Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Perkembangan Deontologi


Teori deontologi dicetuskan oleh Imaneuel Kant sehingga teori etika ini disebut pula
sebagai teori etik Kantianisme. Imanuel Kant lahir pada tanggal 22 April 1724 dan meninggal
pada 12 Februari 1804. Kant dikenal sebagai seorang filsuf besar dalam pemikiran filosofis
zaman Aufklarung Jerman menjelang abad ke 18. Pendidikan formalnya dimulai saat usianya
delapan tahun di Collegium Fridericianum. Pada tahun 1740, Kant mengenyam pendidikan di
universitas dan berkenalan dengan dosen yang berperan dalam pemikiran Kant, Martin
Knutzen (1713-1751). Knutzen adalah seorang profesor logika dan metafisika. Kant
mengembangkan ilmu yang didapatnya dengan bimbingan Knutzen hingga menghasilkan
karya Allgemeine Naturgeschichte und Theorie des Himmels (Sejarah Umum tentang Alan
dan Teori tentang Langit) pada tahun 1755. Karya ini membahas tentang rotasi bumi pada
porosnya dan terjadinya sistem tata surya yang kemudian dikembangkan oleh Laplace (1749-
1827) sebagai teori “hipotesis nebular” atau “teori kabut asal” (Logan B, 1996; Dicker G,
2004)
Pada tahun 1755, Kant memperoleh gelar doktornya dengan disertasi mengenai ilmu
alam berjudul Meditationum quarundum de igne succinta delineatio (Penggambaran Singkat
dari Sejumlah Pemikiran tentang Api). Kant mendapat julukan sebagai der schone magister
(guru yang pintar). Pada bulan Maret 1770 Kant meraih gelar profesor logika dan metafisika
dari Universitas Konigsberg. Pada tahun yang sama, Kant mengemukakan teorinya
mengenai filsafat kritis. Filsafat kritis adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan
terlebih dahulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya. Pada teori ini, Kant
memandang manusia sebagai subjek yang berpikir. Berbeda dengan teori yang berkembang
sebelumnya dimana kebenaran dinilai sebagai “pencocokan intelektual terhadap realitas”
menjadi “ pencocokan realitas terhadap intelektual” dan objek yang mengarahkan diri pada
subjek untuk menjadi pengetahuan (Shell & Velkley, 2012).
Pada abad ke-18 Eropa Barat mengalami zaman yang disebut “Zaman Pencerahan”
(bahasa Jerman: Aufklarung; bahasa Inggris: Enlightenment). Zaman ini bersemboyan Sapere
aude! Arti dari semboyan tersebut adalah “beranilah berpikir sendiri!”. Pada zaman ini, Kant
mencari prinsip-prinsip yang ada di dalam tingkah laku dan kecenderungan manusia. Selain
pengaruh dari suasana zaman tersebut, teori etik dan moral dari Kant juga dilatarbelakangi
oleh munculnya teori sebelumnya oleh Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) yang
merupakan pendiri filsafat akademis Prussia. Teori Libniz menyatakan bahwa sumber
pengetahuan yang sejati adalah akal budi (rasio), akal budi tidak membutuhkan pengalaman.
Akan tetapi pendapat lainnya yang disampaikan oleh Sir David Hume (1711-1716). Ia
menolak teori Leibniz, ia menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman.
Pengalaman tersebut akan menghasilkan dua hal yaitu kesan dan ide. Dua teori yang
bertentangan tersebut, Kant menuangkan kritiknya dalam bukunya yang berjudul Kritik der
reinen vernunft (Kritik atas Budi Murni) pada tahun 1781 dan 1787 termasuk dalam karya
Grundlegung yang secara khusus menjelaskan tentang etika (Friederich, 1949).
2.2. Teori Deontologi
Deontologi berakar dari bahasa Yunani yaitu “deon” yang berarti 'kewajiban yang
mengikat' . Etika deontologis mengajarkan bahwa sebuah tindakan itu benar apabila tindakan
tersebut selaras dengan prinsip kewajiban yang relevan untuknya tanpa menganggap akibat
tindakan sebagai faktor yang relevan untuk diperhatikan dalam menilai moralitas suatu
tindakan (non-consequentialist theory of ethics) (Shell & Velkley, 2012).
Teori Kant mengenai etika ini dituangkan dalam karyanya yaitu Grundlegung, Menurut
Kant, etika berkaitan dengan hukum-hukum tindakan moral. Kant menemukan bahwa
terdapat peran hakiki otonomi dalam moralitas. Moralitas adalah keyakinan dan sikap batin.
Dalam teorinya, ia menyatakan bahwa kita tidak dapat mengetahui prinsip apa yang
