Anda di halaman 1dari 22

Referat

MALPRAKTIK MEDIS

Oleh:

Ahmad Danial Rizkillah Azzamzami NIM. 2020912310093

Muhammad Daffa Ibnurasy Pratama NIM. 1930912310137

Pembimbing

Dr. dr. Iwan Aflanie, M.Kes, Sp.F, S.H.

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN DAN KEHAKIMAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
RSUD ULIN BANJARMASIN
Agustus, 2021

i
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL............................................................................. i

DAFTAR ISI.......................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................ 3

A. Definisi Malpraktik........................................................... 3

B. Jenis-Jenis Malpraktik...................................................... 5

C. Unsur Malpraktik.............................................................. 9

D. Penyebab Malpraktik........................................................ 11

E. Pembuktian Malpraktik..................................................... 14

F. Pencegahan Malpraktik..................................................... 16

BAB III PENUTUP............................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Malpraktik Medis mempunyai arti yang lebih komprehensif

dibandingkan kelalaian. Istilah malpraktik medis memang tidak diketahui secara

sempurna dalam suatu aturan Hukum Positif Indonesia. Dalam malpraktik medis

pun terdapat suatu pelayanan tindakan yang dilakukan dengan sengaja dan oleh

sebab itu berimplikasi terjadinya suatu aturan ketentuan Undang – undang yang

terlanggar, sedangkan arti kelalaian lebih menitikberatkan kepada

ketidaksengajaan (culpa), kurang hati-hati, kurang teliti, acuh tak acuh, sembrono,

tak peduli terhadap kepentingan orang lain, namun akibat yang timbul memang

bukanlah tujuannya.1

Malpraktik medis tercipta untuk menurunkan sistem pembangunan

kesehatan medis pada bagian Standar Operasional Prosedur (SOP), Standar

Profesi Kedokteran (SPK) dan Informed Consent. 2 Pada hakekatnya kesalahan

dan kelalaian petugas kesehatan dalam melaksanakan suatu profesi medis,

merupakan bentuk interpretasi yang amat penting untuk diulas secara bersama -

sama, hal ini dipengaruhi karena timbulnya kesalahan dan kelalaian yang

mengindikasikan dampak merugikan. Selain tercela dan mengurangi bentuk

amanah masyarakat terhadap petugas kesehatan, juga menimbulkan suatu

kerugian terhadap pasien. Seyogyanya di dalam menginterpretasikan suatu

eksistensi pelaksanaan profesi harus diletakkan terlebih dahulu, kesalahan dan

kelalaian pengimplementasian profesi dengan berhadapan pada kewajiban profesi.

1
Oleh karena itu se eloknya harus juga memperhatikan indikator-indikator seperti

aspek hukum yang mendasari terjadinya suatu hubungan hukum antara dokter dan

pasien yang bersumber pada perjanjian terapeutik atau transaksi terapeutik.3

Keberadaan hukum kesehatan membawa pengaruh yang sangat besar

terhadap pembangunan, khususnya di bidang kesehatan. Hukum kesehatan

termasuk hukum lex specialis yang melindungi secara khusus tugas profesi

kesehatan (provider) dalam program pelayanan kesehatan manusia ke arah tujuan

deklarasi Health for All dan perlindungan secara khusus terhadap pasien

(receiver) untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Dan dalam pemberian

pelayanan kesehatan, pada akhir-akhir ini ramai dibicarakan masyarakat dari

berbagai golongan mengenai masalah malpraktik.4

Malpraktik merupakan pelayanan kesehatan yang mengecewakan pasien

karena kurang berhasil atau tidak berhasilnya dokter dalam mengupayakan

kesembuhan bagi pasiennya dikarenakan kesalahan profesional seorang dokter

yang mengakibatkan cacat hingga kematian pasien. Berbagai upaya perlindungan

hukum yang dilakukan dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada

masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan terhadap tindakan dokter atau

dokter gigi sebagai pemberi pelayanan kesehatan telah dilakukan pemerintah

dengan melakukan pembuatan Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang

