Anda di halaman 1dari 52

ASPEK HUKUM MALAPRAKTIK LAYANAN JASA KESEHATAN

DALAM PERSPEKTIF PERDATA, ADMINISTRASI NEGARA DAN

PIDANA

Kelompok 6:

Amabel Aldwin / 01051180045

Cynthia Prastika / 01051180025

Jennifer Tannescia / 01051180006

Louise Putri Harefa / 01051180029

Millenni / 01051180038

Vanessa Margareta / 01051180023

PROGRAM STUDI HUKUM

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

TANGERANG

2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i

BAB 1 ............................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ..................................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................ 4

BAB II .............................................................................................................................. 5

PEMBAHASAN .............................................................................................................. 5

2.1. Praktik Kedokteran ............................................................................................. 5

2.1.1. Hak dan Kewajiban dalam Hubungan Hukum Dokter dan Pasien ........... 6

2.1.2. Hubungan Inspanningsverbintenis dengan Unconscionability .................. 10

2.2. Malapraktik Medis ............................................................................................. 13

2.3. Malapraktik Sebagai Gugatan Perdata ............................................................ 15

2.3.1. Wanprestasi ................................................................................................. 16

2.3.2. Perbuatan Melawan Hukum....................................................................... 20

2.4. Malapraktik sebagai Tuntutan Pidana ............................................................. 26

2.5. Malapraktik dalam Hukum Administrasi ........................................................ 34

2.5.1. Kode Etik dan Kode Etik Profesi ............................................................... 34

2.5.2. Kode Etik Kedokteran ................................................................................ 35

2.5.3. Produk Hukum Administrasi Negara ........................................................ 37

2.5.4. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) ............. 39

2.5.5. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) .................................... 42

BAB III .......................................................................................................................... 47

KESIMPULAN ............................................................................................................. 47

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... iii

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam UUD 1945 Pasal 34 ayat (3) berbunyi, “Negara bertanggung jawab
atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang
layak”. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan
yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Sedangkan
pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah penyelenggaraan upaya kesehatan
oleh bangsa Indonesia untuk mencapai kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap
penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal,
sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional.
Memperoleh pelayanan kesehatan adalah hak asasi setiap manusia yang
tanggungjawab pelaksanaannya ada pada pemerintah. Pemerintah menyadari
bahwa rakyat yang sehat merupakan salah satu aset dan tujuan utama dalam
mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karena itu, pemerintah
berkewajiban menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau bagi
masyarakat, membiayai pelayanan kesehatan yang bersifat public goods seperti
imunisasi, pemberantasan penyakit menular, dan kewajiban membiayai pelayanan
kesehatan orang yang kurang mampu dan usia lanjut.1
Dokter sebagai anggota profesi yang mengabdikan ilmunya untuk
kepentingan umum, mempunyai kebebasan dan kemandirian yang berorientasi
kepada nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan kode etik kedokteran. Kode etik
kedokteran ini bertujuan untuk mengutamakan kepentingan dan keselamatan
pasien, menjamin bahwa profesi kedokteran harus senantiasa dilaksanakan dengan
niat yang luhur dan dengan cara yang benar. Seorang dokter sebelum melakukan
praktik kedokterannya atau pelayanan medis telah melakukan pendidikan dan
pelatihan yang cukup panjang. Sehingga masyarakat khususnya pasien banyak
sekali digantungkan harapan hidup dan/atau kesembuhan dari pasien serta

1
Wahyu Wiradinata, “Dokter, Pasien, dan malapraktik”, Mimbar Hukum Vol. 26, No.1, Edisi
Ferbuari 2014. Hal. 43-53.

1
keluarganya yang sedang menderita sakit. Namun seperti kita ketahui, dokter
tersebut sebagai manusia biasa yang penuh dengan kekurangan dalam
melaksanakan tugas kedokterannya yang penuh dengan resiko. Seperti pasien yang
memiliki kemungkinan cacat atau meninggal dunia setelah ditangani dokter dapat
saja terjadi, walaupun dokter telah melakukan tugasnya sesuai standar profesi atau
standar pelayanan medik yang baik. Keadaan semacam ini biasa disebut sebagai
resiko medik, namun terkadang dimaknai lain oleh pihak-pihak diluar profesi
kedokteran sebagai medical malpractice.
Namun tidak dapat dipungkiri memang masih ada kasus malapraktik
kedokteran di Indonesia dikarenakan dokter yang dengan sengaja atau akibat lalai
yang tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan baik dalam
kode etik kedokteran, standar profesi, maupun standar pelayanan medik, yang
akhirnya mengakibatkan pasien mengalami kerugian. Pada peraturan Perundang-
Undangan Indonesia yang sekarang berlaku tidak ditemukan pengertian mengenai
malapraktik. Akan tetapi makna atau pengertian malapraktik justru didapati dalam
Pasal 11 ayat 1 huruf b UU No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan (UU
Tenaga Kesehatan) yang berbunyi seperti, “melakukan sesuatu hal yang seharusnya
tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah
jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan”. Namun telah
dinyatakan dihapus oleh UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (UU
Kesehatan). Oleh karena itu secara perundang-undangan, ketentuan Pasal 11 ayat
1b UU Tenaga Kesehatan dapat dijadikan acuan makna malapraktik yang
mengidentifikasikan malapraktik dengan melalaikan kewajiban, berarti tidak
melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.
Seiringan dengan perkembangan ilmu dan teknologi baik itu di bidang
hukum maupun kedokteran, hubungan antara dokter dan pasien juga semakin
berkembang kearah yang lebih maju. Selain itu dipengaruhi juga oleh tumbuhnya
kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Perubahan hubungan antara masyarakat
dan dokter sebagai pemberi jasa, dan perubahan masyarakat sebagai pengguna jasa
kedokteran tersebut, bila tidak didukung oleh komunikasi yang baik antara kedua
belah pihak dapat menimbulkan ketidakpuasan dan konflik antara keduanya seperti

