Anda di halaman 1dari 41

UNIVERSITAS INDONESIA

KEBIJAKAN KESEHATAN DALAM


ALAT KESEHATAN DAN OBAT

Tugas Mata Kuliah


Manajemen dan Kebijakan Kesehatan

Diajukan sebagai salah satu syarat kelulusan mata kuliah


Manajemen dan Kebijakan Kesehatan

Kelompok 3
Arina Nurul Ihsani 1906335602
Rizti Millva Putri 1906336321
Riri Amanda Pratiwi 1906430724
Weny Wulandary 1906430913
Yudhi Adrianto 1906336454

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM PASCA SARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DEPOK
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Arina Nurul Ihsani 1906335602


Rizti Millva Putri 1906336321
Riri Amanda Pratiwi 1906430724
Weny Wulandary 1906430913
Yudhi Adrianto 1906336454

Telah berhasil diselesaikan dan diterima sebagai bagian persyaratan yang


diperlukan untuk kelulusan mata kuliah Manajemen dan Kebijakan Kesehatan
pada Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia.

Dosen Pengampu
Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, Msc., Ph.D

Ditetapkan di :
Tanggal :

ii
SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, kami :

Arina Nurul Ihsani 1906335602


Rizti Millva Putri 1906336321
Riri Amanda Pratiwi 1906430724
Weny Wulandary 1906430913
Yudhi Adrianto 1906336454

Menyatakan bahwa kami tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan tugas
makalah kami yang berjudul :

“KEBIJAKAN KESEHATAN DALAM ALAT KESEHATAN DAN OBAT”

Apabila suatu saat nanti terbukti kami melakukan plagiat, maka kami akan menerima
sanksi yang telah ditetapkan.

Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya.

Depok, 10 Februari 2020

Penulis

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah kebijakan kesehatan dengan tema
“Alat Kesehatan dan Obat”. Tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai salah satu
tugas dalam mata kuliah Manajemen dan Kebijakan Kesehatan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Penulis menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan dan belum seluruhnya
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan
untuk perbaikan dan kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.

Depok, 10 Februari 2020

Penulis

iv
DAFTAR ISI

COVER..............................................................................................................................1

HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................................ii

SURAT PERNYATAAN.................................................................................................iii

KATA PENGANTAR......................................................................................................iv

DAFTAR ISI.....................................................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

1.1. Latar Belakang....................................................................................................1

1.2. Pertanyaan Penelitian..........................................................................................3

1.3. Ruang Lingkup Penelitian..................................................................................3

1.4. Struktur Laporan.................................................................................................4

BAB II GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN..................................................................5

2.1 Kebijakan Alat dan Kesehatan Tingkat Global..................................................5

2.2 Kebijakan Alat dan Kesehatan Tingkat Regional...............................................6

2.3 Kebijakan Obat dan Alat Kesehatan Tingkat Nasional......................................8

2.3.1. Undang undang........................................................................................8

2.3.2. Peraturan Pemerintah...............................................................................8

2.3.3. Peraturan Presiden...................................................................................9

2.3.4. Peraturan dan Keputusan Menteri...........................................................9

2.3.5. Keputusan Direktur Jenderal.................................................................12

2.3.6. Surat Edaran...........................................................................................12

2.4 Kebijakan Obat dan Alat Kesehatan Tingkat Daerah.......................................14

2.4.1 Tingkat Provinsi.....................................................................................14

2.4.2 Tingkat Kabupaten/Kota........................................................................15

v
BAB III ANALISIS KEBIJAKAN.................................................................................16

3.1. Analisis Struktur Kebijakan Global hingga Daerah.........................................16

3.2. Analisis Hubungan atau Interaksi kebijakan antar Lembaga (Proses delegasi,
Desentralisasi)..............................................................................................................19

3.3. Analisis Konten dan Konteks Kebijakan Berbagai Level................................20

3.4 Analisis Proses Kebijakan................................................................................24

3.4.1 Analisis Kebijakan dalam Proses Pembuatan Kebijakan......................24

3.4.2 Studi Kasus : Alat Kesehatan dan Obat dalam Masa Pandemi COVID-
19 di Indonesia.....................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................34

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pembangunan kesehatan yang lebih baik adalah sumber kebahagiaan dan
kesejahteraan manusia. Hal ini berkontribusi penting pada kemajuan ekonomi, karena
populasi yang sehat hidup lebih lama, lebih produktif, dan dapat meminimalisir
pemborosan biaya. Banyak faktor yang memengaruhi status kesehatan dan kemampuan
suatu negara untuk menyediakan layanan kesehatan yang berkualitas bagi rakyatnya.
Kementerian kesehatan adalah aktor penting, tetapi begitu pula departemen pemerintah
lainnya, organisasi donor, kelompok masyarakat sipil dan masyarakat itu sendiri (WHO,
2010).
Sejalan dengan visi yang ingin dituju melalui pembangunan kesehatan yang
dirumuskan sebagai “Indonesia Sehat 2025”. Didalamnya terdapat beberapa rumusan
strategis pembangunan kesehatan yang meliputi terwujudnya lingkungan yang kondusif
bagi kesehatan jasmani, rohani maupun sosial, yaitu lingkungan yang bebas dari
kerawanan sosial budaya dan polusi, tersedianya air minum dan fasilitas sanitasi yang
memadai, perumahan dan pemukiman sehat, perencanaan kawasan yang melek
kesehatan. Di Indonesia tercatat untuk sarana produksi di bidang kefarmasian dan alat
kesehatan jumlahnya sebesar 2.817 sarana. Sedangkan untuk sarana distribusi
jumlahnya sebesar 35.556 sarana (Indonesia, 2015). Hasil pemertaan sarana produksi
alat kesehatan tahun 2013 menunjukkan bahwa hanya ada 192 sarana yang tersebar di
11 propinsi (Indonesia, 2016). Data di atas menujukkan bahwa dengan luasnya wilayah
Indonesia dan semakin meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan
kesehatan juga ikut meningkat.
Untuk mewujudkan keinginan tersebut, maka diperlukan sebuah kebijakan
yang mengatur agar mampu tercapai Indonesia Sehat 2025. Agustino (2008) menuliskan
dalam bukunya bahwa kebijakan merupakan rangkaian tindakan atau kegiatan yang
diusulkan oleh perorangan, kelompok atau pemerintah di ruang lingkup tertentu dimana
terdapat hambatan maupun kesulitan serta kemungkinan dan kesempatan dimana

1
kebijakan itu diusulkan, agar mampu dalam mengatasinya untuk mencapai sebuah
tujuan tertentu.
Menteri Kesehatan dalam Kepmenkes Nomor 189 Tahun 2006 memutuskan
bahwa akses terhadap obat-obatan, vaksin, dan produk kesehatan lainnya, termasuk
produk bioteknologi merupakah salah satu bagian penting dalam mencapai sistem
kesehatan yang kuat. Obat merupakan salah satu komponen yang tak tergantikan dalam
pelayanan kesehatan. Akses terhadap obat terutama obat esensial merupakan salah satu
hak azasi manusia. Dengan demikian penyediaan obat esensial merupakan kewajiban
bagi pemerintah dan lembaga pelayanan kesehatan baik publik maupun swasta.
Berdasarkan Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor1010/MENKES/PER/XI/2008
tentang Registrasi Obat menyatakan bahwa sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya
dapat diedarkan setelah mendapat izin edar. Dengan adanya izin edar dari Badan POM
menunjukan bahwa obat tersebut layak dikonsumsi serta memenuhi persyaratan
keamanan, khasiat /manfaat, dan mutu. Apabila ada obat yang tanpa diregistrasi terlebih
dahulu maka obat tersebut adalah obat ilegal.
Berdasarkan Laporan yang dimuat Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) ditahun 2018 ditemukan 8 kasus besar pelanggaran dalam menyimpan dan
mendistribusikan sediaan farmasi berupa obat tanpa izin edar. Kasus terbanyak terjadi di
Jakarta, sebanyak 291 item (552.177 pieces) obat ilegal, diantaranya obat disfungsi
ereksi seperti Viagra, Cialis, Levitra, dan Max Man dengan nilai ekonomi mencapai +
Rp. 17,4 Milyar. Dalam kasus ini setidaknya ada kebijakan yang dilanggar yakni
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Menurut hasil
penelitian yang dilakukan Maisusri (2016) dan Makhruf (2019), Penegakan kebijakan
kasus serupa masih sangat kurang. adapun yang menjadi factor penghambat dalam
proses penegakan kebijakan tersebut berasal dari penegak hukum sendiri, masyarakat
dan sarana-prasarana.
Sistem kesehatan tidak hanya ditunjang melalui pemberian obat-obatan, tetapi
juga dibantu dengan penggunaan alat kesehatan seperti yang diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1191 tahun 2010. Didalamnya tertulis bahwa alat kesehatan
adalah instrumen, apparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang
digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit,

2
merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk
struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. Namun alat kesehatan juga dapat mengandung
obat yang tidak mencapai kerja utama dalam tubuh manusia melalui proses farmakologi,
imunologi, atau metabolisme tetapi dapat membantu agar fungsi tersebut dapat berjalan
sebagaimana mestinya dengan mempergunakan alat kesehatan.
Dalam kajian internasional, Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga memiliki
regulasi yang mengatur tentang kebijakan pentingnya alat kesehatan dalam konteks
kesehatan global dan bagaimana regulasi alat kesehatan mampu diterapkan hingga ke
level nasional. Food and Drugs Administration (FDA) bersama dengan WHO juga
mengatur mengenai hukum, regulasi, kebijakan hingga prosedur pembuatan obat yang
aman untuk diedarkan ke masyarakat. . Di Indonesia, pemerintah juga terus
mengeluarkan kebijakan baru untuk mendukung terselenggaranya kemandirian industry
farmasi dan alat kesehatan yang tertuang di Inpres No.6 tahun 2016 dan akan terus
diperbarui untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (Nazmi, 2018).
Oleh karenanya, makalah ini bertujuan untuk menelaah kebijakan kesehatan
dalam alat kesehatan dan obat, serta identifikasinya di berbagai tingkatan dimulai dari
global, regional, nasional hingga daerah, serta bagaimana pentingnya kebijakan tersebut
mampu diterapkan hingga ke masyarakat umum.

