Anda di halaman 1dari 52

UNIVERSITAS INDONESIA

MAKALAH
KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN KESEHATAN PERORANGAN
PERSPEKTIF PROVIDER DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

Diajukan sebagai tugas

MATA KULIAH MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN KESEHATAN

Kelompok 3

Hanna Elisabet Lumbangaol 2106676732


Darwati 2106676511
Jeffrey Christian Mahardhika 2106676865
Uray Cindy Hafinur 2106677325
Yemima Irawanti 2106677376

Kelompok 4
Dede Haschodir 2106676530
Dian Pratiwi Andini 2006505423
Dina Fitriani 2106676581
Uswatun Khasanah 2106777196

PROGRAM MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
TAHUN 2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan YME, atas segala nikmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kebijakan dan
Manajemen Kesehatan Perorangan Perspektif Provider”. Tugas ini disusun dalam rangka
memenuhi penilaian pada Mata Kuliah Manajemen dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Tahun 2022.

Penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. dr. Anhari
Achadi S.K.M., Sc.D sebagai dosen mata kuliah ini yang telah meluangkan waktu, pikiran
dan tenaganya demi keberlangsungan pembelajaran mata kuliah ini. Penulis menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan. Maka dari itu, kami
mengharapkan koreksi dan saran yang membangun demi perbaikan di masa yang akan
datang.

Hormat kami,

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................................................1
1.2. Tujuan....................................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................................3
2.1. Reimbursement Terhadap Penyedia Layanan Kesehatan............................................................3
2.1.1. Unit Pembayaran.................................................................................................................3
2.1.2. Definisi Metode Pembayaran...............................................................................................4
2.1.3. Rencana Perawatan Terkelola..............................................................................................4
2.2. Metode Pembayaran Dokter.......................................................................................................5
2.2.1. Pembayaran per Prosedur: Biaya-untuk-Layanan................................................................5
2.2.2. Pembayaran sesuai Episode Penyakit..................................................................................6
2.2.3. Payment per Patient: Capitation/ Pembayaran Per Pasien: Kapitasi.....................................8
2.2.4. Pembayaran per Waktu : Gaji............................................................................................13
2.3 Metode Pembayaran Rumah Sakit.............................................................................................14
2.3.1. Pembayaran dengan Prosedur : Fee for Service.................................................................14
2.3.2. Pembayaran per Hari: Per Diem........................................................................................15
2.3.3. Pembayaran per Episode Rawat Inap : Diagnosis-Related Group.....................................16
2.3.4. Pembayaran per Pasien: Kapitasi.......................................................................................16
2.3.5. Pembayaran per Institusi : Anggaran Global......................................................................17
BAB III KESIMPULAN...................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyedia layanan kesehatan bisa merupakan sebuah institusi (seperti rumah sakit
atau klinik) ataupun orang (seperti dokter, perawat, profesional kesehatan terkait atau
pekerja kesehatan masyarakat) yang menyediakan layanan perawatan bersifat promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif atau paliatif secara sistematis untuk individu, keluarga
atau masyarakat. 
WHO memperkirakan ada 9,2 juta dokter, 19,4 juta perawat dan bidan, 1,9 juta
dokter gigi dan tenaga kedokteran gigi lainnya, 2,6 juta apoteker dan tenaga farmasi
lainnya, dan lebih dari 1,3 juta pekerja kesehatan masyarakat di seluruh dunia,
menjadikan industri perawatan kesehatan salah satu segmen tenaga kerja terbesar. 
Untuk biaya perawatan kesehatan yang dibayarkan ke rumah sakit, dokter, panti
jompo, laboratorium diagnostik, apotek, produsen perangkat medis, dan komponen lain
dari sistem perawatan kesehatan di Amerika Serikat menghabiskan 17,6% dari produk
domestik bruto (PDB) pada tahun 2021, dan ini adalah yang terbesar dari negara-negara
lain di dunia. 
Cara pembayaran penyedia layanan kesehatan memiliki dampak besar pada
volume dan kualitas layanan kesehatan yang akan diberikan. Namun, cara pembayaran
tradisional seperti gaji, fee-for-service, pembayaran gabungan, dan kapitasi tidak secara
gamblang memberi penghargaan kepada penyedia layanan kesehatan karena
memberikan layanan berkualitas lebih baik. Setiap metode pembayaran memberikan
dampak pada kualitas  layanan kesehatan yang bersifat tidak langsung dan sering kali
bersifat insidental. Lebih lanjut lagi dalam pembahasan dalam makalah ini akan lebih
dijelaskan kembali mengenai cara pembayaran terhadap penyedia layanan kesehatan. 

1.2. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1. Mengetahui proses reimbursement terhadap penyedia layanan kesehatan
2. Mengetahui bagaimana metode pembayaran kepada Dokter
3. Mengetahui bagaimana metode pembayaran Rumah Sakit

1
1.3 Ruang Lingkup
Ruang Lingkup dalam makalah ini adalah :
1. Reimbursement terhadap penyedia layanan kesehatan
2. Rencana Perawatan Terkelola (Managed care plans) dan penerapannya di Indonesia
3. Metode pembayaran kepada Dokter
4. Metode pembayaran Rumah Sakit
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Reimbursement Terhadap Penyedia Layanan Kesehatan


Pada bab ini menjelaskan berbagai model pembiayaan perawatan kesehatan,
diantaranya adalah : pembayaran langsung, asuransi kesehatan perorangan, asuransi
kesehatan berbasis pekerjaan, dan pembiayaan pemerintah. Masing-masing mekanisme ini
berusaha untuk memecahkan masalah pembiayaan perawatan yang tidak terjangkau untuk
kelompok tertentu, tetapi setiap "solusi" pada gilirannya menciptakan masalah baru dengan
menstimulasi kenaikan biaya perawatan kesehatan yang cepat. Salah satu faktor penyumbang
inflasi ini adalah reimbursement biaya dokter dan rumah sakit oleh perusahaan asuransi dan
program pemerintah. Oleh karena itu, metode reimbursement baru telah dicoba sebagai salah
satu cara untuk menurunkan tingkat pertumbuhan biaya perawatan kesehatan.
Dr. Mary Young baru saja menyelesaikan residensi kedokteran dan bergabung dengan
praktik dokter kelompok kecil, pada Primary Care. Pada hari pertamanya, dia memiliki
pengalaman berikut dengan pembiayaan perawatan kesehatan: pasien pertamanya
diasuransikan oleh Blue Shield; Primary Care membayar biaya untuk pemeriksaan fisik dan
untuk elektrokardiogram (EKG) yang dilakukan. Pasien kedua memerlukan layanan yang
sama, dimana Primary Care tidak menerima pembayaran tetapi diteruskan $10 untuk setiap
bulan pasien terdaftar dalam praktik. Sore harinya, seorang dokter peninjau pemanfaatan
rumah sakit memanggil Dr. Young, menjelaskan sistem pembayaran kelompok terkait
diagnosis (DRG), dan menyarankan agar dia mengirim pulang seorang pasien yang dirawat di
rumah sakit dengan pneumonia. Di malam hari, dia pergi ke departemen darurat, di mana dia
setuju untuk bekerja dua shift per minggu dengan upah $85 per jam.
Selama hari-hari biasa, beberapa dokter akan terlibat dengan empat atau lima jenis
reimbursement yang berbeda. Meskipun reimbursement memiliki banyak aspek, mulai dari
penetapan harga hingga pemrosesan klaim, namun demikian materi ini akan berfokus pada
salah satu elemen paling mendasarnya yaitu pada penetapan unit pembayaran.

Reimbursment terhadap pemberi layanan di Indonesia sendiri dapat melalui Program


JKN, yang dimulai dengan diberlakukannya undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). Pembayaran kepada Fasilitas

3
Kesehatan di Indonesia secara umum telah diatur dalam Pasal 24 UU SJSN tahun 2004. Baik
mengenai cara menetapkan besarnya pembayaran, waktu pembayaran dan pengembangan
sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
Jaminan Kesehatan. Besarnya pembayararan kepada Fasilitas Kesehatan untuk setiap wilayah
ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara BPJS dan asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah
tersebut (UU SJSN, 2004).

Waktu pembayaran telah ditentukan bahwa BPJS wajib membayar Fasilitas


Kesehatan atas pelayanan yang diberikan kepada Peserta paling lambat 15 (lima belas) hari
sejak permintaan pembayaran diterima. Dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (2) UU SJSN
dikemukakan “Ketentuan ini menghendaki agar BPJS membayar Fasilitas Kesehatan secara
efektif dan efisien. BPJS dapat memberikan anggaran tertentu kepada suatu rumah sakit di
suatu daerah untuk melayani sejumlah peserta atau membayar sejumlah tetap per kapita per
bulan (kapitasi). Anggaran tersebut sudah mencakup jasa medis, biaya perawatan, biaya
penunjang, dan biaya obat-obatan yang penggunaan rincinya diatur sendiri oleh pimpinan
rumah sakit. Dengan demikian, sebuah rumah sakit akan lebih leluasa menggunakan dana
seefektif  dan seefisien mungkin.” UU SJSN menentukan juga bahwa BPJS mengembangkan
sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
Jaminan Kesehatan (UU SJSN, 2004).

2.1.1. Unit Pembayaran


Metode pembayaran dapat ditempatkan di sepanjang kontinum yang membentang dari
unit yang paling sedikit hingga yang paling teragregasi. Metode berkisar dari yang paling
sederhana (satu biaya untuk satu layanan yang diberikan) hingga yang paling kompleks (satu
pembayaran untuk banyak jenis layanan yang diberikan), dengan banyak variasi.

2.1.2. Definisi Metode Pembayaran


1. Pembayaran Biaya-untuk-Layanan
Satuan pembayaran adalah kunjungan atau prosedur. Dokter atau rumah sakit dibayar
untuk setiap kunjungan kantor, EKG, cairan infus, atau layanan atau suplai lain yang
disediakan. Ini adalah satu-satunya bentuk pembayaran yang didasarkan pada
komponen individual perawatan kesehatan. Semua mode reimbursement lainnya
menggabungkan atau mengelompokkan beberapa layanan menjadi satu unit
pembayaran.
2. Pembayaran berdasarkan Episode Penyakit

4
Dokter atau rumah sakit dibayar satu jumlah untuk semua layanan yang diberikan
selama satu penyakit, seperti halnya dengan biaya bedah global untuk dokter dan
DRGs untuk rumah sakit
3. Pembayaran Per Diem ke Rumah Sakit
Rumah sakit dibayar untuk semua layanan yang diberikan kepada pasien selama 1
hari.
4. Pembayaran kapitasi
Satu pembayaran dilakukan untuk setiap perawatan pasien selama satu bulan atau satu
tahun.
5. Pembayaran untuk Semua Layanan yang Diberikan kepada Semua Pasien dalam
Jangka Waktu Tertentu
Ini termasuk pembayaran anggaran global rumah sakit dan pembayaran gaji dokter.
Pembiayaaan kesehatan dengan sistem pembiayaan yang tepat diharapkan akan
mencapai tujuan pembiayaan kesehatan seperti mendorong peningkatan mutu,
mendorong layanan berorientasi pasien, mendorong efisiensi, dan mendorong pelayanan
tim. Hal ini sangat penting dalam implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014
Tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs), metode
pembayaran pemberi layanan seperti Rumah Sakit di Indonesia secara garis besar dibagi
menjadi dua yaitu metode pembayaran retrospektif dan metode pembayaran prospektif.
1. Metode Retrospektif
Metode retrospektif adalah metode pembayaran yang dilakukan atas layanan
kesehatan yang diberikan kepada pasien berdasar pada setiap aktifitas layanan yang
diberikan. Contoh metode pembayaran retrospektif adalah Fee For Services (FFS)
dimana semakin banyak layanan kesehatan yang diberikan semakin besar biaya yang
harus dibayarkan.
Pemberi layanan seperti Rumah Sakit atau dokter dibayar pada setiap tindakan
yang dilakukan, misalnya pemasangan infus, EKG, atau setiap visit dokter dll.
Metode ini merupakan satu-satunya yang melakukan pembayaran pada setiap
komponen sendiri-sendiri/individual pada pelayanan kesehatan dimana metode lain
adalah berdasarkan grouping atau kelompok(Bodenheimer, 2012).
Dari sisi pemberi layanan, pembayaran dengan metode restrospektif
mempunyai kelebihan seperti risiko keuangan sangat kecil dan pendapatan RS tidak

5
terbatas. Sedangkan kekurangannya adalah bahwa tidak terdapat insentif untuk yang
memberikan preventive care serta supplier induced-demand.
2. Metode prospektif
Metode pembayaran prospektif adalah metode pembayaran yang dilakukan
atas layanan kesehatan yang besarannya sudah diketahui sebelum pelayanan
kesehatan diberikan. Contoh pembayaran prospektif adalah global budget, Perdiem,
Kapitasi dan case based payment.
Pembayaran untuk Semua Layanan yang Diberikan kepada semua pasien
dalam jangka waktu tertentu termasuk pembayaran gaji kepada pemberi layanan
seperti dokter dan pembayaran global budget. Pengertian global budget menurut
BPJS Kesehatan yaitu “salah satu sistem pembayaran rumah sakit,  berdasarkan
pada  anggaran atau sejumlah besaran biaya, hasil negosiasi dan disepakati oleh
kedua belah pihak untuk jangka waktu tertentu. Jika dilaksanakan dengan optimal,
global budget dapat meningkatkan kualitas layanan kesehatan”. Pembayaran per
diem adalah pembayaran dihitung per satu hari perawatan dan tindakan di RS.
Sedangkan per kapitasi adalah pembayaran per kepala/per orang dalam waktu 1
bulan atau tahunan(Bodenheimer, 2012; BPJS Kesehatan,2018). Menurut PMK No
52 Tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan
JKN, tarif kapitasi adalah besaran pembayaran perbulan yang dibayar di muka oleh
BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jumlah
peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan
kesehatan yang diberikan.
Kelebihan pembayaran dengan metode prospektif ditinjau dari sisi provider
yaitu: pembayaran yang lebih adil dan sesuai dengan kompleksitas pelayanan, serta
proses klaim lebih cepat. Sedangkan kekurangannya adalah kualitas koding yang
menyebabkan ketidaksesuaian proses pengelompokan kasus (grouping).
Di Indonesia, berdasarkan kebutuhan dan tujuan dari implementasi
pembayaran kesehatan maka sistem pembiayaan yang dipilih adalah metode
prospektif dengan alasan: dapat mengendalikan biaya kesehatan, mendorong
pelayanan kesehatan tetap bermutu sesuai standar, mengurangi kemungkinan over
treatment dan under treatment, mempermudah administrasi klaim, dan mendorong
provider untuk melakukan cost containment. Pembayaran prospektif ini dikenal
dengan Casemix (case based payment) yaitu pengelompokan diagnosis dan prosedur
dengan mengacu pada klinis yang mirip/sama dan penggunaan sumber daya/biaya
6
perawatan yang mirip/sama. Metode ini telah digunakan sejak tahun 2008 pada
program JKN.
Pada tahun 2006 sistem casemix pertama di Indonesia dikenal dengan INA-
DRG (Indonesia-Diagnosis Related Group) dengan implementasi sejak tahun 2008.
Perubahan nomenklatur dilakukan tahun 2010 menjadi INA-CBG (Indonesia case
based group). Dasar pengelompokan dalam INA-CBGs menggunakan sistem
kodifikasi dari diagnosis akhir dan tindakan/prosedur yang menjadi output
pelayanan, dengan acuan ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9-CM untuk
tindakan/prosedur.

