Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH KONSEP KEPERAWATAN DASAR

“PRINSIP LEGAL DALAM PRAKTIK: MALPRAKTIK”


Dosen pengampu: Ns. Muthmainnah, M. Kep

KELOMPOK 1:
1. Marsi Sekar Ningrum 2011311034
2. Viona Aristawidya Mulya 2011313017
3. Deby rahma anisa 2011313011
4. Nadhira Aliya Putri Raharja 2011312047
5. Elvina Dwita 2011312023
6. Silvioni Amori Canesha 2011313032
7. Qadriatul Nursyi 2011311031
8. Rahmadina Zanri 2011311052
9. Verra Oktavia 2011311025
10. Allvi dayu nengsih 2011311004
11. Putri Nabila Rahmi 2011311040
12. Janika Wahyuningsih 2011311016
13. Sarmadani khaira putri 2011311046
14. Roby Juniwieldra Almy 2011312056

1
15. lieony fibra asha 2011311049
16. Muhammad Ashraf 2011311022
17. Intan dwi putri 2011312032
18. Weli Puspita Sari 2011312026

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS PADANG
2020

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Prinsip legal dalam praktik: Malpraktik”, penulis susun sebagai tugas mata kuliah Konsep
keperawatan dasar. Penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan yang dimiliki, sehingga dalam penulisan makalah ini. Penulis banyak
memperoleh bimbingan, saran, motivasi, dan bantuan dari berbagai pihak.
Semoga semua bantuan, bimbingan, dorongan dan doa yang diberikan kepada penulis
mendapatkan rahmat dan karunia dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa makalah ini
jauh dari kesempurnaan.Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pihak.Aamiin.

Padang, 15 November 2020

Tim Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………. 2
DAFTAR ISI………………………………………………………………… 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah…………………………………………….. 4
B. Rumusan masalah………………………………………………….. 4
BAB II KERANGKA TEORI
A. Pengertian mal praktek…………………………………………….. 6
B. Unsur-unsur malpraktek……………………………………….….... 6
C. Jenis-jenis malprakte………………………………………...….….. 7
D. Malpraktek dibidang hukum………………………………….……. 11
E. Pembuktian malpraktek dibidang pelayanan kesehatan…….……... 14
F. Tanggung jawab hukum……………………………………………. 16
G. Upaya pencengahan dan menghadapi ……………………….…….. 16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………..……………. 19
B. Saran ………………………………………………….…………… 19
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 21
PEMBAHASAN DAN JAWABAN PERTANYAAN……………………. 22

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu indikator
positif meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya
kecenderungan meningkatnya kasus malpraktek dikalangan kedokteran, diadukan atau
bahkan dituntut pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan mencekam para tenaga
kedokteran yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan dimasa
yang akan datang. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan kesehatan hasilnya selalu
memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya dengan mudah menimpakan
beban kepada pasien bahwa telah terjadi malpraktek. Kasus malpraktek yang sering dipahami
sebagai kelalayan dokter juga harus dianalisis lebih dalam terkait alat-alat kedokteran yang
menjadi penunjang keberhasilan pada proses pelayanan kesehatan. Terkait kasus-kasus yang
muncul mengenai malpraktek, kasus yang baru-baru ini terjadi adalah dugaan kasus
malpraktek Mauren di Rumah Sakit Awal Bros Tangerang Banten. Mengingat semakin
maraknya kemunculan kasus-kasus malpraktek yang terjadi akhir-akhir ini bersamaan dengan
semakin meningkatnya kemajuan dalam pelayanan medis, maka kasus malpraktek ini harus
dikaji sebagai sebuah kasus kriminalitas yang terjadi akibat suatu kelalayan dan
propesionalitas tenaga kedokteran.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dilihat masih adanya pelayanan kesehatan oleh
tenaga medis yang kurang memuaskan pada pasien. Maka permasalahan yang akan dibahas

4
dalam makalah ini adalah tentang permasalahan malpraktek tenaga medis dan upaya
pencegahannya.
1. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan pengertian malpraktek
2. Menjelaskan jenis-jenis malpraktek kedokteran
3. Menjelaskan cara-cara pembuktian malpraktek
4. Menjelaskan tentang tanggung jawab secara hukum
5. Memahami upaya pencegahan malpraktek dan mengetahui cara menghadapi tuntutan
hukum.

