Anda di halaman 1dari 17

PERTEMUAN 2

PENGERTIAN MEDIKAL MALPRAKTIK DAN RUANG LINGKUP MALPRAKTIK

A. Tujuan Pembelajaran

Setelah mempelajari pertemuan ke 2 mahasiswa mampu mendiskripsikan


pengertian medikal malpraktik dan ruang lingkup malpraktik dalam hukum
Kesehatan.

B. Uraian Materi

1. Pengertian Medikal Malpraktik


Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi di bidang ilmu kedokteran,
beberapa kasus telah mencuat kepermukaan terhadap adanya praktik-praktik
kedokteran yang tidak sesuai dengan standar profesinya yang berdampak pada
timbulnya korban dari para pasien. Salah satu kasusnya adalah Valentine v. Society
se Bienfaisance de Los Anglos California tahun 19561, dimana dari kasus tersebut
kemudian melahirkan rumusan pengertian malpraktik sebagai berikut :
“Malpractice is the neglect of physician or nurse to apply that degree of skill and
learning on treating and nursing a patient which is customary applied in treating
and caring for the sick or wounded similiary in the same community”
(Malpraktik adalah kelalaian dari seoarang dokter, perawat, bidan, tenaga
Kesehatan lainnya/Nakes untuk menerapkan tingkat ketrampilan dan
pengetahuannya di dalam memberikan tindakan dan pelayanan Kesehatan
terhadap seorang pasien yang lazimnya diterapkan dalam tindakan dan pelayanan
Kesehatan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka dilingkungan
dan wilayah yang sama).
Stedmen’s Medical Dictionary2, merumuskan malpraktik sebagai berikut :
“Malpractice is mistreatment of disease or injury through ignorance, care lessness
of criminal intent”
(Malpraktik adalah salah satu cara mengobati suatu penyakit atau luka, karena
disebabkan sikap tindakan yang acuh, sembarangan, atau berdasarkan motivasi
Kriminal).
1
. J. Guwandi I, Hukum Medik (Medical Law), Jakarta, Penerbit : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2005, Hlm. 22.
2
Ibid.
Coughlin’s Directionary of Law, memberikan rumusan terhadap malpraktik sebagai
berikut :
“Professional misconduct on the part of a professional person, such as a physician,
engineer, lawyer, accountant, dentist, and veterinarian. Malpractice may be the
result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of
professional duties, e.g. intentional wrongdoing or unethical practice”
(Malpraktik adalah sikap tindakan professional yang salah dari seorang yang
berprofesi, seperti dokter, insinyur, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dan dokter
hewan. malpraktik bisa diakibatkan karena sikap tindak yang bersifat tak peduli,
kelalaian, kekurangan ketrampilan atau kehati-hatian di dalam pelaksanaan
kewajiban profesinya, seperti tindakan salah yang sengaja atau praktik yang
bersifat tidak etis).3
Rumusan diatas menggambarkan bahwa dokter, perawat, bidan, tenaga Kesehatan
lainnya/Nakes, dalam Menjalankan tugas profesinya untuk tindakan dan pelayanan
keseahatan terhadap masyarakat, tidak hanya kelalaian yang mungkin terjadi,
tetapi juga tindakan salah yang bersifat kesengajaan dimungkinkan dapat terjadi.
Black’s Law Directionary, memberikan rumusan hampir sama dengan rumusan
tersebut bahwa :
“ Any professional misconduct, unreasonable lack of skill. This term is usually
applied to msuch counduct by doctors, layer, and accountants. Failure of one
reading professional services to exercise that degree of skill and learning
community applied under all the circumstances in the community by the average
prudent reputable member of those enttied to rely upon them. It is any professional
miscounduct, anreasonable lack of skill or fidelity in professional or judiciary duties,
evil practice, or illegal or immoral conduct.”
(Malpraktik adalah setiap sikap tindak yang salah, kekurangan ketrampilan dalam
ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan untuk
memberikan terhadap sikap tindak dari para dokter, pengacara, dan akuntan.
Kegagalan untuk memberikan pelayanan yang professional, dan melakukan pada
ukuran tingkat ketrampilan dan kepandaian yang wajar di dalam masyarakatnya
oleh teman sejawat rata-rata dari profesi itu sehingga mengakibatkan luka,
3
J. Guwandi I, op.cit, hlm. 23.
kehilangan atau kerugian pada penerima pelayanan tersebut yang cenderung
menaruh kepercayaan terhadap mereka itu. Termasuk di dalamnya setiap sikap
tindak professional yang salah, kekurangan ketrampilan yang tidak wajar atau
kurang hati-hati atau kewajiban hukum, praktik buruk, atau illegal atau sikap
immoral).4
Gonzales 5, Memberi rumusan terhadap malpraktik sebagai berikut :
“Malpractice is the term applied to the wrongful or improper practice of medicine,
which result in injury to the patient”.
Hermien Hadiati Koeswadji, dengan mengutip pendapat dari John D blum
menyatakan bahwa :
“Medikal Malpraktik adalah suatu bentuk professional negligence yang oleh pasien
dapat dimintakan ganti rugi apabila terjadi luka atau cacat yang diakibatkan
langsung oleh dokter dalam melaksanakan tindakan dan pelayanan Kesehatan
professional yang dapat diukur”.6
dalam makalahnya Asrul Azwar7, pada KONAS IV Perhimpunan Kesehatan Indonesia
di Surabaya tahun 1996, dengan menghimpun berbagai pendapat dari para pakar,
antara lain Berkhouwer & Vostman (1950), Hoekema (1981), dan Peters (1983),
beliau mengartikan bahwa malpraktik adalah :
a. Setiap kesalahan professional yang diperbuat oleh seorang dokter, oleh karena
melakukan pekerjaan profesionalnya tidak memeriksa, tidak menilai, tidak
berbuat, atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat, atau
dilakukan dokter pada umumnya di dalam situasi dan kondisi yang sama.
b. Setiap kelalaian professional yang diperbuat oleh seorang dokter, oleh karena
melakukan pekerjaan kedokteran di bawah standar yang sebenarnya, secara
rata-rata dan masuk akal, serta dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi
atau tempat yang sama.
c. Setiap kesalahan oleh seorang dokter yang di dalamnya termasuk kesalahan
karena perbuatan-perbuatan yang tidak masuk akal serta kesalahan karena

