Anda di halaman 1dari 24

Malpraktik Dalam

Pelayanan Kebidanan
Prof Abdul Ghofur Anshori
A. Malpraktik Dan Perlindungan Hukum
Konsumen Dalam Pelayanan Kesehatan
Pada prinsipnya bidan dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat umum, apabila tidak terdapat dokter atau tenaga kesehatan lain
yang berwenang untuk melakukan pengobatan pada wilayah tersebut,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 17 KEPMENKES No. 900/MENKES/SK/VII/2002
tentang Registrasi dan Praktik Bidan. Kepmenkes tersebut menyebutkan bahwa:
“dalam keadaan tidak terdapat dokter yang berwenang pada wilayah tersebut,
bidan dapat memberikan pelayanan pengobatan pada penyakit ringan bagi ibu
dan anak sesuai dengan kemampuannya”
Namun tindakan medis oleh bidan terkadang justru menimbulkan dampak negatif
bagi klien. Klien yang mengalami hal tersebut menjadikan dampak negatif dari
tindakan medis yang dilakukan oleh bidan sebagai dasar menuntut dengan alasan
malpraktik.
Istilah malpraktik pun terkadang belum memiliki persepsi yang jelas di
masyarakat. istilah tersebut pada kalangan profesi digunakan untuk
menggambarkan kelalaian, penyimpangan, kesalahan, atau ketidakmampuan
praktik profesi sesuai dengan standar, yang merugikan konsumen. Dalam konteks
tersebut perlindungan konsumen menjadi hal yang patut diperhatikan.
Berkaitan dengan pelayanan kesehatan, kepuasan pasien dapat tidak sesuai
dengan kebutuhan medis. Istilah overutilization atau unnecessary utilization,
yang sebenarnya merupakan penyimpangan praktik kedokteran yang dianggap
upaya memuaskan pasien.
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan wajib patuh terhadap standar
profesi dan standar operasional prosedur kebidanan. Apabila bidan melaksanakan
hal tersebut, dapat dipastikan sulit terjadi malpraktik yang dilakukan oleh bidan
atau lalai secara sengaja dalam pekerjaannya. Tetapi tidak tertutup kemungkinan
kelalaian atau malpraktik yang tidak terencana dapat terjadi.
Berkaitan dengan hal tersebut, timbul pertanyaan apakah seorang bidan dapat
dihukum atas dasar kelalaian yang tidak disengaja? Inilah yang mungkin perlu
dipersoalkan. Nampaknya persoalan tersebut yang selalu menjadi persoalan
dikalangan profesi kebidanan.
B. Istilah, Pengertian dan Ruang lingkup
Malpraktik Dalam Pelayanan Kebidanan
Dari perspektif yuridis-historis, istilah malpraktik medis awalnya tidak dikenal dalam
sistem hukum Indonesia. Tidak terdapat peraturan yang secara khusus menyebut
masalah malpraktik ini, hal tersebut wajar mengingat istilah tersebut berasal dari
sistem hukum anglo saxon, namun terdapat beberapa pasal dalam KUHPerdata (Pasal
1243/wanprestasi) dan beberapa pasal dalam KUHP (pasal 359,360 dan 344) yang
dapat dijadikan dasar pengajuan gugatan perdata atau tuntutan pidana.
Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “unprofessional
misconduct or unreasonable lack of skill”. Berdasarkan definisi tersebut perbuatan
malpraktik berlaku bagi berbagai macam profesi, misalnya profesi hukum atau
perbankan, tidak hanya profesi medis saja.
Pada prinsipnya Malpraktik Medis adalah suatu tindakan medis yang dilakukan oleh
tenaga medis yang tdk sesuai dengan standar tindakan sehingga merugikan pasien.
Pengertian-pengertian
 J. Guwandi (2004:24) : Malpraktek Medis meliputi tindakan-tindakan, sbb :
1. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga
kesehatan.
2. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban.
3. Melanggar suatu ketentuan menurut perundang-undangan.
 Jusuf Hanafiah (1999:87) : Malpraktek Medik adalah kelalaian seorang dokter untuk
mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan
dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang
sama.
 Ninik Mariyanti (dikutip Amir Amri, 1997:53) membagi pengertian malpraktek sebagai
berikut:
1. Dalam arti umum: suatu praktek yg buruk, yg tidak memenuhi standar yg telah
ditentukan profesi
2. Dalam arti khusus (sudut pandang pasien): malpraktik dapat terjadi di dalam penentuan
diagnosis, menjalankan operasi, selama dlm perawatan, dan sesudah perawatan.
 Guwandi (2004:24) memberi pengertian malpraktik dalam arti luas dibedakan
antara yg dilakukan:
1. Dengan sengaja (dolus, vorsatz, intentional) yg dilarang oleh Perundang-
undangan, seperti sengaja melakukan abortus tanpa indikasi medis,
euthanasia, memberi keterangan medis yang tidak benar.
2. Tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena kelalaian, misal;
menelantarkan pengobatan pasien, sembarangan dalam mendiagnosis penyakit
pasien.
Selanjutnya perbedaan antara malpraktik murni dengan kelalaian akan lebih jelas
dilihat dari motif perbuatannya yaitu sebagai berikut:
3. Pada Malpraktik (dalam arti sempit), tindakannya dilakukan secara sadar, dan
tujuan dari tindakan memang sudah terarah pada akibat yg hendak
ditimbulkan atau tidak peduli pada akibatnya, walaupun ia mengetahui atau
seharusnya mengetahui bahwa tindakannya bertentangan dengan hukum.
4. Pada kelalaian, tindakannya tanpa motif atau tujuan untuk menimbulkan
akibat. Timbulnya “akibat” disebabkan kelalaian yang sebenarnya terjadi di
luar kehendak.
Ruang Lingkup
 Perlu dibedakan antara malpraktik medis dengan kecelakaan medis (medical
mishap, misadventure, accident). Sepintas dua hal tersebut nampak sama,
tetapi mempunyai unsur yg berbeda sehingga berpengaruh terhadap tanggung
jawab pidananya. Malpraktik Medis dalam konteks pelayanan kebidanan,
bidan yang melakukannya telah memenuhi unsur2 kesalahan, seperti adanya
kesengajaan dan kelalaian, kecerobohan serta tidak melakukan kewajibannya
sebagaimana ditentukan dalam standar pelayanan kebidanan dan standar
prosedur operasional dalam menangani klien, sehingga peristiwa malpraktek
dapat dituntut pertanggungjawaban pidana. Sementara itu Kecelakaan Medis
dalam pelayanan kebidanan merupakan sesuatu yang dapat dimengerti,
dimaafkan dan tidak dipersalahkan, karena bidan sudah bersikap hati2, teliti
dengan melakukan antisipasi terhadap timbulnya akibat2 pada pasien sesuai
dengan standar pelayanan medis dan standar prosedur operasional. Tindakan
medis sekecil apapun mengandung risiko, dan dalam kecelakaan medis bidan
tidak dapat dituntut pertanggung jawabannya, sebab risiko yg terjadi
ditanggung oleh klien (inherent risk) seperti reaksi alergik, hipersensitif, dll.
Malpraktik etik dan Malpraktik medis
1. Malpraktik Etik : yaitu ketika tenaga kesehatan melakukan tindakan yg
bertentangan dengan etika profesinya. Misalnya seorang bidan yang
melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan. Etika
kebidanan yang dituangkan dalam kode etik bidan merupakan seperangkat
standar etis, prinsip, aturan dan norma yg berlaku untuk seluruh bidan.
