Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DIARE

2.1.1 Definisi Diare pada Balita

Menurut Wold Health Organization (WHO), penyakit diare adalah suatu penyakit

yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang lembek sampai mencair

dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih dari biasa, yaitu 3 kali atau lebih

dalam sehari yang mungkin dapat disertai dengan muntah atau tinja yang berdarah.

Penyakit ini paling sering dijumpai pada anak balita, terutama pada 3 tahun pertama

kehidupan, dimana seorang anak bisa mengalami 1-3 episode diare berat (Simatupang,

2004).

Di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, diare diartikan sebagai buang air besar yang

tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya.

Neonatus dinyatakan diare bila frekuensibuang air besar sudah lebih dari 4 kali, sedangkan

untuk bayi berumur lebih dari 1 bulan dan anak, frekuensinya lebih dari 3 kali (Simatupang,

2004).

Diare dapat dikatakan sebagai masalah pediatrik sosial karena diare merupakan

salah satu penyakit utama yang terdapat di negara berkembang, dimana adanya faktor yang

mempengaruhi terjadinya diare pada balita itu sendiri yaitu diantaranya faktor penyebab

(agent), penjamu (host), dan faktor lingkungan (environment) (Suharyono, 2008).

Faktor penyebab ( agent) yang dapat menyebabkan kejadian diare pada balita

diantaranya karena faktor infeksi, faktor malabsorbsi, faktor makanan (Ngastiyah, 2005).

Sedangkan dari faktor penjamu (host) yang menyebabkan diare pada balita yaitu dari faktor
status gizi balita dan faktor prilaku hygiene yang buruk misalnya dalam prilaku mencuci

tangan, kebersihan putting susu, kebersihan dalam botol susu dan dot susu pada balita.

Kemudian dari faktor lingkungan (environment) yang menyebabkan balita terkena diare

yaitu dari kondisi sanitasi lingkungan yang kurang baik misalnya dalam penggunaan

kebersihan air yang digunakan untuk mengolah susu dan makanan balita (Soegijanto, 2002).

Menurut Widjaja (2008), diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya

perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair dan

bertambahnya frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari. Menurut

Ngatiyah (2005), diare merupakan salah satu gejala dari penyakit pada sitem gastrointestinal

atau penyakit lain diluar saluran pencernaan, dikarenakan keadaan frekuensi buang air

besar lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak konsistensi feses encer dapat

berwarna hijau atau dapat pula bercampur lendir dan darah atau lendir saja. Sedangkan

menurut WHO (2009) diare didefinisikan sebagai berak cair tiga kali atau lebih dalam sehari

semalam (24jam).

Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dijelaskan penulis dapat mengambil

kesimpulan pengertian diare adalah suatu keadaan dimana terjadi perubahan pola buang air

besar lebih dari 3 kali dalam sehari disertai perubahan konsistensi tinja lebih encer atau

berair dengan atau tanpa darah dan tanpa lendir.

2.1.2 Etiologi Diare Pada Balita

Menurut Widjaja (2008), diare disebabkan oleh adanya beberapa faktor, antara lain:

1. Faktor infeksi

Infeksi pada saluran pencernaan merupakan penyebab utama diare pada anak balita.

Jenis-jenis infeksi yang umumnya menyerang dibagi menjadi dua, yaitu:


1) Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab

utama diare pada anak, meliputi:

2) Infeksi bakteri: Vibrio,E.Coli, Salmonella, shigella, Compylobacter

3) Infeksi virus: Enterovirus (virus ECHO,Coxsakie, Poliomyelitis) Adeno virus, Rotavirus,

Astrovirus.

4) Infeksi parasit: Cacing (Acsaris, Trichuris, Oxyuris, Strongyloides), Protozoa

(Entamoeba histolytica,Giardia lamblia, Tricomonashominis), jamur (Candida

albicans).

5) Infeksi parental ialah infeksi diluar alat pencernaan makanan seperti otitismedia akut

(OMA), tonsilitis/tonsilo faringitis, bronko pneumonia, ensefalitis dan sebagainya.

Keadaan ini terutama terjadi pada bayi dan anak berumur di bawah dua tahun.