4
Ibid.
5
Gonzales dalam Hendrojono Soewono, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktik Dokter dalam Transaksi
Teraupetik, Surabaya: srikandi, 2007, hlm.12.
6
Ibid. hlm. 13.
7
Ibid. hlm 12-13.
ketrampilan ataupun kesetiaan yang kurang dalam menyelenggarakan
kewajiban dan ataupun kepercayaan professional yang dimilikinya.
Kehidupan manusia di dunia ini, sebuah Kesehatan tidak selamanya berarti
segalanya. namun tanpa Kesehatan segalanya menjadi tidak berarti. Prinsip
untuk sehat memang menjadi harapan dan idaman bagi setiap orang karena
Kesehatan menjadi fondasi segalanya. Mencapai derajat Kesehatan yang baik
merupakan suatu tujuan atau keniscayaan yang sangat sulit dicapai oleh setiap
orang. Bagi orang yang berkeinginan sehat misalnya, harus selalu berusaha
dengan berbagai cara untuk melakukan dan meningkatkan kesehatannya.
Usaha kearah sehat tidak menjamin keberhasilan, dan yang paling menyedihkan
kalua usaha itu tidak berhasil atau justru menambah sakit.
Penyebab sakitnya seseorang itu bersumber dari berbagai faktor. Apabila
penyebab sakitnya seseorang diakibatkan karena adanya unsur kesalahan atau
kelalaian dari tindakan atau pelayanan Kesehatan, maka dapat dikatakan tidak
akan menimbulkan masalah. Sebaliknya, jika jatuh sakitnya seseorang
diakibatkan oleh adanya kesalahan atau kelalaian dari tindakan atau pelayanan
Kesehatan, persoalannya akan menjadi rumit dan Panjang. Tujuan orang untuk
berobat adalah mencari penyembuhan atau peningkatan nilai atau derajat
kesehatannya, tetapi justru sebaliknya. Hal yang demikian inilah yang
dimungkinkan bagi seorang dokter atau tenaga Kesehatan melakukan kesalahan
tindakan atau pelayanan Kesehatan dalam bentuk bertindak untuk melayani
pasien, kesalahan tindakan dan pelayanan Kesehatan inilah yang biasa disebut
dengan malpraktik.
Menurut Mudakir Iskandarsyah8, malpraktik secara medik adalah kelalaian
dokter untuk mempergunakan tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuan
berdasarkan ukuran yang lazim orang lain dalam mengobati pasien untuk
ukuran standar di lingkungan yang sama. Kelalaian diartikan pula dengan
melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medik.

