FISTULA ENTEROCUTANEUS
DISUSUN OLEH
Muhammad akbar anas
N 111 16 072
PEMBIMBING KLINIK
1
A. PENDAHULUAN
Fistel adalah hubungan yang abnormal antara suatu saluran dengan saluran
lain (fistel interna), atau suatu saluran dengan dunia luar melalui kulit (fistel
eksterna). Fistel enterokutaneus atau enterocutaneous fistula (ECF)
diklasifikasikan sebagai fistel ekskterna, adanya hubungan antara usus halus
dengan kulit maupun usus besar dengan kulit.1,2
Dalam review dari 157 pasien yang dirawat di RS. Umum Massachusetts
antara tahun 1946-1959, kejadian malnutrisi berkisar dari 20 % pada pasien
dengan fistula kolon, 74% dengan fistula jejunum atau ileum, kejadian gizi
buruk pada pasien dengan fistula duodenum sebesar 53 %. Para penulis
menyoroti hubungan antara kejadian malnutrisi dan kematian, dengan tingkat
kematian secara keseluruhan fistula usus kecil sebesar 16% dan untuk dari
54% untuk fistula kolon. Poin ini ditinjau lagi dalam studi yang lebih kecil lagi
pada empat tahun berikutnya, dimana 56 pasien dengan fistula
enterocutaneous. Tingkat penutupan fistula adalah 89% dan angka kematian
keseluruhan 12% dalam kelompok ini, dibandingkan dengan tingkat penutupan
37% dan angka kematian secara keseluruhan sebesar 55% pada pasien yang
dinilai telah menerima gizi suboptimal. Dalam tindak lanjut review dari RS.
2
Umum Massachusetts, Soeterser et al, mortalitas dibandingkan pada pasien
dengan fistula enterocutaneous diobati sebelum dan setelah pemberian nutrisi
parenteral. Angka kematian keseluruhan antara tahun 1970 dan 1975, ketika
nutrisi parenteral dipekerjakan secara rutin dalam pengobatan pasien dengan
enterocutaneous fistula adalah 21,1%, dibandingkan dengan dengan gabungan
angka kematian. Angka kematian keseluruhan 44% antara tahun 1946 dan
1959. Namun, kematian antara tahun 1960 dan 1970 juga rendah, dengan
angka kematian gabungan dari 15,1%.6
ECF adalah kondisi umum dan tantangan nyata bagi ahli bedah sejauh
manajemen yang bersangkutan. Selama beberapa dekade terakhir, upaya
perbaikan dalam penanganan ECF terus dikembangkan. Pendekatan agresif
dengan kontrol yang efektif dari sepsis, asupan nutrisi yang memadai serta
cairan dan keseimbangan elektrolit adalah kunci untuk keberhasilan
pengelolaan fistula ini. Hal ini mempengaruhi kualitas hidup pasien,
memperpanjang tinggal di rumah sakit, danmeningkatkan biaya keseluruhan
untuk pengobatan.Dengan memahami patofisiologi dan faktor risikonya serta
penanganan yang tepat dapat membantu untuk mengurangi terjadinya fistula
enterokutaneus.7
3
B. ANATOMI USUS
4
Gambar 2. Usus Kecil
5
b. Kolon adalah bagian usus besar dari sekum sampai rektum. Kolon
memiliki tiga divisi, yaitu: Kolon ascenden : merentang dari sekum sampai
ke tepi bawah hati di sebelah kanan dan membalik secara horizontal pada
fleksura hepatika. Kolon transversum: merentang menyilang abdomen di
bawah hati dan lambung sampai ke tepi lateral ginjal kiri, tempatnya
memutar ke bawah fleksura splenik. Kolon desenden : merentang ke bawah
pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon sigmoid berbentuk S yang bermuara
di rektum.
C. Klasifikasi
6
dan dapat menyebabkan malnutrisi pada pasien. Fistula dengan high-
output apabila pengeluaran cairan intestinal sebanyak >500ml perhari,
moderate-output sebanyak 200-500 ml per hari dan low-output sebanyak <200
ml per hari.
