Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH ADMINISTRASI RUMAH SAKIT DAN PUSKESMAS

NAMA KELOMPOK 19 :

1. Rizky Novita Anjaswanti 101811133025


2. Dita Aulia Rahma 101811133030
3. Lathifa Devira Oktaviana 101811133031

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan anugerah-Nya
sehingga makalah Administrasi Rumah Sakit dan Puskesmas dapat terselesaikan.

Pada kesempatan ini kami ucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada Ibu Inge
Dhamanti selaku dosen mata kuliah administrasi rumah sakit dan puskesmas. Selain itu kami
juga mengucapkan terimakasih kepada :

1. Orang tua yang selalu mendoakan dan mendukung perkuliahan kami selama ini.

2. Teman-teman sekelompok yang telah bekerja sama menyelesaikan tugas makalah ini.

3. Semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan anugerah serta balasan pahala atas segala
yang telah diberikan oleh pihak yang telah membantu selama proses pengerjaan makalah.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami sendiri dan orang lain.

Surabaya, 12 September 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN
SAMPUL
......................................................................................................................................................
i

KATA
PENGANTAR
......................................................................................................................................................
ii

DAFTAR
ISI
......................................................................................................................................................
iii

BAB I
KASUS
......................................................................................................................................................
1

BAB II TINJAUAN
PUSTAKA
.................................................................................................................................................
3
2.1 UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah
Sakit
.........................................................................................................................................
3
2.2 Permenkes No.4 Tahun 2018 Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban
Pasien
.........................................................................................................................................
6
2.3 Permenkes No. 4 Tahun 2019 Tentang Standar Pelayanan
Minimal
.........................................................................................................................................
11
2.4 Permenkes No. 34 Tahun 2017 Tentang Akreditasi Rumah
Sakit
.........................................................................................................................................

iii
12
2.5 Akreditasi
.........................................................................................................................................
13
2.6 Standar Pelayanan
Minimal
.........................................................................................................................................
16
2.7 Standar Prosedur
Operasional
.........................................................................................................................................
18

BAB III
PEMBAHASAN
.................................................................................................................................................
22
3.1 Kajian Kasus Dengan Materi
1
.....................................................................................................................................
22
3.2 Kajian Kasus Dengan Materi
3
.....................................................................................................................................
23
3.3 Kajian Kasus Dengan Materi
4
.....................................................................................................................................
25
3.4 Kajian Kasus Dengan Materi
6
.....................................................................................................................................
26

iv
BAB IV
KESIMPULAN
.................................................................................................................................................
29

DAFTAR
PUSTAKA
.................................................................................................................................................
30

v
BAB I

KASUS

KASUS DUGAAN KELALAIAN RUMAH SAKIT MASIH MENGENDAP

Korban dugaan kelalaian Rumah Sakit (RS) Medika Permata Hijau belum
mendapat kepastian hasil investigasi dari Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS)
DKI Jakarta. Pada hasil rapat antara pihak RS Medika Permata Hijau, pihak korban
dan BPRS yang berlangsung kamis, 24 Januari 2019 di kantor Dinas Kesehatan
DKI Jakarta, belum membawa kesimpulan atas kasus meninggalnya bayi dari ibu
Namira Tri Wahyuni dan bapak T. M. Harry Rizky Tafiy.

Kuasa hukum dari ibu Namira yaitu Nirizki menceritakan kronologisnya


kasus ini, yakni kliennya ibu Namira melakukan control kelahiran di RS Medika
Permata Hijau guna mempermudah proses kelahiran anaknya, dikarenakan
jarak rumah pasien dengan RS Medika Permata Hijau dekat dan memiliki alat
yang memadai. Kontrol pertama dilakukan pada tanggal 21 Maret 2018 dan
ditangani oleh dokter Kurniati Setiarsih yang merekomendasikan agar pasien
melakukan pengecekan protein dan meminta agar pasien datang kembali pada
tanggal 4 April 2018 dengan membawa hasil pengujian protein sebagaimana
disarankan oleh dokter.
Pada tanggal 3 April 2018 ibu Namira melakukan cek medis atas
kandungannya di Puskesmas Kelapa Dua yang disarankan oleh dokter Kurniati
Setiarsih. Setelah di cek oleh pihak Puskesmas ternyata hasil protein ibu
Namira adalah ++. Pihak Puskesmas langsung mengeluarakan surat rujukan ke
RS Medika Permata Hijau agar segera mendapat penanganan lebih lanjut dari
RS Permata Hijau. Setelah itu dan pada hari yang sama, ibu Namira kembali ke
RS Medika Permata Hijau bersama surat rujukan dari puskesmas Kelapa Dua
agar dapat ditangani secara intensif. Namun, sangat disayangkan, RS Medika
Permata Hijau menolak dan meminta Ibu Namira untuk pulang, dikarenakan
bahwa pasien datang tidak berdasarkan jadwal control yang disepakati
sebelumnya pada tanggal 4 April 2018. Disisi lain pihak rumah sakit juga
menyatakan bahwa jadwal dokter Kurniati Setiarsih ada pada tanggal tersebut
dan memastikan akan melakukan pemeriksaan terhadap pasien.
Kemudian keesokan harinya pada tanggal 4 April 2018 ibu Namira
kembali ke RS Medika Permata Hijau untuk melakukan jadwal control untuk
hasil pengujian protein dan menunjukkan surat rujukan dari Puskesmas Kelapa
Dua. Namun sesampainya disana ibu Namira kembali tidak diterima oleh
petugas administrasi BPJS di RS Medika Permata Hijau dengan alasan bahwa
dokter Kurniati Setiarsih yang menangani pasien sedang melakukan cuti. Oleh
pihak RS Medika Permata Hijau, ibu Namira diminta kembali pada tanggal 07
April 2018. Padahal kondisi ibu Namira saat itu sungguh sangat memerlukan

1
penanganan medis yang secara cepat, tepat dan intensif mengingat surat rujukan
dari Puskesmas Kelapa Dua.
Lalu tiga hari kemudian pada hari sabtu, 7 April 2018 ibu Namira
kembali ke RS Medika Permata Hijau dengan kondisi sakit yang dirasa semakin
parah. Pada pukul 09.00 WIB, ibu Namira sampai di RS Medika Permata Hijau
akan tetapi ibu Namira tidak ditangani sama sekali oleh pihak medis di RS
tersebut. Ibu Namira harus menunggu lama tindakan medis dari pihak RS
Medika Permata Hijau, untuk menangani proses persalinan yang seharusnya
ditangani secara cepat. Dari pihak RS Medika Permata Hijau memberikan
informasi bahwa dokter sedang dalam perjalanan ke RS Medika Permata Hijau.
Jadi, ibu Namira harus menunggu lebih dari 4 jam tanpa ada kepastian kapan
operasi dilakukan. Akhirnya, pada pukul 19.30 WIB, ibu Namira mendapatkan
informasi bahwa dokter yang menangani persalinan telah tiba di RS tersebut.
Namun setelah operasi dilakukan, Dokter Kurniati Setiarsih membawa kabar
buruk bahwa bayi laki-laki dalam kandungan ibu Namira sudah tidak bernyawa.
Keluarga merasa dirugikan dengan tindakan lamban dari pihak RS yang
menyebabkan anak dari ibu Namira meninggal dalam kandungan. Suami dari
ibu Namira yaitu Bapak Harry meminta pertanggungjawaban pihak RS melalui
tiga kali pertemuan pada 11, 16, dan terakhir 17 April 2018. Dalam pertemuan
dengan manajemen pihak RS, Bapak Harry menyampaikan kekecewaannya atas
tindakan tidak profesional yang diterima keluarganya sehingga mengakibatkan
korban jiwa. Bapak Harry juga mengungkapkan bahwa istrinya tidak
diperlakukan secara tidak adil, tidak manusiawi, karena pihak RS mengabaikan
kondisi psikologi spasien. Tindakan yang cepat tanggap terhadap pasien dengan
kondisi khusus, harusnya menjadi kewajiban RS sesuai dengan Undang-
Undang yang berlaku. Oleh karena itu, dari pihak keluarga meminta kepastian
terkait pelayanan dan tindakan RS Medika Permata Hijau serta SOP (Standar
Operasional Prosedur) di RS Medika Permata Hijau, apakah ada dugaan
kelalaian atau tidak berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan BPRS, sehingga
pihak keluarga akan menentukan langkah hukum apa yang selanjutnya dapat
ditempuh.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 UU No.44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit

 Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
(1) Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna
yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
(2) Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan
tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan
kecacatan lebih lanjut.
(3) Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang
meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
(4) Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah
kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan,
baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit.
(5) Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
(6) Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
(7) Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.
 Pasal 2
Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada
nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan
hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan
pasien, serta mempunyai fungsi sosial.
 Pasal 3
Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:
a. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan;
b. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,
lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit;
c. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah
sakit; dan
d. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya
manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.
 Pasal 5