1.2. Pertanyaan Penelitian


a. Bagaimana pelaksanaan kebijakan dalam alat kesehatan di tingkat global,
regional, nasional dan daerah?
b. Apakah perbedaan kebijakan dalam alat kesehatan dan obat di tingkat
global, regional, nasional dan daerah?
c. Bagaimana dampak dari kebijakan dalam alat kesehatan dan obat
terhadap kesehatan masyarakat?

1.3. Ruang Lingkup Penelitian


Makalah ini akan membahas tentang kebijakan dalam alat kesehatan dan obat
dalam sistem kesehatan di tingkat global, regional, nasional dan daerah. Makalah ini
akan mengidentifikasi bentuk kebijakan serta contoh implementasi yang telah dilakukan
pada masing-masing tingkatan hingga dampaknya ke masyarakat.

3
1.4. Struktur Laporan
Makalah ini tersusun atas empat bab yang menguraikan tentang kebijakan
dalam alat kesehatan dan obat. Masing-masing bab akan membahas mengenai rincian,
sebagai berikut :
1.4.1. BAB I Pendahuluan
Bab ini akan menguraikan tentang pentingnya kebijakan dalam bidang alat
kesehatan dan obat serta menjelaskan tentang format penyusunan makalah.
1.4.2. BAB II Gambaran Umum Kebijakan
Bab ini akan menguraikan tentang gambaran umum, bentuk, contoh
implementasi dan manfaat kebijakan dalam bidang alat dan kesehatan di
tingkat global, regional, nasional dan daerah.
1.4.3. BAB III Analisis Kebijakan
Bab ini akan menjelaskan tentang analisis perbedan kebijakan dalam bidang
alat dan kesehatan di tingkat global, regional, nasional dan daerah, hingga
manfaat dari kebijakan itu di level masyarakat umum.
1.4.4. BAB IV Kesimpulan dan Saran
Bab ini akan menjelaskan tentang kesimpulan dan saran yang menjawab
pertanyaan penelitian.

4
BAB II
GAMBARAN UMUM

2.1 Kebijakan Alat dan Kesehatan Tingkat Global


Dalam tingkat global, United Nations Development Program (UNDP)
menetapkan sebuah rancangan yang berupa Sustainable Development Goals (SDGs)
yang diharapkan mampu untuk dilaksanakan dan diprioritaskan sebagai tolak ukur
pembangunan di berbagai negara. Di dalamnya, terdapat satu tujuan bidang kesehatan
yang mengupayakan untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat, meningkatkan
harapan hidup, menurunkan angka kematian ibu hamil dan anak serta melawan penyakit
tidak menular.
Sektor kesehatan dinilai layaknya pembangkit perekonomian, melalui inovasi
dan investasi di bidang bio-medis atau produksi dan pejualan obat-obatan. Sebagian
warga masyarakat mendatangi fasilitas kesehatan untuk memanfaatkan puskesmas,
klinik, atau rumah sakit sebagai pasien atau pelanggan; atau datang sebagai tenaga
kesehatan seperti profesi dokter, perawat, bidan, apoteker, dan lain lain.
Memahami hubungan antara kebijakan dan kesehatan itu sendiri menjadi
sangat krusial untuk memungkinkan penyelesaian sebuah masalah kesehatan yang
terjadi pada saat ini. Kebijakan kesehatan dapat memberikan arahan dalam pemilihan
teknologi kesehatan yang akan digunakan, pengelolaan dan pembiayaan layanan
kesehatan serta pemilihan jenis obat yang akan dikonsumsi.
World Health Organization (WHO) atau Badan Kesehatan Dunia adalah salah
satu badan United Nations (UN) atau Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang
bertindak sebagai koordinator kesehatan umum internasional. Di dalamnya, Deputi
Direktur Jenderal WHO membawahi bidang Akses Terhadap Alat dan Produk
Kesehatan (WHO, 2020b).
Alat kesehatan dan obat merupakan hal penting dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada pasien, terutama dalam hal pencegahan, diagnosis hingga pengobatan
penyakit. Pembuatan perangkat medis dan obat-obatan yang sesuai dan terjangkau
dalam pelayanan kesehatan dikaitkan pula dengan keadilan dalam kesehatan, serta
pemberian layanan yang lebih responsif terhadap kebutuhan pasien (WHO, 2011).

5
Walaupun alat kesehatan merupakan komponen dari pelayanan kesehatan, alat
kesehatan berperan paling efektif dalam konteks yang lebih luas dari sekedar pelayanan
kesehatan, misalnya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai :
pencegahan, perawatan klinis meliputi (penyelidikan, diagnosis, perawatan dan
manajemen, tindak lanjut dan rehabilitasi), dan akses terhadap pemberian perawatan
kesehatan yang tepat. Misalnya ketersediaan luas jarum suntik sekali pakai dan jarum
mendukung cakupan kesehatan secara universal (WHO, 2011).
Dalam menjalankan fungsinya, World Health Assembly (WHA) adalah badan
pembuat keputusan dari WHO, yang dihadiri oleh delegasi dari seluruh negara anggota
WHO dan berfokus pada agenda kesehatan khusus yang disiapkan oleh Dewan
Eksekutif. Fungsi utama dari WHA salah satunya adalah menentukan kebijakan
organisasi (WHO, 2020).
World Health Assembly ke-enam puluh tujuh (WHA67.20) pada tahun 2014
menghasilkan Sistem Regulasi Untuk Memperkuat Perangkat Kesehatan untuk
memperkuat resolusi WHA45.17 tentang Kualitas Imunisasi dan Vaksin, WHA47.17
tentang Peran Tenaga Farmasi dalam Membantu Strategi Obat-obatan, WHA52.19
tentang Strategi Obat-obatan Revisi, WHA54.11 tentang Strategi Pengobatan,
WHA59.24 tentang Kesehatan Masyarakat, Inovasi, Penelitian Kesehatan dan
Intelektualitas, WHA63.12 tentang Ketersediaan, Keamanan dan Kualitas Produk
Darah, dan WHA65.19 tentang Standar Perangkat Kesehatan.

2.2 Kebijakan Alat dan Kesehatan Tingkat Regional

India merupakan negara yang ditunjuk menjadi kantor pusat kerja WHO
regional asia timur. World Health Organization South East Asia Region terdiri dari 11
(Sebelas) negara terdaftar meliputi Bangladesh, Bhutan, Korea Utara, India, Indonesia,
Maldives, Myanmar, Nepal, Sri Langka, Thailand dan Timor Leste. Saat ini negara-
negara anggota WHO Wilayah Asia Tenggara berkomitmen untuk membuat obat-
obatan esensial, vaksin, diagnostik, dan peralatan medis yang terjangkau dan dapat
diakses oleh semua orang, baik di dalam wilayah maupun di luae (WHO SEARO,
2020). Negara-negara Anggota berkomitmen untuk memperkuat kerja sama pengaturan
dan kolaborasi untuk meningkatkan ketersediaan, kualitas dan keamanan produk-produk
medis penting melalui South-East Asia Regulatory Network (SEARN).

6
Gambar 2. Program bantuan WHO di Asia Tenggara (WHO SEARO, 2018)

Produk medis merupakan komponen utama dari pengeluaran perawatan


kesehatan yang tidak terjangkau, yang telah mendorong 65 juta orang jatuh miskin di
Wilayah Asia tenggara WHO. Menandatangani deklarasi di Sesi Komite Regional
Tujuh Puluh pertama Wilayah Asia Tenggara WHO, negara-negara anggota
berkomitmen untuk mengembangkan mekanisme yang efektif, transparan dan
partisipatif untuk negosiasi harga regional dan pengadaan bersama untuk memastikan
aksesibilitas dan keterjangkauan produk-produk medis penting untuk mengancam jiwa,
penyakit langka, wabah dan memperkuat kemampuan laboratorium nasional (WHO
SEARO, 2018).
Dalam upayan mewujudkan kemandirian dalam aspek kesediaan obat dan alat
kesehatan di wilaya asia tengara. Dimuatalah kebijakn dalam upaya pergerakan antar
negara produk medis, sejalan dengan resolusi Majelis Kesehatan, Strategi Global dan
Rencana Kesehatan Masyarakat, Inovasi dan Kekayaan Intelektual (GSPA), WHA
61.21, “Penguatan sistem regulasi untuk produk medis ”, WHA 67.20 dan resolusi
Regional Asia Tenggara tentang Perdagangan Internasional dan Kesehatan SEA /
RC59 / R9.

7
Negara-negara Anggota di Wilayah mengakui bahwa setiap negara
berkembang, mengembangkan dan memperkuat mekanisme pengaturan untuk
memberikan kualitas produk farmasi untuk mencapai tujuan cakupan kesehatan
universal (UHC) berdasarkan norma nasional dan kebutuhan kesehatan masyarakat.
Jaringan pengaturan regional akan memungkinkan sebuah platform untuk komunikasi
dan pertemuan yang memungkinkan kerjasama dan dukungan untuk otoritas pengaturan
nasional (NRA) dari masing-masing negara untuk kualitas dan keamanan kemanjuran
produk medis secara tepat waktu dan efisien (WHO SEARO, 2016).

2.3 Kebijakan Obat dan Alat Kesehatan Tingkat Nasional


Kebijakan tentang obat dan alat kesehatan di Indonesia secara nasional
dikelurakan dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Praturan Presiden,
Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Keputusan Direktur
Jendral, Surat Edaran dan dijalankan oleh 2 (Dua) Lembaga yakni Farmalkes dan Badan
Pengawasan Obat dan Makanan

2.3.1. Undang undang


Undang - undang adalah peraturan perundang-undangan yang pembentukannya
dilakukan oleh dua lembaga, yakni DPR dengan persetujuan Presiden dan merupakan
peraturan yang mengatur lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945.
Pembentukan peraturan perundang-undangan pada umumnya meliputi tahapan
perencanaan, penyusunan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan. Kebijakan
yang dikelurkan oleh undang udang yang mengatur mengenai topic obat dan makanan
tertung dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan.

