Disusun oleh:
Ka Riri
Ardiyan
Lana Novira Ys. (030.10.156)
Rosalina Hutapea
(030.10.240)
Kepaniteraan Klinik
RSPAU Dr. Esnawan Antariksa
Periode 7 Juli 2014 16 Agustus 2014
PENDAHULUAN
Seni kedokteran adalah penerapan gabungan ilmu kedokteran, intuisi dan keputusan
medis untuk menghasilkan diagnosis yang tepat. Dokter perlu memberikan penjelasan tentang
penyakit pasien, rencana perawatan, dan proses pengobatannya. Dalam menjalankan tugas
profesinya, seorang dokter akan selalu terkait dengan bioetika maupun etika kedokteran, yang
kemudian akan diatur dalam kode etik kedokteran. Namun kini, tidak sedikit dokter yang
melanggar bioetika atau etikanya sebagai seorang dokter dalam menghadapi pasien, sehingga
menyebabkan hal tersebut menjadi sorotan masyarakat dan menimbulkan persepsi dikalangan
masyarakat bahwa semua dokter dapat melakukanny.
Dewasa ini, kita sering sekali mendengar kasus malpraktIk dalam kedokteran. Ada
berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan
semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan
pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi
pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya.
KRONOLOGIS
Suara Siti Chomsatun tiba-tiba hilang. Ia terdengar gagu dengan suara sayup-sayup
terdengar. Saat melapor ke LBH Jakarta, perempuan 55 tahun itu meminta rumah sakit yang
menangani tenggorokannya untuk bertanggung jawab.
"Awalnya saya operasi gondok. Kemudian sesak nafas. Dibuat lubang di tenggorokan
(karena hidung tidak bisa). Setelahnya, saya tidak bisa bicara," kata Siti dengan suara yang
kurang jelas saat mengadu di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jl Diponegoro 74,
Jakarta Pusat.
Menurut pengacara korban, Tommy Tobing, kejadian itu bermula Februari lalu. Saat itu,
korban mendatangi sebuah rumah sakit di Kramat, Jakarta Pusat, dengan keluhan sesak nafas
pasca operasi gondok. Di rumah sakit itu, ia ditangani dokter berinisial T.
"Tanpa memberitahukan penyakit pasien (sesak nafas) si dokter langsung merujuk ke
RSCM," ucap Tomy.
Lantaran tidak diberitahu penyakitnya, korban enggan ke RSCM. Siti Chomsatun
memilih untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter spesialis THT yang pernah
merawatnya di rumah sakit tersebut, dokter R.
"Tetapi tidak bisa menemui. Alasannya sudah pulang. Besoknya, minta bertemu tetapi
tetap saja tidak bisa," imbuh pengacara publik ini.
Lantaran tidak memperoleh perawatan maksimal, sesak nafas Siti Chomsatun makin
buruk. Ia masuk ke derajat I dari IV--tingkat derajat sesak nafas terparah. Tubuhnya semakin
lemas karena tidak bisa tidur atau makan.
Pada tahapan ini, Dr F membuat lubang pengganti hidung di tenggorokan. "Lubang itu
dipergunakan untuk bernafas," imbuh Tommy.
Namun demikian, tindakan medis rumah sakit tidak membuat sesak nafas korban mereda.
Bahkan makin parah hingga mendekati derajat IV. Melihat perkembangan yang tidak membaik,
akhirnya Siti Chomsatun dipindah ke RSCM.
Di rumah sakit pemerintah tersebut, ia langsung dioperasi karena telah masuk derajat IV,
pingsan, dan kulit tangan membiru. Kondisi kritis tersebut lantaran perawat yang ikut membawa
pasien ke RSCM tidak diberi riwayat medis pasien sehingga dokter jaga RSCM kesulitan
mendiagnosa.
"Terdapat dugaan kuat tindakan malpraktik. Dokter T tidak menjelaskan penyakit yang
diderita malah langsung merujuk ke rumah sakit lain. Suster yang mengantar ke RSCM tidak
dibekali informasi medis memadai sehingga korban masuk derajat terburuk derajat IV," imbuh
Tommy.
