MAKALAH
KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN KESEHATAN PERORANGAN
PERSPEKTIF PROVIDER DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA
Kelompok 3
Kelompok 4
Dede Haschodir 2106676530
Dian Pratiwi Andini 2006505423
Dina Fitriani 2106676581
Uswatun Khasanah 2106777196
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan YME, atas segala nikmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kebijakan dan
Manajemen Kesehatan Perorangan Perspektif Provider”. Tugas ini disusun dalam rangka
memenuhi penilaian pada Mata Kuliah Manajemen dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Tahun 2022.
Penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. dr. Anhari
Achadi S.K.M., Sc.D sebagai dosen mata kuliah ini yang telah meluangkan waktu, pikiran
dan tenaganya demi keberlangsungan pembelajaran mata kuliah ini. Penulis menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan. Maka dari itu, kami
mengharapkan koreksi dan saran yang membangun demi perbaikan di masa yang akan
datang.
Hormat kami,
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................................................1
1.2. Tujuan....................................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................................3
2.1. Reimbursement Terhadap Penyedia Layanan Kesehatan............................................................3
2.1.1. Unit Pembayaran.................................................................................................................3
2.1.2. Definisi Metode Pembayaran...............................................................................................4
2.1.3. Rencana Perawatan Terkelola..............................................................................................4
2.2. Metode Pembayaran Dokter.......................................................................................................5
2.2.1. Pembayaran per Prosedur: Biaya-untuk-Layanan................................................................5
2.2.2. Pembayaran sesuai Episode Penyakit..................................................................................6
2.2.3. Payment per Patient: Capitation/ Pembayaran Per Pasien: Kapitasi.....................................8
2.2.4. Pembayaran per Waktu : Gaji............................................................................................13
2.3 Metode Pembayaran Rumah Sakit.............................................................................................14
2.3.1. Pembayaran dengan Prosedur : Fee for Service.................................................................14
2.3.2. Pembayaran per Hari: Per Diem........................................................................................15
2.3.3. Pembayaran per Episode Rawat Inap : Diagnosis-Related Group.....................................16
2.3.4. Pembayaran per Pasien: Kapitasi.......................................................................................16
2.3.5. Pembayaran per Institusi : Anggaran Global......................................................................17
BAB III KESIMPULAN...................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1. Mengetahui proses reimbursement terhadap penyedia layanan kesehatan
2. Mengetahui bagaimana metode pembayaran kepada Dokter
3. Mengetahui bagaimana metode pembayaran Rumah Sakit
1
1.3 Ruang Lingkup
Ruang Lingkup dalam makalah ini adalah :
1. Reimbursement terhadap penyedia layanan kesehatan
2. Rencana Perawatan Terkelola (Managed care plans) dan penerapannya di Indonesia
3. Metode pembayaran kepada Dokter
4. Metode pembayaran Rumah Sakit
BAB II
PEMBAHASAN
3
Kesehatan di Indonesia secara umum telah diatur dalam Pasal 24 UU SJSN tahun 2004. Baik
mengenai cara menetapkan besarnya pembayaran, waktu pembayaran dan pengembangan
sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
Jaminan Kesehatan. Besarnya pembayararan kepada Fasilitas Kesehatan untuk setiap wilayah
ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara BPJS dan asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah
tersebut (UU SJSN, 2004).
4
Dokter atau rumah sakit dibayar satu jumlah untuk semua layanan yang diberikan
selama satu penyakit, seperti halnya dengan biaya bedah global untuk dokter dan
DRGs untuk rumah sakit
3. Pembayaran Per Diem ke Rumah Sakit
Rumah sakit dibayar untuk semua layanan yang diberikan kepada pasien selama 1
hari.
4. Pembayaran kapitasi
Satu pembayaran dilakukan untuk setiap perawatan pasien selama satu bulan atau satu
tahun.
5. Pembayaran untuk Semua Layanan yang Diberikan kepada Semua Pasien dalam
Jangka Waktu Tertentu
Ini termasuk pembayaran anggaran global rumah sakit dan pembayaran gaji dokter.
Pembiayaaan kesehatan dengan sistem pembiayaan yang tepat diharapkan akan
mencapai tujuan pembiayaan kesehatan seperti mendorong peningkatan mutu,
mendorong layanan berorientasi pasien, mendorong efisiensi, dan mendorong pelayanan
tim. Hal ini sangat penting dalam implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014
Tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs), metode
pembayaran pemberi layanan seperti Rumah Sakit di Indonesia secara garis besar dibagi
menjadi dua yaitu metode pembayaran retrospektif dan metode pembayaran prospektif.
1. Metode Retrospektif
Metode retrospektif adalah metode pembayaran yang dilakukan atas layanan
kesehatan yang diberikan kepada pasien berdasar pada setiap aktifitas layanan yang
diberikan. Contoh metode pembayaran retrospektif adalah Fee For Services (FFS)
dimana semakin banyak layanan kesehatan yang diberikan semakin besar biaya yang
harus dibayarkan.
Pemberi layanan seperti Rumah Sakit atau dokter dibayar pada setiap tindakan
yang dilakukan, misalnya pemasangan infus, EKG, atau setiap visit dokter dll.
Metode ini merupakan satu-satunya yang melakukan pembayaran pada setiap
komponen sendiri-sendiri/individual pada pelayanan kesehatan dimana metode lain
adalah berdasarkan grouping atau kelompok(Bodenheimer, 2012).
Dari sisi pemberi layanan, pembayaran dengan metode restrospektif
mempunyai kelebihan seperti risiko keuangan sangat kecil dan pendapatan RS tidak
5
terbatas. Sedangkan kekurangannya adalah bahwa tidak terdapat insentif untuk yang
memberikan preventive care serta supplier induced-demand.
2. Metode prospektif
Metode pembayaran prospektif adalah metode pembayaran yang dilakukan
atas layanan kesehatan yang besarannya sudah diketahui sebelum pelayanan
kesehatan diberikan. Contoh pembayaran prospektif adalah global budget, Perdiem,
Kapitasi dan case based payment.
Pembayaran untuk Semua Layanan yang Diberikan kepada semua pasien
dalam jangka waktu tertentu termasuk pembayaran gaji kepada pemberi layanan
seperti dokter dan pembayaran global budget. Pengertian global budget menurut
BPJS Kesehatan yaitu “salah satu sistem pembayaran rumah sakit, berdasarkan
pada anggaran atau sejumlah besaran biaya, hasil negosiasi dan disepakati oleh
kedua belah pihak untuk jangka waktu tertentu. Jika dilaksanakan dengan optimal,
global budget dapat meningkatkan kualitas layanan kesehatan”. Pembayaran per
diem adalah pembayaran dihitung per satu hari perawatan dan tindakan di RS.
Sedangkan per kapitasi adalah pembayaran per kepala/per orang dalam waktu 1
bulan atau tahunan(Bodenheimer, 2012; BPJS Kesehatan,2018). Menurut PMK No
52 Tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan
JKN, tarif kapitasi adalah besaran pembayaran perbulan yang dibayar di muka oleh
BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jumlah
peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan
kesehatan yang diberikan.
Kelebihan pembayaran dengan metode prospektif ditinjau dari sisi provider
yaitu: pembayaran yang lebih adil dan sesuai dengan kompleksitas pelayanan, serta
proses klaim lebih cepat. Sedangkan kekurangannya adalah kualitas koding yang
menyebabkan ketidaksesuaian proses pengelompokan kasus (grouping).
