Anda di halaman 1dari 20

JURNAL

DETERMINAN PERILAKU KESELAMATAN DAN KESEHATAN


KERJA PADA NELAYAN PANCING DI KELURAHAN ELA-ELA
KECAMATAN UJUNG BULU KABUPATEN BULUKUMBA

Oleh :
M. HARIS
NIM. 70200113077

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2018

Contact Person :
M. Haris
muharis420@gmail.com / 085343757233
DETERMINAN PERILAKU KESELAMATAN DAN KESEHATAN
KERJA PADA NELAYAN PANCING DI KELURAHAN ELA-ELA
KECAMATAN UJUNG BULU KABUPATEN BULUKUMBA

1M. Haris, 2Fatmawaty Mallapiang, 3Dwi Santy Damayati


1,2
Bagian Keselamatan dan Kesehatan Kerja Jurusan Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar
3
Bagian Gizi Jurusan Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar
muharis420@gmail.com

ABSTRAK

Komite Nasional Keselamatan Transportasi mencatat 90% kecelakaan laut


yang terjadi di Indonesia disebabkan faktor manusia, khususnya faktor perilaku
manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan determinan perilaku
Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada nelayan pancing di Kelurahan Ela-Ela
Kecamatan Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi serta penentuan
informan menggunakan purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dari aspek pengetahuan mengenai perilaku Keselamatan dan Kesehatan Kerja,
nelayan pancing masih mengandalkan pengetahuan lokal seperti melakukan
pengamatan benda-benda angkasa dan tanda-tanda alam sebelum melaut,
membawa jerigen sebagai alternatif pelampung, menggunakan celana panjang, baju
lengan panjang, dan topi saraung sebagai Alat Pelindung Diri serta berniat melaut
dalam keadaan selamat sebelum keluar rumah. Adapun program penyuluhan dan
pemeriksaan kesehatan oleh Penyuluh Kesehatan Kerja disikapi secara positif,
asalkan informasi pelaksanaannya tersosialisasikan. Selain itu sikap Sipakatau,
Sipakalebbi, Sipakainge membentuk kesadaran nelayan pancing untuk tolong-
menolong terutama saat terjadi kecelakaan kerja. Sedangkan dari aspek tindakan,
nelayan pancing mempercayai penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
dengan tidak melanggar budaya-budaya pamali melaut, seperti pantang melaut bila
seseorang mempertanyakan “mau kemana?” saat sebelum melaut, pantang berkata
“tidak ada” saat tidak membawa alat keselamatan cukup menggantinya dengan
kata “masempo”. Selain itu melaksanakan beberapa ritual, seperti memberikan
terlebih dahulu sebagian makanan yang kita bawa ke penghuni laut, serta
melaksanakan Cera’ Turungeng sebagai proses mengingat kembali penghuni laut
setempat. Saat cuaca buruk, nelayan pancing juga ma’tinja-tinja untuk meminta
keselamatan dari Allah swt. Oleh karena itu diperlukan penyuluhan rutin dan proses
internalisasi budaya lokal setempat dengan keilmuan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja untuk mewujudkan perilaku kerja yang selamat dan sehat.

Kata kunci : Perilaku Keselamatan dan Kesehatan Kerja, nelayan pancing, budaya
THE DETERMINANT OF WORK SAFETY AND HEALTH BEHAVIOR
ON FISHING FISHERMEN AT ELA-ELA SUB-DISTRICT OF UJUNG
BULU DISTRICT OF BULUKUMBA REGENCY
1M. Haris, 2Fatmawaty Mallapiang, 3Dwi Santy Damayati
1,2
Division of Work Safety and Health of Public Health Department
Faculty of Medical and Health Sciences of UIN Alauddin Makassar
3
Nutrient Division of Public Health Department
Faculty of Medical and Health Sciences of UIN Alauddin Makassar
muharis420@gmail.com
ABSTRACT
The Transportation Safety National Committee recorded 90% of marine
accidents occuring in Indonesia due to human factors, particulary human behavior
factors. The study is aimed at describing the determinant of Work Safety and Health
behavior on the fishing fishermen at Ela-Ela Sub-District of Ujung Bulu District of
Bulukumba Regency. The study is qualitative descriptive research with a
phenomenological approach and informant determination using purposive
sampling. The results of the study reveal that from the knowledge aspect of Work
Safety and Health behavior, the fishing fishermen still rely on local knowledge such
as observing celestial bodies and natural signs before going to sea, carrying jerry
cans as an alternative bouy, using trousers, long sleeves, and saraung hat as a
protective device and intend to go to sea safely before leaving the house. The health
counseling and inspection program by the Work Health Counselor is positively
responded, as long as the implementation information is socialized. Besides, the
attitude of Sipakatau,Sipakalebbi, Sipakainge provided an awareness of fishing
fishermen for mutual help particularly when the work accidents. While from the
aspect of action, the fishermen believe that the application of Work Safety and
Health does not violate the pamali culture of the sea, such as abstinence when
someone asks “where to go?” Before going to sea, never say “no” when not bringing
safety equipment, simply replace it with the word ”masempo”. In addition, carrying
out some rituals, such as giving in advance some of the food we bring to the
inhabitants of the sea, and carrying out Cera’ Turungeng as a process of recalling
local marine inhabitants. When the weather is bad, fishing fishermen are also
ma’tinja-tinja to ask for salvation from Allah swt. Therefore routine counseling is
required and the internalization of local culture process with the knowledge of
Work Safety and Health to realize a safe and healthy work behavior.