Pun demikian, baik korban maupun pengacara belum berencana membawa rumah sakit
itu ke meja hijau. Korban akan mengajukan kasus itu ke Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDI) untuk meminta pertanggungjawaban terlebih dahulu.
TINJAUAN PUSTAKA
I.
Definisi Malpraktik
Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan juga
berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan, perbankan (misalnya
kasus BLBI), dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis menurut World Medical
Association (1992) adalah: medical malpractice involves the physicians failure to
conform to the standard of care for treatment of the patients condition, or lack of skill, or
negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the
patient.
II.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan seorang tenaga kesehatan melakukan tindakan malpraktik
medik, yaitu apabila tidak melakukan tindakan medisi sesuai dengan :
Standar Profesi Kedokteran Dalam profesi kedokteran, ada tiga hal yang harus ada dalam
standar profesinya, yaitu kewenangan, kemampuan rata-rata, dan ketelitian umum.
memberi masyarakat profesi hak untuk melakukan self-regulating (otonomi profesi) dengan
kewajiban memberikan jaminan bahwa profesional yang berpraktek hanyalah profesional yang
kompeten dan yang melaksanakan praktek profesinya sesuai dengan standar. Sikap
profesionalisme adalah sikap yang bertanggungjawab, dalam arti sikap dan perilaku yang
akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi maupun masyarakat luas (termasuk
klien). Beberapa ciri profesionalisme tersebut merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti
kompetensi dan kewenangan yang selalu sesuai dengan tempat dan waktu, sikap yang etis
sesuai dengan etika profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya,
dan khusus untuk profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela berkorban). Uraian dari
ciri-ciri tersebutlah yang kiranya harus dapat dihayati dan diamalkan agar profesionalisme
tersebut dapat terwujud.
Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk
pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana
dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, penahanan pasien,
pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual,
misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji/diterima,
berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dll. Kesengajaan tersebut tidak harus
berupa sengaja mengakibatkan hasil buruk bagi pasien, namun yang penting lebih ke
arah deliberate violation (berkaitan dengan motivasi) ketimbang hanya berupa error (berkaitan
dengan informasi).
Kelalaian
dapat
terjadi
dalam
bentuk,
yaitu malfeasance,
misfeasance dan
nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak
tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang
memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper). Misfeasance berarti melakukan
pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper
performance),
yaitu
misalnya
melakukan
tindakan
medis
dengan
menyalahi
prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban
baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error(mistakes, slips and
lapses) yang telah diuraikan sebelumnya, namun pada kelalaian harus memenuhi ke-empat unsur
kelalaian dalam hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu
mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent erroryang tidak secara langsung
menimbulkan dampak buruk. Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis,
sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya
kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang
seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan
oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama.
Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah
merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang
seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian
atau cedera bagi orang lain.
III.
Pada bagian ini Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban dokter dan
pasien. Salah satu hak dokter yang penting adalah memperoleh perlindungan hukum
sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional, sedangkan hak pasien yang terpenting adalah hak memperoleh penjelasan
tentang penyakit, tindakan medis, manfaat, risiko, komplikasi dan prognosisnya dan serta
hak untuk menyetujui atau menolak tindakan medis.
rekomendasi pencabutan STR dan/atau SIP, dan kewajiban mengikuti pendidikan dan
pelatihan tertentu.
IV.
Hukum Perdata, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi. Secara yuridis kasus
malpraktek medis di Indonesia dapat diselesaikan dengan bersandar pada beberapa dasar
hukum yaitu: KUHP, KUHPerdata, UU No 23 Tahun 1992, UU No 8 Tahun 1999, UU
No 29 Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU Nomor 44 Tahun 2009, Peraturan
Menteri Kesehatan No 585/Menkes/Per/IX/1989, Peraturan Menteri Kesehatan No
512/Menkes/Per/IV/2007, Peraturan Menteri Kesehatan No 269/Menkes/Per/III/2008.
Peraturan yang tidak masuk dalam hierarki sistem hukum Indonesia tetapi berkaitan
dengan
malpraktek
medis
antara
lain:
Peraturan
Menteri
Kesehatan
No
Dari pengaturan tersebut yang sudah tidak berlaku lagi yakni, UU No 23 Tahun 1992
Tentang Kesehatan yang sudah diganti dengan UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan
agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya
tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu
kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang
Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau
tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya.
Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri
dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi dibidang
kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan
MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena
anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah
jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya
yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap
melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan pasien.
V.
Pasal 4
a. hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau
jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 5
PEMBAHASAN
Pada kasus di atas, tanpa memberitahukan penyakit pasien (sesak nafas) si dokter
langsung merujuk ke RSCM dan tidak memberitahukan alasan dokter merujuk pasien ke
RSCM.
Dokter ahli yang diharapkan pasien untuk berkonsultasi tentang penyakitnya tidak mau
memberikan menemui pasien dengan alasan sibuk.
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional
serta kebutuhan medis pasien
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan
yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang
lain yang bertugas dan mampu melakukannya
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran
gigi.
Berdasarkan Kasus
Sesuai dengan dengan kasus di atas tindakan dokter pertama untuk melakukan rujuk ke
rumah sakit yang lebih lengkap lantaran ketidakmampuan dokter dalam memangani
pasien, namun disayangkan dokter tidak menjelaskan tentang penyakit pasien dan alasan
pasien dirujuk ke rumah sakit lain.
Pada kasus ini dokter kedua sudah benar dengann melakukan tindakan melubangi
tenggorokan pasien untuk mengatasi kesulitan pasien dalam bernapas yang dianggap
sudah dalam berbahaya.
Pasal 53
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban :
a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
Berdasarkan Kasus
Suster yang mengantar ke RSCM tidak dibekali informasi medis memadai sehingga
korban masuk derajat terburuk yang seharusnya memberikan informasi tentang kesehatan
pasien kepada pihak medis di rumah sakit rujukan sesuai pasal 53 UU praktik kedokteran.
Pasal 52
Pasien dalam menrima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak :
A. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagai mana dimaksud
dalam pasal 45 ayat 3
B. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
C. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
D. menolak tindakan medis
E. mendapatkan isi rekam medis
Berdasarkan Kasus
Pada kasus ini pasien belum medapatkan hak sepenuhnya sebagai pasien karena
penolakan dokter ahli untuk dimintakan pendapatnya.
(1) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum penjara selamalamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun.
(2) Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang
itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara,
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan
selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya tiga ratus rupiah
Berdasarkan Kasus
Tracheostomy yang dilakukan pada pasien dapat dianggap sebagai luka berat karena keadaan
pasien menjadi bertambah buruk dan mengganggu aktivitas keseharian pasien. Tapi pada kasus
ini perlu diteliti tentang SOP yang digunakan dokter dalam melakukan tracheostomy.
KESIMPULAN
Dengan semakin banyaknya kasus malpraktik, dapat dikatakan bahwa kualitas dunia
kesehatan masih belum cukup baik, bahkan perkembangan hukum yang berkaitan dengan dunia
kesehatanpun masih belum cukup untuk memenuhi harapan. Namun, aturan-aturan yang ada dan
fasilitas yang disediakan untuk dunia kesehatan tidak dapat disalahkan hanya karena semakin
banyaknya kasus malpraktik. Kita sebagai orang yang menggunakan aturan dan fasilitaas itulah
yang harus lebih meningkatkan SDM.
Sesuai dengan kode etik profesi dan sumpah jabatan sebagai seorang tenaga kesehatan
harus dapat mempertanggungjawabkan kejadian yang telah terjadi. Apa lagi bila masalah
kesehatan itu memang memerlukan rujukan. Setiap etugas kesehatan harus memperhatikan hal
sederhana dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Tetapi juga, seorang pasien harus mau jujur
secara terbuka saat menyampaikan masalah kesehatannya kepada petugas kesehatan. Kita harus
bias membedakan malpraktik dan resiko medis serta kelalaian petugas kesehatan dan harus lebih
mengerti hukum kesehatan agar tidak hanya asal mengajukan tuntutan kepada pengadilan
mengenai masalah malpraktik.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.depdagri.go.id/produk-hukum/2009/10/28/undang-undang-no-44-tahun-2009
2. http://dokter-medis.blogspot.com/2009/07/uu-praktik-kedokteran-no-29-tahun-2004.html
3. http://www.promkes.depkes.go.id/download/standar%20PKRS.PDF