2
yang telah diuraikan diatas. Konflik yang dimaksud disini sering terjadi akibat
adanya miskomunikasi dan malapraktik yang dilakukan oleh dokter terhadap
pasiennya. Konflik itu terbukti dengan masih rendahnya tingkat kesehatan
masyarakat dan masih banyaknya kesalahan dalam pengobatan pasien yang
menimbulkan cacat bahkan kematian.
Oleh karena itu, penting bagi pasien untuk mendapatkan perlindungan
hukum. Perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen didahului dengan
adanya hubungan profesional antara dokter dengan pasien. Selain hubungan hukum
antara dokter dengan pasien, sangat perlu diperhatikan bahwa peran rumah sakit
juga penting dalam menerapkan perlindungan terhadap pasien. Menurut Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan
Konsumen), secara implisit pasien rumah sakit juga termasuk sebagai konsumen.
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang, dan atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain. Secara umum pasien dilindungi oleh UU Perlindungan
Konsumen, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(UU Praktik Kedokteran), dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (UU Kesehatan).2
Maka dari itu hal ini perlu menjadi perhatian, khususnya bagi para penegak
hukum dalam penyelesaian tindak perdata, pidana, administrasi negara, dan upaya
penegakan hukumnya apabila terjadi malapraktik kedokteran. Tindakan medik
seperti apa yang dimaksud sebagai malapraktik ditentukan oleh organisasi profesi
atau badan khusus yang dalam hal ini penegak hukum dibentuk untuk mengawasi
tugas profesi berdasarkan peraturan-perundang-undangan dan kode etik. Karena
setiap tindakan yang terbukti sebagai tindakan malapraktik akan dikenakan sanksi
hukum.

2
Eni Dasuki Suhardini, “Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Sebagai Pengguna Jasa Pelayanan
Rumah Sakit Swasta”, (https://media.neliti.com/media/publications/281784-perlindungan-hukum-
terhadap-pasien-sebag-0c99d14b.pdf diakses pada 24 Juni 2021).

3
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan malapraktik kedokteran dengan tuntutan perdata,
pidana, dan administrasi negara?
2. Bagaimana hubungan antara inspanningsverbintenis dengan
unconscionability?

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Praktik Kedokteran


UU Praktik Kedokteran sering dipahami sebagai (sama dengan)
hukum kedokteran atau juga hukum kesehatan (health law/medical law).
Pandangan tersebut muncul bila hukum dimaknai sebatas peraturan untuk
memenuhi kebutuhan praktis, yaitu untuk menyelesaikan permasalahan
yang dihadapi masyarakat dalam hubungannya dengan tenaga kesehatan
yang inti permasalahannya berkaitan dengan penyelenggaraan praktik
kedokteran. Hermien menyatakan bahwa ketentuan dalam UU Kesehatan
serta peraturan pelaksanaannya, belum mencerminkan hukum kesehatan.
Selanjutnya Van der Mijn menyatakan bahwa Hukum Kesehatan meliputi
ketentuan yang secara langsung mengatur masalah kesehatan, penerapan
ketentuan hukum pidana, hukum perdata, serta hukum administratif yang
berhubungan dengan masalah kesehatan. A body of rules that relates
directly to the case for health as well as to the application of general civil,
criminal and administrative law, Hukum kedokteran memiliki ruang
lingkup seperti di bawah ini: a. Peraturan perundang undangan yang secara
langsung dan tidak langsung mengatur masalah bidang kedokteran,
contohnya: UU Praktik Kedokteran b. Penerapan ketentuan hukum
administrasi, hukum perdata dan hukum pidana yang tepat untuk hal
tersebut c. Kebiasaan yang baik dan diikuti secara terus menerus dalam
bidang kedokteran, perjanjian internasional, serta perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang diterapkan dalam praktik kedokteran,
menjadi sumber hukum dalam bidang kedokteran d. Putusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, menjadi sumber hukum dalam
bidang kedokteran. Uraian di atas menunjukkan bahwa UU Praktik
Kedokteran hanya salah satu aspek hukum yang berkaitan dengan
penyelenggaraan praktik kedokteran dan tidak dapat disebut sebagai hukum
kedokteran ataupun hukum kesehatan.

5
Menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter
dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
Pengaturan penyelenggaraan praktik kedokteran dilandaskan pada asas
kenegaraan, keilmuan, kemanfaatan, kemanusiaan dan keadilan.
Keberadaan UU Praktik Kedokteran dimaksudkan untuk: (1) memberikan
perlindungan kepada pasien, (2) mempertahankan dan meningkatkan mutu
pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi, dan (3)
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, diatur pembentukan dua lembaga
independen yaitu Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), masing-masing
dengan fungsi, tugas dan kewenangan yang berbeda. Keberadaan KKI yang
terdiri dari Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi, dimaksudkan
untuk melindungi masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan dan
meningkatkan mutu pelayanan dokter dan dokter gigi.3

2.1.1. Hak dan Kewajiban dalam Hubungan Hukum Dokter dan


Pasien
Dokter adalah orang yang memiliki kewenangan dan izin
sebagaimana mestinya untuk melakukan pelayanan kesehatan,
khususnya memeriksa dan mengobati penyakit dan dilakukan
menurut hukum pelayanan di bidang kesehatan. Profesi kedokteran
merupakan profesi yang berkepentingan dengan kesejahteraan
manusia. Sering dikatakan bahwa para pengemban profesi di bidang
kedokteraan senantiasa melaksanakan perintah moral dan
intelektual. Menjadi dokter berarti mau melayani manusia yang sakit
agar dapat sembuh, dan melayani manusia yang sehat agar tidak

3
Hargianti Dini Iswandari, ”Aspek Hukum Penyelenggaran Praktik Kedokteran: Suatu Tinjauan
Berdasarkan UU No. 9/2004 Tentang Praktik Kedokteran”, Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan Vol. 09, 2006, hal. 52-57.