2.1.3. Rencana Perawatan Terkelola


Secara tradisional, dokter dan rumah sakit telah dibayar berdasarkan fee-for-service.
Pengembangan rencana perawatan terkelola memperkenalkan perubahan dalam metode
pembayaran rumah sakit dan dokter, dengan tujuan untuk mengendalikan biaya. Ada tiga
bentuk utama perawatan terkelola: praktik biaya untuk layanan dengan tinjauan pemanfaatan,
Preferred Provider Organizations (PPO), dan Health Maintenance Organizations (HMO).
1. Penggantian Biaya-untuk-Layanan dengan Tinjauan Pemanfaatan.
Ini adalah jenis pembayaran tradisional, dengan tambahan bahwa pembayar pihak
ketiga (apakah perusahaan asuransi swasta atau lembaga pemerintah) mengambil alih
otorisasi untuk mengizinkan atau menolak pembayaran untuk intervensi medis yang
mahal seperti rawat inap di rumah sakit, hari tambahan di rumah sakit, dan operasi.

2. Preferred Provider Organizations (PPO)


PPO adalah organisasi di mana perusahaan asuransi membuat kontrak dengan
sejumlah dokter dan rumah sakit terbatas yang setuju untuk merawat pasien, biasanya
berdasarkan potongan biaya untuk layanan dengan tinjauan pemanfaatan.
3. Health Maintenance Organizations (HMO)
HMO adalah organisasi yang pasiennya diharuskan (kecuali dalam keadaan darurat)
untuk menerima perawatan mereka dari penyedia di dalam HMO tersebut. Beberapa
HMO membayar dokter dan rumah sakit dengan unit pembayaran yang lebih tinggi
(misalnya, per diem, kapitasi, atau gaji).

2.1.4. Rencana Perawatan Terkelola (Managed Care Plans) di Indonesia

7
Secara tradisional, dokter dan rumah sakit dibayar berdasarkan metode fee-for-service atau
dibayar berdasarkan satu kali pelayanan. Berkembangnya pelayanan kesehatan membentuk
suatu sistem yang disebut managed care plans, sebuah metode yang bertujuan untuk
mengontrol biaya kesehatan yang semakin tinggi dengan berkembangnya teknologi dan obat-
obatan. Managed care plans adalah tipe asuransi kesehatan yang memiliki kontrak dengan
fasilitas layanan kesehatan baik klinik pratama, utama, maupun rumah sakit, serta layanan
kesehatan penunjang seperti laboratorium dan radiologi untuk menyediakan layanan bagi
anggota asuransi dengan biaya yang telah disepakati, seringkali dengan biaya yang lebih
murah.

Selain untuk kontrol biaya, managed care adalah sebuah sistem yang menggabungkan antara
pelayanan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan upaya-upaya untuk memindahkan risiko
layanan kesehatan sehingga tercapai efisiensi dalam pemberian pelayanan kesehatan pada
pasien. Tujuannya selain untuk kendali biaya, adalah untuk memberikan efektivitas dan
menjamin mutu layanan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat. Dalam
perkembangannya, managed care memberi kontribusi positif seperti:

- Peningkatan kinerja layanan rujukan


- Penurunan jumlah hari perawatan pasien
- Upaya pencegahan preventif yang dijalankan meningkat
- Memperluas implementasi pengukuran kualitas dan pengendali mutu layanan
kesehatan, yang dapat diambil datanya melalui pengawasan Lembaga berwenang,
audit Lembaga independent (seperti komite akreditasi), survey kepuasan pasien,
keluhan pasien.

Beberapa fitur dari managed care plans adalah:

1. Jaringan Penyedia Layanan Kesehatan


Asuransi yang menerapkan managed care plans memiliki kontrak dengan kelompok-
kelompok layanan kesehatan mulai dari Fasyankes primer, sekunder, tersier, dan
penunjang yang bersedia memberikan layanan dengan harga terjangkau.
Penerapan di Indonesia yang paling jelas adalah BPJS Kesehatan yang bekerja sama
dengan begitu banyak Fasyankes primer mulai dari Puskesmas, Klinik Pratama, RS
mulai dari tipe A hingga tipe D dan menerapkan sistem kapitasi untuk Fasyankes
primer dan Diagnostic-Related Groups (DRG) untuk Rumah Sakit sebagai metode
kontrol biaya.

8
2. Insentif bagi Layanan Preventif
Dikarenakan biaya preventif lebih murah dibandingkan dengan kuratif, managed care
plans menaruh perhatian besar untuk preventif. Biasanya medical check-up, skrining,
dan beberapa vaksinasi dijamin oleh asuransi jenis ini.
Penerapan di BPJS Kesehatan salah satunya adalah sistem kapitasi bagi fasyankes
primer yang menekankan semakin banyak orang sehat yang tergabung dalam sistem
kapitasi fasyankes primer tersebut, akan semakin sedikit biaya pengobatan yang
dikeluarkan oleh fasyankes primer. Untuk menjaga orang-orang tetap sehat, ada
dorongan untuk melakukan tindakan preventif seperti promosi kesehatan, skrining,
pemanatuan berkala untuk penyakit kronis. BPJS Kesehatan juga sudah menanggung
vaksinasi dasar dan pemeriksaan dasar skrining untuk penyakit tertentu, tetapi belum
untuk general medical check-up.

3. Pentingnya Fasilitas Layanan Kesehatan Primer


Asuransi yang menjamin dengan sistem managed care plans akan meminta
anggotanya untuk memilih dokter layanan primer untuk mengkoordinasikan semua
kebutuhan akan layanan kesehatan, baik berobat secara langsung sampai
mengkoordinasikan kapan harus merujuk ke dokter spesialis dan/atau pemeriksaan
penunjang, biasanya sesuai dengan jaringan layanan kesehatan yang sudah ditentukan
sebelumnya.
Dalam sistem BPJS Kesehatan, sistem ini dikenal sebagai rujukan berjenjang dari
dokter layanan primer (fasyankes primer) ke fasyankes sekunder (RS Tipe D, tipe C)
dan fasyankes tersier (RS Tipe B dan A). Pasien hanya bisa dirujuk dengan indikasi
medis secara berjenjang dan sesuai wilayah kerjanya. Fasyankes primer bertugas
sebagai penjaga gerbang untuk membatasi jumlah rujukan yang akan memakan biaya
lebih besar, sehingga fasyankes primer juga dibatasi dengan jumlah rujukan yang
boleh diberikan. Sebagai sistem umpan balik, ada yang disebut rujukan balik dari
Rumah Sakit ke Fasyankes primer untuk penyakit-penyakit kronis yang sudah
terkontrol agar dikontrol oleh Fasyankes primer. Hal ini juga untuk mengurangi biaya
kesehatan.
Pada asuransi swasta, ada beberapa asuransi swasta yang dapat dipakai pada fasilitas
kesehatan tertentu (klinik, laboratorium, rumah sakit) yang bekerja sama, tetapi di
Indonesia, tidak terlalu lazim asuransi swasta yang melakukan penjaminan untuk
9
klinik dokter umum. Hal yang berbeda dengan perusahaan yang memiliki dokter
perusahaan sebagai koordinator kebutuhan layanan kesehatan para karyawannya dan
melakukan perujukan serta otorisasi kapan boleh melakukan pelayanan ke rumah sakit
atau laboratorium.

4. Peninjauan Awal Sebelum Tindakan


Seringkali pada managed care plans, sebelum dilakukan tindakan atau pengobatan
dengan obat-obat tertentu, biasanya yang berbiaya mahal, atau pemeriksaan
diagnostic tertentu, diperlukan otorisasi awal sebelumnya. Tujuannya adalah untuk
kontrol biaya dan supaya tidak dilakukan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Di
Indonesia, hal ini tidak dilakukan BPJS Kesehatan karena kendali mutu dan kendali
biaya sudah dilakukan melalui sistem kapitasi dan DRG. Akan tetapi, hal ini
dilakukan oleh asuransi swasta dengan mengirimkan lembar medis awal dan lembar
medis lanjutan sebelum melakukan tindakan-tindakan tertentu, berisi informasi
tambahan yang diperlukan oleh asuransi mengenai indikasi dan alternatif tindakan
tersebut. Biasanya, lembar ini diisi oleh dokter penanggung jawab pasien (DPJP).

5. Formularium Obat-obatan
Managed Care Plans seringkali memiliki formularium obat-obatan tersendiri, berisi
obat-obat mana yang ditanggung oleh asuransi tersebut, seringkali bersifat generik,
bukan obat-obat paten. Kembali, hal ini untuk mengurangi biaya. Di Indonesia, BPJS
Kesehatan mengeluarkan formularium nasional berisi obat-obatan yang dapat
ditanggung oleh BPJS Kesehatan.

Terdapat beberapa jenis dari managed care, yaitu fee-for-service dengan proses peninjauan
penggunaan layanan kesehatan, preferred provider organizations (PPO) dan Health
Maintenance Organizations (HMO). [understanding health policy] Akan tetapi, terdapat
beberapa variasi seperti Point of Service (POS) dan Exclusive Provider Organization (EPO).

1. Fee-for-Service dengan proses peninjauan penggunaan layanan kesehatan


Tipe ini merupakan tipe tradisional, dimana asuransi kesehatan akan membayar per
layanan kesehatan yang dilakukan, tetapi asuransi kesehatan tersebut memiliki
kemampuan untuk meninjau keperluan tindakan atau layanan kesehatan yang akan
dilakukan dan memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak untuk
membayar layanan kesehatan. Hal ini disebut prior authorization. Tujuan hal ini

10
adalah untuk mencegah tindakan-tindakan yang tidak perlu atau obat-obatan yang
terlalu mahal supaya mengurangi biaya kesehatan per episode perawatan.
Di Indonesia, model ini seringkali dipakai oleh asuransi-asuransi swasta untuk
layanan rawat inap di Rumah Sakit dengan mengirimkan lembar medis awal dan
lembar medis lanjutan. Seringkali, sebelum melakukan tindakan baik laboratorium
ataupun operasi, asuransi akan menanyakan indikasi dan informasi tambahan terkait
tindakan sebelum memutuskan apakah akan membayar tindakan tersebut atau tidak.

2. Preferred Provider Organizations (PPO)


Pada sistem PPO, pengguna layanan dapat memilih salah satu dokter layanan primer
(fasyankes primer) yang dituju dengan jaringannya, tetapi dapat juga berobat di luar
jaringan tersebut. Asuransi akan tetap membayar sebagian dari biaya kesehatan yang
muncul bila berobat di luar jaringan tersebut, tetapi sebagai imbasnya, peserta juga
akan membayar dengan lebih mahal. Pada sistem ini, tidak ada kewajiban untuk
mendatangi Fasyankes Primer sebelum ke Fasyankes Sekunder (dokter spesialis).
Sistem ini banyak dipakai oleh asuransi swasta, bergantung premi dan program yang
diambil.

3. Health Maintenance Organizations (HMO)


Pada sistem HMO, peserta wajib memilih satu Fasyankes Primer dan jaringannya dan
tidak ada opsi untuk berobat di luar jaringan tersebut. Peserta harus dirujuk oleh
Fasyankes Primer ke jaringan Fasyankes sekundernya. Keuntungannya, semua
layanan akan lebih murah dan dijamin 100% oleh asuransi. Terdapat pengecualian
yaitu pada kasus emergensi. Di Indonesia, sistem HMO ini diterapkan oleh BPJS
Kesehatan.
Ada beberapa tipe HMO antara lain:
o Staff-model yaitu dokter sescara langsung menjadi pegawai HMO dan
diberikan imbalan dengan sistem gaji.
o Group-model yaitu HMO mengontrak dokter secara kelompok dan imbalan
berdasarkan kapitasi. Hal ini sesuai dengan BPJS Kesehatan di Indonesia
dengan fasyankes primer.
o Individual Practice Association yaitu HMO mengontrak sejumlah dokter dari
beberapa jenis praktik dan biasanya didasarkan pada fee for service atau

11
kapitasi, perbedaannya adalah biaya tidak langsung diterima oleh dokter,
melainkan pada grup IPA tersebut, dilakukan cost-pooling untuk biaya
rujukan, dan sisa dari cost-pooling tersebut nanti dijadikan insentif bagi
dokter-dokter yang tergabung.

4. Point of Service (POS)


Sistem ini merupakan gabungan antara HMO dan PPO, dimana peserta dapat
memiliki fleksibilitas untuk memilih dokter di dalam atau diluar jaringan seperti PPO,
dengan dampak premi yang lebih mahal, tetapi seperti HMO, harus mendatangi
Fasyankes primer untuk mendapatkan rujukan.

5. Exclusive Provider Organization (EPO)


Sistem ini merupakan gabungan antara HMO dan PPO. Seperti PPO, tidak perlu
menemui fasyankes primer untuk mendapat rujukan, tetapi seperti HMO, ada
kewajiban untuk menemui dokter yang ada dalam jaringan agar dapat ditanggung.

2.2. Metode Pembayaran Dokter


2.2.1. Pembayaran per Prosedur: Biaya-untuk-Layanan 
Secara tradisional, dokter swasta telah diganti oleh pasien dan perusahaan asuransi
melalui mekanisme fee-for-service. Sebelum berlalunya Medicare dan Medicaid, dokter
sering kali mendiskontokan biaya untuk pasien lanjut usia atau pasien miskin, dan bahkan
setelah itu banyak dokter terus membantu orang yang tidak diasuransikan dengan cara ini.
Perusahaan asuransi swasta, serta Medicare dan Medicaid pada tahun-tahun awal, biasanya
mengganti biaya dokter sesuai dengan sistem yang biasa, biasa, dan wajar (UCR), yang
memungkinkan dokter memiliki banyak kebebasan dalam menetapkan biaya. Karena
penahanan biaya menjadi lebih menjadi prioritas, pendekatan UCR terhadap biaya sebagian
besar digantikan oleh jadwal biaya yang ditentukan oleh pembayar. Contohnya adalah tiga
kunjungan Melissa High, yang dikenakan biaya $196 dimana Medicaid hanya membayar $78
($26 per kunjungan).
Pada awal 1990-an, Medicare pindah ke jadwal biaya yang ditentukan oleh skala nilai
relatif berbasis sumber daya (RBRVS). Dengan sistem ini, biaya (yang bervariasi menurut
wilayah geografis) ditetapkan untuk setiap layanan dengan memperkirakan waktu, upaya
mental dan penilaian, keterampilan teknis, upaya fisik, dan stres yang biasanya terkait dengan

