Anda di halaman 1dari 16

IDENTIFIKASI/ANALISIS PERAN DAN TANGGUNG JAWAB

TIM KESEHATAN SECARA INTERPROFESSIONAL

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Inter-Professional Collaboration
yang dibina oleh Ibu Nurul Hidayah S.Kep., Ns.

Oleh :
1. Bima Ariyu Putra Anggutar (P17211217137)
2. Ismi Malikka Isnaini (P17211217139)
3. Fajrina Salsabilla Zahroh (P17211217140)
4. Tiami Feby Ayuningtyas (P17211217144)
5. Qismah Nur Faizah (P17211217150)
6. Pramitha Yudha Nurul H (P17211217152)
7. Monicka Patrisia Tilana (P17211217154)
8. Izza Azainda Zuhri (P17211217155)
9. Balkizta Putri Nadia (P17211217156)
10. Titin Masfi’ah (P17211217158)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


PRODI DIV KEPERAWATAN MALANG
RINTISAN KELAS INTERNASIONAL
Agustus 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat dan Hidayah-Nya
sehingga makalah yang berjudul Identifikasi/Analisis Kompetensi Peran dan Tanggung
Jawab Tenaga Kesehatan Secara Interprofessional dapat terselesaikan tepat waktu dan dengan
baik. Adapun tujuan penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Inter-
Professional Collaboration.

Kami ucapkan terimakasih kepada Ibu Nurul Hidayah S.Kep., Ns. yang telah
memberikan arahan,bimbingan serta masukan dalam penulisan makalah ini sehingga
memudahkan proses penyusunan makalah ini. Serta kami ucapkan terimakasih kepada teman-
teman RKI yang telah memberi dukungan dalam proses penyusunan makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan baik dalam segi pembahasan
maupun penulisan. Kritik dan saran yang membangun sangat kami perlukan untuk lebih baik
kedepannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan pembaca.

Malang, 23 Agustus 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISIS

JUDUL...................................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................iii
BAB I....................................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................2
1.3 Tujuan....................................................................................................................................3
BAB II..................................................................................................................................................4
BAB III.................................................................................................................................................8
BAB IV...............................................................................................................................................12
4.1 Kesimpulan..........................................................................................................................12
4.2 Saran....................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem pelayanan kesehatan saat ini, mengutamakan pelayanan yang berpusat pada
pasien dan keluarga untuk memberikan pelayanan yang berkualitas, kepuasan pasien, dan
terhindar dari kejadian yang tidak diharapkan. Kolaborasi yang efektif antar anggota tim
kesehatan memfasilitasi terselenggaranya pelayanan yang berkualitas, dengan demikian
pengembangan kolaborasi interprofesi dalam pelayanan kesehatan menjadi hal yang
diprioritaskan oleh semua organisasi pemberi pelayanan kesehatan. Hubungan kolaborasi
dalam pelayanan kesehatan melibatkan sejumlah tenaga profesi kesehatan, namun
kolaborasi antara dokter dan perawat merupakan faktor penentu bagi peningkatan
kualitas proses perawatan (Titania, 2019).
Pelayanan kesehatan di Rumah Sakit merupakan bentuk pelayanan yang diberikan
kepada klien oleh suatu tim pelayanan kesehatan. Tim pelayanan kesehatan merupakan
sekelompok profesional yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan keahlian
berbeda. Tim akan berjalan dengan baik bila setiap anggota tim memberikan kontribusi
yang baik.
Dalam konteks kerja dan organisasi sebuah institusi kesehatan dijalankan oleh tim
multiprofesional dimana menangani berbagai macam prosedur pelayanan pasien. Dalam
hal ini, tim terdiri dari berbagai macam profesi dimana bertanggung jawab atas tugas dan
kewajiban yang berbeda pula. Etika kerja yang kolaboratif dapat menciptakan suasana
damai di tempat kerja. Aspek budaya integritas terfokus pada cara pengembangan
kepribadian dalam integritas dan etika untuk menciptakan keutuhan kualitas diri dengan
karakter moral yang konsisten terhadap kejujuran dan etika, termasuk kemampuan untuk
membentengi diri dari segala macam godaan yang berpotensi mendorong diri pada
tingkah laku tidak terpuji. Kepribadian yang selalu patuh diperlukan untuk menjalankan
peraturan, kebijakan, standar, sistem, dan etika organisasi secara profesional.
Kolaborasi tidak bisa terbentuk dengan sendirinya dalam sebuah organisasi. Dalam
membentuk kolaborasi Dibutuhkan faktor-faktor tertentu untuk memunculkannya.
Karena setiap profesi dalam sebuah tim memiliki standar dan budaya profesional
tersendiri. Kolaborasi yang efektif mencakup penerapan strategi dimana setiap profesi
yang berbeda budayanya berkerja sama dalam satu tim untuk mencapai tujuan yang
sama. Dalam konteks kesehatan, setiap profesi kesehatan harus terjalin dalam arahan

