Anda di halaman 1dari 15

A.

UU terkait Malpraktek
Aspek hukum malpraktik kedokteran disini akan dijelaskan dari tiga aspek
hukum, yaitu: (1) Aspek Hukum Perdata Malpraktik Kedokteran, (2) Aspek Hukum
Pidana Malpraktik Kedokteran, dan (3) Aspek Hukum Administrasi Malpraktik
Kedokteran. Ketiga aspek hukum tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan
hukum kepada dokter yang diduga melakukan malpraktek medik serta pasien yang
menjadi korban malpraktik medik. Suatu tindakan dokter dapat digolongkan sebagai
tindakan malpraktek medik, jika memenuhi berbagai elemen yuridis. Elemen yuridis
tersebut meliputi: 1
1. Adanya tindakan pengabaian;
2. Tindakan tersebut dilakukan oleh dokter atau orang di bawah pengawasannya;
3. Tindakan tersebut berupa tindakan medis, yaitu tindakan diagnosis, terapeutik,
manajemen kesehatan;
4. Tindakan tersebut dilakukan terhadap pasiennya;
5. Tindakan tersebut dilakukan secara: a. Melanggar hukum, dan atau; b.
Melanggar kepatutan, dan atau; c. Melanggar kesusilaan, dan atau; d. Prinsip-
prinsip profesional.
6. Dilakukan dengan kesengajaan atau ketidakhati-hatian (kelalaian,
kecerobohan);
7. Tindakan tersebut mengakibatkan pasien dalam perawatannya: a. Salah tindak,
dan atau; b. Rasa sakit, dan atau; c. Luka, dan atau; d. Cacat, dan atau; e.
Kematian, dan atau; f. Kerusakan pada tubuh dan atau jiwa, dan atau; g.
Kerugian lainnya terhadap pasien.
8. Menyebabkan dokter harus bertanggungjawab secara administrasi, perdata,
dan pidana.
Dalam hal terjadi malpraktek medik, dokter seringkali dituduh melakukan
kelalaian yang pada umumnya dianggap sebagai malpraktek medik. Malpraktek
medik terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu malpraktek etik dan malpraktek yuridis. Dalam
hal terjadi malpraktek medik, dokter seringkali dituduh melakukan kelalaian yang
pada umumnya dianggap sebagai malpraktek medik. 1
Malpraktek medik terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu malpraktek etik dan malpraktek
yuridis. Malpraktek etik ini merupakan dampak negatif dari kemajuan teknologi
kedokteran. Kemajuan teknologi ini sebenarnya bertujuan untuk memberikan
kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, serta membantu dokter mempermudah
menentukan diagnosa dengan lebih cepat, tepat, akurat sehingga rehabilitasi pasien
tidak memberikan dampak negatif yang merugikan. Efek samping tersebut meliputi:
komunikasi antara dokter dengan pasien semakin berkurang, etika kedokteran
terkontaminasi kepentingan bisnis, harga pelayanan medis sangat tinggi, serta
berbagai perusahaan yang menawarkan obat kepada dokter dengan janji kemudahan
yang akan diperoleh dokter jika mau menggunakan obat tersebut sehingga
mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien. 1
Malpraktek yuridis dapat dibedakan menjadi 3 (tiga). Hal tersebut meliputi
malpraktek perdata, malpraktek pidana, dan malpraktek administrasi. 1
1. Aspek Hukum Perdata Malpraktik Kedokteran
Aspek hukum perdata disini menyangkut hubungan dokter dan pasien.
Malpraktik perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak
terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh
tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Dalam malpraktik
perdata yang dijadikan ukuran dalam malpraktik yang disebabkan oleh
kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis). Karena apabila
yang terjadi adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya perbuatan
tersebut termasuk dalam malpraktik pidana. Contoh dari malpraktik perdata,
misalnya seorang dokter yang melakukan operasi ternyata meninggalkan sisa
perban didalam tubuh si pasien. Setelah diketahui bahwa ada perban yang
tertinggal kemudian dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban yang
tertinggal tersebut. Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat
diperbaiki dan tidak menimbulkan akibat negatif yang berkepanjangan
terhadap pasien.
a. Hubungan hukum dokter-pasien dalam kontrak terapeutik membentuk
pertanggung jawaban perdata
Dari sudut hukum perdata, hubungan hukum dokter-pasien berada
dalam suatu perikatan hukum (verbintenis). Perikatan artinya hal yang
mengikat subjek hukum yang satu terhadap subjek hukum yang lain.
Perikatan hukum adalah suatu ikatan antara dua atau lebih subjek
hukum untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu atau
memberikan sesuatu (Pasal 1313 juncto Pasal 1234 BW) yang disebut
prestasi.
Dalam hubungan hukum dokter-pasien disamping melahirkan hak
dan kewajiban para pihak, juga membentuk pertanggungjawaban
hukum masingmasing. Bagi para dokter, prestasi berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu in casu tidak berbuat salah atau keliru dalam
perlakuan medis yang semata-mata ditujukan bagi kepentingan
kesehatan pasien, adalah kewajiban hukum yang sangat mendasar
dalam perjanjian dokter pasien (kontrak terapeutik), yang dalam
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
disebut dengan kalimat singkat ialah “kesepakatan antara dokter atau
dokter gigi dengan pasien” (Pasal 39).
Dari sudut perdata, malapraktik kedokteran terjadi apabila
perlakuan salah dokter dalam hubungannya dengan pemberian prestasi
pelayanan medis pada pasien menimbulkan kerugian keperdataan. Hal
ini terkadang berbarengan dengan akibat yang menjadi unsur tindak
pidana tertentu. Unsur adanya kerugian kesehatan fisik, jiwa maupun
nyawa pasien akibat dari salah perlakuan oleh dokter, merupakan unsur
esensial malapraktik kedokteran perdata maupun pidana. Dengan
timbulnya akibat kerugian perdata bagi pasien sebagai dasar
terbentuknya pertanggungjawaban hukum perdata bagi dokter. 1