6
menderita sakit, baik melalui pencegahan maupun dengan
peningkatan derajat kesehatannya. Dengan demikian, semangat
pelayanan harus ada. Berbeda dengan pengertian dokter, dalam
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), tidak dijumpai kata
pasien. Pasien dalam kode etik tersebut diganti dengan kata
“penderita”. Kamus besar Bahasa Indonesia mengartikan pasien
sebagai orang yang sakit (yang dirawat dokter); penderita (sakit).
Pasal 1 angka 10 UU Praktik Kedokteran menyebutkan: “Pasien
adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah
kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang
diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada
dokter atau dokter gigi.” Dari penjelasan pengertian dokter dan
pasien di atas, maka dalam suatu penyelenggaraan praktik
kedokteran, terjadilah suatu hubungan antara dokter dengan pasien
yang dikenal dengan hubungan terapeutik, yang merupakan suatu
hubungan hukum karena dilakukan oleh subjek hukum dan
menimbulkan akibat hukum.
Pasal 52 UU Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa Hak
Pasien adalah mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang
tindakan medis yang mencakup diagnosis dan tata cara tindakan
medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan
lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, serta
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Pasien juga berhak
meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain, mendapatkan
pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis
serta mendapatkan isi rekam medis. Kewajiban pasien diatur dalam
Pasal 53 UU Praktik Kedokteran yang menyebutkan bahwa pasien
haruslah memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang
masalah kesehatannya; mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau
dokter gigi; mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan

7
kesehatan dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang
diterima.
Pasal 50 UU Praktik Kedokteran menjelaskan bahwa dokter
atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai hak;
1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional,
2. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan
standar prosedur operasional,
3. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya, dan
4). Menerima imbalan jasa.
Kewajiban dokter atau dokter gigi terhadap pasien dalam
melaksanakan pelayanan kesehatan, diatur dalam Pasal 51 UU
Praktik Kedokteran, yang telah menentukan secara normatif tentang
serangkaian kewajiban dokter atau dokter gigi dalam melakukan
pelayanan kesehatan yang harus dilaksanakannya kepada pasien:
1. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
2. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan
kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya.
5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.
Menurut Bahder Johan Nasution hubungan dokter dengan
pasien merupakan transaksi terapeutik yaitu hubungan hukum yang

8
melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Berbeda
dengan transaksi yang biasa dilakukan masyarakat, transaksi
terapeutik memiliki sifat atau ciri yang berbeda, kekhususannya
terletak pada objeknya. Objeknya ini melakukan upaya atau terapi
untuk penyembuhan pasien. Transaksi terapeutik adalah suatu
transaksi untuk menentukan atau upaya mencari terapi yang paling
tepat bagi pasien yang dilakukan oleh dokter. Menurut hukum, objek
dalam transaksi terapeutik bukan kesembuhan pasien, melainkan
mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien. Sebagaimana
umumnya suatu perikatan, dalam transaksi terapeutik juga terdapat
para pihak yang mengingatkan diri, yaitu dokter sebagai pihak yang
melaksanakan atau memberikan pelayanan medis dan pasien sebagai
pihak yang menerima pelayanan medis.
Terdapat hal–hal khusus dalam transaksi terapeutik. Disini
pasien merupakan pihak konsumen yang meminta pertolongan,
sehingga relatif lemah kedudukannya dibandingkan dokter sebagai
produsen. Untuk mengurangi kelemahan tersebut, dikenal Informed
Consent, yaitu suatu hak pasien untuk mengizinkan dilakukannya
suatu tindakan medis. Informed consent merupakan suatu kehendak
sepihak secara yuridis, yaitu dari pihak pasien, dokter tidak harus
turut menandatanganinya. Pihak pasien dapat membatalkan
pernyataan setujunya setiap saat sebelum tindakan medis dilakukan.
Padahal menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian hanya
dapat dibatalkan atas persetujuan kedua belah pihak, pembatalan
sepihak dapat mengakibatkan timbulnya gugatan ganti kerugian.
Pasal 2 dan Pasal 3 Permenkes Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran ini juga menegaskan bahwa semua tindakan kedokteran
yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan,
dimana persetujuan ini dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.
Persetujuan diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang

9
diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan. Setiap
tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus
memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang
berhak memberikan persetujuan. Jika terjadi keadaan gawat darurat
maka untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah
kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik
kembali oleh yang memberi persetujuan sebelum dimulainya
tindakan. Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran ini harus
dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan.
Pada Pasal 7 Permenkes tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran disebutkan bahwa penjelasan tentang tindakan
kedokteran yang disampaikan pada pasien atau keluarganya harus
mencakup beberapa hal, seperti; diagnosis dan tata cara tindakan
kedokteran, tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan, alternatif
tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin
terjadi, prognosis terhadap tindakan yang dilakukan, dan perkiraan
pembiayaan. Informasi-informasi yang disebutkan diatas
merupakan kewajiban dokter untuk memberikan penjelasan secara
lengkap sebagai pemenuhan hak pasien untuk mendapatkan
informasi yang benar, jelas dan jujur, untuk menindaklanjuti hak
pasien untuk ikut menentukan tindakan yang diambil dalam
penyembuhan penyakitnya.4

2.1.2. Hubungan Inspanningsverbintenis dengan Unconscionability


Transaksi terapeutik yang mencakup kuratif, preventif,
rehabilitatif dan promotif antara pasien dan dokter terjadi pada saat
dokter menyetujui permintaan pasien untuk menyembuhkan

4
Yussy A. Mannas, “Hubungan Hukum Dokter dan Pasien Serta Tanggung Jawab Dokter Dalam
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan”, Jurnal Cita Hukum, Vol. 6 No. 1, 2018. Hal. 163.

