Anda di halaman 1dari 15

KONSEP KEBIJAKAN KESEHATAN

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Kebijakan Kesehatan
yang dibina oleh Joko Wiyono, S.Kep., M.Kep., Sp. Kom

Oleh :
1. Bima Ariyu Putra Anggutar (P17211217137)
2. Ismi Malikka Isnaini (P17211217139)
3. Khairun Nisa Oktafiani (P17211217142)
4. Monicka Patrisia Tilana (P17211217154)
5. Titin Masfi’ah (P17211217158)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


PRODI DIV KEPERAWATAN MALANG
RINTISAN KELAS INTERNASIONAL
Agustus 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Konsep Kebijakan
Kesehatan.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Joko
Wiyono, S.Kep., M.Kep., Sp.Kom pada mata kuliah Kebijakan Kesehatan. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang konsep kebijakan kesehatan
bagi para pembaca dan bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Joko Wiyono, S.Kep., M.Kep., Sp.Kom
selaku dosen mata kuliah Kebijakan Kesehatan yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah wawasan dan pengetahuan sesuai bidang studi yang saya tekuni.

Tidak lupa saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari
bahwa makalah yang saya buat ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran akan
saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Malang, 3 Agustus 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
BAB I.........................................................................................................................................1
BAB II.......................................................................................................................................2
BAB III......................................................................................................................................3
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................4

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perencanaan Kesehatan adalah sebuah proses untuk merumuskan masalah-masalah
Kesehatan yang berkembang di masyarakat, menentukan kebutuhan dan sumber daya yang
tersedia, menetapkan tujuan program yang paling pokok dan Menyusun Langkah-langkah
praktis untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Perencanaan akan menjadi efektif jika
perumusan maslah sudah dilakukan berdasarkan fakta-fakta dan bukan berdasarkan emosi
atau angan-angan saja. Fakta-fakta di ungkap dengan menggunakan data untuk menunjang
perumusan masalah. Perencanaan juga merupakan proses pemilihan alternatif Tindakan yang
terbaik untuk mencapai tujuan. Perencanaan juga merupakan suatu keputusan untuk
mengerjakan sesuatu di masa yang akan datang, yaitu suatu tindakan yang di proyeksikan di
masa yang akan datang.

Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang
bersifat mengikat, yang mengatur perilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru
dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau
anggota masyarakat dalam berperilaku. Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving
dan proaktif. Berbeda dengan hukum (law) dan peraturan (regulation).

Kebijakan juga merupakan rangkaian dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang
organisasi atau pemerintah); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis
pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran tertentu.

Contoh kebijakan adalah :

1. Undang-undang
2. Peraturan pemerintah
3. Keputusan presiden
4. Keputusan mentri
5. Peraturan daerah
6. Keputusan bupati
7. Keputusan direktur

Setiap kebijakan yang dicontohkan diatas adalah bersifat mengikat dan wajib
dilaksanakan oleh obyek kebijakan. Contoh diatas juga memberi pengetahuan pada kita
semua bahwa ruang lingkup kebijakan dapat bersifat makro, meso, dan mikro. Analisis
intelektual dan praktis yang di tujukan untuk menciptakan, menerapkan, secara kritis menilai,
dan mengkomunikasikan substansi kebijakan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebijakan Kesehatan


Kebijakan kesehatan adalah tujuan atau sasaran, berfungsi sebagai instrumen, dan
proses guna mengambil sebuah keputusan yang berhubungan dengan kesehatan (Lee,
Buse, & Fustukian, 2002). Kebijakan kesehatan adalah kumpulan keputusan yang dibuat
oleh pemerintah dan berhubungan dengan kesehatan (Budiyanti, Sriatmi, & Jati, 2012).
Kebijakan ini diciptakan untuk menentukan tujuan dan landasan mengenai administrasi
upaya kesehatan di Indonesia.

Kebijakan utama perihal kesehatan nasional dirumuskan dari Undang – Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012
mengenai Sistem Kesehatan Nasional. Kebijakan kesehatan adalah bagian dari kebijakan
publik, dan kebijakan publik adalah bagian dari kebijakan secara umum atau keseluruhan.