2. Manfaat Penulisan
1. Menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan terutamayang
berkaitan dengan malpraktek tenaga medis.
2. Memahami permasalahan yang berkaitan dengan malpraktek tenaga medis serta
upaya-upaya untuk mencegahnya.
3. Memahami tuntutan hukum terhadap malpraktek tenaga medis.

5
BAB II
KERANGKA TEORI

A. Pengertian Malpraktek
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi
yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti
“pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang
salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan
untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau
tenaga keperawatan (perawat danbidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu
pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien
atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de
Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).Berlakunya norma etika dan norma
hukum dalam profesi bidan.
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma
hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah
diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang
etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.
Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma
hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar.
Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut
substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan
adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang

6
jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua
bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).

B. Unsur-unsur Malpraktik
Malpraktik merupakan kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam
menjalankan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan medik, sehingga pasien menderita
luka, cacat, atau meninggal dunia. Adapun unsur-unsur malpraktik adalah sebagai berikut:
a. Adanya kelalaian. Kelalaian adalah kesalahan yang terjadi karena kekurang hati-
hatian, kurangnya pemahaman, serta kurangnya pengetahuan tenaga kesehatan akan
profesinya, padahal diketahui bahwa mereka dituntut untuk selalu mengembangkan
ilmunya.
b. Dilakukan oleh tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan berdasarkan Pasal 2 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan, Tenaga Kesehatan terdiri dari tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga
kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterampilan fisik, dan
tenaga keteknisan medis. Yang dimaksud tenaga medis adalah dokter atau dokter
spesialis.
c. Tidak sesuai standar pelayanan medik. Standar pelayanan medik yang dimaksud
adalah standar pelayanan dalam arti luas, yang meliputi standar profesi dan standar
prosedur operasional.
d. Pasien menderita luka, cacat, atau meninggal dunia. Adanya hubungan kausal bahwa
kerugian yang dialami pasien merupakan akibat kelalaian tenaga kesehatan. Kerugian
yang dialami pasien yang berupa luka (termasuk luka berat), cacat, atau meninggal
dunia merupakan akibat langsung dari kelalaian tenaga kesehatan.

C. Jenis-jenis Malpraktik
Menurut Isfandyarie (2005), ditinjau dari etika profesi dan hukum, malpraktik dapat
dibedakan menjadi dua bentuk yaitu; malpraktik etik (ethical malpractice) dan malpraktik
yuridis (yuridical malpractice). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Malpraktik Etik
Malpraktik etik yaitu tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika
profesinya sebagai tenaga kesehatan.Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika kebidanan. Etika kebidanan yang dituangkan dalam Kode Etik
Bidan merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk

7
seluruh bidan. Malpraktik etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan
etika kedokteran, sedangkan etika kedokteran yang dituangkan di dalam KODEKI
merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter.
b. Malpraktik Yuridis
Malpraktik yuridis dibagi menjadi menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktik perdata (civil
malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktik administratif
(administrative malpractice). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

1). Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)


Malpraktik perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi
perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya
perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada
pasien. Dalam malpraktik perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktik yang disebabkan
oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis). Karena apabila yang terjadi
adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya perbuatan tersebut termasuk dalam
malpraktik pidana.Contoh dari malpraktik perdata, misalnya seorang dokter yang melakukan
operasi ternyata meninggalkan sisa perban didalam tubuh si pasien.Setelah diketahui bahwa
ada perban yang tertinggal kemudian dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban yang
tertinggal tersebut.Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan
tidak menimbulkan akibat negatif yang berkepanjangan terhadap pasien.

2). Malpraktik Pidana


Malpraktik pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat tenaga
kesehatan kurang hati-hati.Atau kurang cermat dalam melakukan upaya perawatan terhadap
pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut. Malpraktik pidana ada tiga bentuk yaitu:
1. Malpraktik pidana karena kesengajaan (intensional), tenaga medis tidak melakukan
pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa
menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak benar. Contoh : melakukan
aborsi tanpa tindakan medis.
2. Malpraktik pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan tindakan
yang tidak legeartis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan
tanpa disertai persetujuan tindakan medis. Contoh: Kurang hati-hatinya perawat

8
dalam memasang infus yang menyebabkan tangan pasien membengkak karena
terinfeksi.
3. Malpraktik pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau kematian
pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati. Contoh:
seorang bayi berumur 3 bulan yang jarinya terpotong pada saat perawat akan melepas
bidai yang dipergunakan untuk memfiksasi infus.