10
penyakitnya, sejak itu dokter bertanggung jawab terhadap pasien.
Transaksi terapeutik ini dapat dibedakan dalam dua kategori:
a. Resultaatsverbintenis, yaitu perikatan berdasarkan prestasi
atau hasil kerja. Dokter dapat menjanjikan hasil kerjanya
kepada pasien, misalnya: dokter gigi yang membuat gigi
palsu, dokter ahli ortopedi yang membuat protesa kaki,
dokter ahli bedah kosmetik yang memperbaiki agar hidung
mancung atau bentuk bagian tubuh lainnya. Bahkan di Eropa
operasi yang dianggap mudah yang dapat diperjanjikan
hasilnya, dimasukkan dalam resultaatsverbintenis,
sedangkan operasi yang rumit dan sulit termasuk
inspanningsverbintenis.
b. Inspanningsverbintenis atau perjanjian daya
upaya/usaha/ikhtiar yaitu perikatan berdasarkan daya
upaya/usaha/ikhtiar yang maksimal untuk mencapai suatu
hasil. Pasien memberikan "kepercayaan" sepenuhnya kepada
dokter bahwa dokter akan berdaya upaya, berusaha
berikhtiar, semaksimal mungkin untuk menyembuhkan
pasien (fiduciary relationship, trust, vertrouwen). Jadi
Dokter Tidak menjanjikan atau tidak menjamin pasien pasti
sembuh. Jika dokter dapat menjanjikan atau menjamin
kesembuhan pasien, maka secara yuridis
inspanningsverbintenis beralih menjadi
resultaatsverbintenis.

Pada umumnya pengertian pasien sering keliru yaitu dokter


harus dapat menyembuhkan pasien. Dalam hal ini bukan
"kesembuhan" yang diperjanjikan dokter, tetapi "daya upaya/
usaha/ikhtiar maksimal" dari dokter menyembuhkan pasien,
berdasarkan Standar Profesi Medis. Dokter tidak dapat menjamin
100% kesembuhan pasien. Bahkan dalam Pasal 170 huruf (d) UU

11
Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa barang siapa dengan
sengaja melakukan praktik kedokteran menjanjikan suatu
keberhasilan tindakan medis, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun,
dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 150.000.000,-(seratus lima
puluh juta rupiah), sedangkan bunyi Pasal 34: Tenaga medis dalam
menyelenggarakan praktik kedokteran tidak dibolehkan
memberikan janji keberhasilan atas setiap tindakan medis yang
dilakukan. Hal ini dikarenakan ilmu kedokteran adalah uncertainty
(tidak ada kepastian), orang mengatakan: medicine is a science of
the uncertainty, an art of the probability.5
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien membawa
kedudukan yang tidak seimbang di antara keduanya. Hubungan
tersebut merupakan suatu hubungan ikhtiar atau usaha maksimal.
Dokter tidak menjanjikan kesembuhan, akan tetapi berikhtiar
sekuatnya agar pasien sembuh. Dalam konteks ini, hubungan ikhtiar
(menjanjikan) tidak dikenal dalam ilmu hukum karena hubungan
ikhtiar (menjanjikan) tidak memberi kepastian hukum. Hubungan
hukum berat sebelah ini dikenal dengan doktrin ketidakadilan atau
keadaan yang berat sebelah (unconscionability). Doktrin ini terdapat
dalam hukum kontrak yang mengemukakan bahwa suatu kontrak
batal atau dapat dimintakan pembatalan oleh pihak yang dirugikan
apabila dalam kontrak tersebut terdapat klausula yang tidak adil dan
memberatkan salah satu pihak walaupun kedua belah pihak telah
menandatangani kontrak yang bersangkutan. Biasanya doktrin ini
mengacu kepada posisi tawar-menawar (bargaining position) dalam
kontrak tersebut yang tidak seimbang atau berat sebelah karena tidak
terdapat pilihan dari pihak yang dirugikan disertai klausula dalam

5
Sarsintorini Putra, “Inspannings Verbintenis dan Resultaat Verbintenis dalam Transaksi
Terapeutik Kaitannya dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”, Jurnal
Hukum, Vol. 8 No. 18, 2001. Hal. 199-211.

12
kontrak yang sangat tidak adil sehingga memberikan keuntungan
yang tidak wajar.
Di lain sisi, doktrin ini juga bisa berlaku bagi keadaan pasien
yang yang tidak memiliki pengetahuan tentang kesehatan dan
mengharuskannya berada pada posisi “memerlukan pengetahuan“
orang lain untuk bisa menyembuhkan keadaan sakit yang ada pada
dirinya. Dalam hal ini, dokter yang memiliki pengetahuan tersebut,
memberikan saran dan nasihat tentang penyakit si pasien dengan
mendasarkan pada “upaya penyembuhan”. Padahal, apa yang telah
dilakukan dokter terhadap pasien tersebut sudah merupakan bentuk
kesepakatan yang kemudian berlaku hak dan kewajiban bagi kedua
belah pihak beserta akibat-akibat hukumnya. Posisi ini yang
kemudian membawa pada pasien pada keadaan yang berat sebelah
(unconscionability). Hal ini yang akhirnya menyebabkan
Inspanningsverbintenis menjadi alasan Unconscionability.
Sehubungan dengan adanya kewajiban dalam hubungan
dokter pasien yakni inspanningsverbintenis, berdasarkan perjanjian
pengupayaan maksimal, artinya dokter bukan berjanji untuk
memberi kepastian untuk sembuh, namun berupaya agar pasien
dapat sembuh. Upaya inilah yang kemudian dihubungkan dengan
adanya dedikasi, sehingga bila ada keterlambatan dalam praktik
karena masalah pribadi atau praktik di tempat lain akan
menyebabkan rusaknya ikatan tersebut. Apabila ini diabaikan dan
tidak mendapatkan perhatian, maka hubungan tersebut akan
menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat. 6