12
layanan itu (Bodenheimer et al, 2007). Sistem RBRVS membuat upaya yang agak lemah
untuk mengoreksi bias pembayaran dokter yang secara historis membayar untuk prosedur
bedah dan lainnya pada tingkat yang jauh lebih tinggi daripada perawatan primer dan layanan
kognitif. Pada tahun 1998, Dr. Weisman dibayar hampir 15% dari biaya operasi Dr. Lenz,
dibandingkan dengan 6% dari biaya tersebut pada tahun 1988, sebelum munculnya RBRVS.
Rencana perawatan terkelola PPO sering kali membayar dokter kontrak dengan
potongan biaya untuk layanan dan memerlukan otorisasi sebelumnya untuk prosedur yang
mahal. Dengan pembayaran fee-for-service, dokter memiliki insentif ekonomi untuk
melakukan lebih banyak layanan karena lebih banyak layanan menghasilkan lebih banyak
pembayaran. Insentif fee-for-service untuk menyediakan lebih banyak layanan berkontribusi
pada peningkatan pesat dalam biaya perawatan kesehatan di Amerika Serikat (Relman,
2007).
Berikut contoh kasus pembayaran per prosedur: biaya-untuk-layanan: Roy Sweet,
pasien Dr. Weisman, terlihat menderita diabetes baru-baru ini. Dr Weisman menghabiskan 20
menit melakukan pemeriksaan, tes glukosa darah fingerstick, urinalisis, dan EKG. Setiap
layanan memiliki biaya yang ditetapkan oleh Dr. Weisman: $92 untuk kunjungan kompleks,
$8 untuk tes glukosa jari, $15 untuk urinalisis, dan $70 untuk EKG. Karena Mr. Sweet tidak
diasuransikan, Dr. Weisman mengurangi total tagihan dari $185 menjadi $90. Pada tahun
1988, Dr. Lenz, seorang dokter mata, meminta Dr. Weisman melakukan konsultasi medis
untuk Gertrude Rales, yang menderita gagal jantung kongestif dan aritmia setelah operasi
katarak. Dr. Weisman membutuhkan waktu 90 menit untuk melakukan konsultasi dan
dibayar $100 oleh Medicare. Dr Lenz telah menghabiskan 90 menit pada operasi ditambah
perawatan pra dan pasca operasi dan menerima $1600 dari Medicare. Pada tahun 1998, Dr.
Weisman melakukan konsultasi serupa untuk Dr. Lenz dan menerima $130; Dr Lenz dikirim
$900 untuk operasi.
Melissa High, penerima Medicaid, melakukan tiga kunjungan ke Dr. Weisman untuk
hipertensi. Dia menagih Medicaid $92 untuk satu kunjungan kompleks dan $52 masing-
masing untuk dua kunjungan singkat. Dia dibayar $26 per kunjungan, 40% dari total
biayanya. Di bawah Medicaid, Dr. Weisman tidak boleh menagih Ms. High untuk sisa
biayanya.
Dr Weisman mengontrak Blue Cross untuk merawat pasien PPO dengan 70% dari biaya
normalnya. Rick Payne, seorang pasien PPO, datang dengan sakit kepala parah dan
ditemukan memiliki kelemahan lengan kiri dan hiperrefleksia. Dr Weisman dibayar $84,40

13
untuk kunjungan yang kompleks. Sebelum pemindaian magnetic resonance imaging (MRI)
dapat dipesan, PPO harus dimintai izin.

2.2.2. Pembayaran sesuai Episode Penyakit


Ahli bedah biasanya menerima pembayaran terpisah untuk beberapa layanan
(pembedahan itu sendiri dan perawatan pasca operasi), dan dokter kandungan dibayar dengan
cara yang sama untuk persalinan ditambah perawatan sebelum dan sesudah melahirkan.
Penggabungan pembayaran ini sering disebut sebagai penggantian pada unit kasus atau
episode penyakit. Dengan pembayaran per episode, ahli bedah membatasi jumlah kunjungan
pascaoperasi karena mereka tidak menerima pembayaran ekstra untuk kunjungan tambahan.
Mereka punya kesempatan memiliki pendapatan lebih dengan melakukan lebih banyak
operasi, seperti halnya sistem fee-for-service tradisional. Beberapa merekomendasikan
pembayaran dokter melalui sistem berbasis episode seperti yang digunakan oleh Medicare
untuk penggantian biaya rumah sakit (Pham et al, 2010). Melalui sistem ini biaya akan
dibayarkan untuk satu episode penyakit, tidak peduli berapa kali pasien mengunjungi dokter.
Hal ini, akan sangat membantu untuk memperkenalkan konsep penting tentang risiko.
Risiko mengacu pada potensi kehilangan uang, menghasilkan lebih sedikit uang, atau
menghabiskan lebih banyak waktu tanpa bayaran tambahan. Dalam sistem fee-for-service
tradisional, pihak yang membayar tagihan (perusahaan asuransi, instansi pemerintah, atau
pasien) menanggung semua risiko; jika Dr. Weisman melihat Rick Payne sepuluh kali
daripada lima kali karena sakit kepalanya, Blue Cross membayar lebih banyak uang dan Mr.
Payne menghabiskan lebih banyak biaya. Bundling layanan mengalihkan sebagian risiko dari
pembayar ke dokter; jika Dr. Belli melihat Tom Stone sepuluh kali daripada lima kali untuk
tindak lanjut setelah kolesistektomi, dia tidak menerima uang tambahan. Namun, Blue Cross
juga menghadapi risiko; jika lebih banyak pendaftar Blue Cross memerlukan operasi kandung
empedu, Blue Cross bertanggung jawab atas pembayaran lebih dari $1300. Jadi, semakin
banyak layanan yang digabungkan menjadi satu pembayaran, semakin besar risiko keuangan
yang dialihkan dari pembayar ke penyedia. Berikut contoh kasus pembayaran episode:
Dr. Nick Belli melakukan tindakan pengeluran kantong empedu terhadap Tom Stone dan
dibayar $1300 oleh Blue Cross. Selain melakukan kolesistektomi, Dr. Belli menemui Pak
Stone tiga kali di rumah sakit dan dua kali di kantornya untuk kunjungan pascaoperasi.
Karena pembedahan dibayar melalui biaya paket, Dr. Belli mungkin tidak menagih secara
terpisah untuk kunjungan, yang termasuk dalam biaya kolesistektomi $1300.

14
Joan Flemming mengeluh batuk, demam, dan dahak berwarna hijau selama 1 minggu. Dr.
Violet Gramm menganalisis apusan dahak dan memerintahkan rontgen dada dan membuat
diagnosis pneumonia. Dia memperlakukan Ms. Flemming sebagai pasien rawat jalan dengan
azitromisin, memeriksanya seminggu sekali selama 3 minggu. Dengan sistem berbasis
episode eksperimental, Dr. Gramm dibayar satu biaya untuk semua layanan dan prosedur
untuk pengobatan pneumonia Ms. Flemming.

2.2.3. Payment per Patient: Capitation/ Pembayaran Per Pasien: Kapitasi


Pembayaran kapitasi (pembayaran per kapita atau pembayaran "per kepala") adalah
pembayaran setiap bulan yang dilakukan kepada dokter untuk setiap pasien yang mendaftar
untuk menerima perawatan dari dokter tersebut yang umumnya dokter perawatan primer. Inti
dari kapitasi adalah pergeseran risiko keuangan dari perusahaan asuransi ke penyedia. Pada
sistem fee-for-service, pasien yang membutuhkan layanan kesehatan yang mahal terbebani
biaya kesehatan lebih dari yang mereka bayarkan melalui premi asuransi; perusahaan
asuransi dalam kondisi berisiko dan akan kehilangan uang; dokter dan rumah sakit yang
memberikan perawatan mendapatkan lebih banyak uang untuk mengobati orang sakit.
Kapitasi membebaskan perusahaan asuransi dari risiko dengan mentransfer risiko ke
penyedia. Sebuah HMO yang membayar dokter melalui kapitasi memiliki sedikit
kekhawatiran akibat pasien yang jatuh sakit. HMO membayar jumlah yang tetap tidak peduli
berapa banyak layanan yang diberikan. Penyedia, sebaliknya, tidak mendapatkan uang
tambahan namun menghabiskan banyak waktu dan pengeluaran operasional perawatan untuk
orang yang sakit. Kedepan HMO akan membatasi jenis layanan untuk mengurangi tuntutan
kenaikan pembayaran kapitasi.
Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengurangi risiko keuangan yang terkait
dengan pembayaran kapitasi, salah satunya pembayaran fee-for-service untuk layanan
tertentu. Layanan diberikan tetapi tidak tercakup dalam pembayaran kapitasi disebut carve-
out dan dibayar secara terpisah. Sebagai contoh layanan tersebut antara lain Pap smear,
imunisasi, EKG kantor, dan prosedur bedah kecil.
Metode umum untuk mengelola risiko disebut "risk adjusted capitation". Dokter yang
dibayar dengan kapitasi, lebih tertarik dengan pasien yang sehat dan menghindari mereka
yang sakit. Kapitasi yang disesuaikan dengan risiko memberikan pembayaran bulanan yang
lebih tinggi untuk pasien lanjut usia dan bagi mereka yang menderita penyakit kronis.
Namun, penyesuaian risiko menimbulkan tantangan besar. Pembayaran kapitasi dengan

15
penyesuaian risiko menggunakan ukuran-ukuran dengan menilai keadaan kesehatan individu
atau risiko layanan perawatan kesehatan yang dibutuhkan (Brown et al, 2010).
Kapitasi memiliki manfaat potensial sebagai cara untuk mengendalikan biaya dengan
memberikan alternatif terhadap kelemahan pembayaran fee-for-service. Selain itu, kapitasi
telah membawa pengaruh potensial yang menguntungkan pada organisasi perawatan.
Pembayaran kapitasi mengharuskan pasien untuk mendaftar ke dokter atau sekelompok
dokter. Jumlah pasien yang sudah pasti dalam praktik perawatan primer menawarkan
keuntungan untuk memantau layanan yang tepat dan perencanaan untuk kebutuhan pasien.
Kapitasi juga berpotensi memungkinkan lebih banyak fleksibilitas dalam cara mengatur dan
memberikan layanan secara paling efektif dan efisien. Misalnya, fee-for-service biasanya
hanya membayar untuk kunjungan langsung ke dokter; di bawah pembayaran kapitasi,
seorang dokter dapat melakukan "kunjungan virtual" melalui email dan telepon untuk
pemantauan tekanan darah atau kontrol diabetes, atau mendelegasikan tugas perawatan
pencegahan rutin kepada perawat atau asisten medis dalam praktik. Kapitasi juga secara
eksplisit didefinisakan, sejumlah uang yang tersedia untuk merawat populasi pasien yang
terdaftar, menyediakan kerangka kerja yang lebih baik untuk alokasi sumber daya yang
rasional dan inovasi dalam mengembangkan cara pemberian layanan yang lebih baik. Bagi
sejumlah dokter perawatan primer, dengan pembayaran kapitasi memberikan pengaruh dan
fleksibilitas atas cara terbaik mengatur layanan tambahan dan khusus.

2.2.3.1. Capitation with Two-Tiered Structures


Pembayaran kapitasi kepada dokter di Inggris sederhana. Melalui National Health
Service (NHS) Inggris, setiap orang mendaftar ke dokter umum, yang menjadi dokter
perawatan primer (PCP). Untuk setiap orang yang terdaftar, dokter menerima pembayaran
kapitasi bulanan. Semakin banyak pasien dalam daftar, semakin banyak uang yang diperoleh
dokter. Pasien diharuskan untuk mengarahkan semua kebutuhan medis non-darurat melalui
dokter umum, bila perlu membuat rujukan untuk layanan spesialis atau perawatan rumah
sakit. Pasien dapat dengan bebas berpindah dari satu dokter umum ke dokter lainnya.
Susunan sederhana ini, disebut sebagai struktur kapitasi dua tingkat. Tingkat pertama adalah
pihak perencana kesehatan (pemerintah dalam kasus Inggris) dan tingkat selanjutnya adalah
PCP individu atau sejumlah dokter dalam kelompok praktik.
Contoh kasus sebagai berikut: Jennifer adalah seorang wanita muda di Inggris yang
mengalami infeksi telinga; dokter umum, Dr. Walter Liston, menemuinya dan meresepkan

16
antibiotik. Jennifer tidak membayar uang pada saat kunjungan dan tidak menerima tagihan.
Dr Liston dibayar $ 12 per bulan untuk merawat Jennifer, tidak peduli berapa kali dia
membutuhkan perawatan. Ketika Jennifer berlanjut menderita radang usus buntu dan
memerlukan x-ray dan konsultasi bedah, Dr Liston mengirimnya ke h sakit setempat untuk
layanan ini; pembayaran untuk layanan rujukan ini dimasukkan ke dalam anggaran
operasional rumah sakit yang dibayar secara terpisah oleh National Health Service.

Gambar Struktur Pembayaran Kapitasi Dua Tingkat. (Bodenheimer & Grumbach, 2012),
Understanding Health Policy A Clinical Approach 6th Ed, p 35

2.2.3.2. Capitation with Three-Tiered Structures


Dalam struktur tiga tingkat, HMO tidak membayar biaya kapitasi langsung ke dokter
individu atau kelompok praktik, melainkan mengandalkan struktur administrasi perantara
untuk memproses pembayaran ini (Robinson dan Casalino, 1995). Dalam satu variasi struktur
tiga tingkat tersebut, dokter tetap bertugas pribadi mereka sendiri tetapi bergabung bersama
ke dalam kelompok dokter yang disebut asosiasi praktik independen, independent practice
associations (IPAs).
Berikut adalah contoh kasus pertama untuk jenis kapitasi tiga tingkat, George
terdaftar melalui majikannya di Smart-Care, sebuah HMO yang dijalankan oleh Smart
Insurance Company. Smart-Care telah mengontrak dua IPA untuk menyediakan layanan
dokter bagi pendaftarnya di area tempat tinggal George. George telah memilih untuk
menerima perawatannya dari Dr. Bunch, PCP yang berafiliasi dengan salah satu grup IPA ini,

17
CapCap Associates IPA. Smart-Care membayar CapCap Associates biaya kapitasi bulanan
sebesar $60 atas nama George untuk semua dokter dan layanan rawat jalan terkait. CapCap
Associates selanjutnya membayar Dr. Bunch biaya kapitasi bulanan sebesar $15 untuk
melayani sebagai dokter perawatan primer George. George mengembangkan gejala obstruksi
urin yang konsisten dengan hiperplasia prostat jinak. Dr. Bunch memerintahkan beberapa tes
laboratorium dan merujuk George ke ahli urologi untuk sistoskopi. Laboratorium dan ahli
urologi menagih CapCap Associates berdasarkan fee-for-service dan dibayar oleh IPA dari
kumpulan uang (disebut kumpulan risiko) yang telah disisihkan IPA dari pembayaran
kapitasi yang diterima CapCap Associates dari Smart-Care. Pada akhir tahun, CapCap
Associates memiliki sisa uang dalam kumpulan risiko layanan diagnostik dan spesialis ini,
kemudian mendistribusikan pendapatan surplus ini ke PCP sebagai bonus.

Gambar Struktur Pembayaran Kapitasi Tiga Tingkat I. (Bodenheimer & Grumbach, 2012),
Understanding Health Policy A Clinical Approach 6th Ed, p 37

Memilah aliran pembayaran dan sifat pembagian risiko menjadi sulit dalam jenis
struktur kapitasi tiga tingkat ini. Di sebagian besar HMO tiga tingkat, risiko keuangan untuk
layanan diagnostik dan spesialis ditanggung oleh organisasi IPA secara keseluruhan dan
tersebar di antara semua PCP yang berpartisipasi dalam IPA. Pada 1980-an dan 1990-an,
jenis IPA CapCap Associates sering memberikan insentif keuangan kepada PCP untuk

18
membatasi penggunaan layanan diagnostik dan spesialis dengan mengembalikan dana surplus
yang tersisa kepada dokter ini pada akhir tahun. Metode penggantian ini dikenal sebagai
pembayaran kapitasi-plus-bonus. Semakin jarang penggunaan layanan diagnostik dan
spesialis, semakin tinggi bonus akhir tahun untuk dokter IPA. Pengaturan ini mendapat kritik
karena munculnya konflik kepentingan untuk PCP karena pendapatan pribadi mereka
meningkat dengan menolak layanan diagnostik dan khusus untuk pasien mereka (Rodwin,
1993). Baru-baru ini beberapa organisasi perawatan terkelola mulai mengaitkan pembayaran
bonus dengan ukuran kualitas atau “pay for performance” daripada hanya karena faktor
pengendalian biaya. Anggaran yang cukup besar harus disiapkan untuk menyiapkan sistem
ini karena biaya administrasi cukup besar baik untuk rencana kesehatan maupun IPA.
Jenis kapitasi tiga tingkat yang kedua adalah, Saudara laki-laki George, Steve, bekerja
untuk perusahaan yang sama dengan George dan juga memiliki asuransi SmartCare. Steve,
bagaimanapun, memperoleh perawatan utamanya dari seorang dokter dalam rencana IPA
SmartCare lainnya, Cap-Fee Associates. Seperti CapCap Associates, CapFee Associates
adalah IPA yang menerima $60 per bulan dalam biaya kapitasi untuk setiap pasien yang
terdaftar. Tidak seperti CapCap Associates, CapFee Associates membayar PCP berdasarkan
fee-for-service.

