Anda di halaman 1dari 36

Mata Kuliah : Admistrasi Kebijakan Kesehatan

Perencanaan Anggaran Kesehatan

Oleh :
Rivia Pricillia Pantow – 222021110033
.
Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. dr. Starry Rampengan, MARS, SpJP(K)
Dr. dr. Wulan P. J. Kaunang, GradDip, M.Kes
dr. Grace E. C. Korompis, MHSM, DrPH

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


PASCASARJANA
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
MANADO
2022

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ……………………………...........................................................2

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………......3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Menjelaskan tentang pengertian Anggaran………………………………4


2.2 Menjelaskan tentang fungsi Anggaran…………………………………...4
2.3 Menjelaskan tentang siklus Anggaran…………………………………....6
2.4 Menjelaskan tentang jenis – jenis Anggaran……………………………..7
2.5 Menjelaskan Konsep Sistem Pembiayaan Kesehatan di Indonesia……..11
2.6 Menjelaskan Universal Health Couverage dan Implementasinya di
Indonesia………………………………………………………………...16
2.7 Menjelaskan tentang Jaminan Kesehatan Nasional……………………..19
2.8 Menjelaskan Prinsip-prinsip Pelaksanaan Jaminan
Kesehatan Nasional……………………………………………………...19
2.9 Menjelaskan Manfaat Asuransi Sosial (JKN) dalam
Anggaran Kesehatan……………………………………………………..
2.10 Menjelaskan Kebijakan Pendanaan (Pengumpulan Dana dan Peningkatan
Penerimaan)……………………………………………………………….25
2.11 Menjelaskan Kebijakan Pendanaan (Pengumpulan Dana dan Peningkatan
Penerimaan)……………………………………………………………….26
2.12 Menjelaskan Kebijakan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan…………...29

BAB III PENUTUP

Kesimpulan…………………......................................................................... 32

Saran……………………............................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………. 34

2
BAB I

Pendahuluan

Untuk dapat melaksanakan suatu pelayanan kesehatan yang terarah dan


timbal balik baik dari individu pengguna jasa pelayanan kesehatan maupun
penyedia jasa pelayanan kesehatan maka perlu dibuatkan suatu perencanaan
anggaran kesehatan guna untuk mengatur tentang besarnya biaya atau dana yang
diterima oleh penyedia jasa pelayanan kesehatan maupun dana yang dikeluarkan
oleh individu pengguna jasa pelayanan kesehatan. Oleh karena itu anggaran
kesehatan menjadi suatu komponen yang penting dalam suatu sistem kesehatan.

Anggaran kesehatan di Indonesia diatur dalam Pasal 171 Undang-Undang


Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, berisi bahwa besaran alokasi anggaran
negara dalam bidang kesehatan minimal sebesar 5 persen (lima persen) dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diluar gaji. Sejak Undang-
Undang tersebut disahkan, maka pemenuhan anggaran kesehatan diambil dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara minimal 5 persen (lima persen). Selain
itu, tujuan dianggarkan 5 persen (lima persen) anggaran kesehatan dalam APBN
adalah untuk meningkatkan akses dan kualitas dari pelayanan kesehatan melalui
program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) serta untuk pemerataan akses layanan
kesehatan dan pembangunan rumah sakit.

Sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia sendiri terbagi menjadi dua


sistem yaitu Out of Pocket dan Health Insurance. Out of Pocket yaitu salah sistem
pembayaran dimana individu pencari layanan kesehatan berobat kemudian
membayar kepada pemberi jasa pelayanan kesehatan yaitu dokter atau rumah sakit
berdasarkan tarif yang telah ditetapkan. Pemberi jasa pelayanan kesehatan
mendaptkan upah berdasarkan pelayanan yang diberikan. Health Insurance adalah
sistem pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam hal ini sebagai
pihak asuransi setelah pencari layanan kesehatan berobat difasilitas
pelayanan kesehatan. Sistem health insurance ini dapat berupa sistem
kapitasi dan Diagnose Related Group (DRG system). Sistem kapitasi adalah

3
pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam hal ini pihak asuransi yang
pembayarannya dilakukan diawal sebelum pencari layanan kesehatan berobat.
Sendangkan Diagnose Related Group (DRG) merupakan pembayaran yang
dilakukan oleh pihak asuransi dengan melihat diagnosis penyakit yang dialami
oleh pasien.

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem


Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang bersifat wajib bagi seluruh Warga Negara
Indonesia. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) diselenggarakan oleh
pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan sosial (BPJS) merupakan salah
satu program pemerintah dalam mewujudkan Universal Health Courage di
Indonesia dengan tujuan untuk memberikan jaminan kesehatan yang menyeluruh
bagi setiap Warga Negara Indonesia.

B. Tujuan
1. Menjelaskan tentang pengertian Anggaran
2. Menjelaskan tentang fungsi AnggaranMenjelaskan tentang siklus
Anggaran
3 Menjelaskan tentang jenis – jenis Anggaran
4 Menjelaskan Konsep Sistem Pembiayaan Kesehatan di Indonesia.
5 Menjelaskan Universal Health Couverage dan Implementasinya di
Indonesia.
6 Menjelaskan tentang Jaminan Kesehatan Nasional.
7 Menjelaskan Prinsip-prinsip Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional.
8 Menjelaskan Manfaat Asuransi Sosial (JKN) dalam Anggaran Kesehatan.
9 Menjelaskan Kebijakan Pendanaan (Pengumpulan Dana dan Peningkatan
Penerimaan).
10 Menjelaskan Kebijakan Pendanaan (Pengumpulan Dana dan Peningkatan
Penerimaan).
11 Menjelaskan Kebijakan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan.

3. Manfaat
Menambah wawasan tentang sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Anggaran

Menurut Bastian (2006) anggaran mengungkap apa yang akan


dilakukan dimasa mendatang. Selanjutnya pemikiran strategis di setiap
organisasi adalah proses dimana manajemen berpikir tentang pengintegrasian
aktivitas ke arah tujuan organisasi. Pemikiran strategis manajemen
didokumentasikan dalam berbagai dokumen pencatatan. Keseluruhan proses
diintregasikan dalam prosedurpenganggaran organisasi.

Anggaran dapat diimplementasikan sebagai paket pernyataan perkiraan


penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam satu apa
beberapa periode mendatang. Anggaran selalu menyertakan data penerimaan
dan pengeluaran yang terjadi dimasa lalu. Peraturan Pemerintah Nomor 71
Tahun 2010 menyatakan bahwa anggaran merupakan pedoman tindakan yang
akan dilaksanakan pemerintah meliputi rencana pendapatan, belanja, transfer,
dan pembiayaan yang diukur dalam satuan rupiah, yang disusun menurut
klasifikasi tertentu secara sistematik untuk satu periode.