2. Faktor Malabsorbsi

Faktor ini dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Malabsorbsi karbohidrat

Pada bayi, kepekaan terhadap lactoglobulis dalam susu formula dapat

menyebabkan diare. Gejalanya berupa diare berat, tinja berbau asam, dan sakit di

daerah perut. Jika sering terkena diare ini, pertumbuhan anak akan terganggu.

2. Malabsorbsi lemak

Dalam makanan terdapat lemak yang disebut triglyserida. Triglyserida, dengan

bantuan kelenjar lipase, mengubah lemak menjadi micelles yang siap diabsorbsi

usus. Jika tidak ada lipase dan terjadi kerusakan mukosausus, diare dapat jadi

muncul karena lemak tidak terserap dengan baik. Gejalanya adalah tinja

mengandung lemak.

a. Faktor Makanan
Faktor makanan yang mengakibatkan diare adalah makanan yang tercemar,

basi, beracun, terlalu banyak lemak, mentah, (sayuran), dan kurang matang.

Makanan yang terkontaminasi jauh lebih mudah mengakibatkan diare pada anak

balita.

b. Faktor Psikologis

Faktor psikologis yang mengakibatkan terjadi diare, meliputi rasa takut,

cemas dan tegang jika terjadi pada anak dapat menyebabkan diare kronis. Tetapi

jarang terjadi pada anak balita dan umumnya terjadi pada anak yang lebih besar

atau dewasa.

2.1.3 Penularan Diare pada Balita

Cara penularan diare melalui cara faecal-oral yaitu makanan atau minuman yang

tercemar kuman atau kontak langsung tangan penderita atau tidak langsung melalui

lalat (melalui 5F = faeces, flies, food,fluid,finger). Faktor risiko terjadinya diare

adalah:

1. Faktor prilaku

2. Faktor lingkungan faktor prilaku antara lain:

1) Tidak memberikan Air Susu Ibu/ASI (ASI eklusif), memberikan Makanan

Pendamping/MP ASI terlalu dini akan mempercepat bayi kontak terhadap

kuman.

2) Menggunakan botol susu terbukti meningkatkan risiko terkena penyakit diare

karena sangat sulit untuk membersihkan BAB anak

3) Tidak menerapkan kebiasaan cuci tangan pakai sabun sebelum memberi

ASI/makan, setelah Buang Air Besar (BAB), dan setelah membersihkan BAB anak

4) Penyimpanan makanan yang tidak higienis faktor lingkungan antara lain:


a. Ketersediaan air bersih yang tidak memadai, kurangnya ketersediaan Mandi

Cuci Kukus (MCK)

b. kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk disamping faktor risiko

tersebut diatas ada beberapa faktor dari penderita yang dapat meningkatkan

kecendrungan untuk diare antara lain: kurang gizi/malnutrisi terutama anak

gizi buruk, penyakit imunodefisiensi/imunosupresi dan penderita campak

(Kemenkes RI, 2011).

2.1.4 Jenis Diare pada Balita

Menurut WHO (2005) diare dapat diklasifikasikan kepada:

1. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari.

2. Disentri, yaitu diare yang disertai dengan darah

3. Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.

4. Diare yang disertai dengan malnutrisi berat (Simatupang, 2004)

Menurut Ahlquist dan Camilleri (2005), diare dibagi menjadi akut apabila kurang dari

2 minggu, persisten jika berlangsung selama 2-4 minggu, dan kronik jika berlangsung lebih

dari 4 minggu. Lebih dari 90% penyebab diare akut adalah agen penyebab infeksi dan akan

disertai dengan muntah, demam dan nyeri pada abdomen. 10% lagi disebabkan oleh

pengobatan, intoksikasi, iskemia, dan kondisilain. Berbeda dengan diare akut, penyebab

diare yang kronik lazim disebabkan oleh penyebab non infeks seperti alergi dan lain-lain.

