Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu indikator positif
meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya kecenderungan
meningkatnya kasus malpraktek dikalangan kedokteran, diadukan atau bahkan dituntut pasien yang
akibatnya seringkali membekas bahkan mencekam para tenaga kedokteran yang pada gilirannya akan
mempengaruhi proses pelayanan kesehatan dimasa yang akan datang. Masalahnya tidak setiap upaya
pelayanan kesehatan hasilnya selalu memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya
dengan mudah menimpakan beban kepada pasien bahwa telah terjadi malpraktek. Kasus malpraktek
yang sering dipahami sebagai kelalayan dokter juga harus dianalisis lebih dalam terkait alat-alat
kedokteran yang menjadi penunjang keberhasilan pada proses pelayanan kesehatan. Terkait kasus-kasus
yang muncul mengenai malpraktek, kasus yang baru-baru ini terjadi adalah dugaan kasus malpraktek
Mauren di Rumah Sakit Awal Bros Tangerang Banten. Mengingat semakin maraknya kemunculan kasus-
kasus malpraktek yang terjadi akhir-akhir ini bersamaan dengan semakin meningkatnya kemajuan dalam
pelayanan medis, maka kasus malpraktek ini harus dikaji sebagai sebuah kasus kriminalitas yang terjadi
akibat suatu kelalayan dan propesionalitas tenaga kedokteran.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dilihat masih adanya pelayanan kesehatan oleh tenaga medis
yang kurang memuaskan pada pasien. Maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
tentang permasalahan malpraktek tenaga medis dan upaya pencegahannya.

1.3 Tujuan Penulisan

1. Menjelaskan pengertian malpraktek

2. Menjelaskan jenis-jenis malpraktek kedokteran

3. Menjelaskan cara-cara pembuktian malpraktek

4. Menjelaskan tentang tanggung jawab secara hukum

5. Memahami upaya pencegahan malpraktek dan mengetahui cara menghadapi

tuntutan hukum.
1.4 Manfaat Penulisan

1. Menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan terutama

yang berkaitan dengan malpraktek tenaga medis.

2. Memahami permasalahan yang berkaitan dengan malpraktek tenaga medis serta upaya-upaya
untuk mencegahnya.

3. Memahami tuntutan hukum terhadap malpraktek tenaga medis.

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Malpraktek

Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara
harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau
“tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti
harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya
tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi malpraktek profesi
kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat danbidan) untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang
lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama”
(Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).

Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi bidan.

Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh
sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari
sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice
dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam
profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek
perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang
mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk
menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang
jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical
malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).

2.2 Malpraktek Dibidang Hukum

Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang
dilanggar, yakni Criminal malpractice,Civil malpractice dan Administrative malpractice.

1. Criminal malpractice

Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan
tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :

a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.

b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional),
kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).

· Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional):

a. Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi:

Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau
pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu diancam dengan pidana penjara paling lama
sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah. Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap
seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut ata pengaduan orang itu.

b. Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP
Mengatakan: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

c. Pasal 348 KUHP menyatakan: Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau
me¬matikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun enam bulan. Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

d. Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan
kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan
yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat
ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana
kejahatan dilakukan.

e. Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan, yang berbunyi: Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Ayat (2)
Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima
tahun. Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Ayat (4)
Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. Ayat (5) Percobaan untuk melakukan
kejahatan ini tidak dipidana.

· Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa
persetujuan pasien informed consent.

a. Pasal 347 KUHP menyatakan: Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan
kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun. Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart pidana penjara
paling lama lima belas tahun.

b. Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan
kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan
yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat
ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana
kejahatan dilakukan.

· Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati melakukan proses
kelahiran.

a. Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-
luka berat.

Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lamasatu tahun.

b. Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat: Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya
menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau kurungan paling lamasatu tahun. Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan
orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan
pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.

c. Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter,
bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya
hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula. Pasal 361
KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu
jabatan atau pen¬caharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut
haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat
memerintahkan supaya putusnya diumumkan. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal
malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang
lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

2. Civil malpractice

Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau
tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).

Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:

a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.

b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.

c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.

d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan
pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana
kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan
tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

3. Administrative malpractice

Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut telah melanggar
hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai
kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi
bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta
kewajiban bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat
dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

2.3 Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan Kesehatan


Dari definisi malpraktek adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan
bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat
pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan
yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).

Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian bidan
dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan
diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan
resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam
transaksi teraputik antara bidan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning
verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaat verbintenis).

Apabila bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah
bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya
kesalahan. Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah
perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :

a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela

b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh
atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga
mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya
unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati
ataupun kurang praduga. Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat
dilakukan dengan dua cara yakni :

· Cara langsung Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :

a. Duty (kewajiban) Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak
berdasarkan: 1) Adanya indikasi medis, 2) Bertindak secara hati-hati dan teliti, 3) Bekerja sesuai standar
profesi, 4) Sudah ada informed consent.

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan pekerjaan
menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut
standard profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.

c. Direct Causation (penyebab langsung)

d. Damage (kerugian) Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung)
antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa
atau tindakan sela diantaranya, dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif
tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka
pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
· Cara tidak langsung Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien,
yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin res ipsa
loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:

a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai

b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan

Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory
negligence. Misalnya ada kasus saat bidan akan memotong tali pusat bayi, saat memotong tali pusat ikut
terluka perut pasien tersebut. Dalam hal ini perut yang luka dapat dijadikan fakta yang secara tidak
langsung dapat membuktikan kesalahan bidan, karena:

a. Perut bayi tidak akan terluka apabila tidak ada kelalaian tenaga perawatan.

b. Memotong tali pusat bayi adalah merupakan/berada pada tanggung jawab bidan.

c. Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.

2.4 Tanggung Jawab Hukum

Seperti dikemukakan di depan bahwa tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan
kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat
dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan
atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian
tersebut merupakan akibat kelalaian bidan. Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung
gugat, antara lain:

1. Contractual liability

Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang
sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan
keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya
bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.

2. Vicarius liability

Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat
oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan
bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.
3. Liability in tort Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan
hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk
juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam
pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).

2.5 Upaya Pencegahan dan Menghadapi

Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan. Dengan adanya kecenderungan masyarakat
untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya
selalu bertindak hati-hati, yakni:

a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk
daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).

b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.

c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.

d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.

e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.

f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

Upaya menghadapi tuntutan hukum Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak
memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah bersifat pasif dan
pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan. Apabila tuduhan kepada bidan
merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat melakukan :

a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang
diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan
bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau
mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan
dalam perumusan delik yang dituduhkan.

b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-
doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung
jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan
mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.

c. Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga
yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam tuduhan civil
malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah
mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus
membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil
sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami
penggugat.

d. Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta
yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan
menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan
kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah
orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan bidan.

3.3 Malpraktek Ditinjau dari Segi Hukum

1. Sangsi hukum

Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan (dolus)
dan ataupun kelalaian (culpa)seperti dalam kasus malpraktek dalam bidang orthopedy yang kami ambil,
maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena
dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu
menghilangkan nyawa seseorang. Perbuatan tersebut telah nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter
sebagai suatu profesi yang mulia.

Pekerjaan profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus sangat berhati-hati untuk
mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan tugas-tugasnya karena sebagaimana yang telah
diuraikan di atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya ditujukan terhadap tindakan kesengajaan (dolus)
saja.Tetapi juga akibat kelalaian (culpa) dalam menggunakan keahlian, sehingga mengakibatkan kerugian,
mencelakakan, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Selanjutnya, jika kelalaian dokter tersebut
terbukti merupakan tindakan medik yang tidak memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-
undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik
dengan sanksi pidana.

Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan
hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lama satu tahun”. Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa
seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), (1) ‘Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat
luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu
tahun’. (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga
timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau
denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan malpraktik,
sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Jika kejahatan yang diterangkan
dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah
dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana
dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.” Namun, apabila
kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan
jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan
izin praktik) dapat dilakukan.

Berdasarkan Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindakan malpraktik juga dapat
berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus)
telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan
kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh
kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau
kurang hati-hatinya.”