8
Mudakir Iskandarsyah, Tuntutan Pidana dan Perdata Malpraktik, Jakarta : Permata Aksara, 2011. hlm.1.
Penggunaan teknologi yang canggih ikut memengaruhi tindakan dokter dalam
melakukan pelayanan medis yang berakibat timbulnya malpraktik. Oleh karena
itu, Hadiati Koeswadji9, mengemukakan pendapatnya sbegai berikut :
“Secara harfiah malpraktik berarti bad practice atau praktik buruk yang
berkaitan dengan praktik penerapan ilmu dan teknologi Kesehatan dalam
Menjalankan profesi Kesehatan yang mengandung ciri-ciri khusus karena
malpraktik berkaitan dengan how to practice the medical science and
technology, yang sangat erat hubungannya dengan sarana Kesehatan atau
tempat melakukan praktik dan orang yang melaksanakan praktik”.
Beberapa pakar telah memberi makna terhadap malpraktik yang dilakukan oleh
dokter di dalam menjalankan tugas profesinya di masyarakat. Sehubungan
dengan hal tersebut, Veronika10, menyatakan bahwa :
“Malpraktik berasal dari kata malpractice yang pada hakikatnya adalah
kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya
kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter. Dengan demikian, medical
malpractice adalah kesalahan dalam menjalankan profesi medik yang tidak
sesuai dengan standar profesi medik dalam menjalankan profesinya”.
Denny Wiradharma11, memberi rumusan malpraktik dengan melihat dari sudut
pandang perikatan antara dokter dengan pasien, yaitu dokter tersebut
melakukan praktik buruk. Ngesti Lestari 12, memberikan rumusan tentang arti
dari malpraktik sebagai pelaksanaan atau tindakan yang salah. Dengan
demikian, arti malpraktik medik adalah sebagai tindakan dari tenaga Kesehatan
yang salah dalam rangka pelaksanaan profesi di bidang kedokteran
(professional miscounduct), baik di pandang dari sudut norma etika maupun
norma hukum.
Ada juga pandangan yang melihat malpraktik dokter sebagai kurang
ketrampilan dan kurang hati-hati dalam melakukan tugas profesinya,