Gambar Struktur Pembayaran Kapitasi Tiga Tingkat II (Bodenheimer & Grumbach, 2012),
Understanding Health Policy A Clinical Approach 6th Ed, p 37

19
Struktur tiga tingkat yang kedua menjadi lebih membingungkan ketika unit
penggantian berbeda antar tingkat. Dimana IPA menerima pembayaran kapitasi dari
rpenjaminkesehatan tetapi kemudian mengganti PCP berdasarkan fee-for-service. Biaya yang
ditagihkan oleh dokter dapat melebihi jumlah uang kapitasi yang diterima IPA dari paket
asuransi untuk membayar dokter dan layanan rawat jalan terkait. Untuk mengurangi risiko
ini, banyak IPA membayar dokter mereka hanya sebagian, mungkin 60% dari tagihan biaya
dan menahan 40% lainnya. Jika ada uang yang tersisa pada akhir tahun, dokter menerima
sebagian dari uang yang ditahan. Merupakan keuntungan finansial bagi dokter untuk
menjadwalkan kunjungan pasien sebanyak mungkin karena dokter menerima bayaran untuk
setiap kunjungan. Namun jumlah kunjungan pasien IPA yang besar secara keseluruhan, serta
tingginya penggunaan laboratorium dan studi x-ray dan layanan spesialis, akan
menghabiskan anggaran IPA, sehingga meningkatkan kemungkinan IPA bisa bangkrut,
meninggalkan dokternya yang belum dibayar.

2.2.4. Pembayaran per Waktu : Gaji


Pembayaran dokter dengan mekanisme gaji adalah menggabungkan pembayaran
untuk semua layanan yang diberikan selama 1 bulan atau 1 tahun ke dalam satu lump sum.
Pada umumnya sistem ini diberlakukan pada pelayanan di sektor publik. Sistem pelayanan
kesehatan yang mengintegrasikan pembiayaan dan penyediaan pelayanan kesehatan
(managed care) juga telah mengaplikasikan pembayaran dengan gaji untuk sektor pelayanan
swasta bahkan dengan menambahkan bonus. Mekanisme ini khususnya digunakan untuk 
HMO Model Staf dan HMO Model Kelompok. 
HMO Model Staf menggunakan struktur pembayaran 2 tingkat dengan pelayanan
kesehatan milik HMO yang secara langsung mempekerjakan dokter dan memberikan gaji.
Sementara dalam HMO Model Kelompok, HMO melakukan kontrak dengan sekelompok
dokter untuk memberi pelayanan kesehatan kepada peserta HMO. Dokter bukanlah pegawai
HMO tetapi dipekerjakan oleh kelompoknya. Kontrak asuransi HMO berdasarkan kapitasi
dengan kelompok dokter yang akan membayarkan gaji kepada masing-masing dokter.
HMO dan kelompok dokter berisiko jika pengeluaran terlalu besar. Untuk
mengurangi risiko pengeluaran yang terlalu besar, administrator HMO Model Staf dan
Kelompok membatasi jumlah dokter dengan mengatur jadwal dokter pada jumlah kunjungan
pasien yang tinggi, atau membatasi jumlah spesialis yang tersedia. Dokter yang digaji
berisiko untuk tidak mendapatkan bayaran ekstra atas tambahan jam kerja. Untuk seorang

20
dokter yang memperoleh gaji tahunan tanpa tunjangan untuk uang lembur, volume kunjungan
pasien yang tinggi dapat berubah dari 8 jam sehari menjadi 12 jam sehari tanpa peningkatan
pendapatan.
HMO dan kelompok dokter dapat memberikan bonus kepada dokter yang digaji jika
biaya keseluruhan kurang dari jumlah yang dianggarkan atau jika dokter melakukan
perawatan berkualitas tinggi (pembayaran untuk kinerja).

2.3 Metode Pembayaran Rumah Sakit


2.3.1. Pembayaran dengan Prosedur : Fee for Service
Pada masa lalu, perusahaan asuransi melakukan pembayaran Fee for Service ke RS
swasta berdasarkan prinsip reasonable cost (biaya yang wajar), sebuah sistem dimana rumah
sakit memiliki pengaruh besar dalam menentukan tingkat pembayaran. Karena American
Hospital Association dan Blue Cross memainkan peran besar dalam membuat peraturan
penggantian biaya untuk Medicare, program tsb pada awalnya membayar RS sesuai dengan
formula biaya yang wajar (Law, 1974). Baru-baru ini, pembayar swasta dan publik yang
peduli dengan pengendalian biaya mulai mempertanyakan biaya RS dan menegosiasikan
pembayaran yang lebih rendah, atau mengalihkan risiko keuangan ke RS dengan
menggunakan pembayaran per diem, DRG, atau kapitasi.
Berikut contoh kasus pembayaran Pembayaran dengan Prosedur: Fee for Service:

21
Kwin Mock Wong dirawat di Rumah Sakit karena perdarahan ulkus lambung. Di akhir masa
perawatannya selama 4 hari, Rumah Sakit mengirimkan tagihan tujuh halaman senilai
$14.000 kepada Blue Cross, asuransi Tn. Wong.

2.3.2. Pembayaran per Hari: Per Diem


Banyak perusahaan asuransi dan Medicaid merencanakan untuk membuat kontrak
dengan RS untuk pembayaran per diem daripada membayar biaya untuk setiap layanan yang
diperinci (Biaya kamar, MRI, arteriogram, rontgen dada, dan EKG). RS menerima lump sum
untuk setiap hari pasien HMO di RS. Penanggung/Asuransi dapat mengirim perawat utillisasi
review untuk meninjau perawatan pasiennya, dan jika perawat memutuskan bahwa pasien
tidak sakit parah, HMO dapat berhenti membayar untuk tambahan hari rawatnya.
Pembayaran per diem merupakan gabungan dari semua layanan yang diberikan untuk
satu pasien pada 1 hari menjadi satu pembayaran. Dengan pembayaran fee for service
tradisional, jika RS melakukan beberapa pemeriksaan diagnostik yang mahal, maka akan
menghasilkan lebih banyak uang karena setiap pemeriksaan akan dibebankan biayanya,
sedangkan dengan pembayaran per diem RS tidak menerima uang tambahan untuk prosedur
yang mahal.
Penggabungan layanan per diem ke dalam satu biaya menghilangkan tambahan
pendapatan RS karena dengan melakukan pemeriksaan yang mahal menyebabkan kerugian,
bukan keuntungan. Dengan pembayaran per diem, perusahaan asuransi akan menanggung
risiko untuk jumlah hari perawatan pasien di RS karena harus membayar untuk setiap
tambahan hari. Ketika melakukan lebih banyak layanan, RS mengeluarkan lebih banyak
biaya tanpa pembayaran tambahan.
Perusahaan Asuransi perlu melakukan tinjauan pemanfaatan (utilisasi review) untuk
mengurangi jumlah hari perawatan RS, tetapi Perusahaan Asuransi akan kurang
memperhatikan berapa banyak layanan yang dilakukan dalam setiap harinya. Berikut contoh
kasus pembayaran Pembayaran per Hari: per Diem:
1. John Johnson, seorang pasien HMO, dengan sakit kepala parah dirawat di Rumah Sakit.
Selama 3 hari perawatan, ia menjalani pemindaian MRI, lumbar puncture, dan
arteriografi serebral, prosedur yang semuanya mahal bagi Rumah Sakit dalam hal
personel dan peralatan. Rumah Sakit menerima $4800, atau $1600 per hari dari HMO,
sementara biaya perawatan Tn. Johnson di Rumah Sakit adalah $7200.

22
2. Tom Thompson, peserta di HMO yang sama, dirawat karena gagal jantung kongestif. Dia
menerima furosemide intravena selama 3 hari dan kondisinya membaik. Tes diagnostik
terbatas pada rontgen dada, EKG, dan pemeriksaan darah dasar. Rumah sakit menerima $
4800, sementara biaya Rumah Sakit adalah $ 4200.
 
2.3.3. Pembayaran per Episode Rawat Inap : Diagnosis-Related Group
Metode pembayaran DRG untuk pasien Medicare dimulai pada tahun 1983. Daripada
membayar RS berdasarkan biaya untuk layanan, Medicare membayar sekaligus untuk setiap
perawatan RS dengan besaran pembayaran tergantung pada diagnosis pasien. Sistem DRG
telah melangkah lebih jauh dari pembayaran per diem dalam layanan bundling menjadi satu
pembayaran. Pembayaran per diem menyatukan semua layanan yang dilakukan selama satu
hari, DRG menyatukan semua layanan yang dilakukan selama satu episode perawatan RS.
Dengan sistem DRG, program Medicare berisiko untuk jumlah episode perawatan RS,
sementara RS berisiko untuk lamanya hari rawat inap dan sumber daya yang digunakan
selam perawatan di RS. Medicare tidak memiliki kepentingan finansial atas lama masa
perawatan. Sebaliknya, RS sangat berkepentingan dengan lama hari perawatan dan jumlah
prosedur mahal yang dilakukan. Rawat inap yang lama dan mahal menghasilkan kerugian
finansial bagi RS sedangkan rawat inap yang singkat menghasilkan keuntungan. Oleh karena
itu, RS melakukan tinjauan pemanfaatan (utilization review) untuk mengurangi biaya yang
dikeluarkan oleh pasien Medicare. Berikut contoh kasus  Pembayaran per Episode Rawat
Inap: Diagnosis-Related Group:
Bill adalah pria berusia 67 tahun yang masuk Rumah Sakit karena edema paru akut. Dia
dirawat dengan furosemide dan oksigen di ruang gawat darurat, menghabiskan 36 jam di
Rumah Sakit, dan dipulangkan. Biaya Rumah Sakit adalah $5200. Rumah sakit menerima
pembayaran DRG $ 7000 dari Medicare.
Will adalah pria berusia 82 tahun yang masuk rumah sakit karena edema paru akut. Meskipun
pengobatan berulang dengan furosemide, captopril, digoxin, dan nitrat, ia tetap gagal jantung.
Dia membutuhkan telemetri, tes darah harian, beberapa rontgen dada, elektrokardiogram, dan
ekokardiogram, dan akhirnya dipulangkan pada hari kesembilan di Rumah Sakit. Biaya rawat
inapnya di Rumah Sakit $ 23.000 dan Rumah Sakit menerima $ 7000 dari Medicare.

23
2.3.4. Pembayaran per Pasien: Kapitasi
Dengan pembayaran kapitasi, RS menghadapi risiko penerimaan pasien, lama hari
perawatan, dan sumber daya yang digunakan. Dengan kata lain, RS menanggung semua
risiko dan biasanya perusahaan Asuransi tidak menanggung risiko. Pembayaran kapitasi ke
RS ini hampir menghilang sebagai metode pembayaran. Berikut contoh kasus  Pembayaran
per Pasien atau kapitasi :
1. Jane terdaftar di Blue Cross HMO, yang mengontrak Rumah Sakit Kelas Atas untuk
merawat Jane jika dia membutuhkan rawat inap. Kelas atas menerima $60 per bulan
sebagai biaya kapitasi untuk setiap pasien yang terdaftar di HMO. Jane sehat, dan selama
36 bulan dia menjadi anggota HMO, Rumah Sakit menerima $2160, meskipun Jane tidak
pernah menginjakkan kaki di rumah sakit.
2. Wayne juga terdaftar di Blue Cross HMO. Dua puluh empat bulan setelah
pendaftarannya, ia mengidap Pneumocystis carinii pneumonia, dan dalam 12 bulan
berikutnya ia menghabiskan 6 minggu di Rumah Sakit Kelas Atas dengan biaya $ 35.000.
Kelas atas menerima total $ 2160 (biaya kapitasi $ 60 per bulan selama 36 bulan) untuk
perawatan Wayne

2.3.5. Pembayaran per Institusi : Anggaran Global


Kaiser Health Plan adalah institusi perawatan terintegrasi  yang mengoperasikan RS
miliknya sendiri di beberapa wilayah Amerika Serikat. RS Kaiser dibayar oleh Kaiser Health
Plan melalui anggaran global: pembayaran tetap dilakukan untuk semua layanan RS selama 1
tahun. Anggaran global juga digunakan di Administrasi Kesehatan Veteran, Departemen
Pertahanan dan RS Kotamadya atau RS Daerah setempat di Amerika Serikat, serta menjadi
metode pembayaran standar di Kanada dan banyak negara Eropa. Dalam istilah managed
care, dapat dikatakan bahwa RS sepenuhnya berisiko karena tidak peduli berapa banyak
pasien yang dirawat dan berapa banyak layanan mahal yang dilakukan. RS harus mencari
cara untuk tetap berada dalam anggaran tetapnya. Anggaran Global mewakili paket layanan
yang paling luas: Setiap pelayanan yang diberikan pada setiap pasien selama 1 tahun
dikumpulkan ke dalam 1 pembayaran.
Berikut contoh kasus  Pembayaran per Institusi, Anggaran Global:
Don Samuels, anggota Kaiser Health Plan, tiba-tiba menderita sakit kepala luar biasa dan
dirawat di Rumah Sakit selama 1 minggu di Rumah Sakit Kaiser di Oakland, California,
karena pendarahan otak akut. Dia mengalami koma dan meninggal. Tidak ada tagihan rumah

24
sakit yang dikeluarkan dari perawatan Tn. Samuels, dan tidak ada pembayaran kapitasi yang
dilakukan dari perusahaan asuransi ke Rumah Sakit.