b. Wanprestasi dalam malapraktik kedokteran


Beban pertanggungjawaban dokter terhadap akibat malapraktik
kedokteran dari sebab perbuatan melawan hukum, karena dari pasal
1236 juncto Pasal 1236 BW selain pergantian kerugian, pasien juga
dapat menuntut biaya dan bunga. Tuntutan terhadap kerugian idiil
(immateriil) akibat dari perbuatan melawan hukum dapat dilakukan,
sedangkan wanprestasi tidak. Tidak menjadi sembuhnya pasien bukan
merupakan alasan wanprestasi bagi dokter selama perlakuan medis
dokter tidak menyimpang dari Standar Profesi Medis dan Standar
Prosedur Operasional. Karena hubungan dokter pasien bukan
hubungan yang memuat kewajiban hukum dokter yang ditujukan pada
hasil (resultaat) pelayanan medis, melainkan kewajiban untuk
perlakuan medis dengan sebaik-baiknya dan secara maksimal, tidak
salah langkah atau salah prosedur (berdasarkan Standar Profesi dan
Standar Prosedur). 1
Jadi, sepanjang perlakuan medis terhadap pasien telah dilakukan
secara besar dan patut menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional dan sesuai dengan kebutuhan medis pasien, tanpa hasil
penyembuhan yang diharapkan tidak menimbulkan malapraktik
kedokteran. Namun apabila setelah perlakuan medis terjadi keadaan
tanpa hasil sebagaimana yang diharapkan (tanpa penyembuhan) atau
bisa jadi lebih parah sifat penyakitnya, oleh sebab perlakuan medis
dokter yang menyalahi Standar Profesi atau Standar Prosedur
Operasional atau tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien, maka
dokter dapat berada dalam keadaan malapraktik kedokteran. Tentu
dengan syarat, ialah tidak sembuh atau lebih parah penyakit pasien
setelah perlakuan medis, dan dari sudut Standar Profesi, Standar
Prosedur dan prinsip-prinsip umum kedokteran, keadaan itu benar-
benar sebagai akibat langsung (caussaal verband) dari salah perlakuan
medis oleh dokter. 1