2.3.2. Peraturan Pemerintah


Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan untuk
melaksanakan UU, Peraturan Pemerintah diberikan kewenangan sama dengan UU,
maka dilekatkan istilah “pengganti UU”. Kebijakan yang dikeluarkan melalui Peraturan
pemerintah terkait obat dan alat keehatan tertuang kedalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan
Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan.

8
2.3.3. Peraturan Presiden
Presiden sebagai kepala negara memiliki wewenang untuk mengelurakan suatu
kebijakan. Berfokus pada Peraturan Presiden Nomor 80 tahun 2017, Presiden secara
khusus menjelaskan lembaga Badan Pengawasan Obat dan Makanan dalam hal
bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia dan dalam menjalankan
tugasnya berkoordinasi dengan Menteri Kesehatan dan dipimpin oleh kepala pimpinan).
fungsi dan tugas BPOM menyerupai fungsi dan tugas Food and Drug Administration
(FDA) di Amerika Serikat dan European Medicines Agency di Uni Eropa yaitu
mengawasi peredaran obat-obatan dan makanan di Indonesia.
Tugas utama Badan Pengawasan Obat dan Makanan berdasarkan Pasal 2 pada
Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Ayat pertama, BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di
bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Dan ayat kedua, Obat dan Makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat
tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan. Dapat disimpulkan
bahwa tugas BPOM sebagai unit pelaksana teknis adalah melaksanakan kebijakan di
bidang pengawasan obat dan makanan, yang meliputi pengawasan atas produk terapetik,
narkotika, psikotropika, zat adiktif, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen serta
pengawasan dan keamanan pangan dan bahan berbahaya.
Selain Obat, Presiden juga mengeluarkan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 110 Tahun 2018 Tentang Pengesahan Asean Agreement On Medical
Device Directive terkait Persetujuan Asean Untuk Pengaturan Peralatan Kesehatan.
Dimana pada pasal 1 ayat 1 menyatakan Mengesahkan ASEAN Agremeent on Medical
Device Directive (Persetujuan ASEAN untuk Pengaturan Peralatan Kesehatan) yang
telah ditandatangani pada tanggal 21 November 2014 di Bangkok, Thailand. Ayat 2
menyatakan salinan naskah asli ASEAN Agremeent on Medical Device Directive
(Persetujuan ASEAN untuk Pengaturan Peralatan Kesehatan) dalam bahasa Inggris
serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden.

2.3.4. Peraturan dan Keputusan Menteri

9
Kewenangan menteri dalam pembentukan peraturan perUndangUndangan pada
dasarnya ada dua jenis peraturan perundang-undangan yang dapat ditetapkan oleh
menteri, yaitu peraturan menteri dan keputusan menteri. Oleh karena menteri adalah
pembantu presiden. Maka para menteri menjalankan kewenangan pemerintahan di
bidangnya masing-masing berdasarkan delegasian wewenang (derivatif) dari Presiden.
Berikut beberapa peraturan yang dikelurakan menteri, yakni :
1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2017
Tentang Izin Edar Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro Dan
Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2017
Tentang Cara Uji Klinik Alat Kesehatan Yang Baik
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2016
Tentang Penyelenggaraan Uji Mutu Obat Pada Instalasi Farmasi Pemerintah
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2016
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2016 Tentang
Formularium Obat Herbal Asli Indonesia
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2016 Tentang
Penyelenggaraan Uji Mutu Obat Pada Instalasi Farmasi Pemerintah
9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2015
Tentang Standar Kapsul Vitamin A Bagi Bayi, Anak Balita, Dan Ibu Nifas
10. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 Tentang
Cara Distribusi Alat Kesehatan Yang Baik
11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1191/Menkes/Per/Viii/2010 Tentang Penyaluran Alat Kesehatan
Peraturan menteri lahir karena urusan tertentu dalam pemerintahan yakni
urusan –urusan yang telah menjadi urusan kementerian itu sendiri dan urusan yang telah
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan baik undangundang, peraturan

10
pemerintah maupun peraturan presiden. Meskipun demikian tidak semua kementerian
mempunyai kewenangan untuk membentuk peraturan menteri, hanya menterimenteri
yang memimpin suatu lembaga saja yang berhak untuk mengeluarkan peraturan
menteri, tidak seperti halnya menteri koordinator karena sifatnya hanya kordinasi saja
antar kementerian. Menurut O.Hood Philips yang pendapatnya dikutip oleh Anna
Erliana menyatakan Baik menteri, pemerintah daerah dan badan-badan publik lainnya,
hanya sah melaksanakan wewenangnya dalam batas-batas yang diberikan undang-
undang kepada mereka.
Keputusan yang dibuat mungkin melebihi wewenang dan menjadi ultra vires
karena badan administrasi melakukan transaksi dengan persoalan diluar wewenangnya
ini disebut substantif ultra vires, atau karena gagal mengikuti prosedur yang ditentukan
maka tindakannya disebut prosedural ultra vires. Kementrian kesehatan dalam hal ini
memiliki wewenang dalam mengeluarkan keputusannya dalam kajian obat dan alat
kesehatan yang diamanahkan dalam lembaga falmakes (Farmasi dan alat kesehatan).
Berikut adalah keputusan menteri kesehatan terkait obat dan alat kesehatan, yakni :
1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
Hk.01.07/Menkes/234/2018 Tentang Daftar Alat Kesehatan, Alat Kesehatan
Diagnostik In Vitro Dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga Impor Yang
Pengawasannya Dilakukan Dalam Kawasan Pabean (Border) Dan Di Luar
Kawasan Pabean (Post Border)
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
Hk.01.07/Menkes/234/2018 Tentang Daftar Alat Kesehatan, Alat Kesehatan
Diagnostik In Vitro Dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga Impor Yang
Pengawasannya Dilakukan Dalam Kawasan Pabean (Border) Dan Di Luar
Kawasan Pabean (Post Border)
3. Keputusan Menter! Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07 /
Menkes/255/2017 Tentang Harga Dasar Obat Khusus
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
Hk.01.07/Menkes/395/2017 Tentang Daftar Obat Esensial Nasional
5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
Hk.01.07/Menkes/659/2017 Tentang Formularium Nasional

11
6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor
7. Hk.01.07/Menkes/187/2017 Tentang Formularium Ramuan Obat Tradisional
Indonesia
8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
Hk.02.02/Menkes/525/2015 Tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik

2.3.5. Keputusan Direktur Jenderal


Didalam kementrian akan ditunjuk kepala depatemen yang akan memegang
amanah perbindang. Dalam hal ini pada kementiran kesehatan kajia obat dan alat
kesehatan dikendalikan oleh direktur jenderal bina farmasi dan alat kesehatan nasional
atau kelembagaaannya lebih dikenal dengan istila Farmalkes. Terdapat 2 (dua)
kebijakan yang dikeluargan oleh farmalkes itu sendiri yakni Keputusan Direktur
Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Nomor Hk.02.03/Iii/1346/2014 Tentang
Pedoman Penerapan Formularium Nasional dan Keputusan Direktur Jenderal Bina
Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Nomor Hk.02.03/I/626/2014 Tentang Pembentukan
Unit Pengendalian Gratifikasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat
Kesehatan.
Pedoman penerapan formulasi nasional ditujukan untuk meneetapkan
penggunaan obat yang aman, berkhasiat dan berbasis bukti ilmiah dalam JKN,
Meningkatkan penggunaan obat rasional, mengendalikan biaya dan mutu obat kepada
pasien, menjamin ketersediaan obat yang dibutuhkan untuk pelayanan kesehaatn dan
meningkatkan efisiensi anggaran pelayanan kesehatan.Pembentukan pengendalian
gratifikasi direktorat bina kefarmasian dan alat kesehatan menginggan pengadaan
farmasi dan alakes sanagatlah luar dirasa perlu adanya unit pengendalian Gratifikasi
yang bertugas mengawasi adanya tindakan – tindakan gratifikasi li lingan kerja
direktorat yang berlaku secara nasional.

2.3.6. Surat Edaran


Permendagri no. 55 tahun 2010 pasal 1 butir 43 dijelaskan bahwa surat edaran
adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara
melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak. surat Edaran tidak
dapat dijadikan dasar hukum untuk mengatur peraturan Menteri, apalagi Perpres atau PP

12
tetapi semata-mata hanya untuk memperjelas makna dari peraturan yang ingin
diberitahukan.
Surat Edaran mempunyai derajat lebih tinggi dari surat biasa, karena surat
edaran memuat petunjuk atau penjelasan tentang hal-hal yang harus dilakukan
berdasarkan peraturan yang ada. Surat Edaran bersifat pemberitahuan, tidak ada sanksi
karena bukan norma. Berikut surat edaran yang dikeluarkan kementrian kesehatan
terkait obat dan alat kesehatan, yakni :
1. Surat Edaran Nomor Hk.02.01/Menkes/238/2017 Tentang Kriteria Batas
Kadaluwarsa Obat Dan Perbekalan Kesehatan Untuk Pengadaan Obat Publik
Dan Perbekalan Kesehatan

2. Surat Edaran Nomor Hk.02.02/Menkes/24/2017 Tentang Petunjuk Pelaksanaan


Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 31 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 Tentang
Registrasi, Izin Praktik, Dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian

3. Surat Edaran Nomor Hk.03.03/Menkes/704/2016 Tentang Pelaksanaan


Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53 Tahun 2016 Tentang Pencabutan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 284/Menkes/Per/Iii/2007 Tentang Apotek
Rakyat

4. Suratedaran Nomor Kf/Menkes/167111112014 Tent An G. Pengadaan. Obat


Berdasarkan Katalog Elektronik (E-Catalogue)

5. Surat Edaran Nomor Hk/Menkes/31/1/2014 Tentang Pelaksanaan Standar Tarif


Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Dan Fasilitas
Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatan

6. Surat Edaran Nomor Hk/Menkes/32/I/2014 Tentang Pelaksanaan Pelayanan


Kesehatan Bagi Peserta Bpjs Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama Dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan
Program Jaminan Kesehatan.