2.3.6. Metode Pembayaran Rumah Sakit di Indonesia


Pembayaran fasilitas kesehatan dapat diartikan secara sempit sebagai mekanisme
pemberian dana kepada fasilitas kesehatan untuk mengganti biaya pelayanan yang telah
dikeluarkannya. Namun pembayaran fasilitas kesehatan dapat pula diartikan sebagai
suatu hal yang lebih luas di mana ia dan subsistem yang lain seperti kontrak, mekanisme
akuntabilitas yang menyertai metode pembayaran, dan sistem informasi manajemen dan
lain-lain bekerja bersama-sama untuk mencapai sebuah tujuan kebijakan. Hal ini
dimungkinkan karena setiap metode pembayaran fasilitas kesehatan memunculkan
insentif berupa sinyal-sinyal ekonomi yang akan direspon oleh fasilitas kesehatan untuk
memaksimalkan keuntungannya (Idris dkk, 2021).
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digelar BPJS Kesehatan
membawa perubahan besar dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Salah satu
perubahan besar itu adalah pembayaran klaim yang selama ini menggunakan mekanisme
Fee For Service (FFS) menjadi Prospective Payment System (PPS) melalui INA-CBGs
(Indonesia Case Base Groups). Sistem pembayaran kepada Penyedia Pelayanan
Kesehatan melalui Kapitasi (Prepaid Capitation System) kepada Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama, dan sistem paket kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Rujukan dimana
BPJS akan membayar sesuai dengan sistem paket INA CBG’s. Dalam FFS, jumlah
klaim yang ditagih tergantung pada pelayanan yang diberikan kepada pasien atau peserta
sehingga Rumah Sakit dapat leluasa menentukan pelayanan apa saja yang diberikan
kepada pasien. Sedangkan INA-CBGs menggunakan mekanisme paket berdasarkan
penyakit yang diderita pasien. Pada mekanisme FFS, sifatnya lebih terbuka/fleksibel
karena biaya ditagihkan untuk setiap layanan yang dilakukan. Sedangkan pada
mekanisme INA-CBGs, sifatnya tertutup/fixed sudah diatur melalui regulasi pemerintah
(Wijayanti, 2018).
Pilihan sistem pembiayaan tergantung pada kebutuhan dan tujuan dari
implementasi pembayaran kesehatan tersebut. Sistem pembiayaan prospektif menjadi
pilihan. Adapun kelebihan dari sistem pembiayaan prospektif ini antara lain :
1. Dapat mengendalikan biaya kesehatan;
2. Mendorong pelayanan kesehatan tetap bermutu sesuai standar;

25
3. Pembatas pelayanan kesehatan yang tidak diperlukan berlebihan atau under use;
4. Mempermudah administrasi klaim; dan
5. Mendorong provider untuk melakukan cost containment (pengendalian biaya)

a. Pembayaran per Prosedur: Fee-for-Service


Mekanisme pembayaran Fee For Service (FFS) mempunyai kelebihan apabila
dilihat dari perspektif pasien, yaitu mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi dokter
agar memberikan pelayanan terbaik untuk dirinya. Pasien yang membayar secara
langsung (Out Of Pocket) merasakan mendapatkan pelayanan yang tinggi bila
dibandingkan dengan yang pembayaran asuransi. Dampak yang terjadi dapat
mempengaruhi pada sikap dan perilaku provider terhadap ekspektas pasien yaitu turun
pada sistem kapitasi dan meningkat pada sistem fee for service dan nantinya akan
mempengaruhi dimensi kualitas pelayanan yang diberikan. Persepsi terhadap kualitas
pelayanan kesehatan merupakan cerminan kepuasan pasien yang berdasarkan pada sikap
dan tanggapan terhadap pelayanan, dan sikap tenaga kesehatan. Sikap pasien ini
terbentuk akibat interaksi pasien dengan tenaga kesehatan yang melayaninya. Sikap
tenaga kesehatan sendiri juga dipengaruhi oleh insentif yang disediakan oleh berbagai
sistem pembayaran.
Cara konsumen menilai lima dimensi kualitas jasa dalam bidang Kesehatan sebagai
berikut : (a) Kehandalan (Reliability) meliputi : Janji ditepati sesuai jadwal dan
diagnosisnya terbukti akurat; (b) Responsiveness (Ketanggapan atau kepedulian)
meliputi : Mudah diakses, tidak lama menunggu, dan bersedia mendengar keluh kesah
pasien; (c) Assurance (Jaminan Kepastian) meliputi : Pengetahuan, ketrampilan,
kepercayaan, dan reputasi; (d) Empathy (Empati) meliputi : Mengenal pasien dengan
baik, mengingat masalah (penyakit, keluhan, dll) sebelumnya, sabar, dan menjadi
pendengar yang baik; (e) Berwujud (Tangible) meliputi : Ruang tunggu, ruang operasi,
peralatan dan bahan-bahan tertulis (Sisyani dkk, 2016).
Sistem pembayaran Fee For Service lebih baik kualitas pelayanannya jika
dibandingan dengan BPJS sehingga berdampak positif terhadap kualitas pelayanan
sedangkan sistem pembayaran INA-CBGs lebih rendah kualitas pelayanannya jika
dibandingan Fee For Service sehingga berdampak negatif terhadap kualitas pelayanan
(Sisyani dkk, 2016). Peneliti berasumsi perbedaan disebabkan karena banyaknya pasien
yang harus diperiksa sehingga petugas menjadi kurang merespon keluhan yang

26
disampaikan oleh pasien dan waktu untuk menjelaskan informasi tentang penyakit pasien
menjadi singkat karena terkesan terburu-buru sehingga pasien merasa kurang jelas dan
akhirnya pasien menjadi tidak puas. Salah satu penyebabnya aspek komunikasi, pesan
menjadi tidak jelas karena ungkapan yang tidak dikenal oleh si penerima pesan atau
berkomunikasi yang tidak maksimal. Hal ini didukung oleh Sunarto menyatakan bahwa
komunikasi berpengaruh terhadap kualitas pelayanan yang mengandung arti bahwa
semakin tinggi/baik komunikasi yang dilakukan, maka akan semakin tinggi/baik kualitas
pelayanannya karena komunikasi dapat memberikan kejelasan informasi maka
pencapaian tujuan akan lebih mudah tecapai (Sisyani dkk, 2016).
Hasil penelitian yang dilakukan Sisyani (2016), kualitas pelayanan di RSU PKU
Muhammadiyah Bantul menyatakan ada perbedaan kualitas pelayanan antara sistem
pembayaran INA-CBGs dengan Fee For Service yang mana mengatakan lebih baik
sistem pembayaran Fee For Service (FFS) tetapi responden mengatakan lain bahwa
sistem pembayaran lebih baik dengan INA-CBGs/BPJS karena pasien merasa beban
pembayaran rumah sakit berkurang dengan adanya jaminan kesehatan. Hal ini juga
didukung oleh penelitian Puspa dalam Sisyani (2016), yang melakukan penelitian
berjudul perbedaan kualitas pelayanan Puskesmas Kelurahan Sukorame kecamatan
Mojoroto kota Kediri berdasarkan Sistem pembayaran ditinjau dari persepsi konsumen
hasil penelitian menunjukkan bahwa, ada perbedaan kualitas layanan yang diberikan oleh
puskesmas terhadap pasien berdasarkan sistem pembayaran yang digunakan. Pasien
pengguna sistem pembayaran langsung mendapatkan kualitas layanan yang lebih baik
dibandingkan dengan dua sistem pembayaran yang lain. Hasil penelitian ini didukung
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh sulistyo mengatakan bahwa terdapat
hubungan antara sistem pembiayaan dengan kualitas Pelayanan yang membuktikan
bahwa sistem pembiayaan akan mempengaruhi pada sikap dan perilaku pemberi
pelayanan kesehatan, ekspektasi terhadap pasien turun pada sistem kapitasi, meningkat
pada sistem fee for service dan akhirnya juga mempengaruhi pada dimensi kualitas
pelayanan yang diberikan. Kualitas pelayanan akan turun pada sistem asuransi/Jaminan
Kesehatan sedangkan pada sistem pembiayaan langsung akan naik (Sisyani dkk, 2016).

b. Pembayaran per Hari : Per Diem


Pembayaran per diem merupakan pembayaran yang dinegosiasi dan disepakati di
muka yang didasari pada pemabayaran per hari perawatan, tanpa mempertimbangkan
biaya yang dihabiskan oleh rumah sakit. misalnya suatu badan asuransi atau pemerintah
27
membayar per hari perawatan di kelas III sebesar Rp 250.000 per hari untuk kasus
apapun yang sudah mencakup biaya ruangan, jasa konsultasi atau visit dokter, obat
obatan, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Sebuah rumah sakit yang efisien dapat mengendalikan biaya perawatan dengan
memberikan obat yang paling cost-effective, memeriksa laboratorium hanya untuk jenis
pemeriksaan yang memang diperlukan benar, memiliki dokter dibayar gaji bulanan dan
bonus, serta berbagai penghematan lainnya akan mendapatkan surplus.
Lama perawatan berimplikasi pada peningkatan tarif RS karena pelayanan
kesehatan yang diberikan juga lebih banyak, bahkan bisa jadi sia-sia. Hal ini juga
menimbulkan inefficient secara alokatif maupun sumberdaya. Menghubungkan antara
efisiensi dan pembiayaan dapat mendorong RS melakukan peningkatan efisiensi.
Begitupun RS harus meningkatkan efisiensi dan efektifitas tarif untuk meningkatkan
alokasi pelayanan kesehatan dan menurunkan lama perawatan. Dalam hubungannya
dengan kapasitas jumlah tempat tidur, banyak bukti menunjukkan bahwa semakin
meningkat jumlah RS justru occupancy rates nya menurun. Sehingga terlalu banyak
tempat tidur kosong di RS dapat menyebabkan sumberdaya yang tidak efisien
(Rahayuningrum, 2017).
Untuk mengendalikan biaya, pihak rumah sakit memerlukan sistem akuntansi yang
tepat, khususnya metode penghitungan penetuan biaya guna menghasilkan informasi
biaya yang akurat berkenaan dengan biaya aktivitas pelayanannya. Salah satu metode
akuntansi biaya yang dapat digunakan oleh rumah sakit yaitu metode Activity Based
Costing (ABC). ABC merupakan metode perhitungan biaya dengan menelusuri aktivitas
perusahaan yang menimbulkan biaya operasional. Metode ABC System memiliki
keunggulan dalam melakukan efisiensi biaya dengan cara mengidentifikasi dan
mengeliminasi aktivitas yang tidak bernilai tambah. Sehingga dengan metode ini
manajemen akan lebih mudah dalam menentukan kebijakan untuk meningkatkan
profitabilitas. Metode ABC pun tidak menjamin kalau hasilnya lebih murah, tetapi
metode ABC hanya dapat menjamin menghindari terjadinya undercosting yaitu olokasi
biayanya rendah dan overcosting yaitu alokasi biayanya tinggi. Dari sisi provider,
apabila RS melakukan perhitungan tarif dengan tepat, maka akan dapat mengurangi
klaim rumah sakit ke provider. Metode ABC pun tidak menjamin kalau hasilnya lebih
murah, tetapi metode ABC hanya dapat menjamin menghindari terjadinya undercosting
yaitu alokasi biayanya rendah dan overcosting yaitu alokasi biayanya tinggi (Dekrita &
Tani, 2020).
28
1. Dekrita YA, Tani AY. Penerapan Tarif Jasa Rawat Inap pada RSUD dr T.C
Hillers Maumere. Jurnal Projemen e-ISSN : 2686-1445.Vol. 7, No.

c. Pembayaran dengan biaya satuan per diagnosis : Diagnosis-Related Groups


Pengaturan Pelaksanaan Klaim Rumah Sakit kepada Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Kesehatan Rawat Inap dengan sistem INA CBGs. Secara umum pelasaksanaan
pelaksanaan klaim rumah sakit kepada BPJS berdsarkan pada peraturan perundang
undangan sebagai berikut:
a. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
b. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial,
c. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan,
d. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif
Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas
Kesehatan Tingkat Lanjutan dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan,
e. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 Tentang Pelayanan
Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 27 Tahun 2014 tentang Petunjuk
Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups ( INA – CBGs ) menyatakan bahwa INA
CBGs merupakan salah satu perangkat entry data pasien yang digunakan untuk
melakukan grouping tarif berdasarkan data yang berasal dari resume medis. Untuk
menggunakan aplikasi INA – CBGs, rumah sakit harus memiliki kode registrasi rumah
sakit yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan dan selanjutnya
dilakukan aktifasi bagi setiap rumah sakit sesuai dengan kelas rumah sakit serta
regionalisasinya.
Berdasarkan Bab V Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups ( INA-CBGs ) menjelaskan
bahwa pihak rumah sakit harus memperhatikan upaya apa saja yang sebaiknya dilakukan
rumah sakit dan apa saja yang sebaiknya tidak dilakukan oleh rumah sakit dalam
menjalankan klaim dengan BPJS kesehatan antara lain :
1) Membangun tim rumah sakit
2) Meningkatkan efisiensi
3) Memperbaiki mutu rekam medis
4) Memperbaiki kecepatan dan mutu klaim
29
5) Melakukan standarisasi
6) Membentuk Tim Casemix/Tim INA-CBG rumah sakit
7) Memanfaatkan data klaim
8) Melakukan review post-claim
9) Pembayaran jasa medis
Untuk masa yang akan datang diharapkan seluruh rumah sakit provider JKN bisa
berkontribusi untuk mengirimkan data koding dan data costing sehingga dapat dihasilkan
tarif yang mencerminkan actual cost pelayanan di rumah sakit. Sistem casemix pertama
kali dikembangkan di Indonesia pada Tahun 2006 dengan nama INA-DRG (Indonesia-
Diagnosis Related Group). Implementasi pembayaran dengan INA-DRG dimulai pada 1
September 2008 pada 15 rumah sakit vertikal, dan pada 1 Januari 2009 diperluas pada
seluruh rumah sakit yang bekerja sama untuk program Jamkesmas. Pada tanggal 31
September 2010 dilakukan perubahan nomenklatur dari INA-DRG (Indonesia Diagnosis
Related Group) menjadi INA-CBG (Indonesia Case Based Group) seiring dengan
perubahan grouper dari 3M Grouper ke UNU (United Nation University) Grouper.
Dengan demikian, sejak bulan Oktober 2010 sampai Desember 2013, pembayaran
kepada Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) Lanjutan dalam Jaminan kesehatan
masyarakat (Jamkesmas) menggunakan INA-CBG (Suhartoyo, 2018).
Pembayaran ke FKRTL yaitu Rumah Sakit dilakukan sesuai Peraturan Menteri
Kesehatan No. 69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada fasilitas
kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan tingkat lanjutan dalam
penyelenggaraan JKN, dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 71 Tahun 2013 tentang
Pelayanan Kesehatan pada JKN. Pada pelaksanaannya, pembayaran klaim tahun 2009
sampai dengan akhir tahun 2010 dilakukan berdasarkan Indonesian Diagnoses Related
Group (INA DRG), sedangkan pada akhir tahun 2010 sampai sekarang pembayaran
klaim dilakukan dengan menggunakan INA CBGs yang dikembangkan dari INA DRG.
Mulai tahun 2014 INA CBGs tidak hanya dipergunakan bagi pasien PBI namun juga
bagi peserta Non-PBI. Model pembayaran INA CBGs adalah besarnya pembayaran
klaim oleh BPJS Kesehatan kepada FKRTL atas paket layanan yang didasarkan kepada
pengelompokkan diagnosis penyakit. Tarif INA CBGs dibentuk dan dikeluarkan oleh
sebuah tim yang disebut National Casemix Center (NCC) di bawah Kemenkes. Maksud
dari Tarif INA CBGs adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada
fasilitas kesehatan tingkat lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepada
pengelompokan diagnosis penyakit. Secara umum tujuan implementasi Diagnosis
30
Related Group (DRG) yang dikenal di Indonesia sebagai INA-CBGs bila digunakan
sebagai mekanisme pembayaran ke rumah sakit adalah peningkatan efisiensi,
transparansi, mengurangi lama hari rawat, peningkatan mutu layanan, memberikan ruang
yang kondusif bagi persaingan rumah sakit, perencanaan, penganggaran serta
peningkatan manajemen pelayanan kesehatan (Idris dkk, 2021).
1. Struktur kode INA CBGs
Dasar pengelompokan dalam INA-CBGs menggunakan sistem kodifikasi dari diagnosis
akhir dan tindakan/prosedur yang menjadi output pelayanan, dengan acuan ICD-10
untuk diagnosis dan ICD-9-CM untuk tindakan/prosedur. Pengelompokan menggunakan
sistem teknologi informasi berupa Aplikasi INA-CBG. Setiap group dilambangkan
dengan kode kombinasi alfabet dan numerik dengan contoh sebagai berikut :