c. Perbuatan melawan hukum dalam malapraktik kedokteran 1


Pasien berhak menuntut ganti rugi akibat kesalahan dalam
perlakuan medis yang menimbulkan kerugian, berdasarkan perbuatan
melawan hukum (Pasal 1365 BW). Pasal ini merumuskan: “Tiap
perbuatan yang melawan hukum dan membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena
kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”.
Berdasarkan pengertian perbuatan melawan hukum dari pasal 1365
BW tersebut maka ada 4 syarat yang harus dipenuhi untuk menuntut
kerugian adanya perbuatan melawan hukum termasuk malapraktik
kedokteran yang masuk kualifikasi perbuatan melawan hukum. Syarat
tersebut adalah sebagai berikut.
1) Adanya perbuatan (daad) yang termasuk kualifikasi perbuatan
melawan hukum.
2) Adanya kesalahan (dolus maupun culpoos) si pembuat.
3) Adanya akibat kerugian (schade).
4) Adanya hubungan perbuatan dengan akibat kerugian
(oorzakelijk verband atau causaal verband) orang lain.
Malpraktik kedokteran juga erat hubungannya dengan hukum
perlindungan konsumen karena menyangkut mengenai kerugian
konsumen (konsumen disini dimaksudkan pasien) yang pada akhirnya
berujung ganti kerugian. Sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-
undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 19
ayat 1 dan 2 yang berisi: (1)”Pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian
konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan.” (2) “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang
dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan
kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

