Anda di halaman 1dari 17

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

KASUS PELANGGARAN ETIK


DAN
TINJAUAN ASPEK ETIKOMEDIKOLEGAL

Disusun Oleh:

Pembimbing:

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN

DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2022

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................................2
BAB I......................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.................................................................................................................. 3
1.1 Latar Belakang Masalah....................................................................................................3
1.2 Tujuan...............................................................................................................................4
BAB II....................................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................... 5
2.1 Definisi Malpraktik...........................................................................................................5
2.2 Pembuktian Malpraktik.......................................................................................................
2.3 Pertanggung jawaban hukum terhadap kode etik kedokteran...........................................8
2.4 Persetujuan tindakan kedokteran....................................................................................10
BAB III ...............................................................................................................................15
KESIMPULAN.....................................................................................................................15
BAB IV DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................16

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam
bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh
penguasa pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu
dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling
banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM.
Sumpah tersebut berisikan kewajiban kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap,
atau semacam code of conduct bagi dokter.1

World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan
sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran
Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban
terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran
Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.1

Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan


memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter,
seperti autonomy (menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi
dan hak membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya),
beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak
melakukan perbuatan yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur),
serta sikap altruisme (pengabdian profesi).1

Contoh nyatanya adalah kasus Tn.I, peneliti dari Universitas Atmajaya,


Jakarta, yang lumpuh akibat dokter yang salah mendiagnosis di Rumah Sakit X.
Terhadap tindakan medical errors yang diduga malapraktik itu tidak ada
pertanggungjawaban, baik secara profesi maupun hukum. Kasus ini terjadi karena
adanya kesalahan diagnosis yang menyebabkan salahnya pengambilan tindakan

3
yang berakibat fatal terhadap dirinya. Awalnya hanya merasa tidak enak badan
karena kelelahan dokter di RS X mendiagnosa Tn.I menderita gangguan jantung.
Dokter pun segera menangani Tn.I, anehnya kondisi makin memburuk hingga
lumpuh dari bagian dada ke bawah. Tn.I baru menyadari mengalami malpraktek
ketika memeriksa kesehatan ke sebuah RS di Singapura. Dokter di negeri tersebut
menyatakan bahwa jantung Tn.I normal, juga menduga lantaran kesalahan
pengobatan akibat diagnosa keliru dari dokter sebelumnya.

Dalam kasus malapraktik dokter, sebenarnya ada dua pelanggaran profesi


dan pelanggaran hukum. Namun, selama ini dalam setiap kasus malapraktik,
dokter selalu berada di pihak yang benar. Keluhan yang secara lansung diajukan
pasien selalu ditolak dan dimentahkan dengan berbagai argumentasi medis dan
alasan teknis. Akibatnya, kerugian kesehatan dan material selalu melekat dalam
diri pasien, sedangkan dokter tidak sedikitpun tersentuh tanggung jawab dan
nurani kemanusiaannya. Semua ini disebabkan tidak ada payung hukum yang bisa
dijadikan dasar penyelesaian kasus itu. Undang-undang (UU) Kesehatan nomor 23
Tahun 1992 pun tak dapat digunakan untuk menangani pelanggaran atau kelalaian
dokter. UU ini hanya di desain untuk diperjelas lebih lanjut dengan 29 peraturan
pemerintah (PP) yang hingga kini baru terbentuk enam PP. Aturan lebih lanjut
yang tidak ada itu antara lain menyangkut standar pelayanan medis dan standar
profesi. Ketiadaan aturan itu membuat bangsa ini tidak dapat mendifinisikan mana
yang disebut malapraktik, kegagalan, kelalaian, atau kecelakaan 4

Di dalam kasus ini dokter di rs X telah melanggar kode Etik kedokteran Indonesia
yang terdiri dari pasal 5 dan pasal 7a. Dimana dalam hal praktek dokter tersebut telah
melemahkan kondisi fisik pasien tanpa dilakukan suatu persetujuan terlebih dahulu dari
pasien yang bersangkutan dan ini telah melanggar kode Ethic kedokteran Indonesia. Pasal
5 dan juga dokter tersebut telah salah mendiagnosa sehingga bisa dikatakan bahwa dokter
itu tidak kompeten dalam bidangnya itu telah melanggar kode etik kedokteran Indonesia
pasal 7a.

