Anda di halaman 1dari 19

MALPRAKTIK MEDIS

Menurut munir fuady malpraktik memiliki pengertian yaitu

setiap tindakan medis yang dilakukan dokter atau orang-orang

dibawah pengawasannnya, atau penyedia jasa kesehatan yang

dilakukan terhadap pasiennya, baik dalam hal diagnosis,

terapeutik dan manajemen penyakit yang dilakukan secara

melanggar hukum, kepatutan, kesusilaan dan prinsip-prinsip

professional baik dilakukan dengan sengaja atau karena kurang

hati-hati yang menyebabkan salah tindak, rasa sakit, luka, cacat,

kerusakan tubuh, kematian dan kerugian lainnya yang

menyebabkan dokter atau perawat harus bertanggung jawab baik

secara administratif, perdata maupun pidana (fuady, 2005: 2-3).

Jadi permasalahan malpraktik menjadi hal yang sangat umum

karena berkait dengan banyak hal. Malpraktik sendiri memiliki

makna harfiah, kegagalan melakukan tugas. Kegagalan ini dapat

disebabkan berbagai macam faktor:

1. Adanya unsur kelalaian

Yang dimaksud dengan kelalaian disini adalah sikap kurang

hati-hati, yaitu melakukan tugasnya dengan tidak hati-hati

atau tidak sewajarnya. Tetapi dapat pula diartikan dengan

memberikan tindakan dibawah standar pelayanan medik

(Hanfiah, 1999:87). Kelalaian sendiri bukan merupakan

pelanggaran hukum jika kelalaian tersebut tidak

1
menimbulkan kerugian pada orang lain. Oleh karena itu

kelalaian dimaksudkan di dalam malpraktik ini adalah

kelalaian berat (cupa lata) yang menimbulkan kerugian

materi bahkan nyawa seseorang.

Tolok ukur cupa lata adalah :

a. Bertentangan dengan hukum

b. Akibatnya dapat dibayangkan

c. Akibatnya dapat dihindarkan

d. Perbuatannya dapat dipersalahkan

Jadi malpraktik erat kaitannya dengan kelalaian ini.

2. Adanya unsur kesalahan bertindak

Kesalahan bertindak ini terjadi karena kurangnya ketelitian

dokter didalam melakukan observasi terhadap pasien

sehingga terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan bersama.

Ketidaktelitian ini merupakan tindakan yang nasuk didalam

kategori tindakan melawan hukum menurut van bemmelen.

Ketidaktelitian ini menyebabkan kerugian yang harus

ditanggung oleh pasien sehingga menimbulkan akibat

hukum.

3. Adanya unsur pelanggaran kaidah profesi maupun hukum .

Pelanggaran kaidah profesi ini terjadi pada saat seseorang

dokter atau petugas kesehatan melakukan tindakan di luar

batas wewenangnya. Misalnya seorang perawat tidak boleh

2
memberikan diagnosis dan obat karena hal tersebut

merupakan tugas dan wewenang dokter. Sebaliknya dokter

tidak boleh memberikan obat kepada pasien secara langsung

kecuali dalam kondisi darurat maupun jika tempat

praktiknya ada didaerah terpencil dimana tidak terdapat

apotek.

4. Adanya kesengajaan untuk melakukan tindakan yang

merugikan.

Tindakan kesengajaan terjadi ketika seorang dokter atau

petugas kesehatan lainnya melakukan hal-hal di luar apa

yang seharusnya dilakukan hanya karena alasan untuk

memperoleh keuntungan semata. Misalnya dokter memiliki

kerja sama dengan pabrik farmasi tententu dan berjanji

akan memberikan komisi untuk setiap obat yang diresepkan

dokter tersebut. Atas dasar perjanjian itulah maka dokter

memberikan obat-obatan yang tidak perlu kepada pasiennya

hanya untuk mengejar komisi.

