Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG
Di Indonesia, akhir-akhir ini tuntutan hukum terhadap tenaga kesehatan dengan
dakwaan melakukan malpraktek makin meningkat dimana-mana. Ini menunjukkan adanya
peningkatan kesadaran hukum masyarakat, dimana masyarakat lebih menyadari akan haknya.
Disisi lain para tenaga kesehatan dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya
dan dengan lebih hati-hati dan penuh tanggung jawab. Seorang tenaga kesehatan hendaknya
dapat menegakkan diagnosa dengan benar sesuai dengan prosedur, memberikan terapi dan
melakukan tindakan medik sesuai dengan standar pelayanan medik dan tindakan itu memang
wajar dan diperlukan.
Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan
pengobatan terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan medis yang dilaksanakan atas
dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan penyembuhan.
Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya masing-
masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan
medis yang sebaik-baiknya bagi pasien
Tindakan malpraktik medik adalah salah satu cabang kesalahan di dalam bidang
professional. Tindakan malpraktik medik yang melibatkan para dokter dan tenaga kesehatan
lainnya banyak terdapat jenis dan bentuknya, misalnya kesilapan melakukan diagnosa, salah
melakukan tindakan perawatan yang sesuai dengan pasien atau gagal melaksanakan perawatan
terhadap pasien dengan teliti dan cermat.

Di beberapa negara maju seperti United Kingdom, Australia dan Amerika Serikat, kasus
malpraktik medik juga banyak terjadi bahkan setiap tahun jumlahnya meningkat. Misalnya, di
negara Amerika Serikat pada tahun 1970-an jumlah kasus malpraktik medik meningkat tiga kali
lipat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dan keadaan ini terus meningkat hingga pada
tahun 1990-an. Keadaan di atas tidak jauh berbeda dengan negara Indonesia, dalam beberapa
tahun terakhir ini kasus penuntutan terhadap dokter atas dugaan adanya malpraktik medik
meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan disetiap media masa dan
elektronik setiap harinya memberitakan tentang kasus malpraktik medik yang dilakukan oleh
dokter atau tenaga kesehatan lainnya baik di rumah sakit di kota besar maupun rumah sakit
tingkat daerah. Hingga Januari 2013 jumlah pengaduan dugaan malpraktik ke konsil kedokteran
Indonesia atau KKI tercatat mencapai 183 kasus. Jumlah tersebut meningkat tajam dibanding
tahun 2009 yang hanya 40 kasus dugaan malpraktik. Bahkan kasus-kasus ini pun tidak
mendapatkan penanganan yang tepat dan hanya berakhir di tengah jalan, tanpa adanya sanksi
atau hukuman kepada petugas kesehatan terkait.

Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik
tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan
diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter
pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktor-
faktor lainnya.

Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus itu
terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang dokter? Untuk
diketahui, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum ihwal standar profesi kedokteran
yang bisa mengatur kesalahan profesi. Dan sebenarnya kasus malpraktek ini bukanlah barang
baru. Sejak bertahun-tahun yang lalu, kasus ini cukup akrab di Indonesia.

Menurut Coughlins Dictionary Of Law , malpraktek bisa diakibatkan karena sikap
kurang keterampilan atau kehati-hatian didalam pelaksanakan kewajiban professional, tindakan
salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis. Kasus malpraktik merupakan tindak
pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia. Malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga
profesional yang bertentangan dengan SOP, kode etik, dan undang-undang yang berlaku, baik
disengaja maupun akibat kelalaian yang mengakibatkan kerugian atau kematian pada orang lain.

I.2 RUMUSAN MASALAH
Pada hakikatnya penulis mengarahkan langkah-langkah yang dijadikan pokok
permasalahan dalam pembuatan makalah ini agar sasaran yang hendak dicapai dapat terwujud.
Pokok permasalahan tersebut yaitu:
1. Apa pengertian dari Malpraktik medik..?
2. Apa saja faktor-faktor yang mendukung terjadinya Malpraktik medik..?
3. Menjelaskan jenis-jenis malpraktek dibidang pelayanan kesehatan.
4. Menjelaskan cara-cara pembuktian malpraktek
5. Memahami upaya pencegahan malpraktek.
6. Berikan contoh Kasus Malpraktik medik..?
7. Jelaskan analisa dari Kasus Malpraktik medik..!
1.3 TUJUAN MASALAH
Tujuan dalam pembuatan makalah ini sebagai pemenuhan tugas individu juga untuk
memahami dan menganalisa contoh malpraktik yang dilakukan di puskesmas.








BAB II
PEMBAHASAN
I. Definisi Malpraktek
Secara harfiah mal mempunyai arti salah sedangkan praktik mempunyai
arti pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktik berarti pelaksanaan atau
tindakan yang salah. Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari
seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu
pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap
pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La
Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956). Pengertian
malpraktik medik menurut WMA (World Medical Associations) adalah Involves the
physicians failure to conform to the standard of care for treatment of the patients
condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the
direct cause of an injury to the patient (adanya kegagalan dokter untuk menerapkan
standar pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan
perawatan pasien, yang menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada
pasien).