Praktik Kedokteran sebagai salah satu upaya pembangunan nasional yang

mengarah kepada terwujudnya derajat kesehatan yang optimal.5

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Malpraktik

Malpraktik adalah kelalaian dari seorang tenaga medis dalam

menerapkan keterampilan dan pengetahuannya dalam memberikan pelayanan

pengobatan dan perawatan terhadap pasien yang lazimnya diterapkan dalam

mengobati dan merawat orang sakit. Berbicara mengenai malpraktik atau mal-

practice berasal dari kata “mal” yang berarti buruk. Sedang kata “practice” berarti

suatu tindakan atau praktik. Dengan demikian secara harfiah dapat diartikan

sebagai suatu tindakan medis “buruk” yang dilakukan dokter dalam hubungannya

dengan pasien.1,4

Di Indonesia, istilah malpraktik yang sudah sangat dikenal oleh para

tenaga kesehatan se-benarnya hanyalah merupakan suatu bentuk medical

malpractice, yaitu medical negligence yang dalam bahasa Indonesia disebut

kelalaian medis. Malpraktik memiliki beberapa arti. Pertama, malpraktik adalah

setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter karena pada saat

melakukan pekerjaan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak

berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau

dilakukan oleh dokter pada umumnya, di dalam situasi dan kondisi yang sama.

Kedua, malpraktik adalah setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter, oleh

karena melakukan pekerjaan kedokteran di bawah standar yang sebenarnya secara

rata-rata dan masuk akal, dapat di lakukan oleh setiap dokter dalam siatuasi atau

3
tempat yang sama. Ketiga, malpraktik adalah setiap kesalahan profesional

diperbuat oleh seorang dokter, yang di dalamnya termasuk kesalahan karena

perbuatan-perbuat-an yang tidak masuk akal serta kesalahan karena keterampilan

ataupun kesetiaan yang kurang dalam menyelenggarakan kewajiban atau dan atau

pun kepercayaan profesional yang dimilikinya.1

Malpraktik juga memiliki pengertian yaitu setiap tindakan medis yang

dilakukan dokter atau orang-orang di bawah pengwasannya, atau penyedia jasa

kesehatan yang dilakukan terhadap pasiennya, baik dalam hal diagnosis,

terapeutik dan manajemen pe-nyakit yang dilakukan secara melanggar hukum,

kepatutan, kesusilaandan prinsip-prinsip profe-sional baik dilakukan dengan

sengaja atau karena kurang hati-hatiyang menyebabkan salah tindak rasa sakit,

luka, cacat, kerusakan tubuh, kematian dan kerugian lainnya yang menyebabkan

dokter atau perawat harus bertanggungja-wab baik secara administratif, perdata

maupun pidana.5

4
B. Jenis-Jenis Malpraktik

1) Malpraktek Etik

Malpraktik etik yaitu merupakan suatu kondisi saat tenaga kesehatan

melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga

kesehatan. Adapun yang dimaksud dengan etik kedokteran ini mempunyai dua

sisi dimana satu sisi saling terkait dan saling pengaruh mempengaruhi, yaitu etik

jabatan atau medical ethics, yang menyangkut maalah yang berhubungan dengan

sikap para dokter terhadap sejawatnya, sikap dokter terhadap pembantunya dan

sikap dokter terhadap masyarakat. Sedangkan etik asuhan atau ethics of the

medical care, yaitu merupakan etik kedokteran dalam kehidupan sehari-hari

mengenai sikap dan tindakan seorang dokter terhadap penderita yang menjadi

tanggung jawabnya. Pelanggaran terhadap terhadap ketentuan Kode Etik

Kedokteran ada yang merupakan pelanggaran etik semata-mata, tetapi ada juga

merupakan pelanggaran etik dan sekaligus pelanggaran hukum yang dikenal

dengan istilah pelanggaran etikologal.Lebih lanjut bentuk-bentuk pelanggaran etik

kedokteran adalah sebagai berikut:6

a. Pelanggaran etik murni : (1) Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik

imbalan jasa dari keluarga sejawat dokter dan dokter gigi; (2) Mengambil alih

pasien tanpa persetujuan sejawatnya (melanggar Pasal 16 Kodeki) ; (3) Memuji

diri sendiri di hadapan pasien (melanggar Pasal 4 huruf a Kodeki) ; (4) Dokter

mengabaikan kesehatannya sendiri (pelanggaran Pasal 17 Kodeki)

