Anda di halaman 1dari 13

1. A.

Hukum warisan parental atau bilateral adalah memberikan hak yag sama antara pihak laki-laki dan
pihak perempuan, baik kepada suami dan istri, serta anak laki-laki dan anak perempuan termasuk
keluarga dari pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan. Ini berarti bahwa anak laki-laki dan anak
perempuan adalah sama-sama mendapatkan hak warisan dari kedua orang tuanya, bahkan duda dan
janda dalam perkembangannya juga termasuk saling mewarisi.

Bahkan proses pemberian harta kepada ahli waris khususnya kepada anak, baik kepada anak laki-laki
maupun anak perempuan umumnya telah dimulai sebelum orang tua atau pewaris masih hidup. Dan
sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat ini adalah individual artinya bahwa harta
peninggalan dapat dibagi-bagikan dari pemiliknya atau pewaris kepada para ahli warisnya, dan dimiliki
secara pribadi.

Sifat sistem hukum kewarisan adat parental atau bilateral yang pada umumnya di pulau Jawa, termasuk
Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sebenarnya dapat dilihat dari
beberapa segi pertama segi jenis kelamin, ini dapat dibagi dua kelompok, pertama kelompok laki- laki
dan kelompok perempuan. Kedua segi hubungan antara pewaris dengan ahli waris. Dari segi ini juga ada
dua kelompok pertama yaitu kelompok ahli waris karena terjadinya ikatan perkawinan suami dan istri.
Kelompok kedua adalah kelompok hubungan kekerabatan, karena adanya hubungan darah ini ada tiga
yaitu kelompok keturunan pewaris, seperti anak pewaris, cucu pewaris, buyut pewaris, canggah pewaris
dan seterusnya ke bawah sampai galih asem. Kelompok asal dari pada pewaris, yaitu orang tua dari
pewaris, seperti ayah dan ibu dari pewaris, kakek dan nenek pewaris, buyut laki-laki dan buyut
perempuan pewaris, dan seterusnya ke atas sampai simbah galih asem dari pihak laki-laki dan
perempuan. Dan kelompok ketiga adalah hubungan kesamping dari pewaris, seperti saudara-saudara
pewaris, baik laki-laki maupun perempuan seterusnya sampai anak cucunya serta paman dan bibi
seterusnya sampai anak cucunya, dan siwo atau uwa laki-laki dan perempuan sampai anak cucunya.

Dalam sistem hukum warisan parental atau bilateral juga menganut keutamaan sebagai mana sistem
hukum warisan matrilineal. Menurut Hazairin ada tujuh kelompok keutamaan ahli waris parental atau
bilateral, artinya ada kelompok ahli pertama, kelompok ahli waris kedua, kelompok ahli waris ketiga dan
seterusnya sampai kelompok ahli waris ketujuh.

Dimaksud kelompok keutamaan disini, ialah suatu garis hukum yang menentukan di antara kelompok
keluarga pewaris, yang paling berhak atas harta warisan dari pewaris, artinya kelompok pertama
diutamakan dari kelompok kedua dan kelompok kedua diutamakan dari kelompok ketiga dan
seterusnya. Sehingga kelompok-kelompok ini mempunyai akibat hukum, bahwa kelompok pertama
menutup kelompok kedua, dan kelompok kedua menutup kelompok ketiga seterusnya sampai
kelompok ketujuh. Berdasarkan uraian tersebut di atas, tampaknya hukum warisan parental itu tidak
terlepas dari sistem kekerbatan yang berlaku, karena kelompok ahli waris itu menghitungkan hubungan
kekerabatan malalui jalur laki-laki dan jalur perempuan. Sehingga kedudukan ahli waris laki-laki dan
perempuan sama sebagai ahli waris

Atas dasar kesamaan hak antara laki-laki dengan perempuan, sehingga perolehan harta warisannya
tidak ada perbedaan, yaitu satu berbanding satu, maksudnya bagian warisan laki-laki sama dengan
bagian perolehan perempuan. Namun dalam perkembangannya hukum warisan adat parental
khususnya di Jawa kelompok laki-laki dengan kelompok perempuan bervariasi ada dua berbanding satu,
artinya laki-laki mendapat bagian dua bagian dan perempuan mendapat satu bagian. Adanya variasi itu
karena terpengaruh ajaran agama Islam, karena hukum warisan Islam perolehan harta warisan antara
laki-laki dengan perempuan dua berbanding satu, artinya laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan
perempuan mendapat satu bagian, (lihat Qur‘an Surat An-Nisa‘ ayat 11 dan 12).