Keywords : Work Safety and Health Behavior, fishing fishermen, culture


PENDAHULUAN

Nelayan ditempatkan sebagai salah satu pekerjaan paling berbahaya dengan


tingkat kematian 117 orang per 100.000 pekerja. Pekerjaan pada kapal penangkap
ikan merupakan pekerjaan yang tergolong membahayakan dibanding pekerjaan
lain, maka profesi nelayan memiliki karakteristik pekerjaan yang membahayakan,
kotor dan sulit (Food and Agricultural Organization, 2000).
Menurut International Maritime Organization (2007) terjadinya kecelakaan
kerja saat melaut dominan disebabkan faktor manusia dengan persentase 43,06%,
faktor alam 33,75% dan faktor teknis 23,35%. Selain itu, dari total kecelakaan kerja
yang terdata, tercatat 7% kecelakaan kerja terjadi pada industri perikanan tangkap.
Sedangkan Komite Nasional Keselamatan Transportasi atau KNKT (2015) menilai,
selama ini 90% kecelakaan laut yang terjadi di Indonesia disebabkan faktor
manusia.
Keselamatan dan kesehatan kerja pada nelayan dipengaruhi oleh beberapa
faktor dalam proses kerja, faktor manusia, dan lingkungan kerja meliputi hazard di
tempat kerja atau kondisi kerja yang kurang sehat (Dharmawirawan & Moedjo,
2012). Secara umum faktor manusia dan secara khusus perilaku manusia adalah
penyebab dominan terjadinya kecelakaan kerja (Nasrullah & Suwandi, 2014).
Penguasaan kompetensi keselamatan dan kesehatan kerja yang rendah,
peralatan keselamatan yang tidak lengkap, cuaca buruk dan kondisi kesehatan juga
merupakan faktor penyebab kecelakaan yang dialami nelayan (Imron, Nurkayah,
& Purwangka, 2017). Sikap yang tidak sesuai tentang higiene sanitasi pada saat
melaut (Kalalo, 2016) serta mengabaikan risiko bekerja seperti tidak menggunakan
alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia menjadi salah satu faktor risiko
terjadinya kecelakaan (Santara, Purwangka, & Iskandar, 2014).
Konsep peningkatan perilaku selamat dan sehat bagi nelayan, dapat
dipengaruhi dari tiga faktor yaitu faktor dasar (predisposing factor), faktor
pendukung (enabling factor) serta faktor penguat (reinforcing factor) (Lawrence
Green, 2000). Perilaku tersebut kemudian dapat diamati dalam 3 domain yaitu
pengetahuan, sikap dan tindakan (Notoatmodjo, 2007). Faktor sosial budaya yang
melekat pada nelayan juga menjadi salah satu pembentuk perilaku kerja dengan
masih adanya anggapan bahwa kecelakaan kerja disebabkan karena nasib sial
sehingga tidak perlu dilakukan pencegahan.
Dari uraian di atas, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut tentang faktor
determinan perilaku terhadap keselamatan dan kesehatan kerja pada nelayan di
Kelurahan Ela-Ela, Kecamatan Ujung Bulu, Kabupaten Bulukumba.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian pada penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif


dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Penentuan informan yaitu
menggunakan metode purposive sampling. Informan tersebut diantaranya informan
kunci 2 orang, 7 orang informan biasa, dan 3 informan tambahan. Teknik
pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara, observasi dan Focus
Group Discussion (FGD). Pedoman wawancara dan focus group discussion (FGD)
merupakan instrumen utama dalam penelitian ini.