2.2 Klasifikasi Diare Pada Balita

Klasifikasi diare dapat dikelompokkan menjadi diare dehidrasi berat, diare dehidrasi

sedang atau ringan, diare tanpa dehidrasi, diare persisten, disentri (Hidayat, 2005).
1. Diare dehidrasi berat

Diare dehidrasi berat jika terdapat tanda sebagai berikut letargis atau mengantuk

atau tidak sadar, mata cekung, serta turgor kulit jelek. Penatalaksanaannya yaitu lakukan

pemasangan infuse, berikan cairan IV Ringer Laktat, pemberian ASI sebaiknya tetap

diberikan, pertahankan agar bayi dalam keadaan hangat dan kadar gula tidak turun.

2. Diare dehidrasi sedang atau ringan

Diare ini mempunyai tanda seperti gelisah atau rewel, mata cekung, serta turgor

kulit jelek. Penatalaksanaannya berikan ASI lebih sering dan lebih lama untuk setiap kali

pemberian, berikan oralit, ajari ibu cara membuat oralit, lanjutkan pemberian ASI, berikan

penjelasan kapan harus segera dibawa ke petugas kesehatan.

3. Diare tanpa dehidrasi

Diare tanpa dehidrasi jika hanya ada salah satu tanda pada dehidrasi berat atau

ringan. Penatalaksanaannya berikan ASI lebih sering dan lebih lama setiap kali pemberian,

berikan cairan tambahan yaitu berupa oralit atau air matang sebanyak keinginan balita,

ajari ibu cara memberikan oralit memberi 6 bungkus oralit, anjurkan pada ibu jumlah oralit

yang diberikan sebagai tambahan cairan, anjurkan untuk meminum sedikit tapi sering.

4. Diare Persisten

Diare persisten apabila terjadi diare sudah lebih dari 14 hari. Tindakan dan

pengobatan untuk mengatasi masalah diare persisten dan disentri dalam manajemen balita

sakit dapat diatasi sesuai dengan tingkat diare dan dehidrasi, pertahankan kadar gula agar

tidak turun, anjurkan agar bayi tetap hangat, lakukan rujukan segera.

5. Disentri
Apabila diare di sertai darah pada tinja dan tidak ada tanda gangguan saluran

pencernaan. Tindakan dan pengobatan sama dengan diare persisten.

2.2.1 Gejala Klinis Diare Pada Balita

Gejala diare atau mencret adalah tinja yang encer dengan frekuensi empat kali atau

lebih dalam sehari, yang kadang disertai muntah, badan lesu atau lemah, panas, tidak nafsu

makan, darah dan lendir dalam kotoran, rasa mual dan muntah-muntah dapat mendahului

diare yang disebabkan oleh infeksi virus. Infeksi bisa secara tiba-tiba menyebabkan diare,

muntah, tinja berdarah, demam, penurunan nafsu makan atau kelesuan. Selain itu, dapat

pula mengalami sakit perut dan kejang perut, serta gejala-gejala lain seperti flu misalnya

agak demam, nyeri otot atau kejang, dan sakit kepala. Gangguan bakteri dan parasit kadang-

kadang menyebabkan tinja mengandung darah atau demam tinggi (Amiruddin, 2007).

Beberapa prilaku yang dapat meningkatkan risiko terjadinya diare pada balita.

Beberapa prilaku keluarga yang dapat meningkatkan kejadian diare pada balita diantaranya

adalah (Pusat Promosi Kesehatan,2011):

1. Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama pada kehidupan.

Pada balita yang tidak diberi ASI risiko menderita diare lebih besar daripada balita

yang diberi ASI penuh, dan kemungkinan menderita dehidrasi berat lebih besar.

2. Menggunakan botol susu

Penggunaan botol ini memudahkan pencemaran oleh kuman karena botol susah

dibersihkan. Penggunaan botol yang tidak bersih atau sudah dipakai selama berjam-

jam dan dibiarkan di lingkungan yang panas, sering menyebabkan infeksi usus yang

parah karena botol dapat tercemar oleh kuman-kuman atau bakteri penyebab diare.
3. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar

Makanan bila disimpan beberapa jam pada suhu kamar, makanan tersebut akan

tercemar dan kuman akan berkembang biak.

4. Menggunakan air minum yang tercemar.

5. Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja anak

atau sebelum makan dan menyuapi anak.

