Anda di halaman 1dari 19

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) dikatakan bahwa pengelolaan kesehatan

adalah proses atau cara mencapai tujuan pembangunan kesehatan melalui pengelolaan upaya

kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya

manusia kesehatan, sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan, manajemen, informasi dan

regulasi kesehatan serta pemberdayaan masyarakat. Rumah Sakit adalah salah satu institusi

yang mengelola pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri yang

dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan

kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan

yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang

setinggi-tingginya. Salah satu tujuan adanya manajemen rumah sakit diantaranya adalah:

dapat menyiapkan sumber daya; dapat mengevaluasi efektifitas; dapat mengatur pemakaian

pelayanan; efisiensi serta kualitas. Dalam manajemen modern, unit pemerintahan harus

profesional, akuntabel dan transparan (Armen & Azwar, 2013).

Pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat merupakan barang public (public good)

yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan

diselenggarakan melalui jaminan pemeliharaan kesehatan dengan mekanisme asuransi sosial

yang diharapkan akan mencapai universal health coverage sesuai dengan Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) (SKN, 2012).

Tarif untuk pembiayaan ini dilakukan dengan sistem tarif Indonesia Case Base Group (Ina

CBG’s), yang besarannya sudah ditentukan berdasarkan diagnosis oleh dokter

penanggungjawab pasien. Dengan pola ini, rumah sakit diharapkan dapat mengetatkan
prosedur dalam pemberian pelayanan. Hal ini terkait dengan aturan yang sudah dikeluarkan

terhadap pentarifan tersebut.

Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, adalah rumah sakit vertikal di bawah

kendali Dirjen Pelayanan Medik dan sudah menjadi rumah sakit BLU sejak Tahun 2007.

Sejak terbentuknya BPJS, rumah sakit sudah melayani pasien JKN. Dari data yang ada,

didapatkan data bahwa biaya tarif yang dibayarkan oleh BPJS terhadap pasien yang dirawat

di rawat inap psikiatri dalam kurun waktu Tahun 2014-2015 lebih rendah jika dibandingkan

dengan tarif riil rumah sakit. Adanya kesenjangan pembayaran sebesar minus (-) 95,3%.

Pasien rawat inap psikiatri biasanya hanya sepertiga kasus (29%) dari total kasus yang

diklaimkan kepada BPJS, yaitu hanya 1100 dari total 3755 kasus pasien dengan JKN.

Masalah yang dijumpai di ruangan rawat inap psikiatri adalah length of stay (LOS) yang

tinggi. Kontribusi LOS yang tinggi, maka berakibat kepada jumlah visite dokter yang tinggi,

penggunaan obat, serta kondisi yang sudah tidak indikasi rawat inap. Hal ini merupakan

sebuah ketidakefisienan yang terjadi dan sangat berdampak terhadap pendapatan rumah sakit.

Berdasarkan wawancara dinyatakan sudah membuat dan melaksanakan pengobatan

berdasarkan Clinical Pathway sejak 2015. Seharusnya pelayanan sudah diberikan secara

efektif dan efisien sehingga dampaknya kepada pendapatan rumah sakit yang akan meningkat

karena proses efisiensi tersebut.

Tujuan Penelitian

Diketahuinya analisis terhadap cost recovery rate pada pasien rawat inap psikiatri

dengan jaminan JKN di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor selama Tahun 2015.

Penelitian Terkait
Nama Tahun Judul
Agustin Ika 2011 Analisis Perbedaan Tarif Riil Dengan Tarif Paket Ina
Wijayanti CBG Pada Pembayaran Klaim Jamkesmas Pasien
Rawat Inap Di RSUD Kabupaten Sukoharjo
Sandra Aulia 2015 Cost Recovery Rate Program Jaminan Kesehatan
Nasional BPJS Kesehatan

Jeina Ivone Kula 2013 Metode Penetapan Biaya Rawat Inap Pada BLU
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
Rizal Andriansyah, 2012 Penerapan Metode Activity Based Costing Dalam
dkk Penetapan Tarif Rawat Inap Pada Rumah Sakit (Studi
Pada Rumah Sakit Islam GondangLegi Malang)
Dian Saputra 2014 Cost Recovery Rate (CRR) Pada Instalasi Rawat Inap
Marzuki, RSUD Ajjappange Kabupaten Soppeng
Darmawansyah,
Muh. Yusri Abadi

Nufus Dwi Talitha 2014 Analisis selisih Biaya Layanan Dengan Tarif Ina
CBG'S Dan Tarif Rumah Sakit Untuk Kasus Sectio
Caesaria Pada Pasien BPJS di Rumah Sakit Jati
Sampurna Tahun 2014
Riny Sari Bachtiar 2011 Analisis Pemulihan Biaya (Cost Recovery) Di
Instalasi Dapur Rumah Sakit Bhakti Yudha Tahun
2010 - 2011
Zinia Th. A. 2013 Penentuan Harga Pokok Penjualan Kamar
Sumilat Menggunakan Activity Based Costing Pada RSU
Pancaran Kasih GMIM

