KELOMPOK 1:
1. Marsi Sekar Ningrum 2011311034
2. Viona Aristawidya Mulya 2011313017
3. Deby rahma anisa 2011313011
4. Nadhira Aliya Putri Raharja 2011312047
5. Elvina Dwita 2011312023
6. Silvioni Amori Canesha 2011313032
7. Qadriatul Nursyi 2011311031
8. Rahmadina Zanri 2011311052
9. Verra Oktavia 2011311025
10. Allvi dayu nengsih 2011311004
11. Putri Nabila Rahmi 2011311040
12. Janika Wahyuningsih 2011311016
13. Sarmadani khaira putri 2011311046
14. Roby Juniwieldra Almy 2011312056
1
15. lieony fibra asha 2011311049
16. Muhammad Ashraf 2011311022
17. Intan dwi putri 2011312032
18. Weli Puspita Sari 2011312026
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS PADANG
2020
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Prinsip legal dalam praktik: Malpraktik”, penulis susun sebagai tugas mata kuliah Konsep
keperawatan dasar. Penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan yang dimiliki, sehingga dalam penulisan makalah ini. Penulis banyak
memperoleh bimbingan, saran, motivasi, dan bantuan dari berbagai pihak.
Semoga semua bantuan, bimbingan, dorongan dan doa yang diberikan kepada penulis
mendapatkan rahmat dan karunia dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa makalah ini
jauh dari kesempurnaan.Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pihak.Aamiin.
Tim Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………. 2
DAFTAR ISI………………………………………………………………… 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah…………………………………………….. 4
B. Rumusan masalah………………………………………………….. 4
BAB II KERANGKA TEORI
A. Pengertian mal praktek…………………………………………….. 6
B. Unsur-unsur malpraktek……………………………………….….... 6
C. Jenis-jenis malprakte………………………………………...….….. 7
D. Malpraktek dibidang hukum………………………………….……. 11
E. Pembuktian malpraktek dibidang pelayanan kesehatan…….……... 14
F. Tanggung jawab hukum……………………………………………. 16
G. Upaya pencengahan dan menghadapi ……………………….…….. 16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………..……………. 19
B. Saran ………………………………………………….…………… 19
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 21
PEMBAHASAN DAN JAWABAN PERTANYAAN……………………. 22
3
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dilihat masih adanya pelayanan kesehatan oleh
tenaga medis yang kurang memuaskan pada pasien. Maka permasalahan yang akan dibahas
4
dalam makalah ini adalah tentang permasalahan malpraktek tenaga medis dan upaya
pencegahannya.
1. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan pengertian malpraktek
2. Menjelaskan jenis-jenis malpraktek kedokteran
3. Menjelaskan cara-cara pembuktian malpraktek
4. Menjelaskan tentang tanggung jawab secara hukum
5. Memahami upaya pencegahan malpraktek dan mengetahui cara menghadapi tuntutan
hukum.
2. Manfaat Penulisan
1. Menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan terutamayang
berkaitan dengan malpraktek tenaga medis.
2. Memahami permasalahan yang berkaitan dengan malpraktek tenaga medis serta
upaya-upaya untuk mencegahnya.
3. Memahami tuntutan hukum terhadap malpraktek tenaga medis.
5
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Pengertian Malpraktek
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi
yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti
“pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang
salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan
untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau
tenaga keperawatan (perawat danbidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu
pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien
atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de
Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).Berlakunya norma etika dan norma
hukum dalam profesi bidan.
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma
hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah
diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang
etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.
Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma
hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar.
Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut
substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan
adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang
6
jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua
bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
B. Unsur-unsur Malpraktik
Malpraktik merupakan kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam
menjalankan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan medik, sehingga pasien menderita
luka, cacat, atau meninggal dunia. Adapun unsur-unsur malpraktik adalah sebagai berikut:
a. Adanya kelalaian. Kelalaian adalah kesalahan yang terjadi karena kekurang hati-
hatian, kurangnya pemahaman, serta kurangnya pengetahuan tenaga kesehatan akan
profesinya, padahal diketahui bahwa mereka dituntut untuk selalu mengembangkan
ilmunya.
b. Dilakukan oleh tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan berdasarkan Pasal 2 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan, Tenaga Kesehatan terdiri dari tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga
kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterampilan fisik, dan
tenaga keteknisan medis. Yang dimaksud tenaga medis adalah dokter atau dokter
spesialis.
c. Tidak sesuai standar pelayanan medik. Standar pelayanan medik yang dimaksud
adalah standar pelayanan dalam arti luas, yang meliputi standar profesi dan standar
prosedur operasional.
d. Pasien menderita luka, cacat, atau meninggal dunia. Adanya hubungan kausal bahwa
kerugian yang dialami pasien merupakan akibat kelalaian tenaga kesehatan. Kerugian
yang dialami pasien yang berupa luka (termasuk luka berat), cacat, atau meninggal
dunia merupakan akibat langsung dari kelalaian tenaga kesehatan.
C. Jenis-jenis Malpraktik
Menurut Isfandyarie (2005), ditinjau dari etika profesi dan hukum, malpraktik dapat
dibedakan menjadi dua bentuk yaitu; malpraktik etik (ethical malpractice) dan malpraktik
yuridis (yuridical malpractice). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Malpraktik Etik
Malpraktik etik yaitu tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika
profesinya sebagai tenaga kesehatan.Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika kebidanan. Etika kebidanan yang dituangkan dalam Kode Etik
Bidan merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk
7
seluruh bidan. Malpraktik etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan
etika kedokteran, sedangkan etika kedokteran yang dituangkan di dalam KODEKI
merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter.
b. Malpraktik Yuridis
Malpraktik yuridis dibagi menjadi menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktik perdata (civil
malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktik administratif
(administrative malpractice). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
8
dalam memasang infus yang menyebabkan tangan pasien membengkak karena
terinfeksi.
3. Malpraktik pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau kematian
pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati. Contoh:
seorang bayi berumur 3 bulan yang jarinya terpotong pada saat perawat akan melepas
bidai yang dipergunakan untuk memfiksasi infus.
3).Malpraktik Administratif
Malpraktik administratif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap
hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan tanpa lisensi
atau izin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya,
menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluwarsa, dan menjalankan praktek tanpa
membuat catatan medik.
9
kesalahan dokter.Pasal 359 KUHP ini juga dapat memberikan perlindungan hukum bagi
pasien sebagai upaya preventif mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana
malpraktik kedokteran namun perlu juga solusi untuk menghindarkan dokter dari rasa takut
yang berlebihan dengan adanyapasalini.
Pasal 360 KUHP menyebutkan tentang cacat, luka-luka berat maupun kematian yang
merupakan bentuk akibat dari perbuatan petindak sehingga dari sudut pandang subjektif sikap
batin petindak disini termasuk dalam hubungannya dengan akibat perbuatannya. Pasal 361
KUHP yang merupakan pasal pemberatan pidana bagi pelaku dalam menjalankan suatu
jabatan atau pencaharian dalam hal ini jabatan profesi sebagai dokter, bidan dan juga ahli
obat-obatan yang harus berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya karena apabila mereka
lalai sehingga mengakibatkan kematian bagi orang lain atau orang tersebut menderita cacat
maka hukumannya dapat diperberat 1/3 dari Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP.
Pasal 304 KUHP, Pasal 306 ayat (2) KUHP kalau salah satu perbuatan yang
diterangkan dalam Pasal 304 mengakibatkan orang mati, si tersalah itu dihukum penjara
paling lama sembilan tahun. Terkait dengan kejahatan terhadap tubuh dan nyawa dapat
dilihat dari ketentuan Pasal 338, 340, 344, 345, 359, KUHP yang dapat dikaitkan dengan
euthanasia, apabila dihubungkan dengan dunia kesehatan sebagai upaya penanggulangan
tindak pidana malpraktik di Indonesia menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif
tanpa permintaan adalah dilarang. Termasukjuga dengan euthanasia aktif dengan permintaan.