HASIL PENELITIAN
Karakteristik Informan
Berdasarkan karakteristik, informan terdiri dari 8 orang nelayan, 2 orang tim
penyuluh kesehatan kerja, 1 orang aparatur kelurahan serta 1 orang tokoh adat.
Semua informan berjenis kelamin laki-laki dengan variasi umur mulai dari 30 tahun
sampai dengan 67 tahun.
Pengetahuan Mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Pengetahuan nelayan pancing mengenai konsep keselamatan dan kesehatan
kerja kurang memahami secara teknis penerapan K3. Informan hanya mengartikan
bahwa konsep keselamatan adalah ketika mereka hendak melaut dalam keadaan
selamat dan sehat serta pulang dari melaut juga tetap dalam keadaan selamat dan
sehat.
“Kalau keselamatan tidak terlalu diperhatikan. Apalagi tidak sering terjadi
kecelakaan sehingga sudah menjadi hal biasa. Kalau terjadi cuaca buruk
kita segera pulang”.
( FL, Nelayan, 31 Tahun )
Untuk menjamin keselamatannya, informan menggunakan benda seperti
jerigen sebagai alternatif. Hal tersebut dilatarbelakangi karena fungsinya yang
dapat mengapung. Selain itu, hal tersebut juga didasari dari pengalaman yang
dialami nelayan saat mengalami kecelakaan.
“Bagi kita jerigen itu selain sebagai tempat penyimpanan bahan bakar, juga
dapat mengapung di air sehingga bisa digunakan untuk berpegangan ketika
perahu terbalik”.
( MS, Nelayan, 50 Tahun )
Sedangkan menurut petugas kesehatan kerja, terkait penerapan konsep K3 di
sektor informal, khususnya bagi nelayan, implementasinya dilakukan dalam upaya
pembentukan Pos Unit Kesehatan Kerja (UKK). Pembentukan Pos UKK ini
dilatarbelakangi dari konsep pemberdayaan K3 dengan memberdayakan kelompok
nelayan sebagai kadernya dengan pihak dinas sebagai fasilitatornya.
“Program pos UKK ini adalah upaya pemberdayaan kepada nelayan agar
berperilaku aman saat bekerja. Kadernya adalah nelayan, dilakukan
penyuluhan sekali sebulan begitupun dengan pemeriksaan kesehatan”.
( BAN, Penyuluh Kesehatan Kerja, 33 Tahun )
Dari hasil wawancara diperoleh hasil bahwa informan kurang memperhatikan
kelengkapan dari alat keselamatan dan pelindung diri mereka ketika melaut. Semua
informan mengatakan bahwa pelampung dianggap tidak terlalu penting untuk
digunakan. Anggapan yang mengatakan bahwa menggunakan pelampung
memberikan kesan terlalu takut tenggelam dipicu karena adanya budaya pamali.
“Ada pemahaman bahwa dalam keadaan selamat baru kita keluar dari
rumah. Ibaratnya ketika kita mendapat rezeki baru kita pergi mencari. Kalau
pakai pelampung kayak ragu-ragu sekali padahal kan semua kembali kepada
takdir Allah swt”.
( Ra, Nelayan, 50 Tahun )
Untuk penggunaan Alat Pelindung Diri, informan menyatakan bahwa ada
beberapa yang digunakan sebagai kelengkapan ketika pergi melaut. Namun tidak
semua anjuran penggunaan Alat Pelindung Diri tersebut digunakan, hanya yang
dianggap memberikan manfaat yang besar ketika pergi melaut.
“Kalau celana yang celana panjang training. Baju itu lengang panjang.
Topinya yang lebar itu. Sepatu tidak digunakan, begitupun dengan sarung
tangan”.
( FL, Nelayan, 31 Tahun )
Informan menyadari dari pengalaman mereka bahwa Alat Pelindung Diri
memang bermanfaat karena dapat membantu mereka untuk mengurangi risiko
keterpaparan sinar matahari secara langsung dalam jangka waktu yang lama.
“Pakai jaket yang ada penutup kepalanya. Biasa juga sarung supaya
menutupi diri dari panas matahari. Pakai topi saraung yang berbentuk
segitiga untuk melindungi wajah”.
( O, Nelayan, 32 Tahun )
Nelayan panicng menuturkan beberapa cara yang mereka lakukan seperti
melalui pengamatan benda-benda angkasa dan tanda-tanda alam. Nelayan pancing
menambahkan bahwa pengetahuan lokal nelayan setempat mengenai pengamatan
benda dilakukan dalam beberapa tahapan.
“Awan gelap ini dikenal dengan istilah ampas. Logikanya, angin harus
meniup awan hingga cerah. Jadi jika di timur sudah terlihat cerah berarti
angin kurang kencang walau musim timur tetap ada. Awan tidak lagi berdiri
tetapi dibanting/miring karena angin sudah dekat dan meniup awan hingga
miring.
( MS, Nelayan, 50 Tahun )
Khusus untuk tanda-tanda alam sekitar, informan juga melihat bagaimana
kondisi gelombang laut yang terjadi di pinggir pantai. Nelayan pancing
menambahkan kemunculan gelombang ini didahului dengan munculnya beberapa
tanda yang dapat diamati.
“Gelombang ini berbahaya dan bisa mencapai 3-4 meter. Sebelum
gelombang ini muncul biasanya ada banyak kumpulan awan di sebelah barat.
Jika awan ada di sebelah timur tandanya kondisi di laut lebih tenang.
Gelombang guling biasanya disertai gelombang sembilan yang berbahaya”.
( S, Nelayan, 50 Tahun )
Terkait kondisi cuaca yang tidak menentu, petugas kesehatan kerja sering
memberikan himbauan kepada nelayan untuk tidak melaut saat cuaca tidak
mendukung namun kurang mendapat tanggapan.
“Ketika mereka tidak melaut mereka mau makan apa. Mereka juga meyakini
dengan tekad dan niatan yang teguh insya Allah kondisi cuaca itu masih bisa
dilewati”.
( BAN, Penyuluh Kesehatan Kerja, 33 Tahun )
Sikap Tentang Perilaku Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pada dasarnya informan menyikapi secara positif ketika nantinya diberikan
sosialisasi dan regulasi dalam penerapan K3 sebelum melaut. Namun menurut
nelayan pancing, sangat jarang dilaksanakan penyuluhan. Bahkan terkadang
informasi tentang pelaksanaan penyuluhan mengenai K3 tidak diketahui oleh
seluruh nelayan.
“Iya ada penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan dari puskesmas. Namun
tidak menentu jadwalnya. Penyebaran informasinya yang tidak merata
biasanya”.
( S, Nelayan, 50 Tahun )
Sedangkan saat dikonfirmasi mengenai sikap mereka terhadap program
pemeriksaan kesehatan, mereka mengatakan sangat mendukung program tersebut.
Namun menurut nelayan pancing, ketika ada pelarangan melaut setelah melihat
hasil pemeriksaan, maka nelayan pancing mengatakan hal itu sifatnya masih relatif.