5
b. Terhadap pelanggaran etikolegal antara lain : (1) Pelayanan dokter di bawah

standar ; (2) Menerbitkan surat keterangan palsu (melanggar Pasal 7 Kodeki

sekaligus Pasal 267 KUHP) ; (3) Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter

(melanggar Pasal 13 Kodeki dan Pasal 322 KUHP) ; (4) Tidak pernah mengikuti

pendidikan dan pelatihan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ;

(5) Abortus provokatus ; (6) Pelecehan seksual (7) Tidak mau melakukan

pertolongan darurat kepada orang yang menderita (melanggar Pasal 14 Kodeki

dan Pasal 304 KUHP).

2) Malpraktek Yuridis

Malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktek perdata

(civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice) dan malpraktek

administratif (administrative malpractice).6

a. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice) terjadi apabila terdapat hal-hal yang

menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi

terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum

(onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.

Pelanggaran profesi kedokteran menurut hukum perdata bersumber pada dua

dasar hukum, yaitu: (1) Wanprestasi (Pasal 1239 KUHPerdata). Dalam hal ini

dokter tidak memenuhi kewajibannya yang timbul dari adanya suatu perjanjian

(tanggung jawab kontraktual). Dalam arti harfiah adalah prestasi yang buruk yang

pada dasarnya melanggar isi / kesepakatan dalam suatu perjanjian / kontrak oleh

salah satu pihak. Bentuk pelanggaran dalam wanprestasi sebagai berikut: (a)

6
Tidak memberikan prestasi sama sekali sebagaimana yang diperjanjikan; (b)

Memberikan prestasi tidak sebagaimana mestinya, tidak sesuai kualitas atau

kuantitas dengan yang diperjanjikan; (c) Memberikan prestasi tetapi sudah

terlambat tidak tepat waktu sebagaimana yang diperjanjikan; (d) memberikan

prestasi yang lain dari yang diperjanjikan. Di lihat dari transaksi terapeutik yang

merupakan inspanning verbentenis dimana kewajiban atau prestasi dokter yang

harus dijalankan pada pasien adalah perlakukan medis yang sebaik-baiknya dan

secermatcermatnya sesuai dengan standar profesi medis atau standar prosedur

operasional. Maka wanprestasi dokter terjadi karena melanggar standar profesi

medis atau standar prosedur operasional sehingga memberikan pelayanan medis

pada pasien tidak sebagaimana mestinya, dan/atau memberikan prestasi yang

tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien.

b. Malpraktek Pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami

cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam

melakukan upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat

tersebut.

c. Malpraktek admnistrasi terjadi jika dokter, tenaga kesehatan atau rumah sakit

melakukan praktek dengan melanggar hukum administrasi negara seperti

menjalankan praktek tanpa ijin, melakukan praktek atau tindakan yang tidak

sesuai dengan ijin yang dimilikinya, atau ijin yang dimilikinya sudah kadaluarsa

dan ataupun menjalankan praktek tanpa membuat catatan medis yang jelas.

7
Jika diukur menurut berat-ringannya maka malpraktik yang dilakukan

oleh profesi kedokteran dapat dibedakan menjadi malpraktik etika, malpraktik

disiplin dan mapraktik hukum.7

Bidang Sifat Tujuan Sanksi


Etika Intern Memelihara Teguran, skorsing,
harkat martabat pemecatan sebagai
profesi dan anggota
menjaga mutu
Disiplin Hukum publik Melindungi Teguran,skorsing
masyrakat dan pencabutan
(termasuk izin
anggota profesi)
Hukum Berlaku umum Menjaga tata Hukum
tertib perdata=ganti tugi
Hukum pidana=
sanksi badan
dan/atau
pencabutan izin

Kelalaian medis adalah salah satu bentuk malpraktik medis, sekaligus


merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi, kelalaian ini
dibagi menjadi 3 bentuk yaitu:7
1. Misfeasance artinya adalah melakukan pilihan tindakan medis yang tepat
tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance). Misalnya
melakukan tindakan medis yang menyaahi prosedur.
2. Malfeasance yang artinya adalah tindakan yang melanggar hukum atau
tidak tepat/layak (unlaw atau improper). Misalnya melakukan tindakan medis
tanpa indikasi yang memadai.
3. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan
kewajiban baginya.