2.2 Fungsi Anggaran


Anggaran merupakan suatu alat untuk melakukan perencanaan dan
pengawasan dalam pengelolaan keuangan suatu organisasi atau instansi. Oleh
karna itu, anggaran memiliki beberapa fungsi bagi pengguna dan
lingkungannya. Dan menurut Rudianto (2009) dalam Mursitawati (2013)
anggaran sektor publik mempunyai beberapa fungsi utama antara lain sebagai
berikut :
1. Anggaran sebagai alat perencanaan.
2. Anggaran sebagai alat pengorganisasian.
3. Anggaran sebagai alat menggerakkan.
4. Anggaran sebagai alat pengendalian

5
Apabila dilihat dari beberapa fungsi yang telah disebutkan diatas, fungsi
paling utama dari anggaran ada dua, yakni sebagai alat perencanaan dan
sebagai alat pengendalian.

2.3 Siklus Anggaran


Siklus anggaran merupakan tahapan-tahapan dalam penyusunan anggaran
yang bersifat sistemaris. Dalam Mursitawati (2013) diungkapkan beberapa
tahapan dalam penganggaran sebagai berikut :
1. Tahap Persiapan
Tahap Persiapan ini dilakukan dengan cara menentukan beberapa
anggaran yang diperlukan untuk pengeluaran yang tentunya
disesuaikan dengan penaksiran pendapatan yang diperoleh secara
akurat.
2. Tahap Persetujuan.
Tahap persetujuan ini adalah persetujuan dari lembaga legislatif.
Anggaran yang telah disetujui oleh kepala pemerintah diajukan ke
lembaga legislative yang selanjutnya lembaga legeslatif (terutama
komite anggaran) akan mengadakan pembahasan guna memperoleh
pertimbangan-pertimbangan untuk menyetujui atau menolak anggaran
tersebut
3. Tahap Administrasi
Tahapan ini merupakan tahapan setelah anggaran yang diajukan oleh
eksekutif telah disetujui oleh legislative. Penatalaksanaan anggaran
dimulai dari pengumpilan pendapatan yang ditargetkan maupun
pelaksanaan belanja yang telah direncanakan
4. Tahapan Pelaporan
Pada akhir periode atau pada waktu-waktu tertentu yang ditenpatkan
dilakukan pelaporan sebagai bagian yang tidak terpisah dari proses
akuntansi yang berlangsung selama proses pelaksanaan.
5. Tahap Pemeriksaan
Laporan yang diberikan atas pelaksanaan anggaran kemudian
diperiksa (diaudit) oleh sebuah lembaga pemeriksaan independen.

6
Hasil pemeriksaan akan menjadi masukan atau umpan balik (feed
back) untuk proses penyusunan pada periode berikutnya.

2.4. Jenis-jenis Anggaran

2.4.1 Line-Item Budgeting


Line-Item Budgeting mempunyai sejumlah karakteristik penting,
antara lain tujuan utama melakukan kontrol keuangan, sangat berorientasi
pada input organisasi, penetapan melalui pendekatan incremental
(kenaikan bertahap). Tidak jarang dalam praktek memakai “kemampuan
menghabiskan atau menyerap anggaran” sebagai salah satu indikator
penting untuk mengukur keberhasilan organisasi. Metode ini termasuk
sering dilakukan di rumah sakit, karena mudah menyusun dan rentan
terhadap KKN. Dalam pelaksanaan, karakteristik seperti tersebut diatas
mengandung banyak kelemahan.

Dalam rezim pemerintahan yang syarat KKN, karakteristik yang


berkaitan dengan tujuan melakukan kontrol keuangan, seringkali
dilaksanakan hanya sebatas aspek administratif. Hal Ini dilakukan
kemungkinan karena ditunjang oleh karakter yang lain yang sangat
berorientasi pada input organisasi. Dengan demikian, sistem anggaran
tidak memberikan informasi tentang kinerja, sehingga sulit untuk
melakukan kontrol kinerja. Kelemahan lain, berhubungan dengan
karakteristik penetapan anggaran dengan pendekatan incremental, yaitu
menetapkan rencana anggaran dengan cara menaikkan jumlah tertentu
pada jumlah anggaran yang lalu atau sedang berjalan.

Melalui pendekatan ini analisis yang mendalam tentang tingkat


keberhasilan setiap program tidak dilakukan. Akibatnya adalah tidak
tersedia informasi yang rasional tentang rencana alokasi anggaran tahun
yang akan datang. Siapa atau unit mana mendapat dan berapa, seringkali
hanya didasarkan pada catatan sejarah dan tidak berorientasi pada tujuan
organisasi. Akibat berbagai Kelemahan tersebut masalah besar yang

7
dihadapi oleh sistem line-item budgeting adalah masalah keefektifan,
efisiensi dan akuntabilitas. Jenis anggaran ini hanya memperhatikan input
seperti jumlah SDM, jumlah pasien, alat yang digunakan. Rencana
anggaran tahun berikutnya dibuat dengan menaikkan tertentu dapat
dinaikkan lebih dari 10%. Kenaikan bertahap inilah yang
membuka peluang terjadi KKN.

2.4.2 Planning Programming Budgeting System dan Zero Based Budgeting

Prinsip ini berupaya menutupi kelemahan yang ada dalam line-item


budgeting dengan inovasi sistem penganggaran baru yaitu Planning
Programming Budgeting System (PPBS) dan Zero Based Budgeting
(ZBB).
PPBS berusaha untuk merasionalkan proses pembuatan anggaran dengan
menjabarkan rencana jangka panjang ke dalam program-program, sub-sub
program serta berbagai projek. Oleh sebab itu, PPBS juga dikenal sebagai
program budgeting.

Pemilihan berbagai alternatif proyek yang ada dilakukan melalui


cost and benefit analysis. PPBS yang dianggap terlalu rasional, tentu saja
terlalu mahal, sehingga justru sulit untuk dilaksanakan. Kelahiran ZBB
bertujuan untuk merasionalkan proses pembuatan anggaran, karena dalam
sistem ZBB muncul decision unit yang menghasilkan berbagai paket
alternatif anggaran yang dibuat dengan tujuan agar direksi rumah sakit
dapat lebih responsif terhadap kebutuhan customer dan terhadap fluktuasi
jumlah anggaran.

Dalam praktek, ZBB membutuhkan banyak sekali paper work, data


serta menuntut penerapan sistem manajemen informasi yang cukup
canggih. Hal ini dianggap sebagai hambatan utama penerapan ZBB. Hal
tersebut memerlukan waktu dan proses panjang sehingga akan
menyulitkan, walaupun keakuratan dan sifat keadilan lebih baik. Program
terdiri dari sub-sub program yang terdiri dari berbagai jenis layanan dan

8
kemudian diuraikan lagi dalam beberapa jenis kegiatan. Nilai kuantitatif
pada contoh ini baru unit cost, target dan totalnya

Hal tersebut memerlukan waktu dan proses panjang sehingga akan


menyulitkan, walaupun keakuratan dan sifat keadilan lebih baik. Program
terdiri dari sub-sub program yang terdiri dari berbagai jenis layanan dan
kemudian diuraikan lagi dalam beberapa jenis kegiatan. Nilai kuantitatif
pada contoh ini baru unit cost, target dan totalnya. Untuk perencanaan
anggaran metode ini jika untuk pengadaan investasi yang dalam jumlah
besar ataupun pengembangan produk baru perlu dilakukan kelayakan atau
cost and benefit analysis agar hasilnya lebih rasional.
2.4.3 Performance Budgeting

Prinsip ini muncul sudah enam puluh tahunan yang lalu di


Amerika,
akan tetapi baru popular tahun 1990-an dengan reformasi anggaran dan
beberapa karakteristiknya yang dianggap sesuai dengan reformasi
administrasi publik. Performance budgeting (anggaran yang berorientasi
pada kinerja) adalah sistem penganggaran yang berorientasi pada output
organisasi dan berhubungan sangat erat terhadap visi, misi, dan rencana
strategis organisasi. Performance budgeting mengalokasikan sumber daya
pada program bukan pada unit organisasi semata dan memakai output
measurement sebagai indikator kinerja organisasi. Lebih jauh ia
mengkaitkan biaya dengan output organisasi sebagai bagian yang integral
dalam berkas anggarannya.