4
1.2 Tujuan

Mengetahui tinjauan aspek etikomedikolegal pada kasus yang tertera di atas.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Malpraktik


Dalam Black’s Law Dictionary, malpraktik didefinisikan sebagai:

Kesalahan profesional atau kurangnya keterampilan yang tidak masuk akal,


atau.perbuatan jahat seorang ahli, kekurangan dalam keterampilan yang di bawah
standar, atau tidak cermatnya seorang ahli dalam menjalankan kewajibannya secara
hukum, praktek yang jelek atau ilegal atau perbuatan yang tidak bermoral.5

Selain definisi di atas, malpraktik juga bisa diartikan sebagai setiap kesalahan
yang diperbuat oleh dokter karena melakukan pekerjaan kedokteran di bawah
standar, yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal dapat dilakukan oleh
setiap dokter dalam situasi dan tempat yang sama, masih banyak lagi definisi
tentang malpraktik yang telah dipublikasikan.6

Terjadinya malpraktik atau tidak, dalam kenyataan tidak selalu mudah


dipastikan. Hukum mempunyai kriteria untuk mentukan hal itu. Adapun dokter
dapat dikatakan melakukan malpraktik apabila dokter kurang menguasai ilmu
kedokteran yang berlaku umum, memberikan pelayanan dibawah standar,
melakukan kelalaian berat, atau melakukan tindakan medik yang bertentangan
dengan hukum. Kelalaian medis adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis,
sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Jika dokter
hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka ia
hanya telah melakukan malpraktik etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian
karena kelalaian, maka penggugat harus dapat membuktikan adanya empat unsur
berikut : 7

1. Adanya kewajiban dokter terhadap pasien

2. Dokter melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai

3. Penggugat menderita kerugian dan

6
4. Kerugian tersebut disebabkan tindakan di bawah standar

2.2 Pembuktian Malpraktik

Dugaan adanya malpraktik kedokteran harus ditelusuri dan dianalisis terlebih


dahulu untuk dapat dipastikan ada atau tidaknya malpraktik, kecuali apabila
faktanya sudah membuktikan bahwa telah terdapat kelalaian. Pembuktiannya dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu:

1. Cara langsung

Pembuktian suatu tindakan tenaga medis dianggap lalai apabila telah memenuhi
tolak ukur 4D , yaitu:

a) Duty of Care (kewajiban): kewajiban profesi, dan kewajiban akibat kontrak


dengan pasien. Dalam hubungan perjanjian tenaga kesehatan dengan pasien,
tenaga kesehatan haruslah bertindak berdasarkan :

 Adanya indikasi medis

 Bertindak secara hati-hati dan teliti

 Bekerja sesuai standar profesi

 Sudah ada informed concent

b) Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

Berarti pelanggaran kewajiban tersebut, sehinga mengakibatkan timbulnya kerugian kepada


pasien artinya tidak memenuhinya standard profesi medik. Penentuan bahwa adanya
penyimpangan dari standard profesi medik adalah sesuatu yang harus didasarkan atas fakta-fakta
secara kasuistis yang harus dipertimbangkan oleh para ahli dan saksi ahli.

c) Damage (kerugian)

7
Berarti kerugian yang diderita pasien itu harus berwujud dalam bentuk fisik, financial, emosional
atau berbagai kategori kerugian lainnya. Di dalam kepustakaan dibedakan antara :

 Kerugian umum (general damages) : termasuk kehilangan pendapatan


yang akan diterima, kesakitan dan penderitaan (loss of future earnings and
pain and suffering)

 Kerugian khusus (special damages), kerugian financial nyata yang harus


dikeluarkan seperti biaya pengobatan.

d) Direct Causation (penyebab langsung)

Berarti bahwa harus ada kaitan kausal antara tindakan yang dilakukan dan kerugian yang
diderita. Penggugat harus membuktikan bahwa terdapat suatu “breach of duty” dan bahwa
penyimpangan itu merupakan sebab (proximite cause) dari kerugian/ luka yang diderita pasein.
Hal ini adalah sesuatu yang tidak mudah dilakukan oleh pasien.7