2. Kepastian hukum

Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas dapat dipastikan bahwa
bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan. Tetapi, juga para dokter akan dibayangi kecemasan
diseret ke pengadilan karena telah melakukan malpraktik dan bahkan juga tidak tertutup kemungkinan
hilangnya profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik. Dalam situasi seperti ini azas kepastian
hukum sangatlah penting untuk dikedepankan dalam kasus malpraktik demi terciptanya supremasi
hukum. Apalagi, azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga negara untuk diperlakukan sama di
depan hukum (equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah (presumptions of innocence)
sehingga jaminan kepastian hukum dapat terlaksana dengan baik dengan tanpa memihak-mihak siapa
pun.

Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang dapat dikategorikan seorang dokter telah melakukan
malpraktik, apabila (1) Bahwa dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter telah melanggar standar
pelayanan medik yang lazim dipakai. (2) Pelanggaran terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan
merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). (3) Melanggar UU No. 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan.
3.4 Malpraktek Ditinjau dari Segi Etika

Ditinjau dari Sudut Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI) Etika punya ari yang
berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah,
etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral,
dan moral adalah sitem tentang motifasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau
buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia
untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertindak?. Bagi
seorang sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya
tertentu. Bagi praktisi professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya, etika berarti
kewajiban dan tanggungjawab memenuhi harapan profesi dan masyarakat, serta bertindak dengan cara-
cara yang professional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjadinya interaksi antara pemberi
dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, professional dan terhormat.

Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan
profesinya sesuai denga standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seeorang dokter dalam melakukan
kegiatan kedokterannya seebagai seorang proesional harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir,
hokum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter hrus senantiasa mengingat
akan kewajiban melindungi hidup insani”. Arinya dalam setiap tindakan dokter harus betujuan untuk
memelihara kesehatan dan kebahagiaan manusia.

Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI) sangatlah perlu ditingkatkan untuk
menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering terjadi yang dilakukan oleh setiap
kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat/pengacara, notaris, akuntan, dll. Pengawasan
biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus
tersebut seperti Majelis Kode Etik. Dalam hal ini Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata
terbukti melanggar kode etik maka dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang
diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Karena itu seperti kasus yang ditampilkan maka juga harus
dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam kode etik.

Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga dapat
dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk
memeriksa dan memutus kasus tersebut.

Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga
yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter yang
bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata. Sudah
saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan
malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan
komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini
maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hokum profesinya.

3.5 Malpraktek Ditinjau dari Sudut Pandang Agama

Ditinjau dari Sudut Pandang Agama. Adapun agama–agama memandang malpraktek, khususnya yang
menyebabkan kematian atau bisa pasien kehilangan nyawanya. Menurut pandangan Islam. Dikatakan
bahwa jatah hidup itu merupakan ketentuan yang menjadi hak prerogatif Tuhan, biasanya disebut juga
haqqullâh (hak Tuhan), bukan hak manusia (haqqul âdam). Artinya, meskipun secara lahiriah atau
tampak jelas bahwa saya menguasai diri saya sendiri, tapi saya sebenarnya bukan pemilik penuh atas diri
saya sendiri. Untuk itu, saya harus juga tunduk pada aturan-aturan tertentu yang kita imani sebagai
aturan Tuhan. Atau, meskipun saya memiliki diri saya sendiri, tetapi saya tetap tidak boleh membunuh
diri.

Dari sini dapat kita katakana bahwa, sebagai individu saja kita tidak berhak atas diri atau kehidupan yang
kita miliki, apalagi kehidupan orang lain. Karena itu maka setiap tindakan yang oada akhirnya
menghilangkan hidup atau nyawa seseorang bisa dianggap sebagai satu tindakan yang melanggar hak
prerogatif Tuhan. Dengan demikian segala macam tindakan malpraktek adalah suatu pelanggaran.