TINJAUAN PUSTAKA

Pendapatan

Menurut Munandar dalam Ciputra (2015), pengertian pendapatan adalah suatu

pertambahan aset yang mengakibatkan bertambahnya Owner’s Equity, tetapi bukan karena

penambahan modal dari pemiliknya dan bukan pula merupakan pertambahan aset yang

disebabkan karena bertambahnya liabilities. Sementara itu, pengertian pendapatan menurut


Zaki Baridwan adalah aliran masuk atau kenaikan lain aktiva suatu badan usaha atau

pelunasan utang (atau kombinasi dari keduanya) selama suatu periode yang berasal dari

penyerahan atau pembuatan barang, penyerahan jasa, atau dari kegiatan lain yang merupakan

kegiatan utama badan usaha (Ciputra, 2015).

Biaya

Armen & Azwar (2013) mengatakan bahwa orang awam sering mencampuradukkan

pengertian pengeluaran (expenditure) dengan pengertian biaya (cost). Pengeluaran

(expenditure) dapat diartikan sebagai cost yang sudah dilaksanakan. Sedangkan cost adalah

semua biaya yang ditujukan untuk mendapatkan pendapatan. Dan biaya merupakan nilai dari

masukan tersebut yang digunakan untuk menghasilkan produk dan jasa layanan sebagai

keluaran (Armen & Azwar, 2013). Produk bisa berupa jasa pelayanan atau bisa juga berupa

barang. Di sektor kesehatan misalnya rumah sakit dan puskesmas, produk yang dihasilkan

berupa jasa pelayanan kesehatan. Untuk menghasilkan pelayanan pengobatan di rumah sakit,

diperlukan sejumlah masukan (faktor produksi) yang antara lain berupa obat, alat kedokteran,

tenaga dokter, perawat, gedung dan sebagainya. Dengan demikian biaya pelayanan pelayanan

kesehatan di rumah sakit dapat dihitung dari nilai (jumlah unit X harga) obat, alat kedokteran,

tenaga dokter, perawat, listrik, gedung dan sebagainya yang digunakan untuk menghasilkan

pelayanan kesehatan. (Armen & Azwar, 2013)

Konsep Biaya

Menurut Miller (2007) tujuan dari pembiayaan kesehatan adalah mendorong peningkatan

mutu, mendorong layanan berorientasi pasien, mendorong efisiensi tidak memberikan reward

terhadap provider yang melakukan over treatment, under treatment maupun melakukan

adverse event dan mendorong pelayanan tim. Dengan sistem pembiayaan yang tepat

diharapkan tujuan diatas bisa tercapai. “Penurunan biaya produk atau jasa hanya dapat

dicapai jika perusahaan beroperasi secara efisien. Efisiensi aktivitas operasinal dapat
dicapai melalui penghilangan aktifitas yang tidak bernilai tambah. Karena itu, perusahaan

perlu mengidentifikasi aktivitas yang tidak bernilai tambah dan mencari upaya yang efektif

untuk menghilangkan aktivitas tersebut.”

Predeterminan Cost (Overhead Cost)

Semua biaya tidak langsung dikumpulkan dalam 1 wadah penampungan yang disebut

Biaya Overhead. Seluruh biaya yang bukan untuk bahan baku serta tenaga kerja langsung

bukan merupakan biaya produk. Pada perusahaan jasa (salah satunya rumah sakit) biaya ini

seringkali disebut beban operasi (Blocher, Stout, & Cokins, 2011).

Cost Driver

Aktivitas yang terjadi di perusahaan dipengaruhi oleh penggerak biaya dari biaya-biaya

yang dikeluarkan untuk aktivitas tersebut. Aktivitas adalah setiap kejadian atau transaksi

yang merupakan pemicu biaya (cost driver) yakni, bertindak sebagai faktor penyebab dalam

pengeluaran biaya dalam organisasi. Riwayadi (2014), menyatakan bahwa Cost Driver adalah

faktor-faktor yang menimbulkan terjadinya biaya, seperti unit produksi, jam kerja langsung

dan jam mesin. Dalam sistem ABC, Driver harus dalam bentuk jumlah atau kuantitas. Pada

perhitungan akuntansi biaya tradisional, biasanya yang menjadi cost driver hanyalah jumlah

hari rawat pasien. Tetapi pada activity based costing, Cost Driver yang digunakan di rumah

sakit, selalu berdasarkan pemakaian masing-masing aktifitas, yaitu jumlah hari rawat, jumlah

pasien, luas ruangan perawatan.

Alokasi Biaya

Alokasi biaya merupakan metode pembebanan biaya tidak langsung ke obyek biaya

(Hansen dan Mowen, 2004 dalam Andriansyah, Handayani, & Azizah, 2013). Karena harus

akurat maka jika melakukan kesalahan pada penetapan dasar alokasi, harga pokok produkpun

akan mengalami kesalahan (Riwayadi, 2014). Metode ini digunakan untuk membebankan

biaya sumber daya yang dikonsumsi bersama oleh beberapa obyek biaya, tetapi besarnya
biaya tidak dipengaruhi oleh besarnya aktivitas. Sebagian besar meripakan penyediaan

fasilitas dan sarana prasarana. Alokasi biaya ini bisanya hanya didasarkan kepada

kemudahannya (convenience) atau hubungan yang diasumsikan (assumed linkage)

(Riwayadi, 2014).