2. Malpraktek Yuridis : malpraktek yuridis dapat dibedakan menjadi 3 bentuk,
yaitu : Malpraktek perdata, malpraktek pidana, dan malpraktek administratif
a. Malpraktek Perdata, yaitu malpraktek yang terjadi apabila terdapat hal-hal yg
menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) di dalam transaksi
terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum.
Contoh : seorang dokter yg melakukan operasi ternyata meninggalkan sisa
perban di dalam tubuh pasien. Setelah diketahui ada perban yg tertinggal
kemudian dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban tersebut. Dalam hal
tersebut kesalahan oleh dokter dapat diperbaiki dan tidak menimbulkan akibat
negatif yg berkepanjangan terhadap pasien.
b. Malpraktek Pidana, malpraktek ini terjadi apabila pasien meninggal dunia
atau mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati atau kurang
cermat dalam melakukan upaya perawatan terhadap pasien tersebut. Malpraktek
pidana dapat dibagi ke dalam tiga bentuk, yaitu:
1) Malpraktek pidana karena kesengajaan, misalnya pada kasus aborsi tanpa
indikasi medis, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat, serta
memberikan surat keterangan yg tidak benar.
2) Malpraktek pidana karena kecerobohan, misalnya melakukan tindakan yg
tidak sesuai dgn standar profesi serta melakikan tindakan tanpa disertai
persetujuan tindakan medis.
3) Malpraktek pidana karena kealpaan, misalnya terjadi cacat atau kematian
pada pasien akibat tindakan tenaga kesehatan yg kurang hati-hati
c. Malpraktek Administratif, yaitu malpraktek yg terjadi apabila tenaga
kesehatan melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara, misalnya
menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan
yg tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya, menjalankan praktek dengan izin yg
sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
C. Standar Profesi, Standar Prosedur, Informed
Consent, dan Relevansinya dengan praktek kebidanan

Unsur terpenting yg harus diperhatikan berkaitan dengan malpraktik kebidanan


adalah terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak terapeutik.
Kepercayaan tersebut merupakan kewajiban seorang bidan untuk melakukan
tindakan dengan baik, cermat, dan penuh kehati-hatian. Tolak ukur pada hal
tersebut adalah standar profesi, standar prosedur, hukum dan etika.
Tolak ukur malpraktik tenaga kesehatan secara prinsip bersifat kasuistis, tidak
selalu sama pada setiap kasus. hal tersebut terutama pada faktor penyebab
timbulnya malpraktik. Faktor syarat berbeda dengan faktor sebab, yaitu pada
faktor syarat bisa berbeda2 pada setiak kasus, sedangkan faktor sebab selalu
sama. Faktor sebab selalu adalah timbulnya akibat yg merugikan pasien.
Sedangkan syarat2 yang menunjang penyebab malpraktik kebidanan adalah
dilanggarnya : Standar profesi bidan; standar prosedur operasional; informed
consent; kerahasiaan pasien, dll.
Standar Profesi dan Standar Prosedur
dalam praktik Kebidanan
Profesi bidan memiliki ciri khusus, yaitu:
a. Bersifat otonom (memiliki identitas tertentu)
b. Memiliki komunitas tertentu
c. Memiliki sistem nilai yang mengikat tingkah laku bidan.
Sistem nilai yang dimaksud melahirkan etika profesi bidan. Sifat otonom profesi
bidan melahirkan standar profesi dan standar prosedur. Ketidaktaatan terhadap
standar profesi dan standar prosedur serta nilai2 etika dapat menjadikan seorang
bidan terjebak malpraktik, apabila menimbulkan kerugian kesehatan pada pasien.
Standar profesi memiliki fungsi sebagai alat pengukur benar/tidaknya pelayanan
kesehatan, sekaligus untuk membuktikan adanya penyimpangan praktik atau tidak
(Adami Chazawi 2007:34)
Menurut Leenen dan Van Der Mijn (ahli hukum kesehatan Belanda), dalam
menjalankan profesi, seorang tenaga kesehatan perlu berpegang pada 3 ukuran
umum, yaitu:
a. Kewenangan;
b. Kemampuan rata2;
c. Ketelitian yang umum.