Malpraktik di dalam bidang kedokteran sendiri dibagi menjadi

dua:

1. Malpraktik medik : kalalaian seorang dokter untuk

mempergunakan tingkat keterampilannya dan ilmu

pengetahuannya yang lazim dipergunakan untuk mengobati

3
pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di

lingkungan yang sama.

2. Malpraktik medik murni : tindakan sengaja yang dilakukan

dokter tanpa indikasi medik yang jelas yang sebenarnya

tidak perlu dilakukan demi untuk mengeruk keuntungan

semata.

Dokter atau petugas kesehatan dapat dikatakan melakukan

tindakan malpraktik jika :

1. Kurang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi

kesehatan yang sudah berlaku umum dikalangan profesi

kesehatan.

2. Memberikan pelayanan kesehatan di bawah standar profesi.

3. Melakukan kelalaian berat atau memberikan pelayanan

dengan ketidak hati-hatian.

4. Melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan

hukum.

Untuk menuntut penggantian kerugian karena kelalaian maka ada

unsur-unsur yang harus dipenuhi :

1. Adanya suatu kewajiban bagi dokter, perawat/petugas

kesehatan terhadap pasien.

2. Telah terjadi pelanggaran standar pelayanan medis yang

lazim dipergunakan (membutuhkan saksi ahli untuk

4
membuktikannya mengingat pasien dan hakim adalah orang

yang awam di bidang kesehatan).

3. Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan

ganti rugi.

4. Secara factual kerugian tersebut benar-benar disebabkan

karena tindakan di bawah standar.

Kerugian ini kadang kala tidak memerlukan pembuktian dari

pasien dengan diberlakukannya doktrin les ispa liquitur. Namun

tetap saja ada elemen yuridis yang harus dipenuhi untuk

menyatakan telah terjadi malpraktik yaitu :

1. Adanya tindakan dalam arti berbuat atau tidak berbuat.

Tidak berbuat disini adalah mengabaikan pasien dengan

alasan tertentu seperti karena tidak ada biaya atau tidak

ada penjaminnya. Tindakan tersebut dilakukan oleh tenaga

medis (dokter, perawat atau petugas kesehatan lainnya).

2. Tindakan berupa tindakan medis, diagnosis, terapeutik dan

manajemen kesehatan.

3. Dilakukan terhadap pasien.

4. Dilakukan secara melanggar hukum, kepatutan kesusilaan

atau prinsip professional lainnya.

5. Dilakukan dengan sengaja atau ketidak hati-hatian (lalai,

ceroboh).

5
6. Mengakibatkan salah tindak, rasa sakit, luka, cacat,

kerusakan tubuh, kematian dan kerugian lainnya.

Jika melihat ketentuan-ketentuan semacam ini nampaknya

beban yang berat dilimpahkan ke pundak para pelaku profesi

kesehatan. Namun mengingat sifat khusus dari kasus ini maka

hal ini dianggap lebih memberikan keadilan bagi pasien. Namun di

dalam perkembangan lebih lanjut pertimbangan keadilan tetap di

arahkan untuk tetap memberikan perlindungan hukum pada

profesi medis yang meskipun nampaknya tidak dijamin tetap ada

pada posisi tawar yang lebih kuat dibandingkan pasien. Bentuk-

bentuk perlindungan yang diberikan oleh hukum adalah sebagai

berikut:

1. Membatasi penerimaan ganti kerugian yang dapat dituntut.

2. Para pihak wajib membawa kasusnya ke abitrasi wajib

sebelum melimpahkan ke pengadilan (dalam hal ini MKEK).

3. Memperpendek waktu kadaluwarsa terhadap kasus

malprkatik (hal ini dirasa kurang adil bagi pasien karena

kadangkala efek efek dari kesalahan pemberian obat dan

terapi fisologis baru terasa dalam jangka yang cukup lama).