Di Indonesia, berdasarkan kebutuhan dan tujuan dari implementasi
pembayaran kesehatan maka sistem pembiayaan yang dipilih adalah metode
prospektif dengan alasan: dapat mengendalikan biaya kesehatan, mendorong
pelayanan kesehatan tetap bermutu sesuai standar, mengurangi kemungkinan over
treatment dan under treatment, mempermudah administrasi klaim, dan mendorong
provider untuk melakukan cost containment. Pembayaran prospektif ini dikenal
dengan Casemix (case based payment) yaitu pengelompokan diagnosis dan prosedur
dengan mengacu pada klinis yang mirip/sama dan penggunaan sumber daya/biaya
6
perawatan yang mirip/sama. Metode ini telah digunakan sejak tahun 2008 pada
program JKN.
Pada tahun 2006 sistem casemix pertama di Indonesia dikenal dengan INA-
DRG (Indonesia-Diagnosis Related Group) dengan implementasi sejak tahun 2008.
Perubahan nomenklatur dilakukan tahun 2010 menjadi INA-CBG (Indonesia case
based group). Dasar pengelompokan dalam INA-CBGs menggunakan sistem
kodifikasi dari diagnosis akhir dan tindakan/prosedur yang menjadi output
pelayanan, dengan acuan ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9-CM untuk
tindakan/prosedur.
7
Secara tradisional, dokter dan rumah sakit dibayar berdasarkan metode fee-for-service atau
dibayar berdasarkan satu kali pelayanan. Berkembangnya pelayanan kesehatan membentuk
suatu sistem yang disebut managed care plans, sebuah metode yang bertujuan untuk
mengontrol biaya kesehatan yang semakin tinggi dengan berkembangnya teknologi dan obat-
obatan. Managed care plans adalah tipe asuransi kesehatan yang memiliki kontrak dengan
fasilitas layanan kesehatan baik klinik pratama, utama, maupun rumah sakit, serta layanan
kesehatan penunjang seperti laboratorium dan radiologi untuk menyediakan layanan bagi
anggota asuransi dengan biaya yang telah disepakati, seringkali dengan biaya yang lebih
murah.
Selain untuk kontrol biaya, managed care adalah sebuah sistem yang menggabungkan antara
pelayanan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan upaya-upaya untuk memindahkan risiko
layanan kesehatan sehingga tercapai efisiensi dalam pemberian pelayanan kesehatan pada
pasien. Tujuannya selain untuk kendali biaya, adalah untuk memberikan efektivitas dan
menjamin mutu layanan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat. Dalam
perkembangannya, managed care memberi kontribusi positif seperti:
8
2. Insentif bagi Layanan Preventif
Dikarenakan biaya preventif lebih murah dibandingkan dengan kuratif, managed care
plans menaruh perhatian besar untuk preventif. Biasanya medical check-up, skrining,
dan beberapa vaksinasi dijamin oleh asuransi jenis ini.
Penerapan di BPJS Kesehatan salah satunya adalah sistem kapitasi bagi fasyankes
primer yang menekankan semakin banyak orang sehat yang tergabung dalam sistem
kapitasi fasyankes primer tersebut, akan semakin sedikit biaya pengobatan yang
dikeluarkan oleh fasyankes primer. Untuk menjaga orang-orang tetap sehat, ada
dorongan untuk melakukan tindakan preventif seperti promosi kesehatan, skrining,
pemanatuan berkala untuk penyakit kronis. BPJS Kesehatan juga sudah menanggung
vaksinasi dasar dan pemeriksaan dasar skrining untuk penyakit tertentu, tetapi belum
untuk general medical check-up.
5. Formularium Obat-obatan
Managed Care Plans seringkali memiliki formularium obat-obatan tersendiri, berisi
obat-obat mana yang ditanggung oleh asuransi tersebut, seringkali bersifat generik,
bukan obat-obat paten. Kembali, hal ini untuk mengurangi biaya. Di Indonesia, BPJS
Kesehatan mengeluarkan formularium nasional berisi obat-obatan yang dapat
ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Terdapat beberapa jenis dari managed care, yaitu fee-for-service dengan proses peninjauan
penggunaan layanan kesehatan, preferred provider organizations (PPO) dan Health
Maintenance Organizations (HMO). [understanding health policy] Akan tetapi, terdapat
beberapa variasi seperti Point of Service (POS) dan Exclusive Provider Organization (EPO).
10
adalah untuk mencegah tindakan-tindakan yang tidak perlu atau obat-obatan yang
terlalu mahal supaya mengurangi biaya kesehatan per episode perawatan.
Di Indonesia, model ini seringkali dipakai oleh asuransi-asuransi swasta untuk
layanan rawat inap di Rumah Sakit dengan mengirimkan lembar medis awal dan
lembar medis lanjutan. Seringkali, sebelum melakukan tindakan baik laboratorium
ataupun operasi, asuransi akan menanyakan indikasi dan informasi tambahan terkait
tindakan sebelum memutuskan apakah akan membayar tindakan tersebut atau tidak.
11
kapitasi, perbedaannya adalah biaya tidak langsung diterima oleh dokter,
melainkan pada grup IPA tersebut, dilakukan cost-pooling untuk biaya
rujukan, dan sisa dari cost-pooling tersebut nanti dijadikan insentif bagi
dokter-dokter yang tergabung.
12
layanan itu (Bodenheimer et al, 2007). Sistem RBRVS membuat upaya yang agak lemah
untuk mengoreksi bias pembayaran dokter yang secara historis membayar untuk prosedur
bedah dan lainnya pada tingkat yang jauh lebih tinggi daripada perawatan primer dan layanan
kognitif. Pada tahun 1998, Dr. Weisman dibayar hampir 15% dari biaya operasi Dr. Lenz,
dibandingkan dengan 6% dari biaya tersebut pada tahun 1988, sebelum munculnya RBRVS.
Rencana perawatan terkelola PPO sering kali membayar dokter kontrak dengan
potongan biaya untuk layanan dan memerlukan otorisasi sebelumnya untuk prosedur yang
mahal. Dengan pembayaran fee-for-service, dokter memiliki insentif ekonomi untuk
melakukan lebih banyak layanan karena lebih banyak layanan menghasilkan lebih banyak
pembayaran. Insentif fee-for-service untuk menyediakan lebih banyak layanan berkontribusi
pada peningkatan pesat dalam biaya perawatan kesehatan di Amerika Serikat (Relman,
2007).
Berikut contoh kasus pembayaran per prosedur: biaya-untuk-layanan: Roy Sweet,
pasien Dr. Weisman, terlihat menderita diabetes baru-baru ini. Dr Weisman menghabiskan 20
menit melakukan pemeriksaan, tes glukosa darah fingerstick, urinalisis, dan EKG. Setiap
layanan memiliki biaya yang ditetapkan oleh Dr. Weisman: $92 untuk kunjungan kompleks,
$8 untuk tes glukosa jari, $15 untuk urinalisis, dan $70 untuk EKG. Karena Mr. Sweet tidak
diasuransikan, Dr. Weisman mengurangi total tagihan dari $185 menjadi $90. Pada tahun
1988, Dr. Lenz, seorang dokter mata, meminta Dr. Weisman melakukan konsultasi medis
untuk Gertrude Rales, yang menderita gagal jantung kongestif dan aritmia setelah operasi
katarak. Dr. Weisman membutuhkan waktu 90 menit untuk melakukan konsultasi dan
dibayar $100 oleh Medicare. Dr Lenz telah menghabiskan 90 menit pada operasi ditambah
perawatan pra dan pasca operasi dan menerima $1600 dari Medicare. Pada tahun 1998, Dr.
Weisman melakukan konsultasi serupa untuk Dr. Lenz dan menerima $130; Dr Lenz dikirim
$900 untuk operasi.