Tujuan dari penetapan output measurement yang dikaitkan dengan


biaya adalah untuk dapat mengukur tingkat efisiensi dan efektifitas. Hal
ini sekaligus merupakan alat untuk dapat menjalankan prinsip
akuntabilitas, karena yang diterima oleh costumer pada akhirnya adalah
output dari suatu proses kegiatan Manajemen RS.

9
Kinerja yang kita capai harus ditampilkan apalagi kinerja terbaik
yang dapat kita capai sehingga mendapat dukungan manajemen. Sebagai
sistem penganggaran yang berorientasi kepada output dan memakai output
measurement ia tidak sekedar membutuhkan indikator - indikator
keberhasilan namun lebih dari itu ia membutuhkan performance
management yang diterapkan secara luas dalam organisasi.

Alasannya adalah karena isu utamanya adalah pencapaian


keberhasilan organisasi yang menyangkut performance management yang
lebih luas. Demikian pula performance budgeting yang berkaitan erat
dengan visi, misi dan rencana strategis rumah sakit. Ini berarti dalam
proses perencanaan anggaran visi, misi, dan rencana strategis rumah sakit
menjadi acuan utama.

Dengan demikian misi dan rencana strategis harus dirinci sehingga


menghasilkan program, sub program serta proyek yang relevan dengan
tujuan jangka panjang. Setiap output rumah sakit harus dapat dikaitkan
dengan misi dan rencana strategi rumah sakit. Oleh sebab itu, dalam
membangun performance budgeting terdapat elemen-elemen strategis
yang terdiri dari misi dan sasaran serta berbagai elemen praktis yang
meliputi program, aktivitas, dan target aktivitas.

Performance budgeting mengalokasikan sumber daya pada


program dan bukan pada unit organisasi. Konsekuensinya adalah bahwa
dalam sistem penganggaran ini tidak terdapat lagi pengategorian anggaran
ke dalam anggaran rutin. Keuntungan yang didapat dengan
mengalokasikan sumber daya dalam program adalah mudah untuk
mengetahui kinerja setiap program.

Ukuran-ukuran kinerja yang dapat diterapkan pada setiap program


antara lain adalah biaya atau biaya rata-rata pada setiap satuan beban kerja.
Untuk dapat merealisasikan konsep performance budgeting dapat dilihat

10
dari sebagian kecil penggunaannya dalam anggaran pendapatan. Jenis
anggaran ini paling tepat digunakan untuk mengukur kinerja rumah sakit
dengan anggaran yang dapat diukur dari output anggaran yang disesuaikan
dengan visi misi rumah sakit. Bila visi rumah sakit ikut menyukseskan
kesehatan ibu hamil tentunya indikator kinerja tidak semata mencari
keuntungan dengan meningkatkan operasi persalinan walaupun tidak
dengan indikasi medik.

2.5 Prinsip Value for Money


Dalam prinsip ini digunakan untuk menilai apakah Negara/unit
kesehatan telah mendapatkan manfaat maksimal dari belanja yang dilakukan
serta pemanfaatan sumber daya yang dimiliki. Beberapa hal memang sulit
untuk diukur, tidak berwujud dan bersifat subyektif sehingga sering disalah
artikan karena itu dibutuhkan pertimbangan yang matang dalam menentukan
apakah prinsip value for money telah diterapkan dan dicapai dengan baik.
Value for money tidak semata mengukur biaya barang dan jasa melainkan
juga memasukkan gabungan dari unsur kualitas, biaya, sumber daya yang
digunakan, ketepatan penggunaan, batasan waktu dan kemudahan dalam
menilai apakah secara bersamaan kesemua unsur tersebut membentuk
“value” (nilai) yang baik. Pencapaian value for money sering digambarkan
dalam bentuk tiga E, yaitu:
1. Ekonomis, yaitu meminimalkan biaya sumber daya untuk suatu kegiatan
(mengerjakan sesuatu dengan biaya rendah).
2. Efisien, yaitu melaksanakan tugas dengan usaha yang optimal
(melakukan sesuatu dengan benar).
3. Efektif, yaitu sejauh mana sasaran dicapai (melakukan hal yang benar).

2.6 Sistem Pembiayaan Kesehatan di Indonesia

Definisi pembiayaan kesehatan adalah pembiayaan adalah besarnya


dana yang harus disediakan untuk menyelanggarakan atau memanfaatkan
berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga,
kelompok dan masyarakat. Pembiayaan kesehatan harus stabil dan selalu

11
berkesinambungan untuk menjamin terselenggaranya kecukupan (adequacy),
pemerataan (equity), efisiensi (efficiency), dan efektifitas (effectiveness)
pembiayaan kesehatan itu sendiri.

Konsep biaya dalam bahasa Inggris biasa menggunakan istilah cost,


financial, expenditure. Biaya adalah sebagai cost as an exchange, a forgoing
made to secure benefit. Cost sama artinya dengan expense yang digunakan
untuk mengukur suatu pengeluaran (outflow) barang atau jasa yang
disandingkan dengan pendapatan untuk mengukur pendapatan.

Terdapat beberapa mekanisme pembiayaan kesehatan yang ada di


Indonesia, salah satunya adalah Out of Pocket. Pada sistem pembayaran Out
of Pocket (OOP) pasien penerima jasa pelayanan kesehatan melakukan
pembayaran kepada pihak penyedia jasa pelayanan kesehatan dalam hal ini
(dokter & rumah sakit) yang sudah memberikan pelayanan kesehatan dengan
jumlah yang dibayarkan oleh pasien sesuai dengan besaran tarif yang sudah
ditetapkan oleh pihak penyedia jasa kesehatan.

Dikarenakan pembayaran dalam sistem Out of Pocket dilakukan


langsung oleh pasien sebagai pengguna jasa pada saat mengunakan layanan,
maka instansi yang mengelola pembiayaan ini adalah penyedia layanan
kesehatan, instalasi farmasi/apotik, dokter dan rumah sakit. Pembiayaan pada
sistem out of pocket ini terjadi ketika sebuah pelayanan kesehatan tidak
tercakup kedalam pelayanan yang disediakan oleh pemerintah.

