MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Kebijakan Kesehatan
yang dibina oleh Joko Wiyono, S.Kep., M.Kep., Sp. Kom
Oleh :
1. Bima Ariyu Putra Anggutar (P17211217137)
2. Ismi Malikka Isnaini (P17211217139)
3. Khairun Nisa Oktafiani (P17211217142)
4. Monicka Patrisia Tilana (P17211217154)
5. Titin Masfi’ah (P17211217158)
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Konsep Kebijakan
Kesehatan.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Joko
Wiyono, S.Kep., M.Kep., Sp.Kom pada mata kuliah Kebijakan Kesehatan. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang konsep kebijakan kesehatan
bagi para pembaca dan bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Joko Wiyono, S.Kep., M.Kep., Sp.Kom
selaku dosen mata kuliah Kebijakan Kesehatan yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah wawasan dan pengetahuan sesuai bidang studi yang saya tekuni.
Tidak lupa saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari
bahwa makalah yang saya buat ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran akan
saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Contents
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
BAB I.........................................................................................................................................1
BAB II.......................................................................................................................................2
BAB III......................................................................................................................................3
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................4
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perencanaan Kesehatan adalah sebuah proses untuk merumuskan masalah-masalah
Kesehatan yang berkembang di masyarakat, menentukan kebutuhan dan sumber daya yang
tersedia, menetapkan tujuan program yang paling pokok dan Menyusun Langkah-langkah
praktis untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Perencanaan akan menjadi efektif jika
perumusan maslah sudah dilakukan berdasarkan fakta-fakta dan bukan berdasarkan emosi
atau angan-angan saja. Fakta-fakta di ungkap dengan menggunakan data untuk menunjang
perumusan masalah. Perencanaan juga merupakan proses pemilihan alternatif Tindakan yang
terbaik untuk mencapai tujuan. Perencanaan juga merupakan suatu keputusan untuk
mengerjakan sesuatu di masa yang akan datang, yaitu suatu tindakan yang di proyeksikan di
masa yang akan datang.
Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang
bersifat mengikat, yang mengatur perilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru
dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau
anggota masyarakat dalam berperilaku. Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving
dan proaktif. Berbeda dengan hukum (law) dan peraturan (regulation).
Kebijakan juga merupakan rangkaian dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang
organisasi atau pemerintah); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis
pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran tertentu.
1. Undang-undang
2. Peraturan pemerintah
3. Keputusan presiden
4. Keputusan mentri
5. Peraturan daerah
6. Keputusan bupati
7. Keputusan direktur
Setiap kebijakan yang dicontohkan diatas adalah bersifat mengikat dan wajib
dilaksanakan oleh obyek kebijakan. Contoh diatas juga memberi pengetahuan pada kita
semua bahwa ruang lingkup kebijakan dapat bersifat makro, meso, dan mikro. Analisis
intelektual dan praktis yang di tujukan untuk menciptakan, menerapkan, secara kritis menilai,
dan mengkomunikasikan substansi kebijakan.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Kebijakan utama perihal kesehatan nasional dirumuskan dari Undang – Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012
mengenai Sistem Kesehatan Nasional. Kebijakan kesehatan adalah bagian dari kebijakan
publik, dan kebijakan publik adalah bagian dari kebijakan secara umum atau keseluruhan.
Dalam menyusun sebuah kebijakan, dibutuhkan beberapa tahapan yaitu agenda setting,
perumusan, adopsi, implementasi, dan evaluasi (Budiyanti, Sriatmi, & Jati, 2012). Hasil
dari evaluasi dapat menjadi sebuah masalah baru yang dapat dikembangkan secara lebih
lanjut sehingga terbentuk suatu siklus dalam pembuatan kebijakan.
Agenda setting adalah fase dimana fokus dari suatu permasalahan ditentukan. Dalam
fase ini terdapat 3 pilar yang berperan penting yaitu masalah, solusi yang memungkinkan,
dan keadaan politik. Munculnya masalah publik adalah awal dari penyusunan kebijakan.
Salah satu contohnya adalah masalah mengenai virus COVID-19 yang mulai mewabah di
Indonesia pada awal tahun 2019 lalu.
Langkah selanjutnya adalah adopsi kebijakan yang dimana fase ini memiliki tujuan
untuk memberikan otorisasi atau kuasa pada pemerintah dalam menetapkan kebijakan.
