Anda di halaman 1dari 14

ARTIKEL

KASUS MALPRAKTEK

“Pasien Meninggal karena Malpraktik, Dokter Wida Dibui 10 Bulan”

28 April 2010, RS Krian Husada, Sidoarjo, Jatim

DISUSUN OLEH:
HARYO WIBOWO
NIM: 193036

TUGAS MATA KULIAH:


ETIKA PROFESI DAN HUKUM KESEHATAN

DOSEN PEMBIMBING: IKHWAN ABDULLAH A.Md Akp.,S.Psi.,MM

PROGRAM STUDI D III AKUPUNTUR


POLTEKES SOEPRAOEN
MALANG
2019
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Tindakan malpraktik medik adalah salah satu cabang kesalahan di dalam bidang professional.

Tindakan malpraktik medik yang melibatkan para dokter dan tenaga kesehatan lainnya banyak

terdapat jenis dan bentuknya, misalnya kesilapan melakukan diagnosa, salah melakukan tindakan

perawatan yang sesuai dengan pasien atau gagal melaksanakan perawatan terhadap pasien dengan

teliti dan cermat.

Di beberapa negara maju seperti United Kingdom, Australia dan Amerika Serikat, kasus

malpraktik medik juga banyak terjadi bahkan setiap tahun jumlahnya meningkat. Misalnya, di negara

Amerika Serikat pada tahun 1970-an jumlah kasus malpraktik medik meningkat tiga kali lipat

dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dan keadaan ini terus meningkat hingga pada tahun

1990-an.

Keadaan di atas tidak jauh berbeda dengan negara Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir

ini kasus penuntutan terhadap dokter atas dugaan adanya malpraktik medik meningkat dibandingkan

dengan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan disetiap media masa dan elektronik setiap harinya

memberitakan tentang kasus malpraktik medik yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan

lainnya baik di rumah sakit di kota besar maupun rumah sakit tingkat daerah.

Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus

malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis

dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Dalam rentang beberapa tahun terakhir ini, media

massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana)

kepada dokter, tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat
konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian

medis.

Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut

dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan

pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter paska operasi

pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya.

Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus itu terkategori

malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang dokter? Untuk diketahui, sejauh

ini di negara kita belum ada ketentuan hukum ihwal standar profesi kedokteran yang bisa mengatur

kesalahan profesi. Dan sebenarnya kasus malpraktek ini bukanlah barang baru. Sejak bertahun-tahun

yang lalu, kasus ini cukup akrab di Indonesia.

Menurut Coughlin’s Dictionary Of Law , “malpraktek bisa diakibatkan karena sikap kurang

keterampilan atau kehati-hatian didalam pelaksanakan kewajiban professional, tindakan salah yang

sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis”.

Kasus malpraktik merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia.

Malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional yang bertentangan dengan SOP, kode

etik, dan undang-undang yang berlaku, baik disengaja maupun akibat kelalaian yang mengakibatkan

kerugian atau kematian pada orang lain. Biasanya malpraktik dilakukan oleh kebanyakan dokter di

karenakan salah diagnosa terhadap pasien yang akhirnya dokter salah memberikan obat.

Sudah banyak contoh kasus yang malpraktik yang terjadi di beberapa rumah sakit, kasus yang

paling sering di bicarakan di media-media diantaranya adalah kasus prita mulyasari. Ia mengaku

adalah korban malpraktik di rumah sakit Omni internasional. Tidak hanya kasus Prita saja, masih
banyak lagi kasus-kasus lain. Pihak rumah sakit berlindung pada nama besarnya. Sesungguhnya Prita

hanya berbicara tentang kebenaran dan hak sebagai seseorang yang dirugikan. Dalam pengakuannya

Prita pernah berobat di rumah sakit Omni Internasional tersebut. Tapi ia tidak menyangka bahwa ia

akan mendapat perlakuan medis yang tidak layak. Ia mengungkapkan hal ini pada teman-temannya

melalui media internet dan tanpa disangka hal ini membuat Prita terlilit kasus pencemaran nama baik.

