari nonmaleficence menjadi autonomi. Dokter dalan hal ini sudah memberikan informasi kepada keluarga untuk dilakukan tindakan operasi. Tindakan operasi yang akan dilakukan sudah dilandasi dengan sikap etik dari dokter dengan cara doker telah mengembangkan sikap otonomi kepada pasien dengan baik. Jadi .. doker dalam hal ini mengambil kdb otonomi untuk melandasi rencana tindakan mediknya.

c. aspek disiplin

56

dalam kasus ini tidak tampak adanya permasalahan dari aspek disiplin.

57

KASUS 9 Seorang wanita usia 50 tahun, pekerjaan PNS menderita schizoprenia sejak 15 tahun yang lalu, dan sering kumat-kumatan, karena sakitnya maka pasien dipensiunkan muda. Pasien tinggal bersama anak dan menantunya. Karena pasien menderita schizoprenia, maka memerlukan pengobatan rutin dan teratur selamanya dan ini butuh biaya yang tidak sedikit, oleh karena itu, menantunya membuat surat kuasa yang isinya agar uang pensiunan diambil setiap bulannya oleh dia, dan ditandatangani oleh pasien, tapi uang pensiunan malah disalahgunakan oleh menantunya, akibatnya pasien tidak bisa berobat secara teratur akibatnya penyakit pasien tidak terkontrol. Analisis kasus a. aspek hukum aspek hukum dalam hubungan dokter pasien tidak ada. Pasien dalam hal ini wanita berusia 50 tahun sudah didiagnosa schizoprenia, dan juga mendapat resep obat untuk penyakitnya tersebut. Tidak ada kejadian tidak diinginkan dalam kasus ini dilihat dari pelayanan kesehatan. Jika ada hal yang tidak baik .. maka dala hal ini adalah penyalahgunaan uang pensiun yang dapat diambil oleh menantunya yang kemudian disalah gunakan, tetapi hal ini diluar dari hubungan doker dengan pasien. b. aspek etika juga di dalam kasus ini tidak ada masalah dalam hubungan dokter pasien dari apsek perilaku etika dokter. Jika pasien datang pertama kali datang diantar oleh anak atau keluarganya dan penderita dalam keadaan tidak sehat jiwanya maka persetujuan yang menjadi syarat pertama adanya kontrak terapetik dapat diwakili oleh keluarganya. Karena, pasien tidak dalam keadaan darurat maka kdb yang dipakai adalah justice dan atau autonomi.

c. aspek disiplin juga dalam kasus ini tidak ada masalah pelanggaran disiplin yang timbul. Hanya jika dokter mengetahui adanya

58

pemeriksaan yang tidak rutin pada penderita schizoprenia ini, maka dapat disampaikan resiko yang dapat terjadi akibat tidak adanya obat yang seharusnya diminum.

59

KASUS 10 Seorang pasien yang akan melahirkan diantar oleh suaminya ke RS bersalin. Di UGD dilakukan pemeriksaan oleh dokter spesialis obgin ( sekaligus pemilik RS ). pasien dinyatakan adanya perlengketan-perlengketan di rahim dan harus dilakukan operasi sesar cito. Suami pasien diberikan blangko informed consent dan pernyataan kesanggupan atas biaya operasi untuk diisi. Karena merasa tidak mampu maka si suami menyatakan keberatan dan minta dirujuk ke RS pemerintah agar dapat ASKESKIN. Tapi dokter menghalangi niat keluarga pasien dan mengatakan masalah biaya belakangan yang penting ditangani dulu karena jika tidak dapat menbahayakan ibu dan bayinya. Akhirnya si suami menyanggupi karena juga bingung melihat kondisi istrinya yang sudah kesakitan. Dan beranggapan sang dokter akan membantu dengan memberi keringanan. Si suami mengisi IC dan menandatangani kesanggupan biaya (Perkiraan Rp. 5,5 juta ) dengan memberikan DP Rp. 500.000 (hanya mempunyai sejumlah uang ini pihak RS mewajibkan memberi DP ) meskipun si pasien sudah mengatakan tidak akan sanggup membayar sejumlah perkiraan ini, tapi karena alasan administrasi, pasien harus tetap mingisi surat kesanggupan. Setelah operasi dan perawatan selesai dan sudah dinyatakan boleh pulang, pasien diberi tagihan sejumlah Rp. 4.500.000. Karena memang dari awal tidak sanggup membayar sejumlah itu maka pasien tidak bisa membayar. Tapi pihak RS ngotot untuk menagih dan menahan kepulangannya. RS juga minta jaminan Surat Berharga. Pihak RS menuduh ingkar atas yang si pasien tanda tangani, karena surat kesanggupan telah di tanda tangani dan harus mempertanggung jawabkan. Siapakah yang salah dalam kasus ini? Mengingat pasien sudah menyatakan tidak mampu dan minta di rujuk ke RS pemerintah agar dapat ASKESKIN, tapi karena ada pendekatan dari sang