3
Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Rumah
Sakit mempunyai fungsi :
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan
sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit;
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui
pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai
kebutuhan medis;
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan
kesehatan; dan
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan
teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan
kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang
kesehatan;
 Pasal 27
Izin Rumah Sakit dapat dicabut jika: habis masa berlakunya;
a. Tidak lagi memenuhi persyaratan dan standar;
b. Terbukti melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-
undangan; dan/atau
c. Atas perintah pengadilan dalam rangka penegakan hukum.
 Pasal 32
Setiap pasien mempunyai hak:
A. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku
di Rumah Sakit
B. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
C. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa
diskriminasi;
D. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional;
E. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar
dari kerugian fisik dan materi;
F. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
G. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
H. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter
lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di
luar Rumah Sakit;
I. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk
data-data medisnya;
J. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan
medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi

4
yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
serta perkiraan biaya pengobatan;
K. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan
dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
L. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
M. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya
selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;
N. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di Rumah Sakit;
O. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit
terhadap dirinya;
P. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama
dan kepercayaan yang dianutnya;
Q. Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit
diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik
secara perdata ataupun pidana; dan
R. Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
 Pasal 54
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap Rumah Sakit dengan melibatkan organisasi
profesi, asosiasi perumahsakitan, dan organisasi kemasyaratan lainnya
sesuai dengan tugas dan fungsi masingmasing.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diarahkan untuk :
a. pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh
masyarakat;
b. peningkatan mutu pelayanan kesehatan;
c. keselamatan pasien ;
d. pengembangan jangkauan pelayanan; dan
e. peningkatan kemampuan kemandirian Rumah Sakit
(3) Dalam melaksanakan tugas pengawasan, Pemerintah dan Pemerintah
Daerah mengangkat tenaga pengawas sesuai kompetensi dan
keahliannya
(4) Tenaga pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melaksanakan
pengawasan yang bersifat teknis medis dan teknis perumahsakitan.
(5) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat
mengambil tindakan administratif berupa:
a. teguran;
b. teguran tertulis; dan/atau

5
c. denda dan pencabutan izin.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

2.2 Permenkes No.4 Tahun 2018 Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban
Pasien
 Pasal 2
(1) Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban :
a. Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit
kepada masyarakat;
b. Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu,
antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan
pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit;
c. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan
kemampuan pelayanannya;
d. Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada
bencana, sesuai dengan kemampuan pelayanannya;
e. Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu
atau miskin;
f. Melaksanakan fungsi sosial;
g. Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien;
h. Menyelenggarakan rekam medis;
i. Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak meliputi
sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat,
wanita menyusui, anak-anak, lanjut usia;
j. Melaksanakan sistem rujukan;
k. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi
dan etika serta peraturan perundang-undangan;
l. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan
kewajiban pasien;
m. Menghormati dan melindungi hak pasien;
n. Melaksanakan etika Rumah Sakit;
o. Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan
bencana;
p. Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara
regional maupun nasional;

6
q. Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran
atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya; r. menyusun dan
melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (hospital by laws);
r. Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas
Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas; dan
s. Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan
tanpa rokok.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Rumah Sakit
mempunyai kewajiban mengupayakan:
a. Keamanan dan pembatasan akses pada unit kerja tertentu yang
memerlukan pengamanan khusus; dan
b. Keamanan Pasien, pengunjung, dan petugas di Rumah Sakit
 Pasal 6
(1) Kewajiban Rumah Sakit memberikan pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan
kepentingan Pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b melalui akreditasi
Rumah Sakit.
(2) Pelayanan kesehatan yang aman dan efektif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit dilaksanakan melalui sasaran keselamatan
Pasien Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Pelayanan kesehatan yang bermutu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan sesuai dengan
standar pelayanan Rumah Sakit sebagai bagian dari tata kelola klinis
yang baik.
(4) Standar pelayanan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disusun dan diterapkan dengan memperhatikan standar profesi, standar
pelayanan masing-masing Tenaga Kesehatan, standar prosedur
operasional, kode etik profesi dan kode etik Rumah Sakit.
(5) Pelayanan kesehatan yang antidiskriminasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diwujudkan dengan tidak membedakan pelayanan kepada
Pasien dalam memberikan pelayanan kesehatan, baik menurut ras,
agama, suku, gender, kemampuan ekonomi, orang dengan kebutuhan
khusus (difable), latar belakang sosial politik dan antar golongan.
 Pasal 14
(1) Kewajiban Rumah Sakit melaksanakan sistem rujukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf j dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam melaksanakan sistem rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Rumah Sakit wajib menjadi bagian dari jaringan sistem rujukan
yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah.

7
(3) Upaya rujukan oleh Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara aktif dan berkoordinasi dengan Pasien/keluarga.
(4) Upaya rujukan oleh Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), paling sedikit berupa:
a. Melakukan pertolongan pertama dan/atau tindakan stabilisasi
kondisi Pasien sesuai indikasi medis serta sesuai dengan
kemampuan untuk tujuan keselamatan Pasien selama pelaksanaan
rujukan;
b. Melakukan komunikasi dengan penerima rujukan dan memastikan
bahwa penerima dapat menerima Pasien dalam hal keadaan Pasien
gawat darurat; dan
c. Membuat surat rujukan untuk disampaikan kepada penerima
rujukan.
 Pasal 17
(1) Kewajiban Rumah Sakit untuk menghormati dan melindungi hak Pasien
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf m dilaksanakan
dengan memberlakukan peraturan dan standar Rumah Sakit, melakukan
pelayanan yang berorientasi pada hak dan kepentingan Pasien, serta
melakukan monitoring dan evaluasi penerapannya.
(2) Hak Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang
berlaku di Rumah Sakit;
b. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban Pasien;
c. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa
diskriminasi;
d. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional;
e. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga Pasien
terhindar dari kerugian fisik dan materi;
f. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
g. Memilih dokter, dokter gigi, dan kelas perawatan sesuai dengan
keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
h. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada
dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam
maupun di luar Rumah Sakit;
i. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita
termasuk data medisnya;
j. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan
medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan

8
komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan
yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;
k. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan
dilakukan oleh Tenaga Kesehatan terhadap penyakit yang
dideritanya;
l. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
m. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya
selama hal itu tidak mengganggu Pasien lainnya;
n. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di Rumah Sakit;
o. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit
terhadap dirinya;
p. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan
agama dan kepercayaan yang dianutnya;
q. Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit
diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar
baik secara perdata ataupun pidana; dan
r. Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan
standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk
data medisnya sebagaimana diamksud pada ayat (2) huruf i termasuk
mendapatkan akses terhadap isi rekam medis.
(4) Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan
dilakukan oleh Tenaga Kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf k, termasuk hak untuk
memberikan persetujuan atau menolak menjadi bagian dalam suatu
penelitian kesehatan.
(5) Dalam rangka memenuhi hak Pasien untuk menyampaikan keluhan atau
pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f dan huruf r,
setiap Rumah Sakit wajib menyediakan unit pelayanan pengaduan.
(6) Unit pelayanan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
melakukan pengumpulan informasi, klarifikasi dan penyelesaian
keluhan Pasien atas ketidakpuasan terhadap pelayanan yang diberikan
oleh Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit dan/atau prosedur pelayanan di
Rumah Sakit.
(7) Keluhan atau pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tersebut
harus ditindaklanjuti secara cepat, adil dan objektif.
 Pasal 30

9
(1) Menteri, Pemerintah Daerah provinsi, dan/atau Pemerintah Daerah
kabupaten/kota dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan dapat
mengenakan sanksi administratif terhadap Rumah Sakit yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 25.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
dapat berupa:
a. sanksi administratif ringan;
b. sanksi administratif sedang; dan
c. sanksi administratif berat.
 Pasal 31
(1) Sanksi administratif ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(2) huruf a merupakan tindakan administratif yang diberikan kepada
Rumah Sakit yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 25, dan
berpotensi mengakibatkan terganggunya atau menurunnya kualitas
pelayanan di Rumah Sakit.
(2) Sanksi administratif ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. teguran lisan; dan/atau
b. teguran tertulis.
(3) Sanksi administratif ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberikan oleh kepala dinas kesehatan daerah kabupaten/kota tempat
dimana pelanggaran ditemukan.
(4) Pemberian sanksi teguran Lisan dan/atau teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam rangka pembinaan Rumah
Sakit.
 Pasal 32
(1) Sanksi administratif sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(2) huruf b merupakan tindakan administratif yang diberikan kepada
Rumah Sakit yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 25, yang
secara langsung berakibat pada terganggunya atau menurunnya kualitas
pelayanan di Rumah Sakit.
(2) Sanksi administratif sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
pemberhentian sementara sebagian kegiatan.
(3) Pemberhentian sementara sebagian kegiatan, sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota,