Analisis Biaya Rumah Sakit

Proses analisis biaya, secara teoritis ada beberapa metode atau teknik yang dapat

dilakukan, yaitu :

1. Simple Distribution. Melakukan distribusi biaya- biaya yang dikeluarkan dipusat biaya

penunjang langsung ke berbagai pusat biaya produksi. Distribusi ini dilakukan satu

persatu dari masing-masing pusat biaya penunjang.

2. Step Down Method. Distribusi biaya unit penunjang kepada unit penunjang lain dan unit

produksi. Caranya distribusi biaya dilakukan secara berturut – turut, dimulai dengan unit

penunjang yang biayanya terbesar. Biaya unit penunjang tersebut didistribusikan ke unit-

unit lain. Proses ini terus dilakukan sampai semua biaya dari unit penunjang habis

didistribusikan ke unit produksi.

3. Double Distibution Method. Dalam metode ini pada tahap pertama dilakukan distribusi

biaya yang dikeluarkan di unit penunjang ke unit penunjang lain dan unit produksi.

Hasilnya sebagian biaya unit penunjang sudah didistribusikan ke unit produksi, akan

tetapi sebagian masih berada di unit penunjang.

4. Multiple Distribution Method. Dalam metode ini, distribusi biaya dilakukan secara

lengkap, yaitu antar sesama unit penunjang, dari unit penunjang keunit produksi, dan

antara sesama unit produksi. Distribusi antara unit tersebut dilakukan kalau memang ada

hubungan fungsional antara keduanya.

5. Metode Analisis Biaya Berdasarkan Aktivitas. Metode ini merupakan metode terbaik

dari berbagai metode analisis biaya .ABC system, merupakan system informasi tentang
pekerjaan (atau aktifitas) yang mengkonsumsi sumber daya dan menghasilkan nilai bagi

konsumen.

6. Real cost method. Metode ini tidak hanya menghasilkan output hasil analisis tetapi juga

akan menghasilkan identifikasi sistem akuntansi biaya. Kerangka konsep analisis biaya

“real” menggunakan penggolongan biaya menurut sesuatu yang dibiayai yaitu biaya

langsung dan biaya tidak langsung. (Kula, 2013)

Activity Based Costing

Activity-Based Costing (ABC) merupakan sebuah alat yang sangat bagus bagi sebuah

organisasi untuk mendapatkan biaya yang akurat dan efektif bagi produknya, terhindar dari

distorsi biaya sehingga dapat menjaga keberlangsungan pembangunan dan pertumbuhannya

terhadap sebuah era globalisasi dan lingkungan bisnis yang komplek. (Mahal, 2015). Yang

menjadi fokus utama adalah aktivitas atau proses, bukan pada fungsi produksi atau unit

dalam organisasi. Aktivitas ditentukan dengan menganalisa proses bisnis atau rantai nilai

(Riwayadi, 2014).

Ada beberapa yang harus diperhatikan dalam penerapannya pada perusahaan jasa, yaitu :

1. Identifying and Cost Activities.

Yaitu tahapan mengidentifikasi dan menilai aktivitas agar dapat membuka kesempatan

untuk pengelolaan organisasi yang efektif.

2. Special Challenger

Perbedaan antara perusahaan manufaktur dengan jasa adalah dalam mengalokasikan biaya

ke dalam aktivitas. Selain itu jasa juga tidak dapat menjadi sebuah “persediaan” karena

kapasitas yang ada tetapi tidak bisa digunakan, dan tetap menimbulkan biaya

3. Output Diversity

Perusahaan jasa (dalam hal ini rumah sakit) juga memiliki kesulitan-kesulitan dalam

mengidentifikasi output yang ada. Diversity dimaksudkan menggambarkan aktivitas-aktivitas


pendukung pada hal-hal yang berbeda kemungkinan akan sulit dijelaskan dan ditentukan.

Tarif Rumah Sakit

Tarif adalah nilai suatu jasa pelayanan yang ditetapkan dengan ukuran sejumlah uang

berdasarkan pertimbangan bahwa dengan nilai tersebut, sebuah rumah sakit bersedia

memberikan jasa pelayanan kesehatan kepada pasien. Terdapat dua metode pembayaran

rumah sakit yang digunakan yaitu metode pembayaran retrospektif dan metode pembayaran

prospektif. Metode pembayaran retrospektif adalah metode pembayaran yang dilakukan atas

layanan kesehatan yang diberikan kepada pasien berdasar pada setiap aktifitas layanan yang

diberikan, semakin banyak layanan kesehatan yang diberikan semakin besar biaya yang harus

dibayarkan contohnya Fee For Services (FFS).. Metode pembayaran prospektif adalah metode

pembayaran yang dilakukan atas layanan kesehatan yang besarannya sudah diketahui sebelum

pelayanan kesehatan diberikan. Contoh pembayaran prospektif adalah Kapitasi dan case based

payment (Ina CBG’s).