60

dokter akhirnya pasien bersedia di operasi disitu dengan anggapan akan di bantu / diberi keringanan. Yang pada akhirnya pasien dituntut untuk mempertanggungjawabkan. ( Diagnosis pasien sesungguhnya: Ketuban Pecah Dini, dokter menghalangi pasien pindah RS karena alasan materi mengingat RS bersalin ini masih sepi, ALASAN ini tidak diketahui pasien). Analisis kasus a. aspek etika Analisis atas aspek etika dari peristwa hubungan dokter pasien bertujuan untuk melihat, mengapa dokter mengambil kdb tertentu tersebut sebagai dasar untuk melandasi tindakan mediknya! Hanya saja yang pasti ... dokter tidak boleh menggunakan semata-mata masalah materi, untuk mengarahkan tindakan mediknya tersebut. Keputusan etik dokter didasarkan pada kepekaan moralitas dokter dalam mengambil norma-norma10 yang hidup dalam masyarakat sebagai landasan tindakan mediknya. Dokter yang tidak memiliki kepekaan moral, cenderung akan menuntun perilakunya pada tujuan keuntungan komersial sebanyakbanyaknya. Memperhatikan kasus diatas, jelas terdapat kesalahan dokter di dalam mengambil keputusan etik. Suami pasien sesudah diberi tahu oleh dokter obgin kalau istrinya harus dioperasi sudah tidak setuju kalau akan melakukan operasi di rumah sakit swasta. Pasien minta dirujuk ke rumah sakit pemerintah sehingga dapat memperoleh askeskin. Tapi dokter dalam hal ini tidak berusaha mengembangkan aspek autonomy pasien malahan menggiring pasien untuk mengikuti keinginan dokter, yaitu untuk mau melakukan operasi di rumah sakit swasta miliknya tersebut.

10

Baca, Etika, moral, dan norma

61

Juga, .. dokter dalam melayani pasien harus memhami betul kondisi ekonomi pasien. Dokter harus dapat memperkirakan biaya yang akan muncul dan kesanggupan pasien terhadap biaya yang akan muncul tersebut. Jika kemudian dokter memberi suatu harapan akan adanya keringanan dalam masalah biaya .. maka hal tersebut dapat dikatakan dokter juga mengembangkan pelayanan medik yang akan dilakukan, didasarkan pada aspek kdb beneficence, .. yaitu dokter berbuat altruistik, ... dimana dokter bekerja dengan melakukan tindakan medik tanpa ada harapan untuk mendapat balasan berlebih atau dokter bahkan meberi pelayanan tanpa pamrih apapun kecuali harapan pahala dari Allah SWT. Jelas .. dokter tidak boleh mencari kesempatan dalam kesempitan pasien. Dokter di dalam sumpah dokternya jelas sekali sudah mengatakan, kepentingan kesehatan pasien akan diutamakan11. Jika kemudian menjanjika akan memberi keringanan maka hal ini harus menjadi janji yang akan diberikan pada pasiennya. b. aspek hukum aspek hukum dalam pelayanan dokter terbentuk setelah ada hubungan dokter pasien. Hubungan dokter pasien merupakan syarat pertama untk dapat dilakukannya penuntutan pasien kepada dokter. Pada kasus diatas jelas sudah ada hubungan dokter pasien. Hubungan dokter pasien yang terwujud sebagai kontrak terapetik dalam kasus ini juga tampak sudah memenuhi. Sesuai pasal 1320 KUH perdata maka terdapat empat syarat sahnya suatu ikatan atau kontrak, yaitu 1) saling setuju, 2) cakap, 3) hal tertentu, dan 4) hal yang halal12. Saling setuju, maksudnya antara pasiendan dokter sudah saling persetujuan. Pasien dalam hal ini adalah seorang istri yang