10
Pemerintah Daerah provinsi, dan Menteri yang memberikan izin
operasional Rumah Sakit sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(4) Pemberian sanksi administratif berupa pemberhentian sementara
sebagian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertujuan agar
Rumah Sakit melakukan perbaikan pelayanan dan/atau kegiatannya.
 Pasal 33
(1) Sanksi administratif berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(2) huruf c merupakan tindakan administratif yang diberikan kepada
Rumah Sakit yang memiliki kebijakan bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan mengakibatkan Pasien tidak
mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan standar.
(2) Sanksi administratif berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
denda dan pencabutan izin operasional.
(3) Sanksi denda dan pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah
provinsi, dan Menteri yang memberikan izin operasional Rumah Sakit
sesuai dengan kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
 Pasal 34
Selain kewenangan memberikan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dan Pasal 33 ayat (3), Menteri memiliki
kewenangan memberikan sanksi kepada:
a. Rumah Sakit yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 25, dan berdampak
luas/nasional; dan/atau
b. Rumah Sakit yang tidak melaksanakan program nasional pemerintah
yang bersifat wajib.
2.3 Permenkes No.4 Tahun 2019 Tentang Standar Pelayanan Minimal
 Pasal 2
(1) SPM Kesehatan terdiri atas SPM Kesehatan Daerah Provinsi dan SPM
Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Jenis pelayanan dasar pada SPM Kesehatan Daerah Provinsi terdiri
atas:
a. Pelayanan kesehatan bagi penduduk terdampak krisis kesehatan
akibat bencana dan/atau berpotensi bencana provinsi; dan
b. Pelayanan kesehatan bagi penduduk pada kondisi kejadian luar biasa
provinsi.
(3) Jenis pelayanan dasar pada SPM Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota
terdiri atas:

11
a. Pelayanan kesehatan ibu hamil;
b. Pelayanan kesehatan ibu bersalin;
c. Pelayanan kesehatan bayi baru lahir;
d. Pelayanan kesehatan balita;
e. Pelayanan kesehatan pada usia pendidikan dasar;
f. Pelayanan kesehatan pada usia produktif;
g. Pelayanan kesehatan pada usia lanjut;
h. Pelayanan kesehatan penderita hipertensi;
i. Pelayanan kesehatan penderita diabetes melitus;
j. Pelayanan kesehatan orang dengan gangguan jiwa berat;
k. Pelayanan kesehatan orang terduga tuberkulosis; dan
l. Pelayanan kesehatan orang dengan risiko terinfeksi virus yang
melemahkan daya tahan tubuh manusia (Human Immunodeficiency
Virus).
yang bersifat peningkatan/promotif dan pencegahan/ preventif.
(4) Pelayanan yang bersifat peningkatan/promotif dan
pencegahan/preventif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mencakup:
a. Peningkatan kesehatan;
b. Perlindungan spesifik;
c. Diagnosis dini dan pengobatan tepat;
d. Pencegahan kecacatan; dan
e. Rehabilitasi.
(5) Pelayanan dasar pada SPM Kesehatan dilaksanakan pada fasilitas
pelayanan kesehatan baik milik pemerintah pusat, pemerintah daerah,
maupun swasta.
(6) Pelayanan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan oleh
tenaga kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangan.
(7) Selain oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) untuk
jenis pelayanan dasar tertentu dapat dilakukan oleh kader kesehatan
terlatih di luar fasilitas pelayanan kesehatan di bawah pengawasan
tenaga kesehatan.
2.4 Permenkes No.34 Tahun 2017 Tentang Akreditasi Rumah Sakit
 Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Akreditasi Rumah Sakit yang selanjutnya disebut Akreditasi adalah
pengakuan terhadap mutu pelayanan Rumah Sakit, setelah dilakukan
penilaian bahwa Rumah Sakit telah memenuhi Standar Akreditasi.

12
2. Standar Akreditasi adalah pedoman yang berisi tingkat pencapaian yang
harus dipenuhi oleh rumah sakit dalam meningkatkan mutu pelayanan
dan keselamatan pasien.
3. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna
yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
4. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh
Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang kesehatan.
7. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian
Kesehatan yang bertanggung jawab di bidang pelayanan kesehatan.
 Pasal 3
(1) Setiap Rumah Sakit wajib terakreditasi.
(2) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara
berkala paling sedikit setiap 3 (tiga) tahun.
(3) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Rumah
Sakit paling lama setelah beroperasi 2 (dua) tahun sejak memperoleh
izin operasional untuk pertama kali.
2.5 Akreditasi
Definisi dari kata akreditasi adalah proses penilaian suatu organisasi
berdasarkan standar yang telah ditentukan (Jardali, Jamal, Dimassi, Ammar, &
Tchaghchaghian, 2008). Sedangkan definisi akreditasi rumah sakit adalah
suatu pengakuan yang diberikan oleh pemerintah pada rumah sakit karena telah
memenuhi standar yang disyaratkan. Dalam (Mosadeghrad, Sari, &
Yousefinezhadi, 2017) mengartikan akreditasi rumah sakit sebagai suatu
evaluasi eksternal sistematis dari struktur, proses dan hasil rumah sakit yang
dilakukan oleh seorang professional independen badan akreditasi dengan
menggunakan standar optimal yang ditetapkan sebelumnya.
Akreditasi rumah sakit merupakan salah satu cara pemantauan bagi
pelaksanaan pengukuran indikator kinerja rumah sakit. Dalam (Schmaltz,
Williams, Chassin, Loeb, & Wachter, 2011) telah dibuktikan bahwa rumah
sakit yang terakreditasi memiliki performa pelayanan yang lebih baik daripada
rumah sakit yang tidak terakreditasi. Penelitian lain juga mengatakan hal yang
senada. Dalam (Pomey, Charles, Champagne, Angus, Shabah, &
Contandriopoulos, 2010) menyimpulkan “that the accreditation process is an
effective leitmotiv for the introduction of change but is nonetheless subject to a
learning cycle and a learning curve” yang berarti akreditasi merupakan cara

13
yang efektif untuk mengubah kualitas pelayanan di rumah sakit. Maka dari itu
sesuai buku ”Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit” disebutkan bahwa
rumah sakit diharuskan mempunyai program peningkatan mutu baik internal
maupun eksternal, untuk mengevaluasi seluruh kegiatan yang berkaitan dengan
pelayanan bagi pasien. Program peningkatan mutu internal dapat dilakukan
dengan metode dan teknik yang dipilih dan ditetapkan oleh rumah sakit.
Program peningkatan mutu eksternal dapat dilakukan melalui akreditasi,
sertifikasi ISO dan lain-lain. Jurnal Archive of Oncology, disebutkan bahwa
ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas
dalam perawatan kesehatan diantaranya adalah Total Quality Management,
Six-Sigma, Quality Penghargaan, misalnya: Malcolm Baldrige Award di AS,
Penghargaan Kualitas Eropa, Bisnis Excellence Award di Serbia, dll
(Jovanovic, 2005). Di dalam Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit bagian ketiga pasal 40 disebutkan bahwa dalam upaya
meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit wajib dilakukan akreditasi secara
berkala minimal 3 (tiga) tahun sekali. Program akreditasi rumah sakit di
Indonesia dimulai pada tahun 1996 merupakan pelaksanaan dari Sistem
Kesehatan Nasional (SKN). Pada SKN dijelaskan bahwa akreditasi rumah sakit
adalah penilaian terhadap mutu dan jangkauan pelayanan rumah sakit secara
berkala yang dapat digunakan untuk penetapan kebijakan pengembangan atau
peningkatan mutu.
Tujuan umum akreditasi adalah mendapat gambaran seberapa jauh rumah
sakit-rumah sakit di Indonesia telah memenuhi standar yang telah ditetapkan
sehingga mutu pelayanan rumah sakit dapat dipertanggung jawabkan.
Sedangkan tujuan khususnya meliputi:
(1) Memberikan pengakuan dan penghargaan kepada rumah sakit yang telah
mencapai tingkat pelayanan kesehatan sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan,
(2) Memberikan jaminan kepada petugas rumah sakit bahwa semua fasilitas,
tenaga dan lingkungan yang diperlukan tersedia, sehingga dapat
mendukung upaya penyembuhan dan pengobatan pasien dengan sebaik-
baiknya,
(3) Memberikan jaminan dan kepuasan kepada customers dan masyarakat
bahwa pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit diselenggarakan sebaik
mungkin
Manfaat akreditasi bagi rumah sakit ialah:
(1) Akreditasi menjadi forum komunikasi dan konsultasi antara rumah sakit
dengan lembaga akreditasi yang akan memberikan saran perbaikan untuk
peningkatan mutu pelayanan rumah sakit;
(2) Melalui self evaluation, rumah sakit dapat mengetahui pelayanan yang
berada di bawah standar atau perlu ditingkatkan;
(3) Penting untuk penerimaan tenaga;
(4) Menjadi alat untuk negosiasi dengan perusahaan asuransi kesehatan;
(5) Alat untuk memasarkan (marketing) pada masyarakat.

