Anda di halaman 1dari 12

POLICY BRIEF

EFEKTIVITAS PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN


JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)
Ascobat Gani

1. TANTANGAN PEMBIAYAAN KESEHATAN

Ada beberapa tantangan pembiayaan kesehatan yang dihadapi sekarang dan masa-masa mendatang,
yaitu:
(1) Jumlah penduduk bertambah disertai struktur umur semakin tua yang menyebabkan meningkatnya
penyakit kronik degeneratif berbiaya tinggi. Ini memerlukan mobilisasi biaya kesehatan yang lebih
besar.
(2) Penduduk miskin walaupun menurun, jumlahnya masih cukup besar (25,6 juta). Yang memerlukan
subsidi premi selain penduduk miskin juga penduduk tidak miskin tetapi tidak mampu membayar
pelayanan kesehatan, sehingga pemerintah harus membiayai subsidi premi untuk sekitar 100 juta
orang.
(3) Kebutuhan anggaran untuk UKM akan terus meningkat, yaitu untuk mengejar target-target SDGs,
pelaksanan SPM di daerah dan program-program promotif dan preventif yang menjadi prioritas
nasional termasuk gizi, KB, DBD, filaria, rabies (di daerah endemik), dll.
(4) Nilai OOP (out of pocket payment) masih tinggi padahal seharusnya menurun dengan adanya
JKN/BPJS.
(5) Pembiayaan (financial sustainability) JKN/BPJS selama 5 tahun terakhir mengalami defisit yang
cukup besar dan terus meningkat – yang bisa mengancam keberlanjutan program JKN.
(6) Diperlukan biaya besar untuk pengadaan fasilitas kesehatan yang lebih merata dan bermutu guna
menjamin akses bagi peserta JKN/BPJS (supply side readiness), termasuk pemerataan penempatan
SDMK dan ketersediaan obat.
(7) Bantuan luar negeri untuk kesehatan seperti GAVI dan GF-ATM akan berakhir dalam tahun- tahun
mendatang.
(8) Adanya disparitas status kesehatan dan akses pelayanan kesehatan antar-wilayah.
(9) Kapasitas fiskal daerah relatif kecil dibandingkan tanggung jawab daerah melaksanakan urusan
wajib yang menjadi tanggung jawab daerah.

2. BESAR BELANJA KESEHATAN

2.1.Apakah Indonesia “underspending” untuk kesehatan?


Belanja kesehatan di Indonesia sejak tahun 2010 berkisar sekitar 3,6% GDP. Angka tersebut lebih
rendah dari pada negara-negara lain di ASEAN (Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Kamboja dan
Myanmar), kecuali Laos. Namun kalau dilihat belanja kesehatan perkapita, nilai Indonesia lebih tinggi
dari pada Kamboja, Laos, Filipina dan Vietnam. Pendapatan bahwa Indonesia “underspending” untuk
kesehatan tidak tepat kalau didasarkan pada benchmark % GDP negara lain ataupun belanja kesehatan
per-kapita. Angka % GPD adalah relatif, tidak menunjukkan besar nominal; yang nilainya ditentukan
oleh total GDP masing-masing negara.

1
Membandingkan belanja kesehatan perkapita antara-negara juga tidak tepat karena kebutuhan riil
belanja kesehatan tergantung masalah yang berbeda-beda antar-negara. Persentase GDP dan
perkapita berguna untuk perbandingan antar-waktu; yaitu melihat tren belanja kesehatan.
Jadi, tren belanja kesehatan Indonesia sebagai % GDP menunjukkan peningkatan dari 3,28% pada
tahun 2010 menjadi 3,62% pada tahun 2015. Perlu dicatat pernyataan WHO bahwa menggunakan
benchmark – walaupun praktis - tidak begitu bermanfaat untuk kebijakan menentukan besar belanja
kesehatan. Sejak dua dekade terakhir, perkiraan kebutuhan anggaran kesesehatan di Indonesia
dilakukan melalui proses perencanaan dan penganggaran program berbasis kinerja; suatu langkah
yang sudah tepat dalam perencanaan dan pengangaran program-program kesehatan.

