Disusun Oleh
Nama : YULIANTI
ANDRIANI NPM :
2402022019
Halaman Judul
Daftar Isi......................................................................................................................................i
BAB I.
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
I.1 Latar Belakang…................................................................................................1
I. 2 Tujuan Penulisan….............................................................................................2
I. 3 Manfaat Penulisan…...........................................................................................3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................4
II. 1 Tinjauan tentang Kelalaian.................................................................................4
II. 2 Tinjauan tentang Kelalaian Medis......................................................................5
II. 3 Tinjauan tentang Hukum Kesehatan...................................................................6
II. 4 Tinjauan tentang Sistem Hukum Indonesia........................................................8
BAB III ANALISIS YURIDIS DAN ETIKA KESEHATAN....................................11
III. 1 Analisis Yuridis berdasarkan Hukum Pidana...................................................11
III. 2 Analisis Yuridis berdasarkan Hukum Kesehatan..............................................13
III. 3 Analisis Etika Kesehatan dan Etika Kesehatan Sesuai Syariah........................16
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................18
BAB V DAFTAR PUSTAKA......................................................................................20
Dasar hubungan antara dokter dan pasien adalah atas dasar kepercayaan dari pasien atas
kemampuan dokter untuk berupaya semaksimal mungkin menyembuhkan penyakit yang
dideritanya. Pasien percaya bahwa dokter akan berupaya semaksimal mungkin menyembuhkan
penyakitnya, tanpa adanya kepercayaan dari pasien yang melandasi hubungan medik maka akan
sia-sia upaya dari dokter menyembuhkan pasien. Dokter merupakan bagian dalam masyarakat,
karenanya dokter juga mengenal berbagai tanggung jawab terhadap norma-norma yang berlaku di
masyarakat dimana dokter bertugas.
Dalam menjalankan tugas profesi, dokter senantiasa harus memperhatikan kewajiban sebagai
petugas kesehatan. Kewajiban- kewajiban tersebut sesuai dengan yang diamanatkan dalam
KODEKI (Kode Etik Kedokteran). Dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran, menentukan kewajiban Dokter adalah: (1) Memberi Pelayanan Medik
sesuai dengan Standar Profesi dan Standar Operasional serta kebutuhan medis Pasien; (2) Merujuk
pasien ke Dokter atau Dokter gigi lain yang mempunyai kemampuan yang lebih baik, apabila tidak
mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan; (3) Merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang Pasien, bahkan juga setelah pasien meninggal dunia; (4) Melakukan
pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas
dan mampu melakukannya; (5) Menambah Ilmu Pengetahuan dan mengikuti perkembangan Ilmu
Kedokteran atau Kedokteran Gigi.
Kewajiban dokter yang diatur dalam KODEKI (Kode Etik Kedokteran) merupakan upaya
yang harus dilakukan dokter sebagai profesi luhur, dimana dituntut harus memiliki Etika, moral dan
keahlian dalam melaksanakan Praktik Kedokteran serta menjalankan kewajibannya kepada Pasien.
Sedangkan dalam pemberian pelayanan kesehatan, Dokter juga tidak terlepas dari suatu fakta
1
bahwa sebagai manusia mereka tidak luput dari kesalahan.
Kesalahan terjadi pada setiap pekerjaan, tentu dengan berbagai konsekuensi. Kesalahan
tersebut biasa berupa ketidakberhasilan (error) ataupun adanya suatu kelalaian (negligence/culpa)
dalam menjalankan tugas yang dijalankan. Contohnya dalam suatu tindakan yang mengakibatkan
kefatalan bagi tubuh seorang pasien. Dibidang kedokteran dikenal dengan istilah medical error dan
medical negligence. Medical error dan Medical negligence mengacu pada kesalahan dan kelalaian
yang terjadi di bidang medis. Kesalahan (error) adalah sesuatu yang wajar dilakukan oleh Dokter
sebagai manusia, namun tidak dengan kelalaian (negligence). Dalam suatu usaha dokter dalam
pemberian pelayanan kesehatan khususnya dalam tindakan medis yang berkualitas tinggi kepada
pasien, maka sangat penting sekali untuk mempelajari hasil-hasil yang negatif (advers event),
dalam hal ini seperti peristiwa yang mengakibatkan cacat atau hanya mengakibatkan luka-luka
2
saja.
a) Kelalaian ringan (culpa levis). Kesalahan ini dinilai dengan mem- bandingkan
perbuatan pelaku dengan perbuatan orang yang lebih ahli dari golongan si pelaku.