Menurut Coughlins Dictionary Of Law , malpraktek bisa diakibatkan karena
sikap kurang keterampilan atau kehati-hatian didalam pelaksanakan kewajiban
professional, tindakan salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis. Kasus
malpraktik merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia. Malpraktik
pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional yang bertentangan dengan SOP, kode
etik, dan undang-undang yang berlaku, baik disengaja maupun akibat kelalaian yang
mengakibatkan kerugian atau kematian pada orang lain.
Blacks Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai professional
misconduct or unreasonable lack of skill atau failure of one rendering professional
services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the
circumstances in the community by the average prudent reputable member of the
profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to
those entitled to rely upon them.
Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan
juga berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan, perbankan
(misalnya kasus BLBI), dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis menurut World
Medical Association (1992) adalah: medical malpractice involves the physicians failure
to conform to the standard of care for treatment of the patients condition, or lack of skill,
or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the
patient.
2. Faktor yang mendukung malpraktek
Ada 3 hal yang dapat menyebabkan seorang tenaga kesehatan melakukan tindakan malpraktik
medik, yaitu apabila tidak melakukan tindakan medisi sesuai dengan :

1. Standar Profesi Kedokteran
Dalam profesi kedokteran, ada tiga hal yang harus ada dalam standar profesinya, yaitu
kewenangan, kemampuan rata-rata dan ketelitian umum.

2. Standar Prosedur Operasional (SOP)
SOP adalah suatu perangkat instruksi/ langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan
suatu proses kerja rutin tertentu.

3. Informed Consent
Substansi informed consent adalah memberikan informasi tentang metode dan jenis rawatan
yang dilakukan terhadap pasien, termasuk peluang kesembuhan dan resiko yang akan dialami
oleh pasien.

3. jenis-jenis malpraktek
Malpraktek Dibidang Hukum
Untuk malpraktik hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang
hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative
malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan
tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional),
kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal
344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu
(pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis
tanpa persetujuan pasien informed consent.
Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan
luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan
operasi.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada
rumah sakit/sarana kesehatan.
2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan
kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula
dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability.Dengan prinsip ini maka rumah
sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya
(tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas
kewajibannya.



3. Administrative malpractice
Dokter dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga perawatan
tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police
power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang
kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya
(Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan.
Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan
melanggar hokum administrasi.

4. menjelaskan cara-cara pembuktian malpraktek
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara
yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan
apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat dipersalahkan.
c. Direct Cause (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal)
dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela
diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai
dasar menyalahkan dokter. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya
adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan
fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res
ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory
negligence.


5. upaya pencegahan malpraktik
1. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena adanya mal praktek
diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk
daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
2. Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi
tuntutan hukum, maka tenaga bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang
aktif membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang
diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan
bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau
mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan
dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-
doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung
jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan
mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang
sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi
sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan
perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau
pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung
jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta
yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan
menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara
menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus
membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga
kebidanan.
Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah
no 18 tahun 1981 yaitu:
1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak
dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan
dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara
lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan
tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat
tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap
diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta
oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut
dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi
kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan
pasien, kehadiran seorang bidan/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic,
terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis
(berkaitan dengan informed consent).





