Anda di halaman 1dari 9

TUGAS KONSEP DASAR KEPERAWATAN

ISSUE ETIK KEPERAWATAN DI LUAR NEGERI

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 6

Nazjlia Turang(19061002)

Gladtio Georgekin Tangkulung(19061020)

Nadya Israwati Pontoh(19061031)

Jessica Victoria Danes Timbuleng(19061034)

FAKULTAS KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS KATHOLIK DE LA SALLE MANADO

TAHUN 2019
- Kode Etik Keperawatan
Kode etik keperawatan merupakan bagian dari etika kesehatan yang menerapkan nilai etika
terhadap bidang pemeliharaan atau pelayanan kesehatan masyarakat. Kode etik keperawatan di
Indonesia telah disusun oleh Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
melalui Musyawarah Nasional PPNI di Jakarta pada tanggal 29 November 1989.

Kode etik keperawatan Indonesia tersebut terdiri dari 4 bab dan 16 pasal. Bab 1, terdiri dari
empat pasal, menjelaskan tentang tanggung jawab perawat terhadap individu, keluarga, dan
masyarakat. Bab 2 terdiri dari lima pasal, menjelaskan tentang tanggung jawab perawat terhadap
tugasnya. Bab 3, terdiri dari dua pasal, menjelaskan tentang tanggung jawab perawat terhadap
sesama perawat dan profesi kesehatan lain. Bab 4, terdiri dari empat pasal, menjelaskan tentang
tanggung jawab perawat terhadap profesi keperawatan. Bab 5, terdiri dari dua pasal, menjelaskan
tentang tanggung jawab perawat terhadap pemerintah, bangsa, dan tanah air.

Kode etik keperawatan menurut American Nurses Association (ANA) adalah sebagai berikut.

1. Perawat memberikan pelayanan dengan penuh hormat bagi martabat kemanusiaan dan
keunikan klien yang tidak dibatasi oleh pertimbangan-pertimbangan status sosial atau
ekonomif atribut personal, atau corak masalah kesehatannya.

2. Perawat melindungi hak klien akan privasi dengan memegang teguh informasi yang
bersifat rahasia.

3. Perawat melindungi klien dan publik bila kesehatan dan keselamatannya terancam oleh
praktik seseorang yang tidak berkompeten, tidak etis, atau ilegal.

4. Perawat memikul tanggung jawab atas pertimbangan dan tindakan perawatan yang
dijalankan masing-masing individu.

5. Perawat memelihara kompetensi keperawatan.

6. Perawat melaksanakan pertimbangan yang beralasan dan menggunakan kompetensi dan


kualifikasi individu sebagai kriteria dalam mengusahakan konsultasi, menerima tanggung
jawab, dan melimpahkan kegiatan keperawatan kepada orang lain.

7. Perawat turut serta beraktivitas dalam membantu pengembangan pengetahuan profesi.

8. Perawat turut serta dalam upaya-upaya profesi untuk melaksanakan dan meningkatkan
standar keperawatan.
9. Perawat turut serta dalam upaya-upaya profesi untuk membentuk dan membina kondisi
kerja yang mendukung pelayanan keperawatan yang berkualitas.

10. Perawat turut serta dalam upaya-upaya profesi untuk melindungi publik terhadap
informasi dan gambaran yang salah serta mempertahankan integritas perawat.

11. Perawat bekerjasama dengan anggota profesi kesehatan atau warga masyarakat Iainnya
dalam meningkatkan upaya-upaya masyarakat dan nasional untuk memenuhi kebutuhan
kesehatan publik.

12. Tanggung jawab Keperawatan

Tanggung jawab menunjukkan kewajiban. Ini mengarah kepada kewajiban yang harus dilakukan
untuk menyelesaikan pekerjaan secara professional. Manajer dan para staf harus memahami
dengan jelas tentang fungsi tugas yang menjadi tanggung jawab masing-masing perawat serta
hasil yang ingin dicapai dan bagaimana mengukur kualitas kinerja stafnya. Perawat yang
professional akan bertanggung jawab atas semua bentuk tindakan klinis keperawatan atau
kebidanan yang dilakukan dalam lingkup tugasnya.

