Anda di halaman 1dari 37

DASAR PEMBENTUKAN ETIK, MORAL DAN KEPUTUSAN ETIK

Disusun untuk memenuhi tugas mata ajar Etik dan Hukum Keperawatan

Dosen pengampu : Dr. Eti Rekawati, SKp., MKM

Disusun Oleh :

Kelas D (Kelompok IV)

Dennti Kurniasih Mz (1706096254)

Elter Sianturi (1706096286)

Nelly Safrina (1706096430)

Fertin Mulyanasari (1706096304)

Suyatno (1706096582)

PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
KATA PEGANTAR..................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2 Tujuan..........................................................................................................................2
1.3 Manfaat........................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................3
2.1 Dasar Pembentukan Etika dan Moral..........................................................................3
2.1.1 Konsep Etik..........................................................................................................3
2.1.2 Konsep Moral.......................................................................................................8
2.1.3 Sejarah Pembentukan Moral dan Etika................................................................9
2.1.4 Tahap Perkembangan Etik dan Moral menurut Kohlberg (1995)......................14
2.2 Caring Ethics/Etika Kepedulian................................................................................16
2.2.1 Perspektif caring ethics......................................................................................16
2.2.2 Sejarah Perkembangan dan Mengapa Caring Ethics Muncul............................18
2.3 Keperawatan Sebagai Profesi (Kontrol Sosial, Dimensi, Ciri-Ciri)..........................20
2.4 Etika dalam Keperawatan..........................................................................................24
2.4.1 Perangkat Etik....................................................................................................24
2.4.2 Kode Etik...........................................................................................................25
2.4.3 Prinsip etik.........................................................................................................28
2.5 Keputusan Etik Dan Standar Keperawatan...............................................................29
2.5.1 Masalah dan Dilema Etik...................................................................................29
2.5.2 Pengambilan Keputusan Etik.............................................................................30
2.5.3 Standar Keperawatan.........................................................................................31
BAB III PEMBAHASAN........................................................................................................34
BAB IV PENUTUP.................................................................................................................35
4.1 Kesimpulan................................................................................................................35
4.2 Saran..........................................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................36

2
KATA PEGANTAR

Puji Syukur kepada Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia dan
kuasaNya sehingga penyusunan makalah dengan judul Dasar Pembentukan Etik, Moral dan
Keputusan Etik dapat diselesasikan oleh penyusun. Makalah ini disusun sebagai memenuhi
tugas mata ajar Etika dan Hukum dalam Keperawatan pada Program Magister Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari arahan dan bimbingan dari berbagai pihak,
oleh karena itu kami mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dra. Junaiti Sahar, S.Kp., M. App.Sc., Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
2. Dr. Krisna Yetti, S.Kp., M.App.Sc. selaku Koordinator Mata Ajar Etika dan Hukum
dalam Keperawatan.
3. Dr. Etty Rekawati, S.Kp., MKM. selaku Dosen Fasilitator Kelas D mata ajar Etika dan
Hukum dalam Keperawatan.
4. Seluruh rekan mahasiswa Program Magister Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia angkatan 2017.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu ktirik
dan saran dari berbagai pihak sangat kami harapkan.

Depok, 20 September 2017

Penyusun

3
BAB I
PENDAHULUAN

1 Latar Belakang
Permasalahan etik merupakan permasalahan yang sangat krusial dalam sebuah profesi
seperti profesi keperawatan karena berkaitan erat dengan sistem nilai, norma dan moral yang
ada dalam diri individu maupun masyarakat dan profesi keperawatan merupakan profesi yang
sangat dekat dengan konsep dan praktek etik maupun moral.
Menurut Chris Gastmas, keperawatan dianggap sebagai praktik moral dengan 3
komponen utama yaitu : hubungan kepedulian (kondisi praktik keperawatan), perilaku peduli
(integrasi nilai kebaikan dan aktivitas kepakaran) dan perawatan yang baik yang didefinisikan
sebagai tujuan akhir praktik keperawatan. Merawat dianggap sebagai cara spesifik untuk
menghubungkan diri dengan yang lain dalam konteks relasional antara pasien dan perawat
dalam memberikan perhatian (caring) selama aplikasi asuhan keperawatan. Perilaku peduli
melibatkan integrasi kebaikan (kebaikan altruistik terhadap perawatan dengan fitur kognitif
dan afektif-motivasi) dan aktivitas kepakaran.
Permasalahan yang mendasar pada profesi keperawatan Indonesia saat ini adalah
perawat masih belum melaksanakan peran caring secara profesional dalam memberikan
asuhan keperawatan kepada klien (Nursalam, 2014). Kualitas perawat di rumah sakit masih
membutuhkan bimbingan pengawasan. Hal ini dapat dilihat dari banyak komplain pasien
terkait pelayanan keperawatan (Darwis, 2016), senada dengan hal tersebut, hasil penelitian
Purba, Suza, Erniyati (2015) merekomendasikan perlunya evaluasi terhadap penerapan
caring oleh perawat di rumah sakit serta memfasilitasi perawat dalam mengaplikasikan
caring dalam asuhan keperawatan.
Dewi, Syam, dan Daulay (2015) mengatakan bahwa rumah sakit perlu
mengoptimalkan kinerja perawat untuk menerapkan prinsip etik dengan meningkatkan
budaya perilaku caring, memperhatikan prinsip etik di rumah sakit dalam pemberian asuhan
keperawatan kepada klien, perlu dibuat aturan baku pelaksanaan perilaku caring, prinsip etik
bagi perawat, pelaksanaan supervisi berkala, dan pelatihan caring.
Dengan mencermati beberapa fenomena diatas, dalam makalah ini penulis ingin
membahas dan menganalisa konsep etik dalam keperawatan yang meliputi: Dasar
pembentukan Etik dan Moral, Etika Kepedulian, Keperawatan sebagai Profesi, Keputusan
Etik dan Standar Keperawatan dan Etik dalam Keperawatan.
2 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah:
1. Mengidentifikasi keberadaan Etik dalam Filsafat Ilmu
2. Membandingkan dan membedakan antara Etik dan Moral
3. Menganalisa Teori Etik secara umum
4. Menganalisa teoro etik pada area keperawatan dan membandingkan serta
membedakan dengan teori Etik secara umum
5. Menganalisis kode etik keperawatan di Indonesia dan dinegara lain.

3 Manfaat
Manfaat penyusunan makalah ini adalah:
1. Profesi keperawatan
Sebagai sumber studi kepustakaan dalam pengembangan etik dan moral dalam
keperawatan sehingga dapat menambah pemahaman tentang konsep etik dan
moral dan mengaplikasikan dalam praktek keperawatan.
2. Institusi pendidikan keperawatan
Sebagai sumber kepustakaan dalam pengembangan etik dan moral bagi institusi
keperawatan.
3. Mahasiswa keperawatan
Sebagai salah satu acuan kepustakaan dalam pemahaman konsep etik dan moral
dalam keperawatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