2.2 Sumber dan kecenderungan belanja kesehatan


Sumber pembiayaan kesehatan di Indonesia adalah: (1) pemerintah (pemerintah pusat, pemerintah
daerah dan asuransi sosial); dan (2) non-pemerintah (Rumah Tangga, perusahaan dan asuransi
komersial). Antara 2010 – 2016, terdapat kecenderungan meningkatnya sumber pemerintah, khususnya
belanja kesehatan pemerintah kabupaten/kota serta asuransi sosial. Sedangkan belanja rumah tangga
– walaupun terjadi penurunan – persentasenya masih cukup besar yaitu 45,1% pada tahun 2016. Pada
tahun 2016, pemerintah menaikkan alokasi untuk kesehatan sebesar 5% dari APBN sesuai dengan
ketetapan UU-36/2009.

3. ALOKASI BIAYA KESEHATAN

3.1 Prioritas pemanfaatan belanja kesehatan: Pola Belanja Kesehatan Nasional (NHA 2017)
cenderung parsial
Secara umum, belanja kesehatan diperlukan
untuk tiga (3) area sistem kesehatan, yaitu: (1)
upaya kesehatan masyarakat (UKM) yang
mengutamakan upaya promotif dan preventif; (2)
upaya kesehatan perorangan (UKP) yang
menekankan pelayanan pengobatan perorangan;
dan (3) pengelolaan dan penguatan sistem
kesehatan (UU-36/2009, Perpres-72/2012, WHO:
2010). National Health Account atau NHA (2017)
menunjukkan bahwa sebagian besar belanja
kesehatan – yaitu 73,3% - terpakai untuk Pola belanja seperti itu juga terlihat di tingkat
pelayanan kuratif (UKP), sedangkan upaya daerah dimana UKM hanya sekitar 3% - 12%,
promotif-peventif (UKM) 9,6% dan untuk UKP sekitar 40% dan pengelolaan/penguatan
pengelolaan dan penguatan sistem kesehatan – sistem kesehatan sekitar 45% .
termasuk investasi fisik adalah 17,1%.

2
3.2 Pembiayaan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM)
Sejak tahun 2010 pemerintah mengalokasikan dana khusus untuk UKM, yaitu dana BOK. Besar BOK
pada tahun pertama (2010) adalah Rp 226 milyar, dan meningkat secara gradual sehingga mencapai Rp
4,8 triliun (2017). Dana BOK dipergunakan oleh Puskesmas untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan
UKM (imunisasi, penimbangan, promosi kesehatan, kesling dan pemberdayaan masyarakat). Dalam
UKM, ada beberapa program yang perlu dibiayai, termasuk SPM dan program kesehatan prioritas diluar
SPM (program gizi dan KB, sanitasi lingkungan, pemberantasan malaria, mobilisasi peran masyarakat
dalam gerakan hidup sehat, dll). Dengan demikian dana BOK adalah tulang punggung program-program
untuk memperbaiki indikator kesehatan masyarakat (MMR, MMR, imunisasi, KIA/KB, gizi, dan sanitasi).

Perkembangan Anggaran BOK untuk Kegiatan Dana BOK yang semula langsung di transfer ke
Operasional UKM Puskesmas dari pusat, sejak tahun 2016
disalurkan melalui DAK-nonfisik sehingga
menjadi bagian dari APBD. Beberapa masalah
dan tantangan yang dihadapi dalam perencanaan
dan pemanfaatan dana BOK, yaitu: 1)
keterlambatan realisasi karena tergantung
keluarnya ketetapan anggaran daerah; 2)
Juklak/Juknis yang berubah-ubah dan terlambat
dikeluarkan pusat; dan 3) kekurangan tenaga
kesehatan masyarakat di Puskemas untuk
memanfaatan dana BOK tersebut.

3.3 Pembiayaan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP)


Dua sumber utama pembiayaan UKP adalah: (i) belanja rumah tangga atau “out of pocket payment”
(OOP); dan (ii) asuransi kesehatan sosial dan komersial. Belanja OOP berkisar 45% dari belanja total
kesehatan nasional dan sebagian besar adalah untuk membeli obat. Belanja dari asuransi kesehatan
sosial (JKN) terus naik dari tahun ke tahun, yaitu 40,0 T pada tahun 2015 menjadi 70,0 T pada tahun 2017.
Masalah serius yang dihadapi dalam pembiayaan JKN adalah terjadinya defisit yang semakin besar dari
tahun ke tahun.
Pendapatan Iuran, Belanja, dan Defisit JKN Tahun 2014-2017