Perlakuan yang berbeda antara pelaku dengan orang yang lebih ahli dari golongan si
pelaku di dalam menangani hal yang sama menunjukkan kelalaian ringan si pelaku.
Apabila tindakan seseorang berbeda dalam keadaan dan kondisi sama dengan tindakan
orang yang dikategorikan lebih kemampuannya, maka tindakan itu termasuk dalam
kealpaan/culpa kecil (culpa levis);
Istilah kelalaian adalah terjemahan dari negligence secara umum bukanlah satu
pelanggaran hukum atau kejahatan. Seseorang dikatakan lalai manakala dia bertindak acuh
atau tidak memperdulikan apa yang menjadi kewajibannya. Menurut Guwandi, seseorang
dikatakan telah melakukan satu kelalaian manakala dia tidak memperhatikan kepentingan
orang lain sebagaimana lazimnya dalam tata pergaulan hidup di masyarakat. Selama akibat
dari kelalaiannya tersebut tidak membawa kerugian ekonomi, atau tidak mengakibatkan
luka maupun kematian orang lain, atau kerugian-kerugian tersebut hanya meyangkut
masalah sepele, maka tidak ada akibat hukum bagi seseorang yang melakukan kelalaian.
Prinsip ini berdasarkan satu adagium de minimis not curat lex, the law does not concern it
self with trifles, hukum tidak mencampuri hal-hal yang sepele. Namun sebaliknya, jika
kelalaian tersebut menyebabkan kerugian ekonomi, dan menimbulkan luka atau bahkan
kematian orang lain, maka atas kelalaian tersebut dapat diambil tindakan hukum terhadap
pembuatnya. Tindakan hukum yang dapat dijalankan terhadap pembuat kelalaian tersebut
4
adalah berupa tindakan hukum administrasi, perdata bahkan tindakan hukum pidana.
Dua cara yang selama ini digunakan untuk mengartikan istilah sistem hukum.
Pertama, yang mengartikan sistem hukum sebagai kesatuan dari komponen atau unsur
(sub-sistem) sebagai berikut: hukum materiil,hukum formil, hukum perdata, hukum
publik. Termasuk di dalam pandangan ini adalah yang melihat sistem hukum sebagai
kesatuan antar berbagai peraturan perundang-undangan, atau kesatuan antar peraturan
perundang-undangan dengan asas-asas hukum. Kedua, yang mengartika nsistem
hukum sebagai kesatuan dari komponen: struktur hukum, substansi hukum dan budaya
hukum.
Sistem hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa,
hukum Agama dan hukum Adat. Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat
Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak
terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga
berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau
yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat
dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
i. Hukum Perdata
Menurut Kansil, hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran
dan kejahatan terhadap kepentingan umum, dimana perbuatan tersebut diancam
dengan hukuman yang merupakan siksaan.
iii. Hukum Tata Negara
Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur tentang bentuk dan susunan
negara, serta alat-alat perlengkapan negara beserta tugasnya masing-masing.
iv. Hukum Administrasi Negara
Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang mengatur kegiatan administrasi
negara. Yaitu mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya.
v. Hukum Acara Perdata
Adanya suatu kenyataan bahwa setiap kesatuan masyarakattentu ada tingkah laku
yang hidup dan terpelihara dalam penyelengaraan kehidupan masyarakat. Sebagai
tata cara yang sudah terbiasa atau lazim dilakukan sedari dahulu dan selalu
dipakai berdasarkan kenyataan bahwa itu patut maka tingkah laku atau tata cara
tersebut dalam masyarakat akan di “adat”kan. Dengan berbagai cara anggota
masyarakat melaksanakan, memperlakukan, mempertahankan aturan-aturan
tingkah laku itu dengan disertai akibat-akibat tertentu. Pengertian hukum adat
Dalam hukum pidana, ada tiga unsur yang harus terpenuhi agar suatu tindakan
dapat dianggap sebagai tindakan pidana, yaitu:
Dalam kasus kelalaian medis, unsur perbuatan dapat terpenuhi jika pelaku
melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan standar yang berlaku dalam profesi medis,
misalnya memberikan dosis obat yang salah atau melakukan prosedur medis yang tidak
benar.
