Anda di halaman 1dari 11

TUGAS

KEBIJAKAN LINGKUNGAN MIL 511

Analisis Kebijakan Kesehatan


Kawasan Tanpa Rokok di Provinsi Jambi

Nama : Ahmad Syarthibi


Nomor Mahasiswa : P2f 113 016

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN


UNIVERSITAS JAMBI
2014
TUGAS
KEBIJAKAN LINGKUNGAN

(Dr. Ardi, SP, MSi)

Analisis Kebijakan Kesehatan


Kawasan Tanpa Rokok di Provinsi Jambi
Latar Belakang
Perkembangan Jambi menuju provinsi yang mengglobal tampaknya cenderung
menuju perkembangan yang sedikit merugikan. Hal tersebut tampak dari
terjadinya penyalahgunaan konteks globalisasi yang diasumsikan sebagai paham
yang bebas untuk mengekspresikan diri maupun bebas berperilaku. Kondisi
tersebut mempengaruhi perilaku masyarakat yang cenderung hanya memikirkan
diri sendiri dan meraih keuntungan bagi dirinya tanpa menghiraukan kepentingan
orang lain. Ditambah lagi kondisi lingkungan (kondisi untuk memperoleh
kehidupan) yang memaksa mereka untuk melakukan hal tersebut, terlebih jika
kondisi ini dipengaruhi oleh faktor sikap dan kebiasaan yang sangat sulit untuk
diubah.
Hal tersebut mulai mempengaruhi sektor kesehatan. Sekarang perilaku
masyarakat semakin tidak mempedulikan kesehatan masyarakat (utamanya bagi
orang lain). Sangat banyak contoh yang dapat kita temukan pada kehidupan
sehari-hari, seperti penggunaan plastik yang ditambah pada minyak goreng untuk
membuat gorengan menjadi renyah dan gurih, penggunaan boraks pada bahan
makanan atau hewan yang sudah mati (ayam tiren) sehingga setelah dimasak akan
terlihat seperti baru dan tahan lama (dan berbagai jenis penggunaan boraks pada
makanan yang dapat merugikan kesehatan masyarakat), penggunaan zat pewarna
pakaian pada makanan untuk menarik perhatian, dan masih banyak contoh lain
yang sangat merugikan masyarakat sebagai konsumen. Kegiatan-kegiatan tersebut
dilakukan hanya untuk meraih keuntungan pribadi dan sama sekali tidak
memperhatikan dampak (akumulatif) yang akan diterima bagi kesehatan
konsumen.

Hal tersebut juga terjadi pada masyarakat yang memiliki kebiasaan merokok.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa asap rokok memiliki sifat yang berbahaya
bagi orang yang menghisapnya, karena asap rokok mengandung nikotin dan tar
yang dapat menyebabkan kecanduan dan dapat menyebabkan terjadinya kanker
paru-paru. Dari penelitian telah diketahui bahwa orang yang berperan sebagai
perokok pasif (orang bukan perokok yang menghirup asap rokok) memiliki resiko
yang lebih besar mengalami gangguan kesehatan akibat rokok daripada orang
yang berperan sebagai perokok aktif (orang yang merokok), dan jika hal tersebut
dikaitkan dengan kondisi perokok yang tidak memperhatikan kepentingan
masyarakat sebagai perokok pasif, maka hal tersebut tentu akan sangat
membahayakan masyarakat yang berada pada lingkungan sekitar perokok aktif,
terutama apabila terdapat anak-anak yang kemungkinan akan mengalami
gangguan pertumbuhan maupun gangguan kesehatan akibat menghirup asap
rokok.
Kondisi tersebut sebenarnya sangat sulit untuk dihindari maupun ditanggulangi,
sebab hal tersebut sangat berhubungan dengan kebiasaan dan perilaku masyarakat
yang sangat sulit untuk diubah. Meskipun demikian pemerintah tidak lepas tangan
begitu saja, terlihat dari dibuatnya kebijakan-kebijakan yang lebih memperhatikan
kesehatan masyarakat seperti pengadaan area bebas rokok, pembuatan tempat bagi
perokok (tempat untuk merokok), hingga pembuatan peraturan tentang larangan
merokok di tempat umum beserta sangsinya). Namun kondisi tersebut tidak
menutup kemungkinan bagi masyarakat untuk tetap merokok ditempat-tempat
tertentu maupun pada waktu tertentu, yang kemudian hal tersebut menjadi
kebiasaan untuk melanggar peraturan-peraturan maupun melanggar kebijakankebijakan tersebut akibat faktor faktor tertentu.