2. Aspek Hukum Pidana Malapratik Kedokteran 1


Suatu perbuatan merupakan perbuatan pidana apabila memenuhi unsur-
unsur yang telah ditentukan secara limitatif dalam perundang-undangan
pidana. Dalam hukum pidana maka kesalahan dapat disebabkan karena
kesengajaan atau karena kelalaian (culpa). Malpraktek kedokteran bisa masuk
lapangan hukum pidana, jika memenuhi syarat-syarat tertentu dalam tiga
aspek, antara lain: 1) syarat dalam perlakuan medis; 2) syarat dalam sikap
batin dokter; dan 3) syarat mengenai hal akibat. Syarat perlakuan medis adalah
perlakuan medis yang menyimpang, Syarat sikap batin adalah syarat sengaja
atau culpa dalam perlakuan medis. Syarat akibat adalah syarat timbulnya
kerugian bagi kesehatan atau nyawa pasien.
a. Perlakuan Menyimpang Dalam Malpraktik Kedokteran 1
Perbuatan adalah wujud-wujud tingkah laku konkret yang
merupakan bagian dari perlakuan atau pelayanan medis. Berdasarkan
pengertian tersebut, tercakup didalam aspek perlakuan medis, yakni
wujud dan prosedur serta alat yang digunakan dalam pemeriksaan
untuk memperoleh data-data medis dalam mendiagnosis, cara atau
prosedur dan menggunakan alat terapi, bahkan termasuk pula
perbuatan-perbuatan dalam perlakuan pasca terapi. Syarat lain dalam
aspek ini ialah kepada siapa perlakuan medis itu diberikan dokter.
Semua perbuatan dalam pelayanan medis tersebut dapat mengalami
kesalahan yang pada ujungnya menimbulkan malapraktik kedokteran,
apabila dilakukan secara menyimpang dan menimbulkan akibat yang
merugikan kesehatan atau kematian pasien.
b. Sikap batin dalam malapraktik kedokteran 1
Sikap batin adalah sesuatu yang ada dalam batin sebelum
seseorang berbuat. Sesuatu yang ada dalam batin ini, bisa berupa
kehendak, pengetahuan, pikiran, perasaan dan apapun namanya yang
melukiskan keadaan batin seseorang sebelum berbuat. Dalam keadaan
normal, setiap orang normal memiliki kemampuan mengarahkan dan
mewujudkan sikap batinnya kedalam perbuatan-perbuatan. Apabila
kemampuan mengarahkan dan mewujudkan alam batin kedalam
perbuatanperbuatan tertentu disadarinya dilarang, hal itu disebut
dengan kesengajaan. Adapun apabila kemampuan berpikir,
kemampuan berperasaan dan berkehendak itu tidak digunakan
sebagaimana mestinya dalam hal melakukan suatu perbuatan yang
pada kenyataannya dilarang, maka sikap batin yang demikian
dinamakan kelalaian (culpa).
c. Adanya akibat kerugian pasien 1
Dari sudut hukum pidana, akibat yang merugikan masuk dalam
lapangan pidana, apabila macam/bentuk kerugian disebut dalam
rumusan kejahatan dan menjadi unsur tindak pidana tertentu. Akibat
kematian atau luka tubuh merupakan unsur kejahatan pasal 359 dan
pasal 360 KUHP, maka bila kelalaian/culpa perlakuan medis terjadi
dan mengakibatkan kematian atau luka seperti ditentukan dalam pasal
tersebut, maka perlakuan medis masuk kategori malapraktik pidana.
Pasal 359 KUHP menyebutkan bahwa: “Barangsiapa karena
kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang mati, dipidana
dengan pidana penjara selamalamanya lima tahun atau pidana
kurungan selama-lamanya satu tahun”. Sedangkan Pasal 360 ayat (1)
KUHP menyebutkan : “Barang siapa karena kesalahannya
(kealpaannya) menyebabkan orang luka berat dipidana dengan pidan
penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-
lamanya satu tahun”. Pasal 360 ayat (2) menyebutkan : “Barangsiapa
karena kekhilafan menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga
oran itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatan
atau pekerjaannya sementara, dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya Sembilan bulan atau pidana kurungan selama-lamanya enam
bulan atau pidana denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus
rupiah”.
Dalam konteks pemahaman diatas maka ada tiga undang-undang
yang dapat menjadi dasar dalam pemidanaan malpraktik medik: 1)
Kitab Undang-Udang Hukum Pidana; 2) Undang-Undang No. 23
Tahun 1992 Tentang Kesehatan; 3) Undang-Undang No. 29 Tahun
2004 Tentang Praktik Kedokteran. Pasal 267 KUHP adalah pasal yang
khusus dikenakan bagi dokter, yang menyebutkan bahwa:
1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat
keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit,
kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan
seseorang kedalam rumah sakit jiwa atau untuk menahannya
disitu, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun
enam bulan.
3) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan
sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya
sesuai dengan kebenaran.
Agar rumusan dalam pasal 267 KUHP ini bisa dikenakan pada
dokter, unsur sengaja harus terpenuhi, karena bisa saja terjadi
kesalahan dalam penerbitan surat keterangan itu. Untuk dapat
dinyatakan bahwa perbuatan dokter merupakan kesengajaan harus
dibuktikan bahwa palsunya keterangan dalam surat merupakan
perbuatan yang dikehendaki, didasari, dan dituju oleh dokter tersebut.
Dengan perkataan lain, dokter memang menghendaki perbuatan
membuat palsu dan atau memalsu surat dan mengetahui bahwa
keterangan yang diberikan dalam surat itu adalah bertentangan dengan
yang sebenarnya. 1
Pasal 80 ayat 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan: Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medik
tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagai
mana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 500.000.000,. (lima ratus juta rupiah). 1
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
tindak pidana praktik dokter tanpa surat tanda registrasi (STR),
dirumuskan dalam Pasal 75: 1
1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi
sebagai mana dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan
sengaja melakukan prakti kedokteran tnpa memiliki surat tanda
registrasi sementara sebagai mana dimaksud dalam Pasal 31
Ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan
sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat
tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah). 1

3. Aspek hukum administrasi malapraktik kedokteran


Dari sudut hukum, praktik dokter dengan melanggar semata-mata hukum
administrasi kedokteran bukanlah malapraktrik. Akan tetapi, pelanggaran
hukum administrasi kedokteran menjadi tempat atau letak sifat melawan
hukumnya perbuatan malapraktik apabila menimbulkan akibat buruk pada
pasien. Akibat kerugian pasien merupakan unsur esensial yang tidak dapat
dihilangkan sebagai unsur penentunya. Pelanggaran kewajiban administrasi
tidak selamanya bersanksi administrasi, seperti pencabutan izin praktik dan
sebagainya. Selama dokter praktik dengan melanggar hukum administrasi
tidak membawa kerugian kesehatan atau nyawa pasien, dokter hanya dapat
dipidana berdasarkan Pasal 75-80 UU No. 29 Tahun 2004. Tindak pidana
dalam kedua pasal tersebut merupakan lex specialis dari tindak pidana dalam
Pasal 85 dan 86 UU No. 36 Tahun 2014. 1
Pelanggaran administrasi dan malapraktik kedokteran bisa dikatakan sama
apabila pelanggaran administrasi mengakibatkan kerugian bagi pasien. Sesuai
dengan Pasal 36 UU No. 29 Tahun 2004 yang menyebut “Setiap dokter dan
dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki
surat izin praktik”. Apabila dokter ada unsur kesengajaan melakukan praktik
tanpa surat izin maka dapat dikenakan pasal 76 UU No. 29 Tahun 2004. 1