3 Penyebab Terjadinya Malpraktik Kedokteran
Beberapa hal yang dapat menyebabkan seorang tenaga kesehatan melakukan tindakan malpraktik
medik, yaitu apabila tidak melakukan tindakan medisi sesuai dengan :
Standar Profesi Kedokteran Dalam profesi kedokteran, ada tiga hal yang harus ada
dalam standar profesinya, yaitu kewenangan, kemampuan rata-rata dan ketelitian umum.
Standar Prosedur Operasional (SOP) SOP adalah suatu perangkat instruksi/ langkah-
langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.
Informed Consent Substansi informed consent adalah memberikan informasi tentang
metode dan jenis rawatan yang dilakukan terhadap pasien, termasuk peluang kesembuhan
dan resiko yang akan dialami oleh pasien.
Hubungan antara dokter dan pasien terjadi suatu kontrak (doktrin social-contract), yang memberi
masyarakat profesi hak untuk melakukan self-regulating (otonomi profesi) dengan kewajiban
memberikan jaminan bahwa profesional yang berpraktek hanyalah profesional yang kompeten
dan yang melaksanakan praktek profesinya sesuai dengan standar. Sikap profesionalisme adalah
sikap yang bertanggungjawab, dalam arti sikap dan perilaku yang akuntabel kepada masyarakat,
baik masyarakat profesi maupun masyarakat luas (termasuk klien). Beberapa ciri
profesionalisme tersebut merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan
yang selalu sesuai dengan tempat dan waktu, sikap yang etis sesuai dengan etika profesinya,
bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya, dan khusus untuk profesi
kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela berkorban). Uraian dari ciri-ciri tersebutlah yang
kiranya harus dapat dihayati dan diamalkan agar profesionalisme tersebut dapat terwujud.
Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk pelanggaran
ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata, seperti
melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, penahanan pasien, pelanggaran wajib simpan
rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, keterangan
palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji / diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar
kompetensinya, dll. Kesengajaan tersebut tidak harus berupa sengaja mengakibatkan hasil buruk bagi
pasien, namun yang penting lebih ke arah deliberate violation (berkaitan dengan motivasi) ketimbang
hanya berupa error (berkaitan dengan informasi).
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance.
Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau
improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis
tersebut sudah improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi
dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis
dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan
kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips
and lapses) yang telah diuraikan sebelumnya, namun pada kelalaian harus memenuhi ke-empat unsur
kelalaian dalam hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan
kerugian. Demikian pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk.
Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktik
medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja,
melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang
seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi
yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah
merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya
(berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi
orang lain.
Undang-Undang No 29 tahun 2004
Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan untuk mengatur
praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan perlindungan kepada pasien,
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum
kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi. Pada bagian awal, Undang-Undang No 29/2004
mengatur tentang persyaratan dokter untuk dapat berpraktik kedokteran, yang dimulai dengan
keharusan memiliki sertifikat kompetensi kedokteran yang diperoleh dari Kolegium selain ijasah
dokter yang telah dimilikinya, keharusan memperoleh Surat Tanda Registrasi dari Konsil
Kedokteran Indonesia dan kemudian memperoleh Surat ijin Praktik dari Dinas Kesehatan Kota /
Kabupaten. Dokter tersebut juga harus telah mengucapkan sumpah dokter, sehat fisik dan mental
serta menyatakan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. Selain mengatur
persyaratan praktik kedokteran di atas, Undang-Undang No 29/2004 juga mengatur tentang
organisasi Konsil Kedokteran, Standar Pendidikan Profesi Kedokteran serta Pendidikan dan
Pelatihannya, dan proses registrasi tenaga dokter.
Pada bagian berikutnya, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang penyelenggaraan praktik
kedokteran. Dalam bagian ini diatur tentang perijinan praktik kedokteran, yang antara lain
mengatur syarat memperoleh SIP (memiliki STR, tempat praktik dan rekomendasi organisasi
profesi), batas maksimal 3 tempat praktik, dan keharusan memasang papan praktik atau
mencantumkan namanya di daftar dokter bila di rumah sakit. Dalam aturan tentang pelaksanaan
praktik diatur agar dokter memberitahu apabila berhalangan atau memperoleh pengganti yang
juga memiliki SIP, keharusan memenuhi standar pelayanan, memenuhi aturan tentang persetujuan
tindakan medis, memenuhi ketentuan tentang pembuatan rekam medis, menjaga rahasia
kedokteran, serta mengendalikan mutu dan biaya.
Pada bagian ini Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban dokter dan pasien.
Salah satu hak dokter yang penting adalah memperoleh perlindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, sedangkan
hak pasien yang terpenting adalah hak memperoleh penjelasan tentang penyakit, tindakan medis,
manfaat, risiko, komplikasi dan prognosisnya dan serta hak untuk menyetujui atau menolak
tindakan medis.
Pada bagian berikutnya Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang disiplin profesi. Undang-
Undang mendirikan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia yang bertugas menerima
pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter. Sanksi yang
diberikan oleh MKDKI adalah berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR dan/atau
SIP, dan kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan tertentu.
Pada akhirnya Undang-Undang No 29/2004 mengancam pidana bagi mereka yang
berpraktik tanpa STR dan atau SIP, mereka yang bukan dokter tetapi bersikap atau
bertindak seolah-olah dokter, dokter yang berpraktik tanpa membuat rekam medis, tidak
memasang papan praktik atau tidak memenuhi kewajiban dokter. Pidana lebih berat
diancamkan kepada mereka yang mempekerjakan dokter yang tidak memiliki STR
dan/atau SIP
Dampak Hukum Indonesia Yang mengatur malpraktek
Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan berkembang pesat di
Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum pada tanggal 1 Nopember 1982
dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di Indonesia dengan tujuan mempelajari
kemungkinan dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical
Law masih belum muncul dalam bentuk modifikasi tersendiri. Setiap ada persoalan yang
menyangkut medical law penanganannya masih mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia
yang berupa Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Kalau ditinjau dari budaya hukum Indonesia, malpraktek merupakan sesuatu yang asing
karena batasan pengertian malpraktek yang diketahui dan dikenal oleh kalangan medis
(kedokteran) dan hukum berasal dari alam pemikiran barat. Untuk itu masih perlu ada pengkajian
secara khusus guna memperoleh suatu rumusan pengertian dan batasan istilah malpraktek medik
yang khas Indonesia (bila memang diperlukan sejauh itu) yakni sebagai hasil oleh piker bangsa
Indonesia dengan berlandaskan budaya bangsa yang kemudian dapat diterima sebagai budaya
hukum (legal culture) yang sesuai dengan system kesehatan nasional.
Hukum Perdata, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi. Secara yuridis kasus
malpraktek medis di Indonesia dapat diselesaikan dengan bersandar pada beberapa dasar
hukum yaitu: KUHP, KUHPerdata, UU No 23 Tahun 1992, UU No 8 Tahun 1999, UU
No 29 Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU Nomor 44 Tahun 2009, Peraturan
Menteri Kesehatan No 585/Menkes/Per/IX/1989, Peraturan Menteri Kesehatan No
512/Menkes/Per/IV/2007, Peraturan Menteri Kesehatan No 269/Menkes/Per/III/2008.
Undang-Undang yang bersangkutan, antara lain : UU No 23 Tahun 1992, UU No 29
Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU No 44 Tahun 2009. Serta UUPK memberikan
dasar bagi pasien untuk mengajukan upaya hukum.
Peraturan yang tidak masuk dalam hierarki sistem hukum Indonesia tetapi berkaitan
dengan malpraktek medis antara lain: Peraturan Menteri Kesehatan No
269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, Peraturan Menteri Kesehatan No
512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran,
Peraturan Menteri Kesehatan No: 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan
Tindakan Medik.
Dari pengaturan tersebut yang sudah tidak berlaku lagi yakni, UU No 23 Tahun 1992
Tentang Kesehatan yang sudah diganti dengan UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan
agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya
tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu
kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur
organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang
terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat
dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau
tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan
(pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat
3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang
Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau
tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya.
Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri
dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi dibidang
kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan
MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena
anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah
jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya
yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap
melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan pasien.
http://dokteranakonline.com/2013/12/01/3-penyebab-terjadinya-malpraktik-kedokteran/
Pengertian Malpraktek
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma
etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah
seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut
pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.
Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma
hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara
etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan
sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical
malpractice dengan sendirinya juga berbeda.
Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk
yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).