II. Rumusan Masalah

Pada hakikatnya penulis mengarahkan langkah-langkah yang dijadikan pokok permasalahan

dalam pembuatan makalah ini agar sasaran yang hendak dicapai dapat terwujud. Pokok permasalahan

tersebut yaitu:

a. Apa pengertian dari Malpraktik medik?

b. Apa aspek Hukum dari Malpraktik medik?

c. Apa saja faktor-faktor yang mendukung terjadinya Malpraktik medik?

d. Berikan contoh Kasus Malpraktik medik?

e. Jelaskan analisa dari Kasus Malpraktik medik!

III. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat diketahui tujuan dari pembuatan makalah, yaitu:

1. Untuk mengetahui tentang pengertian Malpraktik medik.

2. Untuk mengetahui dan memahami aspek-aspek hukum dari malpraktik medik.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung terjadinya malpraktik medik.

4. Untuk mengetahui dan memahami contoh kasus yang berkaitan dengan malpraktik medik.

5. Untuk menganalisis contoh kasus malpraktik tersebut.


PEMBAHASAN

I. Pengertian Malpraktik Medik

Istilah Malpraktik digunakan pertama kali oleh Sir William Blackstone pada tahun 1768. Ia

menyebutkan dalam tulisannya bahwa:

“…that, malapraxis is great misdemeanour and offence at common law, whether it be for curiosity

or experiment, or by neglect; because it breaks the trust which the party had placed in his physician,

and tends to the patient’s destruction…”

Menurut berbagai sumber, malpraktek merupakan perbuatan yang tidak melakukan

profesinya sebagaimana yang diajarkan di dalam profesinya, misalnya seorang dokter, insinyur,

pengacara, akuntan, dokter gigi, dokter hewan, dan lain-lain. Oleh karena itu, istilah malpraktek

sebenarnya tidak hanya digunakan untuk profesi kedokteran saja tetapi dapat digunakan untuk semua

bidang profesi, dan jika digunakan untuk profesi kedokteran seharusnya dipakai istilah malpraktek

medik.

Malpraktek dapat terjadi akibat ketidaktahuan, kelalaian, kurangnya ketrampilan, kurangnya

ketaatan kepada yang diajarkan dalam profesinya atau melakukan kejahatan untuk mendapatkan

keuntungan di dalam melaksanakan kewajiban profesinya, adanya perbuatan salah yang disengaja,

maupun praktek gelap atau bertentangan dengan etika.

Dan pada umumnya, timbulnya suatu gugatan adanya dugaan malpraktik medik adalah karena

terjadinya suatu peristiwa yang bersifat negatif. Dengan kata lain, terjadi suatu peristiwa di mana
setelah dilakukannya suatu tindakan medik, ternyata keadaan pasien menjadi bertambah buruk,

menderita kesakitan yang lebih hebat, menjadi lumpuh, koma, bahkan meninggal.

Menurut Vestal, K.W. (1995) mengatakan bahwa untuk mengatakan secara pasti malpraktik

apabila penggugat dapat menunjukkan dibawah ini:

1. Duty – Pada saat terjadinya cedera, terkait dengan kewajibanya yaitu kewajiban untuk

mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidaktidaknya

meringankan beban penderitaan pasiennya berdasarkan stadar profesi. Hubungan perawat-klien

menunjukkan bahwa melakukan kewajiban berdasarkan standar keperawatan.

2. Breach of the duty--- pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya artinya

menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya.Pelanggaran

yang terjadi terhadap pasien (misalnya kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang

ditetapkan sebagai kebijakan rumah sakit.

3. Injury – Seseorang mengalami injury atau kerusakan (damage) yang dapat dituntut secara

hukum (misalnya pasien mengalami cedera sebagai akibat pelanggaran. Keluhan nyeri, atau

adanya penderitaan atau stress emosi dapat dipertimbangkan sebagai akibat cedera hanya jika

terkait dengan cedera fisik).

4. Proximate caused—pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan/terkait dengan injury

yang dialami (misalnya cedera yang terjadi secara langsung berhubungan dengan pelanggaran

terhadap kewajiban perawat terhadap pasien).