4 Dasar Pembentukan Etika dan Moral


4.1 Konsep Etik
Etik berasal dari kata Yunani kuno ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak
arti yaitu tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak,
watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak ( ta etha) artinya adat kebiasaan.
Arti kata etika ( ta etha) menjadi latar belakang terbentuknya istilah etika yang oleh filsuf
Yunani besar Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral
( Bertens, 2002).
Menurut Bertens (2002) etika adalah :
1. Nilai-nilai (sistem nilai) dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya etika
Yunani, etika agama Budha. Jadi etika Yunani yang berarti sistem nilai yang berlaku di
Yunani dimana sistem nilai yang berlaku tiap individu maupun kelompok.
2. Kumpulan asas atau nilai moral ( yang dimaksud adalah kode etik). Misalnya Kode
Etik Keperawatan.
3. Ilmu tentang yang baik buruk, filsafat moral.
4. Ada beberapa alasan mengapa etika perlu menurut Franz Magnis-Suseno :
5. Etika diperlukan untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan pandangan-
pandangan moral.
6. Etika membantu agar tidak kehilangan orientasi di tengah gelombang modernisasi
7. Etika membuat kita sanggup untuk menghadapi ideologi-ideologi baru dengan kritis
dan objektif agar tidak mudah terpengaruh
8. Etika diperlikan oleh kaum agama menemukan dasar kemantapan dalam iman
kepercayaan mereka.
Teori etika terbagi menjadi dua kategori utama yaitu teori normatif dan teori
metaetika.Teori normatif merupakan kategori yang lebih besar dan lebih substantif. Ini
melibatkan perumusan standar perilaku moral dan mengartikulasikan prinsip dan
sanksi yang mengatur perilaku tersebut. Teori meta etika, di sisi lain, adalah kategori
yang lebih kompleks yang menyelidiki makna istilah dan kritik etika bagaimana
pernyataan etis telah diverifikasi ini adalah kategori sekunder dimana teori normatif
ditinjau dan dikomentari.
Dalam kapasitas ini, methaetika berfungsi sebagai kekuatan intelektual di balik
layar yang menawarkan kritik ketika normatif etis terlalu jauh, atau ketika mereka
gagal untuk menjelaskan prinsip-prinsip moral. Mengingat hubungan ini, etika
normatif dapat dibandingkan dengan pengadilan yurisdiksi primer, sedangkan
methaethics dapat dibandingkan dengan pengadilan banding. Setiap tingkat
memberikan manfaat dari kontribusi pada yang lainnya.
1. Teori Metaetika
Istilah meta berarti "setelah" atau 'di luar' dan umum di antara filsuf ilustratif yang
terbiasa membuat komentari filosofis tentang semua aspek pengetahuan. Metaetik
dapat didefinisikan sebagai studi tentang metode, bahasa, logika, struktur, dan
penalaran yang digunakan dalam tiba di, atau dalam membenarkan penilaian
moral. Perannya adalah untuk mengevaluasi komentar tentang bagaimana sebuah
prinsip dibenarkan. Metaetik lebih langsung berkaitan dengan menganalisis arti
istilah seperti baik dan buruk dibandingkan dengan menilai tingkah laku itu
sendiri. Metaetik menghindari usaha untuk mendefinisikan standar perilaku moral,
perhatian utama mereka adalah mengevaluasi kualitas dan validitas klaim oleh
teori normatif dan memeriksa cara klaim semacam itu dipertimbangkan. Dalam
kontras dengan tingkat pertama, menilai teoretikus normatif, methaetik masuk
dalam tingkat kedua. Dengan demikian, hubungan antara etika normatif dan
metaetika mirip dengan antara pengadilan negeri dan pengadilan banding dalam
sistem peradilan.Teori metaetika pada gilirannya dibagi dalam dua subkategori,
berdasarkan Pada apakah seseorang percaya bahwa penilaian moral dilakukan
atau tidak ada sebagai kenyataan. Akhirnya, perlu ditekankan bahwa bidang etika
normatif dan methaethic saling terkait erat karena masing-masing berkontribusi
terhadap perkembangan yang lain. Akibatnya, kebanyakan filsuf filsuf saat ini
tampaknya mengejar filsafat jalur ganda, menggabungkan kedua pendekatan
dengan berbagai cara, dengan penekanan, pada satu pendekatan atau pendekatan
lainnya (Souryal, 2011). Dari teori metaetik, penulis menyimpulkan bahwa filsafat
dalam teori ini lebih dianggap sebagai komentator, pemerhati, pengamat, dan
evaluator. Teori ini berperan dalam mengkritisi dan menilai suatu prinsip yang
dipercayai dan dibenarkan terutama oleh teori normatif. Para filsuf dalam teori ini
akan melakukan penalaran pada standar ataupun istilah yang diakui baik dan
benar oleh teori normatif. Secara tidak langsung teori ini membantu dalam
perbaikan dan pembenahan kembali tentang prinsip-prinsip yang diakui tersebut.
2. Normatif
Bidang etika normatif terbagi menjadi dua sub kategori yang cukup dapat
dibedakan . Pembagian ini didasarkan pada apakah penekanan moral diletakan
diujung depan tindakan itu sendiri atau bagian belakang konsekuensi aksi. Yang
pertama dikenal teori deontologis dan yang terakhir sebagai teori teleologis.
a. Teori deontology
Teori deontologi dikenal juga dengan teori kewajiban. Karena bahasa
deontologi berasal dari bahasa yunani duty yang berarti kewajiban. Teori
deontologi menentukan tentang kebenaran dan kesalahan dari suatu tindakan
sebagai dasar dari sebuah kewajiban yang alamiah. Suatu tindakan dinyatakan
benar apabila tidak ada maksud di belakangnya atau ada konsekuensi lain,
maka itu adalah benar. Contohnya membantu orang lain dianggap etika yang
benar. Fakta bahwa lebih baik melakukan kebaikan daripada melakukan
kesalahan. Kenyataan bahwa bantuan nantinya bisa terbukti berbahaya tidak
membuat perbedaan dalam persamaan moral. Tindakan yang benar, tetap
benar bahkan jika hasilnya buruk atau jika dilakukan karena alasan yang salah.
Dengan tepat, mengatakan yang sebenarnya adalah mengutuk dengan baik
tanpa mempertimbangkan konsekuensi buruk yang mungkin ditimbulkannya.
Selanjutnya, tindakan yang dianggap benar harus bersifat universal di mana
saja dan kapanpun. Teori deontologis dibagi dalam dua kategori: monistik atau
multipel. Dalam kategori pertama, pertimbangan moralitas didasarkan pada
nilai tunggal kebaikan. Contoh kategori ini mencakup teori hedonisme, yang
menganggap bahwa kesenangan adalah satu-satunya yang baik dan total
kebaikan, dan teori Kant berkewajiban sebagai satu-satunya kewajiban dalam
kehidupan. Pada subkategori kedua, teori deontologis dapat berupa dualistik
atau pluralistik, dalam kasus mana mereka didasarkan pada dua atau lebih nilai
kebaikan. Seperti pasangan yang menikah terdiri dari tampan/cantik dan kaya,
atau pluralisme yaitu kaya, cantik, dan bependidikan. Oleh karena itu,
disimpulkan bahwa teori deontologi menilai nilai moral secara ketat atas dasar
tindakan itu sendiri, terlepas dari apa konsekuensi dari tindakan itu yang
mungkin terjadi. Dengan demikian, mereka merupakan sanksi yang tegas,
material, universal atau setidaknya memiliki efek yang menentukan pilihan
manusia. (Souryal, 2011). Dari teori di atas, penulis menyimpulkan bahwa
teori deontologi menilai sesuatu yang dikatakan bermoral atau tidak adalah
dari tindakan itu sendiri. Tindakan tersebut harus secara umum diakui
bermoral dimanapun atau kapanpun. Apabila secara universal atau umum
sebuah tindakan yang sudah diwajibkan untuk dilakukan, meskipun hasil dari
tindakan tersebut tidak baik dan berbahaya, tidak diperhitungkan oleh teori ini.
Tindakan tersebut tetap dikatakan bermoral oleh teori ini.
b. Teori teleological
Kata teleologikal berasal dari bahasa yunani teleois yang berarti
konsekuensi atau membawa masalah sampai akhir tujuan atau tujuan. Teori
teleologis menentukan nilai moral dari hasil suatu tindakan. Di sana,
konsekuensi tindakan tersebut ditentukan tindakan benar. Jika hasilnya bagus
maka tindakannya benar jika hasilnya buruk dari tindakan yang salah. Dengan
demikian, dalam contoh sebelumnya, kebenaran memukul pantat seorang anak
adalah dalam mereformasi tingkah lakunya, hak untuk berperang adalah
memulihkan perdamaian dan kebaikan, memenjarakan seorang penjahat
adalah menghalangi orang lain melakukan kejahatan. Di antara dua teoretik
teleologis yang paling dikenal adalah utilitarianisme dan keadilan sosial.
Menurut teori utilitarian, sebuah tindakan atau kebijakan mungkin bersifat
moral atau tidak bermoral hanya dalam hal kapasitasnya untuk mencapai
kebaikan terbesar bagi banyak orang. Oleh karena itu, kebijakan yang
menaikkan upah minimum atau meningkatkan manfaat jaminan sosial sangat
bermanfaat, karena dapat menguntungkan segmen populasi yang lebih besar.
Dengan cara yang sama, teori keadilan sosial menegaskan bahwa moralitas
utama ada pada masyarakat mana saja yang mampu memaksimalkan
kebebasan bagi semua warga tanpa mengorbankan kebutuhan orang miskin
dan orang-orang yang kurang mampu. Teori teleologi juga dibagi menjadi dua
subkategori kualitas kebaikan dan kedudukan/tempat kebaikan. Pada
subkategori pertama, teleologi memberi peringkat pada tingkat kebaikan
dalam hal hirarki berdasarkan kualitasnya. Sebagai contoh, seperti kebaikan
keadilan lebih tinggi daripada kebaikan kesenangan. Dengan cara yang sama,
kebaikan intrinsik kesenangan adalah kualitas yang lebih tinggi daripada
kekayaan non-intrinsik kekayaan. Dengan demikian, tindakan yang
meningkatkan nilai keadilan dan kebahagiaan secara moral lebih unggul
daripada yang memaksimalkan keuntungan ekonomi. Pada subkategori kedua,
kedudukan kebaikan, teleologi menentukan kebaikan suatu tindakan dalam hal
lokasinya. Di mana ia paling diuntungkan. Misalnya, sementara teori egoisme
dan utilitarianisme bersifat teleologis, keduanya berbeda dalam hal jumlah
penerima manfaat. Seorang egois akan menghargai tindakan dalam hal jumlah
kebahagiaan yang akan menimpanya. Sebaliknya, seorang utilitiranists akan
menghargai tindakan yang sama dalam hal jumlah orang yang akan
mendapatkan keuntungan darinya. Secara ringkas teori teleologis berpendapat
bahwa moralitas suatu tindakan didasarkan pada moralitas konsekuensinya.
Oleh karena itu, sebuah salam yang menghasilkan konsekuensi yang tidak
menyenangkan adalah 'tidak bermoral' dan perbuatan biasa-biasa saja yang
menghasilkan konsekuensi bahagia adalah 'moral'. Selanjutnya, teori teleologis
menekankan bahwa pertimbangan moral harus ditafsirkan dalam hal
kepentingan masyarakat secara keseluruhan, karena moralitas adalah agen
kebahagiaan universal. (Souryal, 2011). Penulis menyimpulkan bahwa teori
telologika lebih menekankan pada tujuan dan akhir dari suatu tindakan.
Apapun jenis tindakan yang dilakukan, tidak diperhatikan ataupun dinilai.
Tetapi tujuan maupun hasil dari tindakan itulah yang akan diniliai. Suatu
tindakan yang dianggap mempunyai sebuah tujuan/maksud yang baik,
walaupun tindakan itu berupa suatu tindakan kekerasan dan tidak bermoral,
akan tetap dianggap baik apabila tujuan dari tindakan itu adalah untuk
kebaikan. Teori ini juga menekankan pada hasil dari tindakan yang baik adalah
untuk kepentingan dan kebaikan secara universal atau untuk kepentingan
masyarakat luas.
Etika dapat terbagi menjadi dua kategoti, yaitu :
1. Etika deskriptif
Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu
tertentu, dalam kebudayaan atau subkultural tertentu, dalam suatu periode sejarah
karena etika deskriptif hanya melukiskan, ia tidak memberikan penilaian.
2. Etika normative
Etika normatif meninggalkan sikap netral dengan mendasarkan pendiriannya
terhadap norma etika. Etika normatif dibagi menjadi:
a. Etika umum: memandang tema-tema umum
b. Etika khusus: berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas
wilayah perilaku manusia yang khusus.
3. Meta etika
Mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis.
Setelah mempelajari tiga cara untuk mempraktekkan etika ini, bisa kita
simpulkan bahwa dalam studi tentang moralitas dapat dibedakan pedekatan non
filosofis dan pendekatan filosofis. Pendekatan non filosofis adalah etika deskriptif,
sedangkan pendekatan filosofis bisa sebagai etika formatif dan sebagai metaetika atau
etika analitis. Dari sudut pandang lain etika dapat dibagikan juga ke dalam
pendekatan normatif dan pendekatan non normatif. Dalam pendekatan normatif si
peneliti mengambil mengambil suatu posisi atau standpoint moral: hal itu terjadi
dalam etika normatif (bisa etika umum dan bisa juga etika khusus).
4.2 Konsep Moral
Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak : mores) yang berarti juga
kebiasaan, adat. Menurut Bertens (2002), moralitas adalah ciri khas manusia yang
tidak dapat ditemukan pada makhluk di bawah tingkat manusiawi. Pada tahap
binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, tentang yang boleh dilakukan
dan tidak pantas dilakukan.
Etik dan moral tampil dalam tindakan manusia. Manusia itu dinilai oleh
manusia lainnya dalam tindakannya. Tindakan manusia dapat dinilai dari berbagai
aspek, misalnya penilaian sehat atau sakit, penilaian indah atau tidak indah, penilaian
baik atau buruk. Tindakan manusia dilakukan secara sengaja dimana adanya pilihan
dan tidak sengaja dimana situasinya tidak memungkinkan untuk memilih, misalnya
seseorang yang tidur mendengkur merupakan tindakan yang tidak sengaja. Sasaran
pandangan etik khusus pada tindakan-tindakan manusia yang dilakukan dengan
sengaja (Poedjawiyatna, 2003).
Yang Mempengaruhi nilai moral
1. Nilai moral dengan agama
Setiap agama mengandung ajaran moral yang menjadi pegangan bagi para
pengikutnya.. Bila agama berbicara tentang topik-topik etis, pada umumnya ia
berkhotbah, artinya, ia berusaha memberi motivasi serta inspirasi, supaya
umatnya mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang sudah diterimanya
berdasarkan iman. Bila filsafat berbicara tentang topik-topik etis, ia
beragumentasi, artinya ia berusaha memperlihatkan bahwa suatu perbuatan
tertentu harus dianggap baik atau buruk, hanya dengan menunjukkan alasan-
alasan rasional. Demikian juga ada perbedaan tentang kesalahan moral. Dalam
konteks agama, kesalahan moral adalah dosa, artinya orang beragama merasa
bersalah di hadapan Tuhan, karena melanggar perintahNya. Dari sudut filsafat
moral, kesalahan moral adalah, pelanggaran prinsip etis yang seharusnya
dipatuhi. Karena itu di sini kesalahan moral pada dasarnya adalah sebuah
inkonsekuensi rasional.
2. Nilai moral dengan hukum:
Moral akan mengawang-mengawang saja, kalau tidak diungkapkan dan
dilembagakan dalam masyarakat seperti terjadi hukum, khususnya hukum pidana.
Contoh: jangan mencuri, jangan membunuh, tidak saja merupakan larangan moral
tapi perbuatan-perbuatan itu dilarang menurut hukum. Baik hukum maupun moral
mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku
lahiriah saja, sedangkan moral juga menyangkut juga sikap batin seseorang.
Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara.
Juga kalau hukum tidak secara langsung berasal dari negara, seperti halnya
dengan hukum adat, maka hukum itu harus diakui oleh negara supaya berlaku
sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi
para individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis ataupun dengan cara lain
masyarakat dapat mengubah hukukm, tidak pernah masyarakat dapat mengubah
atau membatalkan suatu norma moral. Masalah etika tidak bisa diputuskan
dengan suara terbanyak. Moral menilai hukum dan tidak sebaliknya.
4.3 Sejarah Pembentukan Moral dan Etika