Tarif dapat ditetapkan untuk meningkatkan pemulihan biaya rumah sakit. Keadaan ini

terutama dilakukan pada rumah sakit pemerintah yang semakin lama semakin berkurang

subsidinya. Kebijakan rumah sakit swadana (sekarang BLU) ditetapkan berdasarkan

pemulihan biaya (cost recovery), yang dampaknya adalah peningkatan tarif rumah sakit jika

dibandingkan sebelum kebijakan swadana tersebut diberlakukan (Trisnantoro, 2009).

Tarif Ina CBG’s

Pada Tahun 2011, di Indonesia terbit Undang-Undang tentang Badan Pengelola Jaminan

Sosial (BPJS). Tata kelola hubungan BPJS dengan rumah sakit, diatur oleh Pemerintah RI

dalam aturan Permenkes No 69 Tahun 2013 lalu diubah menjadi Permenkes No 59 Tahun

2014 Tentang Standar Tarif, yang digunakan oleh rumah sakit dalam mengklaim pelayanan

kepada BPJS. Besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan

Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) atas paket layanan yang didasarkan kepada

pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur. Tarif yang digunakan oleh BPJS dalam
melakukan pembayaran peserta JKN dilakukan dengan metode pembayaran prospektif adalah

tarif yang disebut dengan Indonesian - Case Based Groups yang selanjutnya disebut Tarif

Ina-CBG’s. Tarif ini memakai sistem Casemix (case based payment) dan sudah diterapkan

sejak Tahun 2008 sebagai metode pembayaran pada program Jaminan Kesehatan Masyarakat

(Jamkesmas). Sistem casemix adalah pengelompokan diagnosis dan prosedur dengan

mengacu pada ciri klinis yang mirip/sama dan penggunaan sumber daya/biaya perawatan

yang mirip/sama, pengelompokan dilakukan dengan menggunakan software grouper. Sistem

ini merupakan sistem pembiayaan pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan mutu,

pemerataan dan keterjangkauan, yang merupakan unsur-unsur dalam mekanisme pembayaran

biaya pelayanan kesehatan untuk pasien yang berbasis kasus campuran (Hosizah, 2012).

Pada Bulan September 2014, terbitlah Permenkes tentang Petunjuk Teknis Sistem Ina-

CBG’s, Pedoman Pelaksanaan JKN, serta Standar Tarif JKN, yaitu dengan hadirnya

Permenkes No 27, 28 dan 59 Tahun 2014. Dalam Permenkes tersebut diatur semua aturan

yang berhubungan dengan penggunaan Ina-CBG’s, Tarif yang berlaku dan pelaksanaan

program JKN itu sendiri.

Spesial CMG’s Psikiatri

Special CMG subakut dan kronis diperuntukkan untuk kasus-kasus Psikiatri dengan

ketentuan lama hari rawat (LOS) di rumah sakit sebagai berikut :

a. Fase Akut : 1 sampai dengan 42 Hari : Tarif Paket Ina-CBGs

b. Fase Sub Akut : 43 sampai dengan 103 Hari : Tarif Paket Ina-CBGs + Tarif Sub akut

c. Fase Kronis : 104 sampai dengan 180 Hari : Tarif Paket Ina-CBGs + Tarif Sub akut + Tarif

Kronis

Perangkat yang akan digunakan untuk melakukan penilaian pasien subakut dan kronis dengan

menggunakan WHO-DAS (WHO – Disability Assesment Schedule). WHO-DAS adalah

instrumen yang digunakan untuk mengukur disabilitas. Instrumen ini dikembangkan oleh
Tim Klasifikasi, Terminologi, dan standar WHO dibawah The WHO/National Institutes of

Health (NIH) Joint Projecton Assesment of Classification of Disability. Pada WHO-DAS ini

mengandung 12 (duabelas) variabel penilaian (s1-s12) dengan skala penilaian 1 (satu) sampai

dengan 5 (lima), sehingga total skor 60 (enam puluh). Variabel Activity Daily Living (ADL)

merupakan nilai yang menggambarkan ketidakmapuan pasien dalam melakukan kegiatan

sehari-hari.

