Anda di halaman 1dari 6

RINGKASAN MATERI

“LIMA PENDEKATAN DALAM PENELITIAN KUALITATIF”

John W. Creswell

OLEH
NANDA NAHDHIYAH – A062191001

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2019
1. Studi Naratif
Studi naratif bisa didefinisikan sebagai studi yang berfokus pada narasi, cerita, atau deskripsi tentang
serangkaian peristiwa terkait dengan pengalaman manusia.Studi ini bisa mencakup banyak hal, antara lain :
a. Biografi yaitu narasi tentang pengalaman orang lain.
b. Auto-etnografi atau autobiografi yaitu pengalaman yang ditulis sendiri oleh subjek penelitian.
c. Sejarah kehidupan yaitu rekaman sejarah utuh tentang kehidupan seseorang.
d. Sejarah tutur yaitu sejarah kehidupan yang diperoleh dari hasil ingatan peneliti.

Prosedur yang digunakan biasanya berupa restoring, yakni penceritaan kembali cerita tentang
pengalaman individu, atau progresif-regresif, di mana peneliti memulai dengan suatu peristiwa penting dalam
kehidupan sang partisipan/informan. Pengumpulan datanya dilakukan dengan wawancara mendalam dan
observasi.Analisisnya berpijak pada kronologi peristiwa yang menekankan pada titik-balik atau ephiphanies
dalam kehidupan partisipan/informan.

Menurut Clandinin dan Connelly (2000), langkah-langkah melakukan studi naratif adalah sebagai
berikut:
a. Menentukan problem penelitian atau pertanyaan terbaik yang tepat untuk penelitian naratif. Penelitian
naratif adalah penelitian terbaik untuk menangkap cerita detail atau pengalaman kehidupan terhadap
kehidupan tunggal atau kehidupan sejumlah individu.
b. Memilih satu atau lebih individu yang memiliki cerita atau pengalaman kehidupan untuk diceritakan, dan
menghabiskan waktu (sesuai pertimbangan) bersama mereka untuk mengumpulkan cerita mereka
melalui tipe majemuk informasi.
c. Mengumpulkan cerita tentang konteks cerita tersebut.
d. Menganalisa cerita partisipan dan kemudian restory  (menceritakan ulang) cerita mereka ke dalam
kerangka kerja yang masuk akal. Restorying  adalah proses organisasi ulang cerita ke dalam beberapa
tipe umum kerangka kerja. Kerangka kerja ini meliputi pengumpulan informasi, penganalisaan informasi
untuk elemen kunci cerita (misalnya: waktu, tempat, alur, dan scene/adegan) dan menulis ulang cerita
guna menempatkan mereka dalam rangkaian secara kronologis.
e. Berkolaborasi dengan partisipan melalui pelibatan aktif mereka dalam penelitian. Mengingat para
peneliti mengumpulkan cerita, maka mereka menegosiasikan hubungan, transisi yang halus, dan
menyediakan cara yang berguna bagi partisipan.

2. Studi Fenomenologi
Merupakan studi yang berusaha mencari "esensi" makna dari suatu fenomena yang dialami oleh
beberapa individu. untuk menerapkan riset fenomenologis, peneliti bisa memilih antara fenomenologi
hermeneutik yaitu yang berfokus pada "penafsiran" teks-teks kehidupan dan pengalaman hidup atau
fenomenologi transendental dimana peneliti berusaha meneliti suatu fenomena dengan mengesampingkan
prasangka tentang fenomena tersebut. Prosedurnya yang terkenal adalah Epoche (pengurungan), yakni
suatu proses di mana peneliti harus mengesampingkan seluruh pengalaman sebelumnya untuk memahami
semaksimal mungkin pengalaman dari para partisipan/informan.Analisisnya berpijak pada horizonalisasi, di
mana peneliti berusaha meneliti data dengan menyoroti pernyataan penting dari partisipan/informan untuk
menyediakan pemahaman dasar tentang fenomena tersebut.
Stewart dan Mickunas (1990) menekankan terdapat empat perspektif filosofis dalam fenomenologi :
a. Pengembalian pada tugas tradisional filsafat. Pada akhir abad ke-19 filsafat menjadi terbatas
untuk mengeksplor dunia dengan cara empiris (saintisme). Pengembalian tugas tradisional yang
dimaksud terpikat dengan ilmu pengetahuan empiris yang mengembalikan konsep filsafat
sebagai pencarian kebijaksanaan.
b. Filsafat tanpa persangkaan. Penelitian fenomenologi menahan semua pertimbangan dan
penilaian tentang realitas atau sikap yang alami hingga ditemukan landasan yang lebih pasti.
Penundaan ini oleh Husserl disebut epoche.
c. Intensionalitas kesadaran. Kesadaran selalu diarahkan pada objek. Karenanya, realitas dari objek
tidak terelakkan terkait dengan kesadaran seseorang tentangnya.
d. Penolakan terhadap dikotomi subjek dan objek. Realitas dari objek hanya dipahami dalam makna
dari pengalaman seorang individu.