11 12

Baca sumpah dokter. Baca, kontrak terapetik, dr hari wujoso

62

hamil, yang akan melahirkan diwakili oleh suaminya sebagai satu pihak dengan dokter sebagai pihak yanh lain. Cakap. artinya para pihak yang melakukan ikatan atau kontrak terapetik adalah orang yang cakap secara hukum untuk melakukan kontrak terapetik. Pada kasus ini dokter dan suami pasien adalah orang yang cakap untuk melakukan kontrak terapetik. Hal tertentu. Dalam kasus ini hal tertentu-nya adalah pelayanan kesehatan dan lebih khusus lagi adalah pelayanan kesehtan untuk membantu persalinan dengan operasi sc. Hal yang halal. Yang dimaksusd hal yang halal dalam kontrak terapetik adalah tindakan operasi caesar tersebut. Adakah tindakan operasi sc itu diatur oleh undang-undang yang dan kemudian menyebutkan bahwa tindakan sc itu dilarang atau dibolehkan. Jadi .. prinsipnya tidak ada larangan secara formal dari aspek hukum dan juga tidak melanggar asas kelayakan dan kepatutan. Dari aspek hukum maka kasus ini lebih mengarah pada masalah perdata. Persetujuan dari pasien dapat dipakai sebagai bukti formal untuk menuntut pasien kalau dia setuju terhadap tindakan yang kan dilakukan. Tetapi, Untuk kalau kasus ini memang ada bukti yaitu kalau pasien sebenarnya sudah minta pasiennya untuk dirujuk tapi dokter menolak, maka tindakan ini dapat berarti dokter tidak memberi peluang pada pasien untuk menentukan nasibnya sendiri yang merupakan manfestasi dari autonomi yang di serahkan dokter pada pasien untuk menentukan sendiri sikapnya. Pelangaran asas autonomi dapat jadi mengakibatkan biaya yang muncul dari tindakan dokter itu tidak dapat diperoleh dokter, dan .. dokter dapat juga dikenai sanksi pelanggaran HAM karena melanggar hak pasien yaitu hak untuk menentukan nasibnya sendiri yang juga menjadi satu asas dalam pelayanan kesehatan.

63

c. aspek disiplin aspek disiplind alam kasus ini tidak dapat dikatakan tidak ada. Ktd yang terjadi lebih terdorong karena adanya ketidakmampuan dari pasien untuk membayar biaya berobat, hal mana ketidakmampuan ini sebenarnya sudah disampaikan pasien ke dokter dan rumah sakit tetapi dokter tetap berusaha untuk menehan pasien hanya karena motivasi untuk mendapat uang(??).

64

KASUS 11 Sewaktu saya masih bekerja di sebuah rumah sakit swasta di Bekasi, datang seorang pasien laki-laki nama A umur 40 tahun dengan keluhan batuk, pilek, sakit kepala yang dirasakan selama kurang lebih dua hari. Pasien tersebut datang ke rumah sakit di Bekasi ini untuk bertemu dan berkonsultasi dengan saya mengenai penyakitnya. Setelah saya lakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik lebih lanjut, lalu saya diagnosa pasien tersebut dengan Common Cold. Dalam anamnesa, saya bertanya pada pasien. Apakah Bapak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan tertentu?. pasien menjawab, Tidak, Dok, saya tidak pernah mengalami alergi saat minum obat apapun. Kemudian saya memberi terapi pasien tersebut dengan Amoxicillin 500 mg tiga kali dalam sehari, sirup obat batuk Allerin satu sendok makan sebanyak tiga kali sehari, tablet Asam Mefenamat 500 mg sebanyak tiga kali sehari dan vitamin Megazinc satu tablet satu kali sehari. Setelah saya memberi obat-obatan tersebut, pasien kemudian pulang. Malam harinya, pasien kembali ke IGD rumah sakit yang sama dikarenakan merasa gatal-gatal di seluruh tubuhnya setelah minum obat-obatan yang saya berikan. Oleh rekan sejawat yang jaga malam itu, antibiotik pasien diganti dengan Ciprofoxacin 500 mg dua kali sehari dan pasien pulang. Kurang lebih empat hari setelah kejadian diatas, datang dua orang laki-laki yang mengaku dari sebuah kantor surat kabar dan LSM. Mereka bermaksud untuk bertemu dengan saya. Mereka mengatakan bahwa pasien laki-laki berinisial A yang telah dijelaskan sebelumnya tidak kunjung sembuh dan timbul keluhan lain yaitu gatal-gatal dan bengkak diseluruh tubuhnya sehingga akibat penyakitnya itu, pasien tidak dapat mencari nafkah selama empat hari. Dua orang laki-laki itu lalu meninjukkan foto pasien. Setelah bicara panjang lebar, dua orang tersebut minta uang sebagai ganti rugi dan mengancam saya akan memuat kasus ini di surat kabar jika uang tesebut tidak diberikan pada saat itu juga.