Sistem pembayaran selanjutnya yang ada di Indonesia adalah sistem


pembayaran menggunakan Health Insurance merupakan mekanisme
pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam hal ini perusahaan
pemilik atau pengelola Health Insurance kepada pihak kedua dalam hal ini
penyedia jasa pelayanan kesehatan. Untuk mendukung Universal Health
Coverage pemerintah Indonesia membuat program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) sebagaimana yang sudah diatur dalam Sistem Jaminan Sosial

12
Nasional (SJSN) yang bersifat wajib bagi seluruh Warga Negara Indonesia
dan diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan sosial (BPJS).

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan merupakan


sebuah badan hukum untuk menyelenggarakan program jaminan sosial untuk
menjamin seluruh masyarakat Indonesia agar dapat memenuhi kebutuhan
dasar hidup yang layak khususnya dalam mendapatkan pelayanan kesehatan
dimana saja dan kapan saja. Pada awalnya lembaga jaminan sosial yang ada
di Indonesia adalah lembaga asuransi jaminan kesehatan PT Askes Indonesia
yang kemudian menjadi berubah nama menjadi BPJS Kesehatan. Tahun 2013,
PT Askes Menjadi BPJS Kesehatan dengan harapan bahwa BPJS mampu
untuk memberikan perlindungan asuransi kesehatan kepada masyarakat yang
ada di Indonesia.

13
OUT OF
POCKET

Penerima Jasa
Pelayanan
kesehatan

Penyedia Jasa
Pelayanan
Kesehatan

Gambar 2.1 Sistem Pembayaran Out of Pocket

14
Peserta Health
Insurance

(Demand)

Health Insurance

(Managed Care)

FASILITAS TINGKAT FASILITAS TINGKAT


PERTAMA LANJUT

(Supply) (Supply)

SISTEM Diagnose Related


KAPITASI Group (DRG system)

Gambar 2.2 Sistem Pembayaran Health Insurance

15
2.7 Universal Health Couverage dan Implementasinya di Indonesia

Universal Health Couverage merupakan salah satu hal yang ingin


dicapai dan diterapkan pengadaannya di Indonesia. Akan tetapi, cakupan
yang luas dari Universal Health Couverage harus selalu diimbangi dengan
pelayanan kesehatan yang diberikan. Pemerintah Indonesia terus melakukan
berbagai program untuk mendukung Universal Health Couverage salah
satunya adalah dengan membuat Jaminan Kesehatan Nasional yang wajib
diberlakukan kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Universal Health Couverage mempertimbangkan tiga pilar dalam


implementasinya, yaitu semua kelompok orang harus dilindungi, penyediaan
layanan kesehatan dasar diberikan, dan orang dapat mengakses perawatan
kesehatan ketika sedang membutuhkan. Melalui pencapaian UHC maka akan
tercipta kesetaraan dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas
bagi seluruh manusia tanpa memandang status ekonominya.

Universal Health Couverage berarti bahwa semua orang memiliki


akses ke layanan kesehatan yang mereka butuhkan, kapan dan di mana
mereka membutuhkannya, tanpa kesulitan keuangan. Ini mencakup berbagai
layanan kesehatan penting, mulai dari promosi kesehatan hingga pencegahan,
pengobatan, rehabilitasi, dan perawatan paliatif

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang merupakan amanat


dalam Undang – Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) yang telah berjalan sejak tahun 2014 sampai sekarang, akan
tetapi sampai saat ini program Jaminan Kesehatan Nasional belum
sepenuhnya mampu mencapai Universal Health Coverage yang ditargetkan
pemerintah sebesar 95 % dari seluruh penduduk di Indonesia.

16
Pada tahun 2021 Program Jaminan Kesehatan Nasional - Kartu
Indonesia Sehat (JKN-KIS) sudah melindungi sebanyak 223,9 juta jiwa atau
lebih dari 82% total penduduk Indonesia. Pencapaian ini masih belum
mencukupi target Universal Health Courage yang ditargetkan oleh
pemerintah Indonesia sendiri. Target dari Universal Health Courage menjadi
salah satu acuan bagi peyelenggaraan

Gambar : Kubus tiga dimensi dalam universal health coverage

World Health Organization (WHO) menambahkan bahwa tiga


dimensi dalam sebuah pencapaian dalam mendukung universal health
coverage yang digambarkan melalui kubus/gambar di atas.
Ketiga dimensi universal health coverage dapat diterjemahkan sebagai
beberapa hal berikut yaitu:
1. Seberapa besar persentasi penduduk atau masyarakat yang dijamin dalam
sebuah program Jaminan Kesehatan Nasional dalam hal ini jumlah
penduduk yang terlindung dalam jaminan social kesehatan.
2. Seberapa lengkap pelayanan yang dijamin yang artinya layanan kesehatan
yang dijamin apakah hanya layanan di rumah sakit yaitu pelayanan
kesehatan yang bersifat sekunder maupun tersier atau termasuk juga
layanan rawat jalan seperti dalam fasilitas pelayanan kesehatan primer.
3. Seberapa besar proporsi biaya langsung yang masih ditanggung oleh
penduduk maksudnya semakin banyak dana yang disediakan, maka

17
semakin banyak pula penduduk yang terlayani, sehingga semakin
komprehensif paket pelayanannya serta semakin kecil proporsi biaya yang
harus ditanggung oleh penduduk.

Program Jaminan Kesehatan Nasional, dan Badan Penyelenggara


Jaminan Sosial perlu terus meningkatkan pelayanan kesehatan yang sesuai
dengan harapan. Dengan tercapainya Universal Health Coverage,
masyarakat Indonesia diwajibkan untuk memiliki jaminan kesehatan
dalam hal ini BPJS Kesehatan. Jika target dari Universal Health Coverage
tercapai diharapkan kesejahteraan masyarakat juga akan terjamin dalam
bidang pelayanan kesehatan. Selain meningkatkan angka kepesertaan,
dalam Jaminan Kesehatan Nasional maka diperlukan pelayanan yang baik
juga kepada masyarakat khususnya dalam bidang kesehatan, jika
pelayanan kesehatan yang diberikan baik kepada masyarakat hal ini akan
sangat mendukung untuk menambah jumlah kepersertaan masyarakat
Indonesia dalam mengikuti program pemerintah yaitu Jaminan Kesehatan
Nasional.

2.7 Jaminan Kesehatan Nasional

Jaminan Kesehatan Nasional adalah salah satu bentuk perlindungan


dalam bidang kesehatan untuk menjamin seluruh masyarakat Indonesia agar
mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan merata. Undang-undang
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) termasuk dalam Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) merupakan salah satu program pemerintah Indonesia dalam
mendukung Universal Health Courage dimana pemerintah Indonesia
menargetkan 95 % dari masyarakat Indonesia harus berpartisipasi dalam
keikutsertaan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Jaminan Kesehatan Nasional merupakan bagian dari Sistem Jaminan


Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia
dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan yang bersifat wajib

18
berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan
untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat Indonesia yang sudah
membayar iuran perbulannya sesuai dengan kelas yang dipilih atau iurannya
dibayarkan oleh pemerintah khusus untuk masyarakat yang kurang mampu.
Jaminan Kesehatan Nasional diselenggarakan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
dimana kepersertaannya bersifat wajib bagi seluruh masyarakat Indonesia,
dengan tujuan agar semua masyarakat Indonesia terlindungi dalam suatu
sistem asuransi, sehingga masyarakat Indonesia dapat memenuhi kebutuhan
dasar kesehatan yang layak dan merata. Pemerintah Indonesia mengharapkan
dengan adanya Jaminan Kesehatan Nasional bagi seluruh masyarakat di
Indonesia dapat membantu masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan
kesehatan.