Unsur kesalahan dapat terpenuhi jika pelaku melakukan tindakan tersebut dengan
kelalaian atau tanpa mempertimbangkan risiko dan konsekuensi yang mungkin terjadi.
Misalnya, jika seorang dokter memberikan dosis obat yang salah karena tidak melakukan
pengecekan terlebih dahulu atau melakukan prosedur medis tanpa persiapan yang
memadai.
Unsur akibat dapat terpenuhi jika tindakan yang dilakukan oleh pelaku
menyebabkan kerugian atau bahkan kematian pada pasien.
Dalam hal ini, jika ketiga unsur tersebut terpenuhi, pelaku dapat dikenakan sanksi
pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Pidana. Sanksi
pidana yang mungkin dikenakan antara lain berupa denda, kurungan, atau bahkan hukuman
mati dalam kasus yang sangat serius.
Kelalaian medis masuk dalam lapangan hukum pidana, bila terpenuhi syarat: sikap
batin dokter, perlakuan medis, dan akibat. Syarat dalam perlakuan medis adalah perlakuan
medis yang menyimpang. Syarat sikap batin adalah syarat sengaja dalam malpraktek
medis. Syarat akibat adalah mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa
pasien.
- Perlakuan Salah Dalam Kelalaian Medis
Perbuatan adalah wujud dari bagian perlakuan pelayanan medis. Terjadinya
malpraktek medis menurut hukum, di samping perbuatan dalam perlakuan medis
tersebut masih ada syarat sikap batin dan akibat.
- Sikap Batin Dalam Kelalaian Medis
Sikap batin adalah sesuatu yang ada dalam batin sebelum seseorang berbuat. Sikap
batin ini berupa, kehendak, pikiran, perasaan dan apapun yang melukiskan keadaan
batin seseorang sebelum berbuat. Kemampuan mengarahkan dan mewujudkan alam
batin ke dalam perbuatan tertentu yang dilarang disebut kesengajaan. Bila kemampuan
berpikir, berperasaan, dan berkehendak itu tidak digunakan sebagaimana mestinya
dalam hal melakukan suatu perbuatan yang pada kenyataannya dilarang maka
dinamakan kelalaian (culpa). (AdamiChazawi, 2007:85).
Sebelum perlakuan medis di wujudkan oleh dokter, ada 3 (tiga) arah sikap batin
dokter, (Adami Chazawi, 2007:85):
a) Sikap batin mengenai wujud perbuatan (terapi);
Sikap batin yang diarahkan pada perbuatan umumnya berupa kesengajaan artinya
mewujudkan perbuatan memang dikehendaki. Bisa juga sikap batin pada perbutan,
baik aktif maupun pasif merupakan sikap batin kelalaian. Bila perlakuan yang akan
dijalankan pada pasien disadari melanggar standar profesi, namun tetap dijalankan
maka sikap batin yang demikian disebut kesengajaan. Sikap batin yang tidak
menyadari atau tidak mengetahui apa yang hendak diperbuat dokter sebagai
menyalahi standar dan dijalankan juga maka sikap batin yang demikian disebut
kelalaian. Kewajiban dokter yang hendak dijalankan dokter harus dipertimbangkan
sebagai hal yang melanggar standar profesi atau tidak. Akan tetapi, dokter tidak
mempertimbangkan dan setelah dijalankan ternyata melanggar standar profesi, hal
Dari sudut hukum pidana akibat yeng merugikan masuk dalam lapangan pidana. Bila
jenis kerugian tersebut masuk rumusan kejahatan menjadi unsur tindak pidana akibat
kematian, luka merupakan unsur kejahatan Pasal 359 dan 360 KUHP, bila kelalaian
perlakuan medis terjadi dan mengakibatkan kematian atau luka sesuai jenis yang
ditentukan dalam pasal 359 dan 360 KUHP maka perlakuan medis masuk dalam
kategori malpraktek pidana.