Pelaksanaan Peraturan tentang Kawasan Tanpa Rokok


Peraturan bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri NOMOR
188/MENKES/PB/I/2011 dan NOMOR 7 TAHUN 2011 tentang Pedoman

Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan suatu kebijakan tentang


penanganan polusi udara yang timbul akibat asap rokok, mengingat asap rokok
mengandung zat yang membahayakan bagi kesehatan manusia. Peraturan tersebut
juga memiliki dasar bahwa untuk udara yang sehat dan bersih merupakan hak
bagi setiap orang, maka diperlukan kesadaran, kemauan, dan kemampuan
masyarakat untuk mencegah dampak penggunaan rokok baik langsung maupun
tidak langsung terhadap kesehatan, guna terwujudnya derajat kesehatan
masyarakat yang optimal
Disebutkan bahwa sasaran kawasan tanpa rokok adalah , tempat pelayanan
kesehatan, tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak-anak, tempat
ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum dan tempat lainnya yang
telah ditetapkan. Yang kemudian sebagai kompensasi bagi perokok disediakan
kawasan khusus untuk merokok yang tempatnya terpisah secara fisik atau tidak
bercampur dengan kawasan tanpa rokok, dilengkapi alat penghisap udara atau
memiliki sistem sirkulasi udara, dilengkapi asbak atau tempat pembuangan
puntung rokok, dapat dilengkapi dengan data dan informasi bahaya merokok bagi
kesehatan.
Disebutkan pula pada penerapan peraturan, ketentuan lebih lanjut mengenai KTR
di provinsi dan kabupaten/kota diatur dengan peraturan daerah provinsi dan
peraturan daerah kabupaten/kota. Serta menugaskan Menteri Kesehatan melalui
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan bertugas
untuk memberikan penyuluhan, informasi dan edukasi, menyediakan konseling
berhenti merokok dan bimbingan teknis bagi penyediaan tempat khusus untuk
merokok. Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa bertugas untuk mendorong pemerintah daerah menetapkan
dan melaksanakan KTR di wilayahnya masing-masing serta memfasilitasi
pemerintah daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan Peraturan Daerah tentang
KTR mulai dari sosialisasi dan koordinasi, pemberian pedoman, konsultasi,
monitoring dan evaluasi dan/atau pemberian penghargaan.

Masalah Perilaku dan Kebiasaan Merokok Masyarakat terhadap Peraturan


Kawasan Tanpa Rokok
Pada dasarnya perilaku dan kebiasaan masyarakat sangat sulit untuk diukur,
namun kenyataannya perilaku dan kebiasaan tersebut dapat dilihat dan diamati
dalam jangka waktu tertentu, baik dalam waktu yang singkat maupun dalam
waktu yang cukup panjang. Perilaku tersebut merupakan kumpulan berbagai
faktor yang saling berinteraksi. Sering tidak kita sadari bahwa interaksi-interaksi
yang terjadi tersebut sangat kompleks sehingga terkadang kita tidak sempat untuk
memikirkan kenapa perilaku tersebut dilakukan oleh diri sendiri maupun oleh
orang lain.
Menurut Notoatmojo (1985) yang menyebabkan seseorang berperilaku karena
adanya empat alasan pokok, yaitu:
1. Pemikiran dan Perasaan (Thought and Feeling) Adapun bentuk dan
perasaan ini adalah Pengetahuan, Kepercayaan, Sikap, dan Nilai. Disinilah
pentingnya sebuah informasi akan adanya kebijakan maupun peraturan
baru yang akan diterapkan di suatu daerah. Suatu informasi merupakan
langkah awal dalam menentukan suatu program atau kebijakan dapat
dikatakan berhasil atau tidak. Dengan penyampaian informasi yang baik
kepada sasaran maka akan terbentuk pengetahuan yang baik yang
kemudian diikuti dengan penentuan kepercayaan, sikap dan nilai yang
memiliki sifat positif terhadap suatu kebijakan. Sama halnya dengan
penyebarluasan informasi tentang kawasan tanpa rokok, diperlukan
sosialisasi yang baik hingga masyarakat memiliki kesadaran dan sikap
yang dapat membantu keberhasilan kebijakan yang dibuat.
2. Orang penting sebagai Referensi Bila seseorang penting, maka apa yang
dilakukan cenderung untuk di ikuti oleh orang lain. Dari hal inilah
masyarakat sering berpendapat bahwa orang lain saja boleh merokok di
kawasan tersebut (kawasan tanpa rokok), lalu kenapa saya tidak ?,
sehingga terjadi pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku, terlebih lagi