2.8 Prinsip-prinsip Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional

2.8.1 Prinsip Kegotong-royongan


Prinsip gotong-royong berarti peserta yang mampu membantu
peserta yang kurang mampu. Peserta yang sehat membantu peserta yang
sakit atau berisiko tinggi melalui iuran yang diberikan tiap bulannya. Hal
ini dapat terwujud karena sistem JKN ini bersifat wajib bagi seluruh
masyarakat Indonesia.
2.8.2 Prinsip Nirlaba
Pengelolaan dana berdasarkan iuran yang dibayarkan tiap bulannya
kepada BPJS semata-mata bukan untuk mencari laba/keuntungan.
Sebaliknya tujuan utama adalah memenuhi kebutuhan peserta. Dana yang
dikumpulkan akan diolah guna untuk kepentingan peserta untuk proses
mendapatkan kebutuhan pelayanan dalam bidang kesehatan.

2.8.3 Prinsip Portabilitas


Prinsip ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang
berkelanjutan kepada peserta sekalipun peserta BPJS berpindah pekerjaan

19
atau tempat tinggal dalam suatu wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

2.8.4 Prinsip Kepersertaan Bersifat Wajib


Kepersertaan bersifat wajib dimaksudkan agar seluruh
masyarakan dapat memperoleh manfaat dalam perlindungan dalam
pelayanan bidang kesehatan. Meskipun kepersertaan bersifat wajib,
penerapannya sendiri tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi
masyarakat.

2.8.5 Akuntabilitas
Iuran atau dana yang dibayarkan tiap bulannya oleh peserta
yakni masyarakatt Indonesia dan Anggaran Pengeluaran Belanja
Negara dapat dipertanggung jawabkan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial sehingga dapat menjamin kepercayaan bagi para
pesertanya.

2.8.6 Kepersertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

2.8.6.1. Kepesertaan Mandiri


Peserta mandiri adalah bukan penerima bantuan iuran, peserta yang
termasuk dalam kategori ini adalah:
2.8.6.2. Pekerja Penerima Upah
Pekerja penerima upah adalah setiap orang yang bekerja pada
pemberi kerja dengan menerima upah atau gaji:
a. Pegawai Negeri Sipil
b. Anggota TNI/ Polri
c. Pejabat Negara
d. Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri
e. Pegawai Swasta
f. Pekerja yang tidak termasuk di atas yang menerima upah.

20
Pekerja penerima upah dapat menyertakan anggota keluarga yang
lain seperti yang dijelaskan dalam Perpres No. 12 tahun 2013, Pasal 5,
yaitu:
a. Suami/istri yang sah dari peserta.
b. Anak kandung/anak tiri dan atau anak angkat yang sah dari peserta.
Dengan kriteria:
a) Tidak atau belum menikah atau mempunyai penghasilan sendiri.
b) Belum berusia 21 tahun atau 25 tahun yang masih melanjutkan
pendidikan formal.

Bagi pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja


(PHK) atau disabilitas tetap terdapat mekanisme yang telah diatur
yaitu bagi pekerja yang dalam masa enam bulan tidak mampu kembali
bekerja akan dimasukkan dalam kategori PBI sedangkan yang dalam
jangka waktu enam bulan dapat bekerja kembali dapat memperpanjang
status dan melanjutkanpembayaran iuran.

2.8.6.3 Pekerja Bukan Penerima Upah


Pekerja bukan penerima upah adalah setiap orang yang bekerja
atau berusaha atas risiko sendiri.
a. WNA yang bekerja di Indonesia paling singkat enam bulan.
b. Notaris/Pengacara/LSM dan sebagainya
c. Dokter praktik swasta/Bidan swasta dan sebagainya
d. Pedagang/Penyedia Jasa dan sebagainya
e. Petani/Peternak/Nelayan dan sebagainya
f. Pekerja Mandiri lainnya

2.8.6.4 Bukan pekerja


a. Investor
b. Pemberi kerja
c. Penerima pension
d. Veteran

21
e. Perintis kemerdekaan
f. Bukan pekerja yang tidak termasuk kriteria di atas

Sumber Gambar : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan

2.8.6.5 Bayi yang baru lahir


Bayi dapat didaftarkan terhitung sejak terdeteksi adanya denyut
jantung bayi dalam kandungan, yang dibuktikan dengan melampirkan
surat keterangan dokter atau bidan. Surat keterangan dokter paling sedikit
mengandung informasi mengenai deteksi denyut jantung, usia bayi dalam
kandungan, dan hari perkiraan lahir. Mengisi formulir daftar isian peserta
seperti pendaftaran perorangan dan diserahkan ke kantor BPJS terdekat.

22
Iuran pertama dilakukan paling cepat setelah bayi dilahirkan dalam
keadaan hidup dan paling lambat 30 hari kalender setelah perkiraan lahir.

2.8.6.6 Peserta Penerima Bantuan Iuran


Penerima Bantuan Iuran (PBI) jaminan kesehatan adalah fakir
miskin dan orang tidak mampu. Fakir miskin adalah orang yang sama
sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai
sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar yang layak (Kebutuhan Hidup Layak yang selanjutnya
disingkat KHL adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh
seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik,
non fisik dan sosial, untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.) bagi kehidupan diri
dan/atau keluarga. Standar kehidupan yang layak diatur berdasarkan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2012, orang tidak mampu
adalah orang yang mempunyai sumber mata pencaharian, gaji atau upah,
yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak namun tidak
mampu membayar iuran bagi dirinya maupun keluarga.
Kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu yang terdaftar sesuai
dengan Peraturan Menteri Sosial No. 146 Tahun 2013.
Kategori fakir miskin dan orang tidak mampu:
a. Fakir miskin dan orang tidak mampu yang terdaftar.
b. Fakir miskin dan orang tidak mampu yang belum terdaftar.
Fakir miskin dan orang tidak mampu yang belum terdaftar
terdapat di dalam lembaga kesejahteraan sosial maupun di luar
lembaga kesejahteraan sosial yang terdiri atas:
a) Gelandangan
b) Pengemis
c) Perseorangan dari komunitas adat terpencil
d) Perempuan rawan sosial ekonomi
e) Korban tindak kekerasan

23
f) Pekerja migran bermasalah social
g) Masyarakat miskin akibat bencana alam dan sosial pasca tanggap
darurat
h) Perseorangan penerima manfaat lembaga kesejahteraan social
i) Penghuni rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan
j) Penderita thalassemia mayor
k) Penderita Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
l) Peserta program keluarga harapan menggunakan kartu keluarga
harapan
m) Penerima bantuan langsung sementara masyarakat
n) Perseorangan penerima program beras miskin

2.8.6.7 Pembiayaan

Iuran jaminan kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan


secara teratur oleh peserta, pemberi kerja dan/atau pemerintah untuk
program jaminan kesehatan (Perpres No. 12 Tahun 2013 tentang jaminan
kesehatan). Setiap peserta wajib membayarkan iuran yang besarnya
berdasarkan presentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu
jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah dan PBI).