B. Aspek Perlindungan Hukum Pasien Korban Malpraktek oleh Dokter


Bentuk perlindungan hukum terhadap korban malpraktek oleh dokter yang diatur
dalam KUH Perdata, yaitu berupa pengaturan pertanggungjawaban dokter yang
melakukan malpraktek untuk memberikan ganti rugi kepada korban malpraktek atas
kerugian yang timbul karena: 2
a. Tidak ditepatinya perjanjian terapeutik yang telah disepakati oleh dokter atau
wanprestasi (cidera janji), yaitu berdasarkan Pasal 1239 KUH Perdata.
b. Perbuatan melawan hukum, yaitu berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata.
c. Kelalaian atau ketidakhati-hatian dalam berbuat tau bertindak, yaitu
berdasarkan Pasal 1366 KUH Perdata.
d. Melalaikan kewajiban berdasarkan Pasal 1367 Ayat (3).
Dalam UU Perlindungan Konsumen tidäk diatur dengan jelas mengenai pasien
atau korban malpraktek, tetapi pasien tau korban malpraktek dalam hal in juga
merupakan seorang konsumen. Selain itu, Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.756/MEN.KES/SK/VI/2004 tentang Persiapan Liberalisasi Perdagangan dan Jasa
di Bidang Kesehatan, menyatakan bahwa jasa layanan kesehatan termasuk bisnis.
Bahkan, World Trade Organisation (WHO) memasukkan Rumah Sakit (RS), dokter,
bidan maupun perawat sebagai pelaku usaha. 2
Perlindungan hukum terhadap korban malpraktek kedokteran sebagai konsumen
dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 19 Ayat (1) UU Perlindungan Konsumen yang
selengkapnya dinyatakan bahwa "Pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan
ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan." 2
Berdasarkan ketentuan Pasal 19 Ayat (1) UU Perlindungan Konsumen, kerugian
yang diderita korban malpraktek sebagai konsumen jasa akibat tindakan medis yang
dilakukan oleh dokter sebagai pelaku usaha jasa dapat dituntut dengan sejumlah ganti
rugi. Ganti kerugian yang dapat dimintakan oleh korban malpraktek menurut Pasal 19
Ayat (2) UU Perlindungan Konsumen dapat berupa pengembalian uang penggantian
barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan
dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. 2
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa bentuk perlindungan hukum
terhadap korban malpraktek yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, yaitu berupa pengaturan pertanggungjawaban
dokter untuk memberikan ganti rugi kepada korban malpraktek selaku konsumen,
sebagai akibat adanya kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatannya tau
malpraktek yang di lakukan oleh dokter selaku pelaku usaha seta pengaturan
pemberlakuan ketentuan hukum pidana yang disertai dengan pidana tambahan. 2
Yang dimaksud dengan Tenaga Kesehatan menurut Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 32/1996 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 1 (1) adalah " setiap
orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan
dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan untuk melakukan upaya kesehatan. Menurut Undang-Undang
No. 23/1992 Tentang Kesehatan, Pasal 1 (3) yang dimaksud tenaga kesehatan adalah
"setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. 2
Dari pengertian Tenaga Kesehatan diatas perlu untuk diketahui kategori dari
tenaga kesehatan itu sendiri. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
262/Menkes/Per/ VII/1979 tentang ketenagaan rumah sakit pemerintahan, ada empat
kategori yang dikenal, diantaranya: 2
1. Tenaga medis, yakni lulusan fakultas kedokteran atau kedokteran gigi dan
pasca sarjana yang memberikan pelayanan medis dan pelayanan penunjang
medis. Kategori ini mencakup:
a. dokter ahli
b. dokter umum
c. dokter gigi, dan lain-lain
2. Tenaga Paramedis Perawatan, yaitu lulusan sekolah atau akademi perawat
kesehatan yang memberikan pelayanan perawatan paripurna, yakni :
a. penata rawat
b. perawat kesehatan bidan
c. perawat khusus, dan lain-lain
3. Tenaga Paramedis Non Perawatan, yaitu lulusan sekolah atau akademi bidang