9
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Study tentang Hubungan Hukum dalam Mana Dokter
sebagai Salah Satu Pihak), Bandung, Citra Aditya Bakti, 1998. hlm 12.
10
D. Veronika Komalasari, Hukum dan Etik dalam Praktik Dokter, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1998, hlm.87.
11
Denny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Jakarta, Bina Rupa Aksara, 1998, hlm.87.
12
Ngesti lestari, Masalah Etika dalam Praktik Dokter (Jejaring Biotia dan Humaniora) dalam Kumpulan
Makalah Seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran RSUD dr Syaiful Anwar, Malang, 2001.hlm.2.
sebagaimana yang dikemukakan oleh H.M. Soejadmiko 13, dengan mengutip
rumusan yang terdapat dalam Black’s Law Dictionary berikut ini :
“Any professional misconduct, unreasonable lack of skill, or fidelity in
professional or judiary duties, evil practice, or illegal or immoral conduct”.
(Perbuatan jahat dari seorang ahli, kekurangan dalam ketrampilan yang
dibawah standar, atau tidak cermatnya seorang ahli dalam Menjalankan
kewajibannya secara hukum, praktik yang jelek atau illegal, atau perbuatan
yang tidak bermoral).
Anny Isfandyarie14, merumuskan sebuah kesimpulan terhadap malpraktik
sebagai keselahan dokter karena tidak mempergunakan ilmu pengetahuan dan
tingkat ketrampilannya sesuai dengan standar profesinya, yang akhirnya
mengakibatkan pasien terluka atau cacat badan, bahkan meninggal dunia.
Menurut The Oxford Illustrated Dictionary, yang menyatakan sebagai berikut :
“Malpractice a wrongdoing (law) improper treatment of patient by medical
attendant, illegal action for one’s own benefit while in position of trust”.
(Malpraktik adalah sikap tidak salah (secara hukum) pemberian pelayanan
Kesehatan terhadap pasien yang benar oleh profesi medis, tindakan yang illegal
untukmemperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan). 15
Kesimpulan yang ditarik oleh Syahrul machmud 16, dari pandangan tersebut
adalah :
a. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang
tenaga Kesehatan.
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban
(negligence).
c. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Dalam membuktikan ada tidaknya perbuatan midikal malpraktik dari suatu
peristiwa tindakan atau pelayanan Kesehatan, J.D. Peter, meguraikan
beberapa faktor yang dapat memengaruhi, antara lain sebagai berikut :
13
H.M. Soedjatmiko, “Masalah Hukum Medikal dalam Malpraktik Yuridis” dalam Kumpulan Makalah seminar
tentang Etika dan Hukum Kedokteran RSUD dr Syaiful Anwar, malang, 2001, hlm.3.
14
Anny Isfandie dalam H.M. Soejadmiko, Ibid. hlm. 22.
15
Syahrul Machmud, op.cit. hlm.18.
16
Syahrul Machmud, op.cit., hlm. 19.
a. Duty (Kewajiban)
Duty adalah kewajiban dari profesi medis, termasuk dokter, untuk
mempergunakan segala ilmu dan ketrampilanya untuk penyembuhan
atau setidaknya meringankan beban penderitaan pasiennya (to cure to
care) berdasarkan standar profesi medis. Apabila merujuk kepada sistem
hukum perdata, hubungan dokter dan pasien termasuk golongan
perikatan usaha (inspanningsverbintenis). Ini berarti, dokter tidak dapat
dipersalahkan apabila hasil pengobatannya ternyata tidak berhasil
sebagaimana yang diharapkan. Aslkan tentunya telah terpenuhi syarat-
syarat atau standar profesi yang berlaku.
b. Breach of Duty (Penyimpangan dari Kewajiban)
Apabila seorang dokter menyimpang dari apa yang seharusnya
dilakukan atau tidak dilakukan menurut standar profesi medis, maka
dokter tersebut dapat dipersalahkan. Akan tetapi, dapat dipersalahkan
disini adalah dalam arti luas, artinya tidak setiap penyimpangan dapat
dikenai tuntutan hukum, karena dalam dunia Kesehatan atau
kedokteran bukanlah hitung-hitungan yang bersifat matematika jika
seorang dokter berbeda pendapat di dalam menangani suatu penyakit,
bukan berarti dokter tersebut telah dipastikan menyimpang dari
kebiasaan. Untuk menentukan apakah terdapat penyimpangan tidak
harus didasarkan atas fakta-fakta yang meliputi kasusnya dengan
bantuan pendapat ahli dan saksi ahli. Sering kali pasien atau keluarganya
menganggap bahwa akibat negative yang timbul adalah sebagai akibat
dari kesalahan atau kelalaian dokternya. Hal ini tidaklah selalu demikian.