mendasari seseorang untuk bertindak begini atau begitu, akan tetapi terhadap tindakan
manusia, panca indera kita hanya mampu menangkap apa yang terlihat dan dirasakan saja.
Prinsip-prinsip yang mendasari tindakan manusia seperti “kewajiban” dan “hukum moral”
tidak dapat diamati (Llewlyn, 2000).
Para penganut etika deontologis berpendapat bahwa norma moral itu mengikat secara
mutlak dan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil yang
menguntungkan atau tidak. Misalnya norma moral "jangan berbohong" atau "bertindaklah
secara adil", dimana tidak perlu dipertimbangkan terlebih dulu apakah menguntungkan bagi
dirinya atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu dan di mana saja harus ditaati, entah
apa pun akibatnya. Menurut Kant, manusia baru bersikap moral sungguh-sungguh apabila
mematuhi kewajiban moralnya karena sikap hormat terhadap hukum moral. Dengan faham
deontologi yang dianutnya, Immanuel Kant memandang bahwa perbuatan moral itu dapat
diketahui dengan kata hati, melakukan kewajiban merupakan norma perbuatan baik (Logan,
1996).
Hukum moral mengikat mutlak semua manusia sebagai makhluk rasional. Moralitas
merupakan kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma atau hukum batiniah yang
dianggap Kant sebagai “kewajiban”. Moralitas akan tercapai bila dalam menaati hukum
lahiriah bukan karena takut pada dampak hukum lahiriah itu melainkan karena menyadari
bahwa taat hukum itu merupakan kewajiban sehingga nilai moral baru ditemukan didalam
moralitas. Ada tiga kemungkinan seseorang menjalankan kewajibannya, Pertama, ia
memenuhi kewajiban karena hal itu menguntungkannya. Kedua, Ia memenuhi kewajibannya
karena ia terdorong dari perasaan yang ada didalam hatinya, misalnya rasa kasihan. Ketiga, Ia
memenuhi kewajibannya kerena kewajibannya tersebut, karena memang ia mau memenuhi
kewajibannya. Tindakan yang terakhir inilah yang menurut Kant merupakan tindakan yang
mencapai moralitas (Shell & Velkley, 2012).
Moralitas menurut Kant merupakan implikasi dari tiga postulat yaitu kehendak bebas
manusia, imortalitas jiwa dan eksistensi Tuhan. Kehendak bebas manusia merupakan
kenyataan yang tidak dapat disangkal karena terimplikasi langsung dalam kesadaran moral.
Imortalitas jiwa menyatakan bahwa kebahagiaan tertinggi manusia tidak mungkin dicapai
didunia tapi dikehidupan nanti dan keberadaan Tuhan yang menjamin bahwa pelaksanaan
kewajiban moral manusia akan merasakan ganjarannya dikemudian hari berupa kebahagiaan
sejati. Ketiganya itu disebut Kant sebagai “postulat” yaitu suatu kenyataan yang sungguh ada
dan harus diterima, dan tidak perlu dibuktikan secara teoritis, ini merupakan hasil
penyimpulan akal budi praktis atas moral manusia (Todd A, 1995).
Tujuan filsafat moral menurut Kant adalah untuk menetapkan dasar yang paling dalam
guna menentukan keabsahan peraturan-peraturan moral. Ia berusaha untuk menunjukkan
bahwa dasar yang paling dalam ini terletak pada akal budi murni, dan bukan pada kegunaan,
atau nilai lain. Moralitas baginya menyediakan kerangka dasar prinsip dan peraturan yang
bersifat rasional dan yang mengikat serta mengatur hidup setiap orang, lepas dari tujuan-
tujuan dan keinginan-keinginan pribadinya. Keputusan moral itu bisa dan perlu
dipertanggungjawabkan sehingga kebenarannya dapat diuji oleh orang lain. Objektivitas
kesadaran moral juga dijamin oleh etika deontologis melawan arus subjektivisme dan
relativisme, karena prinsip yang secara apriori diturunkan dari akal budi murni itu prinsip
yang berlaku umum dan mengikat secara mutlak setiap manusia sejauh ia mahkluk yang
berakal budi (rasional) (Bertens, 2004).
Dalam karyanya yang berjudul Grundlegung, Kant menyatakan bahwa, “satu-satunya
hal yang baik tanpa pengecualian adalah kehendak/niat baik (guter Wille)”. Menurutnya
hanya kehendak baik yang bersifat baik secara mutlak, terlepas dari berbagai hal lain
termasuk tujuan dari perilaku. Kant menyatakan tindakan seseorang dinilai baik secara moral
apabila dilakukan sebagai upaya manusia tersebut dalam melakukan kewajibannya. Ia sangat