14
(6) Suatu saat pemerintah akan mensyaratkan akreditasi sebagai kriteria untuk
memberi ijin rumah sakit yang menjadi tempat pendidikan tenaga medis/
keperawatan;
(7) Meningkatkan citra dan kepercayaan pada rumah sakit.
Manfaat akreditasi rumah sakit bagi masyarakat adalah:
(1) Masyarakat dapat memilih rumah sakit yang baik pelayanannya;
(2) Masyarakat akan merasa lebih aman mendapat pelayanan di rumah sakit
yang sudah diakreditasi.
Manfaat akreditasi bagi karyawan rumah sakit ialah:
(1) Merasa aman karena sarana dan prasarana sesuai standar;
(2) Self assessment menambah kesadaran akan pentingnya pemenuhan standar
dan peningkatan mutu.
Manfaat akreditasi bagi pemilik rumah sakit ialah pemilik dapat mengetahui
rumah sakitnya dikelola secara efisien dan efektif. Sesuai dengan surat
keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1165 A tahun 2004
tentang Komisi Akreditasi Rumah Sakit, akreditasi Rumah Sakit di Indonesia
dilakukan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS).
KARS adalah organisasi penyelenggara akreditasi yang bersifat fungsional,
non struktural, independen dan bertanggung jawab kepada Menteri. Tugas
KARS ialah melakukan perencanaan, pelaksanaan, pengembangan dan
pembinaan di bidang akreditasi rumah sakit sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dan perkembangan akreditasi internasional. Dalam melaksanakan
tugasnya, KARS menjalankan fungsi:
(1) Perumusan kebijakan dan tata laksana akreditasi rumah sakit,
(2) Penyusunan rencana strategi akreditasi rumah sakit,
(3) Mengangkat dan memberhentikan tenaga surveyor,
(4) Menetapkan statuta KARS dan dan aturan internal pelaksanaan survei
akreditasi,
(5) Penetapan status akreditasi dan penerbitan sertifikasi akreditasi,
(6) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidang akreditasi dan
mutu layanan rumah sakit,
(7) Pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang akreditasi.
Metode yang digunakan pada program akreditasi ialah sebagai berikut:
(1) Survei pra akreditasi, rumah sakit menilai diri sendiri (self assessment)
setelah menerima kuesioner pra akreditasi,
(2) Survei akreditasi, survei dilakukan oleh surveyor yang ditugaskan oleh
KARS.

15
Survei ini dilakukan di lokasi rumah sakit setelah kuesioner pra akreditasi
dievaluasi oleh KARS. KARS mempunyai surveyor yang bertugas
mengadakan kunjungan lapangan (site visit). Ada tiga kategori surveyor, yaitu:
(1) Surveyor administrasi, melakukan survei terhadap administrasi dan
manajemen, rekam medik, pelayanan farmasi dan K3 (Keselamatan dan
Kesehatan Kerja),
(2) Surveyor medik, melakukan survei terhadap pelayanan medis,
pelayanan gawat darurat, pelayanan radiologi, pelayanan laboratorium
dan pelayanan kamar operasi,
(3) Surveyor keperawatan, melakukan survei pada pelayanan keperawatan,
pengendalian infeksi nosokomial dan pelayanan perinatal risiko tinggi.
Status akreditasi ditetapkan oleh Direktur Jendral Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan atas usulan dari KARS. Ada empat kemungkinan status
akreditasi yaitu:
(1) Tidak terakreditasi, yaitu bila rumah sakit belum mampu memenuhi
standar yang ditetapkan,
(2) Akreditasi bersyarat, yaitu apabila nilai total lebih dari 65 % tapi kurang
dari 75 %, tidak ada nilai di bawah 60 %, dalam waktu satu tahun akan
dinilai lagi,
(3) Akreditasi penuh, yaitu bila nilai total lebih dari 75 %, tidak ada nilai di
bawah 60 %, masa berlaku tiga tahun,
(4) Akreditasi istimewa, untuk 5 tahun masa berlaku, didapat setelah tiga
kali berturutturut mendapat akreditasi penuh. Kegiatan akreditasi adalah
penilaian sendiri (self assessment) yang dilakukan oleh rumah sakit dan
proses penilaian dari luar (external peer review) untuk menilai mutu
layanan dihubungkan dengan standar dan cara penerapannya.
(Kusbaryanto, 2010)
2.6 Standar Pelayanan Minimal
Menurut Permenkes No.129 tahun 2008, Standar Pelayanan Minimal (SPM)
adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan
urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal, tetapi
juga merupakan spesifikasi teknis tentang tolak ukur pelayanan minimum yang
diberikan oleh badan layanan umum kepada masyarakat. Peraturan
Pemerintah/PP No.66/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan
Standar Minimal Pasal 1 Ayat 6 menyebutkan bahwa Standar Pelayanan
Minimal adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang
merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara
minimal. Pada Pasal 1 Ayat 7 menyebutkan indikator SPM adalah tolok ukur
prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan

16
besaran sasaran yang hendak dipenuhi dalam pencapaian suatu SPM tertentu,
berupa masukan, proses, hasil dan/atau manfaat pelayanan. Untuk
memudahkan melaksanakan ketentuan tentang pedoman penyusunan SPM
rumah sakit yang wajib dilaksanakan di daerah, telah ditetapkan Keputusan
Menteri Kesehatan tentang Pedoman Penyusunan SPM Rumah Sakit yang
wajib dilaksanakan di daerah dengan Keputusan Menteri Kesehatan
No.228/Menkes/SK/III/2002.
Untuk memenuhi persayaratan perundangan, Departemenn Kesehatan
Republik Indonesia bersama dengan Asosiasi Rumah Sakit Daerah sedang
menyusun pedoman SPM di rumah sakit, dengan mengacu pada PP
No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan PP No.66/2005.
Standar Pelayanan Minimal di rumah sakit adalah jenis-jenis pelayanan
kesehatan yang wajib ada dan indikator kinerja untuk tiap-tiap jenis pelayanan
tersebut. Jenis-jenis pelayanan yang diwajibkan mengacu pada standar
akreditasi pelayanan rumah sakit tingkat lanjut yang terdiri dari 12 pelayanan,
12 jenis indikator kinerja pelayanan rumah sakit yang selama ini digunakan
dipertimbangkan untuk dijadikan indikator kinerja dalam SPM. Pedoman
tersebut disusun khusus untuk SPM rumah sakit di Indonesia, yang selanjutnya
jika mendapat persetujuan dapat diputuskan sebagai lampiran KepMenKes
tentang SPM Bidang Kesehatan. Organisasi pelayanan kesehatan perlu
melakukan monitoring dan penilaian kinerja sebagai proses yang dilakukan dan
hasil yang dicapai dalam memberikan pelayanan atau menyediakan produk
pada masyarakat. Standar Pelayanan Minimal merupakan indikator penilaian
kinerja minimal yang harus dicapai, dapat digunakan sebagai alat untuk
melakukan monitoring dan penilaian kinerja baik pada unit kerja, maupun
organisasi secara keseluruhan.
Standar Pelayanan Minimal sebagai indikator kinerja harus mempunyai
tujuan yang jelas dan menggantikan intuisi dalam penilaian kinerja dengan
fakta dan menunjukkan akuntabilitas pelayanan. Diharapkan bahwa SPM dapat
menilai apakah pelayanan di rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan
jaminan keamanan/keselamatan pasien, dapat mengenal bahaya potensial yang
dapat berakibat pada keselamatan pasien, memberikan tanda adanya masalah
untuk melakukan perbaikan, menilai apakah proses sesuai standar, menilai
keberhasilan, menilai apakah ada aturan yang dilanggar, menunjukkan adanya
peluang perbaikan, dan menilai dampak dari suatu intervensi perbaikan. Untuk
menilai kinerja antarsarana pelayanan kesehatan yang satu dengan yang lain,
dapat dilakukan uji banding (benchmarking) dengan menggunakan indikator-
indikator yang telah disepakati dari SPM yang ada (Kuntjoro and Djasri, 2007).
Standar pelayanan minimal yang ada di rekam medik ada empat, yaitu
keterisian rekam medis 1 x 24 jam sejak pasien pulang oleh dokter yang
merawat, penyediaan rekam medis rawat jalan dalam waktu ≤10 menit,

