Anda di halaman 1dari 34

Bagian Ilmu Bedah Refleksi Kasus

Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

FISTULA ENTEROCUTANEUS

DISUSUN OLEH
Muhammad akbar anas
N 111 16 072

PEMBIMBING KLINIK

dr. Roberthy D. Maelissa Sp.B

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018

1
A. PENDAHULUAN

Fistel adalah hubungan yang abnormal antara suatu saluran dengan saluran
lain (fistel interna), atau suatu saluran dengan dunia luar melalui kulit (fistel
eksterna). Fistel enterokutaneus atau enterocutaneous fistula (ECF)
diklasifikasikan sebagai fistel ekskterna, adanya hubungan antara usus halus
dengan kulit maupun usus besar dengan kulit.1,2

Enterocutaneous fistula (ECFs) dapat terjadi sebagai komplikasi dari


semua jenis operasi pada saluran pencernaan yang biasanya muncul 7-10 hari
pasca operasi. Lebih dari 75% dari semua ECF timbul sebagai
komplikasi pasca operasi, sementara sekitar 15-25% hasil dari trauma abdomen
atau terjadisecara spontan dalam kaitannya dengan kanker, radiasi, penyakit
inflamasi pada usus, atau kondisi iskemik maupun infeksi.3,4

Meskipunkemajuan dalam perawatan gizi, pengendalian infeksi, dan


teknik bedah, fistula enterocutaneous (ECF) tetap menjadi sumber morbiditas
dan mortalitas yang cukup tinggi. Tingkat kematian pada fistula ini adalah
mulai dari 5-20%, akibat terjadinya sepsis, ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit serta malnutrisi.4,5

Dalam review dari 157 pasien yang dirawat di RS. Umum Massachusetts
antara tahun 1946-1959, kejadian malnutrisi berkisar dari 20 % pada pasien
dengan fistula kolon, 74% dengan fistula jejunum atau ileum, kejadian gizi
buruk pada pasien dengan fistula duodenum sebesar 53 %. Para penulis
menyoroti hubungan antara kejadian malnutrisi dan kematian, dengan tingkat
kematian secara keseluruhan fistula usus kecil sebesar 16% dan untuk dari
54% untuk fistula kolon. Poin ini ditinjau lagi dalam studi yang lebih kecil lagi
pada empat tahun berikutnya, dimana 56 pasien dengan fistula
enterocutaneous. Tingkat penutupan fistula adalah 89% dan angka kematian
keseluruhan 12% dalam kelompok ini, dibandingkan dengan tingkat penutupan
37% dan angka kematian secara keseluruhan sebesar 55% pada pasien yang
dinilai telah menerima gizi suboptimal. Dalam tindak lanjut review dari RS.

2
Umum Massachusetts, Soeterser et al, mortalitas dibandingkan pada pasien
dengan fistula enterocutaneous diobati sebelum dan setelah pemberian nutrisi
parenteral. Angka kematian keseluruhan antara tahun 1970 dan 1975, ketika
nutrisi parenteral dipekerjakan secara rutin dalam pengobatan pasien dengan
enterocutaneous fistula adalah 21,1%, dibandingkan dengan dengan gabungan
angka kematian. Angka kematian keseluruhan 44% antara tahun 1946 dan
1959. Namun, kematian antara tahun 1960 dan 1970 juga rendah, dengan
angka kematian gabungan dari 15,1%.6

ECF adalah kondisi umum dan tantangan nyata bagi ahli bedah sejauh
manajemen yang bersangkutan. Selama beberapa dekade terakhir, upaya
perbaikan dalam penanganan ECF terus dikembangkan. Pendekatan agresif
dengan kontrol yang efektif dari sepsis, asupan nutrisi yang memadai serta
cairan dan keseimbangan elektrolit adalah kunci untuk keberhasilan
pengelolaan fistula ini. Hal ini mempengaruhi kualitas hidup pasien,
memperpanjang tinggal di rumah sakit, danmeningkatkan biaya keseluruhan
untuk pengobatan.Dengan memahami patofisiologi dan faktor risikonya serta
penanganan yang tepat dapat membantu untuk mengurangi terjadinya fistula
enterokutaneus.7

3
B. ANATOMI USUS

Usus halus merupakan tabung kompleks, berlipat-lipat yang membentang


dari pilorus sampai katup ileosekal. Usus ini mengisi bagian tengah dan
bawah rongga abdomen. Ujung proksimalnya bergaris tengah sekitar 3,8
cm, tetapi semakin ke bawah lambat laun garis tengahnya berkurang
sampai menjadi sekitar 2,5 cm.8Struktur usus halus terdiri dari bagian-bagian
berikut ini:8

a. Duodenum: bentuknya melengkung seperti kuku kuda. Pada


lengkungan ini terdapat pankreas. Pada bagian kanan duodenum merupakan
tempat bermuaranya saluran empedu (duktus koledokus) dan saluran
pankreas (duktus pankreatikus), tempat ini dinamakan papilla vateri.
Dinding duodenum mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung
kelenjar brunner untuk memproduksi getah intestinum. Panjang duodenum
sekitar 25cm, mulai dari pilorus sampai jejunum.

b. Jejunum: Panjangnya 2-3 meter dan berkelok-kelok, terletak di


sebelah kiri atas intestinum minor. Dengan perantaraan lipatan peritoneum
yang berbentuk kipas (mesentrium) memungkinkan keluar masuknya arteri
dan vena mesentrika superior,pembuluh limfe, dan saraf ke ruang antara
lapisan peritoneum. Penampang jejunum lebih lebar, dindingnya lebih tebal,
dan banyak mengandung pembuluh darah.

c. Ileum: ujung batas antara ileum dan jejunum tidak jelas,


panjangnya ±4-5 m. Ileum merupakan usus halus yang terletak di sebelah
kanan bawah berhubungan dengan sekum dengan perantaraan lubang
orifisium ileosekalis yang diperkuat sfingter dan katup valvula ceicalis
(valvula bauchini) yang berfungsi mencegah cairan dalam kolon agartidak
masuk lagi ke dalam ileum.