3).Malpraktik Administratif
Malpraktik administratif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap
hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan tanpa lisensi
atau izin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya,
menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluwarsa, dan menjalankan praktek tanpa
membuat catatan medik.

Ketentuan Malpraktik dalam Hukum Indonesia


Ketentuan mengenai malpraktik medis dalam hukum di Indonesia dapat dilihat dari KUHP,
Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan Undang-undang No. 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran. Adapun penjelasan ketiganya adalah sebagai berikut:
a. KUHP
Tindak pidana malpraktik tidak diatur dengan jelas dalam KUHP.Pengaturan di dalam
KUHP lebih kepada akibat dari perbuatan malpraktik tersebut. Pengaturan Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat dilihat dari ketentuan Pasal 53 KUHP yaitu
terkait dengan percobaan melakukan kejahatan pasal ini hanya menentukan syarat-syarat
yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan
suatu percobaan.
Pasal 267 KUHP mengenai Pemalsuan Surat, Pasal 345, 347, 348, 349 KUHP yang
berkaitan dengan upaya abortus criminalis (pengguguran kandungan) karena di dalamnya
terdapat unsur adanya upaya menggugurkan kandungan tanpa adanya indikasi medis. Pasal
351 KUHP tentang Penganiayaan sebagaimana penjelasan Menteri Kehakiman bahwa setiap
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada
orang lain atau dengan sengaja untuk merugikan kesehatan badan orang lain.
Terkait dengan kealpaan yang menyebabkan mati atau luka-luka dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 359 KUHP.Pasal ini terkait dengan penanggulangan tindak pidana
malpraktik kedokteran dapat didakwakan terhadap kematian yang diduga disebabkan karena

9
kesalahan dokter.Pasal 359 KUHP ini juga dapat memberikan perlindungan hukum bagi
pasien sebagai upaya preventif mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana
malpraktik kedokteran namun perlu juga solusi untuk menghindarkan dokter dari rasa takut
yang berlebihan dengan adanyapasalini.
Pasal 360 KUHP menyebutkan tentang cacat, luka-luka berat maupun kematian yang
merupakan bentuk akibat dari perbuatan petindak sehingga dari sudut pandang subjektif sikap
batin petindak disini termasuk dalam hubungannya dengan akibat perbuatannya. Pasal 361
KUHP yang merupakan pasal pemberatan pidana bagi pelaku dalam menjalankan suatu
jabatan atau pencaharian dalam hal ini jabatan profesi sebagai dokter, bidan dan juga ahli
obat-obatan yang harus berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya karena apabila mereka
lalai sehingga mengakibatkan kematian bagi orang lain atau orang tersebut menderita cacat
maka hukumannya dapat diperberat 1/3 dari Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP.
Pasal 304 KUHP, Pasal 306 ayat (2) KUHP kalau salah satu perbuatan yang
diterangkan dalam Pasal 304 mengakibatkan orang mati, si tersalah itu dihukum penjara
paling lama sembilan tahun. Terkait dengan kejahatan terhadap tubuh dan nyawa dapat
dilihat dari ketentuan Pasal 338, 340, 344, 345, 359, KUHP yang dapat dikaitkan dengan
euthanasia, apabila dihubungkan dengan dunia kesehatan sebagai upaya penanggulangan
tindak pidana malpraktik di Indonesia menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif
tanpa permintaan adalah dilarang. Termasukjuga dengan euthanasia aktif dengan permintaan.

b. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


Adapun kebijakan formulasi hukum pidana terkait dengan penanggulangan tindak
pidana malpraktik medis dapat dilihat dari ketentuan Pasal 29 UU Kesehatan yang berkaitan
dengan dengan kelalaian, disebutkan bahwa dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan
kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu
melalui mediasi. Berkaitan dengan perlindungan pasien dapat dilihat dari ketentuan Pasal 56,
Pasal 57, Pasal 58 UU Kesehatan.
Terkait dengan transplantasi organ dapat dilihat dari ketentuan Pasal 64, Pasal 65,
Pasal 66, apabila terjadi pelanggaran atas ketentuan pasal tersebut maka dapat dijatuhi sanksi
pidana sesuai ketentuan Pasal 192 UU Kesehatan yang menyatakan: setiap orang yang
dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