Terbentuknya etika dan moral di masyarakat, tidak terlepas dari perjalanan sejarah
dari tokoh-tokoh filsafat mulai dari abad Yunani purba sampai pada abad modern.
Oleh karena itu, untuk mengetahui dasar pembentukannya, perlu diikuti riwayat dan
perjalanan dari tokoh-tokoh filsafat tersebut.
1. Abad yunani
Secara historis etika sebagai usaha filsafat lahir dari keambrukan tatanan moral di
lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. Karena pandangan-pandangan
lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercaya, para filosof mempertanyakan
kembali norma-norma dasar bagi kelakuan manusia (Franz Magnis Suseno (1987:
14).
Pergaulan yang sering dilakukan di luar yunani dengan para pedagang dan para
koloni membuat mereka mengenal banyak budaya di luar yunani seperti, tentang
hukum, tata kehidupan dan lain-lain. Bangsa Yunani mulai bertanya: Apakah
miliknya, hasil pembudayaan Negara tersebut benar- benar lebih tinggi? Karena
tiada seorang pun dari Yunani yang akan mengatakan sebaliknya, maka kemudian
diajukanlah pertanyaan, Mengapa begitu? kemudian diselidikinya semua
perbuatan manusiawi, dan lahirlah cabang baru dari filsafat, yakni filsafat moral
(filsafat kesusilaan) atau etika (W. Poespoproddjo,1999: 18).
2. Socrates
Socrates adalah ahli pikir pertama pada zaman keemasan dunia filsafat (470-399
SM). Socrates tidak meninggalkan ajaran tertulis, sedang alam pikirannya
terutama diketahui melalui karya muridnya Plato. Socrates tidak menjelaskan
secara langsung tentang etika. Tetapi ajarannya menjadi tonggak utama bagi ahli
filsafat berikutnya untuk menengembangkan ajaran filsafat terutama etika dan
moral. Socrates hidup pada masa dimana sedang berkembangnya paham sofisme,
yaitu paham yang merelatifkan segala sesuatu. Mereka berpendapat bahwa
hukum alam adalah hukum yang kuat. Mereka juga tidak mengakui adanya
pengetahuan. Bagi kaum saofis, manusia menjadi ukuran segalanya, kebenaran
mutlak tidak ada, kebenaran hanya berlaku sementara. Hal ini bertentangan
dengan pemikiran socrates. socrates melihat bahwa kebenaran itu bersifat objektf
dan bisa bersifat mutlak serta bersumber pada manusia itu sendiri (Kurtines W.M
dan Gerwitz.J.L., 1992). Dari situlah, Socrates mulai menerapkan metoda
dialectik-kritis yaitu dialog antar dua pandangan yang saling bertentangan dan
tidak mau menerima suatu pengertian begitu saja tanpa mengujinya terlebih
dahulu. Bagi Socrates sebuah hidup yang tanpa diuji/dicari tahu adalah hidup
yang tidak bernilai. Dalam ajaran filsafatnya Socrates mendiskusikan pertanyaan
secara umum tentang pengetahuan, karakter, dan diskusi khusus tentang sifat
alami seperti kebaikan, keberanian dan kesederhanaan. Tujuan dari Socrates
adalah supaya masyarakat bisa hidup kembali pada sifat alami atau kebajikan
(Souryal, 2011).
3. Plato
Plato adalah tokoh filsuf besar kedua di zaman filsafat yunani. Plato tidak secara
gamblang menulis etika. Plato menciptakan istilah ide. tetapi di dalam ajaranya,
tersirat uraian-uraian tentang etika. Salah satu pernyataan Plato yang paling jelas
berkaitan dengan etika dan moral adalah seorang individu akan melaksanakan
hidup yang baik manakala unsur kejiwaan (nafsu, semangat dan akal budi)
terorganisasi secara terpadu dan laras. Menurut Plato hidup yang baik itu
memperlihatkan kepedulian terhadap seperangkat kebijakan, termasuk di
dalamnya kebijakan perangai, keberanian dan lebih-lebih lagi adalah kearifan.
4. Aristoteles
Aristoteles adalah tokoh ketiga dari deretan filsuf - filsuf besar dari zaman
keemasan filsafat yunani. Karya aristoteles mulai terkenal pada abad XII dan
XIII. Aristoteles dikenal sebagai salah seorang ahli pikir yang terkenal pada masa
itu dan yang menyebutkan istilah etika yang tertuang di dalam bukunya, yaitu
The Nochomachean ethic. Dalam buku itu Aristoteles menyebutkan bahwa
kebenaran merupakan tujuan yang hendak kita raih melalui berbagai kegiatan kita
dan ada banyak jenis kebenaran yang kepentingannya bertahap- tahap (Kurtines
W.M dan Gerwitz.J.L., 1992). Pada zaman ini, konsep etika dan moral didasarkan
pada sifat naturalistik dan rasional sepanjang abad. Bagi alam pikiran klasik
standar moral dan etika itu bersifat objektif, akan tetapi keberadaanya merupakan
pula bagian dari dunia alami yang dapat diketahui melalui proses penalaran akal
budi.
5. Abad pertengahan
Pada abad pertengahan ini disebut sebagai abad kepercayaan atau abad
keselarasan rohaniah. Pada abad ini etika dipadukan oleh suatu kepercayaan yang
kokoh, suatu penerimaan akan kebenaran yang hampir universal dari wahyu
kristiani. Dua filsuf pada zaman ini yaitu Agustinus dan Aquinas menandai alam
pikiran tentang moral dan etika abad pertengahan yang berorientasi rohaniah dan
objektifistik. Menurut Agustinus pengetahuan tentang kebenaran yang mutlak dan
objektif dapat dicapai melalui pengalaman mistik tentang kebenaran ilahi yang
diterima secara langsung. Menurut Tomas, tiada suatu hal atau peristiwa manapun
dari yang paling kerdil hingga paling besar dan dahsyat, yang bertiada makna
atau tujuan, sebab setiap hal dan peristiwa itu merupakan bagian dari rencana
agung Tuhan dalam menciptakan segalanya. Manusia dan alam, moralitas dan
keselamatan, iman dan penalaran itu semua berada dalam kesatuan ilahi. Pada
masa ini, konsep etika dan moral dibentuk berdasarkan pandangan yang bersifat
spiritual dan terpusat pada dunia kelak (Kurtines W.M dan Gerwitz.J.L., 1992)
6. Abad modern
Pada abad modern, merupakan awal jatuhnya abad pertengahan. Pada abad ini
menegaskan bahwa akal budi mengungguli iman. Pada masa ini lahirlah ilmu
pengetahuan modern dan sains modern yang memantapakn dirinya sebagai
pemeran utama dalam alur pemikiran barat. Pada masa ini, segala sesuatu
dikecam dan diselidiki, sehingga tegaklah kemerdekaan berfikir. Dan mulai
melihat segala sesuatu dengan pandangan baru, dan mempertimbangkannya
dengan ukuran yang baru. Jadi sains modern memberikan kepada akal budi suatu
peranan yang terbatas dalam rangka pengetahuan tentang dunia yang natural.
Segala sesuatu di dunia selalu dilakukan penalaran dan uji secara empiris. Pada
masa ini, mereka menempatkan kebenaran rasional di bawah kebenaran empiris.
Status kebenaran yang relatif dari setiap hipotesa saintifik selalu tergantung pada
data empiris yang ditemukan. Dalam kasus sains psikologi modern, bagi seorang
sains mungkin saja untuk mengkaji setiap variabel hasil yang dependen (seperti
moral, etika) dengan berpegang pada penalaran dan asumsinya sendiri tanpa
menggunakan asumsi yang menyangkut eksistensi standar moral yang obyektif.
Jadi disimpulkan bahwa, etika dan moral pada masa ini didasari pada suatu
pembuktian yang bersifat empiris dan kebenarannya bisa bersifat relatif, sehingga
bisa dikatakan bahwa pada masa ini menjadi masa yang sangat sulit bagi
keberadaan etika dan moral (Kurtines W.M dan Gerwitz.J.L., 1992).
Berdasarkan sejarah, perkembangan etik dan moral mulai dari Yunani purba.
Kurtines dan Gerwitz (1992) menyatakan bahwa sejarah ide dunia barat dimulai sejak
zaman Yunani purba, sekitar abad kelima dan keempat SM, yang terlukis pada ide-ide
ahli pikir terbesar di masa itu, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Socrates (470?-
399 SM) adalah ahli pikir pertama menyakini bahwa memungkinkan untuk memiliki
suatu pengetahuan yang obyektif tentang kebenaran. Socrates menyakini bahwa
mungkin dicapai suatu standar yang dapat dijadikan tolak ukur dalam menilai
pemikiran dan perilaku (serta pikiran manusia dapat mengetahuinya).
Kurtines dan Gerwitz (1992) menyatakan bahwa Plato (427?-347 SM) sebagai
tokoh filsuf besar yang kedua di zaman filsafat Yunani, menciptakan istilah ide (idea)
yang berarti menciptakan cara berpikir dalam bentuk konsep-konsep. Kurtines dan
Gerwitz (1992) juga menjelaskan pemikiran Plato yang menyatakan bahwa
pengetahuan tentang kebenaran yang obyektif hanya dapat dilakukan dengan
menggunakan penalaran. Salah satu pernyataan Plato yang paling jelas berkaitan
dengan masalah moralitas dalam karyanya yang berjudul Republic (kurang lebih 375
SM/1955). Kurtines dan Gerwitz (1992) menyatakan bahwa dalam Republic ada
istilah yang berarti jiwa manusia terdiri dari 3 bagian yaitu nafsu, semangat dan akal
budi, yang berimplikasi seorang individu akan melaksanakan hidup yang baik jika
unsur kejiwaan (nafsu, semangat, akal budi) terorganisasi secara terpadu dan selaras.
Kurtines dan Gerwitz (1992) menguraikan pandangan Plato yang menyatakan
bahwa hidup yang baik adalah hidup yang diatur atau dikelola oleh akal budi, yang
memperlihatkan kepedulian terhadap seperangkat kebijakan termasuk di dalamnya
kebijakan dalam perangai, keberanian dan kearifan. Oleh karena itu, akal budi atau
penalaran sebagai suatu daya kemampuan khas yang dimiliki rohani insanlah, yang
akan mampu memahami bentuk ide itu, akal budi merupakan karunia bagi manusia
yang memiliki kemampuan untuk meraih pengetahuan tentang moral yang obyektif
(Kurtines dan Gerwitz,1992).
Aristoeteles (384-322 SM) adalah tokoh ketiga dari deretan filsuf di zaman
Yunani , yang menghasilkan pelbagai bidang sains yang khusus, mencakup etika, ilmu
politik, fisika, biologi dan psikologi. Buku The Nicomachean Ethics (kurang lebih 325
SM/1953) merupakan karya Aristoteles dalam bidang ilmu etika. Kurtines dan
Gerwitz (1992) menjelaskan buku tersebut dimana Aristoteles mengemukakan bahwa
kebenaran merupakan tujuan yang hendak kita raih melalui berbagai kegiatan, dan
banyak jenis kebenaran yang kadar kepentingannya bertahap-tahap. Aristoteles
pertama-tama memperhatikan dulu apa yang dirasakan orang lain sebagai kebenaran.
Ia selanjutnya menunjukkan bahwa pada umumnya orang beranggapan kebahagiaan
yang berupa hidup yang baik dan berperilaku baik sebagai kebenaran yang mutlak
(Kurtines dan Gerwitz,1992).
Menurut Kurtines dan Gerwitz (1992), konsepsi moralitas menurut Socrates,
Plato dan Aristoteles bersifat naturalistik dalam arti bahwa etika dan moralitas
dipandang sebagai bagian dari dunia alami dan umat manusia dipandang sebagai bagian
yang akan mencapai hidup yng baik di dunia kini maupun dunia kelak. Konsepsi
moralitas juga bersifat rasionalistik dan obyektivistik dari kebenaran, dan akal budi
merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dari kebenaran itu.
4.4 Tahap Perkembangan Etik dan Moral menurut Kohlberg (1995)
Tahap-tahap perkembangan penalaran moral dibagi menjadi 3 tingkat, yang terdiri
dari prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Tiga tingkat tersebut kemudian
dibagi atas enam tahap (Kohlberg, 1995).
1. Tingkat Prakonvensional
Pada tahap ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan
budaya mengenai baik dan buruk, atau benar dan salah. Akan tetapi hal ini ditafsirkan
dari segi menghindari hukuman atau untuk mendapatkan hadiah. Tingkat ini biasanya
terdapat pada usia 4 sampai 10 tahun. Terdapat dua tahap pada tingkat ini.
Tahap 1) : Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti
dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan
hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Dinilai sebagai hal yang
bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang
melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas.
Tahap 2) : Orientasi relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan
kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar
manusia dipandang seperti hubungan di pasar. Terdapat elemen kewajaran tindakan yang
bersifat resiprositas dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan
pragmatis. Resiprositas ini merupakan hal Jika engkau menggaruk punggungku, nanti
aku juga akan menggaruk punggungmu, dan bukan karena loyalitas, rasa terima kasih
atau keadilan.
2. Tingkat Konvensional
Individu pada tingkat konvensional menemukan pemikiran-pemikiran moral pada
masyarakat. Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seorang individu
ditengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Keluarga, masyarakat, bangsa
dinilai memiliki kebenarannya sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok ini akan
terisolasi. Oleh karena itu, kecenderungan individu pada tahap ini adalah menyesuaikan
diri dengan aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasikan dirinya terhadap
kelompok sosialnya. Kalau pada tingkat prakonvensional perasaan dominan adalah takut,
pada tingkat ini perasaan dominan adalah malu. Tingkat ini berkisar usia 10 sampai 13
tahun. Tingkat ini mempunyai dua tahap.
Tahap 3) : Orientasi kesepakatan antara pribadi / orientasi Anak Manis
Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang
disetujui oleh anak. Terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai
apa itu perilaku mayoritas atau alamiah. Perilaku sering dinilai menurut niatnya,
ungkapan dia bermaksud baik untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang
mendapatkan persetujuan dengan menjadi baik. Konsep seperti kesetiaan, kepercayaan
dan rasa terima kasih mulai dikenal. Individu mulai mengisi peran sosial yang
diharapkan masyarakatnya. Sesuatu dikatakan benar jika memenuhi harapan masyarakat
dan dikatakan buruk jika melanggar aturan sosial.
Tahap 4) : Orientasi hukum dan ketertiban
Pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara keseluruhan. Aturan dalam
masyarakat merupakan dasar baik atau buruk, melaksanakan kewajiban dan
memperlihatkan penghargaan terhadap otoritas adalah hal yang penting. Alasan
mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman atau kebutuhan
individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum dan aturan harus dipatuhi untuk
mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata
melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang
ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.
3. Tingkat Pasca-konvensional
Tingkat ini disebut juga moralitas yang berprinsip (principled morality). Pada tingkat ini
terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki
keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang
berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri
dengan kelompok tersebut. Baik atau buruk didefinisikan pada keadilan yang lebih besar,
bukan pada aturan masyarakat yang tertulis atau kewenangan tokoh otoritas. Tahap ini
sudah dimulai dari remaja awal sampai seterusnya. Ada dua tahap pada tingkat ini.
Tahap 5) : Orientasi kontrak sosial legalistis
Pada umumnya tahap ini amat bermakna semangat utilitarian. Perbuatan yang baik
cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji
secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas
mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi bersesuaian dengannya, terdapat suatu
penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa yang
telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal nilai dan pendapat
pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan
penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan
rasional mengenai manfaat sosial (dan bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata
tertib gaya tahap 4).
Tahap 6) : Orientasi prinsip etika universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang
dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi
logis. (Kohlberg, 1995).