4
Gambar 2. Usus Kecil

Struktur Usus Besar

Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang


sekitar 5 kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai
kanalisani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil.
Rata-rata sekitar 2,5 inci (sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus
diameternya semakin kecil.23 Lapisan-lapisan usus besar dari dalam ke
luar adalah selaput lendir, lapisan otot yang memanjang, dan jaringan ikat.
Ukurannya lebih besar daripada usus halus, mukosanya lebih halus
daripada usus halus dan tidak memiliki vili. Serabut otot longitudinal
dalam muskulus eksterna membentuk tiga pita, taenia coli yang menarik
kolon menjadi kantong-kantong besar yang disebut dengan haustra. Dibagian
bawah terdapat katup ileosekal yaitu katup antara usus halus dan usus besar.
Katup ini tertutup dan akan terbuka untuk merespon gelombang peristaltik
sehingga memungkinkan kimus mengalir 15 ml masuk dan total aliran
sebanyak 500 ml/hari.9Bagian-bagian usus besar terdiri dari :9

a. Sekum adalah kantong tertutup yang menggantung di bawah area


katup ileosekal apendiks. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks
yang melekat pada ujung sekum. Apendiks vermiform, suatu tabung buntu
yang sempit yang berisi jaringan limfosit, menonjol dari ujung sekum.

5
b. Kolon adalah bagian usus besar dari sekum sampai rektum. Kolon
memiliki tiga divisi, yaitu: Kolon ascenden : merentang dari sekum sampai
ke tepi bawah hati di sebelah kanan dan membalik secara horizontal pada
fleksura hepatika. Kolon transversum: merentang menyilang abdomen di
bawah hati dan lambung sampai ke tepi lateral ginjal kiri, tempatnya
memutar ke bawah fleksura splenik. Kolon desenden : merentang ke bawah
pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon sigmoid berbentuk S yang bermuara
di rektum.

c. Rektum adalah bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan panjang


12-13 cm. Rektum berakhir pada saluran anal dan membuka ke eksterior di
anus..

C. Klasifikasi

Fistula Enterokutaneus atau Enterocutaneus Fistula (ECF) adalah adanya


hubungan abnormal yang terjadi antara dua pemukaan berepitel yaitu antara
saluran cerna dengan kulit, baik antara usus halus dengan kulit maupun usus
besar dengan kulit. Hubungan antara kedua permukaan tersebut sebagian besar
berupa jaringan granulasi. Fistula enterokutaneus merupakan komplikasi yang
biasanya terlihat setelah operasi di usus kecil atau besar. Fistula
enterokutaneous dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria anatomi, fisiologi
dan etiologi, yaitu sebagai berikut:10,11

1. Berdasarkan kriteria anatomi, fistula enterokutaneus dibagi menjadi 2


yaitu fistula internal dan eksternal. Fistula internal yaitu fistula yang
menghubungkan antara dua viscera, sedangkan fistula eksternal adalah fistula
yang menghubungkan antara viscera dengan kulit.

2.Berdasarkan kriteria fisiologi, fistula enterokutaneus dibagi menjadi 3


yaitu high-output, moderate-output dan low output. Fistula enterokutaneus
dapat menyebabkan pengeluaran cairan intestinal kedunia luar, dimana cairan
tersebut banyak mengandung elektrolit, mineral dan protein sehingga dapat
menyebabkan komplikasi fisiologis yaitu terjadi ketidak-seimbangan elektrolit

6
dan dapat menyebabkan malnutrisi pada pasien. Fistula dengan high-
output apabila pengeluaran cairan intestinal sebanyak >500ml perhari,
moderate-output sebanyak 200-500 ml per hari dan low-output sebanyak <200
ml per hari.

3. Berdasarkan kriteria etiologi, fistula enterokutaneus dibagi menjadi 2


yaitu fistula yang terjadi secara spontan dan akibat komplikasi postoperasi.
Fistula yang terjadi secara spontan, terjadi sekitar 15-25% dari seluruh fistula
enterokutaneus.Fistula ini dapat disebabkan oleh berbagai hal terutama pada
kanker dan penyakit radang pada usus.Selain itu dapat juga disebabkan oleh
radiasi, penyakit divertikular, appendicitis, dan ulkus perforasi atau iskhemi
pada usus.Penyebab utama fistula enterokutaneus adalah akibat komplikasi
postoperasi (sekitar 75-85%). Faktor penyebab timbulnya fistula
enterokutaneous akibat post operasi dapat disebabkan oleh faktor pasien dan
faktor tehnik. Faktor pasien yaitu malnutrisi, infeksi atau sepsis, anemia, dan
hypothermia.Sedangkan faktor tehnik yaitu pada tindakan-tindakan pre-
operasi. Sebelum dilakukan operasi, harus dievaluasi terlebih dahulu keadaan
nutrisi pasien karena kehilangan 10-15% berat badan, kadar albumin kurang
dari 3,0 gr/dL, rendahnya kadar transferin dan total limfosit dapat
meningkatkan resiko terjadinya fistula enterokutaneus. Selain itu, fistula
enterokutaneous dapat disebabkan oleh kurangnya vaskularisasi pada daerah
operasi, hipotensi sistemik, tekanan berlebih pada anastomosis, dan membuat
anastomosis dari usus yang tidak sehat.Untuk mengurangi resiko timbulnya
fistula, keadaan pasien harus normovolemia / tidak anemis agar aliran oksigen
menjadi lebih optimal.Selain itu pada saat operasi harus diberikan antibiotik
profilaksis untuk mencegah timbulnya infeksi dan abses yang dapat
menimbulkan fistula.

7
Gambar 3. Fistula enterocutaneous. Bentuk Fistula sebagai akibat dari
sebagian atau lengkap gangguan anastomosis usus dan terkait resultan abses
(Intestinal Fistula Surgery. 2013.Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/197486.overview)

D. GEJALA/MANIFESTASI KLINIS

Gejala awal dari fistula enterokutaneous adalah rasa tidak nyaman (nyeri)
pada abdomen akibat dari penyempitan lumen usus yang mempengaruhi
kemampuan usus untuk mentranspor produk dari pencernaan usus melalui
lumen. Karena peristaltic usus dirangsang oleh makanan, maka nyeri biasanya
timbul setelah makan. Untuk menghindari nyeri ini, maka sebagian pasien
cenderung untuk membatasi masukan makanan, mengurangi jumlah dan jenis
makanan sehingga kebutuhan nutrisi normal tidak terpenuhi. Akibatnya
penurunan berat badan, malnutrisi, dan anemia sekunder.Selain itu,
pembentukan ulkus di lapisan membrane usus dan ditempat terjadinya
inflamasi, akan menghasilkan rabas pengiritasi konstan yang dialirkan ke kolon
dari usus halus, bengkak, yang menyebabkan diare kronis. Pada beberapa
pasien, usus yang terinflamasi dapat mengalamidemam, leukositosis, dan
infeksi pada luka. Luka atau daerah dimana fistula pada akhirnya akan keluar
mungkin cellulitic. Diagnosis menjadi lebih jelas bila didapatkan drainase
material usus pada luka di abdomen, drainase enteric dimulai dalam waktu 24-
48 jam setelah penampakan kulit cellulitic. Evaluasi bau, warna, konsistensi
dan volume cairan dapat membantu mengidentifikasi sumber kebocoran.3,12

8
E. PATOFISIOLOGI

Semua bentuk fistula berhubungan dengan eksposur jaringan nonintestinal.