8
Tingkatan kelelaian oleh hukum hanya dapat dibedakan menjadi 2
ukuran tingkat:7
1. Yang bersifat ringan, biasa (culpa levis): yaitu apabila seseorang tidak
melakukan apa yang seseorang biasa, wajar dan berhati-hati akan melakukan atau
justru melakukan apa yang orang wajar tidak akan melakukan didalam situasi
yang meliputi keadaan tersebut.
2. Yang bersifat kasar, berat (culpa lata): yaitu apabila seseorang dengan sadar

dan dengan sengaja tidak melakukan atau melakukan sesuatu yang tidak

sepatutnya dilakukan.

C. Unsur Malpraktik

Terdapat 4 unsur yang mengawali tindakan malpraktik, meliputi 4D, yaitu:7,8

a. Dereliction of that duty, apabila sudah ada kewajiban (duty), dokter harus

bertindak sesuai dengan standar profesi yang berlaku. Jika terdapat penyimpangan

dari standar tersebut maka dokter dapat dipersalahkan. Bukti adannya suatu

penyimpangan dapat diberikan melalui ahli, catatan rekam medis. Apabila

kesalahan sudah jelas, sehingga tidak perlukan kesaksian ahli lagi, maka hakim

dapat menerapkan doktirn Res Ispa Loquitur.

b. Duty to Use Due Care, tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk

mengobati. Hal ini berarti bahwa harus ada hubungan hukum antara pasien dan

dokter. Dengan adanya hubungan hukum maka implikasinya adalah bahwa sikap

tindakan dokter itu harus sesuai dengan standar pelayanan medis agar pasien

jangan sampai menderita cedera karenanya. Rasio dari kewajiban ini adalah

sebagai akibat perkembangan hak asasi manusia dalam bentuk otonomi (self

determination), dan ini berawal dari putusan Hakim Benyamin Cardozo yang

9
terkenal dengan ucapanya yakni “Every human being of dault of years and sound

mind has a right to determine what shall be done with his body; and a surgeon

who performs an operation without his patient’s consent commits and assault, for

which he is liable in damages”.

c. Direct Causal Relationship, untuk berhasilnya suatu gugatan ganti rugi

berdasarkan malpraktik medis, maka harus ada hubungan kausal yang wajar

antara sikap tindak tergugat (dokter) dan kerugian (demage) yang diderita oleh

pasien sebagai akibatnya. Sementara itu, dalam literatur negara continental,

misalnya, dari Prof.W.B. Van Der Mijn juga menyinggung soal “The Three

Elements Of Civil Liability”, yang berarti atas: culpabilitas, demages, dan causal

relationship.

d. Damage, memiliki pengertian yang berarti kerugian yang diderita pasien itu

harus berwujud dalam bentuk fisik, finansial, emosional, atau berbagai dalam

kategori kerugian lainnya. Apabila dokter dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika

tidak sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian (demage, injury, harm) kepada

pasien, maka tidak dapat dituntut ganti kerugian.

Meskipun demikian, pada kenyataannya tidak semua sengketa medis

yang memenuhi unsur 4-D berakhir dengan proses peradilan. Hal ini terjadi akibat

adanya unsur kelima kelalaian yaitu willing plaintiff (kelainan menggugat).

Setiap kasus malpraktik medis memiliki unsur permasalahan masing-

masing, jenis yang paling umum dari litigasi malpraktik medis, apabila diurutkan

berdasarkan frekuensi, adalah sebagai berikut: 1. Kurangnya kehati-hatian; 2.