Tiga hal pokok tersebut menjadi substansi yang ada pada standar profesi bidan, yang
penjabarannya adalah sebagai berikut:
1) Kewenangan.
Berdasarkan sifatnya terdapat dua landasan kewenangan yang berbeda namun
merupakan satu kesatuan. Pertama, adalah kewenangan berdasarkan keahlian pada
bidan, yaitu kewenangan keahlian/materiil yang melekat pada individu bidan semata
(pendidikan kebidanan). Kedua, kewenangan menurut ketentuan perundang-
undangan yang disebut sebagai kewenangan formal. Seorang bidan dapat
menjalankan praktek kebidanan jika memiliki dua kewenangan tersebut. Pasal 58 UU
No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan mewajibkan bidan memiliki
kewenangan, yaitu Surat Tanda Registrasi (STR), dan Surat Izin Praktik (SIP).
Selanjutnya Permenkes No. 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin Dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan menentukan bahwa :
 Bidan yang menjalankan praktik mandiri harus berpendidikan minimal
Diploma III Kebidanan (Pasal 2).
 Bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan wajib memiliki SKIB,
sedangkan bidan yang menjalankan praktik mandiri wajib memiliki SIPB (Pasal
3)
Apabila bidan melanggar salah satu atau kedua kewajiban tersebut, dapat
membuka jalan menuju malpraktik kebidanan. Pelanggaran kewajiban
administrasi tersebut bersifat melawan hukum.
2) Kemampuan Rata-Rata
Bidang kemampuan rata-rata pada bidan dalam hal ini meliputi kemampuan dalam:
a. Knowledge
b. Skill
c. Profesional attitude
Kemampuan rata2 tiga bidang tersebut memiliki banyak faktor yang mempengaruhi
antara lain ; pengalaman dalam praktik; daerah praktik; fasilitas praktik; dan
pergaulan antar kolega profesi. Berdasarkan alasan tersebut penerapan pada
kasus-kasus dugaan malpraktik harus disesuaikan dengan faktor2 tersebut.
Kesalahan kecil bidan yang baru berpraktik di daerah terpencil dapat dipandang
wajar, sedangkan apabila kesalahan yang sama dilakukan oleh bidan yg sudah lama
berpraktik di kota besar akan menjadi persoalan yg tidak dapat diremehkan. Salah
satu ukuran pertimbangan kelalaian dalam hukum didasarkan pada ukuran
objektif pada keadaan2 dan situasi yang sama dengan si pembuat yang dianggap
lalai tersebut. Dengan kata lain untuk mengukur kesalahan bidan yg berpraktik di
kota besar diukur dengan kemampuan rata2 bidan yang berpraktik di kota tersebut.
3) Ketelitian umum
Sebagaimana telah disampaikan pada pembahasan sebelumnya, kewajiban
seorang bidan dalam kontrak terapeutik adalah melakukan segala sesuatu secara
cermat, teliti, hati-hati dan tidak ceroboh. Kecermatan dan kehati-hatian bidan
diukur secara umum, dengan kata lain ketelitian dan kehati-hatian bidan dalam
melakukan tindakana medis yang sama. Dalam hal melakukan tindakana medis
yang sama, setiap bidan harus memiliki atau menjalankan ketelitian dan
keseksamaan yang sama pula.
Informed Concent
Informed Concent adalah persetujuan pasien untuk dilakukan perawatan atau
pengobatan oleh tenaga kesehatan setelah pasien tersebut diberikan penjelasan yang
cukup oleh tenaga kesehatan mengenai berbagai hal seperti diagnosis dan terapi.
Permenkes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis
memberi batasan tentang informed concent yang menyatakan bahwa:
“persetujuan tindakan medis/informed concent adalah persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang
akan dilakukan terhadap pasien tersebut.”