1
yang sama untuk mencapai visi yang sama pula. Setiap profesi harus mengerti peran dan
tugas kerja masing-masing. Seorang pemimpin (leader) juga sangat dibutuhkan agar
sebuah tim tidak kehilangan fokus untuk mencapai tujuannya.
Tenaga profesional yang berada dalam tim pelayanan kesehatan sangat sedikit
pengetahuannya tentang praktik, keahlian, tanggung jawab, ketrampilan, dan nilai-nilai,
perspektif profesionalime dari disiplin ilmu yang lain. Hal ini merupakan suatu
penghambat utama dalam melakukan praktik kolaborasi.
Tim pelayanan interdisiplin diperlukan untuk menyelesaikan masalah pasien yang
kompleks, meningkatkan efisiensi dan kontinuitas asuhan pasien.
Sistem pelayanan kesehatan dimasa depan tergantung pada bagaimana tenaga
profesional kesehatan merumuskan kembali cara untuk bekerjasama. Model praktik
kolaborasi interprofesional pelayanan kesehatan di rumah sakit bersama seputar
masalahmasalah kesehatan. Pendekatan interdisiplin sangat bermanfaat untuk
menjembatani tumpang tindihnya peran para praktisi kesehatan dalam menyelesaikan
masalah pasien.
Model multidisiplin tidak lagi dapat mendukung kebutuhan pasien akan pelayanan
kesehatan yang semakin kompleks, karena tidak satupun profesi kesehatan yang
mempunyai semua pengetahuan yang dibutuhkan oleh pasien secara utuh. Praktik
interdisiplin atau kolaborasi interprofesional merupakan kerjasama kemitraan dalam tim
kesehatan yang melibatkan profesi kesehatan dan pasien, melalui koordinasi dan
kolaborasi untuk pengambilan keputusan sosialisasi. Tim pelayanan interdisiplin
diperlukan untuk menyelesaikan masalah pasien yang kompleks, meningkatkan efisiensi
dan kontinuitas asuhan pasien. Proses kerja sama interdisiplin dapat mengurangi
duplikasi dan meningkatkan kualitas asuhan pasien, melalui tugas dan tanggung jawab
serta ketrampilan secara komplementer.
Tenaga profesional yang berada dalam tim pelayanan kesehatan sangat sedikit
pengetahuannya tentang praktik, keahlian, tanggung jawab, ketrampilan, dan nilai-nilai,
perspektif profesionalime dari disiplin ilmu yang lain. Hal ini merupakan suatu
penghambat utama dalam melakukan praktik kolaborasi.
Dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk menjabarkan/mengidentifikasikan
peran dan tanggung jawab tim kesehatan lainnya dalam beberapa topik pembahasan.

2
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana mengkomunikasikan peran dan tanggung jawab profesional kepada
pasien, keluarga dan profesional lainnya?
b. Bagaimana keterbatasan profesi dalam keterampilan, pengetahuan dan kemampuan?
c. Bagaimana keterlibatan dengan profesi kesehatan lainnya?
d. Apa saja peran dan tanggung jawab penyedia layanan lainnya?
e. Bagaimana berkomunikasi dengan tim lain?
f. Bagaimana keterlibatan dalam pengembangan profesional dan pelepasan
profesional?
g. Bagaimana menggunakan kemampuan unik dan komplementer?