Flora bakteri usus menyebabkan kontaminasi dan perkembangan akhir sepsis.
Pembentukan fistula,fisura dan abses terjadi terjadi sesuai luasnya inflamasi ke
dalam peritoneum. Jika proses inflamasi terus berlanjut maka saluran abnormal
yang terbentuk bisa mencapai kutan (kulit) abdomen sehingga terbentuklah
fistel enterokutaneus. Lesi (ulkus) kontak terus-menerus satu sama lain dan
dipisahkan oleh jaringan normal. Pada kasus lanjut, mukosa usus mengalami
penebalan dan menjadi fibrotic dan akhirnya lumen usus menyempit. Efek
lokal cairan usus dapat merusak atau korosif terhadap jaringan nonintestinal,
menyebabkan kerusakan, erosi,dan hilangnya organ normal atau fungsi sistem
organ.Fistula dapat diklasifikasikan sesuai denganstruktur anatomi yang
terlibat,etiologi proses penyakit yang mengarah ke pembentukannya, dan
output fisiologinya ( terutamauntuk fistula enterocutaneous ). Klasifikasi
anatomi menentukan situs fistula asal, titik drainase, dan apakah fistula itu
internal atau eksternal. Klasifikasi fisiologis bergantung pada output fistula
dalam jangka waktu 24 jam. Klasifikasi etiologi (misalnya, keganasan,
penyakit usus inflamasi, radiasi) mendefinisikan penyakit terkait yang
mengarah ke pengembangan fistula.13

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang pada kasus Fistula yaitu sebagai berikut:3,9,13,14

a. Test methylen blue

Test ini digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan fistula


enterokutaneous danmengkonfimasi bahwa sumber fistula memang dari
saluran pencernaan. Penilaian definitif dari sumber fistula, rute, dan adanya
penghalang atau abses sangat penting dalam menentukan intervensi dan
metode pemberian nutrisi yang tepat.Tehnik ini kurang mampu untuk
mengetahui fungsi anatomi dan jarang digunakan pada praktek.

9
b.USG

USG dapat digunakan untuk mengetahui ada-tidaknya abses dan


penimbunan cairan pada saluran fistula

c.Fistulogram

Fistulogram dianggap standar emas untuk mengidentifikasi lokasi


saluran fistula. Tehnik ini menggunakan water soluble kontras. Kontras
disuntikkan melalui pembukaan eksternal, kemudian melakukan foto x-ray.
Dengan menggunakan tehnik pemeriksaan ini, dapat diketahui berbagai hal
yaitu : Sumber fistula, jalur fistula, ada-tidaknya kontinuitas usus, ada-
tidaknya obstruksi di bagian distal, keadaan usus yang berdekatan dengan
fistula (striktur, inflamasi) dan ada-tidaknya abses yang berhubungan dengan
fistula.

Gambar 4. Hasil Fistulogram

d. Barium enema

Pemeriksaan ini menggunakan kontras, untuk mengevaluasi lambung,


usus halus,dan kolon. Tujuannya untuk mengetahui penyebab timbulnya
fistula seperti penyakit Crohn's, dan neoplasma.

10
Gambar 5. Saluran yang timbul dari ileum distal berdekatan dengan
anastomosis ileorectal

e. CT scan

CT scan abdomen menunjukkan anatomisalurandanasal-usulnya serta


adanyaabsesintraabdominalatau patologiterkait.

Gambar 6. Hasil CT Scan abdomen pada fistel enterokutaneus


(Available
from:http://www.ucsfcme.com/2011/slides/MSU11001/Updated/16Harris
EnterocutaneousFistulas.pdf)

11
G. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan fistula enterokutaneous dapat dibagi menjadi 5 tahapan


yang terdiri dari:3,9,14-17

1. Stabilization (24-48 jam)

Tahap ini dibagi menjadi 5 yaitu: identification, resuscitation, control of


sepsis,nutritional support, control of fistula drainage

a. Identification

Pada tahap ini, yang dilakukan adalah mengidentifikasi pasien dengan


fistulaenterokutaneous. Pada minggu pertama postoperasi, pasien menunjukkan
tanda-tanda demam dan prolonged ileus serta terbentuk erythema pada luka.
Luka akan terbuka danterdapat drainase cairan purulen yang terdiri dari cairan
usus. Pasien dapat mengalamimalnutrisi yang disebabkan karena sedikit atau
tidak diberikan nutrisi dalam waktu lama. Pasien dapat menjadi dehidrasi,
anemis, dan kadar albumin yang rendah.

b. Resuscitation

Tujuan utama pada tahap ini yaitu pemulihan volume sirkulasi.Pada tahap
ini, pemberian kristaloid dibutuhkan untuk memperbaiki volume sirkulasi.
Transfusi sel darahmerah dapat meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen
dan pemberian infusealbumin dapat mengembalikan tekanan onkotik plasma.

c. Control of sepsis

Pada tahap ini, melakukan pencegahan terhadap timbulnya sepsis


dengan pemberian obat antibiotic (broad-spectrum). Sepsis yang tidak
terkontrol merupakan penyebab utama mortalitas.

d. Nutritional support

Pemberian nutrisi pada pasien dengan fistula enterokutaneous merupakan


komponen kunci penatalaksanaan pada fasestabilization.Fistula

12
enterokutaneous dapat menimbulkan malnutrisi pada pasien karena
intakenutrisi kurang, hiperkatabolisakibat sepsis dan banyaknya komponen
usus kaya protein yang keluar melalui fistula. Pasien dengan fistula
enterokutaneous membutuhkan kalori total sebanyak 25-32kcal/kg perhari
dengan rasio kalori-nitrogen 150:1 sampai 200:1, protein minimal 1,5g/kg
perhari.Jalur pemberian nutrisi ini dilakukan melalui parenteral. Manfaat
relative dari pemberian nutrisi secara enteral dan parenteral masih
diperdebatkan. Pemberian nutrisi secara enteral jika memungkinkan dapat
mempertahankan barrier usus sebagai imunologi dan hormonal fungsi usus.
Hal ini sering kali tidak efektif karena terjadi intoleransi makanan,
ketidakmampuan untuk mengakses saluran pencernaan atapun fistula high-
output. Lloyd mengemukakan bahwa diet enteral tidak hanya aman tapi dapat
meningkatkan penyembuhan post-anastomosis, meskipun ini tidak secara
statistic yang signifikan. Konsep bahwa diet enteral tidak hanya aman tapi
dapat meningkatkan penyembuhan didukung oleh data yang terbatas dari
model eksperimental menunjukkan bahwa diet enteral lebih baik dibandingkan
dengan parenteral diet, kemungkinan melalui efek trofik pada mukosa usus. Ini
merupakan hasil uji coba yang dilakukan pada tikus.