2.2. Malapraktik Medis


Malapraktik adalah kelalaian atau kecerobohan oleh seseorang yang
profesional. Jadi, dalam hal ini menyangkut tindakan kekompetenan

6
Budianto dan Utama, Op.Cit., Hal 108.

13
professional seseorang, dengan pendidikan dan keterampilan profesional
untuk bertindak dengan cara yang wajar dan bijaksana. Sedangkan
malapraktik medis didefinisikan sebagai setiap tindakan atau kelalaian oleh
seorang dokter selama perawatan pasien yang menyimpang dari norma-
norma praktik yang diterima dalam komunitas medis dan menyebabkan
cedera pada pasien. Soerjono Soekanto dan Kartono Muhammad
berpendapat bahwa belum ada parameter yang tegas tentang batas
pelanggaran kode etik dan pelanggaran hukum.
Terkadang sekalipun pasien atau keluarganya mengetahui bahwa
kualitas pelayanan yang diterimanya kurang memadai, seringkali pasien
atau keluarganya lebih memilih diam karena kalau mereka menyatakan
ketidakpuasannya kepada dokter, mereka khawatir kalau dokter akan
menolak menolong dirinya yang pada akhirnya bisa menghambat
kesembuhan sang pasien. Namun ada juga pasien yang tidak memilih untuk
diam apabila mendapatkan pelayanan yang tidak maksimal. Kedudukan
pasien yang semula hanya sebagai pihak yang bergantung kepada dokter
dalam menentukan cara penyembuhan (terapi), kini berubah menjadi
sederajat dengan dokter. Dengan demikian dokter tidak boleh lagi
mengabaikan pertimbangan dan pendapat pihak pasien dalam memilih cara
pengobatan, termasuk pendapat pasien untuk menentukan pengobatan
dengan operasi atau tidak. Meskipun telah diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medis, Permenkes No 290/MenKes/Per/III/2008, Pasal 45 UU No
29 th 2004, serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008
tentang informed consent, namun ketentuan ini tidak membebaskan dokter
dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian.
Akibatnya apabila pasien merasa dirugikan (sedikit pun) dalam
pelayanan dokter, pasien langsung menempuh jalur hukum untuk

14
melakukan atau mengajukan gugatan ganti rugi ke pengadilan terhadap
upaya pengobatan yang dilakukan dokter yang dianggap merugikan dirinya.
Ini dilakukan karena dalam masyarakat telah berkembang kesadarannya
untuk menggugat ganti rugi terhadap upaya penyembuhan yang dilakukan
oleh dokter. Hak untuk mengajukan gugatan ini pun diatur dalam pasal 66
ayat (3) UU Praktik Kedokteran, bahwa pengaduan ke MKDKI, tidak
menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak
pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata
ke pengadilan.
Yang sering menjadi persoalan adalah perlindungan hukum dan
bukan mengenai masalah tanggung jawab hukum serta kesadaran hukum
dokter dalam menjalankan profesinya. Hal ini menunjukkan kurangnya
pengertian mengenai Etika dan Hukum dalam kalangan dokter. Demikian
juga kerancuan pemahaman atas masalah medical malpractice (kesalahan
profesional medis), masih sering dianggap sebagai pelanggaran norma etis
profesi saja yang tidak seharusnya diberikan sanksi ancaman pidana. Sisi
lain, dalam dunia kedokteran, segala bentuk kejadian yang muncul dan tidak
diinginkan, baik oleh pasien dan dokter, tidak serta merta merupakan bentuk
kelalaian atau medical malpractice, tetapi ada bentuk lain juga yang dikenal
dengan risiko medis.

2.3. Malapraktik Sebagai Gugatan Perdata


Dapat dilihat bahwa dasar dari hubungan hukum antara dokter dan
pasien adalah perjanjian yang disebut transaksi terapeutik. Oleh karena itu,
dalam hal terjadi malapraktik atau kelalaian medis, sengketa-sengketa
tersebut sering dibawa ke ranah perdata untuk digugat ganti rugi. Dalam
praktik perdata, malapraktik medis dapat dikategorikan sebagai wanprestasi
ataupun perbuatan melawan hukum.

15
2.3.1. Wanprestasi
Ditinjau dari segi hukum perdata, tindakan medis merupakan
pelaksanaan suatu perjanjian antara dokter dengan pasien. maka
untuk sahnya perjanjian harus dipenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
1. Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat kesepakatan, dalam perjanjian terapeutik,
tidak seperti halnya perjanjian biasa, terdapat hal-hal khusus.
Di sini pasien merupakan pihak yang meminta pertolongan
sehingga relatif lemah kedudukannya dibandingkan dokter.
Untuk mengurangi kelemahan tersebut, telah bertambah
prinsip yang dikenal dengan “informed consent”, yaitu suatu
hak pasien untuk mengizinkan dilakukannya suatu tindakan
medis. Tindakan medis adalah suatu tindakan yang
dilakukan terhadap pasien berupa diagnostik atau terapeutik.
Pasal 2 Permenkes Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medis menyatakan: (1) Semua
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan. (2) Persetujuan dapat diberikan
secara tertulis maupun lisan. (3) Persetujuan sebagaimana
dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
informasi yang adequat tentang perlunya tindakan medis
yang bersangkutan serta risiko yang dapat ditimbulkannya.
(4) Cara penyampaian dan isi informasi disesuaikan dengan
tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi pasien.
Setiap tindakan medis yang mengandung risiko
tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani
oleh yang berhak memberikan persetujuan. Selain itu, dokter