Perlindungan ini diberikan dengan prinsip-prinsip yuridis sebagai

pertimbangan yang meliputi :

6
1. Petugas kesehatan bukan garantor, jadi tidak setiap

kegagalan dapat dimintakan pertanggung jawaban

(pertimbangan ini agak memojokan pasien mengingat pasien

memberikan kepercayaan penuh pada petugas medis untuk

melakukan sesuatu terhadap Tubuhnya, jadi meskipun

petugas medis tidak bisa menggaransi kesembuhan

setidaknya ada garansi keamanan dan kehati-hatian dari

petugas medis. Hal ini nampaknya tidak menjadi

pertimbangan hukum untuk bersikap lebih adil).

2. Petugas kesehatan harus mempunyai pengalaman dan

keahlian yang diperlukan.

3. Menjalankan pekerjaan dengan menggunakan keahlian dan

kepedulian.

KASUS :

Seorang pasien datang kepada dokter dengan keluhan nyeri

perut sebelah kanan dan disertai demam. Diagnosis yang

diberikan adalah perladangan appendix, sehingga memerlukan

operasi. Namun setelah operasi dilakukan nyeri tidak juga

berkurang atau hilang sehingga dilakukan observasi dan evaluasi,

dokter yang sama menyatakan bahwa terjadi pelengketan usus

sehingga harus kembali dioperasi. Namun setelah dioperasi

dilakukan penyakit pasien tidak juga berkurang. Akhirnya pasien

memutuskan untuk berganti dokter, dan dinyatakan menderita

7
radang usus besar yang sembuh hanya dengan antibiotik. Kasus

ini akhirnya dibawa kepengadilan dengan tuduhan malpraktik

terhadap dokter pertama yang menangani pasien, namun karena

dokter kedua yang berhasil menyembuhkan pasien menolak untuk

bersaksi maka dokter pertama lolos dari jeratan hukum.

Kasus ini membuktikan bahwa malpraktik masih

memberikan posisi tawar yang lebih baik kepada petugas medis

dibandingkan pasien. Selain bisa mengelak dengan alasan bukan

garantor kesembuhan, dokter dan petugas medis lainnya memiliki

ikatan profesi yang sangat kuat, yang siap melindungi sejawatnya.

Hal ini menjadi batu sandungan bagi pasien yang mencari

keadilan, apakah hanya karena bukan garantor untuk

kesembuhan berhak untuk berbuat semena-mena kepada pasien.

Apakah tubuh pasien adalah barang uji coba? Oleh karena itu

perlu sikap yang lebih jujur dan juga memberikan pengertian yang

lebih baik pada masyarakat mengenai posisi malpraktik yang

sebenarnya karena banyak kasus yang salah kaprah terjadi.

CONTOH:

Seorang pasien diketahui mencoba menggugurkan

kandungannya dan dibawa ke rumah sakit sudah dalam kondisi

koma, karena perdarahan. Keluarga terlalu panik sehingga tidak

bisa mendengar pertanyaan-pertanyaan yang dianjukan sehingga

tidak menjadi objek seksual kaum pria. Yang kedua seberapa

8
wanita menyadari bahwa proses reproduksi akan terjadi dengan

Tubuhnya sebagai subjek. Yang ketiga bagaimana saling

pengertian antara pria dan wanita dibangun untuk membatasi

angka kelahiran dengan melakukan KB yang membuat nyaman

kedua belah pihak. Atau menghindari perilaku seksual yang

bertentangan dengan kaidah moral dan agama. Yang keempat

bagaimana pria menghormati martabatnya sendiri dengan

mengusahakan apa yang pantas bagi dirinya dan pasangannya

(melakukan pelecehan seksual pada seorang wanita adalah

tindakan yang menjatuhkan martabat pribadi seorang pria).

Hukum telah mengatur perlarangan aborsi kecuali atas indikasi

medis, meskipun banyak negara melegalkan aborsi. Ada pro dan

kontra berkait dengan masalah ini antara lain Kaum pro Choice

(kaum yang setuju pada aborsi).

- Janin merupakan cetak biru yang tidak memiliki nilai yang

sama dengan manusia dewasa yang telah dilahirkan.