1.3 Tujuan
a. Mengetahui bagaimana mengkomunikasikan peran dan tanggung jawab profesional
kepada pasien, keluarga dan profesional lainnya
b. Mengetahui, memahami dan mengakui keterbatasan profesi dalam keterampilan,
pengetahuan dan kemampuan
c. Mengetahui bagaimana melibatkan profesi kesehatan lainnya
d. Mengetahui dan memahami peran dan tanggung jawab penyedia layanan lainnya
e. Mengetahui bagaimana komunikasi dengan tim lain
f. Mengetahui keterlibatan dalam pengembangan profesional dan pelepasan
profesional
g. Mengetahui bagaimana menggunakan kemampuan unik dan komplementer.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Peran dan tanggung jawab profesional kepada pasien, kleuarga, dan profesi lainnya
1. Tanggung jawab perawat terhadap klien. Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya
senantiasa:
a. Berpedoman kepada tanggung jawab yang bersumber dari adanya kebutuhan akan
keperawatan individu, keluarga dan masyarakat.
b. Memelihara suasana linkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat
dan kelangsungan hidup beragama dari individu, keluarga dan masyarakat.
c. Dilandasi dengan rasa tulus ikhlas sesuai dengan martabat dan tradisi luhur
keperawatan.
d. Menjalin hubungan kerja sama dengan individu, keluarga dan masyarakat dalam
mengambil prakarsa dan mengadakan upaya kesehatan khususnya serta upaya
kesejahteraan umum sebagai bagian dari tugas kewajiban bagi kepentingan
masyarakat.
2. Tanggung jawab perawat terhadap sesama perawat dan profesi kesehatan lain (teman
sejawat), perawat senantiasa:
a. Memelihara hubungan baik antar sesama perawat dan dengan tenaga kesehatan
lainnya, baik dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam
mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara menyeluruh.
b. Menyebarluaskan pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya kepada sesama
perawat serta menerima pengetahuan dan pengalaman dari profesi lain dalam rangka
meningkatkan kemampuan dalam bidang keperawatan.
3. Mengakui keterbatasan profesi dalam keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan
4. Peran dan tanggung jawab penyedia layanan kesehatan lainnya
Hasil dari laporan panel para ahli (2011), maka ditentukan bahwa kompetensi utama peran
dan tanggung jawab kolaborasi antar profesi adalah sebagai berikut:
a. Mengkomunikasikan peran dan tanggung jawab profesi secara jelas kepada pasien,
keluarga dan profesional lainnya
b. Mengenali keterbatasan profesi dalam keterampilan, pengetahuan dan kemampuan
c. Melibatkan profesi kesehatan yang beragam dalam melengkapi keahlian profesional, serta
sumber daya terkait, untuk mengembangkan strategi agar memenuhi kebutuhan pasien

4
d. Menjelaskan peran dan tanggung jawab penyedia layanan lain dan bagaimana tim
bekerjasama untuk memberikan pelayanan
e. Menggunakan lingkup pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang tersedia dari
profesi kesehatan untuk memberikan pelayanan yang aman, tepat waktu, efisien, efektif
dan adil
f. Berkomunikasi dengan anggota tim untuk mengklarifikasi tanggung jawab setiap anggota
dalam melaksanakan komponen dari rencana pelayanan atau intervensi kesehatan
g. Menjalin hubungan ketergantungan dengan profesi lain untuk meningkatkan pelayanan
pasien dan pembelajaran lanjut
h. Terlibat dalam pengembangan profesional dan interprofesi berkelanjutan untuk
meningkatkan kinerja tim
i. Menggunakan kemampuan yang unik dan saling melengkapi dari semua anggota tim
untuk mengoptimalkan pelayanan pasien.
B. Komunikasi Dengan Tim Lain

Dalam pelaksanaan Inter Professional Collaboration, komunikasi merupakan hal paling


penting. Salah satu faktor yang menghambat pelaksanaan kolaborasi interprofesi adalah
karena buruknya komunikasi antar profesi. Tanpa komunikasi yang efektif maka
perawatan pasien akan menjadi kehilangan arah. Komunikasi dalam pelaksanaan IPC juga
merupakan unsur penting dalam peningkatan kualitas perawatan dan keselamatan pasien.
Menurut The American Nurses Association (ANA, 2010), komunikasi menjadi standar
dalam praktek keperawatan profesional. Dalam Permenkes
1691/MENKES/PER/VIII/2011 menyebutkan bahwa salah satu dari sasaran keselamatan
pasien adalah komunikasi yang efektif.