17
penyediaan rekam medis rawat inap dalam waktu ≤15 menit dan kelengkapan
keterisian inform consent. Menurut Kepmenkes RI
No.129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, dinyatakan bahwa Standar Pelayanan
Minimal (SPM) respon time untuk penyediaan dokumen rekam medik
pelayanan rawat jalan adalah ≤ 10 menit. Menurut Sabarguna (2008) dokumen
rekam medis mutlak diperlukan ketersediaannya karena merupakan rangkuman
data pasien selama dirawat di rumah sakit, dengan maksud dapat tercatatnya
pelayanan seorang pasien selama dirawat dan diobati di rumah sakit guna
menghasilkan suatu diagnosis, jaminan, pengobatan dan hasil akhir. Rustiyanto
(2009) menyatakan bahwa dokumen rekam medis bermanfaat untuk
melindungi kepentingan hukum pasien maupun instansi pelayanan kesehatan
dalam kasus-kasus gugatan pekerjaan kecelakaan pribadi atau malpraktek.
Menurut Kepmenkes RI No.129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
dinyatakan bahwa Standar Pelayanan Minimal (SPM) respon time untuk
pengisian dokumen rekam medik pelayanan rawat jalan adalah ≤ 24 jam.
Waktu penyelesaian dokumen rekam medik sangat penting, sebagaimana
diungkapkan Abdelhak (2007) bahwa dokumen rekam medis harus
diselesaikan pada waktunya dan berisi data yang cukup untuk
mengidentifikasikan pasien, membenarkan pengobatan dan dengan akurat
mendokumentasikan hasilnya. Sedangkan menurut Hatta (2008), dokumen
rekam medis dinyatakan lengkap keterisiannya bila minimal terisi lengkap
lembar ringkasan masuk keluar, anamnesis, tindakan dan diagnosis, informed
consent, resume medis dan tanda tangan dokter yang merawat. Menurut Mc
Gibony (dalam Rustiyanto, 2009), dokumen rekam medik yang direkam secara
kronologis, lengkap sejak pasien rawat jalan, darurat rawat inap hingga pulang,
maka dapat berguna untuk pendidikan. Menurut Kepmenkes RI
No.129/Menkes/ SK/II/2008 SPM penyediaan dokumen rekam medik rawat
jalan adalah ≤ 10 menit dan SPM pengisian dokumen rekam medik pelayanan
rawat jalan adalah ≤ 24 jam. Hal ini dimaksudkan agar pelayanan kesehatan
lebih berorientasi pada kepuasan pasien. (Sandu Siyoto 1, 2016)
2.7 Standar Prosedur Operasional
Rumah sakit dalam menjalankan fungsinya harus mengutamakan mutu
pelayanan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit (UU RS) Pasal 29 menjelaskan bahwa setiap rumah sakit
mempunyai kewajiban memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu,
anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit(Anonim, 2004). Upaya dalam
mewujudkan mutu pelayanan yaitu, terukur dan dapat dievaluasi
keberhasilannya, maka manajemen rumah sakit perlu memiliki dan
menerapkan prosedur kerja yang standar (KARS, 2012). Standar adalah

18
rumusan tentang penampilan atau nilai diinginkan yang mampu dicapai,
berkaitan dengan parameter yang telah ditetapkan (Salmah, 2016). Standar
internal yang bersifat prosedural inilah yang disebut dengan Prosedur
Operasional Standar atau dalam istilah yang lebih popular Standar Operasional
Prosedur (SOP). Standar Operasional Prosedur adalah dokumen tertulis yang
memuat prosedur kerja secara rinci, tahap demi tahap dan sistematis atau
serangkaian instruksi tertulis yang dibakukan mengenai berbagai proses
penyelenggaraan aktivitas organisasi, bagaimana dan kapan harus dilakukan,
dimana dan oleh siapa dilakukan(Fatimah, 2015). Salah satu upaya yang
dilakukan rumah sakit dalam memberikan pelayanan rawat jalan yang bermutu
harus memiliki SOP alur pelayanan rawat jalan yang baik (Trimurthy, 2008).
Standar Operasional Prosedur adalah serangkaian instruksi tertulis yang
dibakukan mengenai berbagai proses penyelenggaraan administrasi
pemerintahan, bagaimana dan kapan harus dilakukan, dimana dan olehsiapa
dilakukan. Departemen kesehatan Republik Indonesia telah memberlakukan
adanya standar operasional prosedur (SOP) atau prosedur tetap yang meliputi
SOP Profesi, SOP Pelayanan, dan SOP Administrasi. Apabila pelayanan rumah
sakit sudah memberikan pelayanan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
dalam standar, maka pelayanan kesehatan atau keperawatan sudah dapat
dipertanggung jawabkan (Widhori, 2014). Prinsip-prinsip SOP dalam
PERMENPAN PER/21/M-PAN/11/2008 disebutkan bahwa penyusunan SOP
harus memenuhi prinsip-prinsip antara lain: kemudahan dan kejelasan,
prosedurnya harus mudah dimengerti dan mudah diterapkan. Efisiensi dan
efektivitas, prosedurnya harus sederhana dan efektif dalam pelaksanaannya.
Keselarasan, prosedurnya harus selaras dengan standar yang lain. Keterukuran,
prosedurnya bermutu dan dapat diukur. Dimanis, prosedurnya harus cepat
disesuaikan dengan kebutuhan peningkatan kualitas pelayanan yang
berkembang. Berorientasi pada pengguna, prosedurnya harus
mempertimbangkan kebutuhan pengguna supaya dapat memberikan kepuasan
pengguna. Kepatuhan hukum, prosedurnya harus sesuai dengan ketetuan
peraturan yang berlaku. Kepastian hukum, merupakan produk hukum yang
ditaati, dilaksanakan untuk melindungi pelaksana dari tuntutan hukum.
Prinsip-prinsip dalam pelaksanaan SOP antara lain : Konsisten, SOP harus
dilaksanakan secara konsisten dari waktu ke waktu, oleh siapapun, dan dalam
kondisi apapun oleh seluruh jajaran organisasi. Komitmen, SOP harus
dilaksanakan dengan komitmen penuh dari seluruh jajaran organisasi, dari
level yang paling rendah dan tertinggi. Perbaikan berkelanjutan, pelaksanaan
SOP harus terbuka terhadap penyempurnaan-penyempurnaan untuk
memperoleh prosedur yang benar-benar efisien dan efektif. Mengikat, SOP
harus mengikat pelaksana dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
prosedur standar yang telah ditetapkan. Seluruh unsur memiliki peran penting,
seluruh pegawai peran-peran tertentu dalam setiap prosedur yang distandarkan.

19
Jika pegawai tertentu tidak melaksanakan perannya dengan baik, maka akan
mengganggu keseluruhan proses, yang akhirnya juga berdampak pada proses
penyelenggaraan pemerintahan. Terdokumentasi dengan baik, seluruh
prosedur yang telah distandarkan harus didokumentasikan dengan baik,
sehingga dapat selalu dijadikan referensi bagi setiap mereka yang memerlukan
(Anonim, 2012; Fatimah, 2015). Dalam penyusunan SOP, tidak dilakukan
hanya satu kali jadi, tetapi merupakan suatu siklus. Siklus penyusunan SOP
adalah sebagai berikut : persiapan, penilaian kebutuhan, pengembangan,
monitoring dan evaluasi(Anonim, 2012).
Kepatuhan dalam menjalankan SOP dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal. Faktor internal antara lain, sikap, niat, pengetahuan, persepsi.
Sedangkan faktor eksternal meliputi, lingkungan kerja, beban kerja. Sikap
(attitude toward behavioral), perilaku seseorang dipengaruhi oleh banyak
faktor, antara lain sikap, latar belakang individu, stimulus, status pribadi dan
motivasi. Penelitian yang dilakukan oleh Nazvia Loekqijana (2014)
menunjukkan bahwa motivasi dan persepsi mempunyai pengaruh terhadap
kepatuhan dalam menjalankan SOP. Persepsi terhadap Pengendalian
(Perceived Behavioral Control), individu melakukan estimasi atau
kemampuan dirinya apakah memiliki kemampuan atau tidak untuk melakukan
perilaku tersebut. Faktor niat (Intention), niat untuk melakukan perilaku
tertentu merupakan kecenderungan seseorang untuk memilih melakukan atau
tidak melakukan suatu tindakan. Lingkungan kerja mendukung maka
keinginan untuk melaksanakan SOP juga akan kuat dan dengan sendirinya
individu akan termotivasi juga melaksanakan SOP. Adanya pengalaman serta
pengetahuan individu termasuk adanya sosialisasi turut memotivasi niat
petugas melaksanakan SOP.
Adanya ketidakseimbangan pembagian pekerjaan kepada petugas
menyebabkan petugas yang memiliki beban kerja yang tinggi cenderung untuk
mengabaikan dalam pelaksanaan SOP, sedangkan sebaliknya petugas dengan
beban kerja yang rendah menyebabkan petugas tersebut melaksanakan SOP.
Norma Subjektif (Subjective Norm), norma subjektif dibentuk oleh dua
komponen, yaitu keyakinan normatif melaksanakan SOP dan motivasi
melaksanakan SOP. Terdapat tiga aspek yang dinilai dalam hal ini, yaitu:
keinginan diri sendiri, dukungan teman dan dukungan pimpinan. Hal ini berarti
bahwa dalam memutuskan melaksanakan atau tidak melaksanakan SOP,
seorang petugas bisa dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya (significant
others). Lingkungan sosial tersebut berupa dukungan dari teman atau
seseorang yang menjadi preferensi. Tingginya dukungan teman sejawat dalam
melaksanakan SOP menyebabkan disiplin menjalankan SOP, begitupun
sebaliknya tidak adanya dukungan dari teman sejawat dalam melaksanakan
SOP menyebabkan rendahnya keinginan petugas untuk melaksanakan SOP.
(Stiyawan, Mansur and Noor, 2018)