Gambar 1. Struktur kode INA CBGs


Keterangan :
Digit ke-1 merupakan Casemix Main Groups (CMG)
Digit ke-2 merupakan tipe kasus
Digit ke-3 merupakan spesifik CBG kasus
Digit ke-4 berupa angka romawi merupakan severity level

Struktur Kode INA CBGs terdiri atas :


i. Casemix Main Groups (CMGs)
Adalah klasifikasi tahap pertama, dilabelkan dengan huruf Alphabet (A - Z).
Pemberian Label Huruf disesuaikan dengan yang ada pada ICD 10 untuk setiap
sistem organ. Terdapat 32 CMGs dalam INA CBGs.

ii. Case-Based Groups (CBGs):


Sub-group kedua yang menunjukkan tipe kasus. Grup tipe kasus dapat dilihat dalam
tabel berikut :
Tabel 2. Grup tipe kasus dalam INA CBGs
Tipe Kasus Grup
a. Prosedur Rawat Inap Group - 1

31
b. Prosedur Besar Rawat Jalan Group - 2
c. Prosedur Signifikan Rawat Jalan Group - 3
d. Rawat Inap Bukan Prosedur Group - 4
e. Rawat Jalan Bukan Prosedur Group - 5
f. Rawat Inap Kebidanan Group - 6
g. Rawat Jalan kebidanan Group - 7
h. Rawat Inap Neonatal Group - 8
i. Rawat Jalan Neonatal Group - 9
j. Error Group-0
iii. Kode CBGs
Sub-group ketiga menunjukkan spesifik CBGs yang dilambangkan dengan numerik
mulai dari 01 sampai dengan 99.
iv. Severity Level
Sub-group keempat merupakan resource intensity level yang menunjukkan tingkat
keparahan kasus yang dipengaruhi adanya komorbiditas ataupun komplikasi dalam
masa perawatan. Keparahan kasus dalam INA-CBG terbagi menjadi :
a) “0” Untuk Rawat jalan
b) “I - Ringan” untuk rawat inap dengan tingkat keparahan 1 (tanpa komplikasi
maupun komorbiditi)
c) “II - Sedang” Untuk rawat inap dengan tingkat keparahan 2 (dengan mild
komplikasi dan komorbiditi)
d) “III - Berat” Untuk rawat inap dengan tingkat keparahan 3 (dengan komplikasi
mayor dan komorbiditi)
Istilah ringan, sedang dan berat dalam deskripsi dari Kode INA CBGs bukan
menggambarkan kondisi klinis pasien maupun diagnosis atau prosedur namun
menggambarkan tingkat keparahan (severity level) yang dipengaruhi oleh diagnosis
sekunder (komplikasi dan komorbiditi).

2. Tarif INA CBGs dalam pelaksanaan JKN


Tarif INA CBGs yang digunakan dalam pelaksanaan JKN per 1 Januari 2014
diberlakukan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan, dengan beberapa prinsip
sebagai berikut :
1) Pengelompokan Tarif 7 kluster rumah sakit, yaitu :
a. Tarif Rumah Sakit Kelas A
b. Tarif Rumah Sakit Kelas B
c. Tarif Rumah Sakit Kelas B Pendidikan

32
d. Tarif Rumah Sakit Kelas C
e. Tarif Rumah Sakit Kelas D
f. Tarif Rumah Sakit Khusus Rujukan Nasional
g. Tarif Rumah Sakit Umum Rujukan Nasional
Regionalisasi, tarif terbagi atas 5 Regional yang didasarkan pada Indeks Harga
Konsumen (IHK) dan telah disepakati bersama antara BPJS Kesehatan dengan
Asosiasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan.
Terdapat pembayaran tambahan (Top Up) dalam sistem INA CBGs untuk kasus –
kasus tertentu yang masuk dalam special casemix main group (CMG) ,meliputi :
i. Special Prosedure
ii. Special Drugs
iii. Special Investigation
iv. Special Prosthesis
v. Special Groups Subacute dan Kronis
3. Tidak ada perbedaan tarif antara rumah sakit umum dan khusus, disesuaikan
dengan penetapan kelas yang dimiliki untuk semua pelayanan di rumah sakit
berdasarkan surat keputusan penetapankelas yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kesehatan RI.
4. Tarif INA CBGs merupakan tarif paket yang meliputi seluruh komponen
sumber daya rumah sakit yang digunakan dalam pelayanan baik medis
maupun non medis. Untuk Rumah Sakit yang belum memiliki penetapan
kelas, maka tarif INA CBGs yang digunakan setara dengan Tarif Rumah Sakit
Kelas sesuai regionalisasi masing-masing.
Peraturan Presiden nomor 28 tahun 2016 mengamanatkan tarif ditinjau
sekurang-kurangnya setiap 2 (dua) tahun. Upaya peninjauan tarif dimaksudkan
untuk mendorong agar tarif makin merefleksikan actual cost dari pelayanan yang
telah diberikan rumah sakit. Selain itu peninjauan tarif berfungsi untuk
meningkatkan keberlangsungan sistem pentarifan yang berlaku, mampu
mendukung kebutuhan medis yang diperlukan dan dapat memberikan reward
terhadap rumah sakit yang memberikan pelayanan dengan outcome yang baik.
Hal penting lainnya agar rumah sakit mampu melakukan pelayanan sesuai dengan
keadilan, efektif dan melakukan pengendalian biaya pelayanan kesehatan dengan
baik.

33
5. Regionalisasi
Regionalisasi dalam tarif INA CBGs dimaksudkan untuk mengakomodasi
perbedaan biaya distribusi obat dan alat kesehatan di Indonesia. Dasar penentuan
regionalisasi digunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari Badan Pusat Statistik
(BPS), pembagian regionalisasi dikelompokkan menjadi 5 regional, dapat dlihat
dalam tabel berikut :

Tabel 3. Daftar regionalisasi tarif INA CBGs


Regional I Regional II Regional III Regional IV Regional V
Banten Sumbar NAD Kalsel Babel
DKI Jakarta Riau Sumut Kalteng NTT
Jabar Sumsel Jambi Kaltim
Jateng Lampung Kepri Kalut
DIY Bali Kalbar Maluku
Jatim NTB Sulut Maluku Utara
Sulteng Papua
Sul tenggara Papua barat
Gorontalo
Sulbar
Sulsel

6. Spesial casemix main group (CMG) atau special group


Special CMG atau special group pada tarif INA CBGs saat ini dibuat agar
mengurangi resiko keuangan rumah sakit. Saat ini hanya diberikan untuk beberapa
obat, alat, prosedur, pemeriksaan penunjang sertabeberapa kasus penyakit subakut
dan kronis yang selisih tarif INA CBGs dengan tarif rumah sakit masih cukup besar.
Besaran nilai pada tarif special CMG tidak dimaksudkan untuk menganti biaya yang
keluar dari alat, bahan atau kegiatan yang diberikan kepada pasien, namun merupakan
tambahan terhadap tarif dasarnya. Dasar pembuatan special CMG adalah CCR (cost
to charge ratio) yaitu perbandingan antara cost rumah sakit dengan tarif INA CBGs,
data masukan yang digunakan untuk perhitungan CCR berasal dari profesional
(dokter spesialis), beberapa rumah sakit serta organisasi profesi.

Penelitian yang dilakukan Rahayuningrum dkk (2017) didapatkan tarif INA


CBGs lebih tinggi dari tarif RS ditunjukkan dengan hubungan positif meskipun tidak
terlalu kuat dan secara statistik signifikan. Hasil penelitian ini selaras dengan

34
penelitian Sari (2014) yang menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan antara tarif
RS dengan tarif INA CBGs pada pasien diabetes mellitus. Pada penelitian tersebut
juga menunjukkan bahwa tarif INA CBGs lebih tinggi dari tarif RS. Meskipun
penelitian lain yang dilakukan Wang et al (2015) menunjukkan bahwa pada kasus
kasus penyakit tertentu tarif yang dibayarkan asuransi lebih rendah bila dibandingan
tarif RS. Penelitian Yuniarti et al (2015) juga menunjukkan tarif INA CBGs lebih
rendah dibanding dengan tarif RS. Tarif INA CBGs sebagaimana yang kita ketahui
disusun berdasarkan metode prospektif, sehingga di masa mendatang, menurut
peneliti perhitungan tarif RS tidak lagi berdasarkan perhitungan biaya retrospektif.
Sehingga penting bagi RS untuk menentukan prosedur standar menangani penyakit
dengan clinical pathways. Sehingga di era JKN, tim RS dapat melakukan pelayanan
yang optimal, efisien dan efektif (Rahayuningrum, 2017). Penggunaan sistem INA
CBGs ini dilihat belum efektif, hal tersebut diperoleh dari hasil penelitian yang
menunjukkan kecenderungan besaran biaya INA CBGs lebih besar dibanding Fee
For Service terutama untuk kasus-kasus Non Bedah. Sebaliknya untuk kasus-kasus
Bedah kecenderungan biaya INA CBGs jauh lebih rendah dibanding Fee For Service
(Putra et al, 2014).
Terdapat 3 strategi utama RS bila dibayar dengan mekanisme INA-CBGs
yaitu efisien di setiap kasusnya, memaksimalkan tagihan di setiap klaimnya dan
meningkatkan jumlah kasus. Strategi ini dapat ditempuh dengan cara yang positif
namun tidak jarang RS menempuh dengan cara yang tidak diharapkan oleh pengambil
kebijakan (unintended consequences) misalnya merujuk pasien yang dianggap kurang
mentungkan (dumping), memulangkan pasien lebih awal ketika masih membutuhkan
perawatan (bloody/early discharge), meminta pasien untuk datang kembali berobat di
rumah sakit (readmisi, supply induced demand), mengurangi layanan kesehatan, dan
pemberian layanan tambahan (gaming) untuk mendapatkan grup dengan bayaran
lebih tinggi serta mengganti kode untuk mendapatkan tarif yang lebih besar (up-
coding) (Idris dkk, 2021).
Jaminan kesehatan menggunakan sistem tarif ING-CBGs yang berlaku untuk
Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus, milik pemerintah dan milik swasta
yang bekerja sama dalam program BPJS. Penerapan tarif paket INA-CBGs menuntut
Rumah Sakit untuk mampu mengefisiensi biaya dan mengoptimalkan pengelolaan
keuangan rumah sakit, serta melakukan kendali mutu, kendali biaya dan akses melalui
penghitungan biaya pelayanan dari masing-masing Clinical Pathway. Sehingga rumah
35
sakit bisa lebih efisien terhadap biaya perawatan yang diberikan kepada pasien, tanpa
mengurangi mutu pelayanan. Hal ini didukung oleh alwi bahwa pembayaran dengan
jaminan kesehatan mampu menekan biaya rumah sakit dua kali lebih sedikit daripada
fee for service dan tidak menimbulkan dampak negatif pada kepuasan pasien (Sisyani
dkk, 2016).
Menggunakan jaminan kesehatan di rumah sakit dapat mencegah pemberian
pelayanan kesehatan yang berlebihan (overutilization) karena rumah sakit
memberikan pelayanan sesuai dengan Clinical Pathway sehingga menjadi lebih
efektif dalam mengendalikan biaya kesehatan. Sedangkan sistem pembiayayan Fee
For Service (FFS) pasien dapat mempengaruhi dokter untuk memberikan pelayanan
terbaik untuk dirinya sehingga pelayanan menjadi boros. Dalam hal ini sistem
pembiayaan kesehatan yang efektif dan efisien adalah sistem jaminan kesehatan. Hal
ini didukung oleh Charles, dkk yang menyatakan bahwa perawatan yang berkualitas
adalah perawatan lebih murah, lebih baik, lebih efisien, dan tidak boros (Sisyani dkk,
2016).
Pemerintah menjamin tidak akan ada perbedaan jumlah dan kualitas
pengobatan yang diberikan kepada masyarakat dalam program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN). Meskipun harga paket pelayanan kesehatan berbeda pada tiap
wilayah berdasarkan regionalisasi, namun dengan sistem paket Indonesia-Case Based
Groups (INA-CBG's), kualitas pelayanan pengobatan tetap sama di setiap wilayah.
Obatnya tidak berbeda dalam jumlah dan kualitas di regional manapun, selama paket
dan penyakitnya sama. Perbedaan hanya pada harga yang diwujudkan dalam tarif
paket yang tidak sama (Sisyani dkk, 2016).
Berdasarkan hasil penelitian Isnaini tahun 2011 dengan judul “Kesesuaian
Kode yang Dibuat antara Lembar Case-Mix dengan Sistem Software INA-DRGs
Pasien Rawat Inap Tindakan Bedah di RSUD Dr. R Koesma Tuban” menunjukkan
bahwa pengisian kode di bangsal dilakukan oleh perawat sedangkan untuk pengisian
kode di instalasi case-mix INA-DRGs dilakukan oleh petugas coding. Angka
ketidaksesuaian kode diagnosis yang dibuat berjumlah 39,22%, dan angka kesesuaian
kode yang dibuat berjumlah 60,78%. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat
ketidaksesuaian kode yang dibuat antara lembar case-mix dan sistem software INA-
DRGs pasien rawat inap tindakan bedah. Faktor yang menyebabkan ketidaksesuaian
kode yang dibuat adalah SDM, sistem yang dipakai dan infrastruktur. Dampak yang
dihasilkan dari ketidaksesuaian kode diagnosis antara lembar case-mix dan sistem
36
software INA-DRGs yaitu apabila dalam pengkodean terjadi kesalahan dalam
memasukkan kode diagnosis penyakit ke sistem software maka akan memberikan
implikasi yang besar kepada jumlah reimbursement, grouping INA-DRGs akan betul
dan rumah sakit akan mendapatkan reimbursement yang cukup apabila dalam
memasukkan diagnosis utama betul, dan jika dalam memasukkan diagnosis utama
kedalam sistem software INA-DRGs salah maka biaya DRG dapat berubah yang
rendah kepada biaya DRG yang tinggi (Ode dkk, 2015).
Terjadi dampak buruk penyesuaian sistem pembayaran rumah sakit terhadap
kualitas layanan rawat inap akibat implementasi DRG. Perubahan kualitas layanan
rawat inap pasca perubahan sistem pembayaran rumah sakit telah banyak terjadi
khususnya di Amerika Serikat. Rata-rata durasi rawat inap turun drastis pasca
penerapan sistem pembayaran prospektif dalam bentuk Diagnosis- Related
Groups/DRG. Pengurangan durasi rawat inap menjadi salah satu strategi rumah sakit
untuk menghemat biaya untuk memaksimalkan keuntungan dengan memanfaatkan
selisih antara tarif DRG dengan biaya rawat inap yang sesungguhnya. Setidaknya di
Amerika Serikat, strategi ini telah berhasil menghemat biaya pelayanan rawat inap
yang berimplikasi pada peningkatan keuntungan rumah sakit. Disisi lain, durasi rawat
inap yang lebih singkat dari seharusnya, setelah mempertimbangkan diagnosa dan
tingkat keparahan, menjadi indicator upaya rumah sakit untuk menurunkan biaya dan
meningkatkan keuntungan dengan memulangkan pasien lebih cepat (Ode dkk, 2015).