Tanggung jawab diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan kinerja yang ditampilkan guna
memperoleh hasil pelayanan keperawatan yang berkualitas tinggi. Yang perlu diperhatikan dari
pelaksanaan tanggung jawab adalah memahami secara jelas tentang uraian tugas dan
spesifikasinya serta dapat dicapai berdasarkan standar yang berlaku atau yang disepakati. Hal ini
berarti perawat mempunyai tanggung jawab yang dilandasi oleh komitmen, dimana mereka harus
bekerja sesuai fungsi tugas yang dibebankan kepadanya tanggung jawab utama perawat adalah
meningkatkan kesehatan, mencegah timbulnya penyakit, memelihara kesehatan, dan mengurangi
penderitaan. Untuk melaksanakan tanggung jawab utama tersebut, perawat harus meyakini
bahwa:

1. Kebutuhan terhadap pelayanan keperawatan di berbagai ternpat

2. Pelaksanaan praktik keperawatan dititik beratkan pada penghargaan terhadap kehidupan


yang bermartabat dan menjunjung tinggi hak asasi manusia

3. Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan atau keperawatan kepada individu, keluarga,


kelompok, dan masyarakat, perawat mengikutsertakan kelompok dan instansi terkait.

4. Nilai-nilai Keperawatan
- Malapraktik
Malpraktik (malapraktik) atau malpraktik terdiri ari suku kata mal dan praktik atau praktek.
Mal berasal dari kata, Yunani yang berarti buruk. Praktik (Kamus Umum Bahasa
Indonesia ,Purwadarminta, 1976) atau praktik (Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementerian Pendidikan Malaysia, 1991) berarti menjalankan perbuatan yang tersebut dalam
teori atau menjalankan pekerjaan (profesi). Jadi, malpraktik berarti menjalankan pekerjaan
yang buruk kualitasnya, tidak lege artis, tidak tepat. Malpraktik tidak hanya dalam bidang
kedokteran, tetapi juga dalam profesi lain seperti perbankan, pengacara, akuntan publik,
wartawan.

Dengan demikian, malpraktik medic dapat diartikan sebagai kelalaian atau kegagalan seorang
dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim
dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang cedera menurut ukuran dilingkungan yang
sama.

Apapun definisi malpraktik medic pada intinya mengandung salah satu unsur berikut.

1. Dokter kurang menguasai ilmu pengetahuan kedokteran dan keterampilan yang sudah
berlaku umum dikalangan profesi kedokteran.
2. Dokter memberikan pelayanan medic di bawah standar (tidak lege artis).
3. Dokter melakukan kelalaian berat atau kurang hati – hati, yang dapat mencakup:
o Tidak melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya dilakukan, atau
o Melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan.
4. Melakukan tindakan medic yang bertentangan dengan hokum.

Dalam praktiknya banyak sekali hal yang dapat diajukan sebagai malpraktik, seperti salah
diagnosis atau terlambat diagnostis karena kurang lengkapnya pemeriksaan, pemberian terapi
yang sudah ketinggalan zaman, kesalahan teknis waktu melakukan pembedahan, salah dosis
obat, salah metode tes atau pengobatan, perawatan yang tidak tepat, kelalaian dalam pemantauan
pasien, kegagalan komunikasi, dan kegagalan peralatan.

Malpraktik medic adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan
dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobat pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud dengan kelalaian di sini ialah sikap
kurang hati – hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati – hati
melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakuan apa yang seseorang dengan sikap hati –
hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan
tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medic.
Walaupun UU No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan sudah dicabut oleh UU No. 23
tahun 1992 tentang Kesehtan, menurut perumusan malpraktik/kelalaian medic yang tercantum
pada Paal 11b masih dapat dipergunaan, yaitu:

Dengan tidak mengurangi ketentuan di dalam KUHP dan peraturan perundang – undangan lain,
terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan tindakan administrative dalam hal sebagai
berikut.

1. Melalaikan kewajiban.
2. Melakukan suatu hal yang eharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga
kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya, maupun mengingat sumbah sebagai
tenaga kesehatan.

Dari 2 butir tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada butir (a) melalaikan kewajiban, yang
artinya tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sedangkan pada butir (b) berarti
melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan.

Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hokum atau kejahatan jika kelalaian itu tidak sampai
membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini
berdasarkan prinsip hokum “De minimis noncurat lex,” yang berarti hokum tidak mencampuri
hal – hal yang dianggap sepele. Akan tetapi, jika kelalian itu mengakibatkan kerugian materi,
mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, diklasifikasikan sebagai kelalaian sebagai
kelalaian berat (cupla lata), serius dan criminal.

Tolak ukur cupla lata adlah:

1. Bertentangan dengan hokum.

2. Akibatnya dapat dibayangkan.

3. Akibatnya dapat dihindarkan.

4. Perbuatannya dapat dipersalahkan.


Jadi malpraktik medic merupakan kelalaian yang berat dan pelayanan kedokteran dibawah
standar.