2.2. Malpraktek Dibidang Hukum
Untuk malpraktik hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang
dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan
tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional),
kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344
KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP),
melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa
persetujuan pasien informed consent.
Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka,
cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan
oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan
kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan
pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability.Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana
kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan)
selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.



3. Administrative malpractice
Dokter dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga perawatan tersebut
telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power,
pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya
tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin
Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka
tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hokum administrasi.

2.3. Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan Kesehatan
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara
yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan
apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat dipersalahkan.
c. Direct Cause (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal)
dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela
diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai
dasar menyalahkan dokter. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya
adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan
fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res
ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory
negligence.



Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang
sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya
maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit
hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar
pelayanan.
2. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat
oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan
bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian perawat sebagai karyawannya.
3. Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hokum (onrechtmatige daad). Perbuatan
melawan hukum tidak terbatas haya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap
diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan
atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain
atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).



2.4. Malpraktek Ditinjau Dari Segi Etika dan Hukum
Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai
kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa UU Praktik
Kedokteran itu akan juga mengatur masalah malpraktek medik. Namun, materinya ternyata hanya
mengatur masalah disiplin, bersifat intern. Walaupun setiap orang dapat mengajukan ke Majelis Disiplin
Kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang
merujuk ke KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) bila terjadi tindak pidana. Namun, kalau
sampai diajukan ke Pengadilan tetap terkatung-katung tidak ada kunjung penyelesaiannya, lantas apa
gunanya?
Di negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon, masalah dugaan malpraktik medik ini sudah ada
ketentuan di dalam common law dan menjadi yurisprudensi. Walaupun Indonesia berdasarkan hukum
tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
menjadi yurisprudensi.
Dan karena masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang baru harus
dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang
Malpraktik Medik, sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran.
Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal
tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan
hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan
sepanjang sesuai undang-undang.
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah
itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal
yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia
yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari
orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya
harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan
moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-
tukar.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu.
Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan
tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-
cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi
dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus
terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap
pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur,
adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.
Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi
semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan
profesi itu.
Malpraktek meliputi pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja (intentional
tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan
kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai
membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan
prinsip hukum de minimis noncurat lex, hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele
(hukumonliine.com, 17 April 2004).
Ketidaktercantuman istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum positif di
Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi
tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di
Indonesia masih dipertanyakan, semuanya merupakan Pe-Er besar bagi pemerintah. Barangkali inovasi
cerdas pemerintah guna menangani kasus malpraktek dan sengketa medik adalah lahirnya RUU Praktik
Kedokteran. Akan tetapi, benarkah demikian? Dalam beberapa pasal, RUU Praktik Kedokteran memang
memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan bagi pasien.
Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal ini memuat pasal-pasal yang implisit dengan teori-
teori pembelaan dokter yang umumnya digunakan dalam peradilan. RUU Praktek Kedokteran
memungkinkan sebuah sistem untuk meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan
terkualifikasi sehingga probabilitas terjadinya malpratek dapat dieliminasi seminimal mungkin. Dengan
dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi tenaga medis, harapan
perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi.