Cost Recovery Rate

Tingkat pemulihan biaya atau yang lazim disebut Cost Recovery Rate (CRR) secara umum

merupakan perbandingan antara total pendapatan dan total biaya. Untuk menilai tingkat

kemandirian pembiayaan kesehatan, ukuran inilah yang paling lazim yang digunakan. Tarif

rumah sakit pemerintah biasanya telah ditetapkan oleh pemerintah baik Kementrian

Kesehatan ataupun pemerintah daerah. Dan tarif rumah sakit pemerintah pada umumnya

mempunya nilai cost recovery (pemulihan biaya) yang rendah (Trisnantoro, 2009). Menurut

Faidah (2009), CRR adalah indikator efisiensi dan merupakan tingkat kemampuan

mengembalikan biaya dari suatu unit usaha dalam periode tertentu. Tingkat pemulihan biaya

(Cost Recovery Rate) rumah sakit adalah nilai dalam persen yang menunjukkan seberapa

besar kemampuan rumah sakit dapat menutup biayanya dengan penerimaannya dari

pendapatan fungsionalnya. Dengan kata lain perhitungan Cost Recovery Rate (CRR) adalah

untuk mengetahui berapa besar yang telah diperoleh kembali dari keseluruhan total biaya

yang telah dikeluarkan dalam melaksanakan kegiatan. Apabila CRR dibawah 100% berarti

unit pelayanan tersebut beroperasi pada keadaan defisit dan sangat bergantung kepada subsidi

dan bila tingkat CRR diatas 100% berarti unit tersebut memperoleh keuntungan/profit.
METODE PENELITIAN

Jenis Dan Disain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dimana peneliti sebagai instrument kunci,

tehnik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat

induktif/kualitatif.

Lokasi Dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Bulan Agustus -

September 2016.

Populasi

Populasi adalah seluruh pasien JKN yang menjalani rawat inap di Instalasi Rawat Inap

Psikiatri selama Tahun 2015.

Pengumpulan Data

1. Data Primer : Data billing rumah sakit dan tarif Ina CBG’s yang diklaimkan kepada BPJS,

data pembayaran biaya pada anggaran yang berasal dari APBN.

2. Data Sekunder : Laporan Tahunan, laporan auditor independen, evaluasi pelaksanaan

Clinical Pathway

3. Informan : Informan yang dipilih sebagai informan kunci adalah Ka. Sie Pelayanan, Ka. Sie

Penunjang, Ka. Sie Rawat Inap, dan Kepala Sub Bagian Akuntansi.

Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah pedoman wawancara semi

terstruktur, dan pedoman observasi.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Lama Hari Rawat

Tabel 4.3 Jumlah Kunjungan Pasien/Lama Hari Rawat Pasien

Uraian Jumlah Kunjungan/ % Terhadap % Terhadap Total


Lama Hari Rawat Total Rawat Inap Kunjungan

Rawat Jalan 364,393 77.77


Psikiatri 76,719 73.65 16.37
Rawat Non Psikiatri 23,554 22.61 5.03
Rawat
Inap Napza 3,892 3.74 0.83
Rawat
Inap Total rawat Inap 104,165
Rawat
Inap
Total 468,558
Inap
Sumber : Laporan Tahunan RSMM Bogor Tahun 2015 Telah Diolah Kembali

Tabel 4.5 Jumlah Pasien Psikiatri Berdasarkan Rekanan Tahun 2015


Rekanan Jumlah % LOS %.

JKN Non PBI 1156 66,55 43173 67.96


JKN PBI 581 21.54 20350 32.04
TOTAL JKN 1737 64.40 63523 86.39
Perorangan 758 28.11 7761 77.57
Perusahaan 5 0.19 239 2.39
Honorer RSMM
Jamkesda 196 7.27 1996 19.95
1 0.04 9 0.09
TOTAL Non JKN 960 35.60 10005 13.61
Total Pasien Rawat Inap Psikiatri 2697 100.00 73528 100.00
Jamkesda 196 7.27 1996 19.95
TOTAL Non JKN 960 35.60 10005 13.61
Total Pasien Rawat Inap Psikiatri 2697 100.00 73528 100.00
Sumber : Ina CBG’s dan SIMRS RSMM Bogor

Pegawai

Jumlah pegawai di RS. Dr. Marzoeki Mahdi Bogor Total 1035 orang. Perawat jumlah 497

orang atau 48% dari total pegawai, Dokter Spesialis Jiwa 16 orang (1,6%) dari total tenaga

pegawai. Dan perawat yang bertugas psikiatri adalah 89%. Jika dibandingkan dengan total

tenaga di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi, maka perawat di psikiatri adalah sebesar 24% (250

orang terhadap 1035 orang pegawai).


Tabel 4.7 Statistik Deskriptif Pendapatan Pasien Rawat Inap Psikiatri Menggunakan JKN
No Uraian Rata-rata Minimum Maksimum Total
1 Pendapatan 5,814,550.03 1,357,100 21,265,400 11.819.502.700
2 Biaya Rumah Sakit 7,133,170.68 197,250 51,378,650 12,390,317,478
3 Selisih antara Biaya RS -1,318,620.66 -43,844,150 10,542,550 -570.814.778
dengan Pendapatan

Sumber : Ina CBG’s dan SIMRS RSMM Bogor

Biaya Langsung

Tabel 4.8 Gambaran Total Biaya Langsung Rawat Inap Pasien Psikiatri Selama Tahun 2015