7
Gambar 3. Fistula enterocutaneous. Bentuk Fistula sebagai akibat dari
sebagian atau lengkap gangguan anastomosis usus dan terkait resultan abses
(Intestinal Fistula Surgery. 2013.Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/197486.overview)
D. GEJALA/MANIFESTASI KLINIS
Gejala awal dari fistula enterokutaneous adalah rasa tidak nyaman (nyeri)
pada abdomen akibat dari penyempitan lumen usus yang mempengaruhi
kemampuan usus untuk mentranspor produk dari pencernaan usus melalui
lumen. Karena peristaltic usus dirangsang oleh makanan, maka nyeri biasanya
timbul setelah makan. Untuk menghindari nyeri ini, maka sebagian pasien
cenderung untuk membatasi masukan makanan, mengurangi jumlah dan jenis
makanan sehingga kebutuhan nutrisi normal tidak terpenuhi. Akibatnya
penurunan berat badan, malnutrisi, dan anemia sekunder.Selain itu,
pembentukan ulkus di lapisan membrane usus dan ditempat terjadinya
inflamasi, akan menghasilkan rabas pengiritasi konstan yang dialirkan ke kolon
dari usus halus, bengkak, yang menyebabkan diare kronis. Pada beberapa
pasien, usus yang terinflamasi dapat mengalamidemam, leukositosis, dan
infeksi pada luka. Luka atau daerah dimana fistula pada akhirnya akan keluar
mungkin cellulitic. Diagnosis menjadi lebih jelas bila didapatkan drainase
material usus pada luka di abdomen, drainase enteric dimulai dalam waktu 24-
48 jam setelah penampakan kulit cellulitic. Evaluasi bau, warna, konsistensi
dan volume cairan dapat membantu mengidentifikasi sumber kebocoran.3,12
8
E. PATOFISIOLOGI
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
9
b.USG
c.Fistulogram
d. Barium enema
10
Gambar 5. Saluran yang timbul dari ileum distal berdekatan dengan
anastomosis ileorectal
e. CT scan
11
G. PENATALAKSANAAN
a. Identification
b. Resuscitation
Tujuan utama pada tahap ini yaitu pemulihan volume sirkulasi.Pada tahap
ini, pemberian kristaloid dibutuhkan untuk memperbaiki volume sirkulasi.
Transfusi sel darahmerah dapat meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen
dan pemberian infusealbumin dapat mengembalikan tekanan onkotik plasma.
c. Control of sepsis
d. Nutritional support
12
enterokutaneous dapat menimbulkan malnutrisi pada pasien karena
intakenutrisi kurang, hiperkatabolisakibat sepsis dan banyaknya komponen
usus kaya protein yang keluar melalui fistula. Pasien dengan fistula
enterokutaneous membutuhkan kalori total sebanyak 25-32kcal/kg perhari
dengan rasio kalori-nitrogen 150:1 sampai 200:1, protein minimal 1,5g/kg
perhari.Jalur pemberian nutrisi ini dilakukan melalui parenteral. Manfaat
relative dari pemberian nutrisi secara enteral dan parenteral masih
diperdebatkan. Pemberian nutrisi secara enteral jika memungkinkan dapat
mempertahankan barrier usus sebagai imunologi dan hormonal fungsi usus.
Hal ini sering kali tidak efektif karena terjadi intoleransi makanan,
ketidakmampuan untuk mengakses saluran pencernaan atapun fistula high-
output. Lloyd mengemukakan bahwa diet enteral tidak hanya aman tapi dapat
meningkatkan penyembuhan post-anastomosis, meskipun ini tidak secara
statistic yang signifikan. Konsep bahwa diet enteral tidak hanya aman tapi
dapat meningkatkan penyembuhan didukung oleh data yang terbatas dari
model eksperimental menunjukkan bahwa diet enteral lebih baik dibandingkan
dengan parenteral diet, kemungkinan melalui efek trofik pada mukosa usus. Ini
merupakan hasil uji coba yang dilakukan pada tikus.
Penambahan minyak ikan atau asam lemak omega-3 dalam enteral diet
mempunyai efek yang bermanfaat pada fungsi kekebalan tubuh, mungkin
karena peningkatan aliran darah ke jaringan limfoid di ileum. Penelitian
terkontrol acak telah menunjukkan tingkat infeksi yang lebih rendah pada
pasien yang dirawat di ICU setelah operasi abdominal dan setelah cedera
parah. Baru-baru ini penelitian meta-analisis menunjukkan bahwa diet enteral
dengan minyak ikan dan asam lemak omega-3 meningkatkan kelangsungan
hidup. Penelitian lainnya menyatakan bahwa tidak ada manfaat yang jelas
untuk suplementasi minyak ikan (omega-3). Tidak ada uji coba terkontrol
secara acak yang menyelidiki penggunaan suplemen minyak ikan dan asam
lemak omega-3 tersebut dalam pengobatan ECF. Total Parenteral Nutrition
(TPN) telah terbukti dapat meningkatkan tingkat penutupan fistula enteric.