Malpraktik medic murni (criminal malpractive) sebenarnya tidak banyak dijumpai. Misalnya
melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya atau adanya dokter yang senagaja
melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa indikasi medic, (appendektomi, histerektomi dan
sebagainya), yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, jadi semata – mata untuk mengeruk
keuntungan pribadi. Memang dalam masyarakat yang menjadi materialistis, hedonistis, dan
konsumtif, kalangan dokter turut terimbas, malpraktik seperti di atas dapat meluas.
Angel of Death': Kala Perawat Niels Hoegel
Membunuh 90 Pasiennya
Niels Hoegel telah menjalani profesi sebagai seorang perawat di rumah sakit wilayah
Oldenburgh, Lower Saxony, Jerman sejak tahun 1999 hingga 2002. Sejak 2003, ia pindah ke
Delmenhorst, Bremen bagian Utara untuk menjalani pekerjaan yang sama.

Sejak awal bekerja Hoegel dihinggapi rasa bosan karena aktivitas kesehariannya dianggap
berjalan terlalu datar—berbeda dengan dokter, misalnya, yang kerap menghadapi situasi
hidup dan mati bersama pasien dalam kondisi kritis. Hoegel ingin membuktikan bahwa
pekerjaannya juga penting, bahwa ia juga bisa menjadi pahlawan.

Sebagaimana dilaporkan Guardian, Hoegel melakukan mal-praktik dengan menyuntikkan


lima jenis obat-obatan ke tubuh pasien, meliputi ajmaline, sotalol, lidocaine, amiodarone, dan
kalsium klorida. Pasien otomatis mengalami overdosis akut karena terserang aritmia jantung
dan penurunan tekanan darah, sehingga penyakitnya semakin parah.

Hoegel kemudian berpose selaku juru selamat. Ia mempraktikkan upaya penanganan darurat
berupa resusitasi jantung dan paru-paru (CPR). Praktik ini justru membunuh pasien. Ia
berubah status menjadi pembunuh berdarah dingin yang sengaja menciptakan momen heroik
dengan taruhan nyawa orang lain.

Polisi percaya Hoegel mempraktikkan pembunuhan pertama pada bulan Februari 2000, atau
saat ia masih tinggal di Oldenburgh. Dua tahun berselang, Hoegel pindah ke Delmenhorst. Ia
melanjutkan praktik kejamnya seminggu usai diangkat sebagai karyawan baru. Angka
kematian di unit gawat darurat pun meningkat 5-10 persen selama Hoegel bekerja di tempat
tersebut.

Pada 22 Juni 2005 seorang petugas di Delmenhorst tak sengaja menyaksikan Hoegel yang
sedang menyuntikkan ajmaline ke seorang pasien (dan meninggal sehari setelahnya). Tetapi
manajemen rumah sakit memutuskan untuk tidak menghubungi kepolisian atau memberi
peringatan kepada Hoegel.

Hoegel baru ditangkap dua hari kemudian—satu hal yang disesalkan pihak rumah sakit dan
kepolisian Jerman, sebab dalam dua hari itu pula Hoegel sempat membunuh dua pasien
terakhirnya, yakni pada pukul 19.00, tertanggal 24 Juni 2005.

Pada tahun 2008, usai melalui berbagai macam sidang yang melelahkan sekaligus
menyedihkan bagi keluarga korban, Hoegel dinyatakan bersalah atas percobaan
pembunuhan. Ia didakwa tujuh setengah tahun kurungan penjara.
Usai pembacaan dakwaan, seorang jurnalis perempuan yang setia mengikuti kasus Hoegel
mengontak kepolisian. Ia menyatakan bahwa ibu Hoegel yang telah meninggal kemungkinan
juga menjadi korban kekejaman Hoegel.

Ditambah dengan ketidakjelasan penyelesaian kasus kematian di dua rumah sakit tempat
Hoegel pernah bekerja, Hoegel kembali diseret ke meja hijau pada bulan Januari 2015. Di
persidangan, Hoegel membuat pengakuan yang mengejutkan: total korban suntik malpraktik
sebenarnya mencapai 90 orang; 30 di antaranya berakhir dengan kematian karena gagal
melaksanakan CPR.

Saat itu Hoegel menyatakan bertanggung jawab penuh atas 30 kematian pasiennya serta
menegaskan tak ada lagi korban lainnya. Hoegel pun kemudian dinyatakan bersalah atas
pembunuhan dua orang pasien dan beberapa percobaan pembunuhan selama menjadi
perawat. Ia menjalani hukuman penjara seumur hidup usai hakim mengetok palu.

Namun pihak kepolisian belum puas dengan jejak berdarah pria kepala empat yang dijuluki
“pembunuh berantai terburuk Jerman” itu. Investigasi lanjutan dilaksanakan dengan
menganalisis 130 mayat di Jerman, Polandia, dan Turki yang meninggal selama menjadi
pasien di tempat Hoegel bekerja dan selama Hoegel bekerja di situ.