menekankan kemurnian motivasi sebagai ciri pokok tindakan moral, dan kemurnian ini
nampak dari sikap mentaati kewajiban moral demi hormat terhadap hukum/norma yang
mengatur tingkah lakunya, bukan demi alasan lain. Inilah faham deontologis murni. Setiap
orang mesti bertindak tidak hanya sesuai dengan tugas dan kewajibannya tetapi demi tugas
dan kewajiban moral (S(Shell & Velkley, 2012).
Kant merumuskan pandangannya secara singkat dalam tiga prinsip, yaitu agar suatu
tindakan punya nilai moral maka tindakan itu harus dijalankan berdasarkan kewajiban, nilai
moral dari tindakan itu tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu melainkan
hanya tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang melakukan tindakan itu,
serta sebagai konsekuensi dari kedua prinsip di atas, kewajiban adalah hal yang niscaya dari
tindakan yang dilaksanakan berdasarkan sikap hormat kepada hukum. Jadi, apabila perbuatan
tersebut dilakukan dengan motif lainnya, walapun perbuatan tersebut mulia, maka tidak dapat
digolongkan sebagai perbuatan baik (Bertens, 2004).
Dengan ketiga prinsip itulah Kant mengajukan dua perintah yang sangat populer dalam
etika, yaitu perintah bersyarat (hypothetical imperative), dan perintah tak bersyarat
(categorical imperative). Perintah bersyarat merupakan perintah yang dilaksanakan bila
orang menghendaki akibatnya, atau bila akibat dari tindakan itu merupakan hal yang
dikehendaki oleh orang tersebut. Sedangkan perintah tak bersyarat adalah perintah yang
dilaksanakan begitu saja tanpa mengharapkan akibatnya, atau tanpa memedulikan apakah
akibatnya tercapai dan berguna bagi orang tersebut atau tidak (Beauchamp, T.L. & Childress,
J.F., 1994).
2.3. Kritik terhadap Teori Deontologi
Beberapa kritik pada teori ini adalah penilaian sistem moral Kant sebagai suatu etika
yang kaku. Sistem ini memberikan kesan seolah-olah kita berperilaku baik jika hanya
melakukannya karena kewajiban. Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan misalnya apakah
tidak mungkin seseorang dikatakan berperilaku baik karena cinta atau belas kasih atau karena
senang berbuat baik, apakah orang yang ikhlas menolong anak yatim piatu juga tidak dapat
digolongkan bermoral yang baik. Selain itu, Kant juga dianggap memiliki pandangan yang
sempit mengenai kebebasan. Sulit untuk menerima bahwa konsekuensi perbuatan dapat
diabaikan dalam menilai moralitas perbuatan kita. Misalnya menurut Kant, seseorang harus
selalu mengatakan kebenaran dan tidak pernah boleh berbohong dan apabila dalam situasi
seseorang mengatakan kebenaran tersebut menyebabkan orang lain menjadi korban maka hal
tersebut bukan bagian tanggung jawab orang yang mengatakan kebenaran (Shell & Velkley,
2012; Bertens, 2004).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kasus
Pada tahun 2009, di Kuala Samboja, Kutai Kertanegata, Kaltim, seorang perawat
(mantri) bernama Misran, ditangkap polisi dan dipidana 3 bulan kurungan dengan denda
Rp.2.000.000. Peristiwa ini berawal ketika Misran mengambil keputusan untuk memberikan
obat yang terdaftar dalam obat golongan G (Gevaarlijk/berbahaya) karena pasien harus
segera mendapatkan pertolongan. Misran dituduh memberikan resep obat keras daftar G yang
memiliki ciri lingkaran merah di kemasannya dengan menuliskan resep tanpa keahlian dan
memberikan obat penghilang rasa sakit pada pasien gawat saat itu. Hal tersebut merupakan
pelanggaran karena jenis obat yang berlabel G hanya boleh diberikan kepada pasien atas
wewenang dari dokter sesuai dengan pasal 82 (1) D UU No. 26 tahun 2009 tentang
Kesehatan. Di sisi lain kondisi di Kuala Samboja, jarak pusban ke puskesmas induk yang
memiliki tenaga dokter sekitar 15 kilometer. Kondisi fasilitas pelayanan kesehatan di Kukar
sendiri, terdapat 128 pusban yang diisi perawat tanpa ada tenaga dokter. Sementara tenaga
perawat di Kukar setidaknya berjumlah 800-an orang. Selain bertugas di dua rumah sakit di
Tenggarong dan Samboja, 382 orang di antaranya tersebar di 18 kecamatan di Kukar.