Harus dibuktikan dulu adanya hubungan kausal antara mati/luka dengan
kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh dokter.
c. Direct Causation (Akibat Langsung)
Dalam kaitannya dengan hal ini, biasanya diadakan pembedahan antara
cause in fact dengan proximate cause. Hal yang pertama disebutkan
mempermasalahkan apakah perbuatan dokter yang mengakibatkan
kerugian (mati/luka) pada pasien secara factual diakibatkan oleh
tindakan dokter dalam melakukan pelayanan Kesehatan. Adapun yang
kedua mempermasalahkan batas-batas ruang lingkup tanggung jawab
dokter yang dihubungkan dengan akibat-akibat perbuatannya. Lazimnya
untuk membuktikan cause in fact dilakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Pasien (penyidik dan penuntut umum) harus membuktikan bahwa
kelalaian yang diderita oleh pasien tidak akan terjadi apabila dokter
tidak lalai.
2. Prilaku dokter merupakan factor subtansi bagi terjadinya akibat
tersebut.
d. Damage (Kerugian)
Sesuai dengan asas hukum de minimis non curat lex, yaitu bahwa
hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele, maka kerugian
yang terdapat di dalam malpraktik haruslah kerugian yang bersifat fatal
atau sangat merugikan pasien. misalnya, kematian atau luka berat,
apabila seorang dokter telah melakukan suatu perbuatan seperti
kewajiban, tidak mematuhi standar yang berlaku, tetapi hanya
mengakibatkan kerugian atau dampak yang tidak berarti, hal tersebut
tidak dapat dikatakan sebagai malpraktik yang harus
dipertanggungjawabankan secara hukum.
Perkembangan teknologi di bidang kedokteran dewasa ini rupanya agak
sulit untuk menentukan kriteria terhadap perbuatan malpraktik yang
dilakukan oleh dokter, karena berbagai tindakan dokter dalam
melakukan pelayanan Kesehatan kepada pasien tidak dilakukan lagi
secara konvensional, melainkan mempergunakan peralatan medis yang
canggih dan mutakhir, meskipun harus pula diakui bahwa pendendalian
utamanya adalah manusia.
Edi Setiadi17, dalam makalah yang disampaikan pada seminar
“Penegakan Hukum terhadap Malpraktik” menyatakan bahwa sulit
untuk memahami apa yang dimaksud dengan malpraktik, bisa saja
terjadi kesimpangsiaran pengertian antara malpraktik, pelanggaran kode
etik atau pelanggaran hukum. Secara etimologis malpraktik berasal dari
17
Edi Setiadi, Pertanggungjawaban Pidana dalam Kasus Malpraktik Dokter, Makalah disampaikan pada
Seminar Penegakan Hukum terhadap Malpraktik, kerja sama antara IKAHI dan IDI Cabang Sekayu, Sekayu,
2008.
kata “mal” yang artinya salah. Dengan demikian, malpraktik adalah salah
melakukan prosedur yang berujung pada kerugian pasien atau bahkan
sampai fatal. Salah satu contohnya adalah tindakan abortus provokatus.
Lebih lanjut dikatakan bahwa malpraktik harus memenuhi unsur
kecerobohan. Kecerobohan, kekuranghati-hatian (professional
misconduct) atau kekurangmampuan yang tidak pantas (unreasonable
lack of skill) yang hanya dilakukan oleh pengemban profesi dokter,
advokat, notaris, dan lain-lain.
Suatu perbuatan malpraktik hanya bisa dilakukan oleh seorang
professional yang mempunyai karakteristik tertentu. Berdasarkan The
Element of Professional, yang terpenting adalah :
a. skill based of theoretical knowledge.
b. required educational and training.
c. testing of compentence.
d. organization (into a professional association).
e. Adherence to a code of conduct; and
f. altruistic service.
Elemen-elemen di atas menunjukan penggunaan ileum pengetahuan dan
keterampilan secara professional, dalam hal ini dokter untuk melakukan
suatu tindakan medis terhadap pasien agar tindakan tersebut tidak
menimbulkan akibat kerugian yang fatal bagi seseorang.
M.Yusuf Hanafiah dan Amri Amir18, menyatakan bahwa malpraktik medis
adalah kelalian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat ketrampilan
dan keilmuan yang lazim di pergunakan dalam mengobati pasien atau orang
sakit atau terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama.
Dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, terutama hukum
pidana belum ada secara limitative yang memberi Batasan tentang
malpraktik hanya yang ada apabila perbuatan dan/atau tindakan dokter
tersebut dalam melakukan pelayanan Kesehatan terdapat kesalahan baik
bersifat kesengajaan maupun yang bersifat kelalaian.