20
21
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kajian Kasus Dengan Materi 1
Apabila kasus di atas dikaji melalui materi pertama yang membahas
tentang asas dan tujuan rumah sakit, maka didapatkan hasil sebagai berikut :
 Di dalam berita dijelaskan bahwa rumah sakit melakukan kelalaian
terhadap ibu yang sedang mengandung. Kelalaian itu bisa dibuktikan
melalui penolakan rumah sakit untuk memberikan pelayanan kesehatan
kepada pasien. Hal tersebut tentu bertentangan dengan asas dan tujuan
rumah sakit yang tercantum dalam UU No 44 Tahun 2009 yang
menyatakan bahwa rumah sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan
didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat,
keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan
dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial. Yang perlu digaris
bawahi adalah kata profesionalitas dan perlindungan serta
keselamatan pasien. Jika dalam UU sudah menyatakan bahwa rumah
sakit harus melayani pasien dengan professional dan mengutamakan
keselamatan pasien lantas masih ada rumah sakit yang melanggar hal
tersebut maka perlu dipertanyakan mengenai kualitas pelayanan yang ada
disana. Seharusnya pihak rumah sakit menyadari bahwa setiap pasien
berhak mendapatkan pelayanan apalagi ketika dirasa kondisi pasien dalam
keadaan darurat. Secara lebih mendetail tentang keselamatan pasien, telah
tercantum dalam pasal 43 yang secara jelas menyatakan rumah sakit
wajib menerapkan standar keselamatan pasien. Menjaga keselamatan
pasien juga merupakan kewajiban rumah sakit yang tercantum dalam pasal
6 Permenkes No 4 Tahun 2018.
 Secara lebih lanjut, pada pasal 27 ayat 3 UU No 44 Tahun 2009 disebutkan
bahwa izin rumah sakit dapat dicabut apabila rumah sakit terbukti
melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Dari
pernyataan tersebut seharusnya sudah bisa membuat rumah sakit patuh
terhadap segala peraturan sehingga rumah sakit selalu memberikan
pelayanan yang terbaik terhadap pasien. Jika nantinya RS Permata Hijau
memang terbukti melakukan kelalaian terhadap pasien maka izin RS
tersebut dapat dicabut.
 Pelanggaran yang dimaksud merujuk pada pelanggaran terhadap hak
pasien dimana hal ini juga diatur dalam UU No 44 Tahun 2009 pasal 32.
Pasal tersebut menyatakan setiap pasien berhak mendapatkan layanan
kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional. Dalam ayat selanjutnya mengatakan bahwa pasien
berhak memperoleh pelayanan yang efektif dan efisien sehingga pasien
terhindar dari kerugian fisik dan materi. Apabila berdasarkan berita, maka
pasien tidak mendapatkan haknya dari rumah sakit permata hijau selain itu

22
akibat kelalaian rumah sakit pasien mengalami kerugian fisik dan materi.
Kerugian fisik dibuktikan dengan meninggalnya bayi yang dikandung
sedangkan kerugian materi bisa dibuktikan melalui biaya yang harus
dikeluarkan untuk bolak balik menuju rumah sakit. Dari penjelasan di atas
maka rumah sakit bisa dikatakan telah melakukan pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan. Selain pencabutan izin, rumah sakit juga
bisa terkena sanksi apabila terbukti melakukan pelanggaran. Hal ini diatur
dalam Permenkes No 4 Tahun 2018 pasal 30 sampai pasal 34. Sanksi yang
dimaksud bisa diberikan dalam skala ringan sampai berat sesuai dengan
pelanggaran yang dilakukan rumah sakit.
 Maka perlu pengawasan dan pembinaan yang ditingkatkan oleh
pemerintah sesuai dengan pasal 54 dalam UU No 44 Tahun 2009 agar
mutu pelayanan yang diberikan rumah sakit kepada masyarakat adalah
mutu yang terbaik sehingga keselamatan pasien tetap terjaga.
 Sebagai bahan pertimbangan rumah sakit agar dapat menjaga mutu dan
kualitas pelayanan, maka rumah sakit wajib membuat unit pelayanan dan
pengaduan. Hal tersebut diatur dalam pasal 17 ayat 5 Permenkes No 4
Tahun 2018. Apabila dikaitkan dengan kasus maka bisa dibilang rumah
sakit tidak mengelola dengan baik mengenai unit pelayanan dan
pengaduan ini karena terbukti masih saja ada pelayanan yang merugikan
pasien. Sehingga, perlu adanya perbaikan dalam pengelolaan unit
pelayanan dan pengaduan di rumah sakit permata hijau. Sebenarnya
dengan menerapkan unit pelayanan dan pengaduan maka banyak dampak
positif yang bisa dirasakan oleh pihak rumah sakit maupun pasien. Kalau
dari segi rumah sakit, maka rumah sakit dapat terhindar dari sanksi akibat
pengaduan pasien. Kalau dari segi pasien, maka mereka akan merasa puas
karena pelayanan yang diberikan sesuai dengan yang diharapkan.
3.2 Kajian Kasus Dengan Materi 3
Apabila kasus di atas dikaji melalui materi ketiga yang membahas
tentang standar pelayanan minimal (SPM) rumah sakit, maka didapatkan hasil
sebagai berikut :
 Di dalam berita disebutkan bahwa ibu Namira datang ke rumah sakit
medika permata hijau berdasar rujukan dari puskesmas yang mengatakan
ketika cek kehamilan, protein ibu Namira positif ++. Hal tersebut
menandakan bahwa ibu Namira sedang mengalami proteinuria. Dalam
jurnal e-Biomedik (Pangulimang, Kaligis, & Paruntu, 2018) dijelaskan
bahwa proteinuria adalah terdapatnya protein dalam urin yang jumlahnya
melebihi 150 mg/24 jam. Proteinuria dapat ditemukan dalam keadaan
fisiologis yang jumlahnya kurang dari 200 mg/hari dan bersifat sementara,
misalnya pada keadaan demam tinggi, gagal jantung, aktifitas fisik berat,
pasien dalam keadaan tranfusi darah, dan pasien yang kedinginan.
Penyebab proteinuria ialah: 1) terjadi perubahan permeabilitas glomerulus