13
2.4 Kebijakan Obat dan Alat Kesehatan Tingkat Daerah
Dinas Kesehatan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota merupakan unsur
pelaksana Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Dinas Kesehatan
Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dipimpin oleh Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi/Kabupaten/Kota yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada
Gubernur/Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah.
Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota memiliki dungsi, yaitu : 1)
Perumusan kebijakan di bidang kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengendalian
penyakit, pelayanan kesehatan, kefarmasian, alat kesehatan dan Perbekalan Kesehatan
Rumah Tangga (PKRT) serta sumber daya kesehatan; 2) Pelaksanaan kebijakan di
bidang kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengendalian penyakit, pelayanan
kesehatan, kefarmasian, alat kesehatan dan www.bphn.go.id perbekalan kesehatan
rumah tangga (PKRT) serta sumber daya kesehatan; 3) Pelaksanaan evalusasi dan
pelaporan di bidang kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengendalian penyakit,
pelayanan kesehatan, kefarmasian, alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah
tangga (PKRT) serta sumber daya kesehatan; 4) Pelaksanaan administrasi dinas sesuai
dengan lingkup tugasnya; dan 5) Pelaksanaan fungsi lain yang di berikan oleh Kepala
Daerah terkait dengan bidang kesehatan.
2.4.1 Tingkat Provinsi
Dinas kesehatan Provinsi mempunyai tugas membantu Gubernur
melaksanakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan yang menjadi kewenangan
Daerah dan Tugas Pembantuan yang ditugaskan kepada Daerah provinsi.
Dinas kesehatan daerah tingkat provinsi di bidang obat dan alat kesehatan
memiliki rumpun fungsi pada bagian rumpun upaya kesehatan dalam penyelenggaraan
upaya kesehatan primer dan penyelenggaraan upaya rujukan termasuk pengelolaan
pelayanan kefarmasian, perbekalan kesehatan, dan makanan dan minuman untuk UKM
dan UKP meliputi perencanaan, pengadaan, pendistribusian, dan penggunaannya.
Sedangkan dalam Pelayanan penerbitan izin dan klasifikasi Rumah Sakit Kelas B dan
Fasyankes daerah tingkat Provinsi, Dinas Kesehatan memiliki fungsi dalam Rumpun
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, Makanan dan Minuman Dalam penyelenggaraan
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, makanan dan minuman meliputi: a.
penerbitan pengakuan pedagang besar farmasi cabang dan cabang penyalur alat

14
kesehatan, tindak lanjut rekomendasi hasil, rekomendasi penerbitan dan tindak lanjut
hasil pengawasan; dan b. penerbitan izin usaha kecil obat tradisional dan tindaklanjut
hasil pengawasan.
2.4.2 Tingkat Kabupaten/Kota
Dinas kesehatan Kabupaten/Kota mempunyai tugas membantu Bupati/Wali
Kota melaksanakan Urusan Pemerintahan di bidang kesehatan yang menjadi
kewenangan Daerah dan Tugas Pembantuan yang diberikan kepada Daerah
Kabupaten/Kota.
Dinas kesehatan daerah tingkat Kabupaten/Kota di bidang obat dan alat
kesehatan memiliki rumpun fungsi pada bagian rumpun upaya kesehatan dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan primer dan penyelenggaraan upaya rujukan termasuk
pengelolaan pelayanan kefarmasian, perbekalan kesehatan, dan makanan dan minuman
untuk UKM dan UKP meliputi perencanaan, pengadaan, pendistribusian, dan
penggunaannya. Sedangkan dalam Pelayanan penerbitan izin dan klasifikasi Rumah
Sakit Kelas C dan D serta Fasyankes daerah Kabupaten/kota., Dinas Kesehatan
memiliki fungsi dalam Rumpun Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, Makanan dan
Minuman Dalam penyelenggaraan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan,
makanan dan minuman meliputi: 1) penerbitan/pencabutan izin apotek, toko obat, toko
alat kesehatan dan optikal, dan tindaklanjut hasil pengawasan; www.bphn.go.id 2)
penerbitan/pencabutan izin usaha mikro obat tradisional dan tindaklanjut hasil
pengawasan; 3) penerbitan/pencabutan sertifikat produksi alat kesehaan kelas 1 tertentu
dan PKRT kelas 1 tertentu perusahaan rumah tangga serta tindaklanjut hasil
pengawasan; 4) penerbitan/pencabutan sertifikat produksi makanan dan minuman pada
industri rumah tangga;dan 5) penerbitan sertifikat laik sehat terhadap pangan siap saji,
uji sampel, izin iklan dan tindaklanjut hasil pengawasan.

15
BAB III
ANALISIS KEBIJAKAN

3.1. Analisis Struktur Kebijakan Global hingga Daerah


Analisis kebijakan merupakan suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan
menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan bagi pembuat
kebijakan dan pembuat keputusan (Satrianegara, 2014). Health policy triangle terdiri
atas isi (content), konteks (context), proses (process), dan pelaku (actors). Keempat
aspek tersebut saling terkait atau saling berhubungan (interrelationship) satu sama lain
dalam mempengaruhi kebijakan (Buse et al, 2006). Salah satu kebutuhan perbekalan
kesehatan yang kebutuhannya meningkat adalah alat kesehatan. Alat kesehatan
merupakan salah satu bagian penting dalam pelayanan kesehatan yang digunakan untuk
membantu dalam pencegahan, penegakkan diagnosa, pengobatan maupun pemulihan
penyakit (WHO, 2020).
WHO menangani kebijakan kesehatan pemerintah dengan dua tujuan yaitu untuk
mengatasi penentu sosial dan ekonomi yang mendasari kesehatan melalui kebijakan dan
program yang meningkatkan keadilan kesehatan dan mengintegrasikan pendekatan yang
berpihak pada kaum miskin, responsif gender, dan berbasis hak asasi manusia. Selain
itu, tujuan WHO dalam menangani kesehatan juga untuk mempromosikan lingkungan
yang lebih sehat, mengintensifkan pencegahan primer dan mempengaruhi kebijakan
publik di semua sektor untuk mengatasi akar penyebab ancaman lingkungan terhadap
kesehatan (WHO, 2020). 
Saat ini, dunia sedang menghadapi pandemi yang dikenal dengan penyakit Corona
Virus atau Covid-19. WHO yang merupakan organisasi kesehatan tingkat global kepada
seluruh organisasi kesehatan di bawahnya termasuk WHO SEARO hingga ke tingkat
Nasional yaitu Kementrian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan banyak
kebijakan terkait Covid-19 dalam rangka mencegah penularan Covid-19. Terkait alat
kesehatan, WHO meminta agar negara-negara berpopulasi besar, seperti Indonesia,
lebih fokus meningkatkan kapasitas laboratorium untuk mendeteksi kasus Covid-19.
Deteksi dini menjadi faktor penting dalam mengatasi penyebaran koronavirus sehingga

16
otoritas dapat mengidentifikasi kluster-kluster secara lebih cepat. Salah satu kebutuhan
perbekalan kesehatan yang kebutuhannya meningkat adalah alat kesehatan.
WHO memperingatkan kekurangan global dan kenaikan harga sejumlah alat
medis pelindung diri untuk mencegah penyebaran virus corona. Pemerintah dan industri
diminta meningkatkan produksi sebesar 40% seiring jumlah kematian akibat covid-19
yang meningkat. Kekurangan pasokan dapat disebabkan oleh meningkatnya permintaan,
panic buying, penimbunan, dan penyalagunaan. Hal ini menyebabkan dokter, perawat,
dan tim medis lainnya memiliki hambatan dalam merawat pasien Covid-19 karena
terbatasnya persediaan seperti sarung tangan, masker medis terutama masker standar
WHO yaitu masker N95, pelindung mata, dan jubah (Agustianti 2020).
Alat kesehatan diregulasi oleh Kementrian Kesehatan di bawah Direktorat
Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Pemerintah mengatur alat kesehatan mulai
dari pengaturan terhadap sarana produksi, produk izin edar, dan distribusinya.
Berdasarkan data izin edar alat kesehatan dalam negeri dan data izin edar alat kesehatan
impor (Direktorat Penilaian Alat Kesehatan dan PKRT, 2018) dapat diketahui bahwa
jumlah alat kesehatan yang diproduksi dalam negeri sangat sedikit dibandingkan dengan
alat kesehatan impor. Jumlah alat kesehatan produksi dalam negeri jumlahnya tidak
sampai 10% dari keseluruhan alat kesehatan yang beredar di Indonesia.

Gambar 3. Perbandingan Jumlah Izin Edar Alat Kesehatan dalam Negeri dengan Alat Kesehatan Impor
(Nazmi, 2018)
Izin edar dan impor alat kesehatan di Kementerian Kesehatan meningkat akibat
adanya virus corona atau Covid-19. Daftar izin edar dan impor yang meningkat di
Indonesia di antaranya adalah izin edar alat kesehatan sebanyak 1482 izin, sertifikat
distribusi penyalur alat kesehatan 1255 izin, sertifikat cara distribusi alat kesehatan yang
baik 935 izin, sertifikat produksi industri alat kesehatan 877 izin, dan terakhir sertifikat
perdagangan besar dan farmasi.  Menurut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal

17
(BKPM) hal ini dilakukan karena BKPM dan Kementerian Kesehatan RI berkomitmen
untuk mempermudah izin edar dan impor terkait dengan penanganan Covid-19.
Kebijakan kesehatan yang dikeluarkan di tingkat nasional melalui Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 1191/MENKES/PER/VIII/2010 tentang penyaluran alat
kesehatan, serta berdasarkan arahan Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan
di antaranya strategi menjamin ketersediaan obat dan alat kesehatan disposible;
penguatan pembinaan pengawasan sarana produksi, dan distribusi kefarmasian;
kebijakan peningkatan mutu pelayanan kefarmasian di apotek, dan pelaksanaan Gema
Cermat; serta upaya peningkatan penggunaan alkes dalam negeri masih berlum tercapai.
Kebijakan pembangunan kesehatan tahun 2015-2019 difokuskan pada penguatan
upaya kesehatan dasar (Primary Health Care) yang berkualitas terutama melalui
peningkatan jaminan kesehatan, peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar
dan rujukan yang didukung dengan penguatan sistem kesehatan dan peningkatan
pembiayaan kesehatan (Kemenkes 2016).
Presiden sebagai kepala negara memiliki wewenang untuk mengelurakan suatu
kebijakan. Terkait dengan wabah covid-19 yang mulai terdeteksi di Indonesia sejak
awal Maret 2020, presiden tidak mengeluarkan kebijakan lockdown seperti halnya yang
dilakukan oleh negara-negara lain di dunia seperti China, Prancis, Denmark, Italia,
Spanyol, Belanda, Belgia, Filipina, Irlandia,dan Malaysia. Berdasarkan pernyataan
pemerintah pusat bahwa keputusan lockdown baik skala nasional maupun daerah adalah
kebijakan Pemerintah Pusat, kebijakan ini tidak boleh diambil alih oleh Pemerintah
Daerah.
Namun kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dapat dikatakan
berbeda dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh presiden (pemerintah pusat). Hal ini
dapat disebabkan oleh faktor ekonomi, politik, dan sosial. Namun langkah yang diambil
oleh pemerintah pusat dan Kementrian Kesehatan RI dapat dikatakan sesuai dengan
yang dilakukan oleh WHO yang merupakan badan organisasi kesehatan tingkat global.
Menurut WHO (2020), negara-negara di seluruh dunia tidak bisa begitu saja
menerapkan lockdown untuk menghalangi virus corona. Hal ini menurut WHO
disebabkan oleh ada banyak langkah kesehatan masyarakat yang harus diterapkan untuk
menghindari virus korona.