6. Tidak membuang tinja dengan benar

Seringnya anggapan bahwa tinja tidak berbahaya, padahal sesungguhnya tinja

mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Selain itu tinja binatang juga

dapat menyebabkan infeksi pada manusia.

2.3 . Pencegahan Diare Pada Balita

Pemerintah melalui dinas kesehatan melakukan beberapa upaya yang dapat

menurunkan agka kesakitan dan kematian akibat diare, yaitu: (Kemenkes RI,2010).

2.3.1 Peningkatan Gizi Balita

Peningkatan gizi balita untuk mengurangi malnutrisi, yaitu dengan memberikan

vitamin A. Vitamin A merupakan vitamin yang larut dalam lemak atau minyak dan

mempunyai beberapa fungsi dalam tubuh manusia, karena vitamin A merupakan komponen

dari retina (selaput jala), maka fungsinya adalah untuk penglihatan, disamping itu juga

vitamin A yang berasal dari buah-buahan berwarna kuning, orange dan sayuran berwarna

hijau tua dapat membantu untuk melindungi anak terhadap radang paru (Kemenkes RI,

2010).

Kebutuhan vitamin A yang dianjurkan untuk anak balita adalah 250 mikrogram

retinol (vitamin A) atau 750 mikrogram yang mengandung vitamin A. Beberapa terdapat di
daerah yaitu jenis-jenis makanan yang kaya vitamin A seperti telur, sayuran dan beberapa

jenis buah-buahan tidak boleh diberikan pada bayi dan balita. Anak yang tidak mau

menerima suatu makanan biasanya tidak akan diusahakan oleh orang tuanya untuk

menelannya, ini merupakan sikap yang kurang tepat, karena ada kemungkinan menurunnya

konsumsi vitamin A dan karoten yang diperlukan untuk kesehatan anak (Almatsier, 2002).

Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya

diare. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk

dan iinfeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat diare. Disamping

itu adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya

serta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi. Balita dengan gizi yang kurang

akan lebih mudah terserang diare dibandingkan balita dengan gizi normal karen faktor daya

tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebakan balita tidak nafsu

makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah

terserang diare berat bahkan serangannya lebih lama (Prabu, 2009).

2.3.2 Melalui Program KIA

Kemenkes RI (2010) menjelaskan bahwa kegagalan pemberian ASI ekslusif pada bayi

menyebabkan kekurangan jumlah sel otak bayi sebanyak 15-20% sehingga menghambat

perkembangan kesehatan bayi pada tahap selanjutnya. ASI dalam jumlah yang cukup

merupakan makanan yang terbaik dan dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi, ASI

mengandung 70 kalori/liter dengan 1,6% protein, 3,8% lemak, 7,0% laktosa. Vitamin yang

terdapat dalam ASI antara lain vitamin A, B, C ,D dan Karoten. Dimana kandungan makanan

itu tergantung pada makanan ibu.

2.4 . Penatalaksanaan Diare Pada Balita


Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip tatalaksana diare pada balita adalah LINTAS

DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia

dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satu-satunya cara untuk mengatasi diare tetapi

memperbaiki kondisi usus serta mempercepat penyembuhan/menghentikan diare dan

mencegah anak kekurangan gizi akibat diare juga menjadi cara untuk mengobati diare.

Adapun program LINTAS DIARE yaitu: 1), Dehidrasi menggunakan Oralit osmolaritas rendah.

2), Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut. 3), Teruskan pemberian ASI dan makanan.

4), Antibiotik Selektif. 5), Nasihat kepada orang tua/pengasuh.

2.4.2. Oralit

Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah tangga

dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak bersedia berikan cairan rumah

tangga seperti air tajin, kuah sayur, air matang. Oralit saat ini yang beredar di pasaran sudah

oralit yang baru dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat mengurangi rasa mual dan

muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare untuk mengganti cairan

yang hilang. Bila penderita tidak bisa minum harus segera di bawa ke sarana kesehatan

untuk mendapatkan pertolongan cairan melalui infus. Pemberian iralit didasarkan pada

derajat dehidrasi (kemenkes RI, 2011).