“Ingin sekali istirahat sebenarnya tapi karena kebutuhan di rumah dimana
kita mau memperoleh. Tidak terlalu mendukung kalau saya, dikembalikan
saja kepada diri sendiri”.
( S, Nelayan, 50 Tahun )
Informan juga mengatakan bahwa selain karena faktor keberanian dan
ekonomi, sikap untuk tetap melaut dipicu karena keyakinan nelayan bahwa laut
telah menjadi ekosistem yang kita jaga bersama dan telah menyatu dengan
kehidupan nelayan pancing.
“Karena keseharian kita pergi melaut maka kita berpemahaman bahwa laut
sudah mengenal kita. Istilahnya kita sudah menyatu dengan laut jadi kita
tidak terlalu khawatir”.
( O, Nelayan, 32 Tahun )
Sikap informan sangat positif dalam merespon anjuran penggunaan Alat
Keselamatan dan Pelindung Diri pada saat melaut karena mereka juga turut sadar
bahwa bekerja di laut memiliki tingkat risiko yang sangat tinggi. Namun informan
beranggapan itu sudah menjadi konsekuensi dalam melaut.
“Hal tersebut tidak menjadi perhatian. Karena ketika tenggelam banyak
nelayan lain di sekitar kita dan perahu juga bisa digunakan untuk berpegang
ketika tenggelam”.
( S, Nelayan, 50 Tahun )
Selain itu daya beli masyarakat yang rendah akibat faktor ekonomi juga
menjadi faktor penghalang. Seperti kita ketahui bersama bahwa nelayan adalah
pekerjaan dengan pendapatan yang tidak menetap sehingga menjadikan nelayan
menomorduakan perihal Alat Keselamatan.
“Kita mengetahui hal itu sangat berbahaya, tapi susah bagi kita untuk bisa
membeli kasian”.
( Ra, Nelayan, 58 Tahun )
Terkait untuk peranan pemerintah dalam membantu ketersediaan pelampung,
juga selama ini belum dapat berkontribusi secara masif. Hal ini dipengaruhi karena
jumlah bantuan yang minim dan anggaran yang terbatas.
“Selalu dimasukkan dalam anggaran pembelian APD untuk Pos UKK tapi
bantuannya memang terbatas. Kadang hanya 15 jadi kita kasi satu sampel
pelampung di setiap pos UKK. Makanya dilakukan penilaian keaktifan
kegiatan dari setiap pos UKK.
( BAN, Penyuluh Kesehatan Kerja, 33 Tahun )
Ditambahkan pula bahwa budaya hidup yang memang telah terpatri di
kehidupan masyarakat kelurahan ela-ela secara umum terwujud dalam keseharian
aktivitas nelayan pancing setempat.
“Budaya hidup masyarakat disini terwujud dalam 3 nilai yaitu sipakatau,
sipakalebbi, sipakainge. Filosofi sipakatau, sipakalebbi, sipakainge bahwa
setiap ada sesuatu yang mau dilakukan dia mesti musyawarahkan dulu.
Ketiga budaya hidup ini artinya seakan-akan yang tua tetap kita tuakan
walaupun tingkat pendidikannya agak di bawah”.
( J, Lurah Ela-Ela, 49 Tahun )
Tindakan dalam Mewujudkan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Dari hasil wawancara dan observasi yang dilakukan diperoleh hasil bahwa
ada beberapa tindakan yang dilakukan informan untuk mewujudkan keselamatan
dan kesehatan kerja saat melaut.
“Kalau tindakan supaya selamat dan sehat tentunya berhati-hati ketika
melaut. Cuaca juga harus diperhatikan sebelum melaut”.
( N, Nelayan, 50 Tahun )
Selain itu, informan juga mengatakan bahwa meminta doa keselamatan
kepada Allah swt dan juga restu keluarga ketika melaut serta senantiasa
memperbaiki hubungan dengan sesama nelayan adalah hal yang juga menjadi
perhatian informan.
“Kalau cuaca buruk biasa kita ma’tinja-tinja bilang kalau saya selamat
sampai ke laut atau kalau selamat sampai pulang maka puasaka 3 hari
atauka ma’baca-bacaka kalau selamat”.
( Ra, Nelayan, 50 Tahun )
Bahkan nelayan pancing juga menambahkan bahwa ada tradisi yang dianut
oleh nelayan mengenai perilaku ketika hendak makan di tengah laut. Maka sebelum
makan apapun di tengah laut harus terlebih dahulu halusnya diturunkan di tengah
laut.
“Sebelum kita makan kita berikan dulu halusnya itu, biasanya beberapa butir
nasi ke laut yang diperuntukan untuk penghuni laut. Hal itu dimaksudkan
sebagai budaya berbagi”.
( Ra, Nelayan, 50 Tahun )
Selain itu menurut mereka ada budaya yang dianut nelayan sebelum melaut
untuk memberikan mereka jaminan keselamatan selama dan saat pulang.
“Kalau kita keluar lantas ada yang menanyakan mau kemana padahal kita
sudah membawa perlengkapan memancing, maka kita tidak jadi pergi. Biasa
kita mendapatkan celaka kalau tetap melaut”.
( Ra, Nelayan, 50 Tahun )
Bagi yang berpemahaman, ketika ada yang bertanya seperti itu dianggap
sebagai sebuah pertanda bahwa akan ada bahaya yang diperoleh ketika tetap pergi.
“Mereka tahu diri bahwa mungkin itu sebagai sebuah pertanda larangan
untuk melaut hari itu dari orang lain untuk menyelamatkan kita dari
kecelakaan. Itulah pantangannya”.
( Ra, Nelayan, 50 Tahun )
Ketiadaan pelampung juga tidak boleh direspon oleh nelayan pancing dengan
mengatakan “tidak ada” karena dianggap sebagai sebuah budaya pamali.
“Itu juga kalau ada sesuatu yang tidak dibawa ataupun lupa termasuk juga
pelampung, tidak bisa bilang “tidak ada”, cukup kita bilang “masempo”.
( Ra, Nelayan, 50 Tahun )
Bahkan salah satu tradisi yang masih dilaksanakan nelayan di Kelurahan Ela-
Ela adalah tradisi Cera’ Turungeng.
“Cera’ turungeng adalah budaya yang dilaksanakan sejak dulu. Cera’
artinya darah sedangkan turungeng menandakan tempat perahu para
pemancing. Cera’ turungeng juga menandakan proses mengingat kembali
ingatan-ingatan kepada penghuni laut setempat”.
( SDG, Tokoh Adat, 67 Tahun )
PEMBAHASAN
Pengetahuan
Kalangan nelayan pancing yang menjadi informan penelitian ketika
dilakukan indepth interview belum terlalu memahami mengenai keselamatan dan
kesehatan kerja. Mereka beranggapan bahwa keselamatan dapat ditinjau dari
keadaan mereka sebelum dan setelah melaut tetap dalam keadaan selamat dan sehat.
Hal itu dibuktikan dengan kebingungan informan dalam menjawab perihal
persoalan K3. Padahal menurut (International Maritime Organization, 2007),
kompetensi kerja yang memadai sangat penting dalam menjamin keselamatan dan
kesehatan nelayan saat melaut.