2.5. Aspek Hukum Malpraktek
Hukum itu mempunyai 3 pengertian, sebagai sarana mencapai keadilan, yang kedua sebagai pengaturan
dari penguasa yang mengatur perbuatan apa yang boleh dilakukan, dilarang, siapa yang melakukan dan
sanksi apa yang akan dijatuhkan (hukum objektif). Dan yang ketiga hukum itu juga merupakan hak.Oleh
karenanya penegakan hukum bukan hanya untuk medapatkan keadilan tapi juga hak bagi masyarakat
(korban).
Sehubungan dengan hal ini, Adami Chazawi juga menilai tidak semua malpraktik medik masuk dalam
ranah hukum pidana. Ada 3 syarat yang harus terpenuhi, yaitu pertama sikap bathin dokter (dalam hal
ini ada kesengajaan/dolus atau culpa), yang kedua syarat dalam perlakuan medis yang meliputi
perlakuan medis yang menyimpang dari standar tenaga medis, standar prosedur operasional, atau
mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai
kebutuhan medis pasien. Sedangkan syarat ketiga untuk dapat menempatkan malpraktek medik dengan
hukum pidana adalah syarat akibat, yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-
luka (pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi unsure tindak pidana.
Selama ini dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan malpraktik medik sangat
terbatas. Untuk malpraktek medik yang dilakukan dengan sikap bathin culpa hanya 2 pasal yang biasa
diterapkan yaitu Pasal 359 (jika mengakibatkan kematian korban) dan Pasal 360 (jika korban luka berat).
Pada tindak pidana aborsi criminalis (Pasal 347 dan 348 KUHP). Hampir tidak pernah jaksa menerapkan
pasal penganiyaan (pasal 351-355 KUHP) untuk malpraktik medik.
Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsure sifat melawan hukum baik yang dicantumkan dengan
tegas ataupun tidak. Secara umum sifat melawan hukum malpraktik medik terletak pada dilanggarnya
kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi.
Dari sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh suatu ikatan atau hubungan
inspanings verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha untuk melakukan pengobatan sebaik-baiknya
sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam dunia
kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan kepatutan.Perlakuan yang tidak benar akan
menjadikan suatu pelanggaran kewajinban (wan prestasi).
Ada perbedaan akibat kerugian oleh malpraktik perdata dengan malpraktik pidana. Kerugian dalam
malpraktik perdata lebih luas dari akibat malpraktik pidana. Akibat malpraktik perdata termasuk
perbuatan melawan hukum terdiri atas kerugian materil dan idiil, bentuk kerugian ini tidak dicantumkan
secara khusus dalam UU. Berbeda dengan akibat malpraktik pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai
dengan akibat yang menjadi unsure pasal tersebut. Malpraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak
pidana materil (yang melarang akibat yang timbul,dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak
pidana). Dalam hubungannya dengan malpraktik medik pidana, kematian,luka berat, rasa sakit atau luka
yang mendatangkan penyakit atau yang menghambat tugas dan matapencaharian merupakan unsure
tindak pidana.
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran maka ia hanya telah
melakukan malpraktik etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian maka
penggugat harus dapat membuktikan adanya suatu kewajibanbagi dokter terhadap pasien, dokter telah
melanggar standar pelayananan medik yang lazim dipergunakan, penggugat telah menderita kerugian
yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Terkadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat. Dalam hukum dikenal istilah
Res Ipsa Loquitur (the things speaks for itself), misalnya dalam hal terdapatnya kain kasa yang tertinggal
di rongga perut pasien sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini dokterlah yang
harus membuktikan tidak adanya kelalain pada dirinya.

Upaya pencegahan malpraktik dalam pelayanan kesehatan
1. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena adanya mal praktek
diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk
daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
2. Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi
tuntutan hukum, maka tenaga bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang
aktif membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang
diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan
bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau
mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan
dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-
doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung
jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan
mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang
sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi
sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan
perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau
pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung
jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta
yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan
menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara
menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus
membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga
kebidanan.
Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah
no 18 tahun 1981 yaitu:
1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak
dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan
dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara
lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan
tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat
tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap
diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta
oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut
dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi
kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan
pasien, kehadiran seorang bidan/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic,
terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis
(berkaitan dengan informed consent).