2.3 Persetujuan Tindakan Kedokteran (PTK)


Persetujuan tindakan kedokteran (PTK) merupakan terjemahan yang dipakai
untuk istilah informed consent. Konsep tentang informed consent mempunyai dua
unsur:
(1) informed atau informasi yang harus diberikan oleh dokter dan
(2) consent atau persetujuan yang diberikan pasien, dalam arti pasien harus mengerti
untuk apa persetujuan itu diberikan. Jadi informed consent adalah persetujuan
yang diberikan pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan.17
Istilah Persetujuan Tindakan Kedokteran (PTK) resmi dipakai setelah
diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, yang
mendefinisikan bahwa “Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang
diberikan pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan lengkap
mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap
pasien”. Pengertian PTK di sini bukanlah semata-mata mendapatkan persetujuan

8
atau izin tertulis dari pasien pada tindakan operatif atau tindakan invasif lainnya
yang berisiko tinggi namun lebih jauh ditekankan bahwa adanya kesepakatan
yang dicapai setelah dokter dan pasien berdialog. Jadi PTK merupakan suatu proses
yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan
bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan
dilakukan terhadap pasien.17
Dalam pelaksanaannya PTK minimal harus membuat pasien mengerti
(informed) dalam kontek pemberian informasi sebelum pasien memberikan
persetujuan (consent). Idealnya ini baru bisa terlaksana apabila terdapat
komunikasi yang efektif dan bertemunya pemikiran yang sepakat sebelum
mencapai persetujuan. Dasar hukum persetujuan tindakan kedokteran adalah Pasal
45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Ada 2 tujuan utama dari persetujuan tindakan kedokteran yaitu:


1). Melindungi pasien terhadap segala tindakan medik yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien, misalnya hendak dilakukan prosedur medik yang
sebenarnya tidak perlu dan tanpa ada dasar mediknya,
2). Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tak
terduga dan bersifat negatif. Perlindungan hukum yang dimaksud di sini adalah
perlindungan ang terbatas pada keadaan “risk of treatment” yang tak mungkin
dihindarkan, walaupun sang dokter sudah berusaha sedapat mungkin dan
bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti. Karena setiap tindakan medis
yang dilakukan oleh dokter, terkadang hasilnya bersifat ketidakpastian
(uncertainty) dan tidak dapat diperhitungkan secara matematik karena dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain yang berada di luar kekuasaan dan kontrol dokter,
misalnya virulensi penyakit, kepatuhan pasien, kualitas obat dan sebagainya.17
Jadi, ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam hal terjadi kelalaian oleh
tenaga kesehatan yakni:
a) Melaporkan kepada MKEK/MKDKI;
b) Melakukan mediasi;

9
c) Menggugat secara perdata.
Jika ternyata ada kesengajaan dalam tindakan tenaga kesehatan tersebut, maka dapat
dilakukan upaya pelaporan secara pidana. Berdasarkan Pasal 66 UU No. 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”), seseorang yang
merasa dirugikan atas tindakan dokter dalam menjalankan praktik kedokteran bisa
mengadu kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
yang merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal 66 UU Praktik Kedokteran menyatakan:
1. Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan
secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
2. Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:
a) identitas pengadu;
b) nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan
dilakukan; dan
c) alasan pengaduan.
3. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana
kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
MKDKI dapat menyatakan tidak bersalah atau memberi sanksi disiplin. Sanksi
disiplin dapat berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan surat tanda
registrasi atau surat izin praktik, dan/atau kewajiban mengikuti pendidikan atau
pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi (Pasal 69 UU
Praktik Kedokteran).16

2.4 Pertanggung Jawaban Hukum Terhadap Kode Etik Kedokteran


a. Tanggung Jawab Kode Etik Profesi Kode etik kedokteran menyangkut dua hal
yang harus diperhatikan oleh para pengembang profesi kedokteran, yaitu:7
1. Etik jabatan kedokteran (medical ethics), yaitu menyangkut masalah yang