18
3.2. Analisis Hubungan atau Interaksi kebijakan antar Lembaga (Proses
delegasi, Desentralisasi).
Ketersediaan obat dan alat kesehatan dari setiap tingkatan memiliki hubungan
yang saling terkait. Dimana dalam hal ini kedudukan tingkat global yang dipegang
WHO memiliki peranan besar bagi lembaga regional, nasional dan daerah untuk
mengeluarkan kebijakan. Kebijakan yang dikeluarkan dari kedudukan lembaga tertinggi
dapat diterapkan seluruh lembaga, namun hal ini tidak berlaku pada lembaga daerah.
Daerah memiliki hak special untuk ikut dengan peraturan yang ada atau membuat
kebiajakan wilayah secara khusus yang tidak bisa digunakan wilayah lainnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mendeklarasikan Penyakit Corona
Virus 2019 (COVID-19) sebagai darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian
internasional (PHEIC). Penyebaran dan kematian akibat COVID-19 di dunia terus
meningkat secara eksponensial. Strategi dan intervensi kesiapsiagaan dan respons pada
pencegahan COVID-19 perlu diumumkan dan dijelaskan kepada publik dan sektor
masyarakat lainnya setiap kali ada perubahan. Penting untuk menyampaikan kepada
publik apa yang diketahui, apa yang tidak diketahui, dan apa yang dilakukan untuk
mencegah dan mengendalikan transmisi. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan
ditingkatan global terkait alat kesehatan merupakan kewajiban menggunakan masker
ketika keluar rumah.
Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan sebagai startegi atas respons
kejadian COVID-19 dengan membentuk Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7 Tahun
2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) untuk mengurangi atau menghentikan penyebaran penularan COVID-19,
Kebijakan ini diberlakukan sebagai bentuk antisipasi dampak penyebaran COVID-19 di
Indonesia. Kemudian Pemerintah mengeluarkan Pedoman Pembatasan Sosial Bersekala
Besar dalam Rangka Percepatan Penanganna Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
yang tertuang didalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 dimana
dimuat diliburkannya kegiatas persekolahan dan tempat kerja, aktivitas dirumah dan
beberapa tokoh diharapkan tutup untuk mencegah adanya kerumunan bersamaan
dengan hal ini pemerintah juga mengeluarkan protocol dan himbauan menggunakan
masker ketika hendak keluar rumah. Pembatasan social tidak dibatasi pada supermarket,

19
tokoh obat dan penjual obat - obatan, tokoh peralatan medis, tokoh Didalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 Bab 3 Pasal 13 Ayat 7.
Interaksi lain antara kebijakan nasional ke daerah terkait isu COVID – 19 dapat
kita telaah bersama dari kebijakan yang dikeluarkan melalui keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No HK.01.07/MENKES/249/2020 tentang penetapan
pembatasan social berskala besar diwilayah Kabupaten Tanggerang, Kota Tanggerang,
dan Kota Tanggerang Selatan, Provinsi Banten dalam Rangka Percepatan Penanganan
Corona Virus Disease 2019 (COVID – 19) dan keputusan ini berlaku sejak 12 April
2020. Dapat kita telaah bersama lembaga nasional dapat mengeluarkan suatu kebijakan
spesifik atau khusus kepada daerah sebagai respon cepat wilayah yang terdampak
pandemic Corona Virus Disease 2019 (COVID – 19).
Pada tingkatan daerah beberapa wilayah pemerintahan mengeluarkan kebijakan
terkait pembatasan social sekala besar dalam penanggulangan Corona Virus Disease
(Covid – 19) di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta pada Peraturan Gubernur
Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 33 Tahun 2020. Dalam kebijakan yang dikeluarkan
pada BAB IV Pasal 5 ayat 3b menghimbau masyarakatnya untuk menggunakan masker
ketika keluar rumah. Kebijakan ini berlaku sejak tanggal 9 April 2020.
Terkait isu obat dari tingkatan kelembanga belum mengeluarkan kecara resmi
protocol dan kebijakan pengkonsumsian obat – obatan yang mungkin beredar
dimasyarakat yang saat ini sedang dilanda “Punic Buying” seperti supplement vitamin
C, supplement meningkatkan kinerja system imunitas. Belum ada kebijakan khusus
untuk meredakan kepanikan dari masyarakat. Selain itu peneliti menyarankan
pemerintah nasional dan daerah mengeluarkan kebijakan dalam mengendalikan harga
pasar. Pemerintah nasional dan daerah perlu mengeluarkan suatu kebijakan izin usaha
bagi produsen handsanitizer, desinfektas dan alat pelindung diri yang sudah berhasil
lulus BPOM. Hal ini karena, semakin banyaknya para produsen brand kecantikan
berlomba – lomba mengeluarkan produk tanpa memperhatikan seara cermat
kemungkinan dampak dikemudian hari.

3.3. Analisis Konten dan Konteks Kebijakan Berbagai Level


Obat dan alat kesehatan merupakan hal penting dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada pasien, terutama dalam hal pencegahan, diagnosis hingga pengobatan
penyakit. Pembuatan perangkat medis dan obat-obatan yang sesuai dan terjangkau

20
dalam pelayanan kesehatan dikaitkan pula dengan keadilan dalam kesehatan, serta
pemberian layanan yang lebih responsif terhadap kebutuhan pasien (WHO, 2011).
Pada tingkat global, WHO melalui Majelis Kesehatan Dunia merumuskan
kebijakan mengenai prosedur standar pengadaan alat kesehatan yang meliputi
penilaian teknologi, evaluasi/penilaian perangkat, penilaian perencanaan dan
kebutuhan, pengadaan, instalasi, pelaksanaan/pemakaian dan pemantauan atau
pengawasan.
Di Indonesia kebijakan mengenai prosedur standar pengadaan obat dan alat
kesehatan atur dalam PERMENKES RI No.72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
kefarmsian di rumah sakit yang meliputi standar pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta standar pelayanan farmasi klinik.
Kegiatan atau proses dalam pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai meliputi pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian dan
administrasi. Pengadaan sediaan farmasi dapat dilakukan melalui pembelian, produksi
sediaan farmsi, dan sumbangan/Dropping/ hibah.
Saat ini dunia sedang dihadapkan dengan pandemi wabah corona virus atau
disebut COVID-19. Dalam kondisi ini permintaan perbekalan kesehatan sangat
meningkat sementara ketersediaan terus menipis. WHO telah memperingatkan dunia
mengalami kekurangan global dan kenaikan harga sejumlah alat medis pelindung diri
untuk mencegah penyebaran virus corona. Untuk memenuhi permintaan global,
pemerintah dan industri diminta meningkatkan produksi sebesar 40% seiring jumlah
kematian akibat covid-19 yang meningkat. Kekurangan pasokan disebabkan oleh
meningkatnya permintaan, pembelian panik, penimbunan, dan penyalagunaan. Ini dapat
membuat dokter, perawat, dan pekerja di garis depan lainnya tidak siap untuk merawat
pasien Covid-19 lantaran terbatasnya akses ke persediaan seperti sarung tangan, masker
medis, pelindung mata, dan jubah/gown (Agustiyanti, 2020). Industri dan pemerintah
harus bertindak cepat untuk meningkatkan pasokan, mempermudah pembatasan ekspor
dan distribusi peralatan pelindung diri dan persediaan medis lainnya serta
memberlakukan langkah-langkah untuk menghentikan spekulasi dan penimbunan.
Laporan Observasi Data Global dari World Health Organization (WHO)
mencantumkan bahwa Indonesia hanya punya empat dokter medis per sepuluh ribu