Penambahan minyak ikan atau asam lemak omega-3 dalam enteral diet
mempunyai efek yang bermanfaat pada fungsi kekebalan tubuh, mungkin
karena peningkatan aliran darah ke jaringan limfoid di ileum. Penelitian
terkontrol acak telah menunjukkan tingkat infeksi yang lebih rendah pada
pasien yang dirawat di ICU setelah operasi abdominal dan setelah cedera
parah. Baru-baru ini penelitian meta-analisis menunjukkan bahwa diet enteral
dengan minyak ikan dan asam lemak omega-3 meningkatkan kelangsungan
hidup. Penelitian lainnya menyatakan bahwa tidak ada manfaat yang jelas
untuk suplementasi minyak ikan (omega-3). Tidak ada uji coba terkontrol
secara acak yang menyelidiki penggunaan suplemen minyak ikan dan asam
lemak omega-3 tersebut dalam pengobatan ECF. Total Parenteral Nutrition
(TPN) telah terbukti dapat meningkatkan tingkat penutupan fistula enteric.
Dukungan nutrisi harus dimulai dengan bijakasan, kesabaran, dan hati-hati

13
pada pasien yang malnutrisi karena adanya resiko yang bisa merangsang
sindrom refeeding. Resiko ini dapat dikurangi dengan memperbaiki cairan,
elektrolit dan vitamin (pemberian vitamin C, vitamin B12, zinc, asam folat).

e.Control of fistula drainage

Hal yang perlu diperhatikan dan dikelola pada menajemen drainase fistula
yaitu perlindungan kulit, dressing, dan regulasi suction dinding.Terdapat
berbagai tehnik yang digunakan untuk manajemen drainase fistula yaitu simple
gauze dressing, skin barriers, pauches, dan suction catheter.Skin barrier sering
digunakan untuk melindungi kulit di sekitar fistula; bubuk atau cairan
digunakan untuk merawat kulit yang gundul dan mempertahankan permukaan
kering pada kantong. Pasta skin barrier petroleum dan zinc oksida berfungsi
sebagai penyerap dan peliindung pada lapisan kulit. Skin barrier ini merupakan
skin barrier yang solid yang dapat menunda keluarnya output fistula dan
penghalang fisik antara kotoran dan kulit. Limbah dari fistula dapat dikelola
dengan dressing saat drainase kurang dari 100 ml dalam 24 jam.

Gambar 7. Solid skin barrier diterapkan pada luka antara dua situs fistula.
Volume output berkurang menjadi 100ml/24 jam.

14
Wound dressing dapat bervariasi dari simple gauze untuk pilihan lebih
menyerap seperti busa atau hydrofiber. Setiap perawat dapat menggunakan
berbagai jenis dan jumlah dressing yang tak terbatas untuk menyerap drainase
sehingga menghambat pengukuran yang akurat dari output dan kemudian
menyulitkan pemantauan input-output yang akurat. Penggunaan dressing tidak
praktis karenaperlu digantisetiap 4 jam. Pilihan lain untuk mengendalikan
limbah dari fistula yaitu penggunaan continuous low wall suction. Jika sistem
pouching tidak dapat digunakan karena lokasi fistula atau drainase yang
berlebihan sistem continuous low wall suctiondapat diimplementasikan.Suction
cateter ditempatkan di bagian distal luka dari fistula untuk menguras limbah.
Suction cateter digunakan bersamaan dengan normal saline dressing. Hal yang
perlu diingat dari kateter ini yaitu kateter tidak ditempatkan pada saluran fistula
karena akan dikenali sebagai benda asing dan lambat tertutup. Continuous
suction membantu mengurangi penggantian balutan dengan mengalihkan ke
sistem drainase suction. Sistem suction bukan solusi pengelolaan jangka
panjang dan memerlukan perawat atau tim medis yang tidak hanya mampu
memahami dan memelihara peralatan tetapi juga berdedikasi untuk waktu yang
dibutuhkan untuk mengelola sistem ini.

Gambar 8. Fistula diisolasi dan kateter ditempatkan di atas fistula dan


melekat pada wall suction

15
Pouching pada fistula sangat menantang, karena kesulitan dalam mencapai
dan mempertahankan pouch itu sendiri. Pouching memerlukan pergantian
pouch yang lebih sering, sehingga rasa ketidaknyamanan dan pengeluaran
biaya yang lebih besar bagi pasien. Perkiraan dari 4 sampai 5 hari waktu pakai
untuk kantong (pouch) pada fistula wajar bagi banyak pasien, namun beberapa
fistula karena lokasi dan output tidak pernah memperoleh kantong tersebut
lebih dari 24 jam. Pengurangan limbah dapat memberikan waktu yang cukup
bagi efektifitas aplikasi kantong dan mengurangi kemungkinan terjadinya
masalah pada segel akibat berlebihannya limbah enzimatik. Penggunaan obat-
obatan untuk mengurangi produksi juga dapat diindikasikan. Kualitas hidup
pasien dengan fistula bertumpu pada reliabilitas sistem pouching. Selain itu,
untuk mencegah terjadinya maserasi pada kulit akibat cairan fistula, dapat
diberikankan stomahesive atau glyserin dan beberapa penulis melaporkan
keberhasilan menggunakanVacuum Assisted Closure(VAC) system untuk
penatalaksanaan fistula enterokutaneous, salah satunya yaitu penelitian Draus
et al yang didapati 1 kasus high-output fistula dapat pulih dengan penggunaan
VAC, VAC diterapkan selama dua bulan dan terjadi perubahan dua kali
seminggu. VAC memberikan penutupan tekanan langsung bagi fistula. VAC
mengeluarkan limbah jauh dari lokasi fistula ke tabung. Tekanan negative
diperkirakan membantu dalam penutupan saluran fistula akut. Namun, terapi
VAC tidak diindikasikan murni sebagai perangkat penahan untuk fistula,
melainkan harus diterapkan hanya dimana penutupan fistula adalah suatu
kemungkinan. VAC system terdiri dari tabung evakuasi tertanam dalam
poliuretan busa ganti. Teknik VAC melibatkan penempatan spons busa-sel
terbuka ke dalam rongga luka. Sebuah kateter luka dengan perforasi lateral
yang (tabung evakuasi) kemudian diletakkan di atas busa. Luka ditutup oleh
dressing oklusif, dan tabung terpasang keruang hampa. Unit yang berlaku
tekanan subatmosfir terkontrol (biasanya 125 mmHg) ke luka. Perangkat ini
diaplikasikan pasien dengan mendalam, luka terbuka dengan omentum, fasia,
atau jaringan granulasi di dasar tanpa usus terlihat dan dengan tunneling fistula
saluran melalui jaringan granulasi. Pada beberapa pasien, VAC diindikasikan

16
pada kontraktur dan penyembuhan luka. Tidak ada komplikasi septik yang
ditimbulkan dari VAC.