Dukungan nutrisi harus dimulai dengan bijakasan, kesabaran, dan hati-hati
13
pada pasien yang malnutrisi karena adanya resiko yang bisa merangsang
sindrom refeeding. Resiko ini dapat dikurangi dengan memperbaiki cairan,
elektrolit dan vitamin (pemberian vitamin C, vitamin B12, zinc, asam folat).
Hal yang perlu diperhatikan dan dikelola pada menajemen drainase fistula
yaitu perlindungan kulit, dressing, dan regulasi suction dinding.Terdapat
berbagai tehnik yang digunakan untuk manajemen drainase fistula yaitu simple
gauze dressing, skin barriers, pauches, dan suction catheter.Skin barrier sering
digunakan untuk melindungi kulit di sekitar fistula; bubuk atau cairan
digunakan untuk merawat kulit yang gundul dan mempertahankan permukaan
kering pada kantong. Pasta skin barrier petroleum dan zinc oksida berfungsi
sebagai penyerap dan peliindung pada lapisan kulit. Skin barrier ini merupakan
skin barrier yang solid yang dapat menunda keluarnya output fistula dan
penghalang fisik antara kotoran dan kulit. Limbah dari fistula dapat dikelola
dengan dressing saat drainase kurang dari 100 ml dalam 24 jam.
Gambar 7. Solid skin barrier diterapkan pada luka antara dua situs fistula.
Volume output berkurang menjadi 100ml/24 jam.
14
Wound dressing dapat bervariasi dari simple gauze untuk pilihan lebih
menyerap seperti busa atau hydrofiber. Setiap perawat dapat menggunakan
berbagai jenis dan jumlah dressing yang tak terbatas untuk menyerap drainase
sehingga menghambat pengukuran yang akurat dari output dan kemudian
menyulitkan pemantauan input-output yang akurat. Penggunaan dressing tidak
praktis karenaperlu digantisetiap 4 jam. Pilihan lain untuk mengendalikan
limbah dari fistula yaitu penggunaan continuous low wall suction. Jika sistem
pouching tidak dapat digunakan karena lokasi fistula atau drainase yang
berlebihan sistem continuous low wall suctiondapat diimplementasikan.Suction
cateter ditempatkan di bagian distal luka dari fistula untuk menguras limbah.
Suction cateter digunakan bersamaan dengan normal saline dressing. Hal yang
perlu diingat dari kateter ini yaitu kateter tidak ditempatkan pada saluran fistula
karena akan dikenali sebagai benda asing dan lambat tertutup. Continuous
suction membantu mengurangi penggantian balutan dengan mengalihkan ke
sistem drainase suction. Sistem suction bukan solusi pengelolaan jangka
panjang dan memerlukan perawat atau tim medis yang tidak hanya mampu
memahami dan memelihara peralatan tetapi juga berdedikasi untuk waktu yang
dibutuhkan untuk mengelola sistem ini.
15
Pouching pada fistula sangat menantang, karena kesulitan dalam mencapai
dan mempertahankan pouch itu sendiri. Pouching memerlukan pergantian
pouch yang lebih sering, sehingga rasa ketidaknyamanan dan pengeluaran
biaya yang lebih besar bagi pasien. Perkiraan dari 4 sampai 5 hari waktu pakai
untuk kantong (pouch) pada fistula wajar bagi banyak pasien, namun beberapa
fistula karena lokasi dan output tidak pernah memperoleh kantong tersebut
lebih dari 24 jam. Pengurangan limbah dapat memberikan waktu yang cukup
bagi efektifitas aplikasi kantong dan mengurangi kemungkinan terjadinya
masalah pada segel akibat berlebihannya limbah enzimatik. Penggunaan obat-
obatan untuk mengurangi produksi juga dapat diindikasikan. Kualitas hidup
pasien dengan fistula bertumpu pada reliabilitas sistem pouching. Selain itu,