Terdapat dua pendekatan dalam fenomenologi, yaitu fenomenologi hermeneutic dan


fenomenologi transdental. Fenomenologi hermeneutic dideskripsikan bahwa riset diarahkan pada
pengalaman hidup dan ditujukan untuk menafsirkan teksi kehidupan. Sedangkan fenomenologi
transdental berfokus pada deskripsi tentang pengalaman dari para partisipan. Selian itu fenomenologi
transdental empiris juga mengadopsi duquesne studies in phenomenological phychology sebagau alat
untuk mengidentifikasi menomena yang hendak dipelajari, mengurungkan pengalaman sendiri, dan
mengumpulkan data dari beberapa orang yang telah mengalaminya. Data lalu dianalisis dengan
mereduksi informasi menjadi pernyataan. Kemudian peneliti mengembangkan deskripsi tekstual
tentang pengalaman diri partisipan dan deskripsi struktural tentang sudut pandang kondisi, situasi,
serta konteksnya.

3. Study Grounded Theory


Studi grounded theory menekankan upaya peneliti dalam melakukan analisis abstrak terhadap suatu
fenomena, dengan harapan bahwa analisis ini dapat menciptakan teori tertentu yang dapat menjelaskan
fenomena tersebut secara spesifik. Grounded theory bisa dilakukan dengan berpijak pada pendekatan
prosedur sistematis yang memanfaatkan kausalitas, konsekuensi, coding selektif, dan sebagainya dari
fenomena yang diteliti atau prosedur konstruktivis yang memanfaatkan pengumpulan data dengan
caramemoing terhadap pandangan, keyakinan, nilai, atau idelogi daripara partisipan.
Teoritisasi adalah sebuah metode penyusunan teori yang berorientasi tindakan/interaksi, karena itu
cocok digunakan untuk penelitian terhadap perilaku. Penelitian ini tidak bertolak dari suatu teori atau untuk
menguji teori (seperti paradigma penelitian kuantitatif), melainkan bertolak dari data menuju suatu teori.
Untuk maksud itu, yang diperlukan dalam proses menuju teori itu adalah prosedur yang terencana dan
teratur (sistematis). Selanjutnya, metode analisis yang ditawarkan Grounded Theory Approach adalah
teoritisasi data (Grounded Theory).
Pada dasarnya Grounded Theory dapat diterapkan pada berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial, namun
demikian seorang peneliti tidak perlu ahli dalam bidang ilmu yang sedang ditelitinya. Hal yang lebih penting
adalah bahwa dari awal peneliti telah memiliki pengetahuan dasar dalam bidang ilmu yang ditelitinya, supaya
ia paham jenis dan format data yang dikumpulkannya.
Grounded Theory (GT) merupakan metodologi penelitian kualitatif yang berakar pada kontruktivisme,
atau paradigma keilmuan yang mencoba mengkontruksi atau merekontruksi teori atas suatu fakta yang
terjadi di lapangan berdasarkan pada data empirik. Kontruksi atau rekontruksi teori itu diperoleh melalui
analisis induktif atas seperangkat data diperoleh berdasarkan pengamatan lapangan.
Prosedur grounded theory umumnya berpijak pada coding terbuka atas kategori data, selanjutnya
coding aksial di mana data disusun dalam suatu diagram logika, dan terakhir mengidentifikasi konsekuensi
dari proses coding tersebut, agar bisa sepenuhnya mengembangkan suatu model teoretis tertentu.