11.1 Bagi peserta PBI jaminan kesehatan dibayarkan oleh pemerintah


11.2 Bagi peserta pekerja penerima upah dibayar oleh pemberi kerja dan
pekerja
11.3 Iuran jaminan kesehatan bagi peserta pekerja bukan penerima upah
dan peserta bukan pekerja dibayar oleh peserta yang bersangkutan.
Sedangkan tatacara pembayaran kepada fasilitas kesehatan :
BPJS Kesehatan membayarkan kepada fasilitas kesehatan tingkat
pertama dengan kapitasi (sistem pembayaran kapitasi adalah cara
pembayaran oleh pengelola dana kepada penyelenggara kesehatan
primer untuk pelayanan yang diselenggarakannya, yang besar
biayanya tidak dihitung berdasarkan jenis ataupun jumlah layanan
melainkan berdasarkan jumlah pasien yang menjadi tanggungan)

24
a) Fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan BPJS membayarkan
dengan cara Indonesian Case Based Grup INA CBG’s (sistem
paket)
b) Jika suatu daerah tidak memungkinkan pembayaran berdasarkan
kapitasi, BPJS Kesehatan diberi wewenang untuk melakukan
pembayaran dengan mekanisme lain yang lebih berhasil guna.
c) Pelayanan gawat darurat yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan
yang tidak menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan dibayar
dengan penggantian biaya, yang ditagihkan langsung oleh
fasilitas kesehatan setara dengan tarif yang berlaku di wilayah
tersebut.
d) BPJS Kesehatan wajib membayar fasilitas kesehatan atas
pelayanan yang diberikan kepada peserta paling lambat 15 hari
sejak dokumen klaim lengkap diterima.

2.9 Manfaat Asuransi Sosial (JKN) dalam Anggaran Kesehatan


2.9.1 Dimensi cakupan kepesertaan Jaminan kesehatan Nasional

Dari dimensi ini Jaminan kesehatan Nasional dapat diartikan


sebagai “kepesertaan yang bersifat menyeluruh”, dalam arti semua
penduduk dicakup menjadi peserta jaminan kesehatan dan berhak
menerima pelayanan kesehatan berdasarkan dari kepersertaan yang
dimilikinya. Dengan menjadi peserta jaminan kesehatan diharapkan
mereka memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan..

2.9.2 Akses Merata dari Jaminan Kesehatan Nasional

Tujuan dari akses merata Jaminan Kesehatan Nasional agar semua


masyarakat Indonesia bisa memperoleh pelayanan kesehatan berdasarkan
kepesertaannya dalam Jaminan Kesehatan Nasional. Peserta dapat
memperoleh pelayanan kesehatan dimanapun mereka berada selama masih
berada dalam Negara Indonesia berdasarkan fasilitas kesehatan yang
tersedia didaerah mereka berada.

25
2.9.3 Pembiayaan yang ringan dari Jaminan Kesehatan Nasional

Peserta Jaminan Kesehatan Nasional juga bias meminimalisir biaya


kesehatahan yang keluar yang berarti bahwa proporsi biaya yang
dikeluarkan secara langsung oleh masyarakat ( out of pocket payment)
makin kecil, dimana unuk kepersertaannya dalam program Jaminan
Kesehatan Nasional sudah disesuaikan dengan kemampuan untuk
membayar iuran perbulannya sehingga tidak mengganggu keuangan
peserta dalam program Jaminan Kesehatan Nasional. Dari uraian uraian
tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa semua masyarakat berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan yang dibutuhkan
tanpa ada kesulitan dan masyarakat tidak harus memikirkan bagaimanan
cara membayarnya.

Selain pembiayaan yang ringan Jaminan Kesehatan Nasional juga


sangat membantu masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang tidak
mampu untuk membayar iuran agar mendapatkan pelayanan kesehatan
tanpa membayar iuran yang memberatkannya, karena dalam hal ini
kepersertaannya sudah ditanggung dalam Anggaran Pengeluaran Biaya
Negara untuk menjamin masyarakat menegah ke bawah dapat memperoleh
pelayanan kesehatan.

2.10 Pertanggung Jawaban BPJS sebagai Penyelenggara Jaminan Sosial

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan berkewajiban


untuk membayar Fasilitas Kesehatan atas pelayanan yang sudah diberikan
kepada peserta BPJS Kesehatan paling lambat 15 (lima belas) hari sejak
dokumen bukti pelayanan yang klaim diterima. Jumlah pembayaran
kepada Fasilitas Pelayanan Kesehatan ditentukan berdasarkan kesepakatan
antara BPJS Kesehatan dan asosiasi Fasilitas Kesehatan pada wilayah
tersebut yang mengacu pada standar tarif atau besaran dana yang sudah
ditentukan oleh Menteri Kesehatan.
Dalam suatu wilayah jika tidak terbentuk sebuah kesepakatan atas
besaran atau tarif untuk pembayaran dari BPJS Kesehatan dan Fasilitas

26
Pelayanan Kesehatan maka Menteri Kesehatan akan memutuskan sendiri
besaran tarif atau pembayaran atas program JKN yang sudah diberikan.
Asosiasi Fasilitas Kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Dalam
JKN, peserta juga dapat untuk meminta manfaat tambahan berupa manfaat
yang bersifat non medis seperti akomodasi. Contohnya peserta yang
inigin untuk naik kelas perawatan yang lebih tinggi daripada kelas peserta
yang dipilih, peserta tersebut dapat meningkatkan kelasnya dengan cara
membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan
dan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan yang
dipilih, penambahan biaya ini disebut dengan iuran tambahan biaya
(additional charge). Akan tetapi ketentuan yang ditetapkan tersebut tidak
berlaku umtuk peserta PBI.

Sebagai bentuk dari pertanggung jawaban atas pelaksanaan


tugasnya sebagai lembaga penyelenggaraan jaminan social maka BPJS
Kesehatan wajib untuk menyampaikan pertanggung jawaban dalam bentuk
laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan dihitung
mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember di dalam tahun
tersebut. Laporan yang telah diaudit oleh akuntan publik kemudian akan
dikirimkan kepada Presiden dengan tembusan kepada Dewan Jaminan
Sosial Nasional selambat-lambatnya pada tanggal 30 Juni tahun di tahun
berikutnya. Laporan tersebut nanti akan dipublikasikan dalam bentuk
ringkasan eksekutif melalui media massa elektronik dan paling sedikit 2
(dua) media massa cetak yang memiliki peredaran luas atau hak siar secara
nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya.