Dalam menyusun sebuah kebijakan, dibutuhkan beberapa tahapan yaitu agenda setting,
perumusan, adopsi, implementasi, dan evaluasi (Budiyanti, Sriatmi, & Jati, 2012). Hasil
dari evaluasi dapat menjadi sebuah masalah baru yang dapat dikembangkan secara lebih
lanjut sehingga terbentuk suatu siklus dalam pembuatan kebijakan.

Agenda setting adalah fase dimana fokus dari suatu permasalahan ditentukan. Dalam
fase ini terdapat 3 pilar yang berperan penting yaitu masalah, solusi yang memungkinkan,
dan keadaan politik. Munculnya masalah publik adalah awal dari penyusunan kebijakan.
Salah satu contohnya adalah masalah mengenai virus COVID-19 yang mulai mewabah di
Indonesia pada awal tahun 2019 lalu.

Apabila ditemukan sebuah solusi yang memungkinkan untuk menyelesaikan masalah


tersebut, maka solusi tersebut akan dikembangkan lebih lanjut. Kebijakan akan sangat erat
hubungannya dengan kondisi politik. Hal ini dikarenakan dukungan dari lingkungan
politik sangat diperlukan agar kebijakan yang dibuat tadi dapat terlaksana. Contoh
kebijakan kesehatan yang baru – baru ini diimplementasikan di Indonesia adalah peraturan
memakai masker diluar ruangan dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Setelah dilakukan pembahasan masalah dan solusi yang memungkinkan, langkah


selanjutnya adalah perumusan kebijakan. Inti – inti dari permasalahan yang sedang terjadi
yang sudah ditentukan akan dibuat dan dibahas dalam forum khusus oleh pemerintah.

Langkah selanjutnya adalah adopsi kebijakan yang dimana fase ini memiliki tujuan
untuk memberikan otorisasi atau kuasa pada pemerintah dalam menetapkan kebijakan.
Kuasa yang diberikan ini bertujuan agar hanya pemerintalah yang dapat mengubah atau
memperbaiki kebijakan apabila terjadi masalah lebih lanjut. Selain itu, dalam fase ini
pemerintah juga dapat melakukan adopsi atau meniru kebijakan dari daerah atau negara
lain yang dirasa cocok guna menyelesaikan masalah yang sedang terjadi.

2
Apabila kebijakan – kebijakan yang dibuat sudah dibentuk maka akan mulai
diimplementasikan. Dalam fase ini kebijakan sebelumnya juga akan di uji coba di
masyarakat. Pemerintah juga akan melakukan pengawasan terhadap kebijakan yang
berlaku di masyarakat.

Setelah semua tahapan dilakukan, langkah selanjutnya adalah evaluasi dari kebijakan
sebelumnya. Evaluasi dilakukan guna menilai kebijakan yang telah dilaksanakan yang
menyangkut isi kebijakan, penerapan dalam masyarakat, dan dampak yang ditimbulkan
dari penerapan kebijakan tersebut. Melalui tahap ini jugalah pemerintah dapat
memperbaiki kebijakan yang berlaku selama masa implementasi.

Pembuatan kebijakan kesehatan haruslah berdasar pada pendekatan masalah berbasis


bukti atau evidence based. Tujuan dari pembuatan kebijakan kesehatan ini adalah untuk
memberikan pola pencegahan, pemberian pelayanan yang berfokus pada pemeliharaan
kesehatan, pengobatan dan perlindungan terhadap golongan rentan (Gormley, 1999 dalam
Massie, 2012). Selain itu, pembuatan kebijakan kesehatan harus melihat kondisi dari
lingkungan dan sosial ekonomi terhadap kesehatan.

B. Visi dan Misi Kemenkes


Visi dari Kementrian Kesehatan adalah untuk “Menciptakan manusia yang sehat,
produktif, mandiri, dan berkeadilam”.