Obat-obatan (Somatostatin, Octreotide dan H2 Antagonis) dapat juga


diberikan untuk menghambat sekresi asam lambung, sekresi kelenjar pankreas,
usus, dantraktus biliaris. Somatostatin adalah hormone peptide alami yang
memiliki efek mengahambat sekresi pada gastrointestinal terutama hormon
gastrin dan cholecystokinin.Draus et al, menemukan bahwa sepertiga dari
jumlah pasien yang ada analog Somatostatin mengurangi output sebesar 50%.
Octreotide analog sintetis, dengan waktu paruh dari 2 jam, mengurangi sekresi
pada GI, memperpanjang waktu transit dan memfasilitasi penyerapan air dan
elektrolit. Tidak ada bukti yang menyatakam bahwa manipulasi farmakalogis
dapat meningkatkan tingkat penutupan fistula secara spontan. Octreotide
memiliki potensi untuk mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh sebagai akibat
dari penghambatan hormon pertumbuhan. Anti diare adalah agen terapeutik
penting yang sering diresepkan untuk mengurangi high-output fistula. Dua obat
yang paling umum digunakan adalah loperamide (Imodium) dan diphenoxylate
(lomotil). Loperamide memperlambat transit usus dan mengurangi output.
Diphenoxylate adalah agonis opiate sintetis. Ini mempengaruhi otot-otot halus
saluran pencernaan untuk mengurangi motilitas usus. Karena diphenoxylate
secara kimiawi terkait dengan beberapa narkotika, atropin (antikolinergik)
telah ditambahkan untuk membantu mencegah kemungkinan penyalahgunaan
dalam dosis yang besar dan pada orang tua diberikan Imodium. Jika
loperamide atau diphenoxylate tidak efektif, codein atau opium tincture
mungkin diberikan. Opium tincture dapat meningkatkan tonus otot polos usus
dan penurunan sekresi pankreas dan saluran empedu. Efek keseluruhannya
adalah untuk mengurangi motilitas GI dan dalam prakteknya, kombinasi dari
zat-zat ini sering digunakan untuk mengurangi volume limbah.

2. Investigation (7-10 hari)

Pada tahap ini, dilakukan investigasi terhadap sumber dan jalur fistula.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan yaitu:

17
a.Test methylen blue

b.USG

c.Fistulogram

d.Barium enema

e.CT scan

3.Decision (10 hari-6 minggu)

Fistula enterokutaneous dapat menutup secara spontan dalam 4-6 minggu


pada pasien dengan pemberian nutrisi terutama dengan cara parenteral yang
adekuat dan terbebas dari sepsis.Penutupan spontandapat terjadi pada sekitar
30% kasus.Fistula yang terdapat pada lambung, ileum, danligamentum of
Treiz memiliki kemampuan yang rendah untuk menutup secaraspontan.Hal
ini berlaku juga pada fistula dengan keadaan terdapat abses besar, traktus
fistula yang pendek, striktur usus, diskontinuitas usus, dan obstruksi distal.
Pada kasus-kasus tersebut, apabila fistula tidak menutup (output tidak
berkurang) setelah 4 minggu,maka dapat direncanakan untuk melakukan
operasi reseksi. Pada rencana melakukantindakan operasi, ahli bedah harus
mempertimbangkan untuk menjaga keseimbangan nutrisi dengan
memberikan nutrisi secara adekuat, kemungkinan terjadinya penutupan
spontan dan tehnik-tehnik operasi yang akan digunakan.

18
4. Definitive therapy (6-12 minggu)

Keputusan untuk melakukan operasi pada pasien dengan fistula


enterokutaneous yang tidak dapat menutup secara spontan adalah tindakan
yang tepat.Sebelumnya, pasien harus dalam kondisi nutrisi yang optimal dan
terbebas dari sepsis.Pada saat operasi, abdomen dibuka menggunakan insisi
baru.Insisi secara transversal pada abdomen di daerah yang terbebas dari
perlekatan. Tujuan tindakan operasi selanjutnya adalah membebaskan usus
sampai rectum dari ligamentum Treiz.Kemudian melakukan eksplorasi pada
usus untuk menemukan seluruh abses dansumber obstruksi untuk mencegah
kegagalan dalam melakukan anastomosis.Pada saat isolasi segmen usus yang
mengandung fistula, reseksi pada segmen tersebut merupakan tindakan yang
tepat.Pada kasus-kasus yang berat, dapat digunakan tehnik exteriorization,
bypass, Roux-en-Y drainase, dan serosal patches.Namun tindakan-tindakan
tersebut tidak menjamin hasil yang optimal. Berbagai kreasi seperti two-layer,
interrupted, end-to-end anastomosis menggunakan segmen usus yang sehat
dapat meningkatkan kemungkinan anastomosis yang aman.

19
5. Healing

Penutupan fistula secara spontan ataupun operasi, pemberian nutrisi harus


terus dilakukan untuk menjamin pemeliharaan kontinuitas usus dan penutupan
dinding abdomen. Tahap penyembuhan (terutama pada kasus postoperasi) ini
membutuhkan keseimbangan nitrogen, pemberian kalori dan protein yang
adekuat serta pemberian vitamin A,C, dan zinc untuk meningkatkan proses
penyembuhan dan penutupan luka.