I. Pengertian Malpraktik Medik

Istilah Malpraktik digunakan pertama kali oleh Sir William Blackstone pada tahun 1768.
Ia menyebutkan dalam tulisannya bahwa:
that, malapraxis is great misdemeanour and offence at common law, whether it be for
curiosity or experiment, or by neglect; because it breaks the trust which the party had placed in
his physician, and tends to the patients destruction

Menurut berbagai sumber, malpraktek merupakan perbuatan yang tidak melakukan
profesinya sebagaimana yang diajarkan di dalam profesinya, misalnya seorang dokter, insinyur,
pengacara, akuntan, dokter gigi, dokter hewan, dan lain-lain. Oleh karena itu, istilah malpraktek
sebenarnya tidak hanya digunakan untuk profesi kedokteran saja tetapi dapat digunakan untuk
semua bidang profesi, dan jika digunakan untuk profesi kedokteran seharusnya dipakai istilah
malpraktek medik.

Malpraktek dapat terjadi akibat ketidaktahuan, kelalaian, kurangnya ketrampilan,
kurangnya ketaatan kepada yang diajarkan dalam profesinya atau melakukan kejahatan untuk
mendapatkan keuntungan di dalam melaksanakan kewajiban profesinya, adanya perbuatan salah
yang disengaja, maupun praktek gelap atau bertentangan dengan etika.

Dan pada umumnya, timbulnya suatu gugatan adanya dugaan malpraktik medik adalah
karena terjadinya suatu peristiwa yang bersifat negatif. Dengan kata lain, terjadi suatu peristiwa
di mana setelah dilakukannya suatu tindakan medik, ternyata keadaan pasien menjadi bertambah
buruk, menderita kesakitan yang lebih hebat, menjadi lumpuh, koma, bahkan meninggal.



II. Aspek Hukum Malpraktik Medik

Berdasarkan jenisnya, tindakan malpraktik medik terbagi ke dalam dua bentuk
pertanggungjawaban. Pertama, pertanggungjawaban profesi kedokteran, yaitu pelanggaran etika
kedokteran dan pelanggaran disiplin kedokteran. Kedua, pertanggungjawaban hukum
(malpraktik yuridis), yang terbagi juga menjadi tiga yaitu malpraktik pidana (criminal
malpractice), malpraktik perdata (sivil malpractice) dan malpraktik administratif (administrative
malpractice).

Masing-masing kriteria pertanggungjawaban hukum dan profesi kedokteran tersebut di
atas mempunyai jalur penyelesaian yang berbeda, dasar hukum yang berbeda dan ditangani oleh
lembaga peradilan yang berbeda pula.