Sedangkan Misi dari Kementrian Kesehatan antaralain :

1. Menurunkan angka kematian ibu dan bayi;


2. Menurunkan angka stunting pada balita;
3. Memperbaiki pengelolaan Jaminan Kesehatan nasional; dan
4. Meningkatkan kemandirian dan penggunaan produk farmasi dan alat kesehatan
dalam negeri.
C. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak setiap warga negara dan merupakan salah satu unsur
kesejahteraan umum dari tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana termaktub pada
Alinea ke-4 pembukaan UUD 1945. Oleh sebab itu sebagai program dan kebijakan di
bidang Kesehatan semestinya memiliki prinsip-prinsip non-diskriminatif, partisipatif, dan
berkesinambungan guna menjamin ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas
dengan derajat keehatan yang optimal sebagai prasyarat kesinambungan pembangunan
nasioanal. Di lain pihak setiap upaya pembangunan nasional semestinya dilaksanakan
dengan berwawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus memperhatikan
aspek-aspek kesehatan masyarakat.

Kesehatan juga merupakan bagian tepenting dari perekonomian suatu negara.


Penyelenggaraan pembangunan di bidang kesehatan menyerap berbagai sumber daya
nasional dan di lain pihak terwujudnya derajat kesehatan yang optimal merupakan jaminan
ketersediaan sumber daya manusia nasional.

3
Kebijakan di bidang kesehatan sangat erat kaitannya dengan kejadian kesakitan,
keselamatan dan kematian atau dengan kata lain bahwa kebijakan Kesehatan melibatkan
persoalan hidup dan mati manusia. Kebijakan kesehatan juga sering diartikan sebagai
sejumlah keputusan di bidang kesehatan yang di buat oleh pemerintah bersama-sama
dengan DPR atau DPRD.

Kebijakan kesehatan menjadi sangat krusial di kalangan stakeholder kesehatan di


Indonesia, khususnya untuk para praktisi dan akademisi kesehatan. Pemahaman terhadap
kebijakan kesehatan dan analisisnya, diharapkan dapat menjadi input untuk “melahirkan”
kebijakan kesehatan yang mampu mencegah dan mengatasi kompleksitas di berbagai
masalah kesehatan.

D. Masalah dalam Kesehatan Nasional


Kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar seorang individu dan juga merupakan hak
bagi setiap masyarakat yang dilindungi oleh Undang – Undang (Khariza, 2015). Setiap
negara berlomba – lomba untuk membuat warganya tetap sehat agar dapat tercapai
masyarakat sejahtera. Dalam Undang – Undang Nomor 36 Tentang Kesehatan, kesehatan
diartikan sebagai suatu keadaan sehat, baik secara jasmani, rohani, maupun psikososial.

Kesehatan nasional dapat diartikan sebagai suatu keadaan sehat yang mencakup seluruh
masyarakat Indonesia. Terdapat berbagai macam masalah dalam kesehatan nasional di
Indonesia yang menjadi fokus dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Masalah
tersebut antaralain Angka Kematian Ibu dan Bayi (AKI/AKB), Pengendalian Stunting,
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Gerakan Masyarakat, dan Tata Kelola Sistem
Kesehatan yang sudah tertuang dalam Misi Kemenkes RI.

Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih
menjadi yang paling banyak terjadi di Asia Tenggara. Meskipun terjadi penurunan dari
sebanyak 346 kasus kematian pada tahun 2010 menjadi 305 kasus kematian pada tahun
2015, jumlah ini masih tergolong tinggi khususnya bagi negara berkembang di Indonesia.
Penyebab dari kematian ibu yang sering terjadi adalah karena hipertensi dalam kehamilan
(33,1%), pendarahan obsetrik (27,03%), komplikasi non-obsetrik (15,7%), komplikasi
obsetrik lain (12,04%), infeksi yang berkaitan dengan kehamilan (6,06%), dan penyebab
lain (4,81%) (Kemenkes RI, 2020).

Tingginya angka kematian ibu dan bayi di Indonesia banyak terjadi karena sebuah
fenomena yang disebut dengan fenomena tiga terlambat. Fenomena tiga terlambat ini
antaralain terlambat pengambilan keputusan untuk dirujuk ke fasyankes yang tepat,
terlambat sampai ke tempat rujukan, dan terlambat untuk ditangani dengan tepat. Hal ini
juga mengindikasikan belum optimalnya kualitas pelayanan dalam pelayanan maternal.