10
berkaitan dengan sikap dokter terhadap teman sejawatnya, perawatnya, masyarakat,
dan pemerintah.
2. Etik asuhan kedokteran (ethics medical care), yaitu etika kedokteran yang berupa
pedoman dalam kehidupan sehari-hari, khususnya sikap dan tindakan seorang dokter
terhadap pasien yang menjadi tanggungjawabnya. Pelanggaran kode etik tidak
menyebabkan adanya sanksi formil terhadap pelakunya. Bagi pelanggar kode etik
hanya dilakukan tindakan koreksi berupa teguran dan bimbingan. Harapannya,
pelanggaran serupa tidak akan terjadi lagi di masa-masa yang akan datang. Dengan
kata lain, tindakan terhadap pelanggar kode etik hanya bersifat korektif dan
preventif.
Di sinilah letak perbedaan antara etika dan hukum, sanksi etika dijatuhkan oleh
kelompok profesi yang menetapkan kode etik tersebut, sementara sanksi hukum
diproses dan dijatuhkan oleh institusi-institusi hukum yang berwenang. Sehingga,
penegakan etika mengandalkan itikad baik dan kesadaran moral dari pelakunya,
sedangkan penegakan hukum bersifat lebih tegas karena dijalankan oleh
aparataparat yang telah diberikan wewenang oleh pemerintah.
b. Tanggung Jawab Hukum
Tanggung jawab hukum dokter adalah suatu “keterikatan” dokter terhadap
ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya. Keterikatan tersebut
meliputi pertanggungjawaban hukum sebagai berikut:8

1). Tanggung Jawab Perdata


Pada awalnya, tanggung jawab seorang dokter hanya terbatas pada hubungan
kontrak antara dirinya dan pasien. Dengan demikian, tanggung jawab yang timbul
hanya terbatas pada lingkup bidang hukum perdata (misalnya, pertanggungjawaban
yang timbul karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum).9 Atas dasar
tersebut, maka tanggung jawab dokter tersebut baru timbul apabila seorang pasien
mengajukan gugatan kepada dokter untuk membayar ganti rugi atas dasar perbuatan
yang merugikan pasien.10
Melakukan wanprestasi (pasal 1239 KUHPerdata), Melakukan perbuatan
melanggar hukum (pasal 1365 KUHPerdata), Melakukan kelalaian sehingga
mengakibatkan kerugian (pasal 1366 KUHPerdata), Melakukan pekerjaan sebagai

11
penanggungjawab (pasal 1367 KUHPerdata). Seorang dokter yang melakukan
malpraktik dapat digugat oleh pasien jika yang disebut terakhir mengalami cedera
atau kerugian. Dokter tersebut dapat digugat secara perdata atas dasar telah
terjadinya wanprestasi, perbuatan melawan hukum, dan kelalaian dalam
menjalankan profesinya.

2). Tanggung Jawab Pidana


Dari sudut pandang hukum pidana, masalah malpraktik lebih ditekankan dan
berdasarkan pada consent atau persetujuan. Setiap tindakan medik yang bersifat
invasif, harus mendapatkan persetujuan dari pasien. Setiap tindakan medik invasive
(invasive medical undertaking) yang dilakukan oleh dokter tanpa adanya persetujuan
dari pasien, dapat digugat sebagai tindak pidana penganiayaan, terutama jika
menggunakan pembiusan. Secara yuridis-formil, berdasarkan pasal 351 KUHP,
tindakan invasif yang dilakukan oleh seorang dokter, misalnya pembedahan, dapat
dipersalahkan sebagai tindak pidana penganiayaan. Namun, hal ini tidak berlaku jika
tindakan medik tersebut memenuhi syarat-syarat berikut; Adanya indikasi medis,
Adanya persetujan pasien, Sesuai dengan standar profesi medik. Tanggung jawab
pidana yang berkaitan dengan kesalahan professional, biasanya, berhubungan
dengan masalah-masalah berikut:11
Kelalaian (negligence), dan Persetujuan dari pasien yang bersangkutan.
Kesalahan profesional yang berupa kelalaian (negligence) yang mengharuskan
adanya pertanggungjawaban pidana, harus dibuktikan apakah telah terjadi
pelanggaran terhadap informed consent atau tidak. Istilah kelalaian dalam hukum
pidana identik dengan kealpaan. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kelalaian
atau kealpaan dalam konteks malpraktik, kita harus melihat pada hukum pidana
umum. Menurut hukum pidana, kelalaian atau kealpaan dibedakan menjadi:
Kealpaan ringan (culpa levissima), dan Kealpaan berat (culpa lata). KUHP tidak
menjelaskanpengertian kelalaian, tetapi hanya memberikan gambaran. Namun,
unsur-unsur kelalaian dalam arti pidana sebagai berikut: Bertentangan dengan
hukum, Akibat sebenarnya dapat dibayangkan, Akibat sebenarnya adapat
dihindarkan, Perbuatannya dapat dipersalahkan kepadanya.12