2014 2015 2016 2017


Peserta 133,4 juta 156,7 juta 171,9 juta 187,9 juta
Belanja 40,0 T 56,2 T 64 T 70 T
Defisit 3,45 T 5,85 T 9,40 T 9,20 T
Defisit JKN/BPJS disebabkan “cash inflow” lebih kecil dari pada “cash outflow”. Masalah dalam “cash
inflow” adalah: a) premi yang berlaku sekarang terlalu kecil karena didasarkan pada pengalaman
Jamkesmas dan PT. Askes pra-JKN/BPJS. Dalam asuransi kesehatan ada kecenderungan “moral
hazard” termasuk peningkatan utilisasi, sehingga perhitungan premi perlu disesuaikan dengan
kenaikan utilisasi tersebut, terutama utilisasi pelayanan katastropik; b) banyak peserta mandiri
(non-PBI) yang tidak teratur membayar premi (10.800.000 peserta pada tahun 2017 dan 14.200.000
peserta pada tahun 2018; dan c) banyak pemda kabupaten terlambat membayar premi karena baru bisa
dibayarkan setelah ada ketetapan anggaran daerah.

Masalah dalam “cash outflow” adalah sistem pelayanan yang belum baik termasuk: a) sistem rujukan
non-spesialistik belum efektif di FKTP; b) sistem rujuk-balik juga belum berjalan baik antara lain karena
tidak tersedianya obat di FKTP yang sama dengan yang diberikan di FKRTL; c) adanya
tindakan-tindakan yang tidak “cost effective” termasuk misalnya SC pada persalinan yang sebetulnya
normal, dll; dan d) untuk peserta non-PBI diberikan opsi rawat inap terdiri dari kelas-1, 2 dan 3.
Umumnya peserta non-PBI memilih menggunakan kelas-2 dan kelas-1 sedangkan preminya rendah .

3
4. PEMBIAYAAN KESEHATAN DALAM KONTEKS DESENTRALISASI

Beban dan tanggung jawab daerah dalam urusan kesehatan cukup banyak termasuk: (i) membiayai 12
pelayanan dasar dalam SPM; (ii) pelaksanaan PISPK; (iii) menjamin akses dan mutu fasilitas pelayanan
kesehatan termasuk RSUD dan Puskesmas; (iv) pengelolaan SDMK; (v) melaksanakan program prioritas
lain seperti KB, gizi, dan penyakit menular (a.l. DBD, rabies dan malaria); dan (vi) pemberdayaan
masyarakat. Namun data besar dan pemanfaatan APBD dalam tahun 2015, 2016 dan 2017
menunjukkan kecilnya kemampuan fiskal daerah. Pertama, peran PAD dalam APBD rata-rata hanya
10,1%. Artinya 90% adalah dana transfer dari pusat. Kedua, sekitar 41% APBD terpakai untuk belanja
pegawai. Jadi rata-rata kapasitas fiskal daerah adalah 59% APBD. Jumlah tersebut harus membiayai (i)
SPM 6 sektor; (ii) program prioritas nasional diluar SPM; serta (iii) pembangunan dan operasional
infrastruktur.

5. REKOMENDASI KEBIJAKAN

Tujuan pembiayaan kesehatan adalah mencukupi kebutuhan biaya untuk UKM, UKP dan penguatan
sistem kesehatan (PSK), dan dimanfaatkan secara efektif, efisien, berkelanjutan dan akuntabel untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan secara merata dan berkeadilan (UU-36/2009,
Perpres-72/2012 dan UU-40/2004). Ada 4 rekomendasi kebijakan pembiayaan kesehatan, yaitu: (1)
meningkatkan kemampuan fiskal pemerintah untuk membiayai kesehatan; (2) mobilisasi
sumber-sumber pembiayaan lain; (3) meningkatkan pembiayaan untuk UKM; dan (4) meningkatkan
sustainabilitas pembiayaan JKN/BPPJS.

5.1.Meningkatkan kemampuan fiskal pemerintah untuk kesehatan: menaikkan dan “earmarked” cukai
rokok
Apabila alokasi anggaran kesehatan pemerintah dinaikkan - misalnya diatas 5%x(APBN-BP) dan diatas
10%x(APBD-BP) – akan terjadi “displacement”, yaitu dampaknya terhadap alokasi untuk sektor lain. Ini
akan terjadi kalau kemampuan fiskal pemerintah tetap. Pada tahun 2017, nilai total APBN adalah Rp
1.750,3 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 1.359 triliun (75,6%) berasal dari pajak. Dari jumlah pajak
tersebut, Rp 149,9 triliun (11,2%) berasal dari cukai rokok. Di beberapa negara, pajak rokok
“di-earmarked” untuk kesehatan. Jika itu dilakukan – seperti disampaikan diatas – akan berpengaruh
negatif terhadap alokasi untuk sektor lain. Untuk mencegah “displacement effect” tersebut, kebijakan
yang disarankan adalah menaikkan cukai rokok dari 37% HJE (Harga Jual Eceran) – yang berlaku sejak
2009 - menjadi 57% HJE.