E. Masalah Kesehatan Nasional Stunting.


Stunting atau terlalu pendek untuk usia seseorang dapat didefinisikan sebagai tinggi badan
yang lebih dari dua standar deviasi di bawah median standar WHO. Kerdil atau stunting

4
pada anak mencerminkan kondisi dimana gagalnya pertumbuhan pada anak-anak di usia
balita khususnya pada bayi yang berusia di bawah lima tahun akibat dari kekurangan gizi
kronis, sehingga anak menjadi terlalu pendek untuk anak-anak seusianya. ( Qotrun,
Rahmat, Rudyk, 2022). Anak dikatakan pendek atau stunting jika tingginya berada di
bawah -2 SD dari standar WHO.
Salah satu indikator status gizi bayi lahir adalah panjang badan waktu lahir
disamping berat badan waktu lahir. Panjang bayi lahir dianggap normal antara 48 – 52
cm. Jadi panjang lahir <48 cm tergolong bayi pendek. Namun bila kita ingin mengaitkan
panjang badan lahir dengan risiko mendapatkan penyakit tidak menular waktu dewasa
nanti, WHO menganjurkan nilai batas < 50 cm.
Berat dan panjang badan lahir dicatat atau disalin berdasarkan dokumen/catatan
yang dimiliki dari sampel balita, seperti buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan
anak lainnya. Dari Riskesdas 2013, persentase balita yang memiliki catatan berat badan
lahir adalah 52,6 persen, dan yang memiliki catatan panjang badan 45 persen.
Menurut Riskesdas 2013, tingkat penyebaran BBLR (<2500 gr) adalah 10,2
persen sedangkan prevalensi pendek pada bayi baru lahir (<48 cm) adalah 20,2 persen.
Untuk tingkat nasional terjadi penurunan tingkat penyebaran pendek pada balita pada
tahun 2001 yaitu dari 29,5% menjadi 28,5% pada tahun 2004, selanjutnya menjadi 36,8%
pada tahun 2007, lalu menurun menjadi 35,6% pada tahun 2010 dan meningkat lagi pada
tahun 2013 menjadi 37,2%.
Untuk anak usia sekolah, terjadi kenaikan dan penurunan pada tingkat
penyebaran pendek, pada tahun 2001 sebesar 32% menjadi 30% pada tahun 2004, lalu
meningkat menjadi 33,4% pada tahun 2007 dan menurun kembali pada tahun 2010
menjadi 28,3%, namun kembali meningkat pada tahun 2013 menjadi 31,7%.
Besarnya beban masalah pendek pada 23,8 juta balita pada tahun 2013 sebesar
4,8 juta lahir pendek, dan selanjutnya 8,9 juta balita pendek, serta berlanjut pada anak
usia sekolah (5-18 tahun) sejumlah 20,8 juta.
Kelempok anak-anak yang berat badan saat lahir kurang dari 2500 gram,
cenderung pevelensi pendeknya lebih tinggi daripada kelompok anak yang lahir normal.
Menurut Riskedas 2010, anak pendek pada umumnya lahir dari ibu yang rata-rata
tinggi badannya lebih pendek dibandingkan rata-rata tinggi badan ibu yang normal.
Begitupun sebaliknya, kelompok ibu yang pendek cenderung melahirkan bayi pendek
yang lebih banyak dibandingkan kelompok ibu dengan tinggi normal.
Faktor determinan pendek pada bayi antara lain adalah tinggi badan ibu <150 cm,
IMT ibu hamil <18,5 kg/m2, pertambahan berat badan selama hamil yang di bawah
standar dan asupan zat gizi yang di bawah angka kecukupan gizi. Selain itu faktor
pendidikan dan status ekonomi jelas berpengaruh pada status gizi pendek. Makin tinggi
pendidikan dan makin sejahterah.
Kesenjangan yang signifikan juga terjadi pada status gizi pendek untuk semua
kelompok umur: prevalensi pendek di perdesaan lebih tinggi dibanding perkotaan,
prevalensi pendek pada tingkat kesejahteraan terendah terdapat pada kuintil 1 dan lebih
tinggi dibanding kuintil 5, pola serupa juga terjadi untuk tingkat pendidikan.
Kesenjangan juga terjadi antar provinsi, misalnya untuk balita pendek, di provinsi
Nusa Tenggara Timur, hampir 2 kali lipat dibandingkan provinsi terbaik, yaitu Kepulauan
Riau.keluarga, makin kecil prevalensi pendek.