Beberapa hal yang perlu dijelaskan pada pasien sebelum persetujuan antara lain:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis
b. Tujuan tindakan medis yang akan dilakukan
c. Alternatif tindakan lain dan risiko
d. Risiko dan komplikasi yg mungkin terjadi
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
Pada prinsipnya informed consent atau persetujuan pasien oleh undang-undang
ditentukan dapat dilakukan secara tertulis atau lisan, namun dalam praktik
persertujuan pasien dapat dilakukan secara diam (sikap pasrah). Persertujuan
dengan sikap pasrah/diam adalah persetujuan yang sering dilakukan dalam
praktek kesehatan.
Dalam transaksi terapeutik persetujuan secara diam-diam dibenarkan dalam
transaksi yang biasa-biasa saja, bukan yang mengandung resiko besar. Hal
tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa hubungan tenaga kesehatan dengan
pasien adalah berdasar prinsip kepercayaan. Dalam hal tindakan medis yang
berisiko besar seperti pembedahan, maka persetujuan wajin dibuat dalam
bentuk tertulis.
Akan tetapi persetujuan secara diam-diam tidak dapat digunakan sebagai alasan
pembenaran terhadap perlakuan medis yang menyimpang. Perseujuan tersebut
hanya membebaskan risiko hukum dari timbulnya akibat yang tidak dikehendaki
dalam hal perlakuan medis yang benar. Apabila perlakuan medis dilakukan secara
salah dan menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki, tenaga kesehatan dapat
dibebankan tanggung jawab dari akibat tersebut.
Permenkes No.585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis
menentukan bahwa informed concent wajib dibuat dalam bentuk tertulis pada
tindakan medis yang mengandung risiko tinggi (misal luka, cacat, kematian) yang
dilakukan di sarana kesehatan yaitu RS atau Klinik, karena berkaitan erat dengan
kewajiban membuat rekam medis. Hal tersebut dapat memberikan rasa aman
dalam melakukan tindakan medis yang mengandung risiko sekaligus sebagai alasan
pembelaan jika pasien berdalih tidak memberikan persetujuan dalam hal akibat
buruk terjadi.
Dalam praktiknya, informed concent yang dibuat dalam bentuk tertulis tidak
dibuat sendiri oleh pasien secara bebas, melainkan pasien/keluarganya tinggal
mengisi dan menandatangani blangko yang telah disediakan. Isi blangko tersebut
sudah ditentukan secara sepihak sebagai standar baku. Isi blangko tersebut dapat
memuat pernyataan dari pasien/keluarga, pernyataan untuk tidak menuntut pihak
rumah sakit atau tenaga kesehatan, dan dapat juga memuat pemberian kuasa
terhadap pihak rumah sakit untuk melakukan tindakan medis tertentu.
Pada keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan
persetujuan, namun setelah pasien dalam kondisi yang sudah memungkinkan
untuk memberi persetujuan, segera diberikan penjelasan kemudian baru dibuat
persetujuan.
Pertanggungjawaban Hukum Bidan Yang Melakukan
Malpraktik Dalam Menyelenggarakan Praktik Kebidanan

Tanggungjawab profesi bidan dalam menjalankan tugasnya dapat dibedakan atas


tanggungjawab etik dan tanggungjawab hukum. Tanggungjawab hukum terbagi
atas hukum admnistrasi, hukum perdata, dan hukum pidana. Terhadap
pelanggaran2 hukum tersebut dapat dilakukan tindakan hukum atau penegakan
hukum.
Makna dari penegakan hukum dalam penanganan kasus malpraktik medik
dimaksudkan sebagai upaya mendayagunakan atau memfungsikan perangkat
hukum terhadap kasus malpraktik guna melindungi masyarakat/pasien dari
tindakan kesengajaan atau kelalaian bidan dalam melakukan pelayanan
kebidanan kepada masyarakat khususnya kaum perempuan/ibu.