2.11 Kebijakan Pendanaan (Pengumpulan Dana dan Peningkatan


Penerimaan)
Kebijakan pengumpulan dana dapat dikatakan sebagai akumulasi dari
seluruh penerimaan JKN-BPJS Kesehatan yang akan digunakan untuk
membiayai fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS. Menurut

27
WHO, kebijakan dalam skema pengumpulan dana bertujuan untuk
memenuhi dua tujuan akhir dari UHC yaitu
1) keadilan dalam distribusi sumber daya, yaitu setiap masyarakat yang
membutuhkan pelayanan kesehatan mendapatkan haknya
2) Proteksi keuangan, yaitu melindungi masyarakat berpenghasilan rendah
agar tidak terbebani dengan biaya kesehatan yang tinggi.

WHO menentukan indikator karakteristik kebijakan pengumpulan


dana yang terdiri dari jumlah dana yang dikumpulkan relatif besar, adanya
gabungan dari risiko tinggi dan rendah, serta partisipasi wajib setiap
warga. Berdasarkan indikator-indikator tersebut, kebijakan pengumpulan
dana seharusnya tidak terfragmentasi artinya semua dana yang masuk dari
masyarakat dikumpulkan dalam satu tempat. Kebijakan ini akan
menggabungkan resiko dari setiap individu, seperti masyarakat dengan
usia muda berpenghasilan tinggi diasumsikan tidak memiliki risiko
penyakit yang tinggi sehingga dapat memberikan manfaat kepada
masyarakat lanjut usia (lansia) yang memiliki risiko penyakit yang tinggi.
Selain itu, kewajiban dalam pembayaran diperlukan untuk
menjamin tersedianya dana. Sumber pendanaan JKN yang tertuang dalam
Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 berasal dari
1) Iuran jaminan sosial,
2) Hasil pengembangan dana jaminan sosial,
3) Hasil pengalihan aset program jaminan sosial yang menjadi hak
peserta dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
menyelenggarakan program jaminan sosial, dan
4) Sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam undang-undang tersebut juga diatur kebijakan pengumpulan


dana untuk program JKN yaitu berasaskan gotong royong dan kewajiban
seluruh masyarakat dari berbagai segmen untuk berkontribusi, baik secara
langsung atau tidak langsung. Pemerintah daerah juga berkontribusi dalam
pembiayaan JKN dengan mendaftarkan peserta Jamkesda ke dalam

28
program JKN sebagai PBI. Selain itu, mengacu pada Peraturan Presiden
Nomor 82 Tahun 2018 bahwa daerah wajib menyisihkan sebesar 75 persen
dari 50 persen pendapatan dari pajak rokok untuk digunakan sebagai
pendanaan JKN.
1) Skema peningkatan pendapatan yang digunakan oleh pemerintah
berupa kebijakan fiskal untuk meningkatkan kapasitas keuangan
program JKN dan pencapaian UHC. Menurut WHO (2016) tujuan
peningkatan pendapatan adalah: meningkatkan sumber pendanaan
yang layak untuk meningkatkan progress JKN,
2) sumber pendanaan menitik beratkan pada sumber publik,
3) memastikan beban keuangan tersebar secara merata, dan
4) memastikan sumber pendanaan stabil dan dapat diprediksi.

Lebih lanjut, terdapat beberapa sumber pendanaan yang dapat


dijadikan alternative untuk digunakan yaitu melalui skema pendanaan
publik dengan instrumen pajak langsung, tidak langsung, hibah dan
pinjaman luar negeri, serta skema pendanaan oleh swasta dengan
instrumen OOP dan voluntary. Beberapa alternatif tersebut memiliki
kelemahan tersendiri, seperti pendanaan oleh individu dapat menyebabkan
seseorang menjual aset-aset yang dia miliki untuk biaya berobat, hal ini
tidak mencerminkan tujuan UHC untuk melindungi masyarakat dari
tanggungan biaya yang besar. Oleh karena itu, sumber pendanaan yang
paling potensial adalah kontribusi pajak langsung dan tidak langsung.

2.12 Kebijakan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan


Kebijakan pembiayaan pelayanan kesehatan merupakan alokasi
dana fasilitas kesehatan yang digunakan untuk menyediakan pelayanan
kesehatan seperti obat, infrastruktur, dan jasa pelayanan. Pembiayaan
didasarkan pada prioritas masyarakat, kinerja staf dan fasilitas kesehatan,
penentuan harga, kuantitas, kualitas, dan pemberian insentif untuk
peningkatan kinerja. Tantangan utama yang dihadapi adalah kurangya
informasi terhadap kinerja penyedia fasilitas kesehatan. Berdasarkan

29
laporan British Medical Journal, 50 persen pelayanan kesehatan tidak
diketahui tingkat efektifitasnya. Lebih lanjut, penanganan penyakit-
penyakit non-spesialistik yang seharusnya dapat ditangani di fasilitas
primer (FKTP) malah ditangani di fasilitas sekunder seperti rumah sakit.
Hal ini menyebabkan pembiayaan menjadi tidak efisien.
Pembiayaan fasilitas kesehatan dibagi menjadi dua yaitu
pembiayaan fasilitas primer dan sekunder. Sistem pembiayaan di fasilitas
primer berdasarkan dana kapitasi. Sebagian besar negara di dunia
menggunakan skema pembiayaan kapitasi yang merupakan pembiayaan
berdasarkan jumlah peserta yang ditangani di fasilitas kesehatan. Sistem
pembiayaan ini memiliki kelemahan yaitu kemungkinan terjadinya
pelayanan di bawah standar. Peserta dengan penyakit dasar tidak dilayani
dan dirujuk ke fasilitas sekunder sehingga terdapat surplus dana.
Untuk mengatasi hal tersebut, digunakan pendekatan pembiayaan
kombinasi antara kapitasi dan tambahan berdasarkan kinerja fasilitas
tersebut. Sistem pembiayaan yang dapat digunakan di fasilitas sekunder
adalah sistem Diagnosis Related Groups (DRGs) yaitu pembiayaan
berdasarkan kasus yang ditangani oleh fasilitas tersebut. Kelemahan dalam
sistem ini adalah adanya kemungkinan pasien “dipulangkan” lebih awal
dan mark-up dari penyedia layanan agar mendapatkan klaim pembayaran
yang lebih besar.
WHO menyarankan dibentuknya komisi pembiayaan yang bekerja
secara independen (tidak masuk dalam struktur kementerian kesehatan dan
badan penyelenggara jaminan kesehatan) agar kebijakan pembiayaan
kepada penyedia fasilitas kesehatan lebih efektif dan efisien. Komisi ini
berfokus pada harga, kuantitas, dan kualitas pembiayaan fasilitas.
Kementerian Kesehatan RI membangun sistem Indonesia Case
Base Groups (INA CBGs) dan kapitasi sebagai pola pembayaran ke pihak
penyelenggara fasilitas kesehatan (faskes) dengan peruntukan masing-
masing. Pemerintah menetapkan tarif INA CBGs untuk seluruh rumah
sakit dan tarif kapitasi untuk Puskesmas dan klinik, serta melakukan