21
populasinya. Proses pemeriksaan dan penanganan pun cenderung lamban. Persediaan
alat pelindung diri dan tenaga paramedis masih belum dapat menandingi lonjakan
pasien terlebih lagi saat ini banyak oknum yang menjual perbekalan kesehatan dengan
harga penawaran tertinggi. Manajemen rumah sakit pun juga sama tidak siapnya (Adit
& Pertiwi).
WHO sejauh ini telah mengirim hampir setengah juta set alat pelindung diri ke
47 negara terdampak. Upaya yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan perbekalan
kesehatan oleh pemerintah Indonesia dilakukan dengan peningkatan jumlah industri
yang memproduksi perbekalan kesehatan, terutama produsen masker, alat pelindung diri
(APD) dan hand sanitizer di tengah pandemi virus corona atau COVID-19. Selain itu
pemerintah juga mengupayakan pengadaan perbekalan kesehatan dengan cara impor
dan mendapatkan batuan dari laur negeri. Gugus Tugas Percepatan Penanganan
COVID-19 menyampaikan daftar kebutuhan alat dan logistik kesehatan guna
menangani penyebaran coronavirus di Indonesia, khususnya yang prioritas saat ini yaitu
APD, Reagen RT-PCR, Viral transfer media, Rapid Diagnostic test, Nasal swab dan
Ventilator.
Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP),
mengeluarkan Surat Edaran No.3 Tahun 2020 tentang Penjelasan Atas Pelaksanaan
Pengadaan barang/jasa Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-
19). Surat edaran tersebut berisi tentang mekanisme baru pengadaan barang dan jasa
dalam masa penanganan wabah Virus Corona di Indonesia. Pengadaan barang dan
jasa untuk kondisi darurat seperti saat ini memang sebelumnya sudah diatur
dalam Peraturan Lembaga LKPP Nomor 13 Tahun 2018 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Dalam Penanganan Keadaan Darurat dimana Pemerintah
berwewenang untuk melakukan proses pengadaannya melalui mekanisme
penunjukan secara langsung. Kemudian, untuk mempercepat pengadaan barang,
terutama peralatan medis di dalam negeri pemerintah membuat kebijakan dengan
membebaskan bea masuk impor sejumlah barang untuk penanganan virus corona
(Covid-19), hal tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun
2020. Pada pasal 13A ayat I tertulis aturan “Dalam rangka percepatan impor barang
yang digunakan untuk penanganan COVID-19, pimpinan kementerian/lembaga

22
memberikan mandat pemberian pengecualian perizinan tata niaga impor kepada Ketua
Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19". Pihak yang bisa
mendapatkan fasilitas pembebasan bea cukai tersebut yakni kementerian/lembaga,
yayasan atau lembaga nonprofit, hingga perorangan atau swasta. Namun, tujuan impor
itu hanya untuk nonkomersial atau tidak ditujukan untuk dijual kembali. Sejalan denga
Keputusan Presiden No 9 Tahun 2020, Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan juga
menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 7 tahun 2020 dan Keputusan Menteri
Kesehatan nomor HK.01.07 tahun 2020 yang mengatur relaksasi beberapa komoditas
alat kesehatan untuk keperluan penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Bersamaan dengan diterbitkannya peraturan tersebut, maka alat kesehatan, alat
kesehatan diagnostik in vitro, dan perbekalan kesehatan rumah tangga yang digunakan
untuk penanggulangan Covid-19 yang tercantum dalam peraturan tersebut di atas
diberikan relaksasi yaitu tidak lagi wajib izin edar atau SAS melainkan hanya cukup
dengan rekomendasi pengecualian izin dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB). Permohonan rekomendasi dari BNPB dapat dilakukan secara online, pemohon
cukup mengakses laman resmi INSW di http://insw.go.id lalu klik menu Aplikasi INSW
dan pilih submenu Perizinan Tanggap Darurat.
Adanya kebijakan-kebijakan yang mempermudah importasi, pemerintah harus
berhati-hati dalam pengadaan alat-alat yang menunjang penanganan COVID-19.
Pengadaan alat-alat kesehatan harus tetap memperhatikan kualitas tidak hanya sekadar
memenuhi kebutuhan tenaga medis yang memadai. Selain itu pemerintah juga harus
lebih memperhatikan pengadaan yang berasal dari produksi lokal, untuk mengantisipasi
minat diversifikasi dari industri tekstil untuk ikut berpatisipasi dalam memenuhi
kebutuhan APD maka perintah juga harus melakukan relaksasi pemberlakuan izin edar
terhadap produksi dalam negeri APD yang berkualitas. Pemerintah juga harus membuat
kebijakan yang dapat memastikan ketersediaan dan pemasaran alat kesehatan dan
laboratorium (Alkeslab) dengan harga wajar dan jumlah yang memadai, pemerintah
dapat membuat standar harga maksimal yang terjangkau yang harus dipatuhi oleh
pelaku usaha dengan tujuan mencegah penimbunan atau pasokan alat kesehatan dengan
harga yang tidak wajar.
Pada tingkat daerah provinsi dan kab/kota, pengadaan alat kesehatan
penanganan COVID-19 pada umumnya didapatkan melalui bantuan pemerintah dan

23
swasta. Namun pendistribusian alat kesehatan dari pemerintah pusat ke daerah
terhambat birokrasi. Sebab, penyaluran APD harus melalui proses yang sangat panjang
dari pemerintah pusat sampai ke daerah. Meski pemerintah daerah sudah
mengalokasikan anggaran guna pengadaan peralatan kesehatan (Alkes) terkait
percepatan penanganan virus corona (Covid 19) di daerah. Baik, alat perlindung diri
(APD), Rapid test, ventilator maupun alkes lainnya. Namun pemerintah daerah masih
kesulitan untuk mendatangkannya. Proses dan keberadaan alat kesehatan saat ini tidak
mudah didatangkan lebih cepat sebab pada situasi saat ini semua pihak dan seluruh
pemerintah daerah melakukan proses pengadaan dan membutuhkan alat kesehatan yang
menjadi perioritas dalam siatuasi pandemi COVID-19 saat ini. Hal tersebut
mengakibatkan ada beberapa Rumah Sakit dan pusat pelayanan kesehatan lainnya yang
kurang mendapatkan perbekalan kesehatan. Dalam situasi penuh keterbatasan bantuan
alat kesehatan, untuk memenuhi kebutuhan APD sejumlah rumah sakit dan pelayanan
kesehatan lainnya didaerah pun berinisiatif membuat APD secara mandiri. Seperti
masker dari kain dilengkapi tali, mantel hujan dari plastik, sepatu boots, dan pelindung
wajah dari karet tebal yang tidak sesuai standar sehingga tenaga medis rentan tertular
Covid-19.
.4 Analisis Proses Kebijakan
.4.1 Analisis Kebijakan dalam Proses Pembuatan Kebijakan
Mengutip dari (Seavey, Aytur, McGrath, & Mc Grath, 2014), proses kebijakan
digambarkan dengan lima elemen diantaranya; formulasi, adopsi, implementasi,
evaluasi dan modifikasi. Formulasi meliputi identifikasi permasalahan, menentukan
permasalahan, menyusun pendekatan untuk mengatasi masalah, menentukan objektifitas
kebijakan, memperkirakan dampak, menyusun konten kebijakan dan melanjutkan ke
tahap adaptasi.

Gambar 4. Roda Kebijakan. Sumber: Evenson dan Aytur (2010) dalam (Seavey et al., 2014)

24
Sumber lain menyebutkan tahapan siklus kebijakan terdiri atas 4 atau 6 langkah.
Siklus dari kebijakan tidak selalu dimulai dari setting agenda, dapat dimulai dari hasil
evaluasi kebijakan sebelumnya, atau poin dimana proses kebijakan ini terhenti.

Gambar 5. Langkah Proses Kebijakan


Agenda Setting Kebijakan
Tahap ini merupakan yang terpenting diantara semua proses yang lainnya sebab
seluruh stakeholder membahas mengenai permasalahan, alternatif sekaligus solusi untuk
menangani permasalahan yang muncul. Banyak yang mengira bahwa tahap ini
dilakukan secara tertutup secara eksklusif oleh penentu kebijakan, tetapi dalam
realitanya banyak pihak-pihak lain yang turut mengintervensi.
Dalam proses penyusunan kebijakan, kita juga mengenal istilah segitiga analisis
kebijakan dimana pelaku (individu, grup dan organisasi) berada di tengah kerangka
kebijakan. Untuk dapat menggunakan istilah segitiga analisis kebijakan, terdapat
banyak aktor dalam proses kebijakan tersebut. Dalam hal ini, pemerintah sebagai aktor
sering berkonsultasi dengan kelompok eksternal untuk melihat apa pendapat mereka
mengenai isu yang ada dan untuk memperoleh informasi tertentu. Kelompok eksternal
ini dapat berupa interest group atau pressure group yang mampu mempengaruhi
pemikiran pemerintah dalam kebijakan atau ketentuan pelayanan. Interest group ini
adalah jenis sekelompok masyarakat yang berusaha mempengaruhi proses kebijakan
untuk mencapai tujuan tertentu. Secara sederhana, interest group mendukung atau
mewakili sebagian masyarakat tertentu (misalnya orang yang menderita penyakit
tertentu atau pabrik alat kesehatan dan obat-obatan) atau masyarakat yang mewakili isu
tertentu (misalnya perlawanan terhadap perdagangan rokok).

25
Interest group yang terlibat dalam kebijakan kesehatan bidang alat kesehatan
kemungkinan terdiri dari berbagai organisasi atau kelompok yang mewakili tenaga
kesehatan, penyedia layanan kesehatan (asosiasi rumah sakit), penjamin dana kesehatan
(asuransi kesehatan), kelompok pasien yang berbeda-beda, penyedia barang seperti
perusahaan obat-obatan dan pabrik peralatan medis.
Pendapat lain menyebutkan bahwa interest group sebuah kegiatan yang bersifat
sukarela dimana orang atau organisasi memilih untuk bergabung dengan kelompok
tersebut, memiliki tujuan untuk memperoleh beberapa tujuan yang diinginkan, serta
tidak berusaha untuk menjadi bagian proses pembuatan keputusan atau menjadi dari
proses formal pemerintah.
Saat ini sangat umum untuk menjelaskan bahwa interest group terdapat dalam
civil society, yang berarti bahwa mereka terdapat dalam bagian dari masyarakat yang
berdiri di antara ruang pribadi seperti keluarga atau rumah tanga dengan ruang publik
yakni pemerintah.

Gambar 6. Organisasi Civil Society, Interest Group dan NGO (LSM)


Indentifikasi Permasalahan
Saat prioritas masalah sudah ditentukan, para pembuat kebijakan harus
melakukan agenda kebijakan yang lebih luas menjadi pilihan kebijakan, proses ini
merupakan bagian dari formulasi kebijakan. Tahapan ini termasuk mengembangkan
proposal alternatif, menganalisa dan mengkomunikasikan informasi alternatif yang
dianggap penting. Tahapan ini juga merupakan saat peneliti dan praktisi profesional
memberikan pandangan dan penemuan sebagai identifikasi permasalahan serta
formulasinya. Pada tahap formulasi, informasi harus dikumpulkan, argumen
dikembangkan dan alternatif harus ditentukan.