Dengan cara ini, penerimaan pemerintah dari pajak naik sebesar sekitar Rp 50,1 triliun dan jumlah
perokok akan turun sebanyak 6,9 juta orang (studi CHEPS 2015). Manfaat ganda bagi sektor kesehatan
adalah: (i) penambahan penerimaan cukai rokok sebesar Rp 50,1 triliun tersebut bisa di “earmarked”
untuk kesehatan; dan (ii) pengurangan jumlah perokok sebanyak hampir 7 juta akan berdampak positif
untuk mencegah berbagai penyakit. Kebijakan “earmarked tax” seperti cukai rokok juga dapat
diberlakukan untuk produk makanan berpemanis (sugary foods) – seperti telah dilakukan di banyak
negara seperti India, UAE, Mexico, Portugal, Saudi Arabia, dll. Pajak dari produk inipun disarankan untuk
di “earmarked” untuk intervensi promotif-preventif penyakit degeneratif khususnya DM dan hipertensi.

Catatan:
Menaikan kapasitas fiskal pemerintah daerah (kabupaten/kota) nampaknya sulit dilakukan karena PAD
rata-rata hanya 10,1% dari total APBD. Sebagian besar APBD adalah dana pusat yang ditransfer ke
daerah. Data APBD juga menunjukkan besarnya beban daerah membiayai Belanja Pegawai (BP), yaitu
rata-rata 41% dari total APBD.

4
5.2. Mobilisasi sumber-sumber non-pemerintah untuk kesehatan
Secara teoretis dan sesuai dengan kebijakan (regulasi) tentang pembiayaan kesehatan, tugas
pemerintah adalah: (1) membiayai UKM (karena bersifat “public goods”); (2) membiayai kesehatan bagi
penduduk miskin (subsidi premi JKN); (3) membiayai tata-kelola (penyusunan kebijakan, regulasi, dan
NSPK); serta (4) pengadaan fasilitas kesehatan di wilayah yang tidak diminati swasta. Artinya,
pemerintah tidak perlu membiayai pembangunan fasilitas pelayanan kesehatan secara menyeluruh
(klinik, RS, laboratorium). Untuk membiayai hal-hal lain, perlu alternatif sumber pembiayaan lain,
seperti diuraikan berikut ini.

5.2.1. Pembiayaan swasta untuk pembangunan fasilitas kesehatan


Membuka peluang yang luas bagi swasta untuk melakukan investasi fasilitas pelayanan kesehatan
seperti klinik, RS dan laboratorium medis. Pemerintah membuat pemetaan dimana klinik dan RS
tersebut dibutuhkan. Swasta diberi kemudahan administrasi dan insentif lain untuk membangun RS
dan klinik tersebut. Di beberapa daerah, pihak swasta membangun fasilitas kesehatan di atas lahan
yang disediakan oleh pemerintah daerah setempat.

5.2.2. Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU)


Pemerintah (pusat dan daerah) bisa bekerja sama dengan Badan Usaha membangun RS yang disebut
KPBU (Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha). Ini akan meringankan beban pemerintah membiayai
investasi pelayanan kuratif (RS) sehingga bisa lebih fokus untuk membiayai program-program UKM.

5.2.3. Penerapan “cost sharing” (urun biaya) sesuai kemampuan membayar rumah tangga
Salah satu indikator pencapaian jaminan kesehatan yang disebutkan oleh badan-badan dunia (WHO,
dll) adalah tidak adanya “cost sharing” pada saat berobat (“no out of pocket payment at the service
point”). Pembayaran kepada PPK semuanya harus ditanggung “payer”, di Indonesia adalah JKN/BPJS.
Dikhawatirkan “cost sharing” bisa disalahgunakan oleh PPK dan menghambat peserta untuk berobat
secara dini apabila sedang tidak punya dana yang “liquid” untuk berobat. Namun, sejauh ini belum ada
studi mendalam untuk menelaah kemampuan membayar atau “Ability to pay” (ATP) rumah tangga untuk
membayar pelayanan kesehatan. Menghilangkan urun biaya memang membantu peserta tetapi kurang
tepat dari prinsip “memandirikan masyarakat dan bertanggung jawab” dalam memelihara kesehatan,
sejauh urun biaya tersebut ada dalam skala kemampuan membayar.