Informan juga menambahkan bahwa selama ini yang menjadi prioritas


nelayan dalam mewujudkan keadaan selamat saat melaut adalah tidak memaksakan
untuk tetap melaut jika cuaca sedang tidak mendukung seperti angin kencang,
ombak besar, dan hujan deras. Begitupun juga ketika informan sementara melaut
dan kondisi cuaca menjadi buruk maka informan memutuskan segera untuk pulang.
Hal itu didasari dari pengalaman kecelakaan kerja yang biasa terjadi seperti
tenggelam. Nelayan kurang memahami mengenai keselamatan kerja di laut dan
prosedur yang ada serta hanya mengandalkan pengetahuan yang minim mengenai
keselamatan (Putra, Purwangka, Iskandar, Psp, & Ipb, 2017)

Pengetahuan informan mengenai penggunaan alat keselamatan dan pelindung


diri berdasarkan hasil indepth interview mengatakan bahwa hal tersebut tidak
terlalu menjadi perhatian bagi nelayan pancing. Ketika melaut, nelayan tidak
menggunakan pelampung sebagai alat keselamatan. Mereka beranggapan bahwa
alat tersebut justru hanya merepotkan. Bagi mereka yang terpenting adalah
menggunakan pakaian lengan panjang, topi, serta celana panjang maka karena lebih
dirasakan manfaatnya. Oleh karenanya dibutuhkan budaya kerja yang sesuai untuk
penggunaan peralatan pencegahan yang tepat (Doimo, Barrella, & Ramires, 2013).

Pemanfaatan pos Unit Kesehatan Kerja sebagai upaya pembedayaan nelayan


pun harus terus dioptimalkan untuk menerapkan konsep K3 dan meningkatkan
kompetensi nelayan. Karena perubahan secara kelembagaan dapat secara signifikan
mengurangi risiko individu dan industri perikanan yang lebih aman. (Pfeiffer &
Gratz, 2016).

Selain itu terdapat faktor budaya pamali yang mengatakan bahwa


penggunaan pelampung justru kesannya mendoakan diri agar memperoleh
kecelakaan. Hal itu dilatarbelakangi dari pemahaman nelayan bahwa ketika
menggunakan pelampung sebagai bentuk keragu-raguan untuk melaut sehingga
justru dapat memicu terjadinya kecelakaan. Apabila pamali tersebut dilanggar,
maka kemungkinan mara bahaya yang akan menghadangnya (Hasmah, 2014).

Nelayan menyatakan bahwa untuk mengetahui kondisi cuaca sebelum melaut


mereka melakukan beberapa analisa terhadap kondisi langit, awan serta gelombang
laut yang terjadi di pinggir pantai. Apabila kondisi langit mendung, awan hitam
pekat terlebih disertai petir, serta gelombang laut di pinggir pantai sangat tinggi,
maka kemungkinan besar cuaca akan hujan lebat disertai angin kencang serta
ombak besar. Risiko penangkapan ikan yang tinggi dibandingkan dengan pekerja
darat menuntut dilakukannya program keselamatan yang terus berlanjut dan intensif
(Olaf Jensen, 2014).

Sikap

Bagi nelayan pancing, laut diyakini nelayan sebagai sebuah ekosistem yang
memiliki banyak komponen seperti penjaga laut, ikan, dan nelayan itu sendiri, yang
harus dijaga bersama. Sikap tersebut juga dilandasi dari kesadaran bahwa laut telah
menjadi sumber kehidupan bagi nelayan pancing sehingga wajib untuk dijaga. Hasil
analisis dari indepth interview menggambarkan bahwa dari aspek anjuran
penggunaan alat keselamatan dan pelindung diri ketika melaut mendapat respon
yang positif. Mereka menyadari bahwa melaut tanpa menggunakan alat
keselamatan dan pelindung diri termasuk sebagai sikap high risking. Secara umum,
nelayan menghindari risiko fisik (tinggi gelombang) namun hal ini diimbangi oleh
kenaikan pendapatan yang diharapkan (Emery, Hartmann, Green, Gardner, &
Tisdell, 2014).
Beberapa hasil kajian empiris terkait preferensi para nelayan terhadap risiko
juga menunjukkan bahwa ternyata terdapat keterkaitan yang positif antara tingkat
pendapatan nelayan dengan tingkat preferensinya terhadap risiko. Semakin mereka
menyukai risiko, semakin tinggi pula pendapatan dari hasil usaha tangkapnya
(Eggert & Martinsson, 2004).