5 Caring Ethics/Etika Kepedulian


Menurut John Tronto (1993) dalam Skerowin (2017) caring ethics merupakan
tanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan manusia dengan pertimbangan moral. Etika
kepedulian didefinisikan sebagai komitmen moral untuk merawat, melindungi,
menyembuhkan, memberi dukungan, tetapi sekaligus juga memperjuangkan tata sosial yang
adil (Held 2007 dalam Jena 2014). Jadi dapat disimpulkan etika kepedulian adalah komitmen
moral untuk memperhatikan kebutuhan manusia dengan cara merawat, melindungi,
menyembuhkan, memberi dukungan secara adil pada setiap manusia.
5.1 Perspektif caring ethics
1. Carol Gilligan (1982) dan Watson
Carol Gilligan mengemukakan caring ethics sebagai aspek relasi yang erat kaitannya
dengan sisi feminis. Penalaran moral dibatasi dengan dua perspektif yang
mengoordinasikan pikiran dengan cara yang berbeda. Pada laki-laki definisi moral
terkait dengan istilah keadilan. Sedangkan perempuan, moral didefinisikan bukan dalam
istilah hak namun lebih kepada tanggung jawab dan kepedulian. Hal ini kemudian
memunculkan pertanyaan dari filsuf lain terkait dengan perawat. Perawat yang secara
gender memang didominasi oleh wanita, namun bagaimana etika kepedulian perawat
laki-laki. Apakah perawat laki-laki memiliki caring ethics yang lebih baik daripada laki-
laki yang bukan perawat?
2. John Tronto
Kepedulian dipandang sebagai aktivitas yang dilakukan untuk mempertahankan,
melanjutkan dan memperbaiki dunia sehingga kita dapat hidup di dalamnya sebaik
mungkin. Dunia yang dimaksud mencakup tubuh kita, diri kita sendiri, lingkungan yang
terjalin dalam sebuah jaringan yang kompleks untuk mendukung kehidupan. Tronto
mengungkapkan Trontos Dimensions or Phases of Care dalam tabel di bawah ini (Scott,
A.P. 2017) :

Dimensi/tahap kepedulian Sikap etis


Caring about : hal ini mencakup Ketertarikan : memperhatikan kebutuhan
kekhawatiran terhadap seseorang/sesuatu peduli
Taking care of : mengambil tanggung jawab Tanggung jawab : memperbaiki situasi
untuk merawat seseorang seseorang
Care giving : memberikan perawatan Kompetensi : memiliki pengetahuan,
langsung kepada seseorang ketrampilan dan nilai yang diperlukan untuk
tujuan perawatan
Cara receiving : tahap akhir ini berfokus pada Responsif : menanggapi secara positif
penerima perawatan perawatan/kepedulian yang telah diberikan