- Menelantarkan anak jauh lebih berat akibat sosial dan

budaya daripada dilakukan terminasi saat si ibu tidak siap

menghadapi kehamilannya.

- Mengendalikan kelahiran dapat ikut membantu

mengendalikan populasi dunia.

- Membiarkan aborsi ilegal yang dilakukan secara diam-diam

oleh seorang yang tidak punya keahlian lebih buruk dan

9
berbahaya daripada memberikan kebebasan aborsi dengan

mensyaratkan dokter ahli sebagai pelaksananya. Alasan ini

dikemukakan dengan alasan bahwa aborsi yang dilakukan

diam-diam menelan lebih banyak korban tanpa

pertanggungjawaban baik secara hukum maupun medis,

karena kedua belah pihak tentu tidak akan melaporkan

kejadian tersebut.

- Risiko yang dihadapi ibu yang melakukan aborsi haya sama

dengan risiko pasien mencabut gigi jika ditangani ahlinya.

Namun semua itu tidak dapat begitu saja di terima apalagi di

Indonesia dimana atmosfer keagamaanya begitu kuat. Daripada

melakukan aborsi lebih baik mencegah kehamilan terjadi dengan

cara tidak melakukan hubungan badan sebelum menikah atau

dengan cara keluarga berencana.

Ketentuan-ketentuan di KUHP bahkan melarang dengan tegas

aborsi dilakukan walaupun untuk indikasi medis sekalipun.

Namun UU kesehatan telah membuka peluang bagi mereka yang

memang tidak bisa melahirkan karena alasan penyakit tertentu,

maka aborsi boleh dilakukan dengan ketentuan harus dilakukan

oleh mereka yang memiliki keahlian, kompetensi dan kewenangan.

10
KELUARGA BERENCANA

Keluarga berencana acap kali menjadi jalan keluar untuk

mengatasi masalah demografi dan pertambahan penduduk.

Namun yang biasanya menjadi objek adalah perempuan, padahal

efek negatif yang ditimbulkan dari pemasangan kontrasepsidalam

jangka panjang jarang bisa diatasi dengan baik. Hal yang kecil

adalah kebobolan. Meskipun menggunakan kontrasepsi masih

hamil juga. Tentu saja kejadian semacam ini menimbulkan

menurutnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap petugas

medis seperti bidan dan konsultan reproduksi. Sementara

masalah alatnya sendiri yang kurang baik dan bermutu rendah

tidak sedikit yang menimbulkan masalah.

Ketentuan KB telah diatur di dalam UU RI no. 10 tahun

1992 tentang perkembangan penduduk dan pembangunan

keluarga sejahtera. Yang isinya antara lain:

Pasal 17 :

1. Pengaturan kelahiran diselenggarakan dengan tata cara

yang berdaya guna dan berhasil guna serta dapat diterima

oleh pasangan suami istri sesuai dengan pilihannya.

2. Penyelenggaraan pengaturan kelahiran dilakukan dengan

cara yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi

11
kesehatan, etik dan agama yang dianut penduduk yang

bersangkutan.

Pasal 18 :

Setiap pasangan suami istri dapat menentukan pilihannya dalam

merencanakan dan mengatur jumlah anak, jarak antara kelahiran

anak yang berlandaskan pada kesadaran dan tanggung jawab

terhadap generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.

Pasal 19 :

Suami istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama serta

kedudukannya yang sederajat dalam menentukan cara

pengaturan kelahiran.

Pasal 20 :

1. Penggunaan alat, obat atau cara pengaturan kehamilan yang

menimbulkan risiko terhadap kesehatan dilakukan atas

petunjuk dan atau oleh tenaga kesehatan yang berwenang

untuk itu.

2. Tata cara penggunaan sebagaimana yang dimaksud dengan

ayat (1) dilakukan dengan standar profesi sesuai dengan

ketentuan aturan perundang-undangan.