16
bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang
persetujuan tindakan medis. Apabila dokter yang melakukan
tindakan medis tanpa adanya persetujuan dari pasien atau
keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif, berupa
pencabutan surat izin praktiknya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Syarat kecakapan, seseorang dikatakan cakap hukum
apabila ia pria atau wanita telah berumur 21 tahun, atau bagi
pria apabila belum berumur 21 tahun tetapi telah menikah.
Permenkes 585/Men.Kes/PER/IX/1989 tentang persetujuan
tindakan medis telah diatur secara jelas, bahwa persetujuan
diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan
sadar dan sehat mental, yaitu yang telah berumur 21 (dua
puluh satu) tahun atau telah menikah. Terhadap pasien
dewasa yang berada di bawah pengampuan (curatele), maka
persetujuan diberikan oleh orang tua/wali/curator,
sedangkan pasien dewasa yang menderita gangguan mental,
persetujuan diberikan oleh orang tua/wali/curator. Apabila
pasien tersebut, adalah pasien di bawah umur 21 (dua puluh
satu) tahun dan tidak mempunyai orangtua/wali dan/atau
orangtua/wali berhalangan, persetujuan diberikan oleh
keluarga terdekat dan secara medis berada dalam keadaan
gawat dan/atau darurat yang memerlukan tindakan medis
segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan
dari siapapun.
3. Suatu hal tertentu
Syarat hal tertentu. Ketentuan mengenai hal tertentu
ini menyangkut objek hukum atau bendanya (dalam hal ini

17
pelayanan medis) yang perlu ditegaskan ciri-cirinya. Dalam
suatu perjanjian medis umumnya objeknya adalah “usaha
penyembuhan”, dimana dokter harus berusaha semaksimal
mungkin untuk menyembuhkan penyakit pasien. Oleh
karena itu, secara yuridis, umumnya termasuk jenis
“inspanningsverbintenis”, dimana dokter tidak memberi
jaminan kepastian dalam menyembuhkan penyakit tersebut
tetapi dengan ikhtiar dan keahliannya dokter diharapkan
dapat membantu dalam upaya penyembuhan.
4. Suatu sebab yang halal
Syarat sebab yang halal. Dalam pengertian ini, pada
objek hukum yang menjadi pokok perjanjian tersebut harus
melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum.
Dengan perkataan lain, objek hukum tersebut harus memiliki
sebab yang diizinkan. KUH Perdata Pasal 1337 menyatakan
bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan atau
ketertiban umum. Misalnya dokter dilarang melakukan
abortus provocatus criminalis menurut KUHP Pasal 348.
Apabila objek perjanjian medis ditinjau dari sudut pandang
ilmu kedokteran maka kita dapat merincinya melalui upaya
yang umum dilakukan dalam suatu pelayanan kesehatan bisa
dimulai dari usaha promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif.

Setiap perjanjian pasti mengakibatkan akibat hukum.


berkaitan dengan hal tersebut, sesuai pasal 1339 KUH Perdata
bahwa perjanjian hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuan

18
dibuatnya perjanjian, yaitu penyembuhan penyakit pasien dengan
mengacu kepada kebiasaan dan kepatutan yang berlaku baik
kebiasaan yang berlaku dalam bidang pelayanan medis maupun dari
pihak kepatutan pasien. Dalam memberikan pelayanan medis,
dokter harus menjaga mutu pelayanannya dengan berpedoman pada
standar pelayanan medis yang telah disepakati bersama dengan
rumah sakit maupun organisasi profesi (IDI) sebagai kebiasaan yang
berlaku. Dari seorang dokter dapat disyaratkan bahwa ia di dalam
melakukan suatu tindakan medis harus: bertindak dengan hati-hati
dan teliti; berdasarkan indikasi medis; tindakan yang dilakukan
berdasarkan standar profesi medis; dan adanya persetujuan pasien
(informed consent) sehingga jika seorang dokter (1) tidak
melakukan, (2) salah melakukan, atau (3) terlambat melakukan
sehingga sampai menimbulkan kerugian/cedera kepada pasien,
maka ia dapat dituntut berdasarkan wanprestasi seperti tercantum di
dalam KUH Perdata, Pasal 1243, yaitu: “Penggantian dari biaya,
kerugian dan bunga yang timbul karena tidak dipenuhinya suatu
perjanjian hanya dapat dituntut, apabila si berhutang sesudah
ditagih, tetap lalai tidak memenuhi kewajibannya, atau apabila si
berhutang wajib memberi atau melakukan sesuatu, hanya dapat
memberikan atau melakukan dalam jangka waktu tertentu, dan
waktu mana telah dilampauinya.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan
hukum antara dokter dan pasien bukan hubungan hukum yang
bersifat khusus, artinya antara dokter dan pasien, meskipun bersifat
inspanningsverbintenis, tetapi tunduk pada ketentuan- ketentuan
Buku III KUH Perdata, khususnya tentang syarat sahnya hubungan
hukum antara mereka. Dalam bentuk hubungan ini, apabila terjadi

19
sengketa antara dokter dengan pasien yang didasarkan pada
penyelenggaraan pelayanan medis, maka gugatan dapat diajukan
berdasarkan wanprestasi.7
Ganti rugi (pasien) akibat malapraktik dokter bilamana
didasarkan wanprestasi maka pasien harus mempunyai bukti-bukti
kerugian akibat tidak dipenuhinya kewajiban dokter sesuai dengan
standar profesi medis yang berlaku dalam kontrak terapeutik.
Wanprestasi disini berarti:
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali, atau
2. Terlambat memenuhi prestasi, atau
3. Memenuhi prestasi secara tidak baik.
Namun jika dokter tidak tepat pada waktunya memenuhi
kewajibannya bukan berarti bahwa dokter tidak berprestasi sama
sekali dapat diartikan apabila pemenuhan prestasi itu tidak ada
manfaatnya sama sekali bagi pasien penderita. Pertanggungjawaban
atas kerugian sebagai akibat wanprestasi, pasal yang efektif dari
KUHPerdata adalah 1371 yang berbunyi “Penyebaban luka atau
cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau karena kurang
hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain penggantian
biaya-biaya penyembuhan, menuntut penggantian kerugian
disebabkan karena luka atau cacat tersebut”.8