3. Chris Gastmans
Keperawatan dianggap sebagai praktik moral dengan 3 komponen utama yaitu :
hubungan kepedulian (kondisi praktik keperawatan), perilaku peduli (integrasi nilai
kebaikan dan aktivitas kepakaran) dan perawatan yang baik yang didefinisikan sebagai
tujuan akhir praktik keperawatan. Merawat dianggap sebagai cara spesifik untuk
menghubungkan diri dengan yang lain dalam konteks relasional antara pasien dan
perawat dalam memberikan perhatian (caring) selama aplikasi asuhan keperawatan.
Perilaku peduli melibatkan integrasi kebaikan (kebaikan altruistik terhadap perawatan
dengan fitur kognitif dan afektif-motivasi) dan aktivitas kepakaran. Gastmans
menjelaskan perawatan yang baik adalah tujuan dasar praktik keperawatan. Gastmans
mengadopsi perspektif filosofis Eropa tentang being human yang menguraikan enam
dimensi pasien yaitu : fisik, relasional, sosial, psikologis, moral dan spiritual. Secara
keseluruhan, keperawatan digambarkan sebagai hubungan kepedulian integrasi kebaikan
dan aktivitas ahli serta perawatan yang baik sebagai tujuan praktik keperawatan (Scott,
A.P. 2017).
4. Held (2007)
Etika kepedulian menawarkan pendekatan komitmen moral untuk merawat, melindungi,
menyembuhkan, memberi dukungan sekaligus menjadi tata sosial yang adil.
5. Watson (1999)
Watson menggambarkan hubungan caring transpersonal adalah hubungan manusia yang
bersifat bersatu dengan orang lain dengan menghargai seseorang itu sepenuhnya termasuk
dengan keberadaannya di dunia. Watson memberikan penekanan pada aspek kualitas
interpersonal dan transpersonal yang meliputi empati, keselarasan dan kehangatan.
Berdasarkan kelima perspektif dari para ahli, caring ethics merupakan komitmen
moral yang menekankan pada aspek interpersonal maupun transpersonal yang diwujudkan
dalam bentuk memperhatikan, merawat, melindungi, menyembuhkan, dan memberi
dukungan. Perbedaannya, pendekatan Carol Gilligan lebih menekankan aspek feminis dari
beberapa perspektif lainnya.
5.2 Sejarah Perkembangan dan Mengapa Caring Ethics Muncul
Konsep etika kepedulian pertama kali digagas oleh Carol Gilligan selama tahun 1960
an. Carol melihat etik dari sisi feminisme. Lalu sejak saat itu, etika kepedulian telah
digunakan dalam berbagai bidang profesional seperti keperawatan, kesehatan, pendidikan,
hubungan interpersonal, hukum dan politik (Held, 2005). Di awal karirnya, Carol Gilligan
bekerja dengan psikologLawrence Kohlberg saat Kohlberg meneliti tentang perkembangan
moral. Gilligan mulai meneliti teori tentang perkembangan moral perempuan sebagai respon
terhadap hasil penelitian Kohlberg yang berbasis laki-laki. Gilligan berpendapat bahwa teori
yang berkembang saat itu hanya menekankan pada pandangan keadilan saja dan ini
merupakan pandangan yang dimiliki oleh laki-laki. Sementara itu menurut Gilligan wanita
memiliki pandangan moral yang berbeda dimana menekankan pada solidaritas, komunitas,
dan kepedulian tentang orang lain atau adanya hubungan ketergantungan satu sama lainnya.
Pandangan wanita ini mengenai moral telah diabaikan atau diremehkan karena secara
tradisional wanita berada pada posisi terbatas akan kekuasaan dan pengaruh (Gilligan, 2003).
Pandangan moral keadilan/etik keadilan berfokus pada hal yang benar dan harus
dilakukan. Sedangkan pandangan moral kepedulian/etik kepedulian mengarah pada kita dapat
dan harus mengutamakan kepentingan orang yang dekat dengan kita dan harus
mengutamakan/menumbuhkan kemampuan alami kita untuk merawat orang lain dan diri kita
sendiri (Gilligan, 2003).
Teori etika kepedulian Gilligan berkisar pada pegangan bahwa manusia tidak patut
disakiti. Gilligan banyak menuju tentang perasaan, tanggung jawab dan hubungan manusia
terutama dari sudut pandang wanita. Teori ini menyatakan adanya tanggung jawab
membantu, tidak membebankan dan menyakiti orang lain (Mukhsin, 2007). Teori Gilligan
menyatakan tahap perkembangan moral sebagai berikut :
1. Pra konvensional : melihat kepentingan diri sendiri. Peralihan yang terjadi yaitu
kesadaran antara kepentingan diri dan tanggung jawab pada orang lain.
2. Konvensional : kepentingan orang lain. Peralihan yang terjadi menyelesaikan perselisihan
antara kepentingan orang lain dan diri sendiri.
3. Pasca konvensional : harus dengan prinsip jangan menyakiti
Dalam perkembangannya Carol Gilligan menghasilkan karya dalam sebuah buku
dengan judul in a different voice tahun 1982. Mengikuti karya Gilligan tersebut pada tahun
1984 Nel Nodding mengatakan kunci untuk memahami etika kepedulian adalah mematuhi
gagasan dan etik kepedulian secara khusus. Nodding mengatakan kepedulian berakar pada
penerimaan, ketergantungan satu sama lain dan responsif.
Menurut Bertens (2013) bertanggung jawab berarti dapat menjawab bila
dipertanyakan tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Tanggung jawab ada 2 jenis yaitu
retrospektif dan prospektif. Retrospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang telah
berlangsung dan segala konsekuensinya. Prospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan
yang akan datang. Kaitan caring ethics dengan tanggung jawab : kepedulian yang dilakukan
dan diberikan tempat sentral dalam praktik keperawatan dan bentuk setiap tindakan yang
dilakukan disertai dengan tanggung jawab.
Permasalahan yang mendasar pada profesi keperawatan Indonesia saat ini adalah
perawat masih belum melaksanakan peran Caring secara profesional dalam memberikan
asuhan keperawatan kepada klien (Nursalam, 2014). Berdasarkan kajian Nursalam (2005)
perawat Indonesia belum mampu berperan profesional karena 4 faktor yaitu :
1. Kualitas sumber daya Ners masih rendah
2. Batang tubuh ilmu pengetahuan dan kewenangan perawat yang belum jelas.
3. Model praktik keperawatan yang tidak tertata dengan baik dan belum adanya UU yang
mengatur praktik keperawatan.
4. Fokus pendidikan keperawatan hanya berorientasi menyediakan lulusan untuk bekerja
memberikan layanan, kurang menciptakan soft skill/membangun karakter yang
diperlukan stakeholder
Untuk point 2 dan 3 sudah ada perkembangan di tingkat peraturan dan undang-
undang. Saat ini telah ada pengkategorian kewenangan klinis perawat yaitu perawat klinik
(PK) tingkat 1 sampai PK 5. Sedangkan terkait UU, baru saja pemerintah mengesahkan UU
praktik keperawatan yang dapat dijadikan acuan bagi perawat dalam memberikan layanan
keperawatan.
PPNI sebagai organisasi profesi keperawatan di Indonesia sudah membuat Kode Etik
Keperawatan yang berisi standar kompetensi dan standar praktik keperawatan. Hal ini
sebagai bentuk perlindungan baik kepada perawat maupun masyarakat terhadap layanan
keperawatan yang bermutu. Darwis (2016) mengungkapkan bahwa kualitas perawat di
rumah sakit masih membutuhkan bimbingan pengawasan. Hal ini dapat dilihat dari banyak
komplain pasien terkait pelayanan keperawatan. Senada dengan hal tersebut, hasil penelitian
Purba, Suza, Erniyati (2015) merekomendasikan perlunya evaluasi terhadap penerapan caring
oleh perawat di rumah sakit serta memfasilitasi perawat dalam mengaplikasikan caring dalam
asuhan keperawatan. Namun Erienh, Setiawan, Wahyuni (2015) telah melalukan riset terkait
caring di ICU dan memperoleh hasil yang menjelaskan bahwa perawat menunjukkan
perilaku caring dan perawat menunjukkan rasa peduli yang tinggi terhadap pasien dan
keluarga pasien dalam perawatan kritis.
Untuk itu perlu dilakukan kajian berkala tentang perkembangan penerapan caring
ethics di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan oleh Dewi, Syam, dan Daulay (2015) bahwa
rumah sakit perlu mengoptimalkan kinerja perawat untuk menerapkan prinsip etik dengan
meningkatkan budaya perilaku caring, memperhatikan prinsip etik di rumah sakit dalam
pemberian asuhan keperawatan kepada klien, perlu dibuat aturan baku pelaksanaan perilaku
caring, prinsip etik bagi perawat, pelaksanaan supervisi berkala, dan pelatihan caring.