Mereka juga menyatakan bahwa sikap cepat untuk menolong ketika melihat
nelayan lain mengalami kecelakaan saat melaut dikarenakan adanya kesamaan latar
belakang pekerjaan sebagai nelayan serta rasa solidaritas yang tinggi. Terlebih
bahwa nelayan pancing di kelurahan ini memiliki budaya hidup Sipakatau,
Sipakainge, Sipakalebbi yang muaranya membentuk mereka untuk
mempertahankan nilai tolong-menolong terlebih ketika terjadi kecelakaan kerja.
Unsur-unsur pendidikan karakter yang terkandung dalam mempertahankan rasa
superioritas terhadap laut adalah membina sikap generasi muda dalam membangun
solidaritas sosial (Uniawati, 2014), juga sebagai soft control (Made, 2017).

Sikap mereka juga sangat mendukung dilaksanakan penyuluhan mengenai


K3. Namun penyampaian informasi yang tidak merata dan pelaksanaan penyuluhan
yang sifatnya tidak continue membuat penyuluhan ini tidak efektif. Nelayan
pancing juga sangat mendukung penggunaan Alat Keselamatan, tetapi dengan
catatan memperoleh bantuan dari pemerintah disebabkan prioritas penghasilan
mereka diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka.

Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh nelayan pancing mengenai


pelaksanaan program pemeriksaan kesehatan. Program ini merupakan salah satu
realisasi dari Penyuluh Kesehatan Kerja untuk mencegah kecelakaan kerja dan tetap
mempertahankan derajat kesehatan nelayan pancing. Sebab faktor risiko kesehatan
di kalangan nelayan perlu disorot dan diselidiki lebih lanjut mewakili risiko kerja
yang berdampak besar terhadap prevalensi penyakit kronis dengan proyeksi
terhadap kualitas dan durasi kehidupan nelayan, tapi juga karir masa depan mereka
di sektor perikanan (Olaf Jensen, 2014).
Allah swt juga sangat menganjurkan untuk senantiasa bersikap positif dengan
mengutamakan selamat dan sehat saat bekerja. Allah swt berfirman dalam Surah
An-Nisa ayat 29 yang berbunyi :

         ....

Terjemahnya :
“... dan janganlah kau melukai (membunuh dirimu) sendiri, karena sesungguhnya
Allah menyayangi dirimu semua”. (Kementerian Agama, 2013).
Ayat di atas memberikan anjuran bahwa ketika bekerja hendaknya kita
senantiasa bersikap positif dengan menjaga keselamatan dan kesehatan kita.
Dengan bersikap positif maka kita akan mencegah diri kita terhindar dari risiko
kecelakaan kerja.

Tindakan

Penilaian tindakan yang dilakukan oleh informan dilakukan melalui indepth


interview dan observasi langsung. Informan menyatakan bahwa untuk mewujudkan
keselamatan dan kesehatan saat melaut maka aspek kehati-hatian harus tetap
menjadi perhatian utama. Dari hasil observasi langsung, untuk meminimalisir
keterpaparan dengan panas matahari, nelayan pancing menggunakan baju lengan
panjang, celana panjang, pelindung wajah dari baju bekas dan juga topi saraung
serta tidak menggunakan sarung tangan dan sepatu. Untuk penggunaan pelampung,
dari gambar di atas juga didapatkan bahwa tidak ada informan yang
menggunakannya baik ketika sebelum melaut maupun pada saat melaut.

Hasil observasi langsung, juga ditemukan bahwa beberapa informan


mendirikan sebuah tenda alternatif di perahunya sebagai salah satu cara agar
terhindar dari panas matahari sembari melakukan proses pemancingan ikan. Selain
itu untuk alat keselamatan nelayan pancing lebih memilih untuk mempersiapkan
benda-benda yang dapat mengapung di air sebagai alternatif ketika terjatuh seperti
jerigen, maupun gabus yang disambungkan dengan tali.
Minimnya pengetahuan nelayan terhadap K3 secara keilmuan menjadikan
tindakan mereka dalam mewujudkan K3 banyak dilatarbelakangi dari faktor
kepercayaan budaya dan tradisi setempat yang bersumber dari aspek religiusitas.
Pengaruh pengetahuan tradisional telah melahirkan cara berpikir dan bertindak
yang memandang hubungan manusia dan alam fisik adalah hubungan internal yang
bersifat persuasif, sehingga mendukung dari keberlanjutan sumberdaya hayati
perairan (Arief & Agusanty, 2013).

Saat menghadapi kondisi cuaca yang sangat buruk di tengah laut, nelayan
pancing melakukan tinja’ dengan niatan bahwa ketika selamat dari kondisi cuaca
ini maka mereka akan puasa 3 hari maupun menggelar selamatan atas terkabulnya
doa mereka. Pelaksanaan ritual tersebut tidak hanya sebagai bagian dari
“kewajiban”, tetapi juga sebagai transaksi spiritual antara manusia dan Tuhan
dengan harapan agar Tuhan memberi keselamatan (Ismail, 2014).