10
Ketentuan mengenai aborsi sebagaimana diatur dalam Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77
UU Kesehatan bagi yang melakukan pelanggaran dapat dikenakan sanksi sebagaimana
ditetapkan dalam ketentuan Pasal 194 UU Kesehatan bahwa setiap orang yang dengan
sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

c. Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran


Adapun ketentuan yang berkaitan dengan penanggulangan tindak pidana malpraktik
kedokteran pada Undang-undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dapat
dilihat dalam Pasal 51 UU Praktik Kedokteran mengenai kewajiban dari dokter dan dokter
gigi, Pasal 75, Pasal 77 UU Praktik Kedokteran yang berlaku bagi orang yang bukan dokter
yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang
menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah dokter yang telah memiliki SIP atau STR
(Surat izin praktik atau Surat Tanda Registrasi), Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80 UU Praktik
Kedokteran.
Menurut ketentuan Pasal 80 ayat (1) dan (2) UU Praktik Kedokteran tersebut dapat
diartikan bahwa sanksi pidana yang tercantum di dalam pasal 80 ayat (1) dan ( 2 ) UU Praktik
Kedokteran dapat dikenakan kepada perorangan yang memiliki sarana pelayanan kesehatan
yang mempekerjakan dokter tanpa SIP, selain itu korporasi yang memiliki sarana pelayanan
kesehatan yang mempekerjakan Dokter yang tidak mempunyai SIP juga dapat dikenakan
pidana. Menganalisa pada ketentuan Pasal 75 (1), Pasal 76, Pasal 79 huruf a dan Pasal 79
huruf c sebelum putusan mahkamah konstitusi materi muatan yang terdapat di dalam UU
Praktik Kedokteran telah menimbulkan kriminalisasi terhadap tindakan dokter yang
berpraktik kedokteran yang tidak dilengkapi STR, SIP dan tidak memasang papan nama,
serta tidak menambah ilmu pengetahuan dengan ancaman pidana yang cukup berat dan denda
yang sangat tinggi Hal demikian dapat menimbulkan rasa takut bagi dokter di dalam
melakukan pengobatan terhadap pasien.

D. Malpraktek Dibidang Hukum


Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai
bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan
Administrative malpractice.
1. Criminal malpractice

11
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala
perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan
(intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).

Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional):


a. Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi:
Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu diancam dengan
pidana penjara paling lama sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah. Ayat
(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat
dituntut ata pengaduan orang itu.
b. Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP
Mengatakan: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
c. Pasal 348 KUHP menyatakan: Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun enam bulan. Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan
matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
d. Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu
melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan
salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan
dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
e. Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan, yang berbunyi: Ayat (1) Penganiayaan diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga
ratus rupiah. Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun. Ayat (3) Jika mengakibatkan mati,
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan
sengaja merusak kesehatan. Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak
dipidana.

12
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan
medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
a. Pasal 347 KUHP menyatakan: Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan
me¬matikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun. Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya
wanita tersebut, dikenakart pidana penjara paling lama lima belas tahun.
b. Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu
melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan
salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan
dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati melakukan
proses kelahiran.
a. Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati
atau luka-luka berat.
Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.
b. Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat: Ayat (1) Barangsiapa karena
kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun. Ayat (2) Barangsiapa
karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga
menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama
waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling
tinggi tiga ratus rupiah.
c. Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya:
dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan
pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang
lebih berat pula. Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab
ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pen¬caharian, maka pidana ditambah
dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian
dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya
diumumkan. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat

13
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada
rumah sakit/sarana kesehatan.

2. Civil malpractice
Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan
kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar
janji).
Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi
terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula
dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka
rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan
karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

3. Administrative malpractice
Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut telah
melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power,
pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan,
misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja,
Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban bidan. Apabila aturan tersebut
dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum
administrasi.

E. Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan Kesehatan


Dari definisi malpraktek adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga
keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu
pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien
atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de
Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).