6 Keperawatan Sebagai Profesi (Kontrol Sosial, Dimensi, Ciri-Ciri)


Profesi adalah suatu pekerjaan yang ditujukan untuk kepetingan masyarakat dan
bukan untuk kepentingan golongan atau orang tertentu (Kusnanto, 2003). Sedangkan menurut
Wilensky (1964), profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan dukungan body of
knowledge sebagai dasar untuk pengembangan teori yang sistematis guna menghadapi
banyak tantangan baru, memerlukan pendidikan pelatihan yang lama serta memiliki kode etik
dengan fokus utama pada pelayanan (altruism). Sehingga dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa profesi merupakan suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan dan
pelatihan yang terus menerus berdasarkan body of knowledge yg spesifik, memiliki kode etik
dan standar praktek dan berfokus pada pelayanan untuk masyarakat.
Keperawatan adalah suatu kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga,
kelompok atau masyarakat baik dalam keadaan sakit maupun sehat (Undang-undang
Keperawatan no 38 tahun 2014). Berdasarkan Lokakarya Nasional (1983), keperawatan
adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan kegiatan integral dari pelayanan
kesehatan yang didarkan pada ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan bio-psioko-
sosio-spiritual yang komprehensif serta ditujukan pada individu, keluarga dan masyarakat
baik yang sehat maupun sakit yang mencakup seluruh siklus hidup manusia.
Praktek keperawatan adalah tindakan keperawatan profesional untuk masyarakat
menggunakan pengetahuan teoritis yang mantap dan kukuh dari berbagai ilmu dasar dan ilmu
keperawatan sebagai dasar untuk melakukan pengkajian, menegakkan diagnosa, menyusun
perencanaan, melaksanakan asuhan keperawatan dan mengevaluasi hasil tindakan
keperawatan, serta mengadakan penyesuaian rencana keperawatan untuk menentukan
tindakan selanjutnya. Selain memiliki kemampuan intelektual, interpersonal, dan teknikal,
perawat juga harus mempunyai otonomi yang berarti mandiri dan bersedia menanggung
resiko, bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukannya,
termasuk dalam melakukan dan mengatur dirinya sendiri (Nursalam, 2014).
1. Kontrol sosial
Bagaimana cara profesi (keperawatan) mempertahankan eksistensinya sebagai tenaga
profesional dalam memberikan pelayanan yang berkualitas pada individu, keluarga,
kelompok, dan masyarakat baik yang sehat maupun yang sakit, sehingga pada akhirnya
diakui oleh masyarakat (penerima layanan)? Merupakan satu tugas berat bagi profesi
perawat, dimana keperawatan dituntut untuk terus mengembangkan riset-risetnya,
meningkatkan jenjang pendidikannya, dan menerapkan hasil risetnya dalam praktek
keperawatan sehingga memberikan pelayanan yang berkualitas karena berbasis bukti.
Ketika tuntutan masyarakat terhadap suatu profesi semakin tinggi maka itu akan memberi
peluang kepada profesi tersebut untuk mengembangkan pengetahuan dan
keterampilannya. Ketika profesi tersebut mampu memenuhi tuntutan masyarakat maka
dengan sendirinya profesi itu akan semakin diakui. Menurut Michael Eraut (2002) dalam
bukunya Developing Professional Knowledge and Competence mengatakan bahwa
konsep profesi ditemukan karena adanya kontrol sosial. Keperawatan sebagai profesi
berkomitmen pada kemampuan, integritas, moral, kepentingan orang lain dan
mengembangkan kebaikan publik dalam keberadaannya. Komitmen ini membentuk dasar
kontrol sosial antara profesi dan masyarakat. Sebaliknya, masyarakat memberikan pada
profesi otonomi dalam praktek dan hak dalam pengaturan diri. Dengan demikian, suatu
profesi memerlukan kontrol sosial untuk mengawasi dan mengontrol perilaku anggota
profesi dan memberikan pengakuan terhadap eksistensi suatu profesi. Status profesional
tidak merupakan hak yang melekat hanya dengan kualifikasi, tapi juga diberikan
kepercayaan oleh masyarakat. Publik melihat bagaimana suatu profesi bekerja. Untuk
dapat dipercaya, para profesional harus memenuhi kewajibanyang diharapkan oleh
masyarakat. Kegagalan untuk memenuhi kepercayaan, tingkah laku dan standar
profesional akan mengakibatkan kehilangan status profesi tersebut.
Untuk mengontrol perilaku anggota profesinya, keperawatan mempunyai organisasi
profesi yang berfungsi menyusun kode etik dan standar praktek bagi anggotanya. Kode
etik berisi aturan-aturan untuk menjaga sikap dan perilaku para perawat. Sedangkan
standar praktek untuk memberi arah dan acuan bagi para perawat dalam melakukan
prakteknya. Para perawat diharapkan patuh dan tunduk pada kode etik profesi dan standar
praktek yang ada demi mempertahankan kepercayaan dan pengakuan masyarakat
terhadap profesionalisme perawat.
2. Dimensi profesi
a. Dimensi disiplin ilmu, penerapannya :
1) Digunakan sebagai dasar dalam membuat keputusan dan melakukan tindakan
keperawatan
2) Menetapkan standar dan SPO untuk semaua tindakan keperawatan
3) Dilakukan dengan pengujian dan validasi serta pengembangan melalui
penelitian
4) Melaksanakan evidence based practised
b. Dimensi etik, penerapannya :
1) Menetapkan prinsip etik dalam berinteraksi dan memberikan asuhan
keperawatan
2) Ditetapkan kode etik profesi
3) Melaksanakan kode etik profesi
c. Dimensi hukum, penerapannya :
1) Peraturan perundang-undangan dijadikan dasar dalam melaksanakan
pelayanan dan asuhan keperawatan
2) Peraturan perundang-undangan dijadikan landasan pelaksanaan berbagai
kewajiban dan hak perawat
d. Sedangkan dimensi kualitas pelayanan profesi keperawatan sebagai berikut :
1) Responsibility atau tanggung jawab, mencakup ketepatan dan kecepatan
pelayanan serta keakuratan dalam memberikan informasi
2) Responsiveness atau kepekaan ; peka terhadap kebutuhan pasien didiringi
tindakan yang tepat sesuai kebutuhan tersebut
3) Assurance atau kepastian pelayanan
4) Empati ; kemampuan memahami dan memperhatikan kondisi psikologis
pasien
3. Ciri-ciri profesi keperawatan (Nursalam, 2014)
a. Mempunyai body of knowledge
b. Pendidikan berbasis keahlian pada jenjang pendidikan tinggi
c. Memberi pelayanan kepada masyarakat melalui praktek dalam bidang profesi
melalui praktek profesional yang spesifik
d. Memiliki perhimpunan organisasi profesi
e. Pemberlakuan kode etik keperawatan
f. Otonomi
g. Bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukan
h. Merupakan karier seumur hidup
i. Mempunyai fungsi mandiri dan kolaborasi

Profesi keperawatan berbeda dari profesi yang lain, sehingga memiliki ciri-ciri profesi
yang spesifik untuk membedakan dari profesi yang lain dalam hal pelayanan, prosedur, fokus
penerima pelayanan, dan kode etik. Berdasarkan ciri-ciri di atas, masih terdapat beberapa
kesenjangan yang terjadi dalam profesi keperawatan di Indonesia, antara lain :
1. Mempunyai body of knowledge ;
Profesi keperawatan di Indonesia memegang Body of knowledege, akan tetapi tidak
semua perawat di Indonesia menguasai ilmu pengetahuan keperawatan yang setara.
2. Pendidikan berbasis keahlian pada jenjang pendidikan tinggi ;
Perawat Indonesia belum semua mengenyam pendidikan profesional yang sama. Masih
banyak ditemukan perawat yang latar belakang pendidikan diploma (vokasional)
3. Memberi pelayanan kepada masyarakat melalui praktek dalam bidang profesi melalui
praktek profesional yang spesifik
Masih banyak perawat terutama didaerah yang melaksanakan praktek medis, contohnya
melakukan tindakan khitanan, pemberian obat-obatan dll
4. Memiliki perhimpunan organisasi profesi
Di Indonesia sudah memiliki organisasi profesi yaitu PPNI, namun belum semua perawat
terdaftar menjadi anggota PPNI.
5. Pemberlakuan kode etik keperawatan
Perawat Indonesia memiliki kode etik keperawatan, namun dalam pelaksanaannya masih
banyak ditemukan pelanggaran, contohnya menjaga kerahasiaan pasien seperti kondisi
pasien (upload luka pasien). Dalam menghadapi pelanggaran etik tersebut, belum ada
tindakan tegas dari organisasi profesi.
6. Otonomi
Perawat di RS kebanyakan tidak sempat melakukan tindakan-tindakan keperawatan
mandiri, lebih banyak melaksanakan tindakan kolaboratif (delegasi dokter).
7. Bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukan
Perawat di Indonesia memiliki tanggung jawab dan tanggung gugat terhadap tindakan
yang dilakukan
8. Merupakan karier seumur hidup
9. Mempunyai fungsi mandiri dan kolaborasi