3.2 Analisis Kasus


3.2.1 Undang-Undang yang Berlaku Saat Itu
Undang-undang yang terkait adalah UU 36/2009 tentang Kesehatan pasal 82 (1) huruf D
Pasal 63 (1) UU No 32/1992 tentang Kesehatan, dimana mengatur tentang praktik harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, perawat Misran juga dituduh melanggar
Undang-Undang (UU) 23/1992 tentang Kesehatan pasal 82 ayat 1 huruf b pasal 63 ayat 1
dengan sangkaan menyimpan dan menyerahkan obat daftar G kepada pasien tanpa
menggunakan resep dokter.
3.2.2 Persepsi Misran Terhadap Tindakannya
Misran sebagai petugas kesehatan dengan kewenangan yang sangat terbatas, dia merasa
mempunyai kewajiban untuk menyelamatkan pasien dalam keadaan darurat atas dasar life
saving atau penyelamatan hidup pasien dalam situasi yang mengancam jiwa dimana tidak ada
petugas kesehatan lain terutama dokter yang dapat memberikan pelayanan terhadap pasien,
termasuk meresepkan obat keras berlabel G yang seharusnya diresepkan dokter dan
memberikannya kepada pasien.
3.3 Pro-Kontra terhadap Kasus Misran
Pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Kukar, dr.Abdurrachman yang menjadi saksi ahli,
menyebutkan bahwa semua pusban tidak memiliki dokter dan perawat diberi delegasi
melakukan pelayanan pengobatan. Sementara itu Persatuan Perawat Nasional Indonesia
(PPNI) Kukar menilai, kasus Misran harus dilihat dari aspek sistemik atau bentuk
penyalahgunaan kewenangan yang dibebankan kepada satu orang dimana Misran bertindak
sebagai tenaga kesehatan yang ingin menolong masyarakat terutama yang mengancam
kehidupan seseorang, sehingga harus disadari ada bentuk pertolongan yang tidak dilindungi
oleh hukum, termasuk pelayanan di luar gedung dan jam kerja. Jika ditarik benang merahnya,
kesalahan ini karena sistem yang salah dan kebijakan yang tidak disosialisasikan. Ketua PPNI
Kukar, Abdul Jalal menyatakan kekhawatirannya bila kasus Misran menjadi kasus pidana,
maka belum ada solusi yang baik bila ada masyarakat memerlukan pengobatan di pedesaan
dengan sumber daya tenaga kesehatan dan fasilitas yang minimal.
Menteri Kesehatan memang tidak secara tegas membenarkan perbuatan Misran. Namun,
tenaga-tenaga kesehatan yang bertugas di pedalaman kadang-kadang harus bertindak cepat
untuk keselamatan nyawa pasien mereka. Namun, ada beberapa saksi ahli yang kontra
terhadap tindakan Misran ini dan mengatakan bahwa obat daftar G tidak bebas
diperjualbelikan dan harus digunakan dengan resep dokter. Misran terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana karena membuka praktik kefarmasian tanpa disertai
keahlian dan kewenangan serta melakukan pemberian obat tersebut kepada pasien.
3.4 Pembahasan Kasus Berdasarkan Teori Etik Deontologi