Sebagai penggugat, harus mampu menunjukkan bukti pada setiap elemen dari keempat

elemen di atas. Jika semua elemen itu dapat dibuktikan hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi

malpraktik, dan perawat berada pada tuntutan malpraktik. Terhadap tuntutan malpraktik, pelanggaran

dapat bersifat pelanggaran :


a. Pelanggaran etika profesi. Terhadap pelanggaran ini sepenuhnya oleh organisasi profesi (

Majelis Kode Etik Keperawatan) sebagaimana tercamtum pada pasal 26 dan 27 Anggaran

Dasar PPNI. Sebagaimana halnya doter, maka perawat pun merupakan tenaga kesehatan yang

preofesional yang menghadapi banyak masalah moral/etik sepanjang melaksanakan praktik

profesional. Beberapa masalah etik yang sering terjadi pada tenaga keperawatan antara lain

moral unpreparedness, moral blindness, amoralism, dan moral fanatism. Untuk menangani

masalah etika yang terjadi pada tenaga keperawatan dilakukan organisasi profesi keperawatan

(PPNI) melalui Majelis Kode Etik Keperawatan.

b. Sanksi administratif. Berdasarkan Keppres No.56 tahun 1995 dibentuk Majelis Disiplin Tenaga

Kesehatan(MDTK) dalam rangka pemberian perlindungan yang seimbang dan objetif kepada

tenaga kesehatan dan masyarakat penerima pelayanan kesehatan. MDTK bertugas meneliti dan

menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang

dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan. Berdasarkan hasil

pemeriksaan MDTK akan dilaporkan kepada pejabat kesehatan berwenang untuk mengambil

tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan dengan memperhatikan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Tindakan sebagaimana yang dimaksud tidak mengurangi ketentuan

pada : pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yaitu : (1).

Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan

profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin. (2). Penentuan ada tidaknya kesalahan atau

kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga

Kesehatan. Keanggotaan MDTK terdiri dari unsur Sarjana Hukum, ahli kesehatan yang

diwakili organisasi profesi di bidang kesehatan, ahli agama, ahli psikologi, dan ahli sosiologi.
Organisasi ini berada baik di tingkat pusat, juga ditingkat Propinsi. Sejauh ini di Sulawesi

Selatan belum terbentuk MDTK.

c. Pelanggaran hukum. Pelanggaran dapat bersifat perdata maupun pidana. Pelanggaran yang

bersifat perdata sebagaimana pada UU No.23 tahun 1992 pada pasal 55 ayat (1) dan ayat (2)

berbunyi:

a. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga

kesehatan.

b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Hal yang berhubungan dengan ganti rugi dapat bersifat negosiasi atau diselesaikan melalui

pengadilan. Pelanggaran yang bersifat pidana sebagaimana pada UU No.23 tahun 1992 pada

Bab X (Ketentuan Pidana) berupa pidana penjara dan atau pidana denda, atau sebagimana pada

pasal 61 dan 62 UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, berbunyi : Pasal 61 :

Penentuan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Pasal 62 :

a. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,

pasal 8, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf

e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun atau

pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000.00 (dua miliar rupiah).

b. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,

Pasal 12, Pasal 13 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara

paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda banyak Rp. 500.000.000.00 (lima ratus

juta rupiah).
c. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau

kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

II. Aspek Hukum Malpraktik Medik

Berdasarkan jenisnya, tindakan malpraktik medik terbagi ke dalam dua bentuk

pertanggungjawaban. Pertama, pertanggungjawaban profesi kedokteran, yaitu pelanggaran etika

kedokteran dan pelanggaran disiplin kedokteran. Kedua, pertanggungjawaban hukum (malpraktik

yuridis), yang terbagi juga menjadi tiga yaitu malpraktik pidana (criminal malpractice), malpraktik

perdata (civil malpractice) dan malpraktik administratif (administrative malpractice).

Masing-masing kriteria pertanggungjawaban hukum dan profesi kedokteran tersebut di atas

mempunyai jalur penyelesaian yang berbeda, dasar hukum yang berbeda dan ditangani oleh lembaga

peradilan yang berbeda pula.

III. Faktor-faktor yang mendukung terjadinya malpraktik medik

Ada 3 hal yang dapat menyebabkan seorang tenaga kesehatan melakukan tindakan malpraktik

medik, yaitu apabila tidak melakukan tindakan medisi sesuai dengan :

1. Standar Profesi Kedokteran

Dalam profesi kedokteran, ada tiga hal yang harus ada dalam standar profesinya yaitu

kewenangan, kemampuan rata-rata dan ketelitian umum.