10
Kurangnya persetujuan; 3. Kurangnya pertanggungjawaban/pengawasan

atasan/kelalaian; 4. Cedera pada Pihak ketiga; dan 5. Pengabaian.9

D. Penyebab Malpraktik

Penjelasan mengenai faktor-faktor penyebab malpraktik, menilik pada

banyak teori yang dikembangkan oleh beberapa para ahli hukum. Teori-teori

tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua teori besar yang disebut dengan teori

yang mengindividualisir dan teori yang menggeneralisir. Menurut teori yang

mengindividualisasi, bahwa dari sekian rangkaian factor yang ada, tidak semua

unsur dapat menjadi penyebab suatu akibat dan hanyalah faktor yang paling kuat

yang dapat menimbulkan suatu akibat, sementara yang lain hanyalah faktor syarat.

Kedua teori ini sendiri dicetuskan oleh Birkmeyer dan Karl Binding.10

Menurut Birkmeyer penyebab adalah faktor yang menurut kenyataan

setelah peristiwa terjadi secara konkrit (post factum) merupakan faktor yang

memiliki pengaruh paling kuat di antara semua factor lainnya sehingga berperan

terhadap timbulnya akibat. Menurut Karl binding, bahwa di antara berbagai faktor

yang ada, faktor penyebab adalah faktor yang terpenting dan seimbang atau sesuai

dengan akibat yang timbul. Timbulnya akibat disebabkan oleh adanya faktor

positif yang menyebabkan timbulnya akibat yang memiliki nilai lebih kuat dari

faktor negative, yaitu faktor yang bertahan dan berperan untuk meniadakan suatu

akibat. Penyebab adalah suatu kondisi di mana syarat-syarat positif mengungguli

terhadap syarat-syarat yang bertahan (negatif). Satu-satunya faktor penyebab

adalah syarat terakhir yang menghilangkan keseimbangan dan memenangkan dari

pihak faktor positif.10

11
Pada teori ini terdapat kelemahan berhubung tidak adanya kriteria untuk

menentukan faktor mana yang dimaksudkan dominan lalu faktor mana yang

menjadi penyebab. Sedangkan teori yang menggeneralisasi mencoba mengisi

kelemahan dari teori sebelumnya, menurut teori ini dalam mencari faktor

penyebab harus dicari faktor mana yang secara wajar dan logis serta berdasarkan

rekaman kejadian yang sudah pernah terjadi pada umumnya dapat menimbulkan

suatu akibat. Sedangkan Culpa atau yang biasa disebut dengan kelalaian biasanya

tertuju pada akibat.10

Yang dimaksud dengan akibat yang merugikan pasien dan bersifat tidak

dikehendaki namun karena kurang kecermatannya serta kurang pengetahuan

mengenai beberapa hal, tidak disadari oleh seorang praktisi medis bahwa dengan

mewujudkan perbuatan tertentu dalam pelayanan medis yang diberikan ternyata

dapat menimbulkan akibat yang buruk bagi pasien, yang di mana pada awalnya

akibat tersebut tidak dikehendaki. Dalam malpraktik kedokteran wujud perbuatan

yang termasuk dalam malpraktik harus tidak sesuai dengan standar profesi medis

dan standar prosedur operasional atau setidak-tidaknya bertentangan dengan

kebiasaan umum yang wajar di dunia kedokteran.10

Kelalaian (culpa) tidak memiliki pengertian atau pun definisi yang jelas

dalam hukum pidana. Kelalaian atau culpa merupakan suatu sikap batin dari

seseorang melalui perbuatannya yang kurang hati-hati, kurang perhatian serta

kurang pengetahuan yang mengakibatkan akibat yang tidak di inginkan. Dalam

Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

terdapat 5 kewajiban dimana apabila dilanggar memiliki kemungkinan untuk

12
menjadi salah satu faktor penyebab kelalaian yang kemudian dapat

mengakibatkan malpraktik kedokteran, yaitu:

1. Tidak terpenuhinya kewajiban pelayanan medis sesuai dengan standar profesi,

standar prosedur operasional, dan kebutuhan pasien, saat di mana seseorang

tidak memenuhi kewajiban tersebutlah yang kemudian menimbulkan akibat

yang fatal bagi seorang pasien

2. Tidak memenuhi kewajiban merujuk pasien ke dokter lain yang mempunyai

keahlian atau kemampuan yang lebih baik.

3. Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai pasien

(Memegang rahasia dokter).

4. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan.10

Namun, bila ditinjau dari risiko malpraktik yang terjadi saat ini,

faktor penyebab yang tergolong ke dalam predisposisi juga harus ditinjau lebih

lanjut lagi, yang mana terdiri atas unsur predisposisi yang bersifat sistemik,

organisatoris dan manajerial, sehingga kita dapat melakukan langkah-langkah

pencegahannya dengan lebih sistematis. Dalam diskusi internal Ikatan Dokter

Indonesia pada pertengahan tahun lalu dimunculkan beberapa akar penyebab

tersebut, yaitu:

1. Pemahaman dan penerapan etika kedokteran yang rendah. Hal ini diduga

merupakan akibat dari sistem pendidikan di Fakultas Kedokteran yang tidak

memberikan materi etika kedokteran sebagai materi yang juga mencakup

afektif – tidak hanya kognitif.

13
2. Paham materialisme yang semakin menguat di masyarakat pada umumnya dan

di dalam pelayanan kedokteran khususnya.

3. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin akuntabilitas

profesi kedokteran (saat ini kita sedang menunggu diundangkannya UU

Praktik Kedokteran yang diharapkan dapat mengatur praktik kedokteran yang

akuntabel).

Belum adanya good clinical governance di dalam pelayanan kedokteran

di Indonesia, yang terlihat dari belum ada atau kurangnya standar (kompetensi,

perilaku dan pelayanan) dan pedoman (penatalaksanaan kasus), serta tidak

tegasnya penegakan standar dan pedoman tersebut.11 Diduga masih banyak

penyebab-penyebab lain atau derivat dari penyebab-penyebab di atas, seperti tidak

adanya standar pendidikan kedokteran, peraturan yang membolehkan para dokter

bekerja di banyak tempat praktik (sarana kesehatan) dengan risiko menipisnya

mutu hubungan dokter-pasien, mahalnya pendidikan kedokteran, terutama

Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), sistem pembiayaan yang

membebankan sebagian besar keputusan kepada dokter, komersialisasi rumah

sakit, dan lain-lain.2

E. Pembuktian Malpraktik

Ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang

didakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan

tempat (negara), yaitu positif wettelijk bewijstheorie, conviction intime,

laconvviction raisonnee dan negatef wettelijk. Kalau kesalahan dokter merupakan

kesalahan profesi, maka tidaklah mudah bagi siapa saja yang tidak memahami

14
profesi ini untuk membuktikannya di pengadilan. Meskipun demikian tidak berarti

kesalahan dokter tidak mungkin dapat dibuktikan, karena pada hakikatnya bila

memang terdapat suatu tindakan malpraktik, pasti juga terdapat cara pembuktian

malpraktik tersebut.12

Pada criminal malpractice pembuktiannya didasarkan atas dipenuhi

tidaknya unsur pidana, sehingga karenanya tergantung dari jenis criminal

malpractice yang dituduhkan. Dalam hal dokter dituduh melaku- kan kealpaan

sehingga pasien yang ditangani meninggal dunia, menderita luka berat atau luka

sedang, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan yang salah

yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati. Perlu

dipahami bahwa tidak setiap hasil pengobatan yang tidak sesuai dengan harapan

pasien merupakan bukti adanya criminal malpractice mengingat kejadian

semacam itu juga dapat merupakan bagian dari risiko tindakan medis. Kesalahan

diagnosis juga tidak boleh secara otomatis dijadikan ukuran adanya criminal

practice sebab banyak faktor yang mempengaruhi ketepatan diagnosis, yang

kadang-kadang sebagian faktor tersebut berada di luar kekuasaan dokter. Kedua

hal di atas hanya dapat dijadikan persangkaan yang masih harus dibuktikan unsur-

unsur pidananya.3

Jika terbukti bersalah maka dokter dapat dipidana sesuai jenis tindak

pidana yang dilakukannya. Selain itu dokter masih dapat digugat melalui

peradilan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).