v. Pembayaran per Pasien: Kapitasi


Sistem kendali mutu pelayanan dan sistem pembayaran tersebut salah satunya dengan
menggunakan sistem pembayaran kapitasi yaitu tarif pelayanan kesehatan pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (PMK Nomor 69 Tahun 2013). Dalam konsep kapitasi,
dorongan upaya-upaya pencegahan dan promotive sangat besar, sehingga konsep kapitasi
akan mengubah orientasi pelayanan, dari kuratif ke preventif, dengan sangat
mempertimbangkan dampak ekonomi dari upaya preventif tersebut (Sulastomo, 2005).
Dalam pembayaran kapitasi, dokter juga akan memberikan layanan yang berkualitas
tinggi, dengan menegakkan diagnosis yang tepat dan terapi yang tepat pula (Thabrany,
2014).
Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif
Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan
Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan, maka cara
37
pembayaran kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama secara praupaya berdasarkan
kapitasi atas jumlah peserta yang terdaftar di fasilitas kesehatan tersebut. Tarif kapitasi
ini merupakan rentang nilai yang besarannya untuk setiap Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama ditetapkan berdasarkan seleksi dan kredensial yang dilakukan oleh BPJS
Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tarif Kapitasi
diberlakukan bagi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang melaksanakan pelayanan
kesehatan komprehensif kepada Peserta Program Jaminan Kesehatan berupa Rawat Jalan
Tingkat Pertama (PMK No. 69 tahun 2013). Standar Tarif Kapitasi di FKTP ditetapkan
sebagai berikut (PMK No. 59 tahun 2014):
A. Puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara sebesar Rp3.000,00 (tiga ribu
rupiah) sampai dengan Rp6.000,00 (enam ribu rupiah)
B. Rumah Sakit Kelas D Pratama, klinik pratama, praktik dokter, atau fasilitas
kesehatan yang setara sebesar Rp8.000,00 (delapan ribu rupiah) sampai dengan
Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).
Penelitian yang dilakukan Kurnia & Nurwahyuni (2017), menunjukkan hasil
perhitungan kapitasi menunjukkan bahwa besaran tarif kapitasi berbeda-beda antara
setiap kelompok umur. Terdapat pola besaran tarif kapitasi yang sama pada suatu FKTP
yaitu kapitasi akan lebih tinggi pada kelompok umur 0-4 tahun dan ≥50 tahun dan
cenderung turun pada kelompok umur produktif. Berdasarkan perhitungan dana kapitasi
yang diterima FKTP dari BPJS Kesehatan terdapat FKTP yang memperoleh total dana
kapitasi lebih besar apabila kapitasi berdasarkan kelompok umur dan sebaliknya untuk
FKTP lainnya. FKTP tersebut menerima lebih banyak dana kapitasi yang dihitung
berdasarkan kelompok umur dikarenakan pada jumlah peserta yang terdaftar didalamnya
didominasi oleh balita dan orang tua yaitu berumur lebih dari 50 tahun. Dari hasil
penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penerimaan total dana kapitasi akan lebih
adil apabila dibuat per umur bagi FKTP, karena dana kapitasi yang diterima akan
disesuaikan dengan faktor utama pemanfaatan pelayanan kesehatan, salah satunya yaitu
umur. Hal ini disebabkan kapitasi didasarkan pada pengumpulan risiko dari peserta yang
terdaftar. Dengan demikian, FKTP yang pesertanya lebih banyak pada peserta lanjut usia
(≥ 60 tahun) atau peserta balita akan mendapatkan dana kapitasi yang lebih banyak
sesuai dengan risiko yang ditanggung FKTP tersebut. BPJS Kesehatan diharapkan dapat
mengimplementasikan tarif kapitasi berdasarkan umur karena dianggap lebih sesuai
untuk FKTP dan BPJS Kesehatan itu sendiri. BPJS juga sebaiknya meningkatkan fungsi

38
aplikasi primary care untuk melihat tren utilisasi pada setiap FKTP (Kurnia &
Nurwahyuni, 2017).

vi. Pembayaran per Institusi : Global Budget


Global budget merupakan cara pendanaan RS untuk semua pelayanan/aktifitas
selama 1 (satu) tahun sehingga dalam penghitungannya akan mempertimbangkan jumlah
pelayanan pada tahun sebelumnya, kegiatan lain yang diperkirakan akan dilaksanakan,
dan kinerja RS tersebut. Dengan global budget maka RS memiliki kepastian anggaran
selama kurun waktu tertentu dan memiliki keleluasaan untuk memanfaatkan anggaran
yang ada guna meningkatkan pelayanan kesehatan. Di sisi lain, badan penyelenggara
memiliki kepastian biaya pelayanan di RS dan dapat fokus kepada peningkatan kualitas
pelayanan peserta serta penguatan sistem jaminan kesehatan nasional. Pengalokasian
dana ini harus dilakukan secara adil (fair) dan transparan kepada faskes, oleh karenanya
luarannya harus jelas dan terukur. Kedua belah pihak (badan penyelenggara dan RS)
harus mengetahui dengan pasti bahwa besaran budget yang telah ditetapkan adalah untuk
memenuhi luaran yang telah disepakati. Global Budget bermanfaat untuk mengendalikan
kecenderungan peningkatan aktifitas akibat pembayaran DRG dan juga untuk menjaga
budget di tingkat nasional (Idris dkk, 2021).
Tidak ada sistem pembayaran pelayanan kesehatan yang sempurna dalam
penerapannya termasuk sistem pembayaran DRG (Diagnosis-Related Groups) yang lebih
dikenal dengan nama INA-CBGs (Indonesia Case-Based Groups) di Indonesia.
Beberapa negara yang mengadopsi DRG telah menerapkan kebijakan pembayaran mixed
method DRG-Global Budget dengan variasi implementasinya demi menjaga
kesinambungan sistem jaminan kesehatan nasional di negaranya. BPJS Kesehatan
menginisiasi studi operasional penerapan sistem pembayaran rumah sakit mixed-method
INA-CBGs dan Global Budget mulai tahun 2018. Terdapat tiga tahapan dalam uji coba
sistem pembayaran rumah sakit mixed-method INA-CBGs dan Global Budget ini (Idris
dkk, 2021).
BPJS Kesehatan menginisiasi studi operasional penerapan sistem pembayaran RS
mixed-method INA-CBGs dan Global Budget. Terdapat 3 (tiga) tahapan dalam uji coba
sistem pembayaran ini: tahap pertama adalah Global Budget Tanpa Resiko. Pada tahap
ini BPJS Kesehatan bersama RS menghitung dan menyepakati besaran global budget
namun belum ada penerapan risiko atas lebih atau kurangnya budget tersebut sehingga
besaran dana yang akan diterima oleh RS sesuai dengan klaim yang diajukan oleh RS.
39
Pada tahun pertama, budget yang telah disepakati belum diberikan kepada RS (virtual)
dan proses pembayaran klaim tetap mengikuti prosedur yang berlaku sesuai sistem
pembayaran INA- CBGs. Risiko lebih atau kurang atas budget yang dihitung ditanggung
sepenuhnya oleh BPJS Kesehatan. Kinerja RS dipantau dan dihitung namun tidak
berdampak pada besaran budget. Kinerja tersebut yang dipantau adalah readmisi,
casemix, casemix index, Rujukan Horisontal, Pulang Atas Permintaan Sendiri dan
infeksi nosokomial. Pada tahun kedua di tahap pertama, BPJS Kesehatan membayar
budget RS per triwulan dengan penangguhan (withhold) diberikan pada akhir tahun tanpa
adanya penerapan risiko kepada RS atas lebih atau kurangnya budget. Besaran withhold
yang digunakan pada studi ini sebesar 30%. Kinerja RS dihitung namun tidak berdampak
pada besaran budget (Idris dkk, 2021).
Tahap kedua adalah Global Budget Risiko Sebagian. Pada tahap ini budget yang
telah disepakati sudah diberikan kepada RS per triwulan dan withhold diberikan pada
akhir tahun dengan penerapan pembagian risiko pada kedua belah pihak atas lebih atau
kurangnya budget. Persentase pembagian risiko ini akan disepakati besarannya dengan
menyesuaikan kondisi keuangan masing-masing pihak dengan besaran persentase lebih
besar pada BPJS Kesehatan. Proses pembayaran klaim tetap mengikuti prosedur yang
berlaku dan menggunakan tarif INA-CBGs. Risiko lebih atau kurang atas budget
dihitung dan dibagi kepada kedua pihak. Kinerja rumah sakit menjadi pertimbangan
besaran budget tahun berikutnya (Idris dkk, 2021).
Tahap ketiga adalah Global Budget Risiko Penuh. Pada tahap ini budget yang telah
disepakati diberikan kepada RS per triwulan dan withhold diberikan pada akhir tahun.
Pada tahap ini sudah ada penerapan risiko penuh kepada RS atas lebih atau kurangnya
budget. Untuk proses pembayaran klaim tetap mengikuti prosedur yang berlaku dan
menggunakan tarif INA-CBGs. Kinerja rumah sakit dihitung dan menjadi pertimbangan
besaran budget tahun berikutnya (Idris dkk, 2021).

Konsep Penghitungan Mixed Method INA-CBGs dan Global Budget


Sistem pembayaran pelayanan kesehatan yang digunakan adalah mixed method INA-
CBGs dan Global Budget sehingga dalam konsep penghitungan global budget dilakukan
sesuai konteks kebijakan pembayaran INA-CBGs seperti dilihat pada gambar 2

40
Gambar 2. Alur Penghitungan Global Budget

Pada global budget 2019, selisih antara besaran budget dengan realisasi klaim
cukup rendah bahkan dibawah 1% pada tingkat kabupaten, walaupun selisih di tingkat
RS melebihi 5% pada RS Sayang Ibu. Hal ini terjadi karena terdapat
pergeseran/shifting pasien dari RS Prof. Hanafiah ke RSIA Sayang Ibu khususnya
pada kasus Ibu dan Anak bertepatan dengan pengembangan layanan di rawat jalan
dan fasilitas di RSIA Sayang Ibu berupa penambahan jumlah tempat tidur di Kelas 1
sehingga mampu melayani lebih banyak pasien dari sebelumnya. Pengembangan
layanan di RSIA Sayang Ibu ini tidak serta merta meningkatkan kapasitas RS dari
aspek kemampuannya menangani kasus yang lebih parah karena realisasi CMI nya
relatif tetap dibandingkan saat penghitungan global budget. Rendahnya realisasi
casemix rawat inap RS Prof. Hanafiah akibat rendahnya jumlah kunjungan rawat inap
diimbangi dengan tingginya casemix rawat jalan. Tingginya realisasi casemix rawat
jalan (lebih tinggi 5,1% dari global budget) disebabkan oleh adanya penambahan
fasilitas Hemodialisis di tahun berjalan yang sebelumnya tidak dimiliki oleh RS.
Temuan ini menunjukkan bahwa pada kondisi yang normal, global budget dapat
dihitung menggunakan metodologi yang telah ditetapkan. Selain itu penghitungan
global budget di tingkat kabupaten/kota lebih bagus hasilnya dibandingkan dengan
menghitung global budget langsung di tingkat RS karena mengakomodir shifting
pasien dari RS yang satu ke RS yang lainnya karena perubahan kapasitas RS (Idris
dkk, 2021).
Terdapat pergeseran yang cukup signifikan antara budget 2020 yang sudah
dihitung sebelumnya dengan realisasi klaimnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa
variabel kunci yaitu jumlah peserta, jumlah kunjungan, casemix dan casemix index
seperti dijelaskan di bawah ini.
a. Jumlah Peserta

41
Jumlah peserta merupakan variabel yang sangat krusial karena variable ini
sangat terkait erat dengan jumlah kunjungan yang akan terjadi. Disamping jumlah
peserta secara total, jumlah peserta menurut hak kelas kamar juga menjadi penting
mengingat besaran klaim akan berbeda sesuai dengan hak kelas rawat. Dari hasil
evaluasi diketahui bahwa terdapat selisih negatif antara prediksi jumlah peserta
dengan realisasinya di semua kabupaten kota serta terjadi perubahan pola
persebaran jumlah peserta menurut hak kelas rawat. Hampir di semua kabupaten
kota terjadi kenaikan proporsi peserta kelas 3 kecuali di Kota Bogor. Hal ini terjadi
karena kenaikan Iuran pada kelas 1 dan kelas 2. Sementara itu di Kota Bogor
terjadi kenaikan proporsi peserta kelas 1 akibat perpindahan peserta dari kelas 2 ke
kelas 1 menyusul adanya kebijakan kenaikan UMR di wilayah tersebut. Selain itu
kenaikan iuran dan kondisi pandemi juga mempengaruhi kemampuan membayar
peserta khususnya PBPU (Idris dkk, 2021).
b. Jumlah Kunjungan
Jumlah kunjungan sangat dipengaruhi oleh jumlah peserta. Bergesernya
realisasi jumlah peserta dibandingkan dengan prediksinya membuat prediksi
jumlah kunjungan yang dihitung sebelumnya tidak tercapai. Disamping itu terdapat
perubahan proporsi jumlah kunjungan menurut hak kelas rawat diakibatkan
perubahan proporsi jumlah peserta. Sebagai contoh proporsi jumlah kunjungan
rawat inap di kelas 2 mengalami penurunan yang cukup tajam diiringi kenaikan
kunjungan rawat inap di kelas 1, sesuai perubahan proporsi jumlah peserta menurut
hak kelas rawat (Idris dkk, 2021)..
Selain penurunan jumlah peserta, adanya pancemi Covid-19 memberikan
dampak yang sangat besar bagi rumah sakit. Terjadi penurunan jumlah kunjungan
di rumah sakit secara signifikan. Penurunan jumlah kunjungan bervariasi antar
kabupaten kota. Penurunan jumlah kunjungan rawat inap terbesar hingga mencapai
50 % dan hingga 90% pada rawat jalan di bulan April 2020. Pada bulan September
2020, jumlah kunjungan rawat inap dan rawat jalan berkisar 40-60% dari angka
yang semestinya (Idris dkk, 2021)..
Terdapat fenomena yang sama di semua kabupaten kota dimana RS
mengalami penurunan jumlah kasus JKN baik rawat inap maupun rawat jalan
terutama pada RS Rujukan Covid (biasanya RSUD dan RS swasta terpilih). Hal ini
disebabkan karena masyarakat enggan periksa ke RS bila tidak dalam kondisi
darurat, masyarakat yang menderita penyakit non covid enggan periksa di RS
42
rujukan covid, tutupnya poli karena dokter spesialisnya berusia lanjut, ditutupnya
RS (baik poli rawat jalan maupun IGD) selama beberapa hari karena Nakes
terinfeksi Covid serta kebijakan Pemda yang mengatur RS Rujukan Covid hanya
menerima pasien Covid (Idris dkk, 2021).
Uniknya terdapat beberapa RS yang jumlah kunjungannya relatif tetap bahkan
mengalami peningkatan di masa pandemi. Hampir semua RS khusus Ibu dan Anak
memiliki jumlah kunjungan yang tetap bahkan meningkat karena terdapat shifting
pasien Ibu dan Anak yang biasanya datang ke RSUD (RS Rujukan Covid) beralih
ke RSIA. Hal ini terlihat dari turunnya proporsi kasus persalinan di RSUD.
Disamping itu kasus persalinan merupakan kasus yang penanganannya tidak dapat
ditunda sehingga mengharuskan pasien untuk datang ke RS. Namun demikian
terdapat beberapa RSU yang meningkat jumlah kunjungannya baik rawat inap
maupun rawat jalan karena melakukan pengembangan layanan dan fasilitas yang
signifikan pada tahun berjalan. Rumah Sakit Nyi Ageng Serang Kulonprogo
membuka pelayanan rawat inap kelas 1 dan kelas 2 pada tahun 2020 dimana
sebelumnya hanya memiliki pelayanan kelas 3 saja. Rumah Sakit Harapan
Keluarga Sumedang juga mengembangkan pelayanan rawat jalan dan rawat
inapnya sehingga realisasi kunjungannya melebihi penghitungan global budget
(Idris dkk, 2021).