10
Ketentuan mengenai aborsi sebagaimana diatur dalam Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77
UU Kesehatan bagi yang melakukan pelanggaran dapat dikenakan sanksi sebagaimana
ditetapkan dalam ketentuan Pasal 194 UU Kesehatan bahwa setiap orang yang dengan
sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
11
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala
perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan
(intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
12
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan
medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
a. Pasal 347 KUHP menyatakan: Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan
me¬matikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun. Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya
wanita tersebut, dikenakart pidana penjara paling lama lima belas tahun.
b. Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu
melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan
salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan
dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati melakukan
proses kelahiran.
a. Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati
atau luka-luka berat.
Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.
b. Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat: Ayat (1) Barangsiapa karena
kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun. Ayat (2) Barangsiapa
karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga
menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama
waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling
tinggi tiga ratus rupiah.
c. Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya:
dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan
pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang
lebih berat pula. Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab
ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pen¬caharian, maka pidana ditambah
dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian
dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya
diumumkan. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat
13
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada
rumah sakit/sarana kesehatan.
2. Civil malpractice
Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan
kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar
janji).
Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi
terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula
dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka
rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan
karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
3. Administrative malpractice
Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut telah
melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power,
pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan,
misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja,
Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban bidan. Apabila aturan tersebut
dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum
administrasi.
14
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi
kelalaian bidan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya
adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan
tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis
tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara bidan dengan
pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan
perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaat verbintenis).
Apabila bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan
hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan
ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice,
harus dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni:
a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja,
ceroboh atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan
sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus
dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin
berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga. Dalam kasus atau gugatan adanya
civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4D
yakni :
a. Duty (kewajiban) Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah
bertindak berdasarkan: 1) Adanya indikasi medis, 2) Bertindak secara hati-hati dan
teliti, 3) Bekerja sesuai standar profesi, 4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan
pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang
seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka bidan tersebut dapat
dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian) Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal
(langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh
karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya, dan hal ini
haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar
menyalahkan bidan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka
15
pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat
(pasien).
2. Cara tidak langsung Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi
pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan
(doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang
ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan
Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory
negligence. Misalnya ada kasus saat bidan akan memotong tali pusat bayi, saat memotong tali
pusat ikut terluka perut pasien tersebut. Dalam hal ini perut yang luka dapat dijadikan fakta
yang secara tidak langsung dapat membuktikan kesalahan bidan, karena:
a. Perut bayi tidak akan terluka apabila tidak ada kelalaian tenaga perawatan.
b. Memotong tali pusat bayi adalah merupakan/berada pada tanggung jawab bidan.
c. Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.
16
misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan
kelalaian bidan sebagai karyawannya.
3. Liability in tort Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang
melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain,
akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan
ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang
lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
Upaya menghadapi tuntutan hukum Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada
pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan
seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan
kelalaian bidan. Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan
dapat melakukan:
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa
tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang
ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan
tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa
dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam
perumusan delik yang dituduhkan.
17
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau
menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan
cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk
membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang
dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
c. Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat
hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada
perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar
ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat,
karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di
pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan
dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita
(damage) yang dialami penggugat.
d. Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak
diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk
membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan
adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya
rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-
orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan bidan.
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Atas dasar beberapa uraian yang telah disebutkan di muka kiranya dapat diambil suatu
kesimpulan sehubungan dengan masalah malpraktek bidan, adalah sebagai berikut:
1. Kasus malapraktek merupakan suatu kasus yang menarik, yang sering dialami oleh
masyarakat, dan yang sekaligus merupakan manifestasi dari kemajuan teknologi kesehatan
dengan berbagai peralatannya yang canggih. Sementara itu dengan semakin banyaknya kasus
malpraktek yang disidangkan di Pengadilan dan bermunculannya berita-berita tentang
malpraktek tenaga medis di mass media karena kegagalannya dalam berpraktek sehingga
mengakibatkan cidera-nya atau meninggalkan pasien, menunjukkan bahwa tingkat kesadaran
hukum masyarakat mulai meningkat, sehingga perpaduan antara kedua hal tersebut di atas
akan menimbulkan suatu perbenturan atau sengketa.