Pada malpraktik perdata pembuktiannya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu

langsung atau tak langsung. Secara langsung, yaitu dengan membuktikan keempat

15
unsurnya secara langsung, yang terdiri atas unsur kewajiban, menelantarkan

kewajiban, rusaknya kesehatan dan adanya hubungan langsung antara tindakan

menelantarkan kewajiban dengan rusaknya kesehatan. Adapun secara tak

langsung, yaitu dengan mencari fakta-fakta yang berdasarkan doktrin res ipsa

loquitor dapat membuktikan adanya kesalahan di pihak dokter. Namun tidak

semua kelalaian dokter meninggalkan fakta semacam itu. Doktrin res ipsa

loquitor ini sebetulnya merupakan varian dari ‘doctrine of common knowledge’,

hanya saja di sini masih diperlukan sedikit bantuan kesaksian dari ahli untuk

menguji apakah fakta yang ditemukan memang dapat dijadikan bukti adanya

kelalaian dokter.

Apabila ada gunting atau tang tertinggal dalam perut pasien yang

menjalani operasi, maka gunting atau tang itu berdasarkan doktrin res ipsa

loquitor, dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat membuktikan

kesalahan dokter, sebab gunting atau tang itu tak mungkin tertinggal kalau tak ada

kelalaian. Gunting atau tang yang tertinggal itu berada di bawah tanggung jawab

dokter. Pasien dalam keadaan terbius, sehingga tidak mungkin dapat memberi

andil terhadap tertinggalnya alat-alat tersebut. Dari uraian tersebut di atas dapat

disimpulkan bahwa penyebab dari perselisihan konflik antara dokter dan pasien

adalah adanya kesalahan atau kelalaian yang menimbulkan malpraktik dan

berakibat kerugian yang diderita oleh pasien.12

F. Pencegahan Malpraktik Medis

Dengan melihat faktor-faktor penyebab yang telah dijabarkan

sebelumnya, maka pencegahan terjadinya malpraktik harus dilakukan dengan

16
melakukan perbaikan mendasar secara sistematik dari predisposisinya, mulai dari

pendidikan hingga ke tatalaksana praktik kedokteran. Pendidikan etik kedokteran

dianjurkan dimulai lebih dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan

memberikan lebih banyak arahan dalam membuat keputusan etik, memberikan

banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi kondisi etik-

klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan

menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari.11

Kemudian nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat

dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis

dan profesional dokter, seperti autonomy, beneficence, non-maleficence dan

justice, serta sikap altruisme. Diyakini bahwa hal ini adalah bagian tersulit dari