Melissa High, penerima Medicaid, melakukan tiga kunjungan ke Dr. Weisman untuk
hipertensi. Dia menagih Medicaid $92 untuk satu kunjungan kompleks dan $52 masing-
masing untuk dua kunjungan singkat. Dia dibayar $26 per kunjungan, 40% dari total
biayanya. Di bawah Medicaid, Dr. Weisman tidak boleh menagih Ms. High untuk sisa
biayanya.
Dr Weisman mengontrak Blue Cross untuk merawat pasien PPO dengan 70% dari biaya
normalnya. Rick Payne, seorang pasien PPO, datang dengan sakit kepala parah dan
ditemukan memiliki kelemahan lengan kiri dan hiperrefleksia. Dr Weisman dibayar $84,40
13
untuk kunjungan yang kompleks. Sebelum pemindaian magnetic resonance imaging (MRI)
dapat dipesan, PPO harus dimintai izin.
14
Joan Flemming mengeluh batuk, demam, dan dahak berwarna hijau selama 1 minggu. Dr.
Violet Gramm menganalisis apusan dahak dan memerintahkan rontgen dada dan membuat
diagnosis pneumonia. Dia memperlakukan Ms. Flemming sebagai pasien rawat jalan dengan
azitromisin, memeriksanya seminggu sekali selama 3 minggu. Dengan sistem berbasis
episode eksperimental, Dr. Gramm dibayar satu biaya untuk semua layanan dan prosedur
untuk pengobatan pneumonia Ms. Flemming.
15
penyesuaian risiko menggunakan ukuran-ukuran dengan menilai keadaan kesehatan individu
atau risiko layanan perawatan kesehatan yang dibutuhkan (Brown et al, 2010).
Kapitasi memiliki manfaat potensial sebagai cara untuk mengendalikan biaya dengan
memberikan alternatif terhadap kelemahan pembayaran fee-for-service. Selain itu, kapitasi
telah membawa pengaruh potensial yang menguntungkan pada organisasi perawatan.
Pembayaran kapitasi mengharuskan pasien untuk mendaftar ke dokter atau sekelompok
dokter. Jumlah pasien yang sudah pasti dalam praktik perawatan primer menawarkan
keuntungan untuk memantau layanan yang tepat dan perencanaan untuk kebutuhan pasien.
Kapitasi juga berpotensi memungkinkan lebih banyak fleksibilitas dalam cara mengatur dan
memberikan layanan secara paling efektif dan efisien. Misalnya, fee-for-service biasanya
hanya membayar untuk kunjungan langsung ke dokter; di bawah pembayaran kapitasi,
seorang dokter dapat melakukan "kunjungan virtual" melalui email dan telepon untuk
pemantauan tekanan darah atau kontrol diabetes, atau mendelegasikan tugas perawatan
pencegahan rutin kepada perawat atau asisten medis dalam praktik. Kapitasi juga secara
eksplisit didefinisakan, sejumlah uang yang tersedia untuk merawat populasi pasien yang
terdaftar, menyediakan kerangka kerja yang lebih baik untuk alokasi sumber daya yang
rasional dan inovasi dalam mengembangkan cara pemberian layanan yang lebih baik. Bagi
sejumlah dokter perawatan primer, dengan pembayaran kapitasi memberikan pengaruh dan
fleksibilitas atas cara terbaik mengatur layanan tambahan dan khusus.
16
antibiotik. Jennifer tidak membayar uang pada saat kunjungan dan tidak menerima tagihan.
Dr Liston dibayar $ 12 per bulan untuk merawat Jennifer, tidak peduli berapa kali dia
membutuhkan perawatan. Ketika Jennifer berlanjut menderita radang usus buntu dan
memerlukan x-ray dan konsultasi bedah, Dr Liston mengirimnya ke h sakit setempat untuk
layanan ini; pembayaran untuk layanan rujukan ini dimasukkan ke dalam anggaran
operasional rumah sakit yang dibayar secara terpisah oleh National Health Service.
Gambar Struktur Pembayaran Kapitasi Dua Tingkat. (Bodenheimer & Grumbach, 2012),
Understanding Health Policy A Clinical Approach 6th Ed, p 35
17
CapCap Associates IPA. Smart-Care membayar CapCap Associates biaya kapitasi bulanan
sebesar $60 atas nama George untuk semua dokter dan layanan rawat jalan terkait. CapCap
Associates selanjutnya membayar Dr. Bunch biaya kapitasi bulanan sebesar $15 untuk
melayani sebagai dokter perawatan primer George. George mengembangkan gejala obstruksi
urin yang konsisten dengan hiperplasia prostat jinak. Dr. Bunch memerintahkan beberapa tes
laboratorium dan merujuk George ke ahli urologi untuk sistoskopi. Laboratorium dan ahli
urologi menagih CapCap Associates berdasarkan fee-for-service dan dibayar oleh IPA dari
kumpulan uang (disebut kumpulan risiko) yang telah disisihkan IPA dari pembayaran
kapitasi yang diterima CapCap Associates dari Smart-Care. Pada akhir tahun, CapCap
Associates memiliki sisa uang dalam kumpulan risiko layanan diagnostik dan spesialis ini,
kemudian mendistribusikan pendapatan surplus ini ke PCP sebagai bonus.
Gambar Struktur Pembayaran Kapitasi Tiga Tingkat I. (Bodenheimer & Grumbach, 2012),
Understanding Health Policy A Clinical Approach 6th Ed, p 37
Memilah aliran pembayaran dan sifat pembagian risiko menjadi sulit dalam jenis
struktur kapitasi tiga tingkat ini. Di sebagian besar HMO tiga tingkat, risiko keuangan untuk
layanan diagnostik dan spesialis ditanggung oleh organisasi IPA secara keseluruhan dan
tersebar di antara semua PCP yang berpartisipasi dalam IPA. Pada 1980-an dan 1990-an,
jenis IPA CapCap Associates sering memberikan insentif keuangan kepada PCP untuk
18
membatasi penggunaan layanan diagnostik dan spesialis dengan mengembalikan dana surplus
yang tersisa kepada dokter ini pada akhir tahun. Metode penggantian ini dikenal sebagai
pembayaran kapitasi-plus-bonus. Semakin jarang penggunaan layanan diagnostik dan
spesialis, semakin tinggi bonus akhir tahun untuk dokter IPA. Pengaturan ini mendapat kritik
karena munculnya konflik kepentingan untuk PCP karena pendapatan pribadi mereka
meningkat dengan menolak layanan diagnostik dan khusus untuk pasien mereka (Rodwin,
1993). Baru-baru ini beberapa organisasi perawatan terkelola mulai mengaitkan pembayaran
bonus dengan ukuran kualitas atau “pay for performance” daripada hanya karena faktor
pengendalian biaya. Anggaran yang cukup besar harus disiapkan untuk menyiapkan sistem
ini karena biaya administrasi cukup besar baik untuk rencana kesehatan maupun IPA.
Jenis kapitasi tiga tingkat yang kedua adalah, Saudara laki-laki George, Steve, bekerja
untuk perusahaan yang sama dengan George dan juga memiliki asuransi SmartCare. Steve,
bagaimanapun, memperoleh perawatan utamanya dari seorang dokter dalam rencana IPA
SmartCare lainnya, Cap-Fee Associates. Seperti CapCap Associates, CapFee Associates
adalah IPA yang menerima $60 per bulan dalam biaya kapitasi untuk setiap pasien yang
terdaftar. Tidak seperti CapCap Associates, CapFee Associates membayar PCP berdasarkan
fee-for-service.