Selain itu budaya bahwa ada larangan membawa telur, songkolo,pisang ke


laut karena penghuni laut marah lantaran nelayan membawa makanan yang bukan
untuk mereka yang dapat dipercaya dapat mendatangkan kecelakaan. Sehingga
sebelum makan di laut harus menurunkan beberapa butir nasi ke laut sebagai bentuk
berbagi kita dengan penghuni laut. Nelayan meyakini penjaga laut itu juga
pengembang kebaikan, artinya berasal dari yang baik dan selalu menginginkan
adanya kebaikan yang signifikan di wilayah lautan (Ismail, 2014).

Di samping itu juga ada pemahaman bahwa ketika hendak melaut lantas ada
seseorang yang bertanya “mau kemana?” maka nelayan tidak jadi melaut. Hal itu
dijadikan pertanda larangan untuk melaut karena dapat mengalami kecelakaan
disebabkan karena nelayan sudah fokus dan berniat untuk melaut lantas ada yang
mengagetkan sehingga fokus mereka menjadi buyar. Selain itu ketika tidak
membawa pelampung dan ada orang lain yang bertanya maka nelayan tidak boleh
menjawab “tidak ada” melainkan menjawab dengan kata “masempo”. Bisa saja
bila ada pamali yang dilanggar akan terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan
menimpa nelayan, apakah itu menghadapi bahaya ataukah tidak atau kurang
mendapat hasil tangkapan (Hasmah, 2014).
Bahkan nelayan pancing juga melaksanakan tradisi Cera’ Turungeng sebagai
sebuah tradisi yang bertujuan sebagai bentuk kesyukuran supaya tetap diberikan
keselamatan saat melaut serta rezeki yang melimpah. Mereka memotong kambing,
ayam, ikan lengkap dengan songkolo serta lebo-lebo yang disimpan di sebuah rakit.
Rakit tersebut kemudian dibawa ke tengah laut dan dilepas dengan diiringi doa.
Kita mengambil kembali kasarnya, sedangkan halusnya kita berikan kepada
penghuni laut.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (1) Pengetahuan
nelayan pancing mengenai perilaku keselamatan dan kesehatan kerja masih sangat
kurang. Keselamatan dan kesehatan kerja didefinisikan sesuai dengan pribadi
masing-masing. Mereka hanya mengandalkan pengalaman melaut sebagai proses
kebenaran nonilmiah tanpa didukung pengetahuan mengenai standar operasional
prosedur yang dianjurkan ketika melaut. (2) Sikap nelayan pancing dalam
mewujudkan perilaku keselamatan dan kesehatan kerja cukup baik. Mereka
bersikap positif ketika hendak diberikan penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan.
Dalam kondisi cuaca yang tidak mendukung mereka juga memilih untuk tidak
melaut. Namun untuk penggunaan alat keselamatan dan pelindung diri, mereka
memilih bersikap untuk tetap pergi melaut meskipun tidak memenuhi standar yang
dianjurkan. (3) Tindakan nelayan pancing dalam mewujudkan perilaku keselamatan
dan kesehatan kerja dimulai dengan mempersiapkan bekal, melakukan pemeriksaan
kondisi perahu serta memastikan kondisi cuaca, membawa jerigen maupun gabus
sebagai alternatif pelampung serta menggunakan topi, baju lengan panjang dan
celana panjang ketika melaut. Demi keselamatan, mereka juga sangat
memperhatikan budaya pamali dan pantangan-pantangan melaut yang menjadi
kepercayaan nelayan pancing setempat
SARAN
Adapun saran yang dapat diberikan oleh peneliti yaitu: (1) Diperlukan upaya
penyuluhan secara rutin dan pendampingan yang intens terhadap nelayan pancing.
(2) Mendorong keberadaan pos Unit Kesehatan Kerja sebagai basis pemberdayaan
masyarakat. (3) Mendorong kelompok nelayan sebagai satuan pengawas kerja
mandiri. (4) Menginternalisasikan budaya membawa pelampung sebagai budaya
dalam menanamkan niatan baik sebelum melaut sehingga terhindar dari risiko
kecelakaan.