14
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi
kelalaian bidan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya
adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan
tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis
tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara bidan dengan
pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan
perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaat verbintenis).
Apabila bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan
hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan
ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice,
harus dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni:
a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja,
ceroboh atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan
sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus
dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin
berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga. Dalam kasus atau gugatan adanya
civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4D
yakni :
a. Duty (kewajiban) Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah
bertindak berdasarkan: 1) Adanya indikasi medis, 2) Bertindak secara hati-hati dan
teliti, 3) Bekerja sesuai standar profesi, 4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan
pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang
seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka bidan tersebut dapat
dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian) Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal
(langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh
karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya, dan hal ini
haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar
menyalahkan bidan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka

15
pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat
(pasien).
2. Cara tidak langsung Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi
pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan
(doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang
ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan
Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory
negligence. Misalnya ada kasus saat bidan akan memotong tali pusat bayi, saat memotong tali
pusat ikut terluka perut pasien tersebut. Dalam hal ini perut yang luka dapat dijadikan fakta
yang secara tidak langsung dapat membuktikan kesalahan bidan, karena:
a. Perut bayi tidak akan terluka apabila tidak ada kelalaian tenaga perawatan.
b. Memotong tali pusat bayi adalah merupakan/berada pada tanggung jawab bidan.
c. Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.

F. Tanggung Jawab Hukum


Seperti dikemukakan di depan bahwa tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat
memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian.
Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah
malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan,
untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan
akibat kelalaian bidan. Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat,
antara lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan
kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah
daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan
maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai
standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan
yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate),

16
misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan
kelalaian bidan sebagai karyawannya.
3. Liability in tort Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang
melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain,
akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan
ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang
lain (Hogeraad 31 Januari 1919).

G. Upaya Pencegahan dan Menghadapi


Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan. Dengan adanya
kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek diharapkan
para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan
berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala
kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

Upaya menghadapi tuntutan hukum Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada
pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan
seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan
kelalaian bidan. Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan
dapat melakukan:
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa
tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang
ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan
tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa
dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam
perumusan delik yang dituduhkan.

17
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau
menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan
cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk
membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang
dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
c. Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat
hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada
perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar
ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat,
karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di
pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan
dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita
(damage) yang dialami penggugat.
d. Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak
diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk
membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan
adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya
rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-
orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan bidan.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Atas dasar beberapa uraian yang telah disebutkan di muka kiranya dapat diambil suatu
kesimpulan sehubungan dengan masalah malpraktek bidan, adalah sebagai berikut:
1. Kasus malapraktek merupakan suatu kasus yang menarik, yang sering dialami oleh
masyarakat, dan yang sekaligus merupakan manifestasi dari kemajuan teknologi kesehatan
dengan berbagai peralatannya yang canggih. Sementara itu dengan semakin banyaknya kasus
malpraktek yang disidangkan di Pengadilan dan bermunculannya berita-berita tentang
malpraktek tenaga medis di mass media karena kegagalannya dalam berpraktek sehingga
mengakibatkan cidera-nya atau meninggalkan pasien, menunjukkan bahwa tingkat kesadaran
hukum masyarakat mulai meningkat, sehingga perpaduan antara kedua hal tersebut di atas
akan menimbulkan suatu perbenturan atau sengketa.
2. Sedangkan altrnatif untuk menyelesaikan sengketa itu sendiri, untuk sementara waktu ini
belum memadai, sehingga kasus-kasus malpraktek dijumpai kandas di pemeriksaan sidang
pengadilan. Oleh sebab sangst diperlukan adanya suatu pemikiran-pemikiran yang jernih dari
para arsitek hukum untuk mene-mukan alternatif apa yang dapat dipakai dalam menghadapi
kasus-kasus malpraktek tersebut, sebab kasus ini sangat banyak berkaitan dengan
kepentingan masyarakat, khususnya bagi yang merasa dirugikannya.