30
penetapan terhadap jenis obat dalam formularium obat nasional dan
penetapan alat- alat kesehatan dalam kompendium alat kesehatan.
BPJS Kesehatan harus melaksanakan seluruh ketentuan Menteri
Kesehatan tersebut pada segenap fasilitas kesehatan yang bekerja sama
dengan BPJS Kesehatan. Untuk mencukupi operasional dan pembayaran
klaim, BPJS masih mengacu pada sumber dana keuangan BPJS
Kesehatan. Sumber dana terbesar PBI adalah APBN. Dana yang
terkumpul oleh BPJS Kesehatan dialokasikan untuk pembayaran layanan
kesehatan yang diberikan kepada penyedia jasa kesehatan.
Dalam pelaksanaan program JKN, penentuan besaran tarif INA
CBGs mengacu pada basis data costing dari 137 RS Pemerintah dan RS
Swasta serta melibatkan data coding dari enam juta kasus penyakit.
Besaran biaya yang ditetapkan dipengaruhi oleh sejumlah aspek pada
sistem INA CBGs, antara lain diagnosa utama, diagnosa sekunder berupa
penyerta atau komorbid atau penyulit atau komplikasi tingkat keparahan,
bentuk intervensi, dan variasi umur pasien.
Dapat dipahami bahwa tarif INA CBGs yang ditentukan merupakan
biaya yang harus dibayarkan sesuai dengan ongkos atau cost per-episode
dari pelayanan kesehatan dalam suatu perawatan dari awal masuknya
pasien sampai selesai pengobatan. Pembayaran dalam pola paket INA
CBGs sudah termasuk ongkos konsultasi dokter, pemeriksaan penunjang
(seperti laboratorium, radiologi/rontgen dan pemeriksaan laboratorium
lainnya), obat Formularium Nasional (Fornas) dan obat bukan Fornas,
bahan dan alat medis habis pakai, akomodasi atau kamar perawatan, dan
biaya lain yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan pasien. Besaran
komponen biaya yang sudah termasuk ke dalam paket INA CBGs telah
ditentukan sebelumnya dan menjadi acuan bagi BPJS Kesehatan untuk
membayar biaya tersebut sehingga tidak lagi dibebankan kepada pasien.

31
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
Sistem Pembiayaan Kesehatan di Indonesia diatur dalam Undang – undang
Nomor 36 Tahun 2009 dimana untuk pembiayaan dari pelayanan kesehatan
dialokasikan sebesar 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Dalam rangka mendukung Universal Health Couverage melalui Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial pemerintah Indonesia membuat suatu kebijakan
dimana seluruh masyarakat Indonesia wajib untuk memiliki Jaminan
Kesehatan Nasional - Kartu Indonesia Sehat agar seluruh masyarakat
Indonesia mempunyai perlindungan dalam bentuk pelayanan kesehatan.

2. Saran
Program pemerintah dalam penyelengaraan Jaminan Kesehatan Nasional
belum sepenuhnya menjamin masyarakat di Indonesia untuk mendapatkan
pelayanan di fasilitas kesehatan dikarenakan banyak masyarakat yang
tentunya belum memiliki Kartu Indonesia Sehat. Oleh karena itu kebijakan
pemerintah mengenai anggaran kesehatan perlu dibaharui atau ditambahkan
agar dapat menjamin seluruh masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan
yang menyeluruh.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Mustikasari PA. BPJS Kesehatan Memberikan Jaminan Kesehatan Terhadap


Pasien Atau Masyarakat. Yustitiabelen;2021: 7(2);147-54.
2. Amadea CP, Raharjo BB. Pemanfaatan Kartu Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) Di Puskesmas. Indonesian Journal of Public Health and
Nutrition;2022:2(1);7-18.
3. Annisa R, Winda S, Dwisaputro E, Isnaini K.. Mengatasi Defisit Dana
Jaminan Sosial Kesehatan Melalui Perbaikan Tata Kelola. 2020; Jurnal
Antikorupsi, 6 (2), 209-24.
4. Bayked E. M., Kahissay, M. H., & Workneh, B. D. (2019). Factors affecting
community based health insurance utilization in Ethiopia: A systematic
review. https://doi.org/10.21203/ rs.2.17949/v1.
5. Defisit Jaminan Kesehatan Nasional. 2020. Perkumpulan PRAKARSA Jakarta,
Indonesia
6. Suprianto A, Mutiarin D. Evaluasi Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional :
(Studi Tentang Hubungan Stakeholder, Model Pembiayaan dan Outcome JKN
di Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Journal of
Governance And Public Policy. 2017;4(1);72-106
7. Adiyanta S.F.C. Urgensi Kebijakan Jaminan Kesehatan Semesta (Universal
Health Coverage) bagi Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Masyarakat di
Masa Pandemi Covid-19. Administrative Law & Governance Journal.
2020;3(2);272-97
8. Cahyani, R., Anam, H. K., & Arsyad, M. (2020). Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Pada Peserta JKN
Di Wilayah Kerja Puskesmas Beruntung Raya Tahun 2020. 47, 1–8

33
9. Menteri Kesehatan RI. (2019). Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 43 Tahun 2019 Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1–168.
10. Panggantih, A., Pulungan, R. M., Iswanto, A. H., & Yuliana, T. (2019).
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Oleh Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (Jkn) Di Puskesmas Mekarsari
Tahun 2019. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, 18(4), 140–146.
https://doi.org/10.14710/mkmi.18.4.

34
Pertanyaan Perencanaan Anggaran Kesehatan

1. Seperti yang sudah dijelaskan dalam sistem pembiayaan diindonesia yang


terbagi menjadi dua ada out of pocket dan health insurance, bisakah dari pemateri
untuk menjelaskan tentang pembiayaan out of pocket.

Jawaban :
Out of Pocket merupakan sistem pembiayaan kesehatan dimana seorang individu
penerima jasa pelayanan kesehatan membayar biaya pengobatan kepada fasilitas
penyedia layanan kesehatan berdasarkan jumlah tagihan pembayaran jasa
kesehatan yang sudah ditetapkan oleh fasilitas penyedia jasa layanan kesehatan

2. Apa hal mendasar bagi pemerintah dalam menerapkan JKN sebagai


implementasi dari universal health couverage?

Jawaban :
Dalam rangka mendukung suksesnya Universal Health Couverage dimana
didalam program yang buat oleh WHO tersebut menyebutkan bahwa seluruh
warga atau sekitar 95% harus mempunyai perlindungan dalam akses pelayanan
kesehatan tanpa harus memikirkan berapa banyak biaya yang harus dibayarkan,
dan di dalam Universal Health Couverage juga menyebutkab bahwa seluruh
warga dalam suatu negara juga harus bisa mendapatkan akses pelayanan
kesehatan dimanapun dan kapanpun itu, maka dari itu pemerintah Indonesia
membuat suatu asuransi kesehatan yang diselenggarakan oleh Badan Penjamin
Jaminan Sosial yang dikenal juga dengan program Jaminan Kesehatan Nasional
sebagai Jaminan Kesehatan yang wajib dimiki oleh warga negara Indonesia agar

35
dapat memperoleh pelayanan kesehatan tanpa harus memikirkan biaya
pengobatan dan bisa mendapatkan pelayanan kesehatan dimanapun mereka berada

36

Anda mungkin juga menyukai