18
M. Yusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta, EGC, 1999, hlm.87.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengatur apabila
suatu perbuatan dilakukan dengan sengaja biasa dan sengaja yang
direncanakan, serta kelalaian yang menimbulkan luka berat, dan kelalaian
yang menyebabkan kematian.
Ketentuan Pasal 338 KUHP menegaskan bahwa :
“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun”.
Ketentuan Pasal 340 KUHP mengatakan bahwa :
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu,
merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan berencana,
dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.
Ketentuan Pasal 359 KUHP menegaskan bahwa :
“Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain
meninggal, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
pidana kurungan paling lama satu tahun”.
Ketentuan Pasal 360 KUHP menegaskan bahwa :
(1) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang
lain mendapat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
(2) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang
lain luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara
atau tidak dapat Menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara
diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau
pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling
tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran, begitu
pula Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan tidak ada secara
limitative dan rinci Batasan tentang tindakan malpraktik kedokteran.
Adapun satu-satunya Undang-Undang yang mengatur tentang malpraktik
adalah Undang-Undang Nomor 6 tahun 1963 yang telah dinyatakan tidak
berlaku lagi berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992.
Meskipun tidak secara limitative memberikan rumusan terhadap
malpraktik namun di dalam ketentuan Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-
Undang Nomor 23 tahun 1992 disebutkan mengenai kesalahan dan
kelalaian dokter, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992, ketentuan
yang mengatur tentang tindakan dokter yang berindikasi kesalahan dan
kelalaian yang dapat berakibat pada timbulnya penderitaan terhadap
pasien dapat dilakukan dengan pengajuan ganti rugi, sebagaimana diatur
pada Pasal 58.
Ketentuan pasal 58 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 :
(1). Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
Kesehatan, dan/atau penyelenggara Kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan Kesehatan
yang diterimanya.
(2). Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
bagi tenaga Kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa
atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
(3). Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ketentuan diatas tidak hanya mengindikasikan bahwa pengajuan ganti rugi
kerugian hanya dilakukan apabila terdapat kelalaian dokter dalam
melakukan tindakan medis terhadap pasien, melainkan juga terhadap
kesalahan yang dilakukan dengan sengaja oleh seorang dokter dalam
tindakannya untuk melayani pasien yang membutuhkan diagnosis medis.
Keadaan yang demikian tersebut tidak lagi dipandang sebagai kontrak
teraupetik medik, melainkan harus dimaknai sebagai suatu tindakan
personality person dalam hubungannya dengan pelayanan Kesehatan
antara pasien dengan dokter yang dilakukan secara professional
berdasarkan standar profesi. Bangunan kontruksi hukum yang demikian
berpola pada hubungan pelayanan yang bertumpu pada tindakan
pelayanan yang mempunyai konsekuensi dan risiko akibat tindakan
pelayanan yang dilakukan oleg dokter terhadap pasien. Risiko tersebut
disebabkan oleh adanya tindakan, baik itu kesalahan pada kesengakaan
maupun pada kelalaian.
2. Ruang Lingkup Medikal Malpraktik Kesehatan
Pada uraian terdahulu telah dijelaskan bahwa terdapat perbedaan antara
batasan pengertian hukum Kesehatan dengan hukum medis, meskipun tidak
terlalu signifikan. Dalam uraian Batasan pengertian hukum Kesehatan terlihat
dengan jelas bahwa malpraktik adalah bagian integral dari hukum Kesehatan.
Hal ini dipertegas dengan berbagai pandangan dan pendapat dari beberapa
pakar hukum Kesehatan yang menyatakan bahwa medikal malpraktik
merupakan bagian dari hukum Kesehatan, karena hukum Kesehatan lebih luas
cakupannya daripa hukum medik.
Dengan demikian, dapat dijabarkan cakupan dan ruang lingkup hukum
kesehatan meliputi sebagai berikut :
a. hukum medis (medical law);
b. hukum keperawatan (nurse law);
c. hukum rumah sakit (hospital law);
d. hukum pencemaran lingkungan (environmental law);
e. hukum limbah industry dan rumah tangga;
f. hukum polusi;
g. hukum peralatan yang menggunakan sinar x-ray (cobalt, nuclear);
h. hukum keselamatan kerja.
Berdasarkan ruang lingkup tersebut, maka hukum Kesehatan berada dan
tersebar di berbagai ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
di mana masing-masing ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut
saling melengkapi satu sama lain. Dengan kata lain, terdapat sebuah integritas,
interkoneksi, dan interdependensi di antara peraturan-peraturan tersebut. Hal
ini sesuai dengan pandangan dari Peter Ippel19 yang menyatakan bahwa hukum