untuk mencegah terjadinya maserasi pada kulit akibat cairan fistula, dapat
diberikankan stomahesive atau glyserin dan beberapa penulis melaporkan
keberhasilan menggunakanVacuum Assisted Closure(VAC) system untuk
penatalaksanaan fistula enterokutaneous, salah satunya yaitu penelitian Draus
et al yang didapati 1 kasus high-output fistula dapat pulih dengan penggunaan
VAC, VAC diterapkan selama dua bulan dan terjadi perubahan dua kali
seminggu. VAC memberikan penutupan tekanan langsung bagi fistula. VAC
mengeluarkan limbah jauh dari lokasi fistula ke tabung. Tekanan negative
diperkirakan membantu dalam penutupan saluran fistula akut. Namun, terapi
VAC tidak diindikasikan murni sebagai perangkat penahan untuk fistula,
melainkan harus diterapkan hanya dimana penutupan fistula adalah suatu
kemungkinan. VAC system terdiri dari tabung evakuasi tertanam dalam
poliuretan busa ganti. Teknik VAC melibatkan penempatan spons busa-sel
terbuka ke dalam rongga luka. Sebuah kateter luka dengan perforasi lateral
yang (tabung evakuasi) kemudian diletakkan di atas busa. Luka ditutup oleh
dressing oklusif, dan tabung terpasang keruang hampa. Unit yang berlaku
tekanan subatmosfir terkontrol (biasanya 125 mmHg) ke luka. Perangkat ini
diaplikasikan pasien dengan mendalam, luka terbuka dengan omentum, fasia,
atau jaringan granulasi di dasar tanpa usus terlihat dan dengan tunneling fistula
saluran melalui jaringan granulasi. Pada beberapa pasien, VAC diindikasikan
16
pada kontraktur dan penyembuhan luka. Tidak ada komplikasi septik yang
ditimbulkan dari VAC.
Pada tahap ini, dilakukan investigasi terhadap sumber dan jalur fistula.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan yaitu:
17
a.Test methylen blue
b.USG
c.Fistulogram
d.Barium enema
e.CT scan
18
4. Definitive therapy (6-12 minggu)
19
5. Healing
H.KOMPLIKASI
I. PROGNOSIS
20
KASUS
A. IDENTITAS
B. Anamnesis
Anamnesis Terpimpin
21
C. Status Generalisata
Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah : -
Nadi : 70 x/menit
Pernapasan: 20 x/menit
Suhu : 36,2 C
Berat Badan : 28 Kg
D. Status Lokalis
22
E.Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : 2/1/18
Hb : 14,4 mg/dl
Hct: 42,1 %
Rbc: 5,44 x 10 6
Wbc:9,60 x 103
LED : 10 mm/jam
E.Resume
Pasien masuk dengan keluhan benjolan pada bagian perut bekas operasi yang
dirasakan sejak 3 bulan lalu, bersifat nyeri. Awalnya sebelum muncu bejolan,
dibagian luka bekas operasinya sering basah saat pergantian perban kemudian kulit
menjadi seperti lepuhan dan berkembang menjadi benjolan hingga berukuran
23
diameter 0,5 cm. Saat tahun 2016 pasien didiagnosis menderita appendisitis perforasi
sehingga pasien menjalani operasi laparatomi, dalam proses penyembuhan luka,
pasien mengeluhkan bekas operasi tersebut muncul benjolan yang sering basah
sehingga pasien menjalani operasi pengangkatan benjolan pada awal bulan juli 2017,
namun selanjutnya pasien kembali mengeluhkan keluhan yang sama berupa benjolan
pada bagian perut bekas operasinya hingga januari 2018 saat ini. Tampak benjolan
berukuran diamter 0,5 cm berwarna eritema berbatas tegas, terfixir, bunyi peristaltik
(+) Kesan normal teraba nyeri tekan (+) pada daerah penonjolon bekas operasi. USG
Abdomen : Granuloma Fistel ebterocutaneus pada daerah cicatrix bekas operasi di
suprapubic
E. Diagnosis
Fistula Enterocutaneus
F. Penatalaksanaan
Medikamentosa :