No Pelayanan Jumlah Proporsi Kebutuhan jiwa per tahun

1 Beban Pegawai 51,060,146,454 24% 12,254,435,149

2 Beban Pemakaian 13,608,095,500 73.7% 10,029,166,384


Persediaan/Bahan
Total 66,357,958,008 22,283,601,532
Sumber : Laporan Auditor Independen RSMM Bogor

Biaya Tidak Langsung

Tabel 4.10 Gambaran Total Biaya Tidak Langsung Pasien Rawat Inap Psikiatri
Biaya Tidak Biaya Tidak Langsung
No Biaya Tidak Langsung Langsung Pada Alokasi Pada Pasien Psikiatri
Pasien Psikiatri dgn JKN
1 Beban Pegawai 34,521,749,737 13,56% 4,681,149,264.34
Beban Pemakaian
2 4,863,861,134 13,56% 659,539,569.77
Persediaan/Bahan
3 Beban Pemeliharaan 5,243,065,196 13,56% 710,959,640.58
Beban Langganan Daya
4 1,275,189,334 13,56% 172,915,673.69
dan Jasa
5 Beban Diklat 2,044,304,690 13,56% 277,207,715.96
6 Beban Penyusutan 26,719,389,598 13,56% 3,623,149,229.49
Beban Penyisihan
7 390,779,256 13,56% 52,989,667.11
Kerugian Piutang
8 Beban Subsidi Pasien 446,113,023 13,56% 60,492,925.92
9 Beban Perjalanan Dinas 685,801,450 13,56% 92,994,676.62
Beban Umum dan
10 8,428,792,072 13,56% 1,142,944,204.96
Administrasi Lainnya
11 Listrik 413,937,708 13,56% 56,129,953.20
12 Air 825,402,473.10 13,56% 111,924,575.35
13 Telepon 247,476.30 13,56% 33,557.79
14 Gas 77,755,019.74 13,56% 10,543,580.68
TOTAL BIAYA 11,652,974,235.46
Sumber : Sub. Bagian Akuntansi RSMM Bogor telah diolah kembali
Alokasi Biaya Pada Pasien Rawat Inap Psikiatri Pengguna JKN

Karena biaya tidak langsung pada penelitian ini sulit untuk didapatkan rinciannya, maka

dilakukan pengalokasian biaya terhadap biaya tidak langsung yang diperoleh menggunakan

jumlah pasien sebagai cost driver (pemicu).

Lama Hari Rawat Pasien JKN Rawat Inap Psikiatri


𝐴𝑙𝑜𝑘𝑎𝑠𝑖 =
Total pasien (rawat inap dan rawat jalan)

63523
𝐴𝑙𝑜𝑘𝑎𝑠𝑖 = = 13,56%
468558

Cost Recovery Rate

Rumus yang digunakan dalam penentuan CRR adalah

Total Pendapatan
𝐶𝑅𝑅 = 𝑥 100%
Total Biaya

Tabel 4.11 Pendapatan dan Biaya

No Uraian Tarif Ina CBG’s Tarif RS


1 TOTAL PENDAPATAN 11,819,502,700 12,390,317,478
2 Total Biaya Rumah Sakit Langsung 22,283,601,532 22,283,601,532
3 Total Biaya Tidak Langsung 11,652,974,235.46 11,652,974,235.46
4 TOTAL BIAYA 33,936,575,767.46 33,936,575,767.46

Cost Recovery Rate Tarif Ina CBG’s

Berdasarkan perhitungan tersebut di atas, untuk pola tarif Ina CBG’s, cost recovery rate

yang didapat adalah 34.83%. Artinya biaya pemulihan di RSMM Bogor bagi pasien rawat

inap psikiatri hanya sebesar 35% saja dari biaya yang dikeluarkan rumah sakit terhadap

mereka.

11.819.502.700
𝐶𝑅𝑅 = 𝑥 100%
33.936.575.767,46

= 34.83%
Cost Recovery Rate Tarif Riil Rumah Sakit

Perhitungan cost recovery rate yang dihasilkan oleh pendapatan berdasarkan tarif riil

rumah sakit adalah sebagai berikut :

12.390.317.478
𝐶𝑅𝑅 = 𝑥 100%
33.936.575.767,46

= 36.51 %

Berdasarkan perhitungan tersebut di atas, untuk pola tarif riil rumah sakit, cost recovery

rate yang didapat adalah 36.51 %. Artinya biaya pemulihan di RSMM Bogor bagi pasien

rawat inap psikiatri hanya sebesar 37 % saja dari biaya yang dikeluarkan rumah sakit terhadap

mereka.

Pembahasan

Dari data pendapatan yang berasal dari pasien dengan jaminan JKN yang menjalani rawat

inap psikiatri, didapat hasil bahwa pendapatan selama Tahun 2015 adalah sebesar Rp.