1. Diare tanpa dehidrasi

Umur < 1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali anak mencret

Umur 1- 4 tahun : ½ - 1 gelas setiap kali anak mencret

Umur diatas 5 tahun : 1 - 1½ gelas setiap kali anak mencret

2. Diare dengan dehidrasi ringan sedang


Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/kg bb dan selanjutnya

diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa dehidrasi.

3. Diare dengan dehidrasi berat

Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke Puskesmas untuk di

infus (Kemenkes RI, 2011).

Untuk anak di bawah umur 2 tahun cairan harus diberikan dengan sendok setiap 1

sampai 2 menit. Pemberian dengan botol tidak boleh dilakukan. Anak yang lebih besar dapat

minum langsung dari gelas. Bila terjadi muntah hentikan dulu selama 10 menit kemudahan

mulai lagi perlahan-lahan misalnya 1 sendok setiap 2-3 menit. Pemberian cairan ini

dilanjutkan sampai dengan diare berhenti (Juffrie, 2010).

2.4.3. Zinc

Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh. Zinc dapat

menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana ekskresi enzim ini

meningkat selama diare dan mengakibatkan hipersekresi epitel usus. Zinc juga berperan

dalam epitelisasi dinding usus yang mengalami kerusakan morfologi dan fungsi selama

kejadian diare (Kemenkes RI, 2011).

Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat

keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar,mengurangi volume tinja, serta

menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya. Berdasarkan bukti ini

semua anak diare harus diberi Zinc segera saat anak mengalami diare (Kemenkes RI, 2011).

Dosis pemberian Zinc pada balita:

a. Umur < 6 bulan : ½ tablet (10 mg) perhari sealam 10 hari


b. Umur > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) perhari sealam 10 hari

Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti. Cara pemberian

tablet zinc : larutkan tablet dalam 1 sendok makan air matang atau ASI, sesudah larut

berikan pada anak diare (Kemenkes RI, 2011).

2.4.4. Pemberian Antibiotika hanya atas indikasi

Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare pada

balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada penderita diare

dengan darah (sebagian besar karena shigellosis), suspek kolera (Kemenkes RI, 2011).

Obat-obatan anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang menderita diare

karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak dianjurkan kecuali muntah berat.

Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi anak, bahkan

sebagian besar menimbulkan efek samping yang berbahaya dan bisa berakibat fatal. Obat

anti

2.4.5. Pemberian Nasihat

Menurut Kemenkes RI (2011), ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita

harus diberi nasehat tentang:

1. Cara memberikan cairan dan obat di rumah

2. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila:

a. Diare lebih sering

b. Muntah berulang

c. Sangat haus
d. Makan/minum sedikit

e. Timbul demam

f. Tinja berdarah

2.5 . Pencegahan Diare Pada Balita

Pencegahan diare menurut Pedoman Tatalaksana Diare Depkes RI (2006) adalah sebagai

berikut:

1. Pemberian ASI

ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat

lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare pada bayi yang

baru lahir. Pemberian ASI eksklusif mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar terhadap

diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Flora usus pada bayi-bayi

yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab diare (Depkes RI, 2006).

Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh, pada 6 bulan pertama kehidupan resiko

terkena diare adalah 30 kali lebih besar. Pemberian susu formula merupakan cara lain dari

menyusui. Penggunaan botol untuk susu formula biasanya menyebabkanrisiko tinggi

terkena diare sehingga bisa mengakibatkan terjadinya gizi buruk (Depkes RI, 2006).

2. Pemberian Makanan Pendamping ASI\

Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secra bertahap mulai dibiasakan

dengan makanan orang dewasa. Pada masa tersebut merupakan masa yang berbahaya bagi

bayi sebab perilaku pemberian makanan pendamping ASI dapat menyebabkan

meningkatnya resiko terjadinya diare ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian

(Depkes RI, 2006).