upaya sistemik pencegahan malpraktik, oleh karena diperlukan kemauan politis

yang besar dan serempak dari masyarakat profesi kedokteran untuk mau bergerak

ke arah tersebut.11

Kemudian Undang-undang Praktik Kedokteran diharapkan dapat menjadi

sesuatu yang dapat membawa kita ke arah tersebut, sepanjang penerapannya

dilakukan dengan benar. Standar pendidikan ditetapkan guna mencapai standar

kompetensi, kemudian dilakukan registrasi secara nasional dan pemberian lisensi

bagi mereka yang akan berpraktik. Konsil harus berani dan tegas dalam

melaksanakan peraturan, sehingga akuntabilitas progesi kedokteran benar-benar

dapat ditegakkan. Standar perilaku harus ditetapkan sebagai suatu aturan yang

lebih konkrit dan dapat ditegakkan daripada sekedar kode etik. Demikian pula

standar pelayanan harus diterbitkan untuk mengatur hal-hal pokok dalam praktik,

17
sedangkan ketentuan rinci agar diatur dalam pedomanpedoman. Keseluruhannya

akan memberikan rambu-rambu bagi praktik kedokteran, menjadi aturan disiplin

profesi kedokteran, yang harus diterapkan, dipantau dan ditegakkan oleh Majelis

Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Ketentuan yang

mendukung good clinical governance harus dibuat dan ditegakkan. Dalam hal ini

peran rumah sakit sangat diperlukan. Rumah sakit harus mampu mencegah

praktik kedokteran tanpa kewenangan atau di luar kewenangan, mampu

“memaksa” para profesional bekerja sesuai dengan standar profesinya, mampu

memberikan “suasana” dan budaya yang kondusif bagi suburnya praktik

kedokteran yang berdasarkan bukti (Evidence Based Medicine). Kemudian hal

yang penting selanjutnya adalah praktisi medis tidak diperkenankan menjanjikan

atau memberi garansi keberhasilan upayanya, karena perjanjian yang ada

berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil

(resultaat verbintenis) dan sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan

informed consent. Dan dalam prosedur layanan medis agar selalu mencatat semua

tindakan yang dilakukan dalam rekam medis. Apabila dirasa terdapat suatu

keraguan, agar dapat segera dikonsultasikan kepada praktisi medis yang lebih

senior atau dokter yang lebih senior. Aspek komunikasi terhadap pasien juga

merupakan unsur yang sangat penting untuk mencegah timbulnya malpraktik.

Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala

kebutuhannya dan menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan

masyarakat ditujukan agar dapat terbentuknya suatu kepercayaan antara praktisi

medis dan pasien.11

18
BAB III

PENUTUP

Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya malpraktik, secara

teoritis dapat dibagi menjadi malpraktik yang disebabkan oleh suatu factor

penyebab yang menggeneralisir dan mengindividualisir suatu factor tertentu

sebagai penyebab suatu tindakan malpraktik. Factor yang dimaksud adalah

misalnya tidak terpenuhinya kewajiban pelayanan medis sesuai dengan standar,

dokter tidak memenuhi kewajibanya terhadap pasien dan tidak melakukan

pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan yang kemudian dapat dibuktikan

oleh sistem yang ada. Sistem atau teori pembuktian suatu kejadian malpraktik

bervariasi menurut waktu dan tempat, yaitu positif wettelijk bewijstheorie,

conviction intime, laconvviction raisonnee dan negatef wettelijk. Pencegahan

terhadap malpraktik berhubungan dengan faktor penyebab yang terfokus pada

pencegahan factor predisposisi yang mana terdiri atas unsur yang bersifat

sistemik, organisatoris dan manajerial.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Sutarno. Hukum Kesehatan Eutanasia dan Hukum Positif di Indonesia.


Malang: Setara Press; 2017.

2. Dewi A, Aditya. Etika dan hukum kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Book


Publ; 2008.

3. Nasution B. Hukum kesehatan pertanggungjawaban dokter. Jakarta: Rineka


Cipta; 2005.

4. Jayanti NK. Penyelesaian Hukum Dalam Malpraktik Kedokteran.


Yogyakarta: Pustaka Yustisia; 2009.

5. Bawono BT. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan


Malpraktik Profesi Medis. Jurnal Hukum. 2011; XXV(1): 453-473.

6. Fitriono R, Setyanto B, Ginting R. Penegakan Hukum Malpraktik Melalui


Pendekatan Mediasi Penal. Yustisia Jurnal Hukum. 2016;5(1).

7. Aflanie I, Nirmalasari N, Arizal HM. Ilmu Kedokteran Forensik dan


Medisolegal. Edisi 1 Cetakan 2. Depok: Rajawali Pers; 2019.

8. Buamona H. Tanggung Jawab Pidana Dokter Dalam Kesalahan Medis. Al-


Mazahib. 2014; 2(2): 215-238.

9. Gittler G, Goldstein E. The Elements of Medical Malpractice: An Overview.


Clinical Infectious Diseases. 1996;23(5):1152-1155.

10. Sudarto, Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto; 1990.

11. Sibarani S. Aspek perlindungan hukum pasien korban malpraktik dilihat


dari sudut pandang hukum di Indonesia. Law Review. 2016; 16(1): 1–22.

12. Wiriadinata W. Dokter, Pasien dan Malpraktik. Mimbar Hukum. 2014; 26


(1): 43—53.

20

Anda mungkin juga menyukai