65

Saya berusaha menjelaskan bahwa gatal-gatal dan bengkak yang timbul itu merupakan reaksi alergi yang timbulnya tidak dapat diprediksi. Saya juga menjelaskan mengapa saya menanyakan riwayat elergi obat-obatan kepada pasien, yaitu untuk menghindari terjadinya hal ini. Akan tetapi mereka terus meminta pertanggungjawaban kepada saya atas kondisi pasien A. Kemudian saya mempersilahkan kedua laki-laki tersebut maupun pasien A untuk mengadu masalah ini ke Komite Medik Rumah Sakit yang bersangkutan. Saya juga mempersilahkan jika mereka tetap ingin memuat berita tersebut di surat kabar. Akhirnya mereka berdua meninggalkan rumah sakit dengan sikap yang tetap menunjukkan bahwa mereka kesal sembari melontarkan kata-kata kasar dengan nada mengancam. Sampai dengan saat ini, kasus yang saya alami tersebut tidak berkembang atau diberitakan di koran manapun. Analisis kasus a. aspek hukum hdp dalam kasus diatas jelas adanya. Juga, .. dalam kasus tersebut dokter sudah mengambil sikap etik yang benar (lihat analisis aspek etika). Berdasar atas pertimbangan etika tersebut dokter meletekakkan indikasi mediknya, .. dalam hal ni dokter sudah melakukan anamnesa dengan benar, yaitu menanyakan adakah pasien memiliki riwayat alergi terhadap obat. Pasien dalam memberikan jawaban mantab bahwa da tidak pernah memiliki riwayat alergi terhadap obat, hal mana akan lebih jelas jika ditanyakan adakah pasien timbul gata-gatal setelah minum obat tertentu, tapi .. pada prinsipnya pasein sudah memberi keterangan yang dapat di pakai oleh dokter untuk memberikan obat. Mengingat oba yang diberikan adalah obat oral maka, .. biasanya memang tidak pernah dilakukan skin test, kecuali .. kalau pasien akan diberi obat injeksi. Pemberian obat injeksi antibiotik jika di rumah sakit maka sudah menjadi prosedur umum untuk selalu dilakukan skin terst terlebih dahulu. Kejadian reaksi dugaan alergi terhadap obat seperti yang terjadi pada pasien tersebut diatas adalah kejadian yang dapat disebut

66

sebagai unforeseable risk, .. hal mana kejadian itu tidak dapat dibayangkan akan terjadi sebelumnya (disebut juga kejadian -yang- tidak laik bayang). Unforeseable risk bersama dengan aceptable risk, dan complication risk, adalah kelompok peristiwa yang tidak diinginkan (adverse event) yang tidak dikelompokkan dalam error. Ketiga hal tersebut (unforeseable risk, complication dan accaptable risk) masuk dalam adverse event yang no error. Sehingga, .. dari analisis aspek hukum, kejadian tersebt diatas tidaklah peristiwa pelanggaran hukum, lebih khusus buknlah suatu kejadian malpraktik yang dilatar belakangi kejadian wanprestasi.13 b. aspek etika petimbangan aspek etika dalam kejadian diatas dapat dimulai dengan melihat kondisi pasien. Adakah pasien dalam keadaan gawat darurat-? ... jawabnya .. TIDAK. Jika, pasien dalam keadaan tidak darurat makan kondisi menjadi memiliki kekuatan untuk menentukan sendiri keadaan tubuhnya (asas HAM; Hak untuk menentukan nasibnya sendiri ~self determination~). Dokter tampak dalam kasus tersebut kemudian melakukan pengembangan diri yaitu memberi wawasan pada pasien untuk menentukan sendiri hal yang terbaik untuk dirinya dengan memberi pilihan jenis obat apa yang tidak alergi pada dirinya. Dokter tampak sudah mengambil landasan etik autonomy dan justice dalam kasus tersebut diatas. Kemudian berdasar landasan etika tersebut kemudian dokter melakukan tindakan medik yaitu memberi obat pada pasiennya. Landasan medik tersebut muncul secara simultan dengan apek etika sebagai tindakan etik-medik-legik. c. aspek disiplin aspek disiplin dari tindakan dokter apaka sudah benar? Memperhatikan dari kejadian diatas dokter terlihat sudah memiliki kecakapan yang baik. Dokter tidak ada cacat dari aspek disiplin ( tidak ada unsur lack of skill) yang dapat dilihat

13

Konsep malpraktik berdasar kontrak terapetik.

67

dari adanya kekurang-mampuan (under competence) ataupun melakukan diluar kemampuannya (out of competence). Dokter dalam kasus diatas secara tekstual tampak sudah berjalan dalam kaidah ilmiah yang benar, sehingga dari aspek disiplin tidak ada problema.