jika orang yang dijadikan referensi tersebut merupakan orang yang


memiliki jabatan di pemerintahan. Contoh lain adalah larangan merokok
pada kawasan SPBU, masih banyak karyawan SPBU yang merokok pada
kawasan SPBU yang menyebabkan pengunjung ikut merokok di kawasan
SPBU.
3. Sumber Daya (Resources) Sumber daya meliputi sarana, dana, waktu,
tenaga, pelayanan, keterampilan dan bahan. Dalam konteks ini, sumber
daya dapat berupa ketersediaan rokok yang dengan sangat mudah
dijangkau (diakses) oleh siapapun, sehingga memungkinkan setiap orang
untuk merokok dimana pun dan kapanpun mereka inginkan.
4. Budaya (Culture) Perilaku, norma, kebiasaan, dan nilai-nilai serta
penggunaan sumber daya didalam suatu masyarakat akan menghasilkan
suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan.
Pada dasarnya semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia dapat menjadi
suatu kebiasaan yang kemudian dapat menjadi budaya. Seperti halnya
dengan merokok yang semakin lama semakin menjadi budaya yang
dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Terkadang pelanggaran yang
dilakukan juga akan menjadi budaya melanggar akibat terbiasanya
melakukan pelanggaran. Manusia cenderung mengulangi perilaku yang
dianggapnya aman untuk dilakukan, seperti contoh orang yang merokok
pada kawasan tanpa rokok, karena orang tersebut tidak merasa ada yang
perlu ditakuti (tidak ada sangsi yang menghukumnya pada saat itu juga),
maka orang tersebut cenderung akan mengulangi perbuatannya tersebut di
lain waktu (merokok pada kawasan tanpa rokok).
Dari alasan-alasan pokok tersebut, kita dapat mengetahui seberapa besar
kepatuhan seseorang terhadap peraturan-peraturan yang telah dibuat khususnya
terhadap peraturan kawasan tanpa rokok. Oleh karena itu perlu dilakukan
penerapan kebijakan yang dibarengi dengan pengawasan dan penanggulangan
terhadap pola pikir dan perilaku masyarakat selaku sasaran kebijakan maupun
peraturan-peraturan.

Jika ditinjau dari pemikiran dan alasan kenapa orang merokok, maka
kemungkinan perokok tidak tahu dan percaya akan keberadaan peraturan larangan
merokok di kawasan tertentu yang bersifat mengikat dan memiliki sangsi apabila
dilanggar. Hal tersebut terjadi kemungkinan akibat kurangnya sosialisasi dan
penegakan peraturan yang tegas dan konsisten oleh pihak yang berwenang,
sehingga masyarakat merasa tidak memiliki kewajiban untuk merokok atau tidak
merokok pada kawasan tertentu. Hal tersebut dapat kita lihat langsung (dapat
dilihat pula pada televisi) bahwa masih terdapat masyarakat yang merokok pada
daerah yang tidak sepantasnya, padahal peraturan tersebut sudah dibuat semenjak
tahun 2011, bahkan tidak jarang Pegawai Negeri Sipil (PNS) merokok
disembarang tempat yang seharusnya bertindak sebagai contoh dan panutan bagi
masyarakat.
Disisi lain, aturan daerah tentang KTR setingkat perda/pergub untuk provinsi
Jambi belum ada, hanya sebatas himbauan agar menetapkan KTR di instansi
pemerintah dan swasta. Pemerintah Jambi lebih mementingkan dana hasil cukai
tembakau dengan menerbitkan Peraturan Gubernur Jambi Nomor 9 tahun 2012
tentang Pedoman Umum Penggunaan dan Penetapan Alokasi Dana bagi Hasil
Cukai Tembakau yang pada Bab III huruf c berbunyi penetapan kawasan tanpa
asap rokok dan pengadaan tempat khusus untuk merokok di tempat umum.
Selain belum adanya aturan daerah kita mengamati penyediaan tempat bagi para
perokok terkesan seadanya dan tidak manusiawi, misalkan ruangannya kecil dan
pengap kalau tidak tempatnya panas yang semuanya jauh dari kenyamanan
sehingga perokok juga enggan untuk berada disana dan lebih memilih merokok
bukan ditempat yang disediakan. Selain itu masih maraknya event olahraga yang
meminta sponsor rokok, ini disebabkan cuma rokok yang mau memberikan donasi
besar-besaran atas terselenggaranya event olahraga tersebut serta memang belum
berlaku larangan pemerintah bagi rokok untuk mensponsori event olahraga di
Jambi
Kemudian dapat kita perhatikan juga bahwa penegakan kebijakan tersebut tidak
dibarengi dengan kerjasama dari instansi lain seperti pabrik rokok maupun