Kuasa yang diberikan ini bertujuan agar hanya pemerintalah yang dapat mengubah atau
memperbaiki kebijakan apabila terjadi masalah lebih lanjut. Selain itu, dalam fase ini
pemerintah juga dapat melakukan adopsi atau meniru kebijakan dari daerah atau negara
lain yang dirasa cocok guna menyelesaikan masalah yang sedang terjadi.
2
Apabila kebijakan – kebijakan yang dibuat sudah dibentuk maka akan mulai
diimplementasikan. Dalam fase ini kebijakan sebelumnya juga akan di uji coba di
masyarakat. Pemerintah juga akan melakukan pengawasan terhadap kebijakan yang
berlaku di masyarakat.
Setelah semua tahapan dilakukan, langkah selanjutnya adalah evaluasi dari kebijakan
sebelumnya. Evaluasi dilakukan guna menilai kebijakan yang telah dilaksanakan yang
menyangkut isi kebijakan, penerapan dalam masyarakat, dan dampak yang ditimbulkan
dari penerapan kebijakan tersebut. Melalui tahap ini jugalah pemerintah dapat
memperbaiki kebijakan yang berlaku selama masa implementasi.
3
Kebijakan di bidang kesehatan sangat erat kaitannya dengan kejadian kesakitan,
keselamatan dan kematian atau dengan kata lain bahwa kebijakan Kesehatan melibatkan
persoalan hidup dan mati manusia. Kebijakan kesehatan juga sering diartikan sebagai
sejumlah keputusan di bidang kesehatan yang di buat oleh pemerintah bersama-sama
dengan DPR atau DPRD.
Kesehatan nasional dapat diartikan sebagai suatu keadaan sehat yang mencakup seluruh
masyarakat Indonesia. Terdapat berbagai macam masalah dalam kesehatan nasional di
Indonesia yang menjadi fokus dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Masalah
tersebut antaralain Angka Kematian Ibu dan Bayi (AKI/AKB), Pengendalian Stunting,
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Gerakan Masyarakat, dan Tata Kelola Sistem
Kesehatan yang sudah tertuang dalam Misi Kemenkes RI.
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih
menjadi yang paling banyak terjadi di Asia Tenggara. Meskipun terjadi penurunan dari
sebanyak 346 kasus kematian pada tahun 2010 menjadi 305 kasus kematian pada tahun
2015, jumlah ini masih tergolong tinggi khususnya bagi negara berkembang di Indonesia.
Penyebab dari kematian ibu yang sering terjadi adalah karena hipertensi dalam kehamilan
(33,1%), pendarahan obsetrik (27,03%), komplikasi non-obsetrik (15,7%), komplikasi
obsetrik lain (12,04%), infeksi yang berkaitan dengan kehamilan (6,06%), dan penyebab
lain (4,81%) (Kemenkes RI, 2020).
Tingginya angka kematian ibu dan bayi di Indonesia banyak terjadi karena sebuah
fenomena yang disebut dengan fenomena tiga terlambat. Fenomena tiga terlambat ini
antaralain terlambat pengambilan keputusan untuk dirujuk ke fasyankes yang tepat,
terlambat sampai ke tempat rujukan, dan terlambat untuk ditangani dengan tepat. Hal ini
juga mengindikasikan belum optimalnya kualitas pelayanan dalam pelayanan maternal.
4
pada anak mencerminkan kondisi dimana gagalnya pertumbuhan pada anak-anak di usia
balita khususnya pada bayi yang berusia di bawah lima tahun akibat dari kekurangan gizi
kronis, sehingga anak menjadi terlalu pendek untuk anak-anak seusianya. ( Qotrun,
Rahmat, Rudyk, 2022). Anak dikatakan pendek atau stunting jika tingginya berada di
bawah -2 SD dari standar WHO.
Salah satu indikator status gizi bayi lahir adalah panjang badan waktu lahir
disamping berat badan waktu lahir. Panjang bayi lahir dianggap normal antara 48 – 52
cm. Jadi panjang lahir <48 cm tergolong bayi pendek. Namun bila kita ingin mengaitkan
panjang badan lahir dengan risiko mendapatkan penyakit tidak menular waktu dewasa
nanti, WHO menganjurkan nilai batas < 50 cm.