2.3.2. Perbuatan Melawan Hukum


Malapraktik medis adalah bagian spesifik dari hukum
gugatan yang berhubungan dengan ‘kelalaian’ profesional.
Kelalaian secara umum didefinisikan sebagai perilaku yang tidak

7
Ibid., hlm. 101-107
8
Joko Nur Sariono, “Akibat malapraktik dalam Profesi Kedokteran (Suatu Tinjauan Hukum
Perdata)”, Jurnal Perspektif, Volume VI, No.2 April 2001, hal. 105

20
memenuhi standar, standar dibuat agar hukum dapat memiliki
standar referensi perilaku beralasan yang akan dilakukan atau tidak
dilakukan oleh seseorang dalam keadaan serupa, untuk melindungi
orang lain dari risiko bahaya yang dapat diperkirakan.9
Dokter merupakan profesi mulia, yang melayani
kemanusiaan. seorang dokter saat merawat pasien terikat pada
beberapa tanggung jawab hukum dan etika. setiap kali seorang
dokter gagal untuk mempraktikkan perawatan yang aman dan
standar dan melangkah keluar dari batas-batas hukumnya, dokter
telah melakukan tindakan salah yang akan menimbulkan gugatan.
Kasus malapraktik medis biasanya didasarkan pada kelalaian.
Gugatannya berupa perbuatan melawan hukum. Penggugat biasanya
berpendapat bahwa dokter tersebut tidak bertindak dengan standar
perawatan yang sesuai ketika merawatnya. Meskipun tidak setiap
kesalahan atau hasil yang tidak menguntungkan akan
memungkinkan penggugat yang terluka untuk menetapkan unsur-
unsur yang diperlukan untuk kasus malapraktik medis, seorang
dokter akan bertanggung jawab secara hukum ketika ia gagal untuk
melaksanakan standar perawatan yang sesuai, dan kegagalan
tersebut menyebabkan kerusakan pada pasien untuk siapa dia
bertanggung jawab.
Termasuk kategori Perbuatan Melawan Hukum dengan
alasan bahwa Pelayanan kesehatan mempunyai sifat yang spesifik,
unik, altruistik karena objeknya manusia, berisiko tinggi (pasien
dapat menjadi cacat bahkan mati), dan bersifat mengutamakan
kebaikan untuk pasien. Disini dokter sebagai pelaku usaha tidak

9
I Gusti Ayu Aprasi Hadi, “Perbuatan Melawan Hukum dalam Pertanggungjawaban Dokter
Terhadap Tindakan malapraktik Medis”, Jurnal Yuridis, Volume 5, No.1 Juni 2018, hal. 102

21
dapat menjanjikan/menjamin secara pasti, meskipun demikian,
kekhawatiran bahwa dokter akan menyalahgunakan kelemahan
pasien, dapat disingkirkan, karena untuk melaksanakan praktik
kedokteran, seorang dokter harus memenuhi banyak persyaratan
moral dan hukum, mempunyai wewenang, kompetensi dan
tanggung jawab serta melaksanakan kode etiknya.10 Maka dari itu
dokter dapat disebut tidak melaksanakan kode etiknya sebagai syarat
melaksanakan praktik kedokteran yang akhirnya menyebabkan
seorang pasien cedera (kelalaian).
Dalam hal ini yang berlaku adalah Pasal 58 UU Kesehatan,
1365 KUH Perdata mengenai ketentuan perbuatan melanggar
hukum. Untuk dapat mengajukan gugatan malapraktik berdasarkan
perbuatan melanggar hukum harus dipenuhi 4 (empat) syarat seperti
yang tersebut dalam Pasal 1365 KUH Perdata, antara lain sebagai
berikut:
(1) Adanya kewajiban hukum dari pihak dokter untuk memberikan
perawatan atau pengobatan kepada pasien;
(2) Pelanggaran kewajiban ini disebabkan oleh kegagalan dokter
yang merawat, dalam mematuhi standar profesi;
(3) Hubungan kausal antara pelanggaran kewajiban tersebut dengan
cedera pada pasien; dan
(4) Adanya kerugian yang mengalir dari kerugian sehingga sistem
hukum dapat memberikan ganti rugi.11
Unsur pertama adalah adanya kewajiban hukum terhadap
pasien, tugas ini mulai berlaku setiap kali hubungan profesional
terjalin antara pasien dan penyedia layanan kesehatan. Gagasan

10
Putra, Op.Cit., hal. 199.
11
I Gusti Ayu Aprasi Hadi, Op.cit. hlm 105

22
umum tentang kewajiban hukum adalah bahwa dalam masyarakat
beradab, setiap orang memiliki kewajiban untuk menjaga orang lain
secara wajar. Memperluas konsep ini ke pengaturan profesional, di
mana seorang dokter memberikan layanan kepada pasien, dokter
dikatakan berhutang tugas perawatan profesional yang wajar kepada
pasien.
Unsur kedua, untuk menunjukkan bahwa pelanggaran tugas
profesional terjadi, pasien harus menggunakan konsep standar
perawatan. Standar perawatan umumnya mengacu pada perawatan
yang akan diberikan oleh profesional yang wajar dan memiliki
kedudukan yang sama kepada pasien. Untuk menetapkan
pelanggaran standar perawatan profesional, kesaksian saksi ahli
menjadi penting karena juri orang awam tidak dapat memahami
nuansa perawatan medis. Beberapa pelanggaran standar perawatan
sangat parah sehingga kesaksian ahli tidak diperlukan; dengan
demikian operasi pada anggota tubuh yang salah adalah pelanggaran
kewajiban yang jelas yang berbicara sendiri. Konsep ini ditangkap
dalam istilah hukum yang disebut res ipsa loquitur atau dikenal
dengan "hal itu sendiri berbicara" tetapi lebih sering diterjemahkan
sebagai "hal itu berbicara untuk dirinya sendiri"; dalam kasus seperti
itu, proses hukum dipersingkat dan juri dapat melanjutkan untuk
menentukan ganti rugi karena pelanggaran kewajiban jelas terlihat.
Unsur ketiga, Pelanggaran terhadap standar perawatan itu
sendiri, selain berpotensi menimbulkan masalah kualitas perawatan
bagi praktisi atau institusi medis, secara hukum tidak ada artinya
kecuali jika hal itu menyebabkan cedera pada pasien. Unsur ketiga
malapraktik medis, yaitu kausalitas. Untuk membuktikan unsur ini,
penggugat yang dirugikan harus menunjukkan hubungan langsung