kesehatan lainnya yang memberikan pelayanan penunjang, yakni;
a. penata rontgen
b. sarjana muda fisioterapi
c. sarjana muda gizi
d. asisten analisis
e. asisten apoteker
f. pengatur rawat roentgen
g. pengatur rawat gigi
h. pengatur teknik gigi
i. pengatur rawat gigi tenaga sanitasi
j. penata anastesi, dan lain-lain
4. Tenaga Nonmedis, yakni seorang yang mendapat pendidikan ilmu
pengetahuan yang tidak termasuk pendidikan pada butir 1, 2, dan 3 di atas,
yaitu:
a. sarjana administrasi perumah sakitan
b. sarjana muda pencatatan medis
c. apoteker
d. sarjana kimia
e. sarjana kesehatan masyarakat
f. sarjana biologi
g. sarjana fisika medis
h. sarjana jiwa
i. sarjana ekonomi
j. sarjana hukum
k. sarjana teknik
l. sarjana akuntansi
m. sarjana ilmu sosial
n. sarjana muda teknik elektro medis
o. sarjana muda teknik sipil
p. sarjana muda fisika kesehatan
q. sarjana muda statistic
r. lulusan STM
s. pekerja sosial medis
t. lulusan SD, SLTP, SLTP.
Rincian tenaga kesehatan seperti yang tertuang di atas sangat penting terutama
untuk menentukan tanggung jawab profesional dan tanggung jawab hukumnya.
Dalam Undang-undang Kesehatan yang baru yaitu Undang-Undang No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan yang menggantikan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992
disebutkan perlindungan hukum terhadap korban malpraktek yang hampir sama
dengan perlindungan yang ada dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, hanya saja
ada ketentuan tambahan sebagai batasan bentuk perlindungan hukum yang diberikan.
Adapun ketentuan tersebut terdapat pada Pasal 58 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3),
yaitu: 2
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian
akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau
pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemberian hak untuk menuntut ganti rugi kepada korban malpraktek merupakan
suatu upaya untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang (korban malpraktek)
atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik karena kesalahan atau
kelalaian tenaga kesehatan (dalam hal ini adalah dokter). Perlindungan ini sangat
penting karena akibat kelalaian atau kesalahan dari dokter tersebut mungkin dapat
menyebabkan rasa sakit, luka, cacat, kematian, atau kerusakan pada tubuh dan jiwa. 2
Bentuk perlindungan hukum terhadap korban malpraktek kedokteran yang diatur
dalam
Undang-Undang 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu berupa pemberian hak
kepada korban malpraktek untuk menuntut pertanggungjawaban dokter yang
melakukan malpraktek kedokteran, memberikan ganti rugi atas kerugian yang timbul
karena kesalahan maupun kelalaian dokter, baik melalui gugatan ganti rugi secara
perdata maupun penggabungan penuntutan hukum pidana dan gugatan ganti rugi
dalam proses hukum pidana ke pengadilan.
Dalam pelayanan di bidang medis, tidak terpisah akan adanya seorang tenaga
kesehatan dengan konsumen, dalam hal ini pasien. Pasien dikenal sebagai penerima
jasa pelayanan kesehatan dan dari pihak rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan
kesehatan dalam bidang perawatan kesehatan. 3
Ketentuan Pasal 29 UU No.36 tahun 2009 menentukan : “Dalam hal tenaga
kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian
tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”. Ketentuan ini
memberikan indikasi bahwa tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya tidak
selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan pasien untuk mendapatkan
penanganan yang baik dan memperoleh kesembuhan dari penyakit yang diderita. Jika
terjadi sengketa antara pasien dan tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan
yang diduga melakuka kelalaian, maka sebelum berlanjut pada penyelesaian sengketa
lewat pengadilan, maka ditempuh jalur mediasi dengan menunjuk mediator yang
disepakati oleh para pihak. Penyelesaian sengketa melalui mediasi diharapkan dapat
mempertemukan para pihak yang bersengketa untuk menempuh jalan damai dengan