2. Standar Prosedur Operasional (SOP)


SOP adalah suatu perangkat instruksi/ langkah-langkah yang dibakukan untuk

menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.

3. Informed Consent

Substansi informed consent adalah memberikan informasi tentang metode dan jenis

rawatan yang dilakukan terhadap pasien, termasuk peluang kesembuhan dan resiko yang

akan dialami oleh pasien.

IV. Contoh kasus malpraktik medik

Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi jaksa atas kasus malpraktik dengan terdakwa dr Wida

Parama Astiti. MA memutuskan dr Wida telah melakukan malpraktik sehingga pasien berusia 3 tahun

meninggal dunia dan dijatuhi 10 bulan penjara. Seperti dilansir dalam website Mahkamah Agung

(MA), Jumat (22/3/2013), kasus tersebut bermula saat dr Wida menerima pasien Deva Chayanata (3)

pada 28 April 2010 pukul 19.00 WIB datang ke RS Krian Husada, Sidoarjo, Jatim. Deva datang

diantar orang tuanya karena mengalami diare dan kembung dan dr Deva langsung memberikan

tindakan medis berupa pemasangan infuse, suntikan, obat sirup dan memberikan perawatan inap.

Keesokan harinya, dr Wida mengambil tindakan medis dengan meminta kepada perawat

untuk melakukan penyuntikan KCL 12,5 ml. Saat itu, dr Wida berada di lantai 1 dan tidak melakukan

pengawasan atas tindakan perawat tersebut dan Deva kejang-kejang. Akibat hal ini, Deva pun

meninggal dunia.

\"Berdasarkan keterangan ahli, seharusnya penyuntikan KCL dapat dilakukan dengan cara

mencampurkan ke dalam infuse sehingga cairan KCL dapat masuk ke dalam tubuh penderita dengan

cara masuk secara pelan-pelan,\" demikian papar dakwaan jaksa.


Lantas, dr Wida diproses secara hukum dan pada 1 Juni 2011 Kejaksaan Negeri Sidoarjo

menuntut dr Wida dijatuhkan hukuman 18 bulan penjara karena melanggar Pasal 359 KUHP.

Tuntutan ini dipenuhi majelis hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo pada 19 Juli 2011. Namun terkait

lamanya hukuman, majelis hakim memutuskan dr Wida harus mendekam 10 bulan karena

menyebabkan matinya orang yang dilakukan dalam melakukan suatu jabatan atau pekerjannya.

Putusan ini dikuatkan Pengadilan Tinggi Surabaya pada 7 November 2011. Namun jaksa

tidak puas dan melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). \"Putusan Pengadilan Tinggi sangat

ringan sehingga tidak memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dan tidak membuat jera

pelaku atau orang lain yang akan melakukan perbuatan yang sama,\" demikian alasan kasasi jaksa.

Namun, MA berkata lain.

\"Menolak permohonan kasasi dari Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Sidoarjo,\"

demikian putus MA yang diketok olah majelis hakim Dr Artidjo Alkostar, Dr Sofyan Sitompul dan

Dr Dudu D Machmuddin pada 28 September 2012 lalu.

V. Analisa dari kasus malpraktik medik

Permasalahan dalam kasus ini ialah tindakan seorang Dokter yang tidak teliti dan tidak hati-

hati dalam melakukan tugasnya yaitu tidak mencek data pasien sebelum melakukan tindakan dengan

hanya memerintah perawat untuk melakukan tindakan tanpa melakukan visit atau melihat kondisi

pasien. Tindakan seperti ini bisa menimbulkan akibat yang fatal bagi pasien dimana dalam kasus dr

Wida ini pasien meninggal dunia.

Ada sebuah kegagalan dalam proses perintah penyuntikan cairan KCL 12,5 ml dimana cairan

disuntikan langsung ke tubuh pasien sehingga masuk dengan cepat atau sekaligus. Padahal

seharusnya ada standar, dimana cairan dimasukan melalui penyuntikan ke cairan infus sehingga bisa
masuk ke tubuh pasien secara perlahan. Standard apabila pasien akan mendapatkan obat dalam

bentuk cairan maka harus dimasukan melalui cairan infus. Seandainya prosedur ini dijalankan, tentu

kejadian fatal tidak akan terjadi.