Berdasarkan kasus di atas, terdapat beberapa hal yang dapat kita tinjau berdasarkan Teori
Deontologi / Kantitianisme, yaitu:
1. Apabila dianalisis dengan teori deontologi, perawat menggunakan teori ini dalam
bertindak dan mengambil keputusan untuk menolong orang lain yang mengalami
masalah kesehatan. Perawat tersebut merasakan ada kewajiban bagi dirinya sebagai
tenaga kesehatan untuk bertindak terutama dalam keadaan gawat darurat yang
membahayakan pasien.
2. Kant berpendapat bahwa kewajiban moral bergantung pada aturan (maxim) yang
menentukan kehendak individu. Sebuah tindakan individu akan memiliki nilai moral
apabila hanya dilakukan dengan kehendak yang baik (berdasarkan kewajiban).
Ketika seseorang melakukan sesuatu atas dasar motif atau kecenderungan lain maka
tindakan tersebut tidak bernilai moral. Pada kasus di atas, perawat Misran membantu
pasien agar mendapatkan pengobatan sesuai penyakitnya dan dalam keadaan
emergensi. Tindakan perawat ini bernilai moral karena tindakan tersebut didasarkan
pada pengakuan kewajiban yang universal. Alasan tindakan”demi kewajiban” dan
tidak terdapat motif atau kecenderungan lain dalam tindakan tersebut serta tidak juga
memikirkan akibat dari tindakannya tersebut.
3. Apabila tindakan perawat adalah tidak membantu pasien saat itu dengan tidak
membuat peresepan obat keras dan menggunakan obat tersebut untuk pasien
dikarenakan ketakutan terhadap dampak perbuatannya semisal melanggar
kewenangannya sebagai seorang perawat, maka perbuatannya tersebut dinilai tidak
didasarkan pada kehendak yang murni. Oleh karena itu dikatakan bahwa demi
kewajiban seorang perawat maka tindakan tersebut akan bernilai moral. Akan tetapi,
dalam hal situasi seperti disebut diatas, apabila perawat tidak membantu pasien
karena motif takut melanggar kewenangannya sebagai perawat dan akan berakibat
menyalahi Undang-Undang maka tindakan tersebut benar secara aspek legalitas
tetapi tidak bernilai moral.
4. Kant berpendapat bahwa kewajiban moral bergantung pada aturan (maxim) yang
menentukan kehendak individu. Sebuah tindakan individu akan memiliki nilai moral
apabila hanya dilakukan dengan kehendak yang baik (berdasarkan kewajiban).
Perawat Misran melakukan sesuatu bukan hanya “menyesuaikan dengan” tetapi
“demi kewajiban”. (Beauchamp, T.L. & Childress, J.F., 1994; Bertens, K., 2004).
5. Dalam teori Kant, otonomi menunjukkan kebebasan manusia. Manusia itu bebas
karena mengikat dirinya sendiri pada hukum moral (Bertens, K. 2004). Pada kasus
Misran tersebut, tidak adanya kecenderungan lain selain karena unsur kewajiban
sebagai perawat untuk menolong pasien, juga menunjukkan bahwa tindakan tersebut
dilakukan berdasarkan atas kehendak rasional yang dipilih secara otonom.