12
Berdasarkan uraian tersebut, pertanggungjawaban pidana dalam kasus malpraktik
dapat diterapkan dalam kondisi-kondisi berikut: Tidak adanya persetujuan tindakan
medik dari pasien. Artinya, tanpa adanya persetujuan tersebut seharusnya dokter
dapat membayangkan akibatnya (misalnya: pasien merasa dirugikan atas tindakan
dokter tersebut). Hal tersebut untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang
dapat merugikan pasien.12
c. Tanggung Jawab Administrasi
Mengenai tanggung jawab dokter dari segi hukum administrasi dalam kaitannya
dengan pelaksanaan informed consent, dengan tegas dinyatakan dalam pasal 13
Permenkes Nomor 585 tahun 1989: Terhadap dokter yang melakukan tindakan
medik tanpa adanya persetujuandari pasien atau keluarganya dapat dimintakan
sanksi aministratif berupa pencabutan surat izin praktek”.13
Ketentuan dalam pasal 13 permenkes tersebut, diperkuat lagi dengan ketentuan pasal
11 UU. No 6 tahun 1963.Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam
KUHP dan peraturan perundang-undangan lain, maka terhadap tenaga kesehatan
dapat dilakukan tindakan adaministratif dalam hal sebagai berikut: Melalaikan
kewajiban, Melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh
seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat
sumpah sebagai tenaga kesehatan. Mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan
oleh tenaga kesehatan. Melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan
Undang-undang.14
Apabila ketentuan diatas dikaitkan dengan malpraktik karena pelanggaran informed
consent, maka menteri kesehatan dapat mengambil tindakan administratif tersebut
setelah mendengar Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Berdasarkan
uraian di atas dapat dikatakan bahwa tanggung jawab dan hak-hak tenaga kesehatan,
khususnya dokter, adalah:15
Melakukan praktek kedokteran setelah memperoleh Surat Izin Dokter (SID) dan
Surat Izin Praktek (SIP), Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien
atau keluarganya tentang penyakitnya, Bekerja sesuai dengan standar profesi.
Menolak melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan etika, hukum,
agama, dan, hati nurani, Menolak pasien yang bukan bidang spesialisasinya, kecuali

13
dalam keadaan gawat darurat, atau tidak ada dokter lain yang mampu
menanganinya, Menerima imbalan jasa. Oleh karena itu, sepanjang tindakan medik
yang diberikan oleh dokter kepada pasien dilakukan secara benar menurut standar
profesi dan standar prosedur operasional, meskipun hasil tindakan medik tersebut
tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka hal itu tidak dianggap sebagai sebuah
malpraktik. Malpraktik terjadi jika dokter menyalahi standar profesi, standar
prosedur operasional, dan prinsip-prinsip umum kedokteran, yang berakibat
merugikan pasien.
Dengan kata lain, tindakan medik yang diberikan oleh dokter bukan saja tidak
menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasien, melainkan membuatnya
semakin parah. Jika hal ini terjadi, maka dokter tersebut bisa dianggap telah
melakukan malpraktik, dan pasien berhak menuntut ganti rugi. Apabila akibat dari
perlakuan tersebut memenuhi kriteria pidana, seperti kematian atau luka (Pasal 359
atau 360 KUHP), maka pertanggungjawaban pidana wujudnya bukan sekedar
penggantian kerugian (perdata) saja, tetapi boleh jadi pemidanaan.16