Gambar Struktur Pembayaran Kapitasi Tiga Tingkat II (Bodenheimer & Grumbach, 2012),
Understanding Health Policy A Clinical Approach 6th Ed, p 37
19
Struktur tiga tingkat yang kedua menjadi lebih membingungkan ketika unit
penggantian berbeda antar tingkat. Dimana IPA menerima pembayaran kapitasi dari
rpenjaminkesehatan tetapi kemudian mengganti PCP berdasarkan fee-for-service. Biaya yang
ditagihkan oleh dokter dapat melebihi jumlah uang kapitasi yang diterima IPA dari paket
asuransi untuk membayar dokter dan layanan rawat jalan terkait. Untuk mengurangi risiko
ini, banyak IPA membayar dokter mereka hanya sebagian, mungkin 60% dari tagihan biaya
dan menahan 40% lainnya. Jika ada uang yang tersisa pada akhir tahun, dokter menerima
sebagian dari uang yang ditahan. Merupakan keuntungan finansial bagi dokter untuk
menjadwalkan kunjungan pasien sebanyak mungkin karena dokter menerima bayaran untuk
setiap kunjungan. Namun jumlah kunjungan pasien IPA yang besar secara keseluruhan, serta
tingginya penggunaan laboratorium dan studi x-ray dan layanan spesialis, akan
menghabiskan anggaran IPA, sehingga meningkatkan kemungkinan IPA bisa bangkrut,
meninggalkan dokternya yang belum dibayar.
20
dokter yang memperoleh gaji tahunan tanpa tunjangan untuk uang lembur, volume kunjungan
pasien yang tinggi dapat berubah dari 8 jam sehari menjadi 12 jam sehari tanpa peningkatan
pendapatan.
HMO dan kelompok dokter dapat memberikan bonus kepada dokter yang digaji jika
biaya keseluruhan kurang dari jumlah yang dianggarkan atau jika dokter melakukan
perawatan berkualitas tinggi (pembayaran untuk kinerja).
21
Kwin Mock Wong dirawat di Rumah Sakit karena perdarahan ulkus lambung. Di akhir masa
perawatannya selama 4 hari, Rumah Sakit mengirimkan tagihan tujuh halaman senilai
$14.000 kepada Blue Cross, asuransi Tn. Wong.
22
2. Tom Thompson, peserta di HMO yang sama, dirawat karena gagal jantung kongestif. Dia
menerima furosemide intravena selama 3 hari dan kondisinya membaik. Tes diagnostik
terbatas pada rontgen dada, EKG, dan pemeriksaan darah dasar. Rumah sakit menerima $
4800, sementara biaya Rumah Sakit adalah $ 4200.
2.3.3. Pembayaran per Episode Rawat Inap : Diagnosis-Related Group
Metode pembayaran DRG untuk pasien Medicare dimulai pada tahun 1983. Daripada
membayar RS berdasarkan biaya untuk layanan, Medicare membayar sekaligus untuk setiap
perawatan RS dengan besaran pembayaran tergantung pada diagnosis pasien. Sistem DRG
telah melangkah lebih jauh dari pembayaran per diem dalam layanan bundling menjadi satu
pembayaran. Pembayaran per diem menyatukan semua layanan yang dilakukan selama satu
hari, DRG menyatukan semua layanan yang dilakukan selama satu episode perawatan RS.
Dengan sistem DRG, program Medicare berisiko untuk jumlah episode perawatan RS,
sementara RS berisiko untuk lamanya hari rawat inap dan sumber daya yang digunakan
selam perawatan di RS. Medicare tidak memiliki kepentingan finansial atas lama masa
perawatan. Sebaliknya, RS sangat berkepentingan dengan lama hari perawatan dan jumlah
prosedur mahal yang dilakukan. Rawat inap yang lama dan mahal menghasilkan kerugian
finansial bagi RS sedangkan rawat inap yang singkat menghasilkan keuntungan. Oleh karena
itu, RS melakukan tinjauan pemanfaatan (utilization review) untuk mengurangi biaya yang
dikeluarkan oleh pasien Medicare. Berikut contoh kasus Pembayaran per Episode Rawat
Inap: Diagnosis-Related Group:
Bill adalah pria berusia 67 tahun yang masuk Rumah Sakit karena edema paru akut. Dia
dirawat dengan furosemide dan oksigen di ruang gawat darurat, menghabiskan 36 jam di
Rumah Sakit, dan dipulangkan. Biaya Rumah Sakit adalah $5200. Rumah sakit menerima
pembayaran DRG $ 7000 dari Medicare.
Will adalah pria berusia 82 tahun yang masuk rumah sakit karena edema paru akut. Meskipun
pengobatan berulang dengan furosemide, captopril, digoxin, dan nitrat, ia tetap gagal jantung.
Dia membutuhkan telemetri, tes darah harian, beberapa rontgen dada, elektrokardiogram, dan
ekokardiogram, dan akhirnya dipulangkan pada hari kesembilan di Rumah Sakit. Biaya rawat
inapnya di Rumah Sakit $ 23.000 dan Rumah Sakit menerima $ 7000 dari Medicare.
23
2.3.4. Pembayaran per Pasien: Kapitasi
Dengan pembayaran kapitasi, RS menghadapi risiko penerimaan pasien, lama hari
perawatan, dan sumber daya yang digunakan. Dengan kata lain, RS menanggung semua
risiko dan biasanya perusahaan Asuransi tidak menanggung risiko. Pembayaran kapitasi ke
RS ini hampir menghilang sebagai metode pembayaran. Berikut contoh kasus Pembayaran
per Pasien atau kapitasi :
1. Jane terdaftar di Blue Cross HMO, yang mengontrak Rumah Sakit Kelas Atas untuk
merawat Jane jika dia membutuhkan rawat inap. Kelas atas menerima $60 per bulan
sebagai biaya kapitasi untuk setiap pasien yang terdaftar di HMO. Jane sehat, dan selama
36 bulan dia menjadi anggota HMO, Rumah Sakit menerima $2160, meskipun Jane tidak
pernah menginjakkan kaki di rumah sakit.
2. Wayne juga terdaftar di Blue Cross HMO. Dua puluh empat bulan setelah
pendaftarannya, ia mengidap Pneumocystis carinii pneumonia, dan dalam 12 bulan
berikutnya ia menghabiskan 6 minggu di Rumah Sakit Kelas Atas dengan biaya $ 35.000.
Kelas atas menerima total $ 2160 (biaya kapitasi $ 60 per bulan selama 36 bulan) untuk
perawatan Wayne
24
sakit yang dikeluarkan dari perawatan Tn. Samuels, dan tidak ada pembayaran kapitasi yang
dilakukan dari perusahaan asuransi ke Rumah Sakit.
25
3. Pembatas pelayanan kesehatan yang tidak diperlukan berlebihan atau under use;
4. Mempermudah administrasi klaim; dan
5. Mendorong provider untuk melakukan cost containment (pengendalian biaya)
26
disampaikan oleh pasien dan waktu untuk menjelaskan informasi tentang penyakit pasien
menjadi singkat karena terkesan terburu-buru sehingga pasien merasa kurang jelas dan
akhirnya pasien menjadi tidak puas. Salah satu penyebabnya aspek komunikasi, pesan
menjadi tidak jelas karena ungkapan yang tidak dikenal oleh si penerima pesan atau
berkomunikasi yang tidak maksimal. Hal ini didukung oleh Sunarto menyatakan bahwa
komunikasi berpengaruh terhadap kualitas pelayanan yang mengandung arti bahwa
semakin tinggi/baik komunikasi yang dilakukan, maka akan semakin tinggi/baik kualitas
pelayanannya karena komunikasi dapat memberikan kejelasan informasi maka
pencapaian tujuan akan lebih mudah tecapai (Sisyani dkk, 2016).