1. Memastikan bahwa permasalahan yang akan diteliti cocok jikaditelitidengan menggunakan grounded


theory. Perlu diketahui bahwa grounded theory  cocok untuk digunakan ketika: a) tidak adanya teori
yang dapat menjelaskan suatu proses/ permasalahan dan b) teori yang diperlukan untuk menjelaskan
suatu proses sudah ada, tetapi tidak mengarah pada variabel yang menjadi perhatian si peneliti.
2. Menentukan partisipan dan menyusun pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian haruslah
difokuskan pada pertanyaan untuk memperoleh pemahaman terhadap bagaimana partisipan
mengalami dan menjalani suatu proses tertentu. Lebih lanjut, peneliti juga perlu menyusun pertanyaan
terkait inti dari suatu fenomena, hal yang memengaruhi dan menjadi penyebab dari munculnya
fenomena tersebut, strategi dalam menghadapi fenomena tersebut, dan akibat yang (mungkin)
ditimbulkan dari adanya fenomena tersebut.
3. Mengumpulkan data penelitian melalui kegiatan wawancara.
4. Melakukan analisis data. Bahwa ada tiga tahap analisis data, yaitu: open coding axial coding;
dan selective coding. Pada tahap open coding, peneliti membuat kategori- kategori dari informasi
tentang fenomena yang sedang diteliti. Setelah kategori- kategori tersebut terbentuk, peneliti menyusun
kategori- kategori tersebut menjadi bentuk lain (misal: model visual) dengan menggunakan paradigma
pengkodean untuk mengidentifikasi data- data terkait dengan pertanyaan penelitian. Nah, tahapan itu
disebut dengan tahap axial coding. Adapun pada tahap terakhir, yaitu selective coding, peneliti
menuliskan jalan cerita berdasarkan hubungan antarkategori dan mengembangkan hipotesis- hipotesis
yang menjelaskan keterhubungan kategori- kategori tersebut.
5. Setelah melakukan analisis data, peneliti mengembangkan dan memotret secara visual suatu
perangkat (disebut: conditional matrix) yang berguna dalam membantu peneliti untuk menghubungkan
antara kondisi mikro dan makro yang memengaruhi fenomena. Hasil dari langkah ini adalah suatu teori
substantif yang dekat dengan inti permasalahan. Teori substantif ini dapat diperoleh dengan melalui
proses memoing. Lebih lanjut, teori substantif ini kemudian diuji untuk menentukan apakah teori tesebut
dapat digeneralisasi. Terakhir, apabila teori tersebut dapat digenaralisasikan untuk suatu sampel dan
populasi, maka teori substantif tersbut jadilah suatu teori yang sebenarnya.

4. Studi Etnografis
Studi etnografis berusaha meneliti suatu kelompok kebudayaan tertentu berdasarkan pada
pengamatan dan kehadiran peneliti di lapangan dalam waktu yang lama. pada umumnya, ada dua tipe
etnografi yaitu etnografi realis dimana peneliti berperan sebagai pengamat "objektif", merekam fakta dengan
sikap yang tidak memihak dan etnografi kritis dimana studinya diarahkan untuk meneliti sistem kultural dari
kekuasaan, hak istimewa, dan otoritas dalam masyarakat untuk menyuarakan aspirasi kaum marjinal dari
berbagai kelas, ras dan gender.Prosedurnya sering kali berdasar pada pendekatan holistik untuk memotret
kelompok kebudayaan tertentu yang analisisnya memanfaatkan data emik (pandangan partisipan/informan)
dan data etis (pandangan peneliti) untuk tujuan praktis dan/atau advokatoris demi kepentingan kelompok
kebudayaan itu sendiri.
Menurut Creswell, para ahli banyak menyatakan mengenai beragam jenis penelitian etnografi, namun
Creswell membedakannya menjadi 2 bentuk yang paling popular yaitu Etnografi realis dan etnografi kritis.
a. Etnografi realis ; mengemukakan suatu kondisi objektif suatu kelompok dan laporannya biasa ditulis
dalam bentuk sudut pandang sebagai orang ketiga. Seorang etnografi realis menggambarkan fakta
detail dan melaporkan apa yang diamati dan didengar dari partisipan kelompok dengan
mempertahankan objektivitas peneliti.
b. Etnografi kritis; mencoba merespon isu-isu sosial yang sedang berlangsung.misalnya dalam masalah
jender/emansipasi, kekuasaan, status quo, ketidaksamaan hak, pemerataan dsb.