Dengan adanya perubahan perolehan harta warisan antara laki-laki dengan perempuan, ini
membuktikan bahwa hukum warisan adat parental khususnya di Jawa telah mendapat resepsi dari
hukum Islam, meskipun dalam praktek belum seluruhnya mayarakat merecepsi hukum warisan Islam.
Disamping itu tentunya dakwah Islam berhubungan dengan hukum-hukum keluarga, khususnya hukum
warisan belum optimal dilakukan oleh para jura dakwah, sehingga pengetahuann hukum warisan belum
dipahami betul oleh umat Islam di daerah pedalaman. Hal ini juga dapat diperhatikan bahwa
penyampain ajaran Islam lebih banyak mengenai ibadah mafdhoh, kebanyakan yang berkaitan shalat,
puasa, haji dan lain sebagainya

Hukum kesadisan patrilineal :


Sistem Kekeluargaan dan Hukum Adat Waris

Setiap keturunan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia memiliki kekhususan dalam hukum
warisnya yang satu sama lain berbeda-beda, yaitu:

Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-
laki. Di dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol,
contohnya pada masyarakat Batak. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki seba anak perempuan
yang telah kawin dengan cara ”kawin jujur” yang kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak
suami, selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris orang tunya yang meninggal dunia.

Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang
perempuan. Di dalam sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya.
Anak-anak menjadi ahli waris dari garis perempuan/garis ibu karena anak-anak mereka merupakan
bagian dari keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih merupakan anggota keluarganya sendiri, contoh
sistem ini terdapat pada masyarakat Minangkabau.

Sistem Parental atau bilateral, yaitu sistem yang menarik garis keturunan dari dua sisi, baik dari pihak
ayah maupun dari pihak ibu. Di dalam sistem ini kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam hukum
waris sama dan sejajar. Artinya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli waris dari
harta peninggalan orang tua mereka.

Disamping sistem kekelurgaan yang sangat berpengaruh terhadap pengaturan hukum adat waris
terutama terhadap penepatan ahli waris dan bagian peninggalan yang diwariskan, hukum adat waris
mengenal tiga sistem kewarisan, yaitu:

Sistem kewarisan invidual yaitu suatu sistem kewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris
mewarisi secara perorangan, misalnya di : Jawa, Batak, Sulawesi, dan lain-lain ;

Sistem kewarisan kolektif, yaitu sistem yang menentukan bahwapara ahli waris mewaris harta
peninggalan secara bersama-sma (kolektif) sebab harta peninggalan yang diwarisi itu tidak dapat dibagi-
bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris. Contohnya ”harta pusaka”di Minangkabau dan
”tanah dati” di Semenanjung Hitu Ambon ;
Sistem kewarisan mayorat, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa harta peninggalan pewaris
hanya diwarisi oleh seorang anak.

Sistem mayorat ini ada dua macam, yaitu:

Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua/sulung atau keturunan laki-laki merupakan ahli waris
tunggal dari si pewaris, misalnya di Lampung ;

Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua merupakan ahli waris tunggal dari pewaris,
misalnya pada masyarakat Tanah Demendo di Sumatera Selatan.

Sistem Kekeluargaan Patrilineal

Hukum Adat Waris Patrilineal

Dalam masyarakat tertib Patrilineal hanyalah anak laki-laki yang menjadi ahli waris, karena anak
perempuan di luar dari golongan patrilinealnya semula, sesudah mereka itu kawin.

Terdapat beberapa alasan atau argumentasi yang melandasi sistem hukum adat waris masyarakat
patrilineal, sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris yang
meninggal dunia, sedangkan anak perempuan sama sekali tidak mewaris. Hal ini didasarkan pada
anggapan kuno yang “memandang rendah kedudukan wanita dalam masyarakat Kuno khususnya, dan
dalam masyarakat Batak pada umunya”. Titik tolak anggapan tersebut, yaitu:

Emas kawin (tukur), yang membuktikan bahwa perempuan dijual ;

Adat lakoman (levirat) yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara dari suminya yang
telah meninggal ;
Permpuan tidak mendapat warisan ;

Perkataan “naki-naki” menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk tipuan, dan lain-lain.