Hasil penelitian yang dilakukan Sisyani (2016), kualitas pelayanan di RSU PKU
Muhammadiyah Bantul menyatakan ada perbedaan kualitas pelayanan antara sistem
pembayaran INA-CBGs dengan Fee For Service yang mana mengatakan lebih baik
sistem pembayaran Fee For Service (FFS) tetapi responden mengatakan lain bahwa
sistem pembayaran lebih baik dengan INA-CBGs/BPJS karena pasien merasa beban
pembayaran rumah sakit berkurang dengan adanya jaminan kesehatan. Hal ini juga
didukung oleh penelitian Puspa dalam Sisyani (2016), yang melakukan penelitian
berjudul perbedaan kualitas pelayanan Puskesmas Kelurahan Sukorame kecamatan
Mojoroto kota Kediri berdasarkan Sistem pembayaran ditinjau dari persepsi konsumen
hasil penelitian menunjukkan bahwa, ada perbedaan kualitas layanan yang diberikan oleh
puskesmas terhadap pasien berdasarkan sistem pembayaran yang digunakan. Pasien
pengguna sistem pembayaran langsung mendapatkan kualitas layanan yang lebih baik
dibandingkan dengan dua sistem pembayaran yang lain. Hasil penelitian ini didukung
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh sulistyo mengatakan bahwa terdapat
hubungan antara sistem pembiayaan dengan kualitas Pelayanan yang membuktikan
bahwa sistem pembiayaan akan mempengaruhi pada sikap dan perilaku pemberi
pelayanan kesehatan, ekspektasi terhadap pasien turun pada sistem kapitasi, meningkat
pada sistem fee for service dan akhirnya juga mempengaruhi pada dimensi kualitas
pelayanan yang diberikan. Kualitas pelayanan akan turun pada sistem asuransi/Jaminan
Kesehatan sedangkan pada sistem pembiayaan langsung akan naik (Sisyani dkk, 2016).
31
b. Prosedur Besar Rawat Jalan Group - 2
c. Prosedur Signifikan Rawat Jalan Group - 3
d. Rawat Inap Bukan Prosedur Group - 4
e. Rawat Jalan Bukan Prosedur Group - 5
f. Rawat Inap Kebidanan Group - 6
g. Rawat Jalan kebidanan Group - 7
h. Rawat Inap Neonatal Group - 8
i. Rawat Jalan Neonatal Group - 9
j. Error Group-0
iii. Kode CBGs
Sub-group ketiga menunjukkan spesifik CBGs yang dilambangkan dengan numerik
mulai dari 01 sampai dengan 99.
iv. Severity Level
Sub-group keempat merupakan resource intensity level yang menunjukkan tingkat
keparahan kasus yang dipengaruhi adanya komorbiditas ataupun komplikasi dalam
masa perawatan. Keparahan kasus dalam INA-CBG terbagi menjadi :
a) “0” Untuk Rawat jalan
b) “I - Ringan” untuk rawat inap dengan tingkat keparahan 1 (tanpa komplikasi
maupun komorbiditi)
c) “II - Sedang” Untuk rawat inap dengan tingkat keparahan 2 (dengan mild
komplikasi dan komorbiditi)
d) “III - Berat” Untuk rawat inap dengan tingkat keparahan 3 (dengan komplikasi
mayor dan komorbiditi)
Istilah ringan, sedang dan berat dalam deskripsi dari Kode INA CBGs bukan
menggambarkan kondisi klinis pasien maupun diagnosis atau prosedur namun
menggambarkan tingkat keparahan (severity level) yang dipengaruhi oleh diagnosis
sekunder (komplikasi dan komorbiditi).
32
d. Tarif Rumah Sakit Kelas C
e. Tarif Rumah Sakit Kelas D
f. Tarif Rumah Sakit Khusus Rujukan Nasional
g. Tarif Rumah Sakit Umum Rujukan Nasional
Regionalisasi, tarif terbagi atas 5 Regional yang didasarkan pada Indeks Harga
Konsumen (IHK) dan telah disepakati bersama antara BPJS Kesehatan dengan
Asosiasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan.
Terdapat pembayaran tambahan (Top Up) dalam sistem INA CBGs untuk kasus –
kasus tertentu yang masuk dalam special casemix main group (CMG) ,meliputi :
i. Special Prosedure
ii. Special Drugs
iii. Special Investigation
iv. Special Prosthesis
v. Special Groups Subacute dan Kronis
3. Tidak ada perbedaan tarif antara rumah sakit umum dan khusus, disesuaikan
dengan penetapan kelas yang dimiliki untuk semua pelayanan di rumah sakit
berdasarkan surat keputusan penetapankelas yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kesehatan RI.
4. Tarif INA CBGs merupakan tarif paket yang meliputi seluruh komponen
sumber daya rumah sakit yang digunakan dalam pelayanan baik medis
maupun non medis. Untuk Rumah Sakit yang belum memiliki penetapan
kelas, maka tarif INA CBGs yang digunakan setara dengan Tarif Rumah Sakit
Kelas sesuai regionalisasi masing-masing.
Peraturan Presiden nomor 28 tahun 2016 mengamanatkan tarif ditinjau
sekurang-kurangnya setiap 2 (dua) tahun. Upaya peninjauan tarif dimaksudkan
untuk mendorong agar tarif makin merefleksikan actual cost dari pelayanan yang
telah diberikan rumah sakit. Selain itu peninjauan tarif berfungsi untuk
meningkatkan keberlangsungan sistem pentarifan yang berlaku, mampu
mendukung kebutuhan medis yang diperlukan dan dapat memberikan reward
terhadap rumah sakit yang memberikan pelayanan dengan outcome yang baik.
Hal penting lainnya agar rumah sakit mampu melakukan pelayanan sesuai dengan
keadilan, efektif dan melakukan pengendalian biaya pelayanan kesehatan dengan
baik.
33
5. Regionalisasi
Regionalisasi dalam tarif INA CBGs dimaksudkan untuk mengakomodasi
perbedaan biaya distribusi obat dan alat kesehatan di Indonesia. Dasar penentuan
regionalisasi digunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari Badan Pusat Statistik
(BPS), pembagian regionalisasi dikelompokkan menjadi 5 regional, dapat dlihat
dalam tabel berikut :
34
penelitian Sari (2014) yang menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan antara tarif
RS dengan tarif INA CBGs pada pasien diabetes mellitus. Pada penelitian tersebut
juga menunjukkan bahwa tarif INA CBGs lebih tinggi dari tarif RS. Meskipun
penelitian lain yang dilakukan Wang et al (2015) menunjukkan bahwa pada kasus
kasus penyakit tertentu tarif yang dibayarkan asuransi lebih rendah bila dibandingan
tarif RS. Penelitian Yuniarti et al (2015) juga menunjukkan tarif INA CBGs lebih
rendah dibanding dengan tarif RS. Tarif INA CBGs sebagaimana yang kita ketahui
disusun berdasarkan metode prospektif, sehingga di masa mendatang, menurut
peneliti perhitungan tarif RS tidak lagi berdasarkan perhitungan biaya retrospektif.
Sehingga penting bagi RS untuk menentukan prosedur standar menangani penyakit
dengan clinical pathways. Sehingga di era JKN, tim RS dapat melakukan pelayanan
yang optimal, efisien dan efektif (Rahayuningrum, 2017). Penggunaan sistem INA
CBGs ini dilihat belum efektif, hal tersebut diperoleh dari hasil penelitian yang
menunjukkan kecenderungan besaran biaya INA CBGs lebih besar dibanding Fee
For Service terutama untuk kasus-kasus Non Bedah. Sebaliknya untuk kasus-kasus
Bedah kecenderungan biaya INA CBGs jauh lebih rendah dibanding Fee For Service
(Putra et al, 2014).