Dokter dari kedudukan atau kualitasnya sebagai profesional wajib mengetahui seluruh
aspek yang dapat berpengaruh oleh perlakuan medis yang hendak dijalankan yang
dapat menimbulkan akibat buruk bagi pasien.
Konsekuensi hukum dari kelalaian medis dalam hukum kesehatan dapat berupa
tindakan disiplin, baik berupa sanksi administratif seperti peringatan atau pembekuan izin
praktek, atau sanksi etis seperti penghentian keanggotaan asosiasi profesi medis.
Namun, tindakan disiplin yang dilakukan oleh lembaga pengawas kesehatan tidak
selalu memiliki akibat pidana. Hal ini tergantung pada tingkat keparahan dari kelalaian
medis dan apakah tindakan tersebut juga melanggar ketentuan pidana yang berlaku.
Seorang dokter harus bekerja menurut norma medische professionele standar yakni
bertindak dengan teliti, dan hati-hati menurut ukuran standar medis dari seorang dokter
dengan kepandaian yang rata-rata. Seorang dokter akan bertanggungjawab dan
dipersalahkan atas dasar profesional negligence apabila sikap tindaknya tidak berdasarkan
standar profesi yang berlaku umum. Seorang dokter dalam menjalankan keprofesiannya itu
harus mendasarkan kepada standar yang telah berlaku, baik itu standar profesi maupun
standar pelayanan medis. Oleh sebab itu, salah satu ukuran kelalaian medis adalah ketika
dokter tidak melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan atau
yang telah menjadi ukuran umum.
Siapakah yang berhak untuk menentukan standar profesi. Tidak lain adalah
kalangan dokter itu sendiri. Profesi dokter bersifat otonom, segala ketentuan yang
menyangkut pelaksanaan pekerjaan profesi ditentukan sendiri oleh kelompok profesi.
Kelompok profesi menentukan sendiri isi dari standar pelayanan yang dianggap benar.
Pemerintah disini sekedar menentukan kewajiban dokter untuk melaksanakan dan mentaati
isi dari standar profesi kedokteran dan perobatan yang dibuat oleh kelompoknya melalui
peraturan perundang-undangan dan juga memberikan ancaman sanksi hukum terhadap
yang melanggar. Di Indonesia telah berlaku satu peraturan bidang kedokteran yang khusus
mengatur hubungan antara dokter dengan pasien yaitu UUPK. Sebagaimana Pasal 51 huruf
a UUPK, yang mana mewajibkan dokter untuk mengikuti standar profesi dan standar
prosedur operasional dalam menjalankan profesinya. Pelanggaran atas kewajiban ini akan
diancam dengan pidana oleh Pasal 79 UUPK. Akan tetapi, pemerintah tidak dapat
menentukan isi standar profesi dan isi standar prosedur. Berkaitan dengan standar profesi
dan standar prosedur, Van der Mijn ialah ahli hukum kesehatan dari Belanda berpendapat
bahwa dalam melaksanakan profesinya, seorang tenaga kesehatan perlu berpegang kepada
tiga ukuran umum, yaitu kewenangan, kemampuan rata-rata, dan ketelitian umum (Wila
Chandrawila Supriadi, 2001:52).
Hukum medis berkaitan erat dengan bidang hukum lain, yaitu hukum perdata,
hukum administrasi dan hukum pidana. Oleh karena itu, semua kelalaian dalam bidang
UTS HUKUM DAN ETIKA 15
KESEHATAN
medis
Tolok ukur satu kelalaian medis adalah diperlukan bagi mengetahui mana tindakan
dokter yang salah dan mana yang tidak. Dalam satu proses perobatan tidak selalu sesuai
dengan harapan pasien. Adakalanya proses pengobatan atau tindakan medis dokter tidak
berhasil atau dengan kata lain dokter mengalami satu kegagalan medis. Seringkali
kegagalan medis diidentikan dengan satu kesalahan atau kelalaian dokter. Dalam dunia
kedokteran dikenali satu istilah yang biasa disebut sebagai risiko medis, adalah suatu
keadaan yang tidak dapat dijangka sebelumnya,atau satu keadaan yang secara medis sudah
tidak dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan (Guwandi, 2007:67).