Jika melihat pengaturan yang diberikan undang-undang tentu

sangat melegakan, tetapi sekali lagi undang-undang dapat berlaku

12
sosiologis dimana faktor sosial dan budaya besar pengaruhnya

terhadap perilaku masyarakatnya. Kesadaran untuk melakukan

KB pun masih sepenuhnya diserahkan kepada perempuan atau

wanita sehingga banyak kasus yang menjadi korban juga

perempuan atau wanita. Hal ini diperburuk dengan kondisi

promosi kesehatan yang tidak memadai mengenai risiko-risiko

yang dapat ditanggung oleh pengguna alat kontrasepsi, baik fisik

maupun sosial budayanya.

EUTHANASIA

Euthanasia berasal dari bahasa Yunani “Euthanathos” yang

diterjemahkan secara bebas sebagai “mati dengan baik tanpa

penderitaan”. Kematian ini ditujukan pada mereka yang secara

medis tidak lagi mempunyai harapan untuk sembuh dan

penyakitnya telah membuat pasien menderita, sedangkan batas

waktu penderitaan itu tidak jelas sampai berapa lama lagi. Oleh

karena itu untuk alasan kemanusiaan dan belas kasih yang besar

seseorang dapat memilih untuk mengakhiri penderitaanya dengan

cara ini .

Pengertian lain mengenai euthanasia diberikan oleh ikatan

dokter Belanda sebagai berikut Euthanasia adalah dengan sengaja

tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang

13
pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek

atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk

kepentingan pasien sendiri. (amir dan hanafiah, 1999 : 103)

Ada beberapa jenis Euthanasia. Yang pertama adalah

Euthanasia dilihat dari cara dilaksanakannya dibagi menjadi dua:

1. Euthanasia pasif

Perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan

atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup

manusia.

2. Euthanasia aktif

Perbuatan yang dilakukan secara medis melalui intervensi

aktif oleh seorang dokter atau perawat dengan tujuan untuk

mengakhiri hidup manusia. Euthanasia aktif ini masih

dibedakan dalam dua hal ;

a. Euthanasia langsung

Dilakukannya suatu tindakan medis secara terarah yang

diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien atau

memperpendek hidup pasien yang dikenal dengan mercy

killing.

b. Euthanasia aktif tidak langsung

Dilakukannya tindakan medis untuk meringankan

penderitaan pasien, namun mengetahui adanya risiko

memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.

14
Contohnya adalah pemberian obat penenang dalam

jumlah yang terus ditambahkan.

Yang kedua dilihat dari bagaimana mendapatkannya yaitu :

1. Sukarela

Euthanasia didapatkan dengan cara diminta oleh pasien

sendiri secara sukarela dan diminta berulang-ulang.

2. Bukan atas permintaan pasien

Didapatkan karena permintaan keluarga pasien karena

pasien sudah tidak sadarkan diri dalam jangka waktu yang

lama dan tidak tahu kapan akan pulih kesadarannya.

Jika dilihat dari tiap jenis euthanasia ada aspek moral dan

etika yang harus menjadi pertimbangan yang mendalam,

mengingat penentuan hidup atau mati tidak di tangan manusia

semata. Apabila melihat lebih jauh mengenai hak-hak pasien

untuk menentukan nasib sendiri, euthanasia nampak sebagai

pilihan cerdas untuk mengakhiri penderitaan karena toh pasien

tidak berkeberatan hidupnya berakhir jika dilihat dari jenis

euthanasia sukarela. Namun penghargaan atas nilai insani ini

tidak begitu saja diabaikan meskipun oleh si pemilik jiwa itu

sendiri yaitu pasien.

15
Karena bagaimanapun akan membuka peluang bagi yang

lain untuk begitu mudah mengakhiri hidup tidak lagi mampu

menahan penderitaan.

Pertanyaan yang timbul;

1. Sampai berapa lama ?

2. Apakah ada kematian yang disebut baik atau layak bagi

seseorang manusia meskipun ditengah penderitaannya?