Kenyataan bahawa anak laki-laki merupakan ahli waris pada masyarakat Karo, dipengaruhi pula oleh
beberapa faktor sebagai berikut:

Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki. Anak perempuan tidak dapat melanjutkan silsilah
(keturunan keluarga) ;

Dalam rumah-tangga, isteri bukan kepala keluarga. Anak-anak memakai nama keluarga (marga) ayah.
Isteri digolongkan ke dalam keluarga (marga) suaminya ;

Dalam adat, wanita tidak dapat mewakili orangtua (ayahnya) sebab ia masuk anggota keluarga suaminya
;

Dalam adat, kalimbubu (laki-laki) dianggap anggota keluarga sebagai orang tua (ibu);

Apabila terjadi perceraian, suami-isteri, maka pemeliharaan anak-anak menjadi tanggung jawab
ayahnya. Anak laki-laki kelak merupakan ahli waris dari ayahnya baik dalam adat maupun harta benda.

Pewaris, Ahli waris dan Pembagian Harta Pusaka

Dalam sistem hukum adat waris di Tanah Karo, pewaris adalah seorang yang meninggal dunia dengan
meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama dalam perkawinan maupun
harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan suku Karo yamg memakai marga itu berlaku
keturunan patrilineal maka orangtua merupakan pewaris bagi anak-anak laki-laki dan hanya anak laki-
laki yamg merupakan ahli waris dari orang tuanya. Akan tetapi anak laki-laki tidak dapat membantah
pemberian kepada anak perempuan, demikian pula sebaliknya. Hal tersebut didasarkan pada prinsip
bahwa orang tua (pewaris) bebas menentukan untuk membagi-bagi harta benda kepada anak-anaknya
berdasarkan kebijakan orang tua yang tidak membedakan kasih sayangnya kepada anak-anaknya.
Ahli waris atau para ahli waris dalam sistem hukum adat waris di Tanah Patrilineal, terdiri atas:

Anak laki-laki

Yaitu semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewarisi seluruh harta kekayaan baik harta
pencaharian maupun harta pusaka. Jumlah harta kekayaan pewaris dibagi sama diantara para ahli waris.
Apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki, yang ada hanya anak perempuan dan isteri, maka harta
pusaka tetap dapat dipakai, baik oleh anak perempuan maupun oleh isteri seumur hidupnya, setelah itu
harta pusaka kembali kepada asalnya atau kembali pada ”pengulihen”.

Anak angkat

Dalam masyarakat Karo, anak angkat merupakan ahli waris yang kedudukannya sama seperti anak sah,
namun anak angkat ini hanya menjadi ahli waris terhadap harta pencaharian/harta bersama orangtua
angkatnya. Sedangkan untuk harta pusaka, anak angkat tidak berhak

Ayah dan ibu serta sudara-saudara sekandung si pewaris. Apabila anak laki-laki yang sah maupun anak
angkat tidak ada, maka yang menjadi ahli waris adalah ayah dan ibu serta saudara-saudara kandung si
pewaris yang mewaris bersama-sama.

Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu. Apabila anak laki-laki yang sah, anak angkat,
maupun saudara-saudara sekandung pewaris dan ayah-ibu pewaris tidak ada, maka yang tampil menjadi
ahli waris adalah keluarga terdekat yang tidak tertentu.

Persekutuan adat

Apabila para ahli waris yang disebutkan di atas sama sekali tidak ada, maka harta warisan jatuh kepada
persekutuan adat.
Ketentuan hukum adat waris di Tanah Karo menentukan, bahwa hanya keturunan laki-laki yang berhak
untuk mewarisi harta pusaka. Yang dimaksud dengan harta pusaka atau barang adat yaitu barang-
barang adat yang tidak bergerak dan juga hewan atau pakaian-pakaian yang harganya mahal. Barang
adat atau harta pusaka ini adalah barang kepunyaan marga atau berhubungan dengan kuasa kesain,
yaitu: ”bagian dari kampung secara fisik”. Barang-barang adat adat meliputi : tanah kering (ladang),
hutan, dan kebun milik kesain.

Proses penyerahan barang-barang harta benda kekayaan seseorang kepada keturunannya, seringkali
sudah dilakukan ketika orang tua (pewaris) masih hidup. Pembagian yang dilakukan secara kerukunan
itu terjadi di depan anak beru, senina, dan kalimbubu. Terkadang pembagian itu juga dihadiri oleh
penghulu untuk menambah terang. Apabila pembagian dilakukan setelah pewaris meninggal dunia,
maka perlu diperhatikan, bahwa pada dasarnya semua anak laki-laki mempunyai hak yang sama
terhadap harta peninggalan orang tuanya, namun pembagian itu harus dilakukan dengan sangat
bijaksana sesuai dengan kehendak/pesan pewaris sebelum meninggal dunia.