III. Faktor-faktor yang mendukung terjadinya malpraktik medik








Kasus Malpraktik medik
Pemerintah mengupayakan program kesehatan yang prima bagi sekluruh masyarakat. Tapi
sejauh ini program masih tersendat artinya belum dilaksanakan secara baik oleh petugas
kesehatan di lapangan. Seperti yang terjadi di Pekon Waysindi Kecamatan Karyapenggawa,
Kabupaten Lampung Barat yang disinyalir telah melakukan malpraktik yang dilakukan oleh
Bidan desa LM terhadap MF yang berusia 3 bulan. Akibat kecerobohan dan tidak
ketelitiannya dalam menangani pasien berusia 3 bulan itu, meninggal dunia. Menurut keluarga
yang ditemui Sergap di kediamannya, mengungkapkan kronologis kejadian, yakni pada hari
Kamis (23/5) pihak Puskesmas mengadakan kegiatan pemeriksaan kesehatan Balita di Posyandu
Balai Pekon, yang ditangani bidan. Ketika itu bidan LM memasukkan vaksin ke tubuh pasien
M melalui suntiikan pada paha kiri. Pada sore harinya bekas suntikan tersebut mengalami
pembengkakan dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi M. sejak pembengkakan itu, M tidak
henti-hentinya menangis karena menahan rasa sakit yang ia alami. Tak hanya itu, bahkan bekas
suntikan itu mengeluarkan darah segar yang tiada henti-hentinya dan pembengkakan itu merata
ke seluruh kaki sebelah kiri. Upaya yang dilakukan pihak keluarga pada saat itu tepatnya hari
jumat, mereka telah memanggil bidan LM untuk mengecek atau melakukan penanggulangan atas
derita yang dialami pasien M. akan tetapi bidan LM tidak segera datang untuk memeriksa pasien
M, bahkan bidan itu sempat berkata bahwa ia akan datang. Hingga menjelang sorenya bidan itu
ditunggu-tunggu tidak kunjung tiba, bahkan si bidan malah mengutus PRT nya untuk
menanyakan apakah pasien masih mengalami perdarahan atau tidak lagi. Sore itu, pihak keluarga
pasien menambahkan pendarahan yang dialami M telah berhenti. Keesokan harinya, Sabtu,
bidan baru menjenguk pasien di kediamannya karena pasien mengalami perdarahan kembali dan
terus menangis. Pada akhirnya bidan itu memberika obat yang dibawa dari puskesmas. Diakui
pihak keluarga setelah diberi obat yang dibawa bidan itu, tangis anaknya agak berkurang, tapi
tidak mengurangi panasnya suhu paha sebelah kiri dan tidak mengurangi kejang-kejang pada
kaki kirinya. Minggu pukul 03 dini hari, m akhirnya meninggal dunia. Kuar dugaan anak
tersebut mengalami infeksi disebabkan karena kelalaian dan ketidakcermatan si bidan dalam
menangani pasien karena dimana ada sebab disitu ada akibat.
Analisa Kasus
Pada kasus diatas bisa kita ketahui bahwa kelalaian bidan dalam memberikan suntikan vaksin
yang tidak tepat berdampak negative pada klien. Vaksin merupakan bahann antigenic yang
diberikan sedini mungkin yang berguna untuk menghasilkan kekebalan aktif dalam tubuh
terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh
organism alami penyebab penyakit tersebut. Beberapa jenis vaksin diberikan pada anak-anak
dengan tujuan untuk mencegah anak menderita suatu penyakit tertentu. Indonesia sendiri
merupakan Negara yang sudah mewajibkan vaksinasi ini kepada masyarakat. Vaksinasi
dilakukan dengan gerakan Imunisasi Balita yang biasanya dilakukan di posyandu. Vaksin dan
imunisasi merupakan dua hal yang sangat penting sehingga wajib dilaksanakan.
Semua pemberian vaksin bertujuan untuk meningkatkan kekebalan tubuh balita. Jika terjadi
perubahan yang negative setelah menerima suntikan vaksin itu bisa disebabkan karena banyak
factor. Perlu diketahui, bahwa reaksi vaksin idak hanya disebabkan oleh komponen aktif vaksin
itu sendiri, tapi juga dapat disebabkan oleh sebagian komponen vaksin, bahan pengawet,
stabilisator atau komponen lain. Sebagian besar reaksi vaksin umumnya bersifat ringa, sembuh
sendiri dan tidak mempunyai konsekuensi jangka panjang. Reaksi serius biasanya jarang terjadi
dan frekuensinya sangat rendah.
Berikut vaksin yang dibutuhkan balita :
1. Hepatitis B
vaksin ini wajib diberikan ke balita bahkan sebelum ia meninggalkan RS. Vaksin ini
diberikan 12 jam setelah bayi lahir dan diberikan sebanyak 3 kali yaitu :
a. pertama adalah 12 jam setelah lahir
b. kedua adalah 1-2 bulan dari vaksin yang pertama
c. ketiga 6-18 bulan setelah vaksin yang kedua
vaksin ini melindungi bayi dari virus hepatitis B yang sulit disembuhkan yang mana
balita bisa terkena dari ibu yang mengidap hepatitis selama proses ppersalinan. Virus ini
menyebar melalui kontak darah atau cairan tubuh lain. Efek samping setelah divaksin ini
umunya demam ringan.
2. DPT atau DTP
Vaksin ini wajib diberikan yang merupakan campuran dari tiga vaksin yaitu untuk
mencegah penyakit difteri ( yang menyerang tenggorokan ), pertusis ( batuk rejan ), dan
tetanus ( infeksi akibat luka yang menimbulkan kejang-kejang ). Vaksin ini diberikan
sebanyak 5 kali dan pertama kali saat bayi berumur lebih dari 6 minggu. Lalu saat bayi
berumur 4 dan 6 bulan. Ulangan DTP diberikan umur 18 bulan dan 5 tahun. Untuk
penguatannya bisa dilakukan pada anak umur 12 tahun dan kemudian dilakukan lagi
setiap 10 tahun. Vaksin DPT bisa diberikan bersamaan dengan hepatitis dan polio.

3. Polio
Vaksin ini di Indonesia wajib diberikan karena ancaman polio yang masih ada. Vaksin ini
untuk menangkal kelumpuhan akibat virus polio. Vaksin polio pertama diberikan setelah
lahir. Kemudian vaksin ini diberikan tiga kali, saat bayi berumur 2,4, dan 6 bulan.
Pemberian vaksin ini bisa diulang pada usia 18 bulan dan 5 tahun.

4. BCG (Bacillus Calmette Guerin )
Vaksin ini wajib diberikan yang gunanya mencegah penyakit TB ( Tuberkulosis ). Vaksin
BCG bisa 80% efektif mencegah TBC selama jangka waktu 15 tahun. Imunisasi BCG
hanya dilakukan sekali yaksi ketika bayu berusia 0-11 bulan. Tapi kebanyakan diberikan
saat bayi berusia dibawah 2 bulan.

5. Vaksin Campak, Gondong dan Rubella ( MMR )
Vaksin MMR melindungi anak dari tiga virus : campak ( yang menyebabkan demam
tinggi dan ruam tubuh-lebar ), gondong ( yang menyebabka rasa sakit wajah,
pembengkakan kelenjar liur, dan kadang-kadang pembengkakan skrotum pada laki-laki ),
dan rubella atau campak jerman ( yang dapat menyebabkan kecacatan lahir jika infeksi
terjadi selama kehamilan ). Vaksin ini pertama diberikan pada anak saat usia 12 hingga
15 bulan dan pada usia antara 4 dan 6 tahun.