penyelenggara kebijakan lainnya (bea cukai), sehingga terjadi ketimpangan dan


perbedaan persepsi yang kemungkinan besar terjadi akibat adanya kepentingan
pribadi (conflict of interest) antar instansi, sehingga tidak terbentuk komitmen
yang solid untuk menjalankan peraturan yang berlaku. Sehingga masyarakat
masih memiliki kesempatan dan peluang besar untuk merokok di tempat tertentu.
Hal tersebut menyebabkan besarnya kemungkinan masyarakat untuk merokok
pada kawasan tanpa rokok. Hal tersebut juga terjadi pada masyarakat miskin
perokok yang dengan mudah membeli atau mengakses rokok, selain itu harganya
juga sangat jarang mengalami kenaikan. Dapat kita lihat bahwa cukai rokok
Indonesia hanya 30% 40% dan menduduki posisi kedua cukai rokok terendah di
dunia setelah Laos jika dibandingkan dengan cukai rokok negara lain yang
mencapai >50%. Kondisi tersebut cenderung mengakibatkan tujuan utama
kebijakan untuk membersihkan udara dari polusi semakin jauh dari sasaran. Itu
jika kita melihat kondisi masyarakat miskin sebagai sebagian kecil dari populasi,
kemungkinan kondisi tersebut akan memburuk jika kita melihat pada sisi
masyarakat yang memiliki uang untuk membeli rokok. Dapat disimpulkan bahwa
masyarakat miskin yang memiliki sedikit uang saja dapat membeli beberapa
batang rokok setiap harinya, terlebih pada masyarakat yang memiliki banyak uang
kemungkinan besar akan lebih banyak menghasilkan asap rokok, dengan asumsi
orang kaya tersebut membeli lebih banyak rokok dari orang miskin, jadi semakin
banyak orang yang harus diatur untuk mengikuti peraturan yang dibuat khususnya
tentang kawasan tanpa rokok. Jika hal tersebut benar-benar terjadi, dapat kita
bayangkan bahwa kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk mengatur orang dalam
merokok sangatlah sulit untuk diterapkan, terlebih jika kita melihat sikap dan
perilaku masyarakat yang sangat beragam, bahkan kemungkinan besar kebijakankebijakan tersebut tidak akan berjalan dengan optimal. Oleh karena itu sangat
penting bagi kita untuk dapat bekerjasama antar instansi atau lembaga dalam
melaksanakan maupun membuat kebijakan, yang pada akhirnya akan terbentuk
komitmen yang kuat demi kepentingan bersama. Bahkan setelah adanya
pemberian berbagai insentif bagi daerah yang berhasil menanggulangi masalah

pencemaran udara oleh pemerintah pusat, seharusnya dapat menambah motivasi


untuk bekerja dengan sebaik-baiknya.
Dari bahasan diatas dapat dikatakan bahwa banyak hal yang kemungkinan dapat
menyebabkan tidak terlaksananya (dengan baik) peraturan tentang kawasan tanpa
rokok. Hal-hal tersebut diantaranya : kurangnya sosialisasi kepada masyarakat
tentang kawasan tanpa rokok oleh pemerintah yang nantinya dapat mempengaruhi
pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap peraturan kawasan tanpa
rokok, kurangnya komitmen dari dari seluruh lapisan masyarakat (utamanya
penyelenggara kebijakan atau pemerintah), penyediaan rokok yang tidak
terkontrol dan kurang konsistennya sangsi yang diberikan untuk dapat
dilaksanakan.