Sistem Kekeluargaan Matrilineal

Hukum Waris Adat Matrilineal

Sistem kekeluargaan Matrilineal di Minangkabau adalah sistem menarik garis keturunan dari pihak ibu
yang dihitung menurut garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-
saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan.
Dengan sistem tersebut, maka semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik
untuk harta pusaka tinggi yaitu harta yang turun temurun dari beberapa generasi, maupun harta pusaka
rendah yaitu harta yang turun dari satu generasi. Jika yang meninggal dunia itu seorang laki-laki, maka
anak-anaknya serta jandanya tidak mempunyai ahli waris untuk harta pusaka tinggi, sedang yang
menjadi ahli warisnya adalah seluruh kemenakannya. Masyarakat Minangkabau menurut adatnya
melaksanakan hukum waris kemenakan, sedangkan agama yang dipeluk oleh masyarakat memiliki pula
hukum waris melalui anak pada umum yaitu faraidh. Akan tetapi hukum waris kemenakan di
Minangkabau tidak melanggar hukum faraidh sebab di dalam masyarakat Minangkabau tidak terdapat
gezin dalam sutu kesatuan unit yang terdapat atas ayah, ibu, dan anak-anak, melainkan hanya dikenal
kaum yang kesatuan unit yang lebih besar dari gezin.

Dasar hukum waris kemenakan di Minangkabau bermula dari pepatah adat Minangkabau, yaitu pusaka
itu dari nenek turun ke mamak, dari mamak turun ke kemenakan. Pusaka yang turun itu bisa mengenai
gelar pusaka ataupun mengenai harta pusaka. Apabila ia meninggal dunia, gelar tersebut akan turun
kepada kemenakannya, yaitu anak dari saudara perempuan dan tidak sah jika gelar itu dipakai oleh
anaknya sendiri.

Harta Warisan Dalam Hukum Adat Waris Minangkabau


Harta kaum dalam masyarakat Minangkabu yang akan diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak
terdiri atas:

Harta pusaka tinggi

Yaitu harta yang turun-temurun dari beberapa generasi, baik yang berupa tembilang basi yakni harta tua
yang diwarisi turun temurun dari mamak kepada kemenakan, maupun tembilang perak, yakni harta yng
diperoleh dari hasil tua, kedua jenis harta pusaka tinggi ini menurut hukum adat akan jatuh kepada
kemenakan dan tidak boleh diwariskan kepada anak.

Harta pusaka rendah

Yaitu harta yang turun dari satu generasi.

Harta pencaharian

Yaitu harta yang diperoleh dengan melalui pembelian atau taruko. Harta pencaharian ini bila pemiliknya
meninggal dunia akan jatuh kepada jurainya sebagai harta pusaka rendah. Untuk harta pencaharian ini
sejak tahun 1952 ninik-mamak dan alim ulama telah sepakat agar harta pewarisan ini diwariskan kepada
anaknya. Perihal ini masih ada pendapat lain, yaitu ”bahwa harta pencaharian harus diwariskan paling
banyak 1/3 (sepertiga) dari harta pencaharian untuk kemenakan ”.

Harta suruang

Yaitu seluruh harta benda yang diperoleh secara bersama-sama oleh suami-isteri selama masa
perkawinan. Tidak termasuk ke dalam harta suruang ini, yakni harta bawaan suami atau harta tetapan
isteri yang telah ada sebelum perkawinan berlangsung.

Sistem Kekeluargaan Parental atau Bilateral


Hukum Waris Adat Parental atau Bilateral

Sistem kekeluargaan dengan menarik garis keturunan dari kedua belah pihak orang tua, yaitu baik garis
keturunan bapak maupun dari garis ibu yang dikenal dengan sebutan sistem parental atau bilateral.
Sistem parental ini di Indonesia dianut di banyak daerah, seperti : Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau,
Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok.

Sistem kekeluargaan parental atau bilateral ini memiliki ciri khas yaitu bahwa yang merupakan ahli waris
adalah anak laki-laki maupun anak perempuan. Mereka mempunyai hak yang sama atas harta
peninggalan orang tuanya sehingga dalam proses pengalihan/pengoperan sejumlah harta kekayaan dari
pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dan anak perempuan mempunyai hak untuk diperlakukan sama.