Berat dan panjang badan lahir dicatat atau disalin berdasarkan dokumen/catatan
yang dimiliki dari sampel balita, seperti buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan
anak lainnya. Dari Riskesdas 2013, persentase balita yang memiliki catatan berat badan
lahir adalah 52,6 persen, dan yang memiliki catatan panjang badan 45 persen.
Menurut Riskesdas 2013, tingkat penyebaran BBLR (<2500 gr) adalah 10,2
persen sedangkan prevalensi pendek pada bayi baru lahir (<48 cm) adalah 20,2 persen.
Untuk tingkat nasional terjadi penurunan tingkat penyebaran pendek pada balita pada
tahun 2001 yaitu dari 29,5% menjadi 28,5% pada tahun 2004, selanjutnya menjadi 36,8%
pada tahun 2007, lalu menurun menjadi 35,6% pada tahun 2010 dan meningkat lagi pada
tahun 2013 menjadi 37,2%.
Untuk anak usia sekolah, terjadi kenaikan dan penurunan pada tingkat
penyebaran pendek, pada tahun 2001 sebesar 32% menjadi 30% pada tahun 2004, lalu
meningkat menjadi 33,4% pada tahun 2007 dan menurun kembali pada tahun 2010
menjadi 28,3%, namun kembali meningkat pada tahun 2013 menjadi 31,7%.
Besarnya beban masalah pendek pada 23,8 juta balita pada tahun 2013 sebesar
4,8 juta lahir pendek, dan selanjutnya 8,9 juta balita pendek, serta berlanjut pada anak
usia sekolah (5-18 tahun) sejumlah 20,8 juta.
Kelempok anak-anak yang berat badan saat lahir kurang dari 2500 gram,
cenderung pevelensi pendeknya lebih tinggi daripada kelompok anak yang lahir normal.
Menurut Riskedas 2010, anak pendek pada umumnya lahir dari ibu yang rata-rata
tinggi badannya lebih pendek dibandingkan rata-rata tinggi badan ibu yang normal.
Begitupun sebaliknya, kelompok ibu yang pendek cenderung melahirkan bayi pendek
yang lebih banyak dibandingkan kelompok ibu dengan tinggi normal.
Faktor determinan pendek pada bayi antara lain adalah tinggi badan ibu <150 cm,
IMT ibu hamil <18,5 kg/m2, pertambahan berat badan selama hamil yang di bawah
standar dan asupan zat gizi yang di bawah angka kecukupan gizi. Selain itu faktor
pendidikan dan status ekonomi jelas berpengaruh pada status gizi pendek. Makin tinggi
pendidikan dan makin sejahterah.
Kesenjangan yang signifikan juga terjadi pada status gizi pendek untuk semua
kelompok umur: prevalensi pendek di perdesaan lebih tinggi dibanding perkotaan,
prevalensi pendek pada tingkat kesejahteraan terendah terdapat pada kuintil 1 dan lebih
tinggi dibanding kuintil 5, pola serupa juga terjadi untuk tingkat pendidikan.
Kesenjangan juga terjadi antar provinsi, misalnya untuk balita pendek, di provinsi
Nusa Tenggara Timur, hampir 2 kali lipat dibandingkan provinsi terbaik, yaitu Kepulauan
Riau.keluarga, makin kecil prevalensi pendek.
5
Stunting tidak hanya terjadi pada bayi tapi juga bisa terjadi pada orang dewasa
yang memiliki usia 18-65 tahun. Di seluruh Indonesia lebih dari 59 juta penduduk
(39,5%) dewasa Indonesia dikategorikan sebagai orang yang pendek. Terdapat 18
provinsi dengan proporsi orang dewasa pendek lebih besar atau sama dengan proporsi
nasional orang dewasa pendek dengan proporsi penduduk dewasa pendek terbesar berasal
dari Provinsi Sulawesi Barat (54,3%). Sementara itu proporsi terendah penduduk dewasa
pendek berasal dari Provinsi Bali (25,7%).
Jika tidak diatasi, stunting akan berakibat di masa depan. Pendek yang merupakan
hasil dari gen bawaan ditambah kondisi gizi pada janin dan bayi ditambah infeksi dan
faktor epigenik lainnya, akan berdampak pada jangka pendek maupun panjang, yang pada
gilirannya meningkatkan penyakit dan menjadi beban yang berat.