Peningkatan komunikasi secara efektif dengan tim kesehatan lain dibutuhkan dalam
pelaksanaan Interprofessional Collaboration sehingga petugas kesehatan dapat melakukan
tindakan pelayanan kesehatan yang aman dan efektif. Upaya yang dilakukan untuk
meningkatkan komunikasi antar profesi adalah dengan catatan perkembangan pasien
terintegrasi. Berhasilnya suatu komunikasi adalah apabila kita mengetahui dan
mempelajari unsur-unsur yang terkandung dalam proses komunikasi. Unsur-unsur itu
adalah sumber (resource), pesan (message), saluran (channel/media) dan penerima
(receiver/audience). Contoh komunikasi interprofesional yang di gunakan adalah SBAR
(Situation, Background, Assessment, Recommendation). Terdapat beberapa faktor yang
perlu diperhatikan untuk mengupayakan proses komunikasi yang efektif, yaitu antara lain:

5
a. Sensitifitas kepada penerima komunikasi Sensitivitas ini sangatlah penting dalam
penentuan cara komunikasi serta pemilihan media komunikasi.
b. Kesadaran dan pengertian terhadap makna simbolis. Hal ini menjadi penting dalam
seseorang mengerti komunikasi yang disampaikan.
c. Penentuan waktu yang tepat dan umpan balik. Hal ini sangatlah penting terutama dalam
mengkomunikasikan keadaan yang bersifat sensitif.
d. Komunikasi tatap muka. Komunikasi semacam ini memungkinkan kita untuk melihat
dengan baik lawan bicara kita, melihat body language, melihat mimik lawan bicara,
serta menghilangkan panjangnya rantai komunikasi yang memungkinkan terjadinya mis
komunikasi.
e. Komunikasi efektif. Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang
ditimbulkan oleh beberapa pihak, pasien, dokter, perawat maupuntenaga kesehatan
lainnya.
C. Pengembangan Profesional Dan Pelepasan Profesional

Peningkatan tenaga keperawatan yang profesional dilakukan melalui kegiatan


pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) atau Continuing Professional
Development (CPD). PKB sebagai bentuk kegiatan yang dapat berdampak pada
peningkatan kualitas baik secara personal maupun profesional. PKB juga merupakan
proses pengembangan keprofesian sistematis yang meliputi berbagai kegiatan yang
dilakukan oleh seorang perawat praktisi untuk mempertahankan dan emningkatkan
profesionalisme-nya sesuai standar kompetensi yang ditetapkan oleh PPNI. PKB menjadi
kewajiban yang harus diikuti oleh perawat sebagai petugas kesehatan dan dilaksanakan
oleh rumah sakit dalam pengembangan staf.

PKB perawat diatur oleh organisasi profesi perawat yang dijelaskan dalam buku
pedoman PKB yang disusun oleh PP PPNI. Pelaksanaan PKB belum sepenuhnya
diselenggarakan sesuai pedoman yang ada karena belum tersosialisasinya pedoman PKB
PPNI, sehingga pemahaman perawat akan PKB masih sangat beragam. Permasalahan
lain pelaksanaan PKB belum optimal karena penyelenggaraan diperlukan biaya yang
besar, serta jumlah SDM yang belum mencukupi dalam pengaturan ketenagaan
khususnya di ruang inap. Kendala lain yang dihadapi PKB dalam sebuah penelitian
disebutkan kurangnya dukungan pimpinan akan kebutuhan pengembangan profesional
perawat, kurangnya waktu yang tersedia selama bekerja karena tingginya beban kerja,
serta tidak ada pergantian staf ketika mengikuti kegiatan PKB. Pada intinya PKB penting

6
diikuti oleh perawat dan harus menjadi perhatian rumah sakit dalam pengembangan staf
karena kegiatan PKB akan berdampak terhadap mutu pelayanan.