5
Stunting tidak hanya terjadi pada bayi tapi juga bisa terjadi pada orang dewasa
yang memiliki usia 18-65 tahun. Di seluruh Indonesia lebih dari 59 juta penduduk
(39,5%) dewasa Indonesia dikategorikan sebagai orang yang pendek. Terdapat 18
provinsi dengan proporsi orang dewasa pendek lebih besar atau sama dengan proporsi
nasional orang dewasa pendek dengan proporsi penduduk dewasa pendek terbesar berasal
dari Provinsi Sulawesi Barat (54,3%). Sementara itu proporsi terendah penduduk dewasa
pendek berasal dari Provinsi Bali (25,7%).
Jika tidak diatasi, stunting akan berakibat di masa depan. Pendek yang merupakan
hasil dari gen bawaan ditambah kondisi gizi pada janin dan bayi ditambah infeksi dan
faktor epigenik lainnya, akan berdampak pada jangka pendek maupun panjang, yang pada
gilirannya meningkatkan penyakit dan menjadi beban yang berat.
Dapat disimpulkan bahwa stunting atau pendek dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti kurangnya gizi kronis dan bawaan atau gen. Dan dapat mengakibatkan
beberapa masalah di masa depan.

F. Pencegahan Pengendalian Penyakit


Tahun 2018, kebijakan penanggulangan stunting dilakukan melalui
memprioritaskan 160 kabupaten/kota, dengan masing-masing 10 desa untuk penanganan
stunting, di mana program ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan. Pihak terkait,
diantaranya Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan,
Kementerian Pertanian, Kementerian PPN/Bappenas, dan TNP2K (Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan), Kementerian Kesehatan, dan BPKP (Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan).
Berbagai kebijakan dan regulasi telah dikeluarkan pemerintah dalam rangka
penanggulangan stunting. Adapun kebijakan/regulasi tersebut, di antaranya yaitu :
1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025
Pemerintah di dalam RPJPN mengagendakan Program Pembangunan Nasional Akses
Universal Air Minum dan Sanitasi tahun 2019, dimana tahun 2019 Indonesia
dicanangkan dapat menyediakan layanan air minum dan sanitasi yang layak bagi 100%
rakyat Indonesia.
2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019
Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2015-2019, mencanangkan penurunan
prevalensi stunting hingga 28% dari keadaan awal tahun 2013 sebesar 32,9%.
3. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015
Rencana aksi tersebut disusun sebagai panduan dan arahan dalam pelaksanaan
pembangunan bidang pangan dan gizi di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten dan
kota baik bagi institusi pemerintah maupun masyarakat dan pihak lain yang terkait
dalam perbaikan pangan dan gizi. Adapun sektor yang terlibat dalam implementasi
rencana aksi ini, yaitu Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian PPN/Bappenas, dan
Badan POM (Bappenas 2011).
4. Undang-Undang (UU) No. 36/2009 tentang Kesehatan
Pengaturan pemberian ASI ekslusif dibuat untuk menjamin pemenuhan hak bayi untuk
memperoleh ASI ekslusif sampai dengan bayi berumur 6 bulan dengan memperhatikan
pertumbuhan dan perkembangannya. UNICEF dan WHO merekomen dasikan
pemberian ASI ekslusif sampai bayi berumur 6 bulan. ASI dianjurkan untuk diberikan

6
pada bulanbulan pertama kehidupan bayi karena ASI mengandung banyak gizi yang
diperlukan bayi pada umur tersebut (RI 2014) dan penting untuk membentuk imunitas
bayi. Pemberian ASI eksklusif diketahui berpengaruh terhadap kejadian gizi buruk,
dimana rendahnya Pemberian ASI eksklusif menjadi salah satu pemicu stunting pada
anak.
5. Peraturan Pemerintah (PP) No.33/2012 tentang Air Susu Ibu Eksklusif
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 33
tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif, maka ditetapkan
6. Peraturan Presiden (Perpres) No. 42/2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan
Perbaikan Gizi
Dibuat sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah untuk meningkatkan pengetahuan
dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap
peningkatan status gizi masyarakat. Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi
merupakan upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat melalui penggalangan
partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara terencana dan terkoordinasi
untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat yang diprioritaskan pada seribu hari
pertama kehidupan. Perbaikan gizi masyarakat diharapkan berdampak pada penurunan
prevalensi stunting
7. Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 450/Menkes/SK/ IV/2004
tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Secara Eksklusif Pada Bayi di Indonesia

8. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.15/2013 tentang Tata Cara


Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu.
Peraturan ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada ibu agar tetap
leluasa memberikan ASI eksklusif dengan menyediakan sarana untuk menyusui di
tempat kerja maupun sarana umum, memberikan kesempatan bagi ibu yang bekerja di
dalam ruangan dan/atau di luar ruangan untuk menyusui dan/atau memerah ASI pada
waktu kerja di tempat kerja salah satunya dengan penyediaan ruang ASI yang sesuai
standar
9. Permenkes No.3/2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
Permenkes No.3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM),
dimaksudkan untuk memperkuat upaya perilaku hidup bersih dan sehat, mencegah
penyebaran penyakit berbasis lingkungan, meningkatkan kemampuan masyarakat,
serta meningkatkan akses air minum dan sanitasi dasar melalui penyelenggaraan
STBM. STBM merupakan suatu pendekatan untuk mengubah perilaku higienis dan
saniter melalui pemberdayaan masyarakat.
10. Permenkes No.23/2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi.
Peraturan Menteri Kesehatan No.23 tahun 2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi dibuat
dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pada seluruh siklus
kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut usia dengan prioritas kepada
kelompok rawan gizi. Permen ini mengatur tentang tugas dan tanggung jawab,
kecukupan gizi, pelayanan gizi, surveilans gizi, dan tenaga gizi. Kelompok rawan gizi
yang dimaksud dalam permen ini adalah bayi dan balita; anak usia sekolah dan remaja
perempuan; ibu hamil, nifas dan menyusui, pekerja wanita dan usia lanjut. Pelayanan
gizi dilakukan melalui pendidikan gizi, suplementasi gizi, tata laksana gizi, dan
surveilans gizi.

7
11. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Gizi Dalam Rangka Seribu
Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1.000 HPK), 2013
Pemerintah juga menyusun Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Gizi
Dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan yang disusun pada tahun 2013.
Kerangka Kebijakan Gerakan 1000 HPK membahas tentang pentingnya 1000 HPK,
perlunya akselerasi perbaikan gizi melalui Gerakan 1000 HPK, intervensi gizi spesifik
dan sensitive, visi, misi, dan goal Gerakan 1000 HPK, tahapan, strategi, dan bentuk
kemitraan, serta pengorganisasian Gerakan 1000 HPK beserta Indikator keberhasilan
Gerakan 1000 HPK yang mencakup indikator proses, indikator intervensi, dan
indikator hasil (Bappenas 2013).
12. Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK).
Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka Seribu Hari Pertama
Kehidupan dianggap penting karena merupakan salah satu upaya untuk menciptakan
sumber daya manusia Indonesia yang sehat, cerdas, dan produktif.

G. Germas dan Tata Kelola


Germas merupakan program garda depan di era pemerintahan Presiden Jokowi
untuk membangun sumber daya manusia Indonesia yang unggul. Diteguhkan dengan
Instruksi Presiden nomor 1 tahun 2017 tentang Germas sebagai payung hukumnya,
Germas sejak awal dirancang sebagai program lintas sektor yang melibatkan 20
Kementerian dan Lembaga, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, dunia
usaha, serta masyarakat. Dengan demikian, gerakan ini bisa menjadi andalan untuk
menjaga kesehatan secara holistik yang bertumpu pada kemandirian masyarakat.untuk
mencapai masyarakat yang sehat diperlukan pendekatan yang menyeluruh. Berbagai
program, kampanye, upaya, digagas sejak lama, bahkan sebelum Indonesia merdeka.