Ada beberapa saran yang dapat meningkatkan cara pemberian makanan pendamping ASI

yang lebih baik yaitu : a) Memperkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 4-6 bulan

tetapi masih meneruskan pemberian ASI. Menambahkan macam makanan sewaktu anak

berumur 6 bulan atau lebih. Memberikan makanan lebih sering (4 kali sehari) setelah anak

berumur 1 tahun, memberikan semua makanan yang dimasak dengan baik 4-6 kali sehari

dan meneruskan pemberian ASI bila mungkin. b) Menambahkan minyak, lemak dan gula ke

dalam nasi/bubur dan biji-bijian untuk energi.menambahkan hasil olahan susu, telur, ikan,

daging, kacang-kacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna hijau kedalam makanannya.

Mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan menyuapi anak, serta menyuapi anak

dengan sendaok yang bersih. c) Memasak atau merebus makanan yang benar, menyimpan

sisa makanan pada tempat yang dingin dan memanaskan dengan benar sebelum diberikan

kepada anak (Depkes RI, 2006).

3. Menggunakan air bersih yang cukup

Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fecal-oral mereka

dapat ditularkan dengan memasukkan kedalam mulut, cairan atau benda yang tercemar

dengan tinja misalnya air minum, jari-jari tangan, makanan yang disiapkan dalam panci

yang dicuci dengan air tercemar (Depkes RI, 2006).

Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar bersih mempunyai

resiko menderita diare lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat yang tidak

mendapatkan air bersih (Depkes RI, 2006). Masyarakat dapat mengurangi resiko terhadap

serangan diare yaitu dengan menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari

kontaminasi mulai dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah (Depkes RI, 2006). Yang

harus diperhatikan oleh keluarga adalah : a) air harus diambil dari sumber terbersih yang
tersedia. b) sumber air harus dilindungi dengan menjauhkannya dari hewan, membuat

lokasi kakus agar jaraknya lebih dari 10 meter dari sumber yang digunakan serta lebih

rendah, dan menggali parit aliran diatas sumber untuk menjauhkan air hujan dari sumber.

Dan gunakan gayung bersih bergagang panjang untuk mengambil air. d) Air untuk masak

dan minum bagi anak harus dididihkan (Depkes RI, 2006).

4. Mencuci tangan

Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam

penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama

sesudah buang air besar, sesudah buang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan,

sebelum menyuapi makanan anak dan sebelum makan, mempunyai dampak dalam

kejadian diare (Depkes RI, 2006).

5. Menggunakan jamban

Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan jamban

mempunyai dampak yang besar dalam penurunan resiko terhadap penyakit diare. Keluarga

yang tidak mempunyai jamban harus membuat jamban, dan keluarga harus buang air besar

di jamban (Depkes RI, 2006).

Yang harus diperhatikan oleh keluarga : a) keluarga harus mempunyai jamban yang

berfungsi baik dan dapat dipakai oleh seluruh anggota keluarga. b) bersihkan jamban secara

teratur. c) bila tidak ada jamban, jangan biarkan anak-anak pergi ke tempat buang air besra

sendiri, buang air besra hendaknya jauh dari rumah, jalan setapak dan tempat anak-anak

bermain serta lebih kurang 10 meter dari sumber air, hindari buang air besar tanpa alas

kaki (Depkes RI, 2006).


6. Membuang tinja bayi yang benar

Banyak orang beranggapan bahwa tinja anak bayi itu tidak berbahaya. Hal ini tida benar

karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak dan orangtuanya. Tinja

bayi harus dibuang secara bersih dan benar, berikut hal-hal yang harus diperhatikan: a)

kumpulkan tinja anak kecil atau bayi secepatnya, bungkus dengan daun atau kertas dan

kuburkan atau buang di kakus. b) bantu anak untuk membuang air besarnya kedalam

wadah yang bersih dan mudah dibersihkan. Kemudian buang kedalam kakus dan bilas

wadahnya atau anak dapat buang air besar di atas permukaan seperti koran atau daun

besar dan buang kedalam kakus. c) bersihkan anak segera setelah anak buang air besar dan

cuci tangannya (Depkes RI, 2006).

7. Pemberian imunisasi Campak

Diare sering timbul menyertai campak sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat

mencegah diare oleh karena itu beri anak imunisasi campak segera setelah berumur 9

bulan (Depkes RI, 2006).