Terdapat 3 strategi utama RS bila dibayar dengan mekanisme INA-CBGs
yaitu efisien di setiap kasusnya, memaksimalkan tagihan di setiap klaimnya dan
meningkatkan jumlah kasus. Strategi ini dapat ditempuh dengan cara yang positif
namun tidak jarang RS menempuh dengan cara yang tidak diharapkan oleh pengambil
kebijakan (unintended consequences) misalnya merujuk pasien yang dianggap kurang
mentungkan (dumping), memulangkan pasien lebih awal ketika masih membutuhkan
perawatan (bloody/early discharge), meminta pasien untuk datang kembali berobat di
rumah sakit (readmisi, supply induced demand), mengurangi layanan kesehatan, dan
pemberian layanan tambahan (gaming) untuk mendapatkan grup dengan bayaran
lebih tinggi serta mengganti kode untuk mendapatkan tarif yang lebih besar (up-
coding) (Idris dkk, 2021).
Jaminan kesehatan menggunakan sistem tarif ING-CBGs yang berlaku untuk
Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus, milik pemerintah dan milik swasta
yang bekerja sama dalam program BPJS. Penerapan tarif paket INA-CBGs menuntut
Rumah Sakit untuk mampu mengefisiensi biaya dan mengoptimalkan pengelolaan
keuangan rumah sakit, serta melakukan kendali mutu, kendali biaya dan akses melalui
penghitungan biaya pelayanan dari masing-masing Clinical Pathway. Sehingga rumah
35
sakit bisa lebih efisien terhadap biaya perawatan yang diberikan kepada pasien, tanpa
mengurangi mutu pelayanan. Hal ini didukung oleh alwi bahwa pembayaran dengan
jaminan kesehatan mampu menekan biaya rumah sakit dua kali lebih sedikit daripada
fee for service dan tidak menimbulkan dampak negatif pada kepuasan pasien (Sisyani
dkk, 2016).
Menggunakan jaminan kesehatan di rumah sakit dapat mencegah pemberian
pelayanan kesehatan yang berlebihan (overutilization) karena rumah sakit
memberikan pelayanan sesuai dengan Clinical Pathway sehingga menjadi lebih
efektif dalam mengendalikan biaya kesehatan. Sedangkan sistem pembiayayan Fee
For Service (FFS) pasien dapat mempengaruhi dokter untuk memberikan pelayanan
terbaik untuk dirinya sehingga pelayanan menjadi boros. Dalam hal ini sistem
pembiayaan kesehatan yang efektif dan efisien adalah sistem jaminan kesehatan. Hal
ini didukung oleh Charles, dkk yang menyatakan bahwa perawatan yang berkualitas
adalah perawatan lebih murah, lebih baik, lebih efisien, dan tidak boros (Sisyani dkk,
2016).
Pemerintah menjamin tidak akan ada perbedaan jumlah dan kualitas
pengobatan yang diberikan kepada masyarakat dalam program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN). Meskipun harga paket pelayanan kesehatan berbeda pada tiap
wilayah berdasarkan regionalisasi, namun dengan sistem paket Indonesia-Case Based
Groups (INA-CBG's), kualitas pelayanan pengobatan tetap sama di setiap wilayah.
Obatnya tidak berbeda dalam jumlah dan kualitas di regional manapun, selama paket
dan penyakitnya sama. Perbedaan hanya pada harga yang diwujudkan dalam tarif
paket yang tidak sama (Sisyani dkk, 2016).
Berdasarkan hasil penelitian Isnaini tahun 2011 dengan judul “Kesesuaian
Kode yang Dibuat antara Lembar Case-Mix dengan Sistem Software INA-DRGs
Pasien Rawat Inap Tindakan Bedah di RSUD Dr. R Koesma Tuban” menunjukkan
bahwa pengisian kode di bangsal dilakukan oleh perawat sedangkan untuk pengisian
kode di instalasi case-mix INA-DRGs dilakukan oleh petugas coding. Angka
ketidaksesuaian kode diagnosis yang dibuat berjumlah 39,22%, dan angka kesesuaian
kode yang dibuat berjumlah 60,78%. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat
ketidaksesuaian kode yang dibuat antara lembar case-mix dan sistem software INA-
DRGs pasien rawat inap tindakan bedah. Faktor yang menyebabkan ketidaksesuaian
kode yang dibuat adalah SDM, sistem yang dipakai dan infrastruktur. Dampak yang
dihasilkan dari ketidaksesuaian kode diagnosis antara lembar case-mix dan sistem
36
software INA-DRGs yaitu apabila dalam pengkodean terjadi kesalahan dalam
memasukkan kode diagnosis penyakit ke sistem software maka akan memberikan
implikasi yang besar kepada jumlah reimbursement, grouping INA-DRGs akan betul
dan rumah sakit akan mendapatkan reimbursement yang cukup apabila dalam
memasukkan diagnosis utama betul, dan jika dalam memasukkan diagnosis utama
kedalam sistem software INA-DRGs salah maka biaya DRG dapat berubah yang
rendah kepada biaya DRG yang tinggi (Ode dkk, 2015).
Terjadi dampak buruk penyesuaian sistem pembayaran rumah sakit terhadap
kualitas layanan rawat inap akibat implementasi DRG. Perubahan kualitas layanan
rawat inap pasca perubahan sistem pembayaran rumah sakit telah banyak terjadi
khususnya di Amerika Serikat. Rata-rata durasi rawat inap turun drastis pasca
penerapan sistem pembayaran prospektif dalam bentuk Diagnosis- Related
Groups/DRG. Pengurangan durasi rawat inap menjadi salah satu strategi rumah sakit
untuk menghemat biaya untuk memaksimalkan keuntungan dengan memanfaatkan
selisih antara tarif DRG dengan biaya rawat inap yang sesungguhnya. Setidaknya di
Amerika Serikat, strategi ini telah berhasil menghemat biaya pelayanan rawat inap
yang berimplikasi pada peningkatan keuntungan rumah sakit. Disisi lain, durasi rawat
inap yang lebih singkat dari seharusnya, setelah mempertimbangkan diagnosa dan
tingkat keparahan, menjadi indicator upaya rumah sakit untuk menurunkan biaya dan
meningkatkan keuntungan dengan memulangkan pasien lebih cepat (Ode dkk, 2015).
38
aplikasi primary care untuk melihat tren utilisasi pada setiap FKTP (Kurnia &
Nurwahyuni, 2017).
40
Gambar 2. Alur Penghitungan Global Budget
Pada global budget 2019, selisih antara besaran budget dengan realisasi klaim
cukup rendah bahkan dibawah 1% pada tingkat kabupaten, walaupun selisih di tingkat
RS melebihi 5% pada RS Sayang Ibu. Hal ini terjadi karena terdapat
pergeseran/shifting pasien dari RS Prof. Hanafiah ke RSIA Sayang Ibu khususnya
pada kasus Ibu dan Anak bertepatan dengan pengembangan layanan di rawat jalan
dan fasilitas di RSIA Sayang Ibu berupa penambahan jumlah tempat tidur di Kelas 1
sehingga mampu melayani lebih banyak pasien dari sebelumnya. Pengembangan
layanan di RSIA Sayang Ibu ini tidak serta merta meningkatkan kapasitas RS dari
aspek kemampuannya menangani kasus yang lebih parah karena realisasi CMI nya
relatif tetap dibandingkan saat penghitungan global budget. Rendahnya realisasi
casemix rawat inap RS Prof. Hanafiah akibat rendahnya jumlah kunjungan rawat inap
diimbangi dengan tingginya casemix rawat jalan. Tingginya realisasi casemix rawat
jalan (lebih tinggi 5,1% dari global budget) disebabkan oleh adanya penambahan
fasilitas Hemodialisis di tahun berjalan yang sebelumnya tidak dimiliki oleh RS.