c. Casemix dan Casemix Index


Dalam penelitian Idrus dkk (2021), terdapat selisih realisasi CMI 2020 dengan
prediksinya yang digunakan untuk menghitung global budget. Selisih CMI ini
bervariasi antar rumah sakit, sebagian RS memiliki realisasi yang lebih kecil
namun yang lainnya memiliki realisasi CMI yang lebih besar yang disebabkan oleh
:
1. Penambahan dan pengurangan dokter spesialis dan alat medik selama tahun
berjalan.
Hal ini sangat terkait dengan kebijakan diijinkannya dokter praktek di 3 RS
yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Beberapa RS menambah dokter
spesialis misal dokter mata, dokter jantung, dokter urologi dan lain
sebagainya. Penambahan dokter ini akan mempengaruhi jumlah kunjungan ke
rumah sakit dan juga CMI nya karena dengan adanya dokter tersebut maka RS
akan melayani kasus-kasus yang belum pernah dilayani sebelumnya baik
43
kasus rawat jalan maupun rawat inap. Biasanya hal ini akan membuat CMI di
rumah sakit tersebut meningkat. Di lain pihak, ada RS yang ditinggalkan oleh
dokter spesialisnya sehingga kapasitasnya berkurang dan tidak ada lagi kasus-
kasus tertentu terkait dengan dokter spesialis tersebut. Hal ini lah yang
membuat realisasi CMI di RS lebih rendah dibanding penghitungan global
budget. Penambahan dan pengurangan kapasitas ini terjadi di seluruh
kabupaten/ kota.
2. Perubahan Tipe RS pada tahun berjalan.
Terdapat beberapa RS yang berganti tipe pada tahun 2020, yang awalnya tipe
D menjadi tipe C (RS Ainun Habibie), dan ada pula dari C menjadi B.
Perubahan tipe ini akan berdampak langsung pada nilai cost weight dan
hospital base rate yang digunakan dalam penghitungan budget karena tarif
INA-CBGs berbeda menurut Tipe RS. Selain perubahan tipe kelas ada rumah
sakit yang memperluas layanan tidak hanya khusus saja namun dapat melayani
secara umum.
3. Perubahan kapasitas tempat tidur RS di tahun berjalan.
Beberapa RS mengembangkan kapasitas RS dengan mengadakan kelas
perawatan 1 dan 2 yang sebelumnya hanya melayani kelas 3 sehingga
mempengaruhi casemix di masing- masing kelas kamar perawatan.
4. Perubahan jenis layanan yang diakses oleh peserta JKN.
Terjadi perubahan pola utilisasi layanan Kesehatan pada saat pandemi Covid-
19. Jumlah pelayanan yang tidak dapat ditunda seperti Hemodialisis,
persalinan, pelayanan thalassemia dan lain-lain proporsinya meningkat
terhadap total kunjungan sehingga menyebabkan terjadinya perubahan pola
casemix index di RS.
Tantangan Piloting Global Budget
Terdapat beberapa tantangan dalam pelaksanaan uji coba global budget di beberapa
daerah yaitu (Idris dkk, 2021) :
1. Pandemi Covid-19 memberikan dampak signifikan terhadap kunjungan di rumah
sakit sehingga sangat mempengaruhi selisih budget dengan realisasi klaimnya di
tahun 2020. Terdapat situasi ketidakpastian yang diakibatkan oleh pandemic Covid-
19. Diperkirakan dampak pandemi ini tidak akan selesai dalam waktu dekat
sehingga mempengaruhi penghitungan global budget di tahun-tahun berikutnya

44
2. Fluktuasi jumlah peserta karena adanya kebijakan eksternal merupakan variabel
yang berkontribusi terhadap selisih antara budget dan realisasi klaim.
3. Perubahan (penambahan atau penurunan) kapasitas RS termasuk perubahan tipe RS
dalam tahun berjalan sangat mempengaruhi besarnya gap antara global budget dan
realisasi klaim. Selisih ini tidak hanya terjadi pada RS yang bersangkutan namun
juga pada RS lainnya karena adanya shifting pasien antar RS.
4. Perubahan kepemimpinan di RS mengharuskan adanya upaya sosialisasi yang terus
menerus oleh KC BPJS.
5. Ketersediaan sistem informasi di RS yang sangat bervariasi berpengaruh terhadap
kesiapan RS dalam menyiapkan data klaim yang dibutuhkan dalam penghitungan
global budget. Terdapat beberapa rumah sakit yang akhirnya menggunakan data dari
BPJS Kesehatan karena tidak memiliki data klaim secara utuh.
6. Pada tahun 2020 terdapat 2 RS di Kabupaten Tanah Datar yang telah mendapatkan
dana global budget per termin. Tantangan yang dihadapi oleh BPJS Kesehatan
adalah menyiapkan kebijakan dan sistem yang mengakomodir pemberian dana per
termin serta memastikan ketersediaan anggaran pada periode tertentu sesuai dengan
kesepakatan yang dibuat. Selain itu perlu dibuat sistem yang mempermudah proses
penghitungan global budget dan monitoring-evaluasinya terhadap pemanfaatan
pelayanan kesehatan dan realisasi Global Budget.
7. Pada tahun 2021, pemberian dana global budget per termin akan diberlakukan pada
30 RS. Terdapat RS yang saat ini mengalami krisis manajemen keuangan sehingga
muncul diskusi penggunaan uang muka yang akan diberikan per termin guna
menutupi defisit RS. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan potensi
penyalahgunaan dana dan pengurangan cakupan sehingga dirasa diperlukan
mekanisme untuk memastikan kinerja keuangan rumah sakit.
Sistem Pembayaran Mix method global budget dapat digunakan sebagai alternatif
pembayaran guna menjaga budget secara nasional namun perlu dikembangkan model
untuk memprediksi jumlah kunjungan karena kepesertaan JKN yang masih fluktuatif
sebelum Universal Health Coverage (UHC) dari sisi peserta tercapai. Pada kondisi
normal, metodologi penghitungan global budget yang diterapkan cukup akurat untuk
memprediksi kebutuhan pendanaan di RS. Selain itu penghitungan global budget di
tingkat Kabupaten/Kota lebih bagus hasilnya dibandingkan dengan menghitung global
budget langsung di tingkat RS karena mengakomodir shifting pasien dari RS yang satu
ke RS yang lainnya karena perubahan kapasitas RS (Idris dkk, 2021)..
45
Untuk mengelola perubahan kapasitas di tahun berjalan sebaiknya dibuat pengaturan
rentang waktu perubahan kapasitas yang akan ditolerir oleh penghitungan Global
Budget. Keterlibatan dan peran BPJS Kesehatan dan Dinas Kesehatan dalam
perencanaan pelayanan Kesehatan di kabupaten/kota harus ditingkatkan agar terjadi
sinkronisasi antara supply layanan dengan demand peserta JKN. Hal ini bisa ditempuh
dengan penguatan koordinasi antar lembaga, sehingga RS tidak berjalan sendiri dalam
pengembangan layanannya. Melalui mekanisme ini maka efisiensi pelayanan kesehatan
akan lebih mudah tercapai (Idris dkk, 2021)..
Global Budget tidak dapat berjalan sendiri namun perlu di implementasikan bersama
intervensi lain untuk mencapai tujuannya (penguatan FKTP, Indikator yang lain seperti
readmisi, kasus rujukan, kasus outlier dan inlier dan lain lain). Penguatan FKTP sebagai
gate keeper juga harus dilakukan secara paralel dengan implementasi global budget agar
tujuan efisiensi dapat tercapai. Dengan semakin kuatnya FKTP sebagai gate keeper maka
tingkat rujukan ke RS dapat dikendalikan. Penguatan FKTP ini sangat memerlukan
dukungan dari Pemda terutama Dinas Kesehatan yang membawahi Puskesmas. Upaya
penguatan FKTP untuk menekan angka rujukan juga dilakukan oleh BPJS. Saat ini telah
dilakukan beberapa kajian diantaranya adalah layanan refraksi, telemedicine dan
pelayanan gigi (Idris dkk, 2021).

46
BAB III
KESIMPULAN

Selama tahun 1990-an, keinginan untuk meminimalisir biaya yang dikeluarkan, mencetuskan
mekanisme perubahan pembayaran kepada dokter dan RS yaitu:
1. Perusahaan asuransi swasta, Medicare dan Medicaid mengganti metode pembayaran
fee for service, yang mendorong penggunaan lebih banyak layanan. Fee For Service
diganti dengan metode pembayaran yang menyebabkan tekanan bagi dokter dan RS
untuk membatasi jumlah dan biaya layanan yang diberikan. Penggabungan semua
biaya layanan menjadi satu pembayaran cenderung mengalihkan resiko keuangan dari
pembayar (asuransi) ke dokter dan RS.
2. Sebelumnya, tingkat pembayaran sebagian besar ditentukan oleh penyedia
(penggantian biaya yang wajar untuk RS dan dokter). Saat ini tingkat pembayaran
semakin ditentukan oleh negosiasi antara pembayar dan penyedia atau oleh daftar
biaya yang ditetapkan oleh pembayar
Subtitusi kapitasi dan mekanisme paket lainnya digunakan sebagai pengganti fee for
service, sebagian besar untuk pembayaran dokter. Sementara RS pada umumnya dibayar
dengan mekanisme paket.
Salah satu tantangan dalam merancang sistem pembayaran yang optimal adalah
keseimbangan antara insentif untuk overtreatment dan undertreatment (Casalino, 1992 dalam
Bodenheimer & Grumbach, 2008). Layanan Kesehatan Nasional Inggris secara tradisional
menggabungkan unit pembayaran untuk praktisi umum, membayar anggaran global untuk
biaya overhead (misalnya, sewa kantor dan staf), pembayaran kapitasi untuk setiap pasien
yang terdaftar dalam praktik, dan pembayaran fee for service secara selektif untuk layanan
pencegahan (misalnya vaksinasi dan pap smear) dan beberapa kunjungan rumah. Di Amerika
Serikat, beberapa organisasi perawatan terkelola mengikuti contoh Inggris, menciptakan
pembayaran campuran untuk dokter yang mencakup unsur kapitasi dan biaya layanan
Robinson, 1999 dalam Bodenheimer & Grumbach, 2008). Inovasi ini memiliki potensi untuk
menyeimbangkan insentif overtreatment dan undertreatment. (Bodenheimer & Grumbach,
2012)

47
DAFTAR PUSTAKA

Bodenheimer, T., & Grumbach, K. (2012). Understanding Health Policy A Clinical


Approach. In Understanding Health Policy A Clinical Approach Sixth Edition. The
McGraw-Hill Companies.
https://www.statista.com/statistics/934320/us-health-expenditure-as-percent-of-gdp-
forecast/ . Diakses pada tanggal 24 Februari 2022.

CIGNA. What is Managed Care? [Internet]. Cigna Health and Life Insurance Company
(CHLIC). 2022 [cited 2022 Feb 26]. Available from:
https://www.cigna.com/individuals-families/understanding-insurance/what-is-
managed-care

Heryana A. Asuransi Kesehatan & Managed Care. Jakarta: Universitas Esa Unggul; 2021.
130–140 p.

MedlinePlus. Managed Care [Internet]. National Library of Medicine. 2018 [cited 2022 Feb
26]. Available from: https://medlineplus.gov/managedcare.html#:~:text=Managed care
plans are a,depends on the network’s rules

Suhanda R. Jaminan kesehatan dan managed care. JKS. 2015;2:104–13.


World Health Organization. World Health Statistics 2011. Geneva. 2011
Permenkes No 27 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Sistem INA CBGs. Jakarta
Sisyani, Firman Pribadi, Mariska Urhmila. 2016. Perbedaan Kualitas Pelayanan Pada Sistem
Pembayaran INA-CBGs Dengan Fee For Service Di RS PKU Muhammadiyah Bantul.
Jurnal Asosiasi Dosen Muhammadiyah Magister Administrasi Rumah Sakit Vol.2 No. 2.
Rahayuningrum IO, Tamtomo Dg, Suryono A, 2017. Analisis Tarif Rumah Sakit
Dibandingkan Dengan Tarif Indonesian Case Based Groups pada Pasien Rawat Inap
Peserta Jaminan Kesehatan Nasional Di Rumah Sakit. Jurnal Unimus.
Idris, Nurwahyuni, Mundiharno, Saut, Jaya, Baros, et al. 2021. Sistem Pembayaran Mixed
Method INA-CBGs dan Global Budget di Rumah Sakit: Tahap 1 Uji Coba Mixed
Method INA-CBGs-Global Budget di Indonesia. Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia.
Volume 5 Nomor 2.
Putra PRS, Indar dan Jafar N. 2014. Ability to pay dan catastrophic payment pada peserta

48
pembayar mandiri bpjs kesehatan kota makassar. Jurnal Kesehatan, 4 (3 ): 283 ± 290
Sisyani, Firman Pribadi, Mariska Urhmila. 2016. Perbedaan Kualitas Pelayanan Pada Sistem
Pembayaran INA-CBGs Dengan Fee For Service Di RS PKU Muhammadiyah Bantul.
Jurnal Asosiasi Dosen Muhammadiyah Magister Administrasi Rumah Sakit Vol.2 No. 2.
Undang-undang Nomer 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Undang-undang Nomer 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Wijayani, Rina Wahyu. 2018. Dampak Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) Terhadap Kinerja Keuangan Rumah Sakit Vertikal Kementerian Kesehatan.
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI. Vol. 07: No. 03.
Ode Dina W, Karimuna S R, Sabril M. 2015. Studi Penerapan Sistem Pembayaran Layanan
Kesehatan Dengan Sistem Diagnosis Penyakit (Indonesia Case Based Groups / INA-
CBGs) Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Bahteramas Kota Kendari Tahun
2015. Jimkesmas : UHO.
Sulastomo. 2005. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Penyelenggara Jaminan Kesehatan.
Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Thabrany, Hasbullah. 2014. Jaminan Kesehatan Nasional. Depok: RajaGrafindo Persada.
Kurnia AN, Nurwahyuni A. 2017. Analisis Perhitungan Kapitasi pada Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama yang Bekerja Sama dengan BPJS Kesehatan KCU Kota Bogor Tahun
2015. Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia. Volume 2, Nomor 1.
Cots, F., Chiarello, P., Salvador, X., Castells, X., & Quentin, W. (2011). DRG-based hospital
payment: Intended and unintended consequences. In R. Busse, A. Geissler, W. Quentin,
& M. Wiley, Diagnosis-Related Groups in Europe Moving towards transparency,
efficiency and quality in hospitals. New York: Mc Graw Hill
Suhartoyo. 2018. Klaim Rumah Sakit Kepada BPJS Kesehatan Berkaitan Dengan Rawat
Inap Dengan Sistem INA– CBGs. Adminitrative Law & Governance Journal. Vol. 1
Edisi Khusus 1 . ISSN 2621 – 2781

49

Anda mungkin juga menyukai