DAFTAR PUSTAKA
Arief, A. A., & Agusanty, H. (2013). Inventarisasi Pengetahuan Tradisional
Masyarakat Nelayan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan di
Kabupaten Takalar (Studi Kasus Desa Tamasaju, Kecamatan Galesong Utara).
Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan Unhas, Makassar, 1–8.
Dharmawirawan, D. A., & Moedjo, R. (2012). Identifikasi Bahaya Keselamatan
dan Kesehatan Kerja pada Penangkapan Ikan Nelayan Muroami. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional, 6(4), 185–192.
Doimo, R. A. F., Barrella, W., & Ramires, M. (2013). A importância do uso do
Equipamento de proteção individual para a redução de acidentes no trabalho
dos pescadores artesanais da Baixada The importance of using protective
equipment to reduce accidents in the work of fishermen from Santos.
UNISANTA Law and Social Science, 2, 48–53.
Eggert, H., & Martinsson, P. (2004). Are Commercial Fishers Risk-Lovers? Land
Economics, 80(4), 550. https://doi.org/10.2307/3655810
Emery, T. J., Hartmann, K., Green, B. S., Gardner, C., & Tisdell, J. (2014). Fishing
for Revenue: How Leasing Quota Can be Hazardous To Your Health. ICES
Journal of Marine Science, 71(i), 1854–1865.
Food and Agricultural Organization. (2000). The State of Food and Agriculture
2000 - Lessons from the past 50 years.
Green, L. (2000). Health Promotion Planning, An Educational and Environmental
Approach. London : Mayfield Publishing Company, Mountain View,
Toronto, London.
Hasmah. (2014). Sistem pengetahuan lokal nelayan dalam pengelolaan sumber
daya laut di desa ujung lero kabupaten pinrang. Balai Pelestarian Nilai
Budaya Makassar, 5, 303–314.
Imron, M., Nurkayah, R., & Purwangka, F. (2017). PENGETAHUAN DAN
KETERAMPILAN NELAYAN TENTANG KESELAMATAN The
Knowledge and Fishermen ’ s Skill on Safety Works in PPP Muncar ,
Banyuwangi , East Java. Almuni Program Sarjana Departemen PSP FPIK IPB.
ALBACORE, I(1), 99–109.
International Maritime Organization. (2007). Harmful ships’ paint systems to be
outlawed –. Distribution.
Ismail, A. (2014). Unsur-Unsur Islam Dalam Ritual Nelayan Mandar Di
Pambusuang , Kabupaten Polewali Mandar , the Elements of Islam in Mandar
Fishermen Ritual. Balai Penelitian Dan Pengembangan Agama Makassar, 5,
277–287.
Kalalo, S. Y. (2016). Hubungan Antara Pengetahuan Dan Sikap Tentang K3
Dengan Kejadian Kecelakaan Kerja Pada Kelompok Nelayan Di Desa Belang
Kecamatan Belang Kabupaten Minahasa Tenggara. Pharmacon Jurnal Ilmiah
Farmasi, 5(1), 244–251. https://doi.org/ISSN 2302- 2493
Kementerian Agama Republik Indonesia. (2013). Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Solo : PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Komite Nasional Keselamatan Transportasi Sub Komite Penelitian Kecelakaan
Transportasi Laut. (2015). Kecelakaan Transportasi Laut. Jakarta :
Laporan KNKT.
Made, M. R. (2017). Internalisasi Budaya Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi, dan
Pammali pada Kegiatan Operasional Perusahaan dalam Upaya Peningkatan
Efektivitas Sistem Pengendalian Internal (Studi pada PT. Hadji Kalla).
Makassar: UIN Alauddin Makassar.
Nasrullah, M., & Suwandi, T. (2014). Hubungan Antara Knowledge, Attitude,
Practice Safe Behavior Pekerja dalam Upaya untuk Menegakkan Keselamatan
dan Kesehatan Kerja. The Indonesian Journal of Occupational Safety and
Health, 3(1), 82–93.
Notoatmodjo, S. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka
Cipta.
Olaf Jensen, A. L. (2014). Prevalence of Health Risk Factors among Fishermen –
A Review. Occupational Medicine & Health Affairs, 2(2), 6–10.
Pfeiffer, L., & Gratz, T. (2016). The effect of rights-based fisheries management on
risk taking and fishing safety. Proceedings of the National Academy of
Sciences, 113(10), 2615–2620.
Putra, R. S., Purwangka, F., Iskandar, B. H., Psp, D., & Ipb, F. (2017). Fishermen
Safety Work Management in PPI Batukaras District Pangandaran Oleh :
Almuni Program Sarjana Departemen PSP FPIK IPB. ALBACORE, I(1), 37–
46.
Santara, A. G., Purwangka, F., & Iskandar, H. B. (2014). Peralatan Keselamatan
Kerja Pada Perahu Slerek Di Ppn Pengambengan , Kabupaten Jembrana , Bali.
Jurnal IPTEKS PSP, 1(1), 53–68.
Uniawati. (2014). Perahu Dalam Pamali Orang Bajo : Tinjauan Semiotika Sosial
Halliday Boat in Pamali of Bajo People : Analysis of Halliday Social
Semiotics. Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, 20(2008), 568–578.
LAMPIRAN
Tabel 1
Karakteristik Informan

No. Informan Jenis Usia Lama Masa Pendidikan Pekerjaan


Kelamin Kerja Kerja Terakhir
1. N Laki-laki 50 Thn 13 jam 40 Thn Sekolah Dasar Nelayan
2. S Laki-laki 50 Thn 12 jam 33 Thn Sekolah Dasar Nelayan
3. O Laki-laki 32 Thn 12 jam 20 Thn Tidak Sekolah Nelayan
4. FL Laki-laki 31 Thn 12 jam 14 Thn SMA Nelayan
5. R Laki-laki 30 Thn 12 jam 15 Thn Sekolah Dasar Nelayan
6. Ra Laki-laki 58 Thn 12 jam 46 Thn Sekolah Dasar Nelayan
7. RK Laki-laki 38 Thn 12 jam 12 Thn SMP Nelayan
8. MS Laki-laki 50 Thn 13 jam 22 Thn Tidak Sekolah Nelayan
9. SDG Laki-laki 67 Thn - - Sekolah Dasar Tokoh Adat
10. F Laki-laki 41 Thn 8 jam 6 Thn S1 Perikanan PPL Perikanan
11. BAN Laki-laki 33 Thn 8 jam 4 Thn S1 Kesmas Petugas Kesker
12. J Laki-laki 49 Thn 8 jam 2 Thn S1 Manajemen Lurah
Sumber : Data Primer, 2017

Anda mungkin juga menyukai