Oleh sebab itu, disarankan dalam waktu segera melakukan analis tentang “ATP”. Skala ATP akan
menunjukkan “threshold” urun biaya yang masih bisa diterapkan tanpa menghambat peserta untuk
berobat dan tanpa menyebabkan “pemiskinan” (impoverishment). Analisis tersebut akan memberi
gambaran ATP menurut tingkat ekonomi rumah tangga dan ATP menurut wilayah. Hasilnya berguna
untuk menerapkan kebijakan urun biaya sesuai dengan kaidah ekonomi yang realistis. Analisis ATP ini
berguna untuk menerapkan urun biaya khususnya untuk pelayanan di FKRTL (RS), misalnya terbatas
pada pelayanan rawat jalan saja. Selain akan meringankan beban JKN/BPJS, kebijakan ini juga
membangun “kemandirian dan rasa bertanggung jawab” dikalangan peserta.

5.3. Meningkatkan pembiayaan UKM


Hampir semua indikator kesehatan masyarakat memerlukan intervensi UKM, termasuk SPM,
target-target SDGs, program kesehatan prioritas lain seperti KB, filaria, diare, DBD, masalah gizi, dll.
Indikator kesehatan masyarakat tersebut - walaupun mengalami perbaikan, tetapi tidak signifikan.
Kurang berhasilnya UKM bisa menyebabkan biaya pengobatan (UKP) bertambah besar. Oleh sebab itu
mencukupi biaya untuk UKM adalah isu strategis dan sangat mendesak.

5
5.3.1. Menaikkan Dana BOK dalam DAK-nonfisik
Dimuka sudah disampaikan bahwa jika cukai rokok dinaikan (57% HJE), akan diperoleh tambahan
pendapatan pajak sebesar 50,1 triliun. Jumlah ini cukup besar dibandingkan alokasi anggaran UKM saat
ini (dana BOK 2017 Rp 4,8 triliun). Pertanyaannya, berapa besar yang perlu dialokasikan untuk UKM dan
bagaimana menjamin bahwa tambahan alokasi tersebut akan dipergunakan secara efektif dan efisien.
Berikut ini adalah kebijakan yang disarankan untuk menjawab pertanyaan tersebut:
1) Estimasi kebutuhan biaya UKM (melalui costing dan atau pelaksanaan perencanaan penganggaran
berbasis kinerja)
a. Analisis biaya (costing) semua program-program UKM dengan sampel daerah yang representatif
sesuai prinsip analisis biaya secara ekonomi.
b. Memperkuat daerah (Dinas Kesehatan Kab/Kota) melakukan “Perencanaan dan penganggaran
berbasis kinerja” sesuai PP-21/2004 dan Permendagri-21/2011). Perencanaan dan penganggaran
berbasis kinerja tersebut akan menghasikan data empiris dari banyak daerah tentang kebutuhan
anggaran untuk UKM ditingkat daerah.
2) Mengadakan elemen “jasa pelayanan” dalam BOK
Dana BOK dipergunakan oleh Puskesmas untuk UKM. Staf Puskesmas selama ini mendapat jasa
pelayanan dari dana kapitasi yang dibayarkan oleh BPJS. Menurut UU-40/2004, dana kapitasi
dipergunakan untuk pelayanan perorangan (UKP) tidak untuk UKM. Jadi sebetulnya pembagian jasa
pelayanan kepada tenaga pelaksana UKM di Puskesmas tidaklah tepat. Oleh sebab itu, disarankan
agar dalam estimasi alokasi BOK (DAK-nonfisik), dimasukkan komponen jasa pelayanan
berdasarkan capaian kinerja UKM. Indikator-indikator kinerja tersebut bisa dikembangkan. Hal ini
dilakukan untuk mendorong peningkatan kinerja UKM (imunisasi, penimbangan, fogging, kunjungan
rumah, active case finding kasus TB, dll). Selain itu, bekerja sebagai tenaga UKM (Kesmas) harus
mendapat penghargaan yang sama seperti UKP.
3) Afirmative policy untuk transfer dana BOK ke Puskesmas DTPK
Disarankan untuk menyalurkan dana BOK dari pusat langsung ke Puskesmas di DTPK (sekitar 2770
Puskesmas), tidak melalui DAK-nonfisik. Hal ini disebabkan karena: a) penyaluran melalui
DAK-nonfisik sering terlambat karena menunggu penetapan anggaran daerah; b) BOK adalah
anggaran operasional untuk kegiatan rutin UKM yang jadwalnya tidak boleh ditunda (jadwal
imunisasi, ANC di Posyandu, penimbangan, dll); dan c) akan mempercepat pemerataan pelayanan
UKM secara nasional. Regulasi yang ada belum melegitimasi transfer langsung ke Puskesmas.
Sebelum 2016, BOK disalurkan melalui mekanisme TP (Tugas Perbantuan). Mekanisme TP tidak
tepat untuk BOK, karena TP adalah bantuan pusat untuk infrastruktur. Oleh sebab itu, perlu disusun
peraturan baru yang memungkinkan transfer dana BOK langsung ke Puskemas di DTPK. Regulasi
semacam itu sudah dikembangkan untuk penyaluran dana desa dari pusat ke desa-desa.
4) Kondisi yang diperlukan untuk meningkatkan manfaat BOK
Menambah dana BOK untuk UKM tidak serta merta mendorong kinerja UKM. Beberapa hal berikut
perlu dilakukan agar dana BOK tersebut dipergunakan secara efektif dan efisien, yaitu: a)
melengkapi tenaga pelaksana UKM di Puskesmas sesuai standar (PMK-75/2007), termasuk tenaga
kesehatan masyarakat, sanitarian, dan tenaga gizi. Sekarang banyak Puskemas tidak memililki
tenaga-tenaga tersebut. Dana BOK tidak akan terserap tanpa adanya tenaga-tenaga tesebut; b)
percepatan keputusan realisasi anggaran daerah yang perlu di dukung dengan peraturan
Kemendagri tentang tenggat waktu realisasi anggaran daerah; dan c) memperkuat Dinas Kesehatan
untuk memberikan bimbingan dan pengawasan kepada Puskesmas dalam merencanakan,
melaksanakan dan menyusun laporan penggunaan dana BOK.