Jenis-Jenis etnografi lainnya diungkapkan Gay, Mills dan Aurasian :


a. Etnografi Konfensional: laporan mengenai pengalaman pekerjaan lapangan yang dilakukan etnografer.
b. Autoetnografi: refleksi dari seseorang mengenai konteks budayanya sendiri.
c. Mikroetnografi: studi yang memfokuskan pada aspek khusus dari latar dan kelompok budaya.
d. Etnografi feminis: studi mengenai perempuan dalam praktek budaya yang yang merasakan
pengekangan akan hak-haknya.
e. Etnografi postmodern: suatu etnografi yang ditulis untuk menyatakan keprihatinan mengenai masalah-
masalah sosial terutama mengenai kelompok marginal.
f. Studi kasus etnografi: analisis kasus dari seseorang, kejadian, kegiatan dalam perspektif budaya.

Menurut Creswell, walau tidak ada satu cara saja dalam menititi etnografi namum secara umum
prosedur penelitian etografi adalah:
a. Menentukan apakah masalah penelitian ini adalah paling cocok didekati dengan studi etnogafi. Seperti
telah kita bahas sebelumnya bahwa etnografi menggambarkan suatu kelompok budaya dengan
mengekloprasi kepercayaan, bahasa dan  perilaku (etnografi realis); atau juga mengkritisi isu-isu
mengenai kekuasaan, perlawanan dan dominansi (etnografi kritis).
b. Mengidentifikasi dan menentukan lokasi dari kelompok budaya yang akan diteliti. Kelompok sebaiknya
gabungan orang-orang yang telah bersama dalam waktu yang panjang karena disini yang akan diteliti
adalah pola perilaku, pikiran dan kepercayaan yang dianut secara bersama.
c. Pilihlah tema kultural atau isu yang yang akan dipelajari dari suatu kelompok. Hal ini melibatkan analisis
dari kelompok budaya.
d. Tentukan tipe etnografi yang cocok digunakan untuk memlajari konsep budaya tersebut. Apakah
etnografi realis ataukah etnografi kritis.
e. Kumpulkan informasi dari lapangan mengenai kehidupan kelompok tersebut. Data yang dikumpulkan
bisa berupa pengamatan, pengukuran, survei, wawancara, analisa konten, audiovisual,pemetaan dan
penelitian jaringan. Setelah data terkumpul data tersebut dipilah-pilah dan dianalisis.
f. Menulis gambaran atau potret menyeluruh dari kelompok budaya tersebut baik dari sudut pandang
partisipan maupun dari sudut pandang peneliti itu sendiri.