14
BAB III

KESIMPULAN

Malpraktek adalah, setiap sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan


dalam ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan terhadap sikap
tindak dari para dokter, pengacara dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan
profesional dan melakukan pada ukuran tingkat keterampilan dan kepandaian yang wajar
di dalam masyarakatnya oleh teman sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga
mengakibatkan luka, kehilangan atau kerugian pada penerima pelayanan tersebut yang
cenderung menaruh kepercayaan terhadap mereka itu. Termasuk di dalamnya setiap sikap
tindak profesional yang salah, kekurangan keterampilan yang tidak wajar atau kurang
kehati-hatian atau kewajiban hukum, praktek buruk atau ilegal atau sikap immoral.
Dalam praktik kedokteran, setidaknya ada 3 (tiga) norma yang berlaku yakni: a) Disiplin,
sebagai aturan penerapan keilmuan kedokteran; b) Etika, sebagai aturan penerapan etika
kedokteran (Kodeki); dan c) Hukum, sebagai aturan hukum kedokteran.

Malpraktik terjadi jika dokter menyalahi standar profesi, standar prosedur


operasional, dan prinsip-prinsip umum kedokteran, yang berakibat merugikan pasien.
Dengan kata lain, tindakan medik yang diberikan oleh dokter bukan saja tidak
menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasien, melainkan membuatnya semakin
parah. Jika hal ini terjadi, maka dokter tersebut bisa dianggap telah melakukan
malpraktik, dan pasien berhak menuntut ganti rugi. Apabila akibat dari perlakuan tersebut
memenuhi kriteria pidana, seperti kematian atau luka (pasal 359 atau 360 KUHP), maka
pertanggungjawaban pidana wujudnya bukan sekedar penggantian kerugian (perdata)
saja, tetapi boleh jadi pemidanaan.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Bertens, K., Dokumen Etika dan Hukum Kedokteran. Universitas Atmajaya , Jakarta.
2001
2. Anny Isfandyarie, Tanggungjawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter. Cetakan ke-1.
(Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006).
3. Antarika, Hukum dalam Medis, Materi Kuliah, Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Perdata. (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2006).
4. Bambang Poernomo, Hukum Kesehatan. Bahan Kuliah Pascasarjana UGM, Magister
16
Hukum Kesehatan, 2007.
5. M. Chief, Black’s Law Dictionary. (West Group, St. Paul, 2000)
6. Budi Sampurna, S.Pf, Praktik Kedokteran Yang Baik Mencegah Malpraktik
Kedokteran. Majalah Farmacia, Edisi: Maret 2006.
7. Guwandi J. Dokter, Pasien dan Hukum. (Jakarta: Fakultas Kedokteran UI, 1996),
Husein Kerbala, Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent. Cetakan ke-2. (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1993).
8. Ninik Marianti, Malpraktik Kedokteran dari Segi Hukum Pidana dan Perdata
(Jakarta: Bina Aksara, 1988)
9. Nusye Jayanti, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran. Cetakan ke1.
(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009).
10. J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Undang-undang (Bandung:
Citra Adtia Bakti, 2001)
11. Kusuma Astuti E, Aspek Hukum Hubungan antara Dokter dan Pasien (Semarang:
Dexa Media, 2004)
12. Safitri Hariyani, Sengketa Medik: Alternatif penyelesaian Perselisihan antara Dokter
dengan Pasien. (Jakarta: Diadit Media, 2005).
13. Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Penerapan Syariat Islam dalam Konteks
Modernitas. Cetakan ke-1. (Bandung: Asy Syaamil Press, 2000)
14. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum. Cetakan ke-2. (Yogyakarta: Liberty,
2005)
15. Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. (Jakarta: Sinar
Grafika), 2010
16. Supriadi, Wila Chandrawila, Hukum Kesehatan. (Bandung: Mandar Maju, 2001)
17. Sampurna B, Siswaja TD SZ. Bioetik dan hukum kedokteran. Jakarta: Pustaka
Dwipar; 2005. p 75- 84.
18. Sampurna B, Siswaja TD SZ. Bioetik dan hukum
19. kedokteran. Jakarta: Pustaka Dwipar; 2005. p 75- 84

17

Anda mungkin juga menyukai