6
5.3.2. Pemanfaatan dana desa untuk UKM
Dana desa adalah anggaran pemerintah yang ditransfer ke setiap desa (75.000 desa). Namun
pemanfaatannya ditentukan oleh masyarakat desa melalui “Survey Mawas Diri” (SMD) untuk
menentukan kebutuhan masyarakat desa setempat dan disusul dengan “Musyawarah Masyarakat
Desa” (MMD) untuk menentukan solusinya. Di beberapa daerah sudah dilakukan pemanfaatan dana
desa untuk kesehatan; termasuk misalnya membangun sarana air bersih dan jamban, dana desa untuk
memantau anak stunting yang pola-asuhnya bermasalah, bantuan renovasi untuk rumah sehat (lantai,
ventilasi, dll), serta mengontrak tenaga kesehatan untuk bekerja di Puskesmas.

5.3.3. Dana CSR untuk program UKM


Perlu didorong agar perusahaan swasta memasukkan kegiatan UKM dalam CSR masing-masing.
Misalnya pertemuan atau seminar tentang “berhenti merokok”, kesehatan reproduksi, dll.

5.4. Meningkatkan sustainabilitas pembiayaan JKN/BPJS


Defisit keuangan JKN/BPJS sejak tahun pertama (2014) terus meningkat dari tahun-ketahun dalam
jumlah besar akan mengancam “financial sustainability” JKN/BPJS. Defisit terjadi karena “cash inflow”
lebih kecil dari pada “cash outflow”. Atas telahaan di kedua aspek keuangan tersebut, berikut
disampaikan beberapa rekomendasi untuk memperkuat aspek finansial JKN/BPJS.

5.4.1. Revisi tarif INA-CBGs


Tarif yang secara ekonomi realistis adalah kalau didasarkan pada (i) standar produk, (ii) costing dan (iii)
margin diatas cost yang acceptable/realistis. Untuk itu perlu dilakukan: 1) perumusan alur klinik
(clinical pathway) yang secara formal dilegitimasi oleh pemerintah (Kemenkes); 2) analisis biaya oleh
pihak ketiga; dan 3) penentuan tarif sesuai kriteria pengelompokkan INA-CBGs yang berlaku.