Dapat disimpulkan bahwa stunting atau pendek dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti kurangnya gizi kronis dan bawaan atau gen. Dan dapat mengakibatkan
beberapa masalah di masa depan.
6
pada bulanbulan pertama kehidupan bayi karena ASI mengandung banyak gizi yang
diperlukan bayi pada umur tersebut (RI 2014) dan penting untuk membentuk imunitas
bayi. Pemberian ASI eksklusif diketahui berpengaruh terhadap kejadian gizi buruk,
dimana rendahnya Pemberian ASI eksklusif menjadi salah satu pemicu stunting pada
anak.
5. Peraturan Pemerintah (PP) No.33/2012 tentang Air Susu Ibu Eksklusif
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 33
tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif, maka ditetapkan
6. Peraturan Presiden (Perpres) No. 42/2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan
Perbaikan Gizi
Dibuat sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah untuk meningkatkan pengetahuan
dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap
peningkatan status gizi masyarakat. Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi
merupakan upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat melalui penggalangan
partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara terencana dan terkoordinasi
untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat yang diprioritaskan pada seribu hari
pertama kehidupan. Perbaikan gizi masyarakat diharapkan berdampak pada penurunan
prevalensi stunting
7. Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 450/Menkes/SK/ IV/2004
tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Secara Eksklusif Pada Bayi di Indonesia
7
11. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Gizi Dalam Rangka Seribu
Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1.000 HPK), 2013
Pemerintah juga menyusun Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Gizi
Dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan yang disusun pada tahun 2013.
Kerangka Kebijakan Gerakan 1000 HPK membahas tentang pentingnya 1000 HPK,
perlunya akselerasi perbaikan gizi melalui Gerakan 1000 HPK, intervensi gizi spesifik
dan sensitive, visi, misi, dan goal Gerakan 1000 HPK, tahapan, strategi, dan bentuk
kemitraan, serta pengorganisasian Gerakan 1000 HPK beserta Indikator keberhasilan
Gerakan 1000 HPK yang mencakup indikator proses, indikator intervensi, dan
indikator hasil (Bappenas 2013).
12. Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK).
Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka Seribu Hari Pertama
Kehidupan dianggap penting karena merupakan salah satu upaya untuk menciptakan
sumber daya manusia Indonesia yang sehat, cerdas, dan produktif.
8
6. Jumlah puskesmas yang melaksanakan kegiatan deteksi dini kanker payudara dan
leher rahim pada perempuan usia 30-50 tahun dan jumlah pedoman pelaksanaan
deteksi dini penyakit di instansi pemerintah dan swasta.
7. Jumlah desa/kelurahan yang melaksanakan STBM.
Tata kelola dapat diartikan sebagai kombinasi proses dan struktur yang
diterapkan untuk menginformasikan, mengarahkan, mengelola, dan memantau
kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan. Dalam Pedoman Germas, secara operasional
tata kelola dijabarkan ke dalam rangkaian kegiatan perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
Sesuai dengan Permen PPN/Kepala Bappenas Nomor 11 Tahun 2017 yang
berlandaskan Instruksi Presiden No. 1/2017, di tingkat nasional tata kelola Germas
menjadi tanggung jawab utama tiga kementerian, Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian PPN/Bappenas, dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan. Kementerian Dalam Negeri bertanggung jawab
mengkoordinasikan dan memfasilitasi pemerintah daerah untuk melaksanakan Germas.
Kementerian Bappenas bertugas menyusun pedoman pelaksanaan hingga indikator
keberhasilan Germas serta melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan.
Pemantauan dan pelaksanaan ini dilakukan setahun sekali atau lebih jika diperlukan.
Dalam tata kelola Germas, Kementerian Kesehatan diberi mandat untuk
melakukan koordinasi dalam tahap pelaksanaan, yaitu dalam pelaksanaan sosialisasi
Germas. Di pusat, Kemenkes bekerja bersama koordinator Kemenko PMK dan
KemenPPN/Bappenas, sementara untuk sosialisasi di daerah bersama koordinator
Kemendagri, KemenPPN/Bappenas, dan Pemda.
Di tingkat daerah, gubernur dan bupati/walikota bertanggung jawab
mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan Germas, yang kemudian mendelega
sikannya kepada Sekretariat Daerah atau Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
Pemerintah provinsi menyusun rencana
dan pelaksanaan dengan menyertakan organisasi perangkat daerah (OPD), pemerintah
kabupaten/kota, dan pemangku kepentingan di daerahnya. Demikian juga dengan
pemerintah kabupaten/kota, yang menyusun rencana, melaksanakan, dan
mengkoordinasikan kegiatan Germas yang melibatkan pemerintah desa dan pemangku
kepentingan terkait.