26
Analisis dan Spesifikasi Alternatif Kebijakan
Analisis kebijakan dan spesifikasi kebijakan merupakan beban pada analisis
kebijakan dan para peneliti. Permasalahan dapat diselesaikan dengan berbagai cara yang
bergantung pada faktor sosial, ekonomi, dan politik. Bagian dari proses kebijakan ini
sangat bergantung pada pemahaman tentang konteks dan potensi nasional, kerangka
hukum, potensi ekonomi negara dan tingkat politik.
Memilih Alternatif Kebijakan yang Paling Sesuai
Pada tahap ini analis kebijakan akan memberikan setidaknya dua atau tiga opsi
pilihan kebijakan beserta dengan kemungkinan yang akan terjadi. Tetapi yang sering
terjadi dalam kenyataan, para penentu kebijakan telah memiliki solusi sendiri, bahkan
sebelum proses analisis selesai dilakukan. Proses ini adalah dimana solusi sudah
diketahui sebelum masalah diidentifikasi, atau hanya solusi melekat pada masalah,
karena alasan yang berkaitan dengan citra politik, dorongan kepentingan suatu
kelompok dan bukan sebagai kepentingan publik.
Implementasi Kebijakan
Penentu kebijakan harus memperhatikan infrastruktr untuk mampu menjalankan
kebijakan dengan baik dan benar, atau tindakan yang harus diambil untuk memperkuat
kebijakan ini. Terdapat tiga aktivitas yang secara langsung mempengaruhi kebijakan
secara langsung diantaranya; interpretasi, organisasi dan aplikasi.
Interpretasi berarti mengartikan bahasa program menjadi perintah administratif
yang dapat diterima dan mungkin untuk dilakukan. Hal ini dapat dituangkan menjadi
peraturan, regulasi, keputusan atau hal yang lainnya. Organisasi membutuhkan bagian
administrasi untuk menempatkan program baru. Sumber seperti dana, bangunan, staff,
dan peralatan dibutuhkan dalam proses implemetasi kebijakan. Sedangan aplikasi
membutuhkan pelayanan untuk dapat mencatat administrasi secara berkala. Proses
interpretasi dan organisasi dapat diartikan sebagai strategic planning yang harus
dilengkapi dengan rencana operasional dan manajemen.
Monitoring dan Evaluasi
Setiap kebijakan harus dilakukan monitoring dan evaluasi sebagai satu bagian
integral, sehingga dapat meyakinkan bahwa terdapat cukup sumber untuk
melaksanakannya. Hal yang penting dari tahap monitoring adalah melihat indikator

27
performa, menilai dan mengevaluasi hasil yang didapatkan dari implementasi kebijakan.
Hasil dari tahap ini akan digunakan untuk melihat performa secara keseluruhan.

Gambar 7. Proses Analisis Kebijakan (Dunn, 2015)


.4.2 Studi Kasus : Alat Kesehatan dan Obat dalam Masa Pandemi COVID-19 di
Indonesia
Latar Belakang
Semenjak serangan wabah virus Corona atau Covid-19 menyerang dunia,
termasuk Indonesia, dan masifnya pemberitaan melalui saluran telekomunikasi maupun
media sosial membukakan banyak mata bahwa Sistem Kesehatan Nasional Indonesia
belum siap menghadapi situasi semacam pandemi, hal yang juga berlaku di negara lain.
Berdasarkan Kepmenkes RI No 374 Tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Nasional
dimana di dalamnya meliputi Sediaan Farmasi, Alkes dan Makanan.
Penjelasan mengenai bagian Sediaan Farmasi, Alkes dan Makanan merupakan
tatanan yang menghimpun berbagai upaya yang menjamin ketersediaan, pemerataan,
seta mutu obat dan perbekalan kesehatan secara terpadu dan saling mendukung dalam
rangka tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi seluruh masyarakat
Indonesia. Dalam Kepmenkes ini, Pemerintah berjanji untuk menjamin ketersediaan
obat dan perbekalan kesehatan yang berkualitas, terjangkau baik secara harga maupun
ketersediaannya guna dimanfaatkan oleh masyarakat luas untuk meningkatkan derajat
kesehatan.

28
Sebelum wabah menyerang, beberapa kali terdengar persediaan obat-obatan
sempat mengalami kelangkaan karena kegagalan penunjukan tender dari pihak
pemerintah sehingga alokaso dana APBN tidak dapat tersalurkan untuk membeli obat
tersebut, belum lagi beredarnya vaksin palsu secara bebas di apotek bahkan hinggake
fasilitas kesehatan menunjukkan betapa lengahnya pemerintah dalam hal pengawasan.
Ketika pandemi Covid-19 datang, nampaknya berbagai kejadian yang sudah
berlalu Pemerintah belum melakukan pembenahan, hal ini ditunjukkan dari banyaknya
penemuan kelangkaan APD, hand sanitizer, pun jika dijual bebas seperti di e-
commerce, terdapat kenaikan harga hingga melebihi 5 kali lipat. Hal ini juga terjadi
bagi tenaga medis, sebagai kelompok yang paling membutuhkan perlindungan alat
kesehatan untuk menjalankan tugasnya.
Proses
Jika berbicara mengenai kebijakan, Indonesia memiliki berbagai macam
peraturan perundangan yang mengatur Alat Kesehatan dan Obat yang terdiri dari
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, hingga
Instruksi Presiden.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan jelas
menyatakan bahwa sediaan farmasi dan alat kesehatan haruslah terjangkau, dan orang
yang tidak memiliki kewenangan dilarang untuk mengadakan, menyimpan, mengolah
hingga mengedarkannya. Menyikapi keadaan pandemi yang tertuang dalam Instruksi
Presideng Nomor 4 Tahun 2020, menginstrukstikan untuk melakukan pengadaan barang
dan jasa alat kesehatan dan alat kedokteran untuk penanganan Covid-19 sesuai dengan
standar Kemenkes.
Hal yang sama juga pernah dinyatakan dalam Instruksi Presiden Nomr 3 Tahun
2017, dimana Menteri Dalam Negeri ditugaskan untuk meningkatkan pembinaan dan
pegawasan kepada Gubernur, Bupati dan Walikota terkait pelaksanaan urusan sediaan
farmasi dan alat keseharan, serta pembinaan terhadap produk hukum daerah. Begitupun
dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelayanan
Perizinan Berusaha Terintegritas Secara Elektronik Sektor Kesehatan dimana
didalamnya mengatur tentang perizinan perseorangan atau pelaku usaha untuk
melaksanakan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT).

29
Dari berbagai kebijakan yang saat ini ada yang berkaitan dengan alat kesehatan
dan obat, berikut adalah beberapa kondisi yang teridentifikasi muncul selama masa
pandemi Covid-19 :
 Lemahnya pengawasan terhadap jual beli dan distribusi alat kesehatan
 Kurangnya ketegasan dari pemerintah maupun aparat yang berwajib
terhadap penjualan alat kesehatan bekas
 Merebaknya peredaran obat-obatan dan alat medis
Metodologi
Langkah yang diambil ketika menghadapi permasalahan yang muncul di tengan
pandemi Covid-19 yaitu menganalisa berita yang muncul melalui saluran
telekomunikasi maupun media sosial. Dalam pelaksanaannya, sumber-sumber yang
digunakan adalah sumber kredibel yang berasal dari pusat berita terpercaya.
Hasil
Sebagai contoh dalam menghadapi kasus Covid-19, tekanan dari civil society
kepada pemerintah untuk tanggap dan serius menangani kasus Covid-19 membuahkan
hasil dengan keluarnya Peraturan Pemerintah tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar
yang hasilnya diimplementasikan di beberapa provinsi maupun kota. Disaat yang
beriringan, permasalahan muncul dari bidang alat kesehatan dan obat dimana banyak
laporan menemukan terjadinya kelangkaan, penimbunan hingga peningkatan harga-
harga alat kesehatan seperti masker, hand sanitizer, APD serta peralatan kesehatan lain
yang mana dalam hal tersebut Pemerintah seharusnya memiliki kontrol terhadap
permasalahan ini.
Merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1191/Menkes/Per/VII/2010
Tahun 2010 pada Pasal 1 dimana Cabang Penyalur Alat Kesehatan (Cabang PAK)
adalah unit usaha dari penyalur alat kesehatan yang telah memiliki pengakuan untuk
melakukan kegiatan pengadaan, penyimpanan, penyaluran alat kesehatan dalam jumlah
besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, serta Toko alat kesehatan yang
diselenggarakan oleh perorangan atau badan untuk melakukan kegiatan pengadaan,
penyimpanan, penyaluran alat kesehatan tertentu secara eceran sesuai ketentuan
perundang-undangan. Namun yang ditemukan di masyarakat selama menghadapi masa
pandemi yaitu tidak berfungsinya poin ini dalam rangka penjainan pengadaan,
penyimpanan dan penyaluran alat kesehatan, sehingga terjadi lonjakan harga yang tidak

30
wajar, kelangkaan alat kesehatan, hingga penggunaan alat kesehatan yang tidak sesuai
pada fungsinya. Sebagai contoh, alat kesehatan yang seharusnya digunakan untuk
melindung tenaga kesehatan digunakan oleh masyarakat yang pada umumnya tidak
membutuhkan alat tersebut. Dalam hal ini, pemerintah, khususnya Dirjen Farmasi dan
Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dianggap gagal dalam menegakkan
Permenkes yang telah ditegakkan dan “kalah” dalam melawan tindakan civil society
yang melanggar hukum.
Belum lagi aduan mengenai ditemukannya korban yang mendapatkan masker
bekas pakai ketika membeli masker sekali pakai. Hal ini dapat disebabkan karena
oknum tidak bertanggung jawab yang ingin mencari keuntungan di tengah kondisi
bencana, tetapi hal ini tidak lepas pula dari tanggung jawab pemerintah sebagai pihak
yang seharusnya mengawasi peredaran alat kesehatan semacam masker atau APD lain.
Informasi tanpa batas yang beredar melalui internet terkadang menimbulkan
dampak negatif bagi masyarakat yang tidak bisa memilahnya dengan benar. Di sebuah
sosial media, beredar kabar bahwa obat klorokuin diklaim mampu menyembuhkan
pasien Covid-19. Disaat yang bersamaan, masyarakat awam, yang bahkan mungkin
tidak menderita Covid-19 berramai-ramai membeli klorokuin yang ternyata dijual bebas
di pasaran termasuk di layanan e-commerce.
Alternatif
Berdasarkan analisis proses kebijakan, hasil tersebut dirubah menjadi alternatif
kebijakan yang nantinya akan diajukan ke pembuat kebijakan.
Alternatif 1 : Meningkatkan implementasi pengawasan oleh pemerintah
Alternatif ini meliputi perubahan mekanisme implementasi pengawasan,
termasuk juga meningkatkan kesadaran masyarakat. Salah satu hal yang paling utama
yaitu penegakan perizinan jual beli alat kesehatan maupun obat-obatan yang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Terlebih, dengan adanya kemudahan berbelanja secara daring, setiap orang
dengan mudahnya mengambil kesempatan untuk menjual bebas alat kesehatan maupun
obat yang sedang banyak dibutuhkan di masa pandemi Covid-19 ini. Oleh karenanya,
dengan menegakkan kembali Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2018
tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegritas Secara Elektronik Sektor
Kesehatan, hal semacam ini seharusnya tidak dapat terjadi.