Germas merupakan upaya untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan


kemampuan bagi setiap orang untuk hidup sehat agar peningkatan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud (Pedoman Umum Pelaksanaan
Germas, 2017). Untuk menurunkan faktor risiko utama penyakit menular, penyakit
tidak menular, angka kematian ibu, angka kematian bayi dan stunting, baik faktor
biologis, perilaku, maupun lingkungan, maka perlu dilakukan gerakan masyarakat
hidup sehat.
Adapun Indikator Germas Kementerian Kesehatan (Permen PPN/Ka Bappenas
11/2017) antara lain, adalah sebagai berikut :
1. Jumlah kabupaten/kota yang melaksanakan minimal 5 (lima) tema kampanye Gerakan
Masyarakat Hidup Sehat.
2. Persentase Kabupaten/Kota yang melaksanakan kebijakan KTR di minimal 50%
sekolah.
3. Persentase posyandu aktif dan persentase desa yang mengalokasikan dana desa untuk
UKBM sesuai dengan NSPK Kesehatan.
4. Jumlah kegiatan sosialisasi gemar beraktivitas fisik.
5. Jumlah petugas kesehatan yang menjadi konselor menyusui dan jumlah kegiatan
kampanye ASI eksklusif.

8
6. Jumlah puskesmas yang melaksanakan kegiatan deteksi dini kanker payudara dan
leher rahim pada perempuan usia 30-50 tahun dan jumlah pedoman pelaksanaan
deteksi dini penyakit di instansi pemerintah dan swasta.
7. Jumlah desa/kelurahan yang melaksanakan STBM.
Tata kelola dapat diartikan sebagai kombinasi proses dan struktur yang
diterapkan untuk menginformasikan, mengarahkan, mengelola, dan memantau
kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan. Dalam Pedoman Germas, secara operasional
tata kelola dijabarkan ke dalam rangkaian kegiatan perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
Sesuai dengan Permen PPN/Kepala Bappenas Nomor 11 Tahun 2017 yang
berlandaskan Instruksi Presiden No. 1/2017, di tingkat nasional tata kelola Germas
menjadi tanggung jawab utama tiga kementerian, Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian PPN/Bappenas, dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan. Kementerian Dalam Negeri bertanggung jawab
mengkoordinasikan dan memfasilitasi pemerintah daerah untuk melaksanakan Germas.
Kementerian Bappenas bertugas menyusun pedoman pelaksanaan hingga indikator
keberhasilan Germas serta melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan.
Pemantauan dan pelaksanaan ini dilakukan setahun sekali atau lebih jika diperlukan.
Dalam tata kelola Germas, Kementerian Kesehatan diberi mandat untuk
melakukan koordinasi dalam tahap pelaksanaan, yaitu dalam pelaksanaan sosialisasi
Germas. Di pusat, Kemenkes bekerja bersama koordinator Kemenko PMK dan
KemenPPN/Bappenas, sementara untuk sosialisasi di daerah bersama koordinator
Kemendagri, KemenPPN/Bappenas, dan Pemda.
Di tingkat daerah, gubernur dan bupati/walikota bertanggung jawab
mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan Germas, yang kemudian mendelega
sikannya kepada Sekretariat Daerah atau Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
Pemerintah provinsi menyusun rencana
dan pelaksanaan dengan menyertakan organisasi perangkat daerah (OPD), pemerintah
kabupaten/kota, dan pemangku kepentingan di daerahnya. Demikian juga dengan
pemerintah kabupaten/kota, yang menyusun rencana, melaksanakan, dan
mengkoordinasikan kegiatan Germas yang melibatkan pemerintah desa dan pemangku
kepentingan terkait.

H. Program Kebijakan Kesehatan Nasional


a) JKN
JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) adalah program kebijakan kesehatan
pemerintah yang bertujuan memberikan kepastian jaminan kesehatan yang
menyeluruh bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk dapat hidup sehat, produktif dan
sejahtera.
Untuk mengurangi risiko masyarakat menanggung biaya kesehatan sendiri,
dengan jumlah yang sulit diprediksi dan kadang-kadang memerlukan biaya yang
sangat besar, diperlukan suatu jaminan dalam bentuk asuransi kesehatan. Dengan
demikian pembiayaan kesehatan ditanggung bersama secara gotong-royong oleh
keseluruhan peserta.