19
Peter Ippel, dalam J. Guwandi I, opcit, hlm.14.
Kesehatan merupakan suatu conglomerate dari peraturan-peraturan dari
sumber yang berlainan.
Ruang lingkup hukum Kesehatan tidak hanya tertuju pada hal-hal yang sifatnya
teknis, melainkan juga melingkupi peraturan-peraturan perundangan dan
ketentuan yuridis lainnya, hak dan kewajiban kontraktual, serta hubungan
hubungan lain, termasuk prosedur hukum, yurisprudensi, dan lain-lain.
Di sisi lain, dokter dalam melakukan tugas profesinya secara teknis operasional
terkait dengan hukum medik atau medical law, memiliki ruang lingkup yang
sangat terbatas, tidak seperti yang digambarkan oleh J.Guwandi I20, yakni terdiri
atas tiga bagian : medical law, hospital law, dan nurse law.
Berdasarkan ruang lingkup tersebut ada beberapa tanggung jawab rumah sakit
yang kemudian muncul ke permukaan, yang pada prinsipnya dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
a. Tanggung Jawab Rumah Sakit
Sebagai suatu badan hukum hukum perseroan yang diwakili oleh kepala
rumah sakit secara keseluruhan (corporate liability atau enterprise liability),
kedudukan rumah sakit dalam kontek ini adalah sebagai badan hukum
(korporasi), di mana segala tindakan yang dilakukan oleh tenaga Kesehatan
di rumah sakit yang berakibat adanya kerugian dari pasien, baik itu fisik
maupun nonfisik merupakan tanggung jawab penuh rumah sakit (strict
liability). Tanggung jawab dalam hal ini dibebankan kepada pimpinan,
sepanjang tindakan dari tenaga medis yang bersangkutan berkaitan dengan
tugas yang diperintahkan oleh rumah sakit, sedangkan apabila tindakan
tersebut dilakukan oleh tenaga medis yang tidak mempunyai kaitan dengan
tugas yang dijalankan, maka rumah sakit tidak bertanggung jawab in casu
pimpinan rumah sakit tidak dapat dimintai pertanggung jawaban secara
hukum.
b. Tanggung Jawab Tenaga Medis
Dibebankan pada setiap tenaga medis, termasuk tenggung jawab dokter.
Kedudukan rumah sakit dalam kaitannya dengan hal ini hanya sebatas
penyedia sarana dan fasilitas medis yang dipergunakan dalam pelayanan
20
Ibid., hlm. 32.
Kesehatan. Mengenai adanya kesalahan berupa kesengajaan dan kelalaian
yang dilakukan oleh tenaga medis termasuk dokter dalam melakukan
pelayanan Kesehatan bukan merupakan tanggung jawab rumah sakit, sebab
rumah sakit tidak terlibat langsung melakukan tindakan medis, yang
bertindak langsung dalam melakukan tindakan medis adalah tenaga medis,
termasuk dokter. Tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis, dalam
hal ini dokter bersifat hubungan personality person di antara masing-
masing pihak (dokter-pasien), di mana risiko dan akibat dari tindakan yang
telah disetuji kedua belah pihak sepenuhnya merupakan tanggung jawab
masing-masing.
c. Tanggung Jawab Bidang Keperawatan
Suatu tindakan akan menjadi tanggung jawab seorang perawat yang
Menjalankan tugas profesinya apabila terjadi kesalahan dan kelalaian yang
mengakibatkan adanya kerugian yang diderita oleh pasien, baik secara fisik
maupun nonfisik sepenuhnya dilakukan oleh perawat. Hal demikian bukan
menjadi tanggung jawab rumah sakit atau dokter, kecuali dalam kasusnya
dokter yang memberikan perintah. Jika demikian, maka ada dua
kemungkinan yang dapat dikenakan terhadap dokter yang bersangkutan.
Pertama, dalam hal perawat melakukan tindakan medis terhadap pasien
atas perintah dokter dan tindakan perawat tersebut berakibat adanyaa
kerugian baik fisik maupun nonfisik, dokter yang bersangkutan hanya dapat
dikenakansebagai tindakan turut serta, sebagaimana diatur di dalam
ketentuan Pasal 55 KUHP. Kedua seorang dokter dapat dikualifisir sebagai
pelaku intelektual manakala tindakan perawat hanya menuruti perintah dari
dokter yang bersangkutan, tanpa ada upaya lain yang dilakukan.
tanggung jawab diatas pada prinsipnya merupakan upaya untuk
meningkatkan derajat Kesehatan bagi setiap orang yang memerlukan
pelayanan dari tindakan medis. hal ini tercermin di dalam ketentuan Pasal 1
angka 11 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, di mana dijelaskan
bahwa :
“Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi, dan berkesinambungan untuk
memelihara dan meningkatkan derajat Kesehatan masayarakat dalam
bentuk pencegahan penyakit dan pemulihan Kesehatan oleh pemerintah
dan/atau masyarakat”.
Ketentuan di atas merupakan implementasi dari tujuan pembangunan
Kesehatan yang ditegaskan di dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 36 tahun 2009, yaitu :
“Pembangunan Kesehatan diselenggarakan dengan berdasarkan
prikemanusiaan, kesimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan
terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif, dan
norma agama”.
Begitu pula dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 yang
menyebutkan :
“Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk menigkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud
derajat Kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagi investasi bagi
pembangunan sumber daya manusia yang produktif secar sosial dan
ekonomi”.
Pada ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009
dijelaskan bahwa “Pelayanaan Kesehatan paripurna adalah pelayanan
Kesehatan yang meliputi promotive, preventif, kuratif, dan rehabilitasi”.
C. Referensi Buku

Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan perlindungan Hukum Bagi Dokter yang
Diduga Melakukan Medika Malpraktik, Bandung : Mandar Maju, 2008, hlm.7.

Van der Mijn dalam Syahrul Machmud, loc.cit.

H.J.J. leenen dalam J. Guwandi I, Hukum Medik (Medical Law), Jakarta : Fakultas
Universitas Indonesia, 2006, hlm.12.

C.S.T. Kansil dalam Syahrul Machmud, op., cit, hlm.10.

Bahder Johan Nasution, dalam Syahrul Machmud, ibid., hlm.11.

Hermien Hadiati Koeswadji, Bebrapa Permasalahan Hukum dan Medik, Bandung :


Citra Aditya Bakti, 1992, hlm.17.
Gonzales dalam Hendrojono Soewono, Batas pertanggungjawaban Hukum
Malpraktek Dokter dalam Transaksi Teraupetik, Surabaya : Srikandi, 2007,
hlm.12.

Mudakir Iskandarsyah, Tuntutan Pidana dan Perdata malpraktik, Jakarta : Permata


Aksara, 2011, hlm.1.

Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Study tentang Hubungan Hukum


dalam mana dokter sebagai Salah satu Pihak), Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm.12.

Veronika Komalasari, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 1998, hlm.87.

Denny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Jakarta : Bina Rupa


Aksara, 1996, hlm.87.

Ngesti Lestari, Masalah Malpraktek Etika dalam Praktik Dokter (Jejaring Biotia dan
Humanoria) Dalam Kumpulan Makalah Seminar tentang Etik dan Hukum
Kedokteran RSUD Syaiful Anwar, Malang, 2010, hlm.2.

H. M. Soejatmiko, Masalah Hukum dalam Medikal Malpraktik Yuridis dalam


Kumpulan Makalah Seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran RSUD Syaiful
Anwar, Malang, hlm.3.

Anny Isfandyarie, dalam H.M. Soejadmiko, ibid., hlm.22.

J.D. Peter Ippel dalam Syahrul Machmud, ibid., hlm.19-21.

Edi Setiadi, Pertanggungjawaban Pidana dalam Kasus malpraktik Dokter, Makalah


disampaikan pada Seminar Penegakan Hukum terhadap Malpraktik, kerja sama
antara IKAHI dan IDI, Sekayu, 2009.

M. Yusuf hanafiah dan amri Amir, Etika Kedokteran danb Hukum Kesehatan,
Jakarta : EGC, 2000, hlm.87.

Anda mungkin juga menyukai