Kepolisian Jerman akhirnya menyimpulkan bahwa Hoegel juga bertanggung jawab atas 88
kasus pembunuhan, sehingga total korban kematian akibat praktik berbahaya Hoegel adalah
minimal 90 orang. Rinciannya, 35 di antaranya dibunuh saat Hoegel bekerja di Oldenburgh,
sisanya ketika sudah aktif di Delmenhorst.

Malaikat Pencabut Nyawa


Dalam dunia kriminologi, Hoegel yang bertindak bak malaikat pencabut nyawa digolongkan
sebagai 'angel of death' ('malaikat maut') atau 'angel of mercy' ('malaikat belas kasih'). Pelaku
kriminal 'angel of death', yang kerap melakoni praktik pembunuhan berantai ini, berstatus
sebagai dokter, perawat, terapis, dan profesi lainnya, yang menarget pasien mereka sebagai
calon korban.

Pelaku 'angel of death' adalah mereka yang memang memiliki kuasa atas hidup dan mati
seseorang. Untuk alasan paling tak manusiawi, mereka melakukan pembunuhan hanya
karena mereka merasa mampu. Dalam kata lain, bertindak bak Tuhan atas orang lain. Ada
pula yang melakukannya demi uang, kenikmatan sadistik, atau alasan yang seakan-akan
bermoral: mengakhiri penderitaan si pasien.

Ada tiga motivasi yang menggerakkan aksi para 'angel of death', demikian menurut BD
Andersen, dkk dalam riset bertajuk "The application of pancuronium bromide (Pavulon)
forensic analyses to tissue samples from an "Angel of Death" investigation".
Pertama, 'pembunuh belas kasihan'. Si pembunuh percaya bahwa korban menderita tanpa
mampu ditangani medis—meski kepercayaan ini kemungkinan bersifat delusional.

Kedua, 'pembunuh sadistik'. Si pembunuh menggunakan posisi dan kuasa mereka untuk
mengerahkan kekuatan serta kontrol atas korban yang tak berdaya. Tujuannya demi
kenikmatan sadistik.

Ketiga, 'pahlawan ganas'. Pelaku membahayakan nyawa korban dengan cara-cara tertentu
lalu “menyelamatkan” mereka. “Penyelamatan” tersebut banyak macamnya, sesuai prosedur
medis yang diperlukan, namun sifatnya pura-pura. Hoegel bisa digolongkan ke jenis ini.
Pelaku, misalnya, mencoba resusistasi pura-pura meski tahu korbannya sudah meninggal atau
tak bisa tertolong lagi, akan tetapi ia bertindak seakan masih bisa diselamatkan.

Motivasi aneh lainnya tergambar dalam kasus Jane Toppan. Toppan adalah perawat asal
Boston, Amerika Serikat, yang pada 1895-1901 membunuh lebih dari 30 orang. Kasus
Toppan terbilang unik; ia mendapat kenikmatan seksual saat melihat pasiennya sekarat.
Setelah memberikan campuran obat ke pasiennya, Toppan duduk manis di tepi ranjang
menyaksikan sang pasien sekarat

Selain Hoegel, jejak 'angel of death' yang berstatus sebagai perawat merentang di banyak
negara. Ada Beverly Allitt, perawat RS Grantham and Kesteven, Inggris, yang membunuh
empat anak, melakukan percobaan pembunuhan terhadap tiga anak, dan melukai fisik enam
lainnya dengan amat parah. Salah satu metode pembunuhannya adalah menyuntik cairan
insulin ke tubuh korban. Allitt dihukum seumur hidup pada 1993.

Ada juga Richard Angelo, soerang perawat di Good Samaritan Hospital, AS. Ia membunuh
delapan orang dan meracuni 26 lainnya, yang untungnya bisa diselamatkan. Untuk
membunuh korbannya, Angelo yang sama-sama menderita sindrom ingin jadi pahlawan
seperti Hoegel, memakai suntik obat kelumpuhan. Pada persidangan tahun 1990 ia dihukum
50 tahun penjara.

Tanggapan Kelompok:

Menurut kelompok kami malapraktik yang terjadi dalam kasus tersebut merupakan
pelanggaran terhadap kode etik keperawatan. Karena saat seorang perawat telah
mengikrarkan sumpah sebagai perawat berarti perawat tersebut memilik tanggung jawab dan
berwewenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan atau berkolaborasi
dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan kewenangannya. Pekerja dunia medis yang
mengalami gangguan jiwa bisa membunuh pasiennya sendiri atas dasar kenikmatan sadistik,
seksual, hingga hasrat berkuasa atas nyawa orang lain. Hendaknya sebagai perawat ilmu
yang telah didapat kita pergunakan semestinya dan sebagaimana seharusnya.

Anda mungkin juga menyukai