H.KOMPLIKASI

Trias klasik untuk komplikasi yang dapat ditimbulkanoleh fistula


enterokutaneous, yaitu sepsis, malnutrisi, serta berkurangnya elektrolit dan
cairan tubuh. Fistula dapat menimbulkan abses local, infeksi jaringan,
peritonitis hingga sepsis. Selain itu, fistula enterokutaneous dapat
meningkatkan pengeluaran isi usus yang kaya akan protein dan cairan tubuh
serta elektrolit sehingga dapat menimbulkan malnutrisi dan berkurangnya
kadar elektrolit dan cairan tubuh. Pemberian nutrisi parenteral (TPN) sangat
diperlukan, karena TPN dapat meningkatkan penutupan fistula secara spontan.
Pada pasien yang membutuhkan penutupan fistula dengan operasi, TPN dapat
meningkatkan status nutrisi sehingga dapat mempertahankan kontinuitas usus
dengan cara meningkatkan proses penyembuhan luka dan meningkatkan
system imun.10,13

I. PROGNOSIS

Fistula enterokutaneous dapat menyebabkan mortalitas sebesar 10-15%,


lebih banyak disebabkan karena sepsis.Namun, sebanyak 50% kasus fistula
dapat menutup secara spontan Faktor-faktor yang dapat menghambat
penutupan spontan fistula yaitu FRIEND (Foreign body didalam traktus fistula,
Radiasi enteritis, Infeksi/inflamasi pada sumber fistula,Epithelisasi pada traktus
fistula, Neoplasma pada sumber fistula, Distal obstruction pada usus).
Tindakan pembedahan dapat menyebabkan lebih dari 50% morbiditas pada
pasien dan 10% dapat kambuh kembali.10,15

20
KASUS

A. IDENTITAS

Nama : An. B Tanggal Masuk: 6 Januari 2018

Umur : 10 tahun Ruangan : Pav. Teratai

JK : Laki-Laki Rumah Sehat : RSUD Undata

B. Anamnesis

Keluhan Utama : Benjolan diperut bekas operasi

Anamnesis Terpimpin

Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien masuk dengan keluhan benjolan pada


bagian perut bekas operasi yang dirasakan sejak 3 bulan lalu, bersifat nyeri.
Awalnya sebelum muncu bejolan, dibagian luka bekas operasinya sering basah saat
pergantian perban kemudian kulit menjadi seperti lepuhan dan berkembang menjadi
benjolan hingga berukuran diameter 0,5 cm. Mual muntah tidak dikeluhkan pasien
serta buang air besarnya lancar. Riwayat demam disangkal oleh pasien. Bak (+)
lancar seperti biasa.

Riwayat Penyakit Dahulu Saat tahun 2016 pasien didiagnosis menderita


appendisitis perforasi sehingga pasien menjalani operasi laparatomi, dalam proses
penyembuhan luka, pasien mengeluhkan bekas operasi tersebut muncul benjolan
yang sering basah sehingga pasien menjalani operasi pengangkatan benjolan pada
awal bulan juli 2017, namun selanjutnya pasien kembali mengeluhkan keluhan yang
sama berupa benjolan pada bagian perut bekas operasinya hingga januari 2018 saat
ini.

21
C. Status Generalisata

Keadaan Umum : Baik

GCS : E4, M6, V5 ; 15

Tanda-tanda Vital

Tekanan Darah : -

Nadi : 70 x/menit

Pernapasan: 20 x/menit

Suhu : 36,2 C

Berat Badan : 28 Kg

D. Status Lokalis

Regio Abdomen dan Umbilical

Inspeksi : Tampak benjolan berukuran diamter 0,5 cm berwarna eritema berbatas


tegas, terfixir.

Auskultasi : Peristaltik (+) Kesan normal

Palpasi : Palpasi : Nyeri tekan (+) pada daerah penonjolon

Perkusi : Timpani (+)

22
E.Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium : 2/1/18

Hb : 14,4 mg/dl

Hct: 42,1 %

Rbc: 5,44 x 10 6

Wbc:9,60 x 103

Plt: 433 x103

LED : 10 mm/jam

Hbasg : non reaktif

USG Abdomen : Granuloma Fistel ebterocutaneus pada daerah cicatrix


bekas operasi di suprapubic

E.Resume

Pasien masuk dengan keluhan benjolan pada bagian perut bekas operasi yang
dirasakan sejak 3 bulan lalu, bersifat nyeri. Awalnya sebelum muncu bejolan,
dibagian luka bekas operasinya sering basah saat pergantian perban kemudian kulit
menjadi seperti lepuhan dan berkembang menjadi benjolan hingga berukuran

23
diameter 0,5 cm. Saat tahun 2016 pasien didiagnosis menderita appendisitis perforasi
sehingga pasien menjalani operasi laparatomi, dalam proses penyembuhan luka,
pasien mengeluhkan bekas operasi tersebut muncul benjolan yang sering basah
sehingga pasien menjalani operasi pengangkatan benjolan pada awal bulan juli 2017,
namun selanjutnya pasien kembali mengeluhkan keluhan yang sama berupa benjolan
pada bagian perut bekas operasinya hingga januari 2018 saat ini. Tampak benjolan
berukuran diamter 0,5 cm berwarna eritema berbatas tegas, terfixir, bunyi peristaltik
(+) Kesan normal teraba nyeri tekan (+) pada daerah penonjolon bekas operasi. USG
Abdomen : Granuloma Fistel ebterocutaneus pada daerah cicatrix bekas operasi di
suprapubic

E. Diagnosis

Fistula Enterocutaneus

F. Penatalaksanaan

Medikamentosa :

IUFD Futrolit 24 tpm

Inj. Ranitidin 25 mg/ 12 jam/ IV

Inj. Ketorolax 15 mg/12 jam/ IV

Inj. Ceftriaxone 750 mg/ 12 jam/ IV

Prosedur Tindakan:

Pro Repair Fistula

G.Prognosis

Dubia et Bonam

24
No Tanggal Follow Up
1 6 Jnauari 2018 S: Benjolan diameter 0,5 cm
daerah bekas operasi, Nyeri (+)
O:
TD : 110/ 70 mmHg
N : 80 x/mnt
R : 24 x/mnt
S : 36,5 C
A: Fistel Enterocutaneus
P: Pro Repair Fistel tgl 8 januari
2018, siapkan whole blood 280 cc

2 7 Jnauari 2018 S: Benjolan diameter 0,5 cm


daerah bekas operasi, Nyeri (+)
O:
TD: 110/ 70 mmHg
N : 84 x/mnt
R : 24 x/mnt
S : 36,5 C
A: Fistel Enterocutaneus
P:
- IUFD RL 24 tpm
- Pro Repair Fistel tgl 8 januari
2018, siapkan whole blood 280 cc

3 8 Januari 2018 S: Luka dan Nyeri bekas operasi


(+)
O:
N : 70 x/mnt

25
R : 20 x/mnt
S : 36,2 C
A: Post Op Laparatomy H-0
P: Instruksi Post Op
- IUFD Futrolit 24 tpm
- Inj. Ceftriaxone 750 mg/ 12
jam/IV
- inj. Ranitidine 25 mg/ 12 jam /IV
- inj. Ketorolac 15 mg/ 12 jam/IV
- 8 jam post op bila sadar baik,
peristaltik baik, boleh minum
perlahan