7 Etika dalam Keperawatan


7.1 Perangkat Etik
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2013
bahwa untuk meningkatkan profesionalisme, pembinaan etik dan disiplin tenaga
keperawatan, serta menjamin mutu pelayanan kesehatan dan melindungi keselamatan pasien
perlu dibentuk komite keperawatan di rumah sakit. Komite keperawatan adalah wadah non
struktural rumah sakit yang mempunyai fungsi utama mempertahankan dan meningkatkan
profesionalisme tenaga keperawatan melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi,
dan pemeliharaan etika dan disiplin profesi. komite dibentuk oleh kepala/ direktur rumah
sakit. Susunan organisasi komite keperawatan sekurang kurangnya terdiri dari ketua
komite, sekretaris komite dan subkomite. Sub komite terdiri dari subkomite kredensial,
subkomite mutu profesi dan subkomite etik dan disiplin profesi. dalam melaksanakan fungsi
menjaga disiplin dan etika profesi tenaga keperawatan, komite etik bertugas :
1. Melakukan sosialisasi kode etik profesi tenaga keperawatan
2. Melakukan pembinaan etik dan disiplin profesi tenaga keperawatan
3. Merekomendasikan penyelesaian masalah pelanggaran disiplin dan masalah etik dalam
kehidupan profesi dan pelayanan asuhan keperawatan dan kebidanan
4. Merekomendasikan pencabutan kewenangan klinis
5. Memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan etis dalam asuhan keperawatan
dan kebidanan
Menurut Permenkes RI Nomor 49 Tahun 2013 persyaratan yang harus dipenuhi oleh personel
komite keperawatan yaitu memiliki kompetensi yang tinggi sesuai jenis pelayanan atau area
praktik, mempunyai semangat profesionalisme serta reputasi baik.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Bart Cusveller (2012) menjelaskan bahwa seorang
komite etik keperawatan perlu memiliki :
1. pengetahuan dasar mengenai etik seperti konsep moral, model, isu dan hukum kesehatan.
2. kemampuan berkomunikasi dengan baik, mampu mendengarkan, berbciara dan menulis.
3. sikap sangat menghormati dan terbuka antar anggota komite dan situasi pasien
4. kemampuan mengenal isu yang sedang terjadi di lingkungan perawat maupun pasien
5. kemampuan mengedukasi tentang etik dan moral kepada anggotanya
7.2 Kode Etik
1. Menurut PPNI (2000)
a. Perawat dan Klien
1) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan
martabat manusia, keunikan klien, dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan
kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, dan agama
yang dianut serta kedudukan sosial.
2) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara
suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan
kelangsungan hidup beragama dari klien
3) Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan
keperawatan
4) Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan dengan
tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh berwenang
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
b. Perawat dan Praktik
1) Perawat memelihara dan meningkatkan kompetisi di bidang keperawatan melalui
belajar terus menerus
2) Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai
kejujuran professional yang menerapkan pengetahuan serta keterampilan
keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien.
3) Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yang akurat dan
mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi seseorang bila melakukan
konsultasi, menerima delegasi dan memberikan delegasi kepada orang lain
4) Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan
selalu menunjukkan perilaku professional
c. Perawat dan Masyarakat
Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai dan
mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan dan kesehatan masyarakat.
d. Perawat dan Teman Sejawat
1) Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama perawat maupun
dengan tenaga kesehatan lainnya, dan dalam memelihara keserasian suasana
lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara
menyeluruh
2) Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan illegal.
e. Perawat dan Profesi
1) Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar pendidikan dan
pelayanan keperawatan serta menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan
pendidikan keperawatan
2) Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi
keperawatan
3) Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan
memelihara kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya asuhan keperawatan
yang bermutu tinggi.
2. Kode etik menurut ICN (ICN, 2012)
International council of nursing memiliki empat prinsip kode etik keperawatan,
diantaranya :
a. Perawat dengan individu
Tanggung jawab seorang perawat adalah kepada individu yang menuntut pelayanan
keperawatan. dalam memberikan perawatan, perawat menyediakan lingkungan yang
menjaga hak asasi manusia, nilai, dan kepercayaan individu, keluarga dan komunitas
b. Perawat dan praktik keperawatan
Perawat mempunyai tanggung jawab dan akuntabilitas terhdap praktik keperawatan,
dan untuk menignkatkkan kompetensi dengan cara pembelajaran yang kkontinue
c. Perawat dan profesi
Perawat memikul peran utama dalam menentukan dan melaksanakan standar praktik
klinik keperawatan, manajemen, penelitian dan edukasi
d. Perawat dengan tenaga kesehatan lain
Perawat memungkinkan untuk kolaborasi dan menghargai hubungan dengan tenaga
perawat lain dan dengan bidang lainnya
3. Kode etik menurut ANA (Martha, D.M. Fowler, 2010)
a. Ketentuan 1 : Perawat dalam memberikan pelayanan penuh dengan rasa menghormati
martabat yang melekat pada setiap individu, harga diri dan keunikan setiap individu
b. Ketentuan 2 : Perawat bertanggung jawab kepada pasien baik individu, keluarga,
kelompok, komunitas maupun populasi
c. Ketentuan 3 : Perawat mempromosikan, menganjurkan, dan melindungi hak,
kesehatan, dan keamanan pasien
d. Ketentuan 4 : Perawat memiliki wewenang, akuntabilitas dan tanggung jawab dalam
tugasnya; membuat keputusan; dan mengambil tindakan yang konsisten dengan
kewajibannya untuk memberikan perawatan kepada pasien secara optimal
e. Ketentuan 5 : Perawat bertanggung jawab untuk mempromosikan kesehatan dan
keselamatan, tidak membeda bedakan individu, meningkatkan kompetensi personal
dan professional
f. Ketentuan 6 : Perawat baik secara individu maupun bersama - sama, menetapkan,
mempertahankan, dan memperbaiki lingkungan guna menciptakan kondisi kerja yang
kondusif untuk memberikan perawatan kesehatan yang aman dan berkualitas.
g. Ketentuan 7 : Perawat dalam tatanan apapu memajukan profesi keperawatan baik
melalui penelitian, mengumpulkan bukti ilmiah, pengembangan standar profesi baik
keperawatan maupun kesehatan
h. Ketentuan 8 : Perawat bekerja sama dengan profesional kesehatan lainnya dan
masyarakat umum untuk melindungi hak asasi manusia, mempromosikan kesehatan,
dan mengurangi perbedaan pelayanan kesehatan
i. Ketentuan 9 : Profesi keperawatan baik secara kolektif melalui organisasi profesi
harus mengartikulasikan nilai keperawatan, menjaga integritas profesi, dan
mengintegrasikan prinsip keadilan sosial ke dalam keperawatan dan kebijakan
kesehatan
7.3 Prinsip etik
Menurut Sue C DeLaune dan Patricia K Ledner (2011) menerangkan Prinsip etik
adalah ajaran secara langsung untuk menentukan suatu tindakan. Dalam menentukan
keputusan etik, perlu melihat prinsip bahwa apa yang diputuskan merupakan pilihan terbaik
untuk pasien dan lingkungan. Prinsip etik dapat digunakan sebagai petunjuk dalam
menganalisa dilemma etik. Prinsip etik juga dapat sebagai rasionalisasi untuk mengatasi
masalah etik. Perlu diingat bahwa prinsip etik tidak absolute atau mutlak, prinsip etik dapat
dikecualikan sesuai dengan situasi. Terdapat delapan prinsip etik :
1. Autonomi
Prinsip autonomi ini merujuk pada hak individu untuk memilih dan menentukan
kemampuan tindakan yang mereka pilih. Perawat harus menghormati keputusan yang
dibuat oleh pasien dan melindungi pasien yang tidak dapat membuat keputusan sendiri.
Prinsip autonomi dalam etik ini merujuk pada kepercayaan setiap indvidu yang memiliki
kemampuan mempunyai hak untuk menentukan tindakan yang akan dilakukannya. Pada
pelaksanaan prinsip ini dibutuhkan inform consent sebagai bukti bahwa klien berhak
untuk mengambil keputusan.
2. Nonmalficience
Non malficience adalah kewajiban untuk tidak atau menyebabkan sesuatu yang
merugikan atau membahayakan untuk individu lain. Bahaya yang dimaksud adalah baik
sesuatu yang membahayakan atau merugikan secara fisik, psikologi, sosial dan spiritual.
Prinsip ini digunakan sebagai pedoman dalam membuat keputusan suatu tindakan.
Apakah tindakan yang akan dilakukan dapat merugikan atau mebahayakan pasien atau
tidak. Prinsip non malficience mengharuskan perawat melakukan tindakan dengan penuh
pertimbangkan dan hati hati. Perawat perlu menimbang potensial resiko dan manfaat
dari tindakan yang dilakukan.
3. Beneficence
Prinsip etik ini menerangkan bahwa perawat wajib untuk malakukan sesuatu yang baik
dan mencegah kerugian.
4. Justice
Prinsip etik ini berdasarkan konsep kejujuran dan keadilan. Konsep ini menyediakan
kesamaan, berdasarkan kebutuhan, kebutuhan, usaha dan kontribusi untuk sosial.
Berdasarkan ANA (2008) terdapat tiga tipe tindakan yang dapat merujuk kepada
ketidakadilan yaitu deskriminasi atau semena mena, mengeksploitasi (memanfaatkan)
dan secara tidak wajar menghina seseorang.
5. Veracity
Veracity adalah keadaan yang sebenarnya. Prinsip veracity memang sulit untuk diterima,
namun mengatakan yang sebanarnya jauh lebih mudah tetapi tidak selalu mudah untuk
membuat keputusan dalam menyampaikan sesuatu yang benar
6. Fidelity
Fidelity adalah kesetiaan dan menjaga privasi klien. Konsep fidelity merupakan pondasi
etik dalam hubungan perawat dengan klien

8 Keputusan Etik Dan Standar Keperawatan


8.1 Masalah dan Dilema Etik
Etika profesi digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan praktek keperawatan,
yaitu bagaimana meletakkan dasar dalam membuat keputusan dan mengambil tindakan dalam
setiap kesempatan maupun permasalahan etik yang dihadapi (James H & Husted, 2008).
Perkembangan tekhnologi dan ilmu pengetahuan telah memberikan dampak yang luas
terhadap pola fikir dan perilaku dalam masyarakat yang terkadang menjadi dilema dalam
pengambilan sebuah keputusan terhadap pemberian asuhan keperawatan. Dilema diartikan
sebagai sebuah persoalan yang menghadapkan seseorang kepada pilihan yang tidak
menyenangkan dalam hal ini dapat terjadi konfrontasi antara dokter, orang tua dan keluarga
pasien, bagaimanapun hal ini harus menjadi perhatian para perawat (para spesialis) karena
keluarga seringkali meminta bantuan dan rasa nyaman kepada perawat(Lachman, 2006).
Menurut Efendi,2009 perawat berada dalam berbagai situasi yang
mengharuskanuntuk membuat keputusan. Pada penyelesaian dilemma etik kita kenal prinsip
DECIDE, yaitu:
D = Define the Problems
E = Ethical Review
C = Consider the Options
I = Investigates outcomes
D= Decide on action
E = Evaluate Results
Saat menghadapi dilema etik, kita dapat menanggapi dengan cara yang berbeda
dengan tahapan sebagai berikut (Huber, 2000), yaitu:
1. Menunjukkan maksud baik
2. Mengidentifikasi semua orang penting
3. Mengumpulkan informasi yang relevan
4. Mengidentifikasi prinsip etis yang penting
5. Mengusulkan tindakan alternative
6. Melakukan tindakan
8.2 Pengambilan Keputusan Etik
Salah satu keputusan penting yang harus diambil oleh perawat berada dalam area
keputusan klinis, yaitu sebuah proses pengambilan keputusan yang melewati observasi,
proses informasi, berpikir kritis, mengevaluasi,evidence, penerapan ilmu pengetahuan yang
sesuai dan problem solving skill. Keputusan yang diambil juga harus mempertimbangkan
kesehatan yang optimal dan meminimalkan resiko yang membahayakan pasien (Standing,
2005). Dalam memutuskan ssebuah keputusan etik tidak bisa terlepa dari prinsip-prinsip etik
yangberlaku. Terdapat 4 prinsip dasar etik yang mendasari dalam mengambil keputusan etik
(Ashcroft, Dawson, Draper, & McMillan, 2007),yaitu :
1. Otonomi
Otonomi harus diikuti oleh hak seseorang untuk memahami keputusannya dengan
mendapatkan informasi yang cukup dari tenaga profesional dalam pelayanan. Dalam
otonomi seseorang harus terbebas dari intervensi atau campur tangan orang lain, bebas
dari paksaan dan memiliki kapasitas mental yang baik dalam memahami dan mengambil
keputusan.