23
dan meningkatnya filtrasi protein plasma yang normal terlebih khusus
albumin; 2) tubuli gagal mengabsorbsi beberapa jenis protein yang normal
dapat difiltrasi; 3) tidak normalnya filtrasi glomerulus dan low molecular
weight protein (LMWP) dengan jumlah melebihi kapasitas reabsorbsi
tubuli; dan 4) meningkatnya sekresi makulo protein uroepitel dan sekresi
IgA. Pada ibu hamil, proteinuria merupakan salah satu kriteria diagnosis
preeklamsia dan eklamsia. Dalam (Saraswati & Mardiana, 2016)
Preeklampsia adalah hipertensi pada kehamilan yang ditandai dengan
tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah umur kehamilan 20 minggu,
disertai dengan proteinuria ≥ 300 mg/24 jam. Pada kondisi berat
preeklampsia dapat menjadi eklampsia dengan penambahan gejala kejang-
kejang. Preeklampsia merupakan penyebab ke-2 kematian ibu di dunia
setelah pendarahan. Dalam (Ghulmiyyah & Sibai, 2012) menyatakan
bahwa “preeclampsia/eclampsia is one of the 3 leading causes of maternal
morbidity and mortality worldwide” yang berarti preeklampsia /
eklampsia adalah salah satu dari 3 penyebab utama morbiditas dan
mortalitas ibu di seluruh dunia. Jurnal of Pregnancy (Backes, Markham,
Moorehead, Cordero, Nankervis, & Giannone, 2011) juga mengatakan
bahwa preeklampsia merupakan penyebab mortalitas bayi dan ibu
mengalami peningkatan. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa
keadaan preeklampsia merupakan keadaan gawat darurat yang harus
segera di tangani. Hal ini didukung oleh penelitian (Diflayzer, S.A, &
Nofita, 2017) yang menyimpulkan kejadian faktor risiko terbanyak untuk
ada gawat darurat obstetri (AGDO) adalah preeklampsia berat/eklampsia.
Penelitian diatas juga serupa dengan pernyataan dari (Roberts & Gammill,
2005) yang mengatakan “preeclampsia is a pregnancy complication with
serious consequences for mother and infant” yang berarti preeklampsia
adalah komplikasi kehamilan dengan konsekuensi serius bagi ibu dan bayi.
Data tambahan mengenai bahaya preeklampsia pada ibu hamil dinyatakan
berdasarkan National Institute for Health and Clinical Excellence (2010).
Mereka mengatakan gangguan hipertensi pada kehamilan membawa
dampak bagi bayi. Di Inggris dilaporkan kematian perinatal yaitu 1 dari 20
kelahiran bayi mengalami bayi lahir mati tanpa kelainan kongenital yang
terjadi pada wanita dengan preeklampsia. Kelahiran prematur juga terjadi
pada ibu hamil dengan preeklampsia yaitu 1 dari 250 wanita pada
kehamilan pertama mereka akan melahirkan sebelum 34 minggu, dan 14-
19 % pada wanita dengan preeklampsia mengalami bayi berat lahir rendah
(BBLR) (Saraswati & Mardiana, 2016). Maka sudah jelas bahwa
preeklampsia merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera
ditangani.
 Dari dasar teori di atas, maka bisa dikatakan RS Medika Permata Hijau
tidak melakukan pelayanan gawat darurat sesuai dengan SPM yang

24
berlaku. Dalam Kepmenkes No 129 Tahun 2008 disebutkan bahwa standar
pelayanan dalam menangani life saving anak dan dewasa harus 100%
sedangkan RS Medika Permata Hijau tidak melakukan hal tersebut
sehingga menyebabkan bayi yang ada dalam kandungan Ibu Nirmala
meninggal dunia.
 Selain itu, dalam peraturan SPM gawat darurat sesuai Kepmenkes No 129
Tahun 2008, waktu tanggap pelayanan dokter tidak boleh lebih dari 5
menit setelah pasien datang tetapi nyatanya RS Medika Permata Hijau
melayani Ibu Nirmala pada pukul 8.30 malam sedangkan Ibu Nirmala
datang pada pukul 9 pagi. Sudah terlihat kesalahan yang dilakukan oleh
pihak rumah sakit kepada pasien. Dalam (Diflayzer, S.A, & Nofita, 2017)
disebutkan bahwa ada empat faktor terlambat yang mempengaruhi
kematian maternal. Faktor tersebut adalah terlambat mendeteksi tanda
bahaya, terlambat mengambil keputusan merujuk, terlambat sampai di
tempat rujukan, dan terlambat mendapatkan pertolongan di tempat
rujukan. Sesuai dengan pernyataan tersebut maka RS Medika Permata
Hijau melakukan keterlambatan dalam memberi pertolongan pada pasien
sehingga menyebabkan kematian maternal pada bayi Ibu Nirmala.
 Kelalaian yang dilakukan RS Medika Permata Hijau bisa di perbaiki
dengan cara meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan melalui pelatihan
dan meningkatkan prosedur dalam menghadapi situasi emergensi
(Diflayzer, S.A, & Nofita, 2017). Sehingga kedepannya tidak ada lagi
kematian maternal yang menimpa ibu hamil lainnya.
3.3 Kajian Kasus Dengan Materi 4
Apabila kasus di atas dikaji melalui materi ke empat yang membahas
tentang standar prosedur operasional (SPO) atau SOP rumah sakit, maka
didapatkan hasil sebagai berikut :
 Di dalam berita menyatakan bahwa ada unsur kelalaian yang dilakukan
oleh pihak RS Medika Permata Hijau terhadap pasien Ibu Namira,
sehingga kuasa hukum pasien mempertanyakan apakah SOP RS telah
dilaksanakan atau belum.
 Dalam Permenkes No 512 Tahun 2007, SOP dapat diartikan sebagai suatu
perangkat instruksi / langkah-langkah yang dibakukan untuk
menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu, dimana standar prosedur
operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan
konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi
pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan
standar profesi.
 Dari pengertian di atas, apabila pihak rumah sakit telah melakukan
pelayanan sesuai dengan SOP seharusnya tidak ada penolakan yang
dilakukan terhadap pasien rujukan yang datang. Pendapat ini sesuai
dengan pernyataan yang ada di dalam (Ayuandira, Sakka, & Jumakil,

25
2018). Apabila terdapat pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain maka
petugas kesehatan seharusnya bisa langsung memberikan pelayanan sesuai
dengan SOP yang ditetapkan bukan menolak pasien dan menyuruhnya
untuk datang kembali. Bisa dikatakan petugas kesehatan di rumah sakit
tersebut tidak mematuhi SOP yang berlaku. Kepatuhan adalah sejauh
mana perilaku seorang pekerja sesuai dengan ketentuan yang diberikan
oleh atasannya. Kepatuhan merupakan salah satu bentuk perilaku yang
dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu predisposing factors, enabling factors, dan
reinforcing factors. Pada dasarnya perilaku tidak patuh terhadap SOP atau
operasi, seperti menjalankan mesin atau peralatan tanpa wewenang,
mengabaikan peringatan, kesalahan, peralatan yang digunakan tidak
sesuai, tidak menggunakan APD atau dengan kata lain tidak mengikuti
SOP yang benar (Ayuandira, Sakka, & Jumakil, 2018). Sebagai contoh
SOP rujukan yang ada di RS Bhayangkara yang diambil melalui jurnal
ilmiah mahasiswa kesehatan masyarakat adalah sebagai berikut : 1.
Petugas melakukan assessment awal 2. Petugas melakukan pemeriksaan
sesuai kebutuhan 3. Petugas membaca lembar rujuk balik yang dibawa
oleh pasien 4. Petugas membuat rencana asuhan dan memberi terapi sesuai
dengan rekomendasi dari sarana kesehatan rujukan yang merujuk balik. 5.
Petugas memasukkan umpan balik rujukan kedalam berkas rekam medic
6. Petugas mendokumentasikan kegiatan. Jika memang petugas kesehatan
di RS Medika Permata Hijau telah melaksanakan SOP maka seharusnya
ketika Ibu Nirmala datang maka dilakukan assessment awal untuk
mengetahui seberapa darurat keadaan beliau.
 Kenyataannya, petugas menolak melakukan pelayanan maka bisa
dikatakan petugas kesehatan tidak patuh terhadap SOP rujukan yang telah
ditetapkan sehingga menyebabkan kerugian terhadap pasien yakni
meninggalnya anak di dalam kandungan. Apabila terbukti melakukan
kelalaian terhadap SOP maka pihak rumah sakit bisa dikenakan sanksi
maupun denda sesuai dengan kesalahannya.
 Dalam (Fitrirachmawati, 2017) terdapat beberapa saran yang bisa
dilakukan untuk memperbaiki kepatuhan tenaga kesehatan terhadap SOP
yang berlaku di rumah sakit yakni dengan melakukan monitoring mutu
pelayanan yang dilakukan komite mutu rumah sakit dengan melakukan
audit kepatuhan staf terhadap pelaksanaan SOP dan kepala rumah sakit
bisa memberikan motivasi kepada setiap pegawai yang ada di rumah sakit
agar mereka bisa mematuhi SOP yang ada untuk meningkatkan
keselematan pasien.
3.4 Kajian Kasus Dengan Materi 6
Apabila kasus di atas dikaji melalui materi ke enam yang membahas
tentang akreditasi rumah sakit, maka didapatkan hasil sebagai berikut :