31
Pemerintah dalam hal pihak yang memiliki wewenang seharusnya mampu
mengontrol harga alat kesehatan dan obat-obatan yang beredar di pasaran dengan
melakukan berbagai macam tindakan seperti sidak, teguran, atau tindak pidana bagi
mereka yang terbukti menyalahi peraturan.
Peningkatan kesadaran bagi masyarakat awam juga diperlukan bahwasannya di
tengah kondisi dimana semua orang mengalami perubahan yang menyulitkan, tidak
sepantasnya mengambil kesempatan dengan cara menimbun dan menjual kembali alat
kesehatan dan obat-obatan dengan harga yang sangat tidak wajar. Lepasnya kendali
pemerintah untuk mengedukasi warganya membuat hal ini dapat terjadi.
Alternatif 2 : Menentukan tindakan secara cepat
Kita patut apresiasi tindakan yang dilakukan pemerintah dengan meningkatkan
produksi masker, APD dan obat-obatan dalam negeri meningkat semenjak terjadi
banyak kelangkaan. Dengan tidak bergantung terhadap impor, kita mampu
memproduksi dengan bahan baku dari dalam negeri yang akan berdampak pada
cepatnya distribusi dan peningkatan pada sektor UMKM.
Dengan tujuan yang sama untuk melindungi setiap individu dari penularan virus
Corona maka seluruh masyarakat dihimbau untuk tetap menggunakan masker setiap
beraktivitas. Langkah pemerintah melalui Gugus Tugas Percepatan Covid-19 yang
menghimbau bahwa penggunaan masker sekali pakai dapat diganti dengan
menggunakan masker kain yang dapat dicuci juga patut diapresiasi. Disatu sisi
masyarakat mendapatkan edukasi tentang bagaimana cara untuk tetap dapat melindungi
diri, disisi lain produksi masker sekali pakai mampu difokuskan kepada tenaga
kesehatan atau orang sakit yang benar-benar membutuhkan.

32
BAB IV
KESIMPULAN

Alat kesehatan dan obat-obatan merupakan komponen penting dalam menunjang


kondisi kesehatan di masyarakat. Dalam sejarahnya, alat kesehatan pertama kali
ditemukan pada tahun 1903 yang dikenal sebagai elektrokardiografi, kemudian
menyusul alat bantu respirasi, mesin dialisis hingga evolusinya sampai saat ini alat
kesehatan mampu melakukan transplantasi organ manusia.
Pemerintah sebagai penentu kebijakan memiliki tanggung jawab untuk mampu
menyediakan alat kesehatan yang aman, bermutu dan berkinerja, seperti yang tercantum
dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. WHO pernah
mengadakan sebuah proyek yaitu WHO Intergovernmental Working Group on Public
Health, Innovation and Intellectual Properties yang membahas mengenai perkembangan
alat-alat kesehatan dan obat-obatan yang diharapkan mampu untuk dijangkau, mudah
didapat dan terjangkau.
Di Indonesia, terdapat beberapa Undang-Undang hingga Keputusan Menteri
yang mengatur tentang masalah alat kesehatan dan obat-obatan. Direktorat Jenderal
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan memiliki tugas untuk
menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang obat-obatan dan
alat kesehatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Badan Pengawan Obat
dan Makanan (BPOM) juga memiliki kewenangan berdasarkan Peraturan Presiden
Nomor 80 Tahun 2017 yaitu menyelenggarakan tugas di bidang pengawasan obat dan
makanan. Dalam pelaksanannya, Dirjen Farmalkes tidak hanya memiliki kewenangan
dalam menyusun kebijakan saja, tetapi melaksanakan, supervisi, hingga tahapan
evaluasi di lapangan. Dibantu oleh BPOM yang melaksakanan kebijakan teknis
operasional dalam mengawasi obat dan makanan.
Berdasarkan studi literatur terhadap kondisi kebijakan alat kesehatan dan obat di
Indonesia, terdapat beberapa aspek yang dapat dikaji diantaranya aspek komunikasi,
sumber daya, struktur birokrasi, hingga faktor pendukung dan penghambat. Secara
umum, komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam pengimplementasian
kebijakan cenderung dilakukan secara top-down yang di-diseminasikan melalui
sosialisasi, pertemuan, atau workshop yang melibatkan industri alat kesehatan, rumah
sakit atau dinas kesehatan. Terkait dengan industri alat kesehatan, adanya Paket

33
Kebijakan Ekonomi XI yang dilanjutkan dengan Inpres No. 6 Tahun 2016 tentang
Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan merupakan sebuah
tindakan dalam mendorong pelaksanaan pengembangan industri alat kesehatan dalam
negeri.
Sumber daya manusia (SDM) juga merupakan faktor yang dibutuhkan dalam
pengimplementasian kebijakan ini. Hampir sama dengan penyusunan kebijakan
mengenai alat kesehatan dan obat, kewenangan pelaksakaan kebijakan dalam mencari
atau mempekerjakan SDM di bidang ini di level provinsi atau daerah dinilai masih
terbatas. Padahal dalam pelaksanaan kebijakan dan pengguna akhir produk alat
kesehatan dan obat-obatan tersebar di seluruh Indonesia.
Birokrasi dan koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan alat kesehatan dan obat-
obatan di Indonesia yang meliputi antar kementerian/lembaga/instansi daerah dalam
negeri semakin dipertegas dengan adanya Inpres No. 6 Tahun 2016, dengan adanya
tugas dan fungsi masing-masing lembaga untuk mempermudah koordinasi antar
kementerian/lembaga. Walau koordinasi saat ini sudah dapat terjalin dengan baik, akan
tetapi dalam pelaksanaan di masyarakat sempat beberapa kali ditemukan masalah, baik
itu terkait dengan distribusi, perizinan, hingga peredaran. Terlebih saat ini sistem
kesehatan nasional sedang diuji dengan adanya pandemi Covid-19, dimana muncul
berbagai masalah terkait distribusi alat kesehatan dan obat-obatan, pengawasan, tata
kelola, hingga pelayanan di tingkat fasilitas kesehatan.
Adanya Gugus Tugas Percepatan Covid-19 dari BNPB Indonesia mampu
membantu meluruskan birokrasi serta koordinasi yang selama ini terdapat disintegrasi
dalam tubuh pemerintah, khususnya saat penanganan pandemi virus Corona. Pencarian
potensi serta sumber daya untuk pembuatan masker dalam negeri mampu dilakukan
secara cepat untuk menangani kelangkaan yang sempat terjadi, meningkatkan dan
mendaya-gunakan laboratorium di berbagai wilayah guna melakukan pengecekan
spesimen Covid-19 merupakan tugas yang seharusnya dilaksanakan oleh pihak yang
berwenang, dalam hal ini yaitu Kementerian Kesehatan.

34
DAFTAR PUSTAKA

Agustino, L. (2008). Dasar-dasar kebijakan publik. Bandung: Alfabeta.


Buse, K. (2006). Making Health Policy. London: Open University Press.
Dunn, W. N. (2015). Public policy analysis. Routledge.
Satrianegara, M. F. (2014). Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan. Jakarta
Selatan: Salemba Medika.
Seavey, J. W., Aytur, S. A., McGrath, R. J., & Mc Grath, R. (2014). Health Policy
Analysis. Springer Publishing Company.
Usman, N. (2018). Implementasi Kebijakan Pengembangan Industri Alat Kesehatan
Dalam Negeri. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia: JKKI, 7(1), 42–48.
WHO. (2010). WHO | Health and development. WHO.
WHO. (2011). Medical Device Policies.
WHO. (2020a). World Health Assembly. Retrieved February 17, 2020, from
https://www.who.int/about/governance/world-health-assembly
WHO. (2020b, January). World Health Organization Headquarters. Retrieved February
17, 2020, from https://www.who.int/docs/default-source/documents/about-us/who-
hq-organigram.pdf?sfvrsn=6039f0e7_4
Makhruf, Amin. 2019. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Peredaran Obat-
Obatan Tradisional Yang Tidak Terdaftar Di Badan Pengawas Obat Dan Makanan
Oleh Polres Sleman. [Skripsi]. Open akses di
https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/15608

Maisusri, Syafrina. 2016. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Peredaran Obat
Impor Yang Tidak Memiliki Izin Edar Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai
Besar Pengawas Obat Dan Makanan Di Pekanbaru. Jurnal Online Mahasiswa
Hukum Universitas Riau. Volume III. No.2. Open Akses di
https://media.neliti.com/media/publications/183139-ID-none.pdf

Nazmi. 2018. Implementasi Kebijakan Pengembangan Industri Alat Kesehatan Dalam


Negeri. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia. Volume 07, No.1. Hal 42-48.

WHO. (2010). WHO | Health and development. WH0

35

Anda mungkin juga menyukai