Sebagaimana pada pembahasan sebelumnya, malpraktik medik dapat terjadi
ketika tenaga kesehatan melakukan kelalaian untuk mempergunakan tingkat
keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan berdasarkan ukuran
di lingkungan yang sama. Kelalaian yang dimaksud adalah sikap kurang hati-hati
yaitu tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melakukan sesuatu
yang seharusnya tidak dilakukan. Dapat juga disebut kelalaian ketika
melakukan tindakakn di bawah standar pelayanan medik yang ada.
Pada prinsipnya kelalaian bukanlah suatu kejahatan ketika tidak sampai
menimbulkan kerugian dan orang yang bersangkutan dapat menerimanya (de
minimus non curat lex/ hukum tidak mengurusi hal sepele), tetapi jika
kelalaian mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan atau bahkan
menyebabkan kematian, maka dapat diklasifikasikan sebagai kelalaian berat
(culpa lata) yang tolak ukurnya adalah bertentangan dengan hukum, akibatnya
dapat dibayangkan, akibatnya dapat dihindarkan dan perbuatannya dapat
dipersalahkan.
Pertanggungjawaban Pidana
Tidak semua malpraktik medik termasuk ke dalam ranah hukum pidana. Terdapat
3 syarat yang harus terpenuhi untuk termasuk ke dalam ranah pidana, yaitu:
a. Sikap batin bidan, dalam hal ini terdapat kesengajaan/dolus atau culpa
b. Syarat dalam perlakuan medis yang meliputi perlakuan medis yang
menyimpang dari standar profesi bidan, standar prosedur operasional, atau
mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab antara lain tanpa
memiliki STR, SIPB, SIKB.
c. Syarat akibat yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu
luka-luka (Pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa klien sehingga menjadi
unsur tindak pidana.
Secara umum sifat melawan hukum malpraktik medik dalam konteks praktik
kebidanan adalah terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien/klien dalam
kontrak terapeutik yang telah disepakati.
Pertanggungjawaban Perdata
Perlakuan medis oleh bidan dalam sudut pandang hukum perdata didasari oleh suatu
ikatan atau hubungan inspanings verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha untuk
melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi, standar
prosedur operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam dunia kebidanan, tetapi
juga memperhatikan kesusilaan dan kepatutan. Perlakuan yang tidak benar akan
menimbulkan suatu pelanggaran kewajiban hukum (wanprestasi).
Kerugian malpraktik dalam konteks perdata lebih luas dari konteks pidana. Akibat
malpraktik perdata (termasuk di dalamnya perbuatan melawan hukum) terdiri atas
kerugian materiil dan idiil, bentuk kerugian ini tidak dicantumkan secara khusus
dalam undang2.
Sedangkan malpraktik dalam konteks pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai
dengan akibat yang menjadi unsur pasal tersebut. Malpraktik kebidanan hanya
terjadi pada tindak pidana materil. Dalam hubungannya dengan malpraktik medik
pidana, kematian; luka berat; rasa sakit; luka yang mendatangkan penyakit atau
yang menghambat tugas dan mata pencaharian merpakan unsur tindak pidana.
Klien atau keluarganya dalam kedudukanya sebagai penggugat, untuk dapat
menuntut ganti kerugian karena kelalaian, penggugat harus dapat membuktikan
adanya suatu kewajiban dari bidan terhadap klien yang mana bidan telah
melanggar standar pelayanan medik yang dipergunakan, penggugat juga harus
dapat membuktikan telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti
ruginya.
Terkadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat. Dalam
hukum dikenal istilah Res Ipsa Loquitor (the things speaks for itself), misalnya
dalam hal terdapat kain kasa yang tertinggal di dalam rongga perut klien
sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini bidanlah yang
harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.
SELESAI

Anda mungkin juga menyukai