3.5 Perubahan Regulasi / UU Setelah Kasus Misran


Perkembangan kasus Misran mendapat perhatian dari banyak pihak hingga mencetuskan
dilakukannya uji materi terhadap UU 36/2009 tentang Kesehatan di tingkat Mahkamah
Konstitusi, dan didapatkan hasil dimana MK menyetujui terjadi perubahan klausul pada
UU tersebut yaitu “Perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang
mengancam jiwa pasien diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien.”
Hal ini berlaku di daerah yang tergolong terpencil dan tidak memiliki tenaga medis
sehingga dimungkinkan seorang perawat memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat
setempat.
4 Selain itu, perubahan juga terjadi pada pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063) sepanjang
kalimat, “… harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” bertentangan dengan UUD
1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa tenaga kesehatan tersebut adalah tenaga
kefarmasian, dan dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat
melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antara lain, dokter dan/atau dokter gigi,
bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam
keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien.
5 Dalam hal life saving, beberapa peraturan terbaru dikeluarkan setelah kejadian ini,
diantaranya Permenkes No 17 tahun 2013 Pasal 10 ayat (1) tentang Tenaga Kesehatan
Perubahan atas Permenkes o.H.02.02/MENKES/148/1/2010 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Keperawatan “Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan
nyawa seseorang/pasien dan tidak ada dokter di tempat kejadian, perawat dapat
melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal
8”.
DAFTAR PUSTAKA

Beauchamp, T.L. & Childress, J.F (1994). Principle of Biomedical Ethics. Oxford: University
Press.

Bertens, K. 2004. Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Dicker, G. 2004. Kant’s Theory of Knowledge An Analytical Introduction. New York: Oxford
University Press.

Friederich, C., J. 1949. The Philosophy of Kant : Immanuel Kants Moral and Political
Writings. New York: The Modern Library.

Kant, Immanuel (1964). Groundwork of the Metaphysic of Morals. Harper and Row
Publishers, Inc. ISBN 0-06-131159-6.

Kasus Perawat Misran Akibat Pemerintah tak Keluarkan PP. Diakses dari
http://www.tribunnews.com/nasional/2010/05/06/kasus-perawat-misran-akibat-
pemerintah-tak-keluarkan-pp

Korner, S. 1955. Kant : A new introduction to the philosophy of one of the greatest thinkers of
the modern world. USA: Penguin Books Inc.

Lanjutan Kisah Perawat Kukar yang Ditangkap. Diakses dari


https://try2bcoolnsmart.wordpress.com/2009/11/20/lanjutan-kisah-perawat-kukar-
yang-ditangkap/amp/

Llewlyn, J. 2000. The HypoCritical Imagination between Kant and Levinas. London:
Routledge.

Logan, B. 1996. Immanuel Kants Prolegomena to Any Future Metaphysics. London:


Routledge.

Misran, Sang Pahlawan Mantri Desa. Diakses dari


https://www.kompasiana.com/abuga/misran-sang-pahlawan-mantri-
desa_5500f2e5a333114e75512777
MK Tentukan Nasib Misran, Mantri Desa yang Dipenjara Meski Bantu Warga. Diakses dari
https://news.detik.com/berita/1669058/mk-tentukan-nasib-misran-mantri-desa-yang-
dipenjara-meski-bantu-warga

Salzmann, Todd A. 1995. Deontology and Teleology: An Investigation of the Normative


Debate in Roman Catholic Moral Theology. University Press.

Shell, S.M., & Velkley, R. 2012. Kant’s Observations and Remarks A Critical Guide.
Cambridge: Cambridge University Press.

Uji Materi UU Kesehatan Dikabulkan, Kini Legal Mantri Beri Tindakan Medis. Diakses dari
http://niasonline.net/2011/06/28/uji-materi-uu-kesehatan-dikabulkan-kini-legal-
mantri-beri-tindakan-medis/

Anda mungkin juga menyukai