11,819,502,700 dari 1.737 orang pasien psikiatri. Pendapatan ini adalah total tarif Ina CBG’s

yang diklaimkan ke BPJS Kesehatan sebagai Pengelolan JKN. Pada prinsipnya pendapatan di

Tahun 2015 mengalami penurunan dikarenakan banyak hal yang terjadi, yaitu adanya

renovasi bangunan terhadap ruangan rawat inap psikiatri. Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki

Mahdi merupakan rumah sakit vertical dibawah Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan,

sehingga untuk operasional masih mendapatkan bantuan anggaran dari APBN. Selama ini

anggaran yang berasal dari pendapatan rumah sakit sendiri (BLU) hanya sekitar 46% dari

total pendapatan, hal ini masih jauh dari harapan yaitu sekitar Rp. 161 M.

Pendapatan ini juga merupakan dampak dari tingginya LOS pada pasien psikiatri yaitu 30

hari, BOR yang rendah yaitu 58% (kurang dari target 65%). Hal ini kemungkinan karena

kurangnya promosi terhadap pelayanan di rumah sakit, terutama pelayanan psikiatri, lalu

kurangnya pengawasan dan evaluasi terhadap lama hari rawat.

Pada Biaya Tidak Langsung, biaya terbesar terdapat pada biaya beban pegawai dan beban
penyusutan. Hal ini dikarenakan pegawai di rumah sakit jumlahnya melebihi 100% total

tempat tidur yang ada, sehingga terjadi pembebanan yang cukup besar bagi pembayaran

biaya pegawai tersebut. Selain itu, biaya penyusutan juga relatif cukup besar, karena pasien

psikiatri menempati ruangan yang sudah sangat lama (sejak jaman belanda). Dan juga karena

wilayah rawatnya sangat besar, sekitar 60% dari total wilayah rumah sakit.

Hasil perhitungan dari CRR menunjukkan bahwa CRR pasien rawat inap psikiatri dengan

menggunakan tarif Ina CBG’adalah 34.83 % sedangkan terhadap tarif rumah sakit adalah

sebesar 36.51 %. Kedua hasil CRR tersebut sangat jauh di bawah batas standar CRR yaitu

100%. Karena apabila CRR dibawah 100% berarti unit pelayanan tersebut beroperasi pada

keadaan defisit dan sangat bergantung kepada subsidi. Sebaliknya, bila tingkat CRR diatas

100% berarti unit tersebut memperoleh keuntungan/profit. Hal ini sejalan dengan Gani (1994)

dalam Bachtiar (2011) yang berpendapat bahwa untuk rumah sakit pemerintah, tingkat

pemulihan biaya ini masih rendah yaitu sekitar 35%. CRR rumah sakit masih sangat rendah.

Demikian juga dengan penelitian Marzuki, Darmawansyah, & Yusri Ab (2014) menyatakan

bahwa CRR rumah sakit pemerintah di Indonesia termasuk sangat rendah, yaitu hanya 20%.

Hal ini disebabkan karena rumah sakit milik pemerintah perhitungan CRR hanya

menggunakan variabel cost, dan tidak menghitng biaya tetap dan biaya operasional. Karena

kedua biaya tersebut tetap di tanggung oleh pemerintah (Marzuki, Darmawansyah, & Yusri

Ab, 2014).

Sejalan dengan pernyataan tersebut di atas, hasil wawancara dengan tim tariff RSMM,

menyatakan bahwa unit cost yang dihitung pada Tahun 2012, sebagai awal mulanya RSMM

mempunyai tarif sendiri, dilakukan hanya dengan menggunakan biaya yang berasal dari

operasional Badan Layanan Umum saja. Tidak memperhitungkan biaya yang berasal dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau lazim disebut Rupiah Murni (RM).

Hal ini sesuai dengan arahan dari Kementrian Kesehatan sebagai pengampu yang
menyatakan demikian disaat pembentukan tarif Tahun 2012.

Hasil CRR memberikan arti bahwa RSMM Bogor, mengalami defisit pada pelayanan

rawat inap psikiatri bagi peserta JKN pada Tahun 2015. Hal ini menjelaskan mengapa pada

Tahun 2015 sampai sekarang pendapatan rumah sakit mengalami penurunan. Seperti

penelitian sebelumnya terhadap tarif Ina CBG’s yang menyatakan bahwa CRR tarif Ina

CBG’s berada di bawah 100% (Aulia & Supriadi, 2015). Jika dibandingkan kedua hasil

tersebut, CRR terhadap tarif rumah sakit masih lebih baik dibandingkan dengan CRR

terhadap tarif Ina CBG’s. dengan demikian, RSMM Bogor harus mulai menata diri, dengan

memulai mengumpulkan data yang akurat terhadap semua pengeluaran dan pendapat agar

dapat dianalisa dengan menggunakan ABC sistem, sehingga keakuratan pembiayaan dapat

dihitung dengan baik, dan bisa mengevaluasi tarif yang ada selama ini serta melakukan

efisiensi terhadap pengeluaran biaya yang tidak perlu.