6. Cacar air
Cacr air adalah ruam yang sangat menular yang disebabkan oleh virus varicella. Infeksi
cacar air dapat sangat berbahaya dan pada orang dewasa yang tidak memiliki kekebalan
atau tidak di vaksin di masa kecil dapat menyebabkan herpes zoster. Pemberian kepada
anak-anak dilakukan pada usia 12-15 bulan dan kemudian dilakukan lagi pada usia antara
4 dan 6 tahun. Efek samping pemberian vaksin ini dapat menyebabkan rasa sakit dan
bekas ditempat suntikan, demam atau ruam ringan.

Keenam vaksi tersebut oleh dokter di Indoesia biasanya wajib diberikan.
Pada kasus yang diutarakan diatas kemungkinan yang terjadi adalah ballita mengalami
peradangan pada daerah yang disuntikkan vaksin pada saat setelah menjalani vaksinasi
yang diadakan oleh posyandu Balai Pekon. Peradangan tersebut kemungkinan cukup
parah karena langsung terjadi setelah beberapa jam, tidak diketahui penyebab peradangan
tersebut, tapi lemungkinan yang bisa ditebak peradangan tersebut karena bidan salah
member dosis pada vaksin tersebut, atau bisa juga karena alat suntikan kurang steril.
Peradang an cukup parang karena sampai mengeluarkan darah segar seharusnya segera
ditangani, tetapi dalam kasus tidak demikian. Bidan yang harusnya bertanggung jawab
dalam kasus ini terlihat menyepelekan kasus yang terjadi. Orang tua yang tidak tahu apa-
apa hany b isa menunggu kepastian idan yang bertanggung jawab tel;ah melakukan
vaksinasi. Sebut aja bidan L, bidan L menjengung balita sebut aja M dalam waktu yg bisa
dikatakan sangat terlambat, peradangan sudah terjadi selama dua hari dan tidak aa
penanganan sama sekali. Bisa dibayangkan luka peradanganh yang sampai mengeluarkan
darah tidak ditangani saman sekali pasti pada luka tersebut sudah terjadi infeksi yang
menyebabkan peradangan semakin parah, peradangan yang semakin parah menyebabkan
kekebalan tubuh M semakin menurun sampai akhirnya tepat hari minggu M meninggal
dunia.
Kasus ini bisa sebagai bukti bahwa bidam L tidak professional dalam menjalankan
tugsnya sebagai bidan, walaupun beliau melaksanankan sesuai prosedur yaitu telah ia
kuasakan masalah tersebut terhadap pimpinannya. Tetapi sebagai seorang bidan kenapa
bidan L tidak bersimpati mengetahui keadaan M sebagai klien yang telah ia beri
vaksinasi mengalami peradangan. Seorang yang professional pastinya menjalankan
amanah tugasnya sampai tuntas agar mendapatkan proses dan hasil yang optimalkan,
kenapa malah bidan K menyuruh pembantunya untuk menjenguk, apakah professional
sikap bidan L ini. Setidaknya bidan L setelah diberitahu saat sore harinya langsung
menjenguk keadaan M dan mengkaji apa yang sebenarnya terjadi kalau bisa langsung
dirujuk ke tenaga kesehatan yang lebih tinggi, supaya peradangan tidak semakin parah.
Perilaku professional bidan :
1. Bertindak sesuai keahliannya
2. Mempunyai moral yang tinggi
3. Bersifat jujur
4. Tidak melakukan coba-coba
5. Tidak memberikan janji yang berlebihan
6. Mengembangkan kemitraan
7. Terampil berkomunikasi
8. Mengenal batas kemampuan
9. Mengadvokasi pilihan ibu
Bidan L tidak menjalankan sesuai perilaku professional bidan. Bidan L memang
bertindak sesuai keahliannya yaitu menyuntikkan vaksin kepada balita, tetapi beliau
kurang hati-hati memberikan vaksinasi sehingga menyebabkan balita M mengalami
peradangan. Bidan L memiliki moral yang kurang baik karena dalam kasus ini seperti
menggampangkan keluhan klien, bidan L tidak bersifat jujur dia berusaha
menyembunyikan kebenaran yang menyebabkan balita M mengalami peradangan. Dalam
perilaku professional bidan, bidan tidak boleh memberikan janji yang berlebihan disini
dapat dilihat bidan L sudah dihubungi keluarga dan ia berkata ia akan datang, dalam
kenyataannya bidan L tidak datang. Pastinya orang tua M sangat kecewa dengan sikap
bidan L bukan hanya sampai disitu masalah ini setelah M benar-benar meninggal dan
orang tua meminta pertanggungjawaban, semua pihak yang terlibat saling mengamankan
diri sendiri. Tidak ada yang berani untuk mempertanggungjawabkan secara langsung.


I.3 TUJUAN PENULISAN

Anda mungkin juga menyukai