68

KASUS 11 Seorang wanita umur kuran lebih 45 tahun datang di poli bedah dengan keluhan 3 bulan terasa nyeri hilang timbul di daerah perut kanan atas, nyeri menjalar ke punggung. 1 minggu terahkir nyeri bertambah berat. Setelah diperiksa oleh dokter spesialia bedah dan dilakukan pemeriksaan USG ditegakkan diagnosis: Kolelithiasis ( Batu kandung empedu). Keesokan harinya dilakukan operasi kolesistektomi pada pasien tersebut. Hari pertama post operasi: nyeri seluruh lapang perut dan badan demam tinggi. Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik: distended abdomen, bising usus meningkat, nyeri tekan seluruh lapang paru. Cairan yang keluar dari intraabdumen kurang lebih 500 ml berwarna kecoklatan ( cairan empedu ) Hari kedua post operasi : keadaan pasien memburuk dan di diagnosis peritonitis generalisata. Oleh dokter ahli bedah yang lain dilalukan laparatomi, di dapatkan duktus koledokus terputus/ terpotong saat operasi pertama. Kesalahan fatal yang dilakukan ahli bedah sebelumnya. Dokter ahli yang kedua berusaha untuk melakukan koleduktojejunostomi, tetapi tidak berhasil karena organ yang mau disambung ( duktus koleduktus nekrotik ). Pada hari ke empat pasien meninggal. Keluarga pasien menuntut dokter, tetapi oleh pejabat kesehatan melindungi dokter bedah tersebut. Bagaimana penyelesaian kasus ini menurut dari pandangan hukum, etik, dan disiplin kedokteran? Analisis kasus a. aspek hukum pada kasus diatas terdapat dua dokter, tapi yang tampak menjadi perhatian dalam kasus ini adalah dokter yang mengoperasi pasien saat pertama, yaitu dokter B. Pertanyaan yang dapat disampaikan untuk kasus ini adalah, Apakah benar dokter yang pertama sudah melakukan kesalahan dengan

69

melakukan kelalaian berupa terpotongnya duktus koledokus, sehingga mengakibatkan adanya kejadian kematian? Apakah dokter sudah melakukan tindakan berdasar SOP yang benar, dan apakah semua tindakan sudah dijalankan sesuai dengan SOP yang ada. Adakah dari pemeriksaan dokter bedah yang pertama pasien memang sudah memiliki kelaianan? Dan lain-lain pertanyaanyang dapat dilakukan oleh dokter selingkung dalamupaya untuk mengeliminer kemungkinan adanya dokter bekerja tidak sesuai dengan disiplin ilmunya. Jika tidak ditemukan maka disini semua kejadian terwujud faktual tersebut tidak selalu sebagai kesalahan dokter. Yang pasti dari kejadian kasus tersebit terdapat ktd yaitu kemtia pasien. Ktd tersebut merupakan peristiwa yang sangat tidak menyenangkan dan terminal mati-. Sebagai sebuah KTD adakah didalamnya terkait aspek malpraktik atau ada error? 14 Sebab, .. Tidak semua Ktd adalah malpraktik. Mudah kata, .. dalam kasus diats misalnya dokter betul dalam sidang dapat dibuktikan telah melakukan kelalaian (negligence), maka dokter harus mempertnggung jawabkan peristiwa tersebut secara hukum. Hanya saja perlu diperhatikan ,... Adakah pemerintah sudah menyediakan dokter pengganti di daerah tersebut? Bagaimana jika yang ada hanya dua orang dokter dan jika dokter satu dokter ditahan maka pelayanan kesehtan di kabupaten tersebut akan bertambah kacau, adakah tidak dipertimbangkan kalau dalam hal ini dokter diberi sanksi denda saja, (tidak di pidana) sehingga dokter masih dapat membantu masyarakat yang memerlukan keahliannya, mengingat daerah tersbut memang memerlukan dokter bedah. Apabila ... kejadian tersebut dilatarbelakangi oleh adnya jumlah dokter yang sedkit sehingga dokter bekerja overload, maka dapat jadi ktd yang terjadi tadi dilatrbelakngi oleh kelelahan dokter mengingat terbatasnya sdm dokter bedah. Solusi untuk hal ini adalah pemerintah harusnya menyediakkan jumlah dokter bedah yang lebih banyak lagi. Jika hal ini kemudian yang memang melatarbelakangi kejadian ini, maka peristiwa ini lebih dekat disebut sebagai medical error, hal
14

Baca, Konsep Malpraktik, dr Hari Wujoso

70

mana peristiwa medical error masih merupakan kejadian yang mengakibatkan kematian lebih banyak dibanding dengan kecelakaan. Kejadian medical error lebih merupakan kesalahan dalam manajemen yankes dari pada kesalahan yang sematamata karena lack of skill. b. aspek etik dokter harus melakukan analisis etik dengan benar sesuai dengan sikon yang dihadapinya saat itu. Tidak selalu apa yang dilakukan oleh dokter itu dapat dengan mudah dipersalahkan hanya dengan melihat kenyataan faktual (empiriko-faktual). Boleh jadi suatu analisis etik yang dilakukan oleh seorang dokter dapat berbeda hasilnya jika dilakukan dokter lain. Hal mana keadaan ini sangat digantungkan dari kondisi saat kejadian, kondisi emosional yang berkembang saat kejadian, dan juga faktor lain seperti unsur komersial, spiritual reliji, dan lains ebagainya. Memperhatikan kasus diatas pada tahap awal dokter sudah mengambil sikap yang benar dilihat dari aspek etika, yaitu dokter mengambil asas etika beneficence. Miskipun benar dalam mengambil asas etikanya, doker kemudian dapat berbuat seenaknya ..., hal ini jelas tidak dibenarkan. Dokter dalam bekerjapun harus memenuhi aspek hukum juga dalam bekerja, juga harus memenuhi aspek disiplin yang terwujud dalam SOP. Ada kebenaran dalam asas etika pada tindakan operasi yang pertama, tetapi ada kemungkinan dokter tidak melakukan evalusi dengan baik saat tindakan operasi, hal mana dapat dikatakans alah dalam aspek disiplinnya. c. aspek disiplin dari aspek disiplin dokter harus mengikuti tuntunan ilmu yang benar dan mutakhir. Dokter tidak dapat beralasan dalam hal disiplin ini. Untuk evaluasi aspek disiplin ini maka yang dapat mereduksi (miskipun ini tetap keliru), adalah alasan kurangnya sarana mulai dari unsur sdm, peralatan, dan sarana lainnya, dan hal inilah yg biasa disebut medical error.