Anak harus diimunisasi terhadap campak secepat mungkin setelah usia 9 bulan. Diare dan

disentri sering terjadi dan berakibat berat pada anak-anak yang sedang menderita campak

dalam 4 minggu terakhir. Hal ini sebagai akibat dari penurunan kekebalan tubuh penderita.

Selain imunisasi campak, anak juga harus mendapat imunisasi dasar lainnya seperti

imunisasi BCG untuk mencegah penyakit TBC, imunisasi DPT untuk mencegah penyakit

diptheri, pertusis, dan tetanus, serta imunisasi polio yang berguna dalam pencegahan

penyakit polio (Depkes RI, 2006).


Pencegahan terhadap diare atau pencarian terhadap pengobatan diare pada balita

termasuk dalam perilaku kesehatan. Adapun perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo

(2007) adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang

berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman,

serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3

kelompok : 1.perilaku pemeliharaan kesehatan (Health maintanance) adalah perilaku atau

usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan

usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. 2. Perilaku pencarian atau penggunaan sistem

atau fasilitas kesehatan (health seeking behavior) perilaku ini adalah menyangkut upaya

atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit atau kecelakaan. 3. Perilaku

kesehatan lingkungan adalah apabila seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik

maupun sosial budaya, dan sebagainya.

2.6 . Faktor yang berhubungan dengan kejadian diare pada balita

Diare adalah kejadian frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3

kali pada anak, konsistensi feces encer, dapat berwarna hijau atau dapat pula bercampur

lendir dan darah atau lendir saja (Ngastiyah, 2005). Menurut Arief Mansjoer (2000) diare

adalah defekasi lendir dari 3 kali sehari dengan atau tanpa darah atau lendir. Sedangkan

menurut Suharyono (2008) diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak

normal (meningkat) dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair.

Diare dapat dikatakan sebagai masalah pediatrik sosial karena diare merupakan salah satu

penyakit utama yang terdapat di negara berkembang, dimana adanya faktor yang

mempengaruhi terjadinya diare pada balita itu sendiri yaitu diantaranya faktor penyebab

(agent), penjamu (host), dan faktor lingkungan (environment) (Suharyono,2008).


Faktor penyebab (agent) yang dapat menyebabkan kajadian diare pada balita diantaranya

karena faktor infeksi, faktor malabsorbsi, faktor makanan (ngastyah, 2005). Sedangkan dari

faktor penjamu (host) yang menyebabkan diare pada balita yaitu dari faktor status gizi

balita dan faktor berlaku hygiene yang buruk misalnya dalam perilaku mencuci tangan,

kebersihan putting susu, kebersihan dalam botol susu dan dot susu pada balita. Kemudian

dari faktor lingkungan (environment) yang menyebabkan balita terkena diare yaitu dari

kondisi sanitasi lingkungan yang kurang baik misalnya dalam penggunaan kebersihan air

yang digunakan untuk mengolah susu dan makanan balita (soegijanto, 2002).

2.6.1. Hubungan Sumber Air Minum Dengan Kejadian Diare Pada Balita Umur 1-4 Tahun

Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fecal – oral mereka

dapat tularkan dengan memasukkan kedalam mulut, cairan atau benda yang tercemar

dengan tinja misalnya air minum, jari-jari tangan, makanan yang disiapkan dalam panci yang

dicuci dengan air tercemar (depkes RI, 2006).

Pada prinsipnya semua air dapat diolah menjadi air minum. Sumber-sumber air dapat dibagi

menjadi :

1. Air Hujan

Air hujan merupakan penyupliman awan / uap menjadi air murni. Walau pada saat

prestipasi merupakan air yang paling bersih, air tersebut cenderung mengalami pencemaran

ketika berada di atmosfer. Pencemaran yang berlangsung di atmosfer dapat disebabkan

oleh partikel debu, microorganisme, dan gas, misalnya karbondioksida, nitrogen dan

amonia. Maka untuk menjadikan air hujan sebagai sumber air minum hendaklah pada waktu
menampung air hujan jangan dimulai pada saat hujan mulai turun, karena masih banyak

mengandung kotoran.

Air minum dalam tubuh manusia

Anda mungkin juga menyukai