2. Non Maleficence (tidak membahayakan)


Prinsip non maleficence berarti tidak melakukan kekerasan yang mengakibatkan kerugian
bagi pasien. Prinsip Non Maleficence dilaksanakan dengan tetap menjunjung hak
otonomi pasien. Prinsip non meleficence terkadang dapat berbenturan dengan aturan-
aturan moral yang ada dalam masyarakat.
3. Beneficence (Berbuat baik)
Beneficence merupakan nilai paling fundamental dalam etika pelayanan kesehatan,
dimana berbuat baik menjadi landasan dalam tingkah laku seseorang dalam memberikan
pelayanan. Prinsip beneficence didasarkan pada kewajiban moral untuk memberikan
kebaikan bagi orang lain dengan memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan
kerugian bagi pasien.
4. Justice (Keadilan)
Prinsip keadilan dilakukan dengan memberikan pelayanan kepada pasien sesuai dengan
kebutuhan mereka, pasien dengan kebutuhan terapi yang besar harus mendapatkan terapi
yang sesuai dengan kondisinya demikian juga sebaliknya. Kontroversi yang terjadi pada
prinsip keadilan adalah tentang pertimbangan yang relevant dalam penggolongan
karakteristik pasien yang membutuhkan terapi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan, yaitu
a. Agama
b. Sosial
c. Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi
d. Legislasi dan keputusan yuridis
e. Dana atau keuangan
f. Pekerjaan
g. Kode etik keperawatan
h. Hak-hak pasien
8.3 Standar Keperawatan
Sebuah standar ditetapkan untuk menjadi dasar yang memberi batasan spesifik agar
sebuah proses yang dilakukan dapat berjalan optimal dan dapat dipertanggungjawabkan.
Standar keperawatan menjadi dasar dalam praktek keperawatan, yang meliputi standar
pelayanan, standar profesi dan standar SOP dengan tetap mempertimbangkan kode etik
profesi keperawatan (UU Keperawatan No.38 tahun 2014).
Lingkup standar praktik keperawatan Indonesia dirangkum oleh PPNI, meliputi :
1. Standar praktik Profesional, yang terdiri dari :
a. Standar I : Pengkajian
b. Standar II : Diagnosa keperawatan
c. Standar III : Perencanaan
d. Standar IV : Pelaksanaan Tindakan / implementasi
e. Standar V : Evaluasi
2. Standar kinerja Profesional
a. Standar I : Jaminan mutu
b. Standar II : Pendidikan
c. Standar III : Penilaian kinerja
d. Standar IV : Kesejawatan ( collegial )
e. Standar V : Etik
f. Tandar VI : Kolaborasi
g. Standar VII : Riset
h. Standar VIII : Pemanfaatan sumber - sumber

Sedangkan lingkup standar profesional menurut American Nurses Association


(ANA,2010), meliputi :
1. Standar praktik keperawatan,meliputi :
a. Standar I : Pengkajian
b. Standar II : Diagnosa keperawatan
c. Standar III : Identifikasi hasil
d. Standar IV : Planning
e. Standar V : Implementasi
Va : Koordinasi dalam pelayanan kesehatan
Vb : Bimbingan dan promosi kesehatan
Vc : Konsultasi
Vd : Otoritas dalam terapi
f. Standar VI : Evaluasi
2. Standar Penampilan Profesional, meliputi :
a. Standar 7 : Etik
b. Standar 8 : Pendidikan
c. Standar 9 : Evidence- Based practice dan riset
d. Standar 10 : Praktek keperawatan yang berkualitas
e. Standar 11 : Komunikasi
f. Standar 12 : kepemimpinan
g. Standar 13 : kolaborasi
h. Standar 14 : Evaluasi
i. Standar 15 : Pemanfaatan Sumber Daya
j. Standar 16 : Kesehatan lingkungan
2.5.4 Pengambilan Keputusan Etik di Indonesia
Permasalahan etik keperawatan di Indonesia menjadi lebih terarah dengan adanya
Undang-Undang Keperawatan Nomor 38 Tahun 2014 yang menjadi landasan dalam
pengambilan keputusan etik dan dilema etik yang terjadi di Indonesia. Kesenjangan sering
terjadi dalam isu kolaborasi dan kemitraan interdisiplin, dimana status yuridis seiring
perubahan perawat dari perpanjangan tangan dokter menjadi mitra dokter sangat kompleks.
Tanggung jawab hukum juga akan terpisah untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian.
Yaitu, malpraktik medis, dan malpraktik keperawatan. Perlu ada kejelasan dari pemerintah
maupun para pihak terkait mengenai tanggung jawab hukum dari perawat, dokter maupun
rumah sakit. Organisasi profesi perawat juga harus berbenah dan memperluas struktur
organisasi agar dapat mengantisipasi perubahan.
Perawat perlu mengantisipasi konsekuensi perubahan dari vokasional menjadi
profesional, arah kebijakan yang diperlukan yakni ketersediaan perawat demi memperkuat
promotif dan preventif. Lulusan perawat berpendidikan diploma 3 (D-3) lebih banyak
dibanding ners (berpendidikan strata 1 dan profesi). Kini 500-an institusi pendidikan
vokasional keperawatan menghasilkan lulusan D-3 dan 200-an institusi menghasilkan S1-
Ners. Pemenuhan kebutuhan perawat di daerah tak cukup dengan perawat D-3 karena belum
punya kemampuan komprehensif menuntaskan masalah. Pemerintah perlu menempatkan
spesialis keperawatan keahlian di atas ners di kabupaten atau kota.
BAB III
PEMBAHASAN

Dalam perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg mendapatkan kritikan


dari apa yang dikemukakan oleh Gilligan, dimana penelitian Kohlberg sangat menitik
beratkan pada laki laki sedangkan Gilligan pada perempuan. Seperti yang tercantum dalam
pernyataan Gilligan yaitu memulai studi dan mempertanyakan kembali tentang
perkembangan perempuan karena kurangnya perhatian terutama riset dibidang psikologi
terhadap perempuan dan remaja perempuan. Gilligan menemukan suatu perasaan mendalam
dari kesakitan dan keputusan yang melingkupi yang tidak berkaitan dengan apa yang ingin
mereka kemukakan. Gilligan menemukan juga ada beberapa elemen kunci dalam
mempelajari perempuan dan perasaannya:
1. Perempuan dan remaja perempuan merasakan suatu rasa mendalam tentang
keterpisahan, kekurangan perhatian.
2. Tidak ada persesuaian antara kehidupan perempuan dengan kultur Western
3. Pertanyaan perempuan adalah mengapa mereka berada berbalik dengan yang lain atau
malah hilang diantara yang lain secara individual.
4. Ada polarisasi antara suara interna dengan kemampuan untuk berbicara secara verbal.
5. Perempuan merasakan bahwa suara dari dalam dirinya tidak dapat dibawa ke dalam
hubungan hubungan dengan orang lain.
6. Perempuan juga merasakan bahwa pikiran - pikiran mereka kurang dibanding yang
lain dan akan menjadi buruk bila diekspresikan kepada orang lain.
Dari hasil uraian di atas dapat disimpulkan beberapa yaitu:
1. Perkembangan moral pada perempuan didasarkan atas tanggung jawab dan
kepedulian (care) bukan karena benar atau salah.
2. Ada perbedaan kerangka kerja dan pemecahan persoalan pada laki laki dan
perempuan.
3. Suara pada perempuan menitik beratkan pada hubungan, kedamaian, kepedulian dan
tanggung jawab, sedangkan pada laki laki menitik beratkan pada hubungan timbal
balik, kesetaraan, keadilan dan kebenaran.
4. Perbedaan dua suara dalam gender ini tidak berarti bahwa satu suara yang lebih
dominan dari pada suara yang lainnya.
(Nurhayati, 2006)
BAB IV
PENUTUP

9 Kesimpulan
Pemberian pelayanan keperawatan harus diberikan secara komprehensif. Dan dalam
upaya tersebut perawat harus tetap berdasar pada prinsip etik dan moral. Hal ini sangat
berguna dalam melindungi perawat dan pasien dalam asuhan keperawatan tersebut. Karena
dalam prinsip etik seperti halnya autonom, beneficience, nonmalaficience, fidelity,
confidentiality, veracity dan justice merupakan sebagai upaya dalam melindungi pasien.
Apabila terdapat pelanggaran dalam prinsip etik tersebut maka ada beberapa elemen dari
keperawatan untuk menanggulanginya. Sebagai contohnya yaitu dibentuknya komite
keperawatan dalam suatu rumah sakit. Dalam komite tersebut masih dibagi lagi dalam
beberapa sub yaitu kredensial, etik dan disiplin profesi dan mutu profesi. Dimana pada bagian
komite etik dan disiplin profesi yang akan memproses perawat yang melakukan pelanggaran
prinsip etik dan memberikan sanksi apabila diperlukan.
Salah satu yang tidak boleh ditinggalkan dalam perawatan yaitu moral. Dimana masih
terdapat hubungan antara penerapan etik dan moral, yaitu perawat yang terbiasa dengan
menerapkan etika keperawatan dengan baik maka akan membentuk moral yang baik pula.
Dalam tahap perkembangan moral bisa dilihat atau dikaji dalam tingkat usia maupun dalam
jenis kelamin. Seperti teori yang dikemukakan oleh Kohlberg maupun Gilligan.

10 Saran.
1. Perawat harus selalu meningkatkan kemampuan dibidang ilmu keperawatan baik skill
maupun knowledgenya guna pengembangan profesi.
2. Perawat melakukan tindakan keperawatan harus sesuai dengan kompetensi,standar dan
kode etik keperawatan.
3. Perawat harus mampu melakukan praktek keperawatan sesuai dengan standar etik yang
berfokus pada pelayanan masyarakat (altruism).
4. Perawat harus bertanggung jawab dan tanggung gugat dalam melaksanakan asuhan
keperawatan.
5. Pembentukan etik dan moral dalam keperawatan mulai ditanamkan dalam pendidikan
keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Alligood. (2014). Teori keperawatan. Edisi ke.8 Volume 2. Elsevier ; Singapura
Bertens,K. (2002). Etika edisi ke-7. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cusveller, Bart. (2012). Nurses serving on clinical ethics committees : a qualitative
exploration of a competency profile. Diakses melalui www.ncbi.nlm.nih.gov/
Darwis. (2016). Nursing behavior towards our satisfaction patients in hospital general city
of Makassar Indonesia. International Journal of Emerging Trends in Science and
Technology. 4902-4909.
Dewi, R., Syam, B., Daulay, W. (2015). Hubungan perilaku caring dan motivasi terhadap
kinerja perawat pelaksana menerapkan prinsip etik keperawatan dalam asuhan
keperawatan di rumah sakit jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Medan. Jurnal Riset
Keperawatan Indonesia. Vol 3. No.2. 181-186.
Eraut, Michael. (1994). Developing professional knowledge and competence. UK :
Routledge Falmer.
Erienh, R. S., Setiawan, Wahyuni. S. E. (2015). Pengalaman keluarga pasien tentang caring
pada pasien yang mengalami perawatan kritis di ruang ICU. Jurnal Riset Keperawatan
Indonesia. Vol 3. No.2.112-117.
Fowler, Martha D, M. (2010). Code of ethics for nurse interpretation and application.
Diakses melalui www.nursing.rutgers.edu/
Hunter, T., Nelson, J.R., & Birmingham, J. (2013). Preventing readmissions through
comprehensive discharge planning. Professional Case Management. 56-63.
International Council of Nurses. (2012). The ICN code of ethics for nurses. Diakses melalui
www.icn.ch
James H, H., & Husted, G. L. (2008). Ethical Decision Making in Nursing and Health Care:
The Symphonological Approach. Tschudin, V. (2003). Ethics in Nursing : The Caring
Relationship. Third edition. London : Elsevier.
Watson, J. (2008). Nursing : The philosophy and science of caring. Revised edition.
Colorado: University Press of Colorado.
Wilkinson, Judith M., Treas, Leslie S., Barnett, Karen L., Smith, Mable H. (2016).
Fundamental of nursing theory, concepts, and applications, vol 1, 3 rd edition. Diakses
melalui www.libgen.pw/

Anda mungkin juga menyukai