4 9 Januari 2018 S:
- Luka dan Nyeri bekas operasi (+)
- Bab (-)
- Flatus (-)
-Demam (+)
O:
N : 120 x/mnt
R : 24 x/mnt
S : 38,2 C
A: Post Op Laparatomy H-1
P:
- IUFD Futrolit 24 tpm
- Inj. Ceftriaxone 750 mg/ 12
jam/IV
- inj. Ranitidine 25 mg/ 12 jam /IV

26
- inj. Ketorolac 15 mg/ 12 jam/IV
- Extra Paracetamol drip 250 cc/ IV
- boleh minum perlahan
- Sore diet bubur
- Mobilisasi miring kanan-miring
kiri sampai duduk

5 10 Jnuari 2018 S:
- Luka dan Nyeri bekas operasi (+)
- Bab (-)
- Flatus (+)
-Demam (-)
O:
TD : 120/70 mmHg
N : 108 x/mnt
R : 22 x/mnt
S : 36,6 C
Abdomen : Peristaltik (+), Distensi
(-)
A: Post Op Laparatomy H-2
P:
- IUFD Futrolit 24 tpm
- Inj. Ceftriaxone 750 mg/ 12
jam/IV
- inj. Ranitidine 25 mg/ 12 jam /IV
- inj. Ketorolac 15 mg/ 12 jam/IV
- Diet Bubur
-Mobilisasi duduk-jalan

27
6 11 Jnuari 2018 S:
- Luka dan Nyeri bekas operasi (+)
- Bab (+)
- Flatus (+)
-Demam (-)
O:
TD : 120/70 mmHg
N : 100 x/mnt
R : 22 x/mnt
S : 36,6 C
Abdomen : Peristaltik (+), Distensi
(-)
A: Post Op Laparatomy H-3
P:
- IUFD Futrolit 24 tpm
- Inj. Ceftriaxone 750 mg/ 12
jam/IV
- inj. Ranitidine 25 mg/ 12 jam /IV
- inj. Ketorolac 15 mg/ 12 jam/IV
- Diet Bubur
-Mobilisasi duduk-jalan
- Rencana pulang

28
BAB III
PEMBAHASAN

Fistula adalah hubungan yang abnormal antara suatu saluran dengan saluran
lain (fistel interna), atau suatu saluran dengan dunia luar melalui kulit (fistel
eksterna). Fistel enterokutaneus atau enterocutaneous fistula (ECF) diklasifikasikan
sebagai fistel ekskterna, adanya hubungan antara usus halus dengan kulit maupun
usus besar dengan kulit.1,2 serta komplikasi dari semua jenis operasi pada saluran
pencernaan yang biasanya muncul 7-10 hari pasca operasi. Pada kasus ini anak
laku-laki usia 10 tahun yang mengalami fistula enterocutaneus berupa benjolan
yang berair yang dirasakan sejak 3 bulan lalu, awalnya telah melakukan operasi
pada tahun 2016 berupa operasi laparamoy et causa apendisitis perforasi, kemudian
mengeluhkan muncul benjolan berair pada luka operasinya kemudian di repair
fistula pada 2017 namun kembali mengeluhkan keluhan yang sama pada tahun 2018
pada tempat yang sama.

Klasifikasi fistula dikategorikan berdasarkan lokasi anatomi, fungsi


fisoologi serta penyebab fistula, pada kasus ini berdasarkan lokasi anatamoni fistula
yang terjadi berupa hubungan antara organ viscera dengan kulit sehingga disebut
sebagai fistula externa atau enterocutaneus fistula. Kemudian jika ditinjau dari
fisiologis fistula pada kasus ini termasuk pada kategori low-output dikarenakan
produksi mencapai kurang dari 200 ml/hari, sehingga perlu diperhatikan komplikasi
yang dapat timbul berupa gangguan elektrolit, mineral serta kekurangan protein.
Penyebab fistula umumnya dikategorikan dalam dua hal yakni disebabkan
komplikasi post operasi maupun terjadi secara spontan. Pasien dua kali
mengeluhkan keluhan yang sama termasuk keluhan saat ini yang penyebabnya
dicurigai oleh komplikasi post operasi dimana pasien sebelumnya dilakukan
operasi laparaomi kemudian tak lama setelah itu pasien mengeluhkan munculnya
berupa benjolan yang mengeluarkan cairan kemudian diputuskan untuk dilakukan
operasi kembali namun tak lama setelah operasi kedua, pasien kembali

29
mengeluhkan keluhan yang sama di tempat yang sama yakni benjolan yang berakhi
yang dikeluhkan hingga saat ini.

Pasien masuk dengan keluhan benjolan pada bagian perut bekas operasi
yang dirasakan sejak 3 bulan lalu, bersifat nyeri. Awalnya sebelum muncul bejolan,
dibagian luka bekas operasinya sering basah saat pergantian perban kemudian kulit
menjadi seperti lepuhan dan berkembang menjadi benjolan hingga berukuran
diameter 0,5 cm. Gejala awal dari fistula enterokutaneous adalah rasa tidak nyaman
(nyeri) pada abdomen akibat dari penyempitan lumen usus yang mempengaruhi
kemampuan usus untuk mentranspor produk dari pencernaan usus melalui lumen.
Karena peristaltic usus dirangsang oleh makanan, maka nyeri biasanya timbul
setelah makan. Untuk menghindari nyeri ini, maka sebagian pasien cenderung untuk
membatasi masukan makanan, mengurangi jumlah dan jenis makanan sehingga
kebutuhan nutrisi normal tidak terpenuhi. Akibatnya penurunan berat badan,
malnutrisi, dan anemia sekunder.Selain itu, pembentukan ulkus di lapisan
membrane usus dan ditempat terjadinya inflamasi, akan menghasilkan rabas
pengiritasi konstan yang dialirkan ke kolon dari usus halus, bengkak, yang
menyebabkan diare kronis. Dalam kasus ini gejala awal nyeri tersebut tidak
dominan dirasakan oleh pasien disebakan perlangsungan fistula pasien sudah
berlangsung lama berupa 7 bulan lalu post operasi sehinggan keluhan nyata yang
dirasakan pasien berupa munculnya benjolan berukuran diamter 0,5 cm dengan
nyeri intensitas ringan yang selalu basah ketika pergantian verban luka operasinya.
Keluan lain yang dapat muncul berupa gangguan nutrisi termasuk penurunan berat
badan tidak ditetmukan oleh pasien, maupun diaere kronis disangkal oleh pasien
sebagai keluahannya, hal ini disebabkan karena fistula enterocutaneus pada pasien
yang masih tergolong ringan. Pada beberapa pasien, usus yang terinflamasi dapat
mengalami demam, leukositosis, dan infeksi pada luka. Luka atau daerah dimana
fistula pada akhirnya akan keluar mungkin cellulitic. Diagnosis menjadi lebih jelas
bila didapatkan drainase material usus pada luka di abdomen, drainase enteric
dimulai dalam waktu 24-48 jam setelah penampakan kulit cellulitic. Evaluasi bau,