7
BAB III
PEMBAHASAN

Dari hasil analisis tema pada tehnik in-depth interview, peneliti hanya menemukan 2 tema
yang masih membutuhkan konfirmasi dan menggali labih dalam terhadap informasi yang
diterima, yang peneliti anggap sangat berkontribusi dalam pelaksanaan IPC. Tema tersebut
adalah tema 2 dan 4.

1. Membangun tim, wewenang dan kurang efektifnya kerjasama tim karena keterbatasan
jumlah SDM dan waktu
Seluruh PPA merasa pembentukan tim dan kerjasama tim yang dilakukan selama ini
masih kurang efektif karena keterbatasan SDM. Masingmasing PPA melakukan asuhan
mandiri, tetapi pelaksanaan kolaborasi masih jarang. Pelaksanaan kerjasama tim dalam
bentuk kolaborasi secara langsung sulit dilakukan karena keterbatasan SDM. SDM yang
dimaksud adalah profesi apoteker dan dietisien. Profesi yang sering berinteraksi adalah
dokter, perawat dan dietisien. Tidak pernah terlihat keempat profesi beriringan melakukan
kunjungan pasien secara bersama-sama.
2. Keikutsertaan profesi kesehatan lainnya dalam berbagi penyelesaian masalah perawatan
pasien pada situasi tertentu masih kurang
Seluruh PPA mengatakan bahwa keikutsertaan profesi Apoteker dalam melakukan
asuhan dan penyelesaian masalah pasien di ruangan bahkan dalam kondisi-kondisi tertentu
pun hampir bisa dikatakan tidak ada. Apoteker sendiri pun mengakui hal tersebut.
Ketidakhadiran mereka karena keterbatasan jumlah SDM dan tumpang tindih tanggung
jawab yang diberikan kepada mereka. Selain tanggung jawab melakukan kefarmasian
klinik, Apoteker juga mempunyai tanggung jawab manajerial. Sehingga membuat
Apoteker tidak sempat untuk melakukan asuhan kefarmasian kliniknya. Seperti pernyataan
Apoteker berikut ini:
“Paling yang biasa-biasa di ruangan hanya dokter, perawat, gizi yang mengisi status itu.
Cuma karena akreditasi kemarin memberikan wewenang juga kepada apoteker, apoteker
ada juga sebenarnya untuk diisi di status. Keterbatasan apoteker jadi kami tidak terjun ke
lapangan tersebut. Mengingat ada pekerjaan lain seperti laporan penggunaan obat, itu juga
ee apoteker yang mengerjakan. Jadi kalau untuk terjun ke.. untuk terjun ke ruangan selama
ini belum ada di rumah sakit ini"
Tetapi ada sebagian kecil informan yang mengatakan bahwa apoteker pernah
melakukan asuhan meskipun jarang. Seperti yang dikatakan oleh informan 11 berikut:

8
“Kalau Apoteker susah, biasanya kolaborasinya jarang-jarang. Kalau memang sudah ada
kendala dengan pemberian terapi obat pada pasien, biasanya memang harus kita hubungi
sendiri”
Perbedaan tersebut menarik bagi peneliti untuk melakukan konfirmasi dan menggali
lebih melalui pelaksanaan FGD. Hasil FGD ditemukan bahwa mayoritas PPA
menyampaikan bahwa keikutsertaan profesi kesehatan lain dalam berbagi penyelesaian
masalah perawatan pasien pada situasi tertentu memang masih kurang. Hal ini
mengkonfirmasi informasi pada in depth interview bahwa profesi Apoteker memang
belum melakukan asuhan kefarmasian kliniknya baik secara mandiri maupun secara
kolaborasi. Tergambar dari pernyataan berikut :

“Kalau 100% ya dua PPA hadir yakni DPJP dan suster. Kalau dengan dietesien mungkin
ya 75%, tapi kalau dengan farmasi ya 0%. Kalau ke-empat-empatnya sudah pasti 0%,
karena 75% yang paling tinggi itu 3 PPA yang hadir”