Di Indonesia, pengertian risiko medis itu tidak dirumuskan secara pasti dalam
perundang-undangan. Namun secara tersirat risiko medis disebutkan dalam Informed
consent atau persetujuan tindakan medis, adalah satu dokumen tertulis yang ditandatangani
oleh pasien yang mengizinkan suatu tindakan tertentu pada dirinya. Persetujuan tindakan
medis baru mempunyai arti hukum setelah dokter menginformasikan bentuk tindakan
berikut risiko yang akan terjadi. Selain sebagai suatu perlindungan kepada pasien terhadap
tindakan dokter, dokumen persetujuan tindakan medis juga diperlukan bagi dokter sebagai
legalitas tindakan medis dokter kepada pasien. Salah satu isi persetujuan tersebut adalah
bahwa pasien menyadari sepenuhnya atas risiko tindakan medis yang dijalankan oleh
dokter, dan jika dalam tindakan medis tersebut terjadi hal- hal yang tidak diinginkan, maka
pasien tidak akan melakukan penuntutan kemudian hari. Pencantuman pernyataan
sedemikian untuk
UTS HUKUM DAN ETIKA 17
KESEHATAN
menghindari tuntutan pasien yang kadang-kadang tidak memahami hakekat dari upaya medis
yang bersifat usaha atau rawatan.
Jadi, risiko medis adalah suatu peristiwa medis atau kondisi tidak pasti yang tidak
diharapkan oleh si pasien maupun dokter. Namun begitu, prediksi risiko telah disampaikan
oleh dokter kepada pasien sebelum seorang dokter melakukan tindakan tersebut. Mengenai
pertanggungjawabannya ada dua, yaitu risiko yang dapat dimintakan pertanggungjawaban
dan risiko medis yang tidak dapat juga dimintakan pertanggungjawaban hukum. Pada
dasarnya terhadap risiko medis dokter tidak dapat dimintai suatu pertanggungjawaban
hukum sepanjang telah melakukan tindakan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Namun
ada juga risiko medis yang dapat dimintakan suatu pertanggungjawaban kepada dokter
manakala risiko medis itu bermula dari praktik yang salah. Misalnya pada perbuatan
pengguguran bayi atau yang biasa dikenali sebagai tindakan aborsi. Risiko medis akibat
aborsi juga dapat menyebabkan kematian. Akibat timbul dari tindakan sedemikian adalah
salah satu contoh risiko medis yang dapat dimintakan suatu pertanggungjawaban kepada
dokter yang bersangkutan.
Etika kesehatan adalah seperangkat prinsip dan nilai moral yang digunakan dalam
praktik medis untuk membimbing dokter dan tenaga kesehatan lainnya dalam memberikan
pelayanan kesehatan yang berkualitas dan menghormati martabat manusia. Etika kesehatan
meliputi prinsip-prinsip seperti otonomi pasien, keadilan, beneficence, non-maleficence,
dan veracity.
1. Tawakkal: percaya sepenuhnya kepada Allah dan meyakini bahwa kesehatan dan
kesembuhan sepenuhnya tergantung kepada kehendak-Nya.
2. Akhlaq: perilaku baik, menghormati pasien, dan memperlakukan mereka dengan adil
dan penuh kasih sayang.
3. Adl: keadilan dalam memberikan pelayanan kesehatan dan memperlakukan pasien
tanpa memandang status sosial atau ekonomi.
4. Ma'ruf: melakukan tindakan medis yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
5. Ihsan: memberikan pelayanan kesehatan dengan tulus dan sungguh-sungguh untuk
membantu pasien mencapai kesembuhan.