BAB VI

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Atas dasar beberapa uraian yang telah disebutkan di muka kiranya dapat diambil suatu kesimpulan
sehubungan dengan masalah malpraktek bidan, adalah sebagai berikut:

1. Kasus malapraktek merupakan suatu kasus yang menarik, yang sering dialami oleh masyarakat, dan
yang sekaligus merupakan manifestasi dari kemajuan teknologi kesehatan dengan berbagai peralatannya
yang canggih. Sementara itu dengan semakin banyaknya kasus malpraktek yang disidangkan di
Pengadilan dan bermunculannya berita-berita tentang malpraktek tenaga medis di mass media karena
kegagalannya dalam berpraktek sehingga mengakibatkan cidera-nya atau meninggalkan pasien,
menunjukkan bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat mulai meningkat, sehingga perpaduan antara
kedua hal tersebut di atas akan menimbulkan suatu perbenturan atau sengketa.
2. Sedangkan altrnatif untuk menyelesaikan sengketa itu sendiri, untuk sementara waktu ini belum
memadai, sehingga kasus-kasus malpraktek dijumpai kandas di pemeriksaan sidang pengadilan. Oleh
sebab sangst diperlukan adanya suatu pemikiran-pemikiran yang jernih dari para arsitek hukum untuk
mene-mukan alternatif apa yang dapat dipakai dalam menghadapi kasus-kasus malpraktek tersebut,
sebab kasus ini sangat banyak berkaitan dengan kepentingan masyarakat, khususnya bagi yang merasa
dirugikannya.

3.2 Saran

1. Kiranya pihak aparat penegak hukum, sebagai pencari penegakan hukum yang aktif di dalam
masyarakat, kiranya dapat berperan aktif dan melihat dengan jeli indikasi-indikasi kasus malapraktek ini.

2. Selanjutnya, sebagai rangkaian dalam keaktifannya dalam mencari penegakan hukum, Kejaksaan
sebagai Penuntut Umum dan sebagai pengawasan penyidik sesuai dengan isi KUHP, dapat meningkatkan
peranannya dengan jalan membina kerja sama yang erat dengan pihak penyidik (polisi) untuk dapat
membongkar kasus-kasus malapraktek yang selama ini masih banyak yang ter-tutup, baru kemudian
tugas bagi hakim untuk lebih teliti dan obyektif dalam mengambil vonisnya.

3. Perlu juga untuk menambah pengetahuan bagi para penegak hukum ini, khususnya pengetahuan
dalam bidang kebidanan, sehingga jika terjadi kasus malapraktek mereka dapat menyidik, menuntut dan
memutus perkara dengan tepat sesuai dengan kemampuan/pengetahuannya. Hal ini dapat ditempuh
dengan cara mengadakan seminar-seminar atau diberikan semacam pendidikan khusus yang
menyangkut masalah kebidanan, khususnya hal-hal yang sangat erat kaitannya dengan kejadian-kejadian
yang timbul di sekitar malapraktek. Atau minimal mereka diberikan suatu pegangan/pedoman tentang
hokum untuk profesi bidan dan segala aspeknya. Dari hal ini diharapkan agar nantinya setiap kasus
malpraktek dapat benar-benar diselesaikan dengan tuntas.

4. Diharapkan tenaga medis akan lebih waspada dan hati-hati dalam melaksanakan tugasnya,
masyarakat menjadi aman dan puas atas pelayanannya dan penegak hukum dapat lancar dalam
bertugas, akhirnya penegakan hukum dapat berjalan sebagaimana kita harapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Ameln, F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.

Mariyanti, Ninik, 1988, Malpraktek Kedokteran, Bina Aksara, Jakarta.

Undang undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;


http://nonameface.wordpress.com/2010/02/06/poin-poin-penting-undang-undang-kesehatan-no-36-th-
2009/

http://www.kksp.or.id/?pilih=lihatdl&id=30

http://bataviase.co.id/node/590966

http://ikpreg1b.blogspot.com/2011/01/kasus-malpraktek-dalam kesehatan.html

http://lahasmile.com/62468/kasus-maureen-harus-diproses-hukum.html

http://arsipberita.com/arsip/kasus-maureen-global-medika.html

http://www.indonesiaheadlines.com/index.php?id=1440285

--------------+++++++++++++++++++++++++++++------

Anda mungkin juga menyukai