30
warna, konsistensi dan volume cairan dapat membantu mengidentifikasi sumber
kebocoran.3,12

Dalam menegakkan diagnosis, bentuk pemeriksaan penunjang yang dapat


digunakanm berupa Test, methylen blue, USG, fistulogram, Barium enema, serta
CT scan. Pada kasus ini semua modalitas tersebut tidak digunakan, melainkan
hanya menggunakan modalitas imaging berupa Ultrasonografi Abdomen yang
bertujuan untuk mengetahui secara anatomis defek atau ganggan yang dialami oleh
pasien. Hasil USG Abdomen pada pasien memberikan kesan Granuloma fistel
enterocutaneus pada daerah cicatrix bekas operasi disuprapubic.

Penatalaksanaan fistula enterokutaneous dapat dibagi menjadi 5 tahapan berupa


Stabilization 12-24 jam ( identification, resuscitation, control of sepsis,nutritional
support, control of fistula drainage), Investigation 7-10 hari (Test methlen blue,
USG, Fistulogram, Barium enema, serta CT Scan), Decision 10 hari-16 minggu,
Defenitife therapy 6-12 minggu, serta tahapan terakhir yakni healing. Pada kasus ini
pasien yang merupakan pasien dari poli bedah lalu sentra opname untuk
mendapatkan defentife therapy berupa operasi repair fistula, sedangkan untuk 3
tahapan awal berupa stabilisasi, investigasi, serta decision dipersiapkan di poli klinik
bedah.

Trias klasik untuk komplikasi yang dapat ditimbulkanoleh fistula


enterokutaneous, yaitu sepsis, malnutrisi, serta berkurangnya elektrolit dan cairan
tubuh. Fistula dapat menimbulkan abses local, infeksi jaringan, peritonitis hingga
sepsis. Selain itu, fistula enterokutaneous dapat meningkatkan pengeluaran isi usus
yang kaya akan protein dan cairan tubuh serta elektrolit sehingga dapat
menimbulkan malnutrisi dan berkurangnya kadar elektrolit dan cairan tubuh.
Pemberian nutrisi parenteral (TPN) sangat diperlukan, karena TPN dapat
meningkatkan penutupan fistula secara spontan. Pada pasien yang membutuhkan
penutupan fistula dengan operasi, TPN dapat meningkatkan status nutrisi sehingga
dapat mempertahankan kontinuitas usus dengan cara meningkatkan

31
proses penyembuhan luka dan meningkatkan system imun.10,13. Pasien yang
merupakan anak yang berusia 10 tahun, mendapat berbagai dukungan termasuk
nutrisi yang baik dalam penyembuhan lukanya mengingat anak ini masi termasuk
dalam masa pertumbuhan sehingga komplikasi berupa sepsis, malnutrisi, serta
gangguan elektrolit dapat dicegah dari awal.

Prognosis Fistula enterokutaneous dapat menyebabkan mortalitas sebesar 10-


15%, lebih banyak disebabkan karena sepsis.Namun, sebanyak 50% kasus fistula
dapat menutup secara spontan Faktor-faktor yang dapat menghambat penutupan
spontan fistula yaitu FRIEND (Foreign body didalam traktus fistula, Radiasi
enteritis, Infeksi/inflamasi pada sumber fistula,Epithelisasi pada traktus fistula,
Neoplasma pada sumber fistula, Distal obstruction pada usus). Tindakan
pembedahan dapat menyebabkan lebih dari 50% morbiditas pada pasien dan 10%
dapat kambuh kembali.10,15 Pada pasien ini, ditemukan adanya kekambuhan, dimana
sebelumnya pasien mengeluhkan keluhan yang sama pada tempat yang sama berupa
benjolan yang senatiasa berair, yang dapat disebabkan oleh faktor-faktor
penghamabat penutupan luka seperti benda asing didalam traktus fistula, Radiasi
enteritis, Infeksi/inflamasi pada sumber fistula,Epithelisasi pada traktus fistula, serta
Neoplasma pada sumber fistula

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, Dejong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta : EGC;
2005. Hal 636.
2. Enterocutaneous Fistula. 2013 [15 Desember 2013]. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/1372132-overview.
3. Parrish CR. Ostomies and fistula : a collaboration approach. Practical
Gastroentero: 2005;33:63-79.
4. Management of Enterocutaneous Fistula. 2001. [15 Desember 2013]. Available
from: http://www.downstatesurgery.org/files/cases/EnterocutaneousFistula.pdf.
5. Schecter WP et al. Enteric Fistulas : Principles of Management. J Jamcoll Surg.
2009;209:484-489.
6. Lloyd DAJ et al. Nutrition and Management of Enterocutaneous Fistula. British
Journal of Surgery. 2006;93:1045-1055.
7. Sheikh AR, Malik AM, Sheikh GA. Feasibility of early surgical intervention in
postoperative entero-cutaneous fistulae. J Ayub Med Coll Abbotabad.
2010;22:37-40.
8. Syaifuddin.Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika;2009.
9. Ethel, S. Anatomi dan Fisiogi Manusia untuk Pemula. Jakarta: EGC; 2003.
10. Evenson AR, Fischer JE. Current Management of Enterocutaneous Fistula. J
GASTROINTEST SURG. 2006;10:455-464.
11. Thompson MJ, Epanomeritaks E. An accountable fistula management treatment
plan. British Journal of Nursing. 2008;17:434-440.
12. Edward E.W et al. Small Intestine. In : Charles F, Bronicardi et al. Swartz-
Principle of Surgery. McGrantHill. p.1037-1038.
13. Intestinal Fistula Surgery. 2013 [15 Desember 2013]. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/197486.overview.
14. Stein D. IntestinalFistulas. 2008 [15 Desember 2013]. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/179444-diagnosis.

33
15. Management of Enterocutaneous Fistulas. 2011 [15 Desember 2013]. Available
from:
http://www.ucsfcme.com/2011/slides/MSU11001/Updated/16HarrisEnterocutan
eousFistulas.pdf.
16. Draus JM et al. Enterocutaneous Fistula : Are treatment improving?. Surgery.
2006;140:570-578.
17. Pratin C, Siriluck S. The Management of Patient with Enterocutaneous Fistula:
A complex case study. Wound Practice and Research. 2011;19:122-125.

34

Anda mungkin juga menyukai