IV.1 Kesimpulan
Pola hubungan antara dokter dan pasien adalah perjanjian terapeutik, dimana faktor
perjanjian itu bukanlah hal yang utama dalam pola hubungan dokter pasien. Kewajiban
dokter dan kode etik kedokteran adalah sumber lain dari hubungan dokter dan pasien.
Hubungan dokter dan pasien diawali dari informed consent yaitu kewajiban untuk memberi
penjelasan berkaitan dengan penyakit dan beberapa pilihan terapi kepada pasien beserta
dengan risiko medis yang mungkin terjadi pada saat terapi dilakukan. Informed consent ini
adalah kewajiban dokter yang harus dilakukan sebelum memberikan pelayanan medis atau
tindakan medis. Persetujuan atau acceptance dari pihak pasien adalah persetujuan yang
diberikan oleh pihak pasien setelah mendapat informed consent dari dokter. Persetujuan ini
adalah dasar dari dokter untuk memberikan pelayanan medis atau tindakan medis kepada
pasien. Persetujuan diberikan setelah pasien sadar akan risiko medis yang mungkin terjadi
dan memberi izin kepada dokter untuk melakukan tindakan terapeutik.
Kelalaian medis dan risiko medis adalah dua hal yang berbeda. Kelalaian medis
terjadi karena tidak adanya unsur hati-hati dan berjaga-jaga dari dokter ketika memberi
suatu pelayanan medis kepada pasien. Kelalaian medis yang menimbulkan kerugian atau
hilangnya nyawa dari pasien memberikan hak kepada pasien atau keluarganya untuk
mengajukan gugatan perdata atau melaporkan kelalaian dokter kepada aparat penegak
hukum seperti kepolisian.
Risiko medis adalah sesuatu hal yang mungkin timbul pada saat diberikannya terapi
medis atau pengobatan. Risiko medis ini adalah sesuatu hal yang disadari oleh pasien
berdasarkan informed consent yang diberikan oleh dokter. Risiko medis yang terjadi akan
sangat sulit dianggap sebagai kelalaian karena pasien sudah menyadari dan memberikan
izin kepada dokter untuk dilakukannya terapi medis.
IV.2 Saran
Dalam hal pemberian layanan kesehatan atau terapeutik, dokter dan pasien harus
mengetahui hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Pasien berkewajiban untuk
1. Anjeli Mondong. 2018. ‘Pertanggungjawaban Dokter atas Kelalaian Tindakan Medis yang
Mengakibatkan Cacat Tubuh pada Pasien ditinjau dari Pasal 360 KUHP’ Lex Crimen. Vol
7 No 4.
2. Chazawi, Adami. 2016. Malpraktik Kedokteran. Jakarta: Sinar Grafika.
3. Alifianto, Riza. 2018. ‘Risiko Medis dan Kelalaian terhadap dugaan malpraktik medis di
Indonesia’. Kajian masalah hukum dan pembangunan Vol XVIII. Surabaya: Perspektif.
4. Lesmonojati, Sigit. 2021. Pertanggungjawaban pidana atas perbuatan kelalaian pada
tindakan medis di rumah sakit. Surabaya: Scopindo Media Pustaka.
5. Ilahi, Wahyu Rizki Kartika. 2018. ‘Risiko Medis dan Kelalaian Medis dalam Aspek
Pertanggungjawaban Pidana’. Jurnal Hukum Volkgeist. Vol 2 No 2. Surabaya.
6. Takdir. 2018. Pengantar Hukum Kesehatan. Palopo: Lembaga IAIN Palopo.
7. Novekawati. 2019. Hukum Kesehatan. Semarang: Sai Wawai Publishing.
8. Harahap, Reni Agustina. 2021. Etika dan Hukum Kesehatan. Medan: Merdeka Kreasi.
9. Sulistiowati, E., Susanti, H., & Sari, A. (2018). ‘Konsep Malpractice dalam Praktik
Kedokteran’. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan, Vol 9(2), 107-116.
10. Darwin, Eryati. 2020. Etika Profesi Kesehatan. Yogyakarta: Deepublish.