5.4.2. Rekalkulasi premi (aktuaria baru)


Segera melakukan perhitungan aktuaria atas dasar pola utilisasi selama 4 tahun terakhir dan estimasi
biaya hasil analisis biaya seperti disebutkan diatas.

5.4.3. Intensifikasi pengumpulan premi


Selama 4 tahun yang lalu terjadi “outstanding” pembayaran/pengumpulan premi oleh peserta non-PBI
dalam jumlah besar (10.800 peserta di 2017 dan 14.000 peserta di tahun 2018). BPJS perlu mencari
berbagai cara untuk meningkatkkan kepatuhan peserta (non PBI) untuk membayar premi tepat waktu.

5.4.4. Menerapkan urun biaya


Urun biaya bisa diterapkan untuk pelayanan FKRTL yang tidak bersifat katastrofik, misalnya untuk
rawat jalan. Urun biaya ini disesuaikan dengan hasil analisis kemampuan membayar (ATP). Pilihan jenis
urun biaya misalnya (i) urun biaya penuh sesuai tarif FKRTL, (ii) “deductible” yaitu urun biaya sampai
batas tertentu dan (iii) “co-insurance” yaitu urun biaya sebesar persen (%) tertentu dari tarif FKRTL).

5.4.5. Mengembangkan sistem pembayaran berbasis kinerja (Strategic purchacing)


Pembayaran strategis adalah pembayarann yang dikaitkan dengan kinerja pelayanan. Untuk FKTP
sudah dikembangkan dan diterapkan pembayaran kapitasi berbasis komitmen kinerja dengan indkator
(i) angka kontak, (ii) batasan % rujukan pelayanan non-spesialistik, (iii) kunjungan rumah, dan (iv)
program pelayanan bagi peserta dengan penyakit khronis (prolanis). Sistem pembayaran berbasis
kinerja juga perlu segera dikembangkan untuk pembayaran pelayanan FKRTL. Indikator kinerja dipilih
yang strategis (berkaitan dengan mutu dan efisiensi) dan memenuhi kriteria “SMART” (Specific,
Measurable, Accurate, Reliable, dan Timely).

7
5.4.6. Mengintensifkan pelaksanaan audit medis dan utilization review (UR)
Audit medis diperlukan untuk meningkatkan mutu, efisiensi dan mencegah fraud. Unit yang
mengendalikan dan memantau pelaksanaan audit medik oleh fasilitas kesehatan adalah TKMKB (Tim
Kendali Mutu dan Kendali Biaya) yang bersifat independen. Dalam tahun-tahun mendatang TKMKB
perlu diberdayakan untuk melaksanakan fungsinya; yaitu (i) memperkuat kelembagaannya di daerah
(provinsi dan kabupaten/kota), (ii) meningkatkan kemampuan teknis TKMKB, dan (ii) kecukupan
anggaran TKMKB.

Daftar Pustaka
1. UU-36/2009 tentang Kesehatan
2. Perpres-72/2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional
3. Ascobat G: Naskah Akademik RPP Pembiayaan Kesehatan. PJK Kemenkes 2017
4. Hasil NHA 2012 – 2016. PPJK Kemenkes dan FKMUI (2018)
5. Hasil DHA di beberapa kabupaten/kota: PPJK Kemenkes dan PKEKK FKMUI (2015)
6. WHO (2000) World Health Report: Health System Function
7. Kemendagri: Data APBD 2015 s/d 2017 dari 514 Kabupaten dan Kota
8. Peraturan Presiden No. 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan
9. TCSC IAKMI (2010): Peningkatan Cukai Tembakau dan Dampak Perekonomian
10. UU-23/2014 tentang Pemerintahan Daerah
11. Permenkes tentang BOK dan DAK-nonfisik (sejak 2010 s/d 2017)
12. PP-2/2018 tentang Standar Pelayanan Minimum
13. UU-40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
14. WHO (2006): Spending Target for Health: No Magic Number
15. PMK-75/2016 tentang Puskesmas
16. WHO/SEARO (2016): Assessment of SDGs achievement in the regions
17. World Health Report (2010): Health Financing, Pathway Toward Universal Health Coverage
18. WHO (2010) World Health Report: Health System Building Blocks
19. World Bank (1993): World Development Report 1993: Investing in Health
20. Permendagri 26/2006: tentang perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja

8
Ringkasan Isu Strategis dan Rekomendasi Kebijakan
Efektivitas Pembiayaan Kesehatan dan JKN

ISU STRATEGIS REKOMENDASI KEBIJAKAN INDIKATOR/TARGET


• Kebutuhan biaya Meningkatkan kemampuan dan menurunkan • Regulasi kenaikan cukai rokok
kesehatan terus beban fiskal pemerintah untuk membiayai bertahap untuk mencapai 57% HJE
meningkat, jumlah kesehatan: • Peraturan tentang pajak terhadap
penduduk yang • Menaikan cukai rokok dan “earmarked” produk makanan berpemanis
memerlukan subsidi cukup untuk kesehatan (sugary foods)
besar, beban pemerintah • Memberlakukan pajak terhadap makanan • Kebijakan insentif bagi swasta
semakin besar, berpemanis (sugary foods) membangun faskes
• Bantuan luar negeri untuk • Memberi peluang/insentif bagi swasta • Pelaksanaan KPBU untuk
vaksin dan ATM akan untuk membangun fasilitas kesehatan membangun faskes
segera dihentikan (GAVI, • KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan • Peraturan tentang urun biaya
Global Fund) Usaha) membangun faskes, utamanya RS pelayanan RS, atas dasar analisis
• Menerapkan urun biaya (cost sharing) ATP (ability to pay)
penggunaan rawat jalan RS
• UKM sangat menentukan • *Meningkatkan alokasi untuk BOK atas • Semua daerah melakukan estimasi
kinerja pencapaian target dasar perhitungan kebutuhan anggaran kebutuhan anggaran UKM (SPM dan
RPJMN, SDG, SPM, UKM yang disusun daerah melalui jenis UKM lainya) melalui proses
program prioritas lainnya “Perencanan dan penganggaran berbasis “Perencanaan dan Penganggaran
• Anggaran UKM kecil dan kinerja” Berbasis Kinerja” sesuai ketentuan
realisasinya sering • Mengadakan elemen “jasa pelayanan” • Regulasi tentang elemen “jasa
terlambat dalam BOK pelayanan” dalam BOK
• “Afirmative policy” alokasi BOK langsung • Regulasi penyaluran langsung dana
ke Puskesmas di DTPK BOK dari pusat ke Puskesmas di
• Menjamin ketersediaan SDM kesmas di DTPK
Puskesmas untuk menyerap dana BOK • Kebijakan penempatan SDM oleh
yang ditingkatkan pusat di Puskesmas DTPK
• Mendorong dana CSR untuk UKM • Regulasi tentang insentif bagi
perusahaan melaksanakan CSR
untuk UKM
• Pembiayaan JKN – sebagai • Revisi tarif INACBGs • Percepatan penyusunan clinical
tulang punggung • Rekalkulasi premi JKN/BPJS melalui pathway pelayanan RS, melakukan
pembiayaan UKP – proses aktuaria “costing” dan revisi tarif INACBGs
mengalami defisit yang • Intensifikasi pengumpulan premi (cost based)
besar dan cenderung terus • Menerapkan urun biaya (cost sharing) • Aktuaria untuk revisi premi JKN
meningkat • Mengembangkan “strategic purchasing” dilaksanakan
• OOP (out of pocket untuk membayar klaim RS • Peraturan tentang pembayaran
payment) cukup tinggi • Meningkatkan pelaksanaan audit medis di klaim RS berbasis kinerja
RS • Peningkatan kapasitas TKMKB dan
RS untuk melakukan UR dan audit
medis
Disparitas akses dan mutu Anggaran untuk membangun faskes di DAK untuk membangun faskes (fisik
pelayanan kesehatan antar daerah terpencil yang tidak diminati swasta dan SDM) di daerah terpencil
wilayah
Kapasitas fiskal daerah • Melakukan analisis kemampuan fiskal • Peta kemampuan fiskal daerah
relatif kecil untuk daerah membiayai urusan wajib dan dibandingkan kebutuhan
melaksanakan urusan wajib program prioritas lainnya • Kebijakan tentang bantuan APBN
dan program prioritas lain di • Mengatur peran penyeimbang (equalizing untuk daerah dengan kemampuan
daerah role) APBN untuk membantu daerah yang fiskal rendah
kapasitas fiskalnya tidak cukup

Pernyataan :
Ringkasan kebijakan ini difasilitasi oleh BAPPENAS
namun isi dan materi sepenuhnya tanggung jawab penulis.

9
NOTE

______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
NOTE

______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________
www.bappenas.go.id

Anda mungkin juga menyukai