Keberatan –keberatan terhadap euthanasia:

• Menurut H. Blijham seorang psikiater.

Euthanasia terlalu sepihak dan terlalu teknis mengadakan

pendekatan terhadap penyelenggaraan bantuan pelayanan

pengakhiran kehidupan .

• Menurut W.C. Klijn guru besar etika teologi

Bolehkah manusia melakukan intervensi dengan melakukan

tindakan? Siapakah yang menentukan penderitaan seperti

apa yang tak terpikulkan? (tengkar, 1990: 120-122)

Aspek kehidupan seorang manusia tidak bisa hanya dinilai

secara individual, karena baik hidup maupun kematian seseorang

selalu berhubungan dengan orang yang lain. Faktor biaya,

perawatan dan faktor mental spiritual menjadi harga begitu mahal

harus dibayar untuk mempertahankan kehidupan seseorang

tanpa tahu apakah harapan itu masih ada. Meskipun

16
menyakitkan bagi orang terdekat pasien, rasa sedih dan

kehilangan namun itu tidak akan berbanding seimbang dengan

pasien yang sudah tanpa harapan.

Pertanyaan yang timbul;

• Haruskah orang yang masih memiliki hidup dan masa

depan berkutat pada kehidupan yang semu tanpa akhir dan

harapan?

• Tetapi pantaskah mengakhiri hidup seseorang tanpa

mempertanyakan apakah masih ada kesanggupan untuk

bertahan hidup?

Berbicara mengenai kaidah hukum maka mau tidak mau

kita harus melihat lebih lanjut kaidah-kaidah yang ada

sebelumnya, yang mendasari terbentuknya kaidah hukum.

1. Kaidah agama

Bersumber dari ajaran agama dan kitab suci. Ajaran agama

memberikan landasan filosofis dan etiologis yang kuat pada

manusia sehingga tercipta suatu nilai moral yang diyakini

berasal dari tuhan. Jadi agama memberikan landasan setiap

ketentuannya pada keyakinan masing-masing individu.

Pelanggaran atas kaidah agama, akan mendapatkan sanksi

dimana sanksi tersebut tidak diberikan secara langsung dan

konkrit di dunia.

17
2. Kaidah kesusilaan

Yaitu ketentuan moral atau nilai yang berhubungan dengan

manusia sebagai individu karena menyangkut kehidupan

pribadi manusia. Tolok ukur yang digunakan adalah

kepekaan hati nurani. Kaidah ini sulit menjadi ukuran

untuk menentukan jenis perbuatan mana yang baik dan

yang jahat, jika tidak ada kesamaan persepsi tentang nilai,

karena baik dan benar dalam ukuran sangat berbeda dan

ukuran komunal. Sanksi atas pelanggaran kaidah

kesusilaan, menimbulkan dampak rasa penyesalan dan rasa

malu pada diri pelakunya.

3. Kaidah hukum

Kaidah hukum memiliki fungsi utuk melindungi lebih lanjut

kepentingan-kepentingan manusia, baik yang sudah diatur

dan ditata di dalam ketiga laninnya maupun yang belum.

A. Kesimpulan

Apapun alasan untuk euthanasia pasti memerlukan jawaban

yang tidak mudah, apalagi bagi setiap orang yang memiliki agama

tertentu dan meyakini keajaiban Tuhan. Namun secara

manusaiwi, setiap orang pasti dihadapkan pada pilihan-pilihan

yang dianggap terbaik bagi semua pihak meskipun tidak selalu

memuaskan. Hal ini juga yang akhirmnya melandasi hukum

18
Indonesia untuk melarang euthanasia dengan segala bentuknya.

Namun harus pula dipikirkan jalan terbaik untuk menekan biaya

perawatan dan rumah sakit bagi mereka yang tanpa harapan

hidup tetapi harus mempertahankan hidup. Atau setidaknya, jalan

keluar agar orang-orang yang ada di sekitar pasien tetap bisa

hidup dan bertahan.

19

Anda mungkin juga menyukai