Jadi, contoh kasus malpraktik diatas merupakan suatu bentuk kelalaian berat (culpa lata) dari

tenaga kerja yang ada di rumah sakit, baik dokter dan perawat yang menimbulkan dampak yang

sangat buruk bagi pasien yaitu kematian. Kelalaian fatal ini bisa dikatakan terjadi karena kurangnya

ketelitian dari dokter ataupun petugas kesehatan lainnya dalam pemberian pelayanan kesehatan

terhadap pasien.

Kelalaian ini juga bisa disebabkan karena manejemen rumah sakit yang kurang tertata baik,

pendidikan yang dimiliki petugas yang mungkin masih minim serta banyak lagi faktor yang lainnya.

Dan tindakan tersebut tidak hanya melangar hukum, kode etik kedokteran dan juga standar

berperilaku dalam suatu agama tetapi bahkan sampai menghilangkan nyawa seseorang.
PENUTUP

1) Kesimpulan

Contoh kasus malpraktik medik di atas ialah suatu contoh bentuk kelalaian dari seorang Dokter

terhadap pasiennya dan adanya sikap kurang hati-hati dalam melakukan tugasnya. Kasus ini

merupakan suatu bentuk kelalaian atau kurangnya ketelitian dari dokter dr Wida dan juga petugas

kesehatan (perawat) dalam pemberian pelayanan kesehatan terhadap pasien. Jalur struktur atau

hierarki yang ada juga membuat perawat tidak berani memberikan feedback kepada dokter dr Wida

atas perintah yang diberikan. Kelalaian itu juga bisa disebabkan karena manejemen rumah sakit yang

kurang tertata baik, pendidikan yang dimiliki petugas yang mungkin masih minim serta banyak lagi

faktor yang lainnya

2) Saran

Menurut pendapat saya supaya kejadian tersebut tidak terjadi lagi, diharapkan supaya seorang

Dokter itu harus bersikap hati-hati, bersikap sewajarnya dalam melakukan tugasnya dan harus teliti

dalam melakukan observasi terhadap pasien supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti

contoh kasus di atas ini. Dan seharusnya seorang petugas kesehatan itu harus mencek data pasien

sebelum melakukan tindakan. Serta juga Team Kesehatan harus diberi ruang untuk memberikan

feedback kepada atasan atau dokter atas perintah yang diberikan jika tidak sesuai dengan SOP yang

ada.

Upaya pencegahan terjadinya malpraktik tersebut dapat juga dilakukan melalui pembenahan

majemen rumah sakit, meningkatkan ketelitian dalam menjalankan profesi kedokteran serta

memperdalam segala macam pengetahuan tentang berbagai macam tindakan pelayanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Ide, Alexandra. 2012. Etika dan Hukum dalam Pelayanan Kesehatan. Yogyakarta: Grasia Book

Publisher.

https://asnella.blogspot.com/2012/11/kasus-malpraktik-medis.html , jam 19:00, tanggal 30

November 2019.

http://www.google.co.id/url?url=http://www.duniaremaja.net/catatan/contoh-kasus-malpraktek-di-

indonesia.html&rct=j&sa=U&ei=3WmzUICiI83LrQegkoEg&ved=0CC4QFjAH&sig2=rnBal-

uftuNaAxvQvyxfKA&q=kasus+malpraktek+di+indonesia&usg=AFQjCNHji0MbEpm51eN_zsolnJ

h7Yv5AFg , jam 19:30 , tanggal 30 November 2019

http://internetweb159.wordpress.com, jam 20:30, tanggal 30 November 2019

http://dintap.blogspot.com/2011/06/kasus-malpraktek.html , jam 20:40, tanggal 30 November 2019

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/132085774_1412-4009.pdf , jam 20:50, tanggal 30 November

2019.

http://isidunia.blogspot.com/2011/11/10-kasus-malpraktek-dunia-kedokteran.html, jam 21:00,

tanggal 30 November 2019

https://news.detik.com/berita/d-2201025/pasien-meninggal-karena-malpraktik-dokter-wida-dibui-

10-bulan, jam 21:00 tanggal 30 November 2019

Anda mungkin juga menyukai