2. Sedangkan altrnatif untuk menyelesaikan sengketa itu sendiri, untuk sementara waktu ini
belum memadai, sehingga kasus-kasus malpraktek dijumpai kandas di pemeriksaan sidang
pengadilan. Oleh sebab sangst diperlukan adanya suatu pemikiran-pemikiran yang jernih dari
para arsitek hukum untuk mene-mukan alternatif apa yang dapat dipakai dalam menghadapi
kasus-kasus malpraktek tersebut, sebab kasus ini sangat banyak berkaitan dengan
kepentingan masyarakat, khususnya bagi yang merasa dirugikannya.
19
B. Saran
1. Kiranya pihak aparat penegak hukum, sebagai pencari penegakan hukum yang aktif di
dalam masyarakat, kiranya dapat berperan aktif dan melihat dengan jeli indikasi-indikasi
kasus malapraktek ini.
2. Selanjutnya, sebagai rangkaian dalam keaktifannya dalam mencari penegakan hukum,
Kejaksaan sebagai Penuntut Umum dan sebagai pengawasan penyidik sesuai dengan isi
KUHP, dapat meningkatkan peranannya dengan jalan membina kerja sama yang erat dengan
pihak penyidik (polisi) untuk dapat membongkar kasus-kasus malapraktek yang selama ini
masih banyak yang ter-tutup, baru kemudian tugas bagi hakim untuk lebih teliti dan obyektif
dalam mengambil vonisnya.
3. Perlu juga untuk menambah pengetahuan bagi para penegak hukum ini, khususnya
pengetahuan dalam bidang kebidanan, sehingga jika terjadi kasus malapraktek mereka dapat
menyidik, menuntut dan memutus perkara dengan tepat sesuai dengan
kemampuan/pengetahuannya. Hal ini dapat ditempuh dengan cara mengadakan seminar-
seminar atau diberikan semacam pendidikan khusus yang menyangkut masalah kebidanan,
khususnya hal-hal yang sangat erat kaitannya dengan kejadian-kejadian yang timbul di
sekitar malapraktek. Atau minimal mereka diberikan suatu pegangan/pedoman tentang
hokum untuk profesi bidan dan segala aspeknya. Dari hal ini diharapkan agar nantinya setiap
kasus malpraktek dapat benar-benar diselesaikan dengan tuntas.
4. Diharapkan tenaga medis akan lebih waspada dan hati-hati dalam melaksanakan tugasnya,
masyarakat menjadi aman dan puas atas pelayanannya dan penegak hukum dapat lancar
dalam bertugas, akhirnya penegakan hukum dapat berjalan sebagaimana kita harapkan.
20
DAFTAR PUSTAKA
Ameln, F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
Mariyanti, Ninik, 1988, Malpraktek Kedokteran, Bina Aksara, Jakarta.
Undang undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran:
http://nonameface.wordpress.com/2010/02/06/poin-poin-penting-undang-undang-kesehatan-
no-36-th-2009/
http://www.kksp.or.id/?pilih=lihatdl&id=30
http://bataviase.co.id/node/590966
http://ikpreg1b.blogspot.com/2011/01/kasus-malpraktek-dalam kesehatan.html
http://lahasmile.com/62468/kasus-maureen-harus-diproses-hukum.html
http://arsipberita.com/arsip/kasus-maureen-global-medika.html
http://www.indonesiaheadlines.com/index.php?id=1440285
21
Pembahasan pertanyaan & jawaban dari materi malpraktik kelompok 1:
22
dengan pasiennya, namun tentunya hanya beberapa pasien saja karena dokter tersebut juga
harus menyesuaikan dengan jam kerjanya. Untuk pasien yang janjinya dicancel ini
merupakan pasien yang telah dipertimbangkan oleh dokter tersebut,contoh pertimbangannya :
pasien yang dicancel ini tidak akan mengalami dampak yang signifikan apabila jadwalnya
dicancel. Pengambilan keputusan cancel janji ini tentu dengan memperhatikan prioritas
kebutuhan pasien, mana pasien yang benar-benar harus dilayani dan mana pasien yang bisa
untuk ditunda pelayanannya.
23