Temuan ini menunjukkan bahwa pada kondisi yang normal, global budget dapat
dihitung menggunakan metodologi yang telah ditetapkan. Selain itu penghitungan
global budget di tingkat kabupaten/kota lebih bagus hasilnya dibandingkan dengan
menghitung global budget langsung di tingkat RS karena mengakomodir shifting
pasien dari RS yang satu ke RS yang lainnya karena perubahan kapasitas RS (Idris
dkk, 2021).
Terdapat pergeseran yang cukup signifikan antara budget 2020 yang sudah
dihitung sebelumnya dengan realisasi klaimnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa
variabel kunci yaitu jumlah peserta, jumlah kunjungan, casemix dan casemix index
seperti dijelaskan di bawah ini.
a. Jumlah Peserta
41
Jumlah peserta merupakan variabel yang sangat krusial karena variable ini
sangat terkait erat dengan jumlah kunjungan yang akan terjadi. Disamping jumlah
peserta secara total, jumlah peserta menurut hak kelas kamar juga menjadi penting
mengingat besaran klaim akan berbeda sesuai dengan hak kelas rawat. Dari hasil
evaluasi diketahui bahwa terdapat selisih negatif antara prediksi jumlah peserta
dengan realisasinya di semua kabupaten kota serta terjadi perubahan pola
persebaran jumlah peserta menurut hak kelas rawat. Hampir di semua kabupaten
kota terjadi kenaikan proporsi peserta kelas 3 kecuali di Kota Bogor. Hal ini terjadi
karena kenaikan Iuran pada kelas 1 dan kelas 2. Sementara itu di Kota Bogor
terjadi kenaikan proporsi peserta kelas 1 akibat perpindahan peserta dari kelas 2 ke
kelas 1 menyusul adanya kebijakan kenaikan UMR di wilayah tersebut. Selain itu
kenaikan iuran dan kondisi pandemi juga mempengaruhi kemampuan membayar
peserta khususnya PBPU (Idris dkk, 2021).
b. Jumlah Kunjungan
Jumlah kunjungan sangat dipengaruhi oleh jumlah peserta. Bergesernya
realisasi jumlah peserta dibandingkan dengan prediksinya membuat prediksi
jumlah kunjungan yang dihitung sebelumnya tidak tercapai. Disamping itu terdapat
perubahan proporsi jumlah kunjungan menurut hak kelas rawat diakibatkan
perubahan proporsi jumlah peserta. Sebagai contoh proporsi jumlah kunjungan
rawat inap di kelas 2 mengalami penurunan yang cukup tajam diiringi kenaikan
kunjungan rawat inap di kelas 1, sesuai perubahan proporsi jumlah peserta menurut
hak kelas rawat (Idris dkk, 2021)..
Selain penurunan jumlah peserta, adanya pancemi Covid-19 memberikan
dampak yang sangat besar bagi rumah sakit. Terjadi penurunan jumlah kunjungan
di rumah sakit secara signifikan. Penurunan jumlah kunjungan bervariasi antar
kabupaten kota. Penurunan jumlah kunjungan rawat inap terbesar hingga mencapai
50 % dan hingga 90% pada rawat jalan di bulan April 2020. Pada bulan September
2020, jumlah kunjungan rawat inap dan rawat jalan berkisar 40-60% dari angka
yang semestinya (Idris dkk, 2021)..
Terdapat fenomena yang sama di semua kabupaten kota dimana RS
mengalami penurunan jumlah kasus JKN baik rawat inap maupun rawat jalan
terutama pada RS Rujukan Covid (biasanya RSUD dan RS swasta terpilih). Hal ini
disebabkan karena masyarakat enggan periksa ke RS bila tidak dalam kondisi
darurat, masyarakat yang menderita penyakit non covid enggan periksa di RS
42
rujukan covid, tutupnya poli karena dokter spesialisnya berusia lanjut, ditutupnya
RS (baik poli rawat jalan maupun IGD) selama beberapa hari karena Nakes
terinfeksi Covid serta kebijakan Pemda yang mengatur RS Rujukan Covid hanya
menerima pasien Covid (Idris dkk, 2021).
Uniknya terdapat beberapa RS yang jumlah kunjungannya relatif tetap bahkan
mengalami peningkatan di masa pandemi. Hampir semua RS khusus Ibu dan Anak
memiliki jumlah kunjungan yang tetap bahkan meningkat karena terdapat shifting
pasien Ibu dan Anak yang biasanya datang ke RSUD (RS Rujukan Covid) beralih
ke RSIA. Hal ini terlihat dari turunnya proporsi kasus persalinan di RSUD.
Disamping itu kasus persalinan merupakan kasus yang penanganannya tidak dapat
ditunda sehingga mengharuskan pasien untuk datang ke RS. Namun demikian
terdapat beberapa RSU yang meningkat jumlah kunjungannya baik rawat inap
maupun rawat jalan karena melakukan pengembangan layanan dan fasilitas yang
signifikan pada tahun berjalan. Rumah Sakit Nyi Ageng Serang Kulonprogo
membuka pelayanan rawat inap kelas 1 dan kelas 2 pada tahun 2020 dimana
sebelumnya hanya memiliki pelayanan kelas 3 saja. Rumah Sakit Harapan
Keluarga Sumedang juga mengembangkan pelayanan rawat jalan dan rawat
inapnya sehingga realisasi kunjungannya melebihi penghitungan global budget
(Idris dkk, 2021).
44
2. Fluktuasi jumlah peserta karena adanya kebijakan eksternal merupakan variabel
yang berkontribusi terhadap selisih antara budget dan realisasi klaim.
3. Perubahan (penambahan atau penurunan) kapasitas RS termasuk perubahan tipe RS
dalam tahun berjalan sangat mempengaruhi besarnya gap antara global budget dan
realisasi klaim. Selisih ini tidak hanya terjadi pada RS yang bersangkutan namun
juga pada RS lainnya karena adanya shifting pasien antar RS.
4. Perubahan kepemimpinan di RS mengharuskan adanya upaya sosialisasi yang terus
menerus oleh KC BPJS.
5. Ketersediaan sistem informasi di RS yang sangat bervariasi berpengaruh terhadap
kesiapan RS dalam menyiapkan data klaim yang dibutuhkan dalam penghitungan
global budget. Terdapat beberapa rumah sakit yang akhirnya menggunakan data dari
BPJS Kesehatan karena tidak memiliki data klaim secara utuh.
6. Pada tahun 2020 terdapat 2 RS di Kabupaten Tanah Datar yang telah mendapatkan
dana global budget per termin. Tantangan yang dihadapi oleh BPJS Kesehatan
adalah menyiapkan kebijakan dan sistem yang mengakomodir pemberian dana per
termin serta memastikan ketersediaan anggaran pada periode tertentu sesuai dengan
kesepakatan yang dibuat. Selain itu perlu dibuat sistem yang mempermudah proses
penghitungan global budget dan monitoring-evaluasinya terhadap pemanfaatan
pelayanan kesehatan dan realisasi Global Budget.
7. Pada tahun 2021, pemberian dana global budget per termin akan diberlakukan pada
30 RS. Terdapat RS yang saat ini mengalami krisis manajemen keuangan sehingga
muncul diskusi penggunaan uang muka yang akan diberikan per termin guna
menutupi defisit RS. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan potensi
penyalahgunaan dana dan pengurangan cakupan sehingga dirasa diperlukan
mekanisme untuk memastikan kinerja keuangan rumah sakit.