71

Daftar Bacaan

.Ramali, Sumpah daokter dan Susila kedokteran, Jakarta:Djambatan, 1984. Achmad Roestandi, Ibrahim bachtiar, Pengantar Teori Hukum, Bandung: Multi Karya Ilmu, 1983. Amru Hidari nazif, Bioetika dan hak-hak asasi manusia, menuju standart, jakarta: KBN, 2007. Apeldorm, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1981. Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwija Siswaja, Bioetik dan Hukum Kedokteran, Jakarta: Pustaka Dwipar, 2005. Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Franz Magnis- Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992. Henry Hazlitt, Dasar dasar Moralitas, (lih bahasa: Cuk Ananta), Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2003. Hermien Hadiati Koeswadji, Hukumdan Masalah Medik, Surabaya: Airlangga University Press, 1984. J Guwandi, Etika dan Hukum Kedokteran, Jakarta: FKUI, 1991. Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu, sebuah Pengatantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999. Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Gramedia, 1987. Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

72

Leopold Pospisil, Hukum dan Ketertiban (alih bahasa: Fadjar), Surakarta: Ramadhani, 1984.

73

Lampiran 1 Daftar Kompetensi Dokter ====================================== Daftar Masalah (Keluhan/Gejala) Dalam melaksanakan praktik kedokteran, dokter berangkat dari keluhan atau masalah pasien atau masalah klien. Melalui penelusuran riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan tambahan, serta karakteristik pasien, keluarga dan lingkungannya, dokter melakukan analisis terhadap masalah kesehatan tersebut untuk kemudian menentukan tindakan dalam rangka penyelesaian masalah tersebut. Daftar ini berisikan masalah, keluhan atau gejala yang banyak dijumpai pada tingkat pelayanan kesehatan primer berdasarkan alasan yang membawa pasien atau klien mendatangi dokter atau pelayanan kesehatan. Selama pendidikan dokter, mahasiswa perlu dipaparkan pada berbagai masalah, keluhan atau gejala tersebut, serta perlu dilatih bagaimana menyelesaikan masalah tersebut. Semakin banyak terpapar oleh berbagai jenis masalah, keluhan atau gejala yang akan dijumpai di pelayanan kesehatan primer, lulusan dokter diharapkan memiliki kemampuan penyelesaian masalah yang lebih baik. Daftar masalah ini dibagi menjadi dua, yaitu daftar masalah individu dan daftar masalah komunitas. Daftar masalah individu perlu dikuasai oleh lulusan dokter, karena merupakan masalah dan keluhan yang paling sering dijumpai pada tingkat pelayanan kesehatan primer. Daftar masalah individu berisikan keluhan, gejala maupun hal-hal yang membuat individu sebagai pasien atau klien mendatangi dokter atau institusi pelayanan kesehatan. Daftar masalah komunitas berisikan daftar masalah yang dirasakan oleh masyarakat di sekitar tempat dokter praktik dan berpotensi dapat menimbulkan masalah kesehatan di tingkat individu, keluarga dan masyarakat. Daftar ini tidak menunjukkan urutan prioritas masalah kesehatan.

74

A. Daftar Masalah Individu Masalah yang sering dijumpai Demam Kejang Diare Batuk sesak napas sakit tenggorok sakit kepala Sakit dada Gatal-gatal Nyeri perut Perut kembung Muntah Sulit Buang Air Besar atau sembelit Nyeri sendi Sakit punggung Pusing Kulit kuning Kulit bersisik Kulit merah dan nyeri Kulit berminyak Luka bakar Benjolan leher Wajah kaku Mata merah Mata gatal Mata berair Mata nyeri Belekan Gangguan penglihatan Timbilan Kelilipan Sakit telinga Kopoken (telinga bernanah) Tuli Telinga gatal Pilek (ingusan) Mimisan