9
Tetapi asuransi kesehatan saja tidak cukup. Diperlukan asuransi kesehatan
sosial atau Jaminan Kesehatan Sosial (JKN). Karena asuransi kesehatan sosial
memberikan manfaat yang komprehensif dengan premi terjangkau. Asuransi
kesehatan sosial menerapkan prinsip kendali biaya dan mutu. Itu berarti peserta bisa
mendapatkan pelayanan bermutu memadai dengan biaya yang wajar dan terkendali.
Prinsip-prinsip Pelaksanaan JKN mengacu pada prinsip pada SJSN:
1. Prinsip Kegotong-royongan
Prinsip gotong-royong berarti peserta yang sehat membantu peserta yang sakit
atau berisiko tinggi. Hal ini dapat terwujud karena sistem ini bersifat wajib
bagi seluruh penduduk Indonesia.
2. Prinsip Nirlaba
Pengelolaan dana amanat oleh BPJS bukan untuk mencari laba/keuntungan.
Tujuan utama adalah memenuhi kebutuhan peserta. Dana dari peserta adalah
dana amanat sehingga pengembangannya akan dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk kepentingan peserta.
3. Prinsip Portabilitas
Prinsip ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan
kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat tinggal
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Prinsip Kepersertaan Bersifat Wajib
Kepersertaan bersifat wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta
sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepersertaan bersifat wajib,
penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan
pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program.
b) BPJS
BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan) BPJS adalah badan hukum
publik milik negara yang non-profit dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Terdapat dua BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
BPJS Kesehatan wajib membayar fasilitas kesehatan atas pelayanan yang
diberikan kepada peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak dokumen klaim
diterima lengkap. Dalam JKN, peserta dapat meminta manfaat tambahan berupa
manfaat yang bersifat non medis seperti akomodasi. Misalnya: peserta yang
menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi dari haknya, dapat meningkatkan
haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih
antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dan biaya yang harus dibayar akibat
peningkatan kelas perawatan, yang disebut dengan Iuran biaya tambahan.
c) Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional
Manfaat JKN yang menjadi hak peserta dan anggota keluarganya. JKN terdiri
dari dua jenis, yaitu: Manfaat medis berupa layanan kesehatan yang tidak terikat
dengan besaran iuran yang dibayarkan dan manfaat non medis meliputi akomodasi
dan ambulans. Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari fasilitas
kesehatan dengan kondisi tertentu yang diatur oleh BPJS Kesehatan.
Manfaat JKN mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif. Termasuk pelayanan obat dan medis habis pakai sesuai dengan
kebutuhan medis.
Manfaat pelayanan preventif dan promotif meliputi:
10
• Penyuluhan kesehatan perorangan
• Imunisasi dasar
• Keluarga berencana
• Skrining kesehatan Meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat
komprehensif, Masih ada manfaat yang tidak dijamin meliputi:
a. Pelayanan di luar prosedur
b. Pelayanan di luar fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS
c. Pelayanan bertujuan kosmetik
d. General check-up/pengobatan alternatif
e. Pengobatan untuk mendapatkan keturunan
f. Pelayanan kesehatan saat bencana g.Percobaan bunuh diri penyakit yang timbul
akibat kesengajaan untuk menyiksa diri/bunuh diri/narkoba
11
DAFTAR PUSTAKA
Budiyanti, R. T., Sriatmi, A., & Jati, S. P. Buku Ajar Kebijakan Kesehatan: Implementasi
Kebijakan Kesehatan.
Trihono, T., Atmarita, A., Tjandrarini, D. H., Irawati, A., Nurlinawati, I., Utami, N. H., &
Tejayanti, T. (2015). Pendek (stunting) di Indonesia, masalah dan solusinya.
Lembaga Penerbit Badan Litbangkes
Sahroji, Q. N., Hidayat, R., & Nababan, R. (2022). Implementasi Kebijakan Dinas Kesehatan
Dalam Penanganan Stunting Di Kabupaten Karawang. Jurnal Pemerintahan dan
Politik, 7(1).
12