Selisih yang nyata pada tarif Ina CBG’s dengan tarif riil (aktual) yaitu rata-rata Rp. -

570.814.778 menyatakan bahwa pembayaran pasien JKN dengan menggunakan tarif Ina

CBG’s berada di bawah tarif rumah sakit yang berlaku. Walaupun rumah sakit saat ini masih

mendapat subsidi pembiayaan dari Negara (APBN) tetapi pada kenyataannya, sebagai sebuah

rumah sakit BLU, RSMM harus berbenah sehingga dapat meningkatkan pendapatan rumah

sakit. Peningkatan pendapat ini dapat meningkatkan biaya operasional yang selama ini

dipenuhi oleh negara melalui anggaran APBN yang rencananya awal Tahun 2017 akan terjadi

penurunan alokasi biaya APBN tersebut.

Cost Recovery Rate (CRR) dapat digunakan sebagai pedoman untuk menjalankan efisiensi

yang harus dilaksanakan oleh RSMM dalam program peningkatan pendapatan adalah

penurunan LOS pasien rawat inap psikiatri, karena seperti penelitian sebelumnya bahwa

lama rawat berpengaruh terhadap selisih total tarif antara tarif Ina CBG’s dengan tarif riil

rumah sakit. Selain LOS, evaluasi terhadap clinical pathway setiap bulan harus mulai
dijalankan karena CP yang baik akan membuat efisiensi pada pelayanan rawat inap. Clinical

Pathway sebaiknya dilakukan selama pasien menjalani rawat inap. Bukan hanya dilakukan

pada unit Pshyciatric High Care Unit (PHCU) saja. Sehingga semua dokter bisa bersama-

sama melakukan prinsip efisiensi pembiayaan. Jika melihat laporan dari Kepala Instalasi

Rawat Inap tentang evaluasi pelaksanaan CP pada 3 CP di rawat inap psikiatri, baru

mencapai 75%, maka hal ini sebaiknya ditingkatkan dengan evaluasi di tingkat nonstruktural

(Komite Medik maupun SMF Psikiatri). setidaknya dengan melakukan evaluasi maka akan

terjadi komunikasi efektif diantara para dokter penanggung jawab dengan manajemen rumah

sakit.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Cost Recovery Rate (CRR) berdasarkan tarif Ina CBG’s pada pasien JKN yang menjalani

rawat inap psikiatri di RS. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2015 adalah sebesar

34.83 %. Hal ini masih jauh dibawah batas CRR yang baik, yaitu 100%.

2. Cost Recovery Rate (CRR) berdasarkan tarif rumah sakit pada pasien JKN yang menjalani

rawat inap psikiatri di RS. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Tahun 2015 adalah sebesar

36.51 %. Inipun masih jauh dibawah batas CRR yang baik, yaitu 100%.

3. Selisih antara CRR pada tarif riil rumah sakit dan CRR pada tarif Ina CBG’s yang didapat

tidak terlalu jauh berbeda, yaitu hanya 1.05 % saja. Ini menegaskan bahwa tarif Ina

CBG’s yang diterapkan pada pasien rawat inap psikiatri, tidak terlalu berbeda dengan tarif

riil rumah sakit yang ada. Walaupun terlihat tidak bermasalah, tetapi jika melihat kepada

standar CRR yang baik adalah > 100%, maka kedua hasil CRR ini adalah sebuah masalah,

karena daya pemulihannya rendah


Saran

1. Rutin melakukan peninjauan Clinical Pathway untuk case ini mengacu kepada

keilmuan terbaru.

2. Melakukan perhitungan tarif rumah sakit dengan metode activity based costing,

walaupun dalam kenyataannya jika tarif yang terlalu tinggi, akan berpengaruh terhadap

kunjungan pasien. Tarif yang baik adalah tarif yang tetap mengikuti kaidah willingness

to pay dan ability to pay.

3. Melakukan evaluasi pada seluruh lini di rumah sakit dengan membangun Tim Casemix

yang kuat dan jelas tugas pokoknya serta mampu menangani semua masalah yang

terjadi.

4. Meningkatkan efisiensi pada setiap pengeluaran dengan selalu mensosialisasikan

utility review pada setiap pertemuan di jajaran manajerial, komite medik dan tim

casemix. Efisiensi juga harus dilakukan terutama pada biaya umum seperti penggunaan

listrik, air, perlengkapan kantor serta pada pemakaian obat dan tindakan medis dengan

mengetatkan penggunaan Clinical Pathway dan Protocol Therapi

5. Memperbaiki mutu rekam medis, mutu klaim dan percepatan klaim. Hal ini perlu

dilakukan agar setiap kegiatan menghasilkan nilai. Adanya pelatihan bagi petugas

rekam medis dan pasien jaminan serta adanya pertemuian bulanan yang membahas

permasalahan dan solusi pada klaim JKN, maka akan meningkatkan mutu pelayanan

klaim

6. Melakukan sosialisasi kepada seluruh pegawai di lingkungan rumah sakit agar mereka

sadar biaya terhadap kondisi saat ini. Salah satu cara yang disarankan adalah dengan

melakukan pelatihan kepada semua pihak yang terkait

Anda mungkin juga menyukai