Prosedur Tindakan:
G.Prognosis
Dubia et Bonam
24
No Tanggal Follow Up
1 6 Jnauari 2018 S: Benjolan diameter 0,5 cm
daerah bekas operasi, Nyeri (+)
O:
TD : 110/ 70 mmHg
N : 80 x/mnt
R : 24 x/mnt
S : 36,5 C
A: Fistel Enterocutaneus
P: Pro Repair Fistel tgl 8 januari
2018, siapkan whole blood 280 cc
25
R : 20 x/mnt
S : 36,2 C
A: Post Op Laparatomy H-0
P: Instruksi Post Op
- IUFD Futrolit 24 tpm
- Inj. Ceftriaxone 750 mg/ 12
jam/IV
- inj. Ranitidine 25 mg/ 12 jam /IV
- inj. Ketorolac 15 mg/ 12 jam/IV
- 8 jam post op bila sadar baik,
peristaltik baik, boleh minum
perlahan
4 9 Januari 2018 S:
- Luka dan Nyeri bekas operasi (+)
- Bab (-)
- Flatus (-)
-Demam (+)
O:
N : 120 x/mnt
R : 24 x/mnt
S : 38,2 C
A: Post Op Laparatomy H-1
P:
- IUFD Futrolit 24 tpm
- Inj. Ceftriaxone 750 mg/ 12
jam/IV
- inj. Ranitidine 25 mg/ 12 jam /IV
26
- inj. Ketorolac 15 mg/ 12 jam/IV
- Extra Paracetamol drip 250 cc/ IV
- boleh minum perlahan
- Sore diet bubur
- Mobilisasi miring kanan-miring
kiri sampai duduk
5 10 Jnuari 2018 S:
- Luka dan Nyeri bekas operasi (+)
- Bab (-)
- Flatus (+)
-Demam (-)
O:
TD : 120/70 mmHg
N : 108 x/mnt
R : 22 x/mnt
S : 36,6 C
Abdomen : Peristaltik (+), Distensi
(-)
A: Post Op Laparatomy H-2
P:
- IUFD Futrolit 24 tpm
- Inj. Ceftriaxone 750 mg/ 12
jam/IV
- inj. Ranitidine 25 mg/ 12 jam /IV
- inj. Ketorolac 15 mg/ 12 jam/IV
- Diet Bubur
-Mobilisasi duduk-jalan
27
6 11 Jnuari 2018 S:
- Luka dan Nyeri bekas operasi (+)
- Bab (+)
- Flatus (+)
-Demam (-)
O:
TD : 120/70 mmHg
N : 100 x/mnt
R : 22 x/mnt
S : 36,6 C
Abdomen : Peristaltik (+), Distensi
(-)
A: Post Op Laparatomy H-3
P:
- IUFD Futrolit 24 tpm
- Inj. Ceftriaxone 750 mg/ 12
jam/IV
- inj. Ranitidine 25 mg/ 12 jam /IV
- inj. Ketorolac 15 mg/ 12 jam/IV
- Diet Bubur
-Mobilisasi duduk-jalan
- Rencana pulang
28
BAB III
PEMBAHASAN
Fistula adalah hubungan yang abnormal antara suatu saluran dengan saluran
lain (fistel interna), atau suatu saluran dengan dunia luar melalui kulit (fistel
eksterna). Fistel enterokutaneus atau enterocutaneous fistula (ECF) diklasifikasikan
sebagai fistel ekskterna, adanya hubungan antara usus halus dengan kulit maupun
usus besar dengan kulit.1,2 serta komplikasi dari semua jenis operasi pada saluran
pencernaan yang biasanya muncul 7-10 hari pasca operasi. Pada kasus ini anak
laku-laki usia 10 tahun yang mengalami fistula enterocutaneus berupa benjolan
yang berair yang dirasakan sejak 3 bulan lalu, awalnya telah melakukan operasi
pada tahun 2016 berupa operasi laparamoy et causa apendisitis perforasi, kemudian
mengeluhkan muncul benjolan berair pada luka operasinya kemudian di repair
fistula pada 2017 namun kembali mengeluhkan keluhan yang sama pada tahun 2018
pada tempat yang sama.
29
mengeluhkan keluhan yang sama di tempat yang sama yakni benjolan yang berakhi
yang dikeluhkan hingga saat ini.
Pasien masuk dengan keluhan benjolan pada bagian perut bekas operasi
yang dirasakan sejak 3 bulan lalu, bersifat nyeri. Awalnya sebelum muncul bejolan,
dibagian luka bekas operasinya sering basah saat pergantian perban kemudian kulit
menjadi seperti lepuhan dan berkembang menjadi benjolan hingga berukuran
diameter 0,5 cm. Gejala awal dari fistula enterokutaneous adalah rasa tidak nyaman
(nyeri) pada abdomen akibat dari penyempitan lumen usus yang mempengaruhi
kemampuan usus untuk mentranspor produk dari pencernaan usus melalui lumen.