Harta Warisan Menurut Hukum Adat Waris Parental

Harta warisan, yaitu sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia
yang terdiri atas:

Harta asal

Harta asal adalah kekayaan yang dimiliki oleh seseorang yang diperoleh sebelum maupun selama masa
perkawinan dengan cara pewarisan, hibah, hadiah, turun-temurun.
Harta asal dapat berubah wujud (misalnya dari sebidang tanah menjadi rumah). Perubahan wujud ini
tidak menghilangkan harta asal dijual dan kemudian dibelikan rumah. Rumah yang dibeli dari uang hasil
penjualan harta asal akan tetap sebagai harta asal, yaitu rumah

Harta bersama

Salah satu istilah lain harta bersama yaitu tumpang kaya. Istilah tumpang kaya ini terdapat dalam bentuk
perkawinan nyalindung ke gelung dan manggih kaya.

Ahli Waris dalam Hukum Adat Waris Parental

Sedarah dan Tidak Sedarah

Ahli waris adalah ahli waris sedarah dan yang tidak sedarah. Ahli waris yang sedarah terdiri atas anak
kandung, orang tua, saudara, dan cucu. Ahli waris yang tidak sedarah, yaitu anak angkat, janda/duda. Di
daerah Cianjur, seorang anak adalah ahli waris, apabila pengangkatannya disahkan oleh pengadilan
negeri.

Jenjang atau urutan ahli waris adalah: Pertama, anak/anak-anak. Kedua, orang tua apabila tidak ada
anak, dan Ketiga, saudara/saudara-saudara kalau tidak ada orang tua.

Kepunahan atau Nunggul Pinang

Ada kemungkinan seorang pewaris tidak mempunyai ahli waris (punah) atau lazim disebut nunggul
pinang. Menurut ketentuan yang berlaku di daerah Kabupaten Bandung, Banjar, Ciamis, Kawali,
Cikoneng, Karawang Wetan, Indramayu, Pandeglang, apabila terjadi nunggul pinang, barang atau harta
peninggalan akan diserahkan kepada desa. Selanjutnya desalah yang akan menentukan pemanfaatan
atau pembagian harta kekayaan tersebut. Di Pandeglang kalau pewaris mati punah, harta warisan jatuh
kepada desa atau mungkin juga pada Baitulmaal, masjid atau wakaf. Di daerah Kabupaten Cianjur,
kekayan seorang yang meninggal tanpa ahli waris, selain diserahkan kepada desa, mungkin diserahkan
kepada desa baitulmaal atau kepada orang tidak mampu. Di Kecamatan Kawali, selain diserahkan ke
desa juga diserahkan kepada yayasan sosial.

Anak Angkat dan Perkawinan Poligami dalam Hukum Adat Parental

Anak Angkat

Pengadilan Negeri Indramayu dan Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung pernah memutuskan:

”Anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya, yang bukan barang asal atau
barang warisan”. (PN Indramayu tanggal 8 September 1969, No.24/1969/Perd.,PT Bandung tanggal 14
Mei 1970, Nomor 511/1969/Perd)

Ahli Waris dalam Perkawinan Poligami

Dalam hal si pewaris beberapa kali kawin dan meninggalkan anak sah dari tiap perkawinan itu, maka
harta peninggalan campur kaya yang dikuasai oleh janda yang masih hidup terakhir tidak dibagikan
kepada semua anak dari tiap isteri (sehingga hanyalah anak yang sah daripada janda yang bersangkutan,
yang menjadi ahli waris harta campur kaya yang ditinggalkan itu). (PN Indramayu tanggal 15 September
1969 Nomor 23/1969/Pdt.,PT Bandung tanggal 29 Januari 1971, No.218/1969/Perd/PTB).

Kehilangan Hak Mewaris


Seorang ahli waris akan kehilangan hak mewaris karena alasan:

Ahli waris atau para ahli waris membunuh pewaris (Banjar, Ciamis, Cikoneng, Leuwiliang, Cileungsi,
Cianjur) ; atau

Ahli waris atau para ahli waris berpindah agama (Cisarua, Leuwiliang, Cileungsi, Banjar, Ciamis,
Cikoneng,Cianjur).

Di Cikoneng, selain karena alasan membunuh pewaris atau pindah agama (murtad), seorang ahli waris
dapat kehilangan hak mewaris karena alasan pegat waris. Di daerah Cianjur, seorang ahli waris tidak
akan kehilangan hak mewaris karena alasan tidak menurut, atau karena melakukan perkawinan tanpa
restu pewaris

Anda mungkin juga menyukai