75

Bersin-bersin Gangguan penciuman Sakit dan sulit menelan Mulut kering Bau mulut Sakit gigi Sariawan Bibir pecah-pecah Bibir sumbing Batuk (kering, berdahak, darah) Berdebar-debar ASI tidak keluar Benjolan payudara Luka puting Payudara mengencang Retraksi kulit dan puting Benjolan perut Perut kram Sendawa Cegukan Nyeri ulu hati Nyeri sesudah makan Kelainan tinja (lendir, nanah, darah) Ambein Nyeri saat BAB Gatal daerah anus Perdarahan saat BAB Nyeri daerah anus Nyeri saat buang air kecil Anyang-anyangan Sering buang air kecil pada malam hari Kencing mengedan Kencing tidak puas Retensi urin Inkontinensia urin Akhir kencing menetes Pancaran kencing menurun Kencing bercabang Waktu kencing preputium melembung/ballooning Frekuensi urin

76

Disuria Nokturia Urgensi Stranguria Kencing merah (hematuria) Kencing campur udara (pnematuria) Faecaluria Darah pada muara uretra Hemospermia Anuria Poliuria Oliguria Perubahan warna urin Nyeri buah zakar Buah zakar tidak teraba Disfungsi ereksi Keputihan Vagina (gatal, nyeri, rasa terbakar) Gangguan menstruasi Gangguan menjelang menopause Gangguan menopause Patah tulang Nyeri sendi Sendi (kaku, bengkak, kelainan bentuk) Nyeri pinggang Nyeri otot Gerakan terbatas Bengkak pada kaki dan tangan Kaku pada pagi hari Pusing dan pusing sebelah Hilang kesadaran Epilepsi Kejang Kesemutan Gerakan tidak teratur Gangguan gerak dan koordinasi Gangguan otot Gangguan jalan Lumpuh Gangguan bicara

77

Pelupa Perubahan perilaku (termasuk perilaku agresif) Stress Depresi Cemas Susah tidur Pemarah Ngamuk Penurunan fungsi berpikir Perubahan emosi dan mood Gangguan fungsi seksual Pelecehan seksual Perkosaan Tanda-tanda kehamilan Hiperemesis Nyeri perut waktu hamil Perdarahan vagina waktu hamil Anyang-anyangan waktu hamil Kaki bengkak waktu hamil Kontrasepsi Sulit punya anak Kehamilan tidak diinginkan Persalinan prematur Ketuban pecah dini Berat lahir rendah Kurang gizi pada balita Tidak nafsu makan pada balita Lecet pada pantat Cengeng Gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada balita Kecelakaan pada balita Kejang demam Penyalahgunaan obat Gangguan belajar Tidak mau minum obat pada anak-anak Kelelahan Pingsan Perdarahan per vaginam Perdarahan trauma Perdarahan spontan

78

Muntah darah Batuk darah Penurunan berat badan drastis Obesitas Gangguan komunikasi Nyeri dada Nyeri punggung Discharge urethra Gangguan perilaku B. Daftar Masalah Komunitas Masalah yang sering dijumpai Keluarga Berencana - Kesehatan reproduksi - Koordinasi di tingkat lapangan - Kontrasepsi mantap (suntik, pil, dst) Kesehatan Ibu dan Anak - Angka kematian ibu - Angka kematian bayi Gizi - Gizi buruk - Sosial ekonomi Penyakit-penyakit diare dan penyakit infeksi lain - Flu burung - HIV Aids - New emerging disease Imunisasi - Polio - Hepatitis B Pelayanan Kesehatan - Revitalisasi posyandu - Polindes - Revitalitasi puskesmas

79

- Pembiayaan pelayanan kesehatan (bantuan langsung tunai, JPKM, asuransi kesehatan, dan sebagainya). - Tidak ada koordinasi yang baik antara puskesmas dengan rumah sakit. Sistem belum berjalan dengan baik Kesehatan Lingkungan * Bencana alam (banjir, gempa,) * Bencana buatan manusia (limbah, tanah longsor, kebakaran hutan, banjir lumpur panas) * Sanitasi * Pariwisata (travel medicine) Lain-lain Medical error Infeksi nosokomial Medical negligence Kejadian tidak diharapkan (KTD) Keselamatan pasien Masalah-masalah organisasi pelayanan kesehatan - Gaji rendah - Disiplin rendah - Medical supplies kurang - Dana terbatas - Kualitas SDM terbatas - Data terbatas (kurang lengkap) - Informasi ilmiah terbatas - Pengobatan tidak rasional - Regulasi Pelayanan Kesehatan - Tidak melaporkan penyakit KLB - Tidak berizin

80

Lampiran 2:

KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA ( KODEKI ) (S.K. P.B. IDI No:221/PB/A.4/04/2002) KEWAJIBAN UMUM: Pasal 1: Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter. Penjelasan : Lafal Sumpah Dokter: (Demi Allah saya bersumpah ): 1. Saya akan mmbaktikan hidup saya guna kepentingan kemanusiaan . 2. Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhomat dan bersusila , sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter. 3. Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur profesi Kedokteran. 4. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena keprofesian saya. 5. Saya tidak akan mempergunakan pengetahuan dokter saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam. 6. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan. 7. Saya akan selalu mengutamakan kesehatan pasien,dengan memperhatikan kepentingan masyarakat. 8. Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender, politik, kedudukan sosial dan jenis penyakit dalam menunaikan kewajiban terhadap pasen.