5. Studi Kasus
Studi kasus merupakan salah satu jenis pendekatan kualitatif yang menelaah sebuah "kasus" tertentu
dalam konteks atau setting kehidupan nyata kontemporer. Peneliti studi kasus dapat memilih tipe
penelitiannya berdasarkan tujuan, yakni studi kasus instrumental tunggal yang berfokus pada satu isu atau
persoalan tertentu, studi kasus kolektif yang memanfaatkan beragam kasus untuk mengilustrasikan suatu
persoalan penting dari berbagai perspektif, studi kasus intrinsik yang fokusnya adalah pada kasus itu sendiri,
karena dianggap unik atau tidak biasa.
Prosedur utamanya menggunakan sampling purposeful (untuk memilih kasus yang dianggap penting),
yang kemudian dilanjutkan dengan analisis holistik atas kasus tersebut melalui deskripsi detail atas pola-
pola, konteks dan setting di mana kasus itu terjadi.
Creswell mengemukakan beberapa karakteristik dari suatu studi kasus yaitu : (1) mengidentifikasi
“kasus” untuk suatu studi; (2) Kasus tersebut merupakan sebuah “sistem yang terikat” oleh waktu dan
tempat; (3) Studi kasus menggunakan berbagai sumber informasi dalam pengumpulan datanya untuk
memberikan gambaran secara terinci dan mendalam tentang respons dari suatu peristiwa dan (4)
Menggunakan pendekatan studi kasus, peneliti akan “menghabiskan waktu” dalam menggambarkan konteks
atau setting untuk suatu kasus.Hal ini mengisyaratkan bahwa suatu kasus dapat dikaji menjadi sebuah objek
studi (Stake, 1995) maupun mempertimbangkannya menjadi sebuah metodologi (Merriam, 1988).
Creswell mengungkapkan bahwa beberapa program studi atau sebuah program studi dapat dipilih
menggunakan berbagai sumber informasi yang meliputi: observasi, wawancara, materi audio-visual,
dokumentasi dan laporan. Konteks kasus dapat “mensituasikan” kasus di dalam settingnya yang terdiri dari
setting fisik maupun setting sosial, sejarah atau setting ekonomi.Sedangkan fokus di dalam suatu kasus
dapat dilihat dari keunikannya, memerlukan suatu studi (studi kasus intrinsik) atau dapat pula menjadi suatu
isu (isu-isu) dengan menggunakan kasus sebagai instrumen untuk menggambarkan isu tersebut (studi kasus
instrumental).Ketika suatu kasus diteliti lebih dari satu kasus hendaknya mengacu pada studi kasus
kolektif.Untuk itu Lincoln Guba mengungkapkan bahwa struktur studi kasus terdiri dari masalah, konsteks, isu
dan pelajaran yang dipelajari.
Berdasarkan pendapat Stake (1995, 2005, dan 2006), Creswell (2007) menjelaskan proses penelitian
studi kasus secara lebih sederhana dan praktis, adalah sebagai berikut:
1. Menentukan apakah pendekatan penelitian kasus yang akan dipergunakan telah sesuai dengan
masalah penelitiannya. Suatu studi kasus menjadi pendekatan yang baik adalah ketika penelitinya
mampu menentukan secara jelas batasan-batasan kasusnya, dan memiliki pemahaman yang
mendalam terhadap kasus-kasusnya, atau mampu melakukan perbandingan beberapa kasus.
2. Mengidentifikasikan kasus atau kasus-kasus yang akan diteliti. Kasus tersebut dapat berupa
seorang individu, beberapa individu, sebuah program, sebuah kejadian, atau suatu kegiatan. Untuk
melakukan penelitian studi kasus, Creswell (2007) menyarankan penelitinya untuk
mempertimbangkan kasus-kasus yang berpotensi sangat baik dan bermanfaat. Kasus tersebut
dapat berjenis tunggal atau kolektif; banyak lokasi atau lokasi tunggal; terfokus pada kasusnya itu
sendiri atau pada isu yang ingin diteliti (intrinsic atau instrumental) (Stake, 2005; Yin, 2009).
Creswell (2007) juga menyarankan bahwa untuk menentukan kasus dapat mempertimbangkan
berbagai alasan atau tujuan, seperti kasus sebagai potret (gambaran contoh yang bermanfaat
maksimal); kasus biasa; kasus yang terjangkau; kasus yang berbeda dan sebagainya.
3. Melakukan analisis terhadap kasus. Analisis kasus dapat dilakukan dalam 2jenis, yaitu analisis
holistik (holistic) terhadap kasus, atau analisis terhadap aspek tertentu atau khusus dari kasus
(embedded) (Yin, 2009). Melalui pengumpulan data, suatu penggambaran yang terperinci akan
muncul dari kajian peneliti terhadap sejarah, kronologi terjadinya kasus, atau gambaran tentang
kegiatan dari hari-ke hari dari kasus tersebut.
4. Analisis interpretif, peneliti melaporkan makna-makna yang dapat dipelajari, baik pembelajaran
terhadap isu yang berada di balik kasus yang dilakukan melalui penelitian kasus instrumental
(instrumental case research), maupun pembelajaran dari kondisi yang unik atau jarang yang
dilakukan melalui penelitian studi kasus mendalam (intrinsic case study research). Menurut Lincoln
dan Guba (1985), tahapan ini disebut sebagai tahapan untuk menggali pembelajaran terbaik yang
dapat diambil dari kasus yang diteliti.

Tantangan dalam perkembangan studi kasus kualitatif antara lain:


1. Peneliti hendaknya dapat mengidentifikasi kasusnya dengan baik
2. Peneliti hendaknya mempertimbangkan apakah akan mempelajari sebuah kasus tunggal atau
multikasus
3. Dalam memilih suatu kasus diperlukan dasar pemikiran dari peneliti untuk melakukan strategi
sampling yang baik sehingga dapat pula mengumpulkan informasi tentang kasus dengan baik pula
4. Memiliki banyak informasi untuk menggambarkan secara mendalam suatu kasus tertentu. Dalam
merancang sebuah studi kasus, peneliti dapat mengembangkan sebuah matriks pengumpulan data
dengan berbagai informasi yang dikumpulkan mengenai suatu kasus.
5. Memutuskan “batasan” sebuah kasus. Batasan-batasan tersebut dapat dilihat dari aspek waktu,
peristiwa dan proses.

Anda mungkin juga menyukai