Karena peristaltic usus dirangsang oleh makanan, maka nyeri biasanya timbul
setelah makan. Untuk menghindari nyeri ini, maka sebagian pasien cenderung untuk
membatasi masukan makanan, mengurangi jumlah dan jenis makanan sehingga
kebutuhan nutrisi normal tidak terpenuhi. Akibatnya penurunan berat badan,
malnutrisi, dan anemia sekunder.Selain itu, pembentukan ulkus di lapisan
membrane usus dan ditempat terjadinya inflamasi, akan menghasilkan rabas
pengiritasi konstan yang dialirkan ke kolon dari usus halus, bengkak, yang
menyebabkan diare kronis. Dalam kasus ini gejala awal nyeri tersebut tidak
dominan dirasakan oleh pasien disebakan perlangsungan fistula pasien sudah
berlangsung lama berupa 7 bulan lalu post operasi sehinggan keluhan nyata yang
dirasakan pasien berupa munculnya benjolan berukuran diamter 0,5 cm dengan
nyeri intensitas ringan yang selalu basah ketika pergantian verban luka operasinya.
Keluan lain yang dapat muncul berupa gangguan nutrisi termasuk penurunan berat
badan tidak ditetmukan oleh pasien, maupun diaere kronis disangkal oleh pasien
sebagai keluahannya, hal ini disebabkan karena fistula enterocutaneus pada pasien
yang masih tergolong ringan. Pada beberapa pasien, usus yang terinflamasi dapat
mengalami demam, leukositosis, dan infeksi pada luka. Luka atau daerah dimana
fistula pada akhirnya akan keluar mungkin cellulitic. Diagnosis menjadi lebih jelas
bila didapatkan drainase material usus pada luka di abdomen, drainase enteric
dimulai dalam waktu 24-48 jam setelah penampakan kulit cellulitic. Evaluasi bau,
30
warna, konsistensi dan volume cairan dapat membantu mengidentifikasi sumber
kebocoran.3,12
31
proses penyembuhan luka dan meningkatkan system imun.10,13. Pasien yang
merupakan anak yang berusia 10 tahun, mendapat berbagai dukungan termasuk
nutrisi yang baik dalam penyembuhan lukanya mengingat anak ini masi termasuk
dalam masa pertumbuhan sehingga komplikasi berupa sepsis, malnutrisi, serta
gangguan elektrolit dapat dicegah dari awal.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, Dejong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta : EGC;
2005. Hal 636.
2. Enterocutaneous Fistula. 2013 [15 Desember 2013]. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/1372132-overview.
3. Parrish CR. Ostomies and fistula : a collaboration approach. Practical
Gastroentero: 2005;33:63-79.
4. Management of Enterocutaneous Fistula. 2001. [15 Desember 2013]. Available
from: http://www.downstatesurgery.org/files/cases/EnterocutaneousFistula.pdf.
5. Schecter WP et al. Enteric Fistulas : Principles of Management. J Jamcoll Surg.
2009;209:484-489.
6. Lloyd DAJ et al. Nutrition and Management of Enterocutaneous Fistula. British
Journal of Surgery. 2006;93:1045-1055.
7. Sheikh AR, Malik AM, Sheikh GA. Feasibility of early surgical intervention in
postoperative entero-cutaneous fistulae. J Ayub Med Coll Abbotabad.
2010;22:37-40.
8. Syaifuddin.Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika;2009.
9. Ethel, S. Anatomi dan Fisiogi Manusia untuk Pemula. Jakarta: EGC; 2003.
10. Evenson AR, Fischer JE. Current Management of Enterocutaneous Fistula. J
GASTROINTEST SURG. 2006;10:455-464.
11. Thompson MJ, Epanomeritaks E. An accountable fistula management treatment
plan. British Journal of Nursing. 2008;17:434-440.
12. Edward E.W et al. Small Intestine. In : Charles F, Bronicardi et al. Swartz-
Principle of Surgery. McGrantHill. p.1037-1038.
13. Intestinal Fistula Surgery. 2013 [15 Desember 2013]. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/197486.overview.
14. Stein D. IntestinalFistulas. 2008 [15 Desember 2013]. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/179444-diagnosis.
33
15. Management of Enterocutaneous Fistulas. 2011 [15 Desember 2013]. Available
from:
http://www.ucsfcme.com/2011/slides/MSU11001/Updated/16HarrisEnterocutan
eousFistulas.pdf.
16. Draus JM et al. Enterocutaneous Fistula : Are treatment improving?. Surgery.
2006;140:570-578.
17. Pratin C, Siriluck S. The Management of Patient with Enterocutaneous Fistula:
A complex case study. Wound Practice and Research. 2011;19:122-125.
34