19
B. Saran
1. Kiranya pihak aparat penegak hukum, sebagai pencari penegakan hukum yang aktif di
dalam masyarakat, kiranya dapat berperan aktif dan melihat dengan jeli indikasi-indikasi
kasus malapraktek ini.
2. Selanjutnya, sebagai rangkaian dalam keaktifannya dalam mencari penegakan hukum,
Kejaksaan sebagai Penuntut Umum dan sebagai pengawasan penyidik sesuai dengan isi
KUHP, dapat meningkatkan peranannya dengan jalan membina kerja sama yang erat dengan
pihak penyidik (polisi) untuk dapat membongkar kasus-kasus malapraktek yang selama ini
masih banyak yang ter-tutup, baru kemudian tugas bagi hakim untuk lebih teliti dan obyektif
dalam mengambil vonisnya.
3. Perlu juga untuk menambah pengetahuan bagi para penegak hukum ini, khususnya
pengetahuan dalam bidang kebidanan, sehingga jika terjadi kasus malapraktek mereka dapat
menyidik, menuntut dan memutus perkara dengan tepat sesuai dengan
kemampuan/pengetahuannya. Hal ini dapat ditempuh dengan cara mengadakan seminar-
seminar atau diberikan semacam pendidikan khusus yang menyangkut masalah kebidanan,
khususnya hal-hal yang sangat erat kaitannya dengan kejadian-kejadian yang timbul di
sekitar malapraktek. Atau minimal mereka diberikan suatu pegangan/pedoman tentang
hokum untuk profesi bidan dan segala aspeknya. Dari hal ini diharapkan agar nantinya setiap
kasus malpraktek dapat benar-benar diselesaikan dengan tuntas.
4. Diharapkan tenaga medis akan lebih waspada dan hati-hati dalam melaksanakan tugasnya,
masyarakat menjadi aman dan puas atas pelayanannya dan penegak hukum dapat lancar
dalam bertugas, akhirnya penegakan hukum dapat berjalan sebagaimana kita harapkan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ameln, F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
Mariyanti, Ninik, 1988, Malpraktek Kedokteran, Bina Aksara, Jakarta.
Undang undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran:
http://nonameface.wordpress.com/2010/02/06/poin-poin-penting-undang-undang-kesehatan-
no-36-th-2009/
http://www.kksp.or.id/?pilih=lihatdl&id=30
http://bataviase.co.id/node/590966
http://ikpreg1b.blogspot.com/2011/01/kasus-malpraktek-dalam kesehatan.html
http://lahasmile.com/62468/kasus-maureen-harus-diproses-hukum.html
http://arsipberita.com/arsip/kasus-maureen-global-medika.html
http://www.indonesiaheadlines.com/index.php?id=1440285

21
Pembahasan pertanyaan & jawaban dari materi malpraktik kelompok 1:

Pertanyaan : Rahmi Aulia Adrul 2011311040,


Apakah cancel janji, atau pembatalan janji antara tenaga medis dengan pasien adalah bentuk
dari malpraktik?
Jawaban : saya Putri Nabila Rahmi 2011311040 akan menjawab pertanyaan dari Rahmi
mengenai "cancel janji", menurut saya itu adalah bentuk dari malpraktik, karena cancel janji
merupakan bentuk dari kelalaian dokter maupun perawat. Karena berdasarkan Pasal 58 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, setiap orang berhak menuntut
ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterima. Jadi menurut saya itu adalah suatu bentuk malpraktik dan pasien yg terdampak bisa
mengajukan pengaduan ke pihak yang berwenang.Namun biasanya kebanyakan yang
membatalkan pertemuan itu adalah pasiennya sendiri.Karena pasien tersebut memilih hari
yang kurang tepat.
Nama : Kholik Mikro Jatortu Daulay
NIM : 2011312029
Cancel janji antara tenaga medis(seperti dokter) dengan pasien itu bisa terjadi dengan alasan-
alasan tertentu. Contohnya, seorang dokter mendapati pasien gawat darurat dengan kondisi
kritis yang perlu penanganan lebih awal, tentu dalam kasus menangani pasien ini akan
memakan waktu. Nah, dari kasus ini tentu si dokter tersebut bisa melakukan cancel janji

22
dengan pasiennya, namun tentunya hanya beberapa pasien saja karena dokter tersebut juga
harus menyesuaikan dengan jam kerjanya. Untuk pasien yang janjinya dicancel ini
merupakan pasien yang telah dipertimbangkan oleh dokter tersebut,contoh pertimbangannya :
pasien yang dicancel ini tidak akan mengalami dampak yang signifikan apabila jadwalnya
dicancel. Pengambilan keputusan cancel janji ini tentu dengan memperhatikan prioritas
kebutuhan pasien, mana pasien yang benar-benar harus dilayani dan mana pasien yang bisa
untuk ditunda pelayanannya.

23

Anda mungkin juga menyukai