26
 Ketika dicari akreditasi RS Medika Permata Hijau di web KARS (badan
independen yang menyelenggarakan akreditasi bagi rumah sakit) tidak
tercantum akreditasi RS Medika Permata Hijau sehingga bisa dikatakan
bahwa rumah sakit tersebut belum melakukan proses akreditasi. Hal ini
dibuktikan dengan hasil screenshot pencarian yang telah dilakukan
kelompok kami :
 Jika memang benar RS Medika Permata Hijau belum melakukan proses
akreditasi maka benar saja apabila banyak kekurangan yang dilakukan

ketika memberikan pelayanan kepada pasien yang datang. Namun apabila


RS Medika Permata Hijau sudah melakukan akreditasi seharusnya
pelayanan yang dilakukan adalah pelayanan yang terbaik karena dengan
diakuinya akreditasi rumah sakit maka mutu pelayanan dalam rumah sakit
tersebut juga sudah diuji kualitasnya. Pernyataan ini sesuai dengan Pasal
1 Permenkes No 34 Tahun 2017 yang menyatakan bahwa akreditasi
Rumah Sakit yang selanjutnya disebut Akreditasi adalah pengakuan
terhadap mutu pelayanan Rumah Sakit, setelah dilakukan penilaian bahwa
Rumah Sakit telah memenuhi Standar Akreditasi. Dalam pasal 2 juga
dijelaskan tujuan dilakukannya akreditasi adalah untuk : a. meningkatkan
mutu pelayanan Rumah Sakit dan melindungi keselamatan pasien Rumah
Sakit; b. meningkatkan perlindungan bagi masyarakat, sumber daya
manusia di Rumah Sakit dan Rumah Sakit sebagai institusi; c. mendukung
program Pemerintah di bidang kesehatan; dan d. meningkatkan
profesionalisme Rumah Sakit Indonesia di mata Internasional. Sehingga
rumah sakit yang sudah terakreditasi memang bisa dipercaya oleh
masyarakat dalam memberikan pelayanan kesehatan.
 Apabila benar RS Medika Permata Hijau belum melakukan akreditasi
maka RS tersebut harus segera melakukan proses akreditasinya karena
dalam pasal 3 Permenkes No 34 Tahun 2017 menyebutkan bahwa setiap
rumah sakit wajib untuk melakukan akreditasi. Agar kejadian yang
menimpa Ibu Namira tidak terulang lagi dan mutu pelayanan di rumah
sakit tersebut terjamin kualitasnya. Pendapat ini juga didukung oleh

27
penelitian yang menyatakan bahwa akreditasi merupakan program yang
harus didukung untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Dalam
(Alkhenizan & Shaw, 2011) telah membuktikan bahwa program akreditasi
umum meningkatkan proses perawatan yang diberikan oleh layanan
kesehatan, program akreditasi umum juga meningkatkan hasil klinis dari
spektrum luas kondisi klinis. Meskipun terkadang setelah akreditasi
banyak rumah sakit yang kualitasnya menurun namun rumah sakit yang
terakreditasi tentu lebih terjamin dari pada rumah sakit yang tidak
terakreditasi. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian (Devkaran &
O'Farrell, 2015), mereka menyimpulkan bahwa selama 4 tahun
pengamatan kinerja rumah sakit sempat menurun setelah melakukan
akreditasi namun karena rumah sakit telah terakreditasi maka rumah sakit
tetap berupaya untuk mempertahankan kualitas kinerjanya.

28
BAB IV
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada


beberapa kesalahan yang dilakukan oleh RS Permata Medika Hijau diantaranya
adalah berkaitan dengan standar pelayanan minimal, standar prosedur operasional
dan akreditasi. Dalam pembahasan diatas juga sudah dicantumkan beberapa solusi
dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh rumah sakit agar kasus di atas tidak
terulang lagi di Indonesia. Diharapkan dengan adanya studi kasus ini dapat
membantu pembaca maupun pihak lain dalam mengevaluasi kualitas pelayanan
yang ada di berbagai rumah sakit Indonesia.

29
DAFTAR PUSTAKA

Ayuandira, F. P., Sakka, A., & Jumakil. (2018). Implementasi Sistem Rujukan di
Rumah Sakit Bhayangkara Kota Kendari. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat , 1-9.

Alkhenizan, A., & Shaw, C. (2011). Impact of Accreditation on the Quality of


Healthcare Services: a Systematic Review of the Literature. Journal
Annals of Saudi Medicine Vol.31 , 407-416.

Backes, C. H., Markham, K., Moorehead, P., Cordero, L., Nankervis, C. A., &
Giannone, P. J. (2011). Maternal Preeclampsia and Neonatal Outcomes.
Journal of Pregnancy , 1-7.

Devkaran, S., & O'Farrell, P. N. (2015). The impact of hospital accreditation on


quality measures: an interrupted time series analysis. BMC Health Services
Research , 1-14.

Diflayzer, S.A, S., & Nofita, E. (2017). Gambaran Faktor Risiko Kegawatdaruratan
Obstetri pada Ibu Bersalin yang Masuk di Bagian Obstetri dan Ginekologi
RSUD Dr. Rasidin Padang Tahun 2014. Jurnal Kesehatan Andalas , 634-
640.

Fitrirachmawati. (2017). Hubungan Fungsi Supervisi dengan Kepatuhan Perawat


Menjalankan SOP Identifikasi Pasien di RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Tahun 2015. Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia , 78-
87.

Ghulmiyyah, L., & Sibai, B. (2012). Maternal Mortality From


Preeclampsia/Eclampsia. Seminars in Perinatology Vol.36 , 56-59.

Jardali, F. E., Jamal, D., Dimassi, H., Ammar, W., & Tchaghchaghian, V. (2008).
The Impact Of Hospital Accreditation On Quality Of Care: Perception Of
Lebanese Nurses. International Journal for Quality in Health Care,
Volume 20, Number 5 , 363-371.

30
Jovanovic, B. (2005). Hospital accreditation as method for assessing quality in
healthcare. Journal Archive of Oncology , 156-157.

Kuntjoro, T. and Djasri, H. (2007) ‘Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit


Sebagai Persyaratan Badan Layanan Umum dan Sarana Peningkatan
Kinerja’, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan.

Kusbaryanto (2010) ‘Peningkatan Mutu Rumah Sakit dengan Akreditasi’, Mutiara


Medika.

Menteri Kesehatan.(2007).Peraturan Menteri Kesehatan No.512 Tahun 2007 Yang


Mengatur Tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik
Kedokteran.Jakarta:Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan.
Menteri Kesehatan.(2008).Keputusan Menteri Kesehatan No.129 Tahun 2008 Yang
Mengatur Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah
Sakit.Jakarta:Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan.
Menteri Kesehatan.(2017).Peraturan Menteri Kesehatan No.34 Tahun 2017 Yang
Mengatur Tentang Akreditasi Rumah Sakit.Berita Negara RI Tahun 2017
Nomor 1023.Jakarta: Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan.
Menteri Kesehatan.(2018).Peraturan Menteri Kesehatan No.4 Tahun 2018 Yang
Mengatur Tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien.Berita
Negara RI Tahun 2018 Nomor 416.Jakarta:Sekretariat Jenderal
Kementerian Kesehatan.

Mosadeghrad, A. M., Sari, A. A., & Yousefinezhadi, T. (2017). Evaluation Of


Hospital Accreditaion Method. Tehran University Medical Journal ; Vol.
75, No. 4 , 288-298.

Pangulimang, A. P., Kaligis, S. H., & Paruntu, M. E. (2018). Gambaran Kadar


Protein Urin pada Ibu Hamil Trimester III di Rumah Sakit Robert Wolter
Mongisidi Manado. Jurnal e-Biomedik Volume 6 No 2 , 184-188.

Pemerintah Indonesia.(2009).Undang- Undang No.44 Tahun 2009 Yang Mengatur


Tentang Rumah Sakit.Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor
153.Jakarta:Sekretariat Negara.

31
Pomey, M. P., Charles, L. L., Champagne, F., Angus, D., Shabah, A., &
Contandriopoulos, A. P. (2010). Does accreditation stimulate change? A
study of the impact of the accreditation process on Canadian healthcare
organizations. Biomed Central , 1-14.

Roberts, J. M., & Gammill, H. S. (2005). Preeclampsia: Recent Insights. American


Heart Association Journals , 1243-1249.

Sandu Siyoto 1, F. A. P. 2 (2016) ‘ANALISIS IMPLEMENTASI STANDAR


PELAYANAN MINIMAL REKAM MEDIK DENGAN KEPUASAN
PASIEN DI POLI KANDUNGAN RSIA PURI GALERI BERSALIN
KOTA MALANG’, jurnal care.

Saraswati, N., & Mardiana. (2016). Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Preeklampsia Pada Ibu Hamil (Studi Kasus di RSUD Kabupaten
Brebes Tahun 2014). Unnes Jurnal Of Public Health , 90-99.

Schmaltz, S. P., Williams, S. C., Chassin, M. R., Loeb, J. M., & Wachter, R. M.
(2011). Hospital Performance Trends on National Quality Measures and
theAssociation With Joint Commission Accreditation. Journal Of Hospital
Medicine Vol.6 No.8 , 454-461.

Stiyawan, H., Mansur, M. and Noor, V. M. M. (2018) ‘Dampak Tidak Patuh


Terhadap Pelaksanaan SOP Alur Rawat Jalan di Rumah Sakit “X”
Malang’, Ekspektra : Jurnal Bisnis dan Manajemen. doi:
10.25139/ekt.v2i1.641.

32

Anda mungkin juga menyukai