9
Tetapi asuransi kesehatan saja tidak cukup. Diperlukan asuransi kesehatan
sosial atau Jaminan Kesehatan Sosial (JKN). Karena asuransi kesehatan sosial
memberikan manfaat yang komprehensif dengan premi terjangkau. Asuransi
kesehatan sosial menerapkan prinsip kendali biaya dan mutu. Itu berarti peserta bisa
mendapatkan pelayanan bermutu memadai dengan biaya yang wajar dan terkendali.
Prinsip-prinsip Pelaksanaan JKN mengacu pada prinsip pada SJSN:
1. Prinsip Kegotong-royongan
Prinsip gotong-royong berarti peserta yang sehat membantu peserta yang sakit
atau berisiko tinggi. Hal ini dapat terwujud karena sistem ini bersifat wajib
bagi seluruh penduduk Indonesia.
2. Prinsip Nirlaba
Pengelolaan dana amanat oleh BPJS bukan untuk mencari laba/keuntungan.
Tujuan utama adalah memenuhi kebutuhan peserta. Dana dari peserta adalah
dana amanat sehingga pengembangannya akan dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk kepentingan peserta.
3. Prinsip Portabilitas
Prinsip ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan
kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat tinggal
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Prinsip Kepersertaan Bersifat Wajib
Kepersertaan bersifat wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta
sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepersertaan bersifat wajib,
penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan
pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program.
b) BPJS
BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan) BPJS adalah badan hukum
publik milik negara yang non-profit dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Terdapat dua BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
BPJS Kesehatan wajib membayar fasilitas kesehatan atas pelayanan yang
diberikan kepada peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak dokumen klaim
diterima lengkap. Dalam JKN, peserta dapat meminta manfaat tambahan berupa
manfaat yang bersifat non medis seperti akomodasi. Misalnya: peserta yang
menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi dari haknya, dapat meningkatkan
haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih
antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dan biaya yang harus dibayar akibat
peningkatan kelas perawatan, yang disebut dengan Iuran biaya tambahan.
c) Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional
Manfaat JKN yang menjadi hak peserta dan anggota keluarganya. JKN terdiri
dari dua jenis, yaitu: Manfaat medis berupa layanan kesehatan yang tidak terikat
dengan besaran iuran yang dibayarkan dan manfaat non medis meliputi akomodasi
dan ambulans. Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari fasilitas
kesehatan dengan kondisi tertentu yang diatur oleh BPJS Kesehatan.
Manfaat JKN mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif. Termasuk pelayanan obat dan medis habis pakai sesuai dengan
kebutuhan medis.
Manfaat pelayanan preventif dan promotif meliputi:

10
• Penyuluhan kesehatan perorangan
• Imunisasi dasar
• Keluarga berencana
• Skrining kesehatan Meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat
komprehensif, Masih ada manfaat yang tidak dijamin meliputi:
a. Pelayanan di luar prosedur
b. Pelayanan di luar fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS
c. Pelayanan bertujuan kosmetik
d. General check-up/pengobatan alternatif
e. Pengobatan untuk mendapatkan keturunan
f. Pelayanan kesehatan saat bencana g.Percobaan bunuh diri penyakit yang timbul
akibat kesengajaan untuk menyiksa diri/bunuh diri/narkoba

11
DAFTAR PUSTAKA

Budiyanti, R. T., Sriatmi, A., & Jati, S. P. Buku Ajar Kebijakan Kesehatan: Implementasi
Kebijakan Kesehatan.

Massie, R. G. (2012). Kebijakan Kesehatan: Proses, Implementasi, Analisis Dan


Penelitian. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 12(4), 21293.

Kemenkes RI. (2014). Visi dan Misi.

Trihono, T., Atmarita, A., Tjandrarini, D. H., Irawati, A., Nurlinawati, I., Utami, N. H., &
Tejayanti, T. (2015). Pendek (stunting) di Indonesia, masalah dan solusinya.
Lembaga Penerbit Badan Litbangkes

Sahroji, Q. N., Hidayat, R., & Nababan, R. (2022). Implementasi Kebijakan Dinas Kesehatan
Dalam Penanganan Stunting Di Kabupaten Karawang. Jurnal Pemerintahan dan
Politik, 7(1).

Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Ditjen Kesehatan Masyarakat


Kementerian Kesehatan ( 2019). Tiga Tahun Germas Lessons Learned. Katalog
Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI Indonesia. Kementerian Kesehatan RI.
Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat.

Kementerian kesehatan republik indonesia (2016). Buku Panduan Jaminan Kesehatan


Nasional (JKN) bagi populasi kunci.

Nisa, L. S. (2018). KEBIJAKAN PENANGGULANGAN STUNTING DI INDONESIA. 13, 9.

12

Anda mungkin juga menyukai