Sistem Pembayaran Mix method global budget dapat digunakan sebagai alternatif
pembayaran guna menjaga budget secara nasional namun perlu dikembangkan model
untuk memprediksi jumlah kunjungan karena kepesertaan JKN yang masih fluktuatif
sebelum Universal Health Coverage (UHC) dari sisi peserta tercapai. Pada kondisi
normal, metodologi penghitungan global budget yang diterapkan cukup akurat untuk
memprediksi kebutuhan pendanaan di RS. Selain itu penghitungan global budget di
tingkat Kabupaten/Kota lebih bagus hasilnya dibandingkan dengan menghitung global
budget langsung di tingkat RS karena mengakomodir shifting pasien dari RS yang satu
ke RS yang lainnya karena perubahan kapasitas RS (Idris dkk, 2021)..
45
Untuk mengelola perubahan kapasitas di tahun berjalan sebaiknya dibuat pengaturan
rentang waktu perubahan kapasitas yang akan ditolerir oleh penghitungan Global
Budget. Keterlibatan dan peran BPJS Kesehatan dan Dinas Kesehatan dalam
perencanaan pelayanan Kesehatan di kabupaten/kota harus ditingkatkan agar terjadi
sinkronisasi antara supply layanan dengan demand peserta JKN. Hal ini bisa ditempuh
dengan penguatan koordinasi antar lembaga, sehingga RS tidak berjalan sendiri dalam
pengembangan layanannya. Melalui mekanisme ini maka efisiensi pelayanan kesehatan
akan lebih mudah tercapai (Idris dkk, 2021)..
Global Budget tidak dapat berjalan sendiri namun perlu di implementasikan bersama
intervensi lain untuk mencapai tujuannya (penguatan FKTP, Indikator yang lain seperti
readmisi, kasus rujukan, kasus outlier dan inlier dan lain lain). Penguatan FKTP sebagai
gate keeper juga harus dilakukan secara paralel dengan implementasi global budget agar
tujuan efisiensi dapat tercapai. Dengan semakin kuatnya FKTP sebagai gate keeper maka
tingkat rujukan ke RS dapat dikendalikan. Penguatan FKTP ini sangat memerlukan
dukungan dari Pemda terutama Dinas Kesehatan yang membawahi Puskesmas. Upaya
penguatan FKTP untuk menekan angka rujukan juga dilakukan oleh BPJS. Saat ini telah
dilakukan beberapa kajian diantaranya adalah layanan refraksi, telemedicine dan
pelayanan gigi (Idris dkk, 2021).
46
BAB III
KESIMPULAN
Selama tahun 1990-an, keinginan untuk meminimalisir biaya yang dikeluarkan, mencetuskan
mekanisme perubahan pembayaran kepada dokter dan RS yaitu:
1. Perusahaan asuransi swasta, Medicare dan Medicaid mengganti metode pembayaran
fee for service, yang mendorong penggunaan lebih banyak layanan. Fee For Service
diganti dengan metode pembayaran yang menyebabkan tekanan bagi dokter dan RS
untuk membatasi jumlah dan biaya layanan yang diberikan. Penggabungan semua
biaya layanan menjadi satu pembayaran cenderung mengalihkan resiko keuangan dari
pembayar (asuransi) ke dokter dan RS.
2. Sebelumnya, tingkat pembayaran sebagian besar ditentukan oleh penyedia
(penggantian biaya yang wajar untuk RS dan dokter). Saat ini tingkat pembayaran
semakin ditentukan oleh negosiasi antara pembayar dan penyedia atau oleh daftar
biaya yang ditetapkan oleh pembayar
Subtitusi kapitasi dan mekanisme paket lainnya digunakan sebagai pengganti fee for
service, sebagian besar untuk pembayaran dokter. Sementara RS pada umumnya dibayar
dengan mekanisme paket.
Salah satu tantangan dalam merancang sistem pembayaran yang optimal adalah
keseimbangan antara insentif untuk overtreatment dan undertreatment (Casalino, 1992 dalam
Bodenheimer & Grumbach, 2008). Layanan Kesehatan Nasional Inggris secara tradisional
menggabungkan unit pembayaran untuk praktisi umum, membayar anggaran global untuk
biaya overhead (misalnya, sewa kantor dan staf), pembayaran kapitasi untuk setiap pasien
yang terdaftar dalam praktik, dan pembayaran fee for service secara selektif untuk layanan
pencegahan (misalnya vaksinasi dan pap smear) dan beberapa kunjungan rumah. Di Amerika
Serikat, beberapa organisasi perawatan terkelola mengikuti contoh Inggris, menciptakan
pembayaran campuran untuk dokter yang mencakup unsur kapitasi dan biaya layanan
Robinson, 1999 dalam Bodenheimer & Grumbach, 2008). Inovasi ini memiliki potensi untuk
menyeimbangkan insentif overtreatment dan undertreatment. (Bodenheimer & Grumbach,
2012)
47
DAFTAR PUSTAKA
CIGNA. What is Managed Care? [Internet]. Cigna Health and Life Insurance Company
(CHLIC). 2022 [cited 2022 Feb 26]. Available from:
https://www.cigna.com/individuals-families/understanding-insurance/what-is-
managed-care
Heryana A. Asuransi Kesehatan & Managed Care. Jakarta: Universitas Esa Unggul; 2021.
130–140 p.
MedlinePlus. Managed Care [Internet]. National Library of Medicine. 2018 [cited 2022 Feb
26]. Available from: https://medlineplus.gov/managedcare.html#:~:text=Managed care
plans are a,depends on the network’s rules
48
pembayar mandiri bpjs kesehatan kota makassar. Jurnal Kesehatan, 4 (3 ): 283 ± 290
Sisyani, Firman Pribadi, Mariska Urhmila. 2016. Perbedaan Kualitas Pelayanan Pada Sistem
Pembayaran INA-CBGs Dengan Fee For Service Di RS PKU Muhammadiyah Bantul.
Jurnal Asosiasi Dosen Muhammadiyah Magister Administrasi Rumah Sakit Vol.2 No. 2.
Undang-undang Nomer 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Undang-undang Nomer 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Wijayani, Rina Wahyu. 2018. Dampak Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) Terhadap Kinerja Keuangan Rumah Sakit Vertikal Kementerian Kesehatan.
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI. Vol. 07: No. 03.
Ode Dina W, Karimuna S R, Sabril M. 2015. Studi Penerapan Sistem Pembayaran Layanan
Kesehatan Dengan Sistem Diagnosis Penyakit (Indonesia Case Based Groups / INA-
CBGs) Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Bahteramas Kota Kendari Tahun
2015. Jimkesmas : UHO.
Sulastomo. 2005. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Penyelenggara Jaminan Kesehatan.
Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Thabrany, Hasbullah. 2014. Jaminan Kesehatan Nasional. Depok: RajaGrafindo Persada.
Kurnia AN, Nurwahyuni A. 2017. Analisis Perhitungan Kapitasi pada Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama yang Bekerja Sama dengan BPJS Kesehatan KCU Kota Bogor Tahun
2015. Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia. Volume 2, Nomor 1.
Cots, F., Chiarello, P., Salvador, X., Castells, X., & Quentin, W. (2011). DRG-based hospital
payment: Intended and unintended consequences. In R. Busse, A. Geissler, W. Quentin,
& M. Wiley, Diagnosis-Related Groups in Europe Moving towards transparency,
efficiency and quality in hospitals. New York: Mc Graw Hill
Suhartoyo. 2018. Klaim Rumah Sakit Kepada BPJS Kesehatan Berkaitan Dengan Rawat
Inap Dengan Sistem INA– CBGs. Adminitrative Law & Governance Journal. Vol. 1
Edisi Khusus 1 . ISSN 2621 – 2781
49