3. Menggabungkan pengetahuan dan pengalaman profesi lain untuk memutuskan perawatan


Sebagian besar PPA menggambarkan sudah ada aktivitas menggabungkan
pengetahuan dan pengalaman profesi lain untuk memutuskan perawatan. Informan
menyatakan adanya kerjasama antar PPA sebagai tim dalam berbagi pengalaman dan
keilmuan yang digabungkan menjadi suatu asuhan sesuai kebutuhan pasien. Baik itu saat
betemu dalam melakukan asuhan ataupun dalam pertemuan yang membahas kasus
tertentu.
"Kerja kita tim. Seperti kami melakukan asuhan keperawatan, tapi gizinya dari mana kalau
gak dari gizi. Kita kan gak bisa memasok gizinya. Walaupun kita tau pasien butuh gizi ini.
tapi kita gak tau sampai sedetil berapa kalori yang dibutuhkan, berapa kebutuhan
vitaminnya. Gak bisa. Gitu juga dengan terapinya. dengan dokter”.
4. Adanya konsensus tentang panduan etik perawatan pasien dan kerjasama tim dari semua
aspek dalam bentuk regulasi yang tidak berjalan sesuai harapan
Sebagian besar PPA mengatakan sudah adanya regulasi yang mengatur pelaksanaan
kolaborasi dalam melakukan perawatan pasien meskipun pelaksanaannya belum berjalan
sesuai regulasi yang telah ditetapkan tersebut. PPA tidak mengetahui secara detil apa isi
regulasi tersebut. Belum pernah ada sosialisasi. Hal ini sesuai pernyataan dari informan
berikut:
“Tentang kebijakan untuk kolaborasi ini tahu, tapi persis detailnya kurang ngerti”
Ada juga informan yang mengatakan tidak ada regulasi tersebut di rumah sakit. Tapi

9
implementasi kolaborasi sendiri sudah berjalan. Hal tersebut disampaikan oleh informan
berikut:
“Terus terang kalau di Rumah Sakit Meuraxa, kebijakan yang diatur secara turunan dari
undang undang yang sudah ada ditetapkan Permenkes ataupun dari Kementerian
Kesehatan belum ada, tetapi secara implementasi dari masing-masing profesi kita sudah
melakukan..."
Perbedaan tersebut bagi peneliti perlu dilakukan konfirmasi lebih melalui pelaksanaan
FGD untuk memastikan seluruh PPA mengetahui adanya regulasi tentang kerjasama tim
yang disepakati dan disosialisaikan kepada PPA. Hasil FGD ditemukan bahwa hanya
sebagian kecil PPA yang mengetahui adanya panduan perawatan pasien dan kerjasama tim
dari semua aspek. Hanya saja tidak berjalan sesuai harapan karena kurangnya sosialisasi.
Hal ini sesuai pernyataan berikut:
“Saya ada membaca di MKE 10. Tapi ya.. sosialisasinya ya kita tidak tahu kalau visit itu
harus ada bersamaan, yang penting pesan tersampaikan”
5. Menerapkan praktik kepemimpinan dalam mendukung praktik kolaborasi dan efektifitas
tim
Menurut sebagian besar informan, pengambil keputusan dari keseluruhan asuhan yang
diberikan kepada pasien adalah DPJP. Informan merasa bahwa walaupun berkolaborasi,
profesi lain sifatnya lebih sebagai pendukung saja. Keputusan akhir tetap diberikan kepada
DPJP.
“Waktu pasien datang, yang liat pertama kali perawat. Perawat ada diagnosa keperawatan.
Diagnosa itu akan di follow up ke dokternya. Kemudian dokter juga ada diagnosa sendiri.
Itu diagnosa awal. Kemudian ada pemeriksa pendukung, Tegaklah diagnosa. Baru
disesuaikan untuk terapi termasuk diet nya. Untuk terapi diputuskan oleh dokter. Diet oleh
dietisien. Yang mengambil keputusan akhirnya adalah DPJP”
6. Memberikan informasi yang efektif bagi tim kerja berdasarkan evidence base
Penerapan pemberian informasi yang efektif kepada tim kerja yan didasarkan
evidence base digambarkan oleh sebagian kecil informan. Informan tersebut menganggap
bahwa dalam memberikan informasi, sesekali perlu menunjukkan literatur pendukung
tentang asuhannya. Dietisien melakukan perubahan diet berdasarkan hasil monitoring
yang disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi sesuai keilmuannya. Pernyataan
berikut yang mendukung gambaran tersebut adalah:
“Mungkin dengan memberitahu dengan baik-baik. mengingatkan bisa menyalahi kode
etik. Kalau perlu menunjukkan peraturan atau literatur yang ada 'gak ada kakak bilang