keputusan yang tidak merugikan para pihak. Adapun keuntungan yang didapat oleh
pihak tenaga kesehatan dengan penyelesaian sengketa melalui mediasi yaitu sengketa
yang terjadi tidak akan tersebar meluas ke masyarakat sehingga tidak akan
menurunkan pamor dari tenaga kesehatan. Demikian pula keuntungan bagi pasien
yang menyelesaikan sengketa melalui mediasi, tidak akan banyak menyita waktu dan
biaya sebagaimana terjadi jika diselesaikan melalui pengadilan. 3
Pihak korban ataupun keluarga korban yang mengalami kasus malpraktek dapat
menuntut ganti rugi terhadap pihak yang mengakibatkan terjadinya malpraktek. Hal
ini diatur dalam Pasal 58 ayat (1) UU No.36 Tahun 2009 yang selengkapnya berbunyi
: “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau
kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”. Ketentuan ini dengan tegas
memberikan kesempatan kepada pihak yang merasa dirugikan untuk menuntut ganti
rugi terhadap tenaga kesehatan atau pihak penyelenggara kesehatan dalam hal ini
Rumah Sakit ataupun Klinik kesehatan. Namun demikian dalam kasus tertentu
tuntutan ganti rugi tidak dimungkinkan dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 58
ayat (2) yang berbunyi : “Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa
atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat”. 3
Adapun Ketentuan yang terkait dengan malpraktek medik dalam rangka
memberikan perlindungan hukum terhadap korban malpraktek dalam UU No.44 tahun
2009 tentang Rumah Sakit, diatur dalam Pasal 32 huruf q dan Pasal 46. Ketentuan
Pasal 32 huruf q mengatur tentang hak pasien yang selengkapnya berbunyi : “Setiap
pasien berhak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit
diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata
ataupun pidana”. Selanjutnya ketentuan Pasal 46 mengatur tentang pertanggung
jawaban hukum Rumah Sakit, selengkapnya berbunyi : “Rumah Sakit bertanggung
jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit”. 2
Dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
disebutkan dalam Pasal 66 Ayat (1) UU Praktik Kedokteran, diatur suatu keadaan di
mana terjadi kesalahan yang melibatkan pelayan kesehatan dalam hal ini olehdokter,
yang dapat diajukan pengaduan kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI) oleh setiap orang yang mengetahui atau
kepentingannya dirugikan. 2
Di samping dapat mengadukan kerugian yang dideritanya kepada Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, menurut Pasal 66 Ayat (3) UU Praktik
Kedokteran, korban malpraktek yang dirugikan atas kesalahan atau kelalaian dokter
dalam melakukan tindakan medis juga dapat melaporkan adanya dugaan pidana
kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian secara perdata ke
pengadilan. Selanjutnya, disebutkan dalam Pasal 67 dan 68 UU Praktik Kedokteran
bahwa Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran berwenang untuk memeriksa dan
memberikan keputusan atas pengaduan yang diterima. Apabila ditemukan adanya
pelanggaran etika (berdasarkan KODEKI) maka Majelis Kehormatan Kedokteran
yang akan meneruskan pengaduan pada organisasi profesi. Berdasarkan pemaparan di
atas dapat disimpulkan bahwa bentuk perlindungan hukum terhadap korban
malpraktek kedokteran yang diatur dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2009
tentang Praktik Kedokteran, yaitu berupa pemberian hak kepada korban malpraktek
untuk melakukan upaya hukum pengaduan kepada Ketua Majelis Kehormatan
Disiplin. 2

DAFTAR PUSTAKA

1. Widhiantoro DC, Barama M, Mamesah EL. Aspek Hukum Malpraktik Kedokteran dalam Perundang-
Undangan di Indonesia. Lex Privatum. 2021;9(9).
2. Sibarani S. Aspek Perlindungan Hukum Pasien Korban Malpraktek Dilihat dari Sudut
Pandang Hukum di Indonesia. Law Rev. 2016;26(1).
3. Benhard F. Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana Malpraktek menurut UU
No. 36 tahun 2009. Lex Administratum. 2017;5(1).

Anda mungkin juga menyukai