81

9. Saya akan memberi kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terimakasih yang selayaknya. 10. Saya akan perlakukan teman sejawat saya seperti saudara kandung. 11. Saya aman mentaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia. 12. Saya ikrarkan sumpah saya ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya. Pasal 2: Setiap dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi . Penjelasan: Yang dimaksud dengan ukuran tertinggi dalam melakukan profesi kedokteran mutakhir yaitu yang sesuai dengan perkembangan IPTEK Kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/ jenjang pelayanan kesehatan dan situasi setempat. Pasal 3: Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Penjelasan: Perbuatan berikut dipandang bertentangan dengan etik: 1. secara sendiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuan dan keterampilan kedokteran dalam segala bentuk, 2. menerima imbalan selain dari pada yang layak dengan jasanya, kecuali dengan keikhlasan, sepengetahuan dan atau kehendak pasen. 3. membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi / obat, perusahaan alat kesehatan/kedokteran atau badan lain yang dapat mempengaruhi dokter,

82

4. melibatkan diri secara langsung atau tidak langsung untuk mempromosikan obat, alat atau bahan lain guna kepemtingan dan keuntungan pribadi dokter. Pasal 4: Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat me muji diri. Penjelasan Seorang dokter harus sadar bahwa pengetahuan dan keterampilan professi yang dimilikinya adalah karena karunia dan kemurahan Tuhan Yang Maha Esa semata. Dengan demikian imbalan jasa yang diminta harus dalam batas-batas yang wajar. Hal-hal berikut merupakan contoh yang dipandang bertentangan dengan Etik : 1. Menggunakan gelar yang tidak menjadi haknya. 2. Mengiklankan kemampuan, atau kelebihan-kelebihan yang dimilikinya baik lisan maupun tulisan. Pasal 5: Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasen, setelah memperoleh persetujuan pasen. Penjelasan: Sebagai contoh, tindakan pembedahan pada waktu operasi adalah tindakan demi kepentingan pasen. Pasal 6 : Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat. Penjelasan: Yang dimaksud dengan mengumumkan ialah menyebarluaskan baik secara lisan, tulisan maupun melalui cara lainnya kepada orang lain atau masyarakat.

83

Pasal 7: Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya. Penjelasan: Cukup jelas. Pasal 7a.: Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia. Penjelasan: Cukup jelas. Pasal 7b.: Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasen dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter dan kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasen. Penjelasan: Cukup jelas. Pasal 7c: Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasen, hak-hak sejawatnya dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasen. Penjelasan: Cukup jelas. Pasal 7d.:

84

Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Penjelasan: Cukup jelas. Pasal 8: Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, prenentif, kuratif dan rehabilitatif) serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya. Penjelasan: Cukup jelas. Pasal 9: Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati. Penjelasan: Cukup jelas. KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASEN: Pasal 10: Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan semua ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasen. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasen, ia wajib merujuk pasen kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut. Penjelasan: Dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut adalah dokter yang mempunyai kompetensi keahlian di bidang tertentu menurut dokter yang waktu itu sedang menangani pasen.

85

Pasal 11 : Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasen agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya. Penjelasan: Cukup jelas. Pasal 12: Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasen, bahkan juga setelah pasen itu meninggal dunia. Penjelasan: Kewajiban ini sering disebut sebagai kewajiban memegang teguh rahasia jabatan yang mempunyai aspek hokum dan tidak bersifat mutlak. Pasal 13: Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bersedia dan lebih mampu memberikan. Penjelasan : Kewajiban ini dapat tidak dilaksanakan apabila dokter tersebut terancam jiwanya. KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT: Pasal 14: Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. Penjelasan: Cukup jelas. Pasal 15:

86

Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasen dari teman sejawat,kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis. Penjelasan: Secara etik seharusnya bila seorang dokter didatangi seorang pasen yang diketahuinya telah ditangani oleh dokter lain, maka ia segera memberitahu dokter yang telah terlebih dahulumelayani pasen tersebut. Hubungan dokter-pasen terputus bila pasen memutuskan hubungan tersebut. Dalam hal ini dokter yang bersangkutan sejogyanya tetap memperhatikan kesehatan pasen yang bersangkutan sampai dengan pasen telah ditangani dokter lain. Pasal 16: Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik. Penjelasan: Cukup jelas. Pasal 17 : Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran / kesehatan. Penjelasan: Cukup jelas.

87

Anda mungkin juga menyukai