Alternatif yang Dapat Dilakukan Untuk Mengatasi Masalah yang Timbul


Sebenarnya ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk menutupi permasalahan
yang mungkin akan timbul. Kemungkinan semua permasalahan yang timbul akan
bermuara pada komitmen dalam merencanakan dan melaksanakan suatu kebijakan
maupun peraturan.
Terlebih dahulu diperlukan sosialisasi dan penyampaian pesan yang baik kepada
masyarakat sebagai sasaran akan adanya penerapan atau pelaksanaan suatu
kebijakan maupun peraturan. Sosialisasi tersebut diharapkan dapat memberikan
pengetahuan dan dapat memberikan gambaran yang jelas tentang peraturan yang
akan diterapkan, sehingga masyarakat dapat membentuk sikap dan perilaku yang
positif terhadap peraturan tersebut. Oleh karena itu diperlukan komunikasi yang
baik antar kelompok, antar organisasi, dan antar individu yang tidak melupakan
aspek budaya masyarakat sekitar, yang dapat disampaikan baik melalui media
massa, maupun media elektronik yang disampaikan secara jelas.
Setelah itu diperlukan komitmen bersama dalam melaksanakan peraturan. Bukan
hanya masyarakat yang menjadi objek penerapan peraturan, tetapi diperlukan juga
peran serta dari pihak pemerintah selaku pembuat kebijakan yang seharusnya

terlebih dahulu mengetahui dan melaksanakan peraturan dengan sebaik-baiknya.


Penyediaan tempat-tempat merokok bagi para perokok harus lebih manusiawi dan
memperhatikan aspek kenyamanan sehingga perokok tidak akan berkeliaran,
dengan demikian akan terlihat bahwa adanya keseriusan dalam membuat dan
melaksanakan kebijakan maupun peraturan yang ada. Selain itu tampak adanya
keseriusan dalam memecahkan suatu permasalahan dan dapat menjadi referensi
bagi orang lain. Oleh karena itu sangat diperlukan pelaksanaan tugas yang baik
dari petugas sebagai pengawas dan penegak peraturan. Penyelenggaraan peraturan
dan sanksi juga harus dilaksanakan secara tegas dan konsisten. Pada kondisi
seperti ini penyelenggaraan peraturan yang tegas dan konsisten juga merupakan
salah satu cara yang dapat memberikan perubahan perilaku masyarakat sehingga
dapat memberikan efek jera. Tata laksana, pengawasan dan pemberian sanksi
harus disesuaikan dengan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku, oleh
karena itu diperlukan pertimbangan yang matang dalam membuat peraturan
(khususnya KTR) sehingga tidak menimbulkan ketimpangan dengan peraturan
lainnya dan meminimalisir celah terhadap terjadinya pelanggaran.
Tidak terlepas dari peranan pengawas, perlu diberikan fungsi dan tugas yang jelas
selaku pengawas penerapan suatu kebijakan. Dalam konteks peraturan kawasan
bebas rokok, perlu dibunyikan/disebutkan bahwa diberikan wewenang untuk
mencatat informasi, menyita, mengambil gambar, melakukan tindakan pertama
dan pemeriksaan di tempat kejadian serta pengawas memiliki kewajiban untuk
memberikan sanksi kepada pelanggar apabila terbukti bersalah, diharapkan
memberikan efek jera kepada pelanggar sehingga peraturan tersebut serius
dilaksanakan. Oleh karena itu perlu dilakukan pemilihan atau pun pembentukan
badan/instansi yang memiliki wewenang dan tugas yang jelas dalam
melaksanakan peraturan, utamanya dalam memberikan sanksi kepada pelanggar
sehingga terdapat mekanisme yang jelas dalam menerapkan sanksi yang berlaku.
Integrasi dengan instansi lain juga memiliki peran yang penting dalam
melaksanakan dan memastikan kelancaran suatu peraturan maupun kebijakan.
Khususnya dalam melaksanakan peraturan tentang kawasan tanpa rokok, salah

satunya dengan pengembangan kebijakan dari sektor produksi rokok maupun


pengelola keberadaan rokok yang terkait. Peningkatan cukai dirasa sangat efektif
dalam mengurangi pengeluaran biaya untuk bidang kesehatan, selain itu
peningkatan cukai juga dapat mengurangi jumlah konsumsi rokok oleh
masyarakat. Dengan demikian secara tidak langsung dapat membantu dan
mendukung tercapainya tujuan terbentuknya Peraturan bersama Menteri
Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri NOMOR 188/MENKES/PB/I/2011 dan
NOMOR 7 TAHUN 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok,
yaitu untuk menciptakan udara yang bersih dan layak untuk digunakan
sebagaimana mestinya.

Anda mungkin juga menyukai