10
yang ini ini ini'. Misalnya kalau seperti terapi obat, kalau dokter tetap kekeuh misalnya
dan bilang ada ilmu terbaru tanpa
menunjukkan bukti literatur atau yang lain, ya kita mengalah. Yang penting sudah kita
sampaikan”

11
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dengan dilaksanakannya sistem pelayanan kesehatan yang berpusat pada pasien,
dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh pasien tersebut diperlukan
kerjasama antar tenaga kesehatan yang ada dalam setiap fasilitas layanan kesehatan.
Tenaga kesehatan yang bekerja sama antar satu sama lain contohnya dokter, perawat,
ahli gizi, dan tim kesehatan lainnya bergantung pada masalah yang sedang dihadapi.
Kerjasama antar pemberi layanan kesehatan ini haruslah berjalan dengan baik agar
kesehatan dan kesejahteraan pasien dapat dicapai.

Namun sayangnya masih banyak tenaga kesehatan yang tidak mengetahui mengenai
kewenangan dan tugasnya masing – masing dalam tim kesehatan. Ketidaktahuan inilah
yang seringkali menyebabkan masalah dalam tim sehingga pasien tidak dapat diobati
dengan efektif. Masih banyak terjadi kasus dimana sebuah profesi melakukan kerja
secara individu meskipun tindakan tersebut bukanlah kewenangan dari profesinya.

Oleh karena itu, kerjasama antar profesi atau biasa diesbut dengan interprofessional
collaboration sangatlah diperlukan guna menyelesaikan masalah pasien. Dengan adanya
kerjasama antar anggota tim kesehatan yang baik, diharapkan dapat menciptakan
lingkungan kerja tim yang harmonis sehingga masalah pasien dapat diatasi dengan baik
dan cepat.

4.2 Saran

Sebagai tenaga kesehatan yang bertanggung jawab dan bertanggung gugat, haruslah
dapat bekerjasama yang bai kantar satu sama lain. Setiap profesi haruslah mengetahui
kewenangan dan tugasnya masing – masing agar tidak terjadi timpang tindih tugas antar
anggota tim kesehatan satu sama lainnya. Interprofessional education haruslah diajarkan
pada calon – calon tenaga kesehatan agar dapat bekerjasama yang baik antar satu sama
lainnya sehingga dapat menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi, baik oleh
tenaga kesehatan maupun oleh pasien.

12
DAFTAR PUSTAKA

Harahap, E. E. (2019). Pentingnya Peningkatan Komunikasi Dalam Pelaksanaan


Interprofessional Collaboration.

Isnanto. (2020). PERAN DAN TANGGUNG JAWAB ANTAR PROFESI. In S. Utami, D.

Puspitaningrum, I., & Hartiti, T. (2017). Peningkatan kualitas personal Dan profesional
perawat melalui Pengembangan keprofesian Berkelanjutan (PKB). deepublish.

Titania, E. L. (2019). PENTINGNYA KOLABORASI ANTAR TENAGA KESEHATAN


DALAM MENERAPKAN KESELAMATAN PASIEN. 9.

Ridar, I., & Santoso, A. (2018). Peningkatkan Komunikasi dalam Pelaksanaan


Interprofessional Collaboration melalui Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi. In
Prosiding Seminar Nasional Unimus (Vol. 1).

Rokhmah, N. A., & Anggorowati, A. (2017). Komunikasi efektif dalam praktek kolaborasi
interprofesi sebagai upaya meningkatkan kualitas pelayanan. JHeS (Journal of Health
Studies), 1(1), 65-71.

13

Anda mungkin juga menyukai