23
antara kesalahan yang dituduhkan dan kerugian berikutnya. Sebagai
alternatif, pasien dapat menunjukkan hubungan yang cukup secara
hukum antara pelanggaran tugas dan cedera; konsep ini disebut
sebagai penyebab langsung.12
Unsur keempat dan terakhir, dari tuntutan malapraktik medis
disebut ganti rugi. Tuntutan malapraktik medis umumnya diakhiri
dengan perhitungan ganti rugi. Karena kerusakan moneter mudah
dihitung dan dikelola, pengadilan yang mendengarkan kasus
malapraktik medis akan menentukan ganti rugi uang untuk
mengkompensasi pasien yang terluka.13
Akibat malapraktik seorang dokter atas profesinya
membawa konsekuensi terhadap tanggung jawab dokter atas
profesinya tersebut, baik berupa tanggung jawab terhadap etik
kedokteran maupun berupa tanggung jawab hukum baik secara
pidana, perdata dan administrasi. Tanggung jawab hukum perdata
dari dokter atas profesinya yang melakukan kesalahan, kelalaian
(malapraktik) atas profesinya membawa akibat adanya tuntutan
ganti rugi dari pasien yang merasa dirugikan. Tuntutan ganti rugi
yang dimaksud didasarkan atas dokter telah melakukan perbuatan
melawan hukum. Tuntutan terhadap tindakan medis yang sesuai
dengan standar profesi tidak hanya dipandang sebagai suatu
kewajiban yang sekaligus merupakan hak dari dokter, tetapi juga
benar-benar harus disadari sebagai tanggung jawab dokter dalam
menjalankan profesinya. Tanggung jawab profesional dalam arti
tanggung jawab yang didasarkan pada kewajiban professional tidak

12
Venny Sulistyani, “Pertanggungjawaban Perdata Seorang Dokter dalam Kasus malapraktik
Medis”, Lex Jurnalica, Volume 12, No.2 Agustus 2015.
13
Nurma Khusna Khanifa, “Ganti Rugi Akibat malapraktik Kelalaian Medik: Komparasi Hukum
Islam dan Hukum Perdata”, Jurnal Syariati, Volume I, no.03 Mei 2016, hal. 463-464

24
dengan sendirinya menimbulkan pertanggungjawaban hukum. Ini
berarti bilamana dokter melakukan kesalahan dalam menjalankan
profesi ia dapat menuntut haknya terlebih dahulu memenuhi
tindakannya sesuai standar profesi medis yang ia miliki. Namun jika
ternyata ia memiliki dan tidak berhasil memenuhinya, barulah dapat
dipertanggung jawabkan menurut ketentuan hukum yang berlaku
yaitu untuk mengganti kerugian atas profesinya.14
Sehingga dapat disimpulkan perbedaan gugatan malapraktik
atas wanprestasi dan perbuatan melawan hukum adalah seorang
dokter dikatakan wanprestasi apabila melaksanakan apa yang
diperjanjikan tetapi tidak sebagaimana diperjanjikan. Jadi, jika
tenaga medis tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban
kontraktualnya dengan melakukan kesalahan professional, dia dapat
dikatakan melakukan wanprestasi dan dapat
dipertanggungjawabkan untuk membayar ganti rugi. Dalam hal
gugatan atas dasar wanprestasi ini harus dibuktikan bahwa dokter
tersebut benar adanya mengadakan suatu perjanjian dan melakukan
wanprestasi terhadap perjanjian tersebut (yang harus ada unsur
kesalahan). Sedangkan seorang dokter dikatakan melakukan
perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu melanggar hak
subjektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban
hukum atas melakukan perbuatan sesuatu baik ditinjau secara
objektif maupun subjektif, dan melakukan kelalaian yang
mengakibatkan kerugian (Pasal 1366 KUH Perdata). Dalam hal
gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum, unsur kesalahan itu
berdiri sendiri (schuld wet zelfstandig vereist) bila perlakuan medis
menyimpang dari standar profesi. Kerugian harus dibuktikan bahwa
apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga medis dalam menerapkan

14
Sariono, Op.Cit., hal. 106

25
ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim
digunakan di wilayah tersebut.15

2.4. Malapraktik sebagai Tuntutan Pidana


Setiap kelalaian praktik kedokteran membawa suatu dampak /
konsekuensi dalam hukum pidana dengan sanksi yang sifatnya dapat
dipaksakan oleh aparat negara yaitu, pemenjaraan. Sebagaimana yang kita
ketahui, bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
barang siapa yang melanggar larangan tersebut akan mendapatkan
konsekuensi atas perbuatannya tersebut. Jika, dalam bertindak / melakukan
sesuatu kita tidak melakukan sesuatu yang melanggar hukum / aturan, maka
kita tidak perlu takut terhadap hukum pidana, karena hukum pidana ada
untuk membangun keadilan bagi masyarakat atas perbuatan-perbuatan
orang yang merugikan orang lain, dan melakukan segala cara untuk
mendapatkan / menghalalkan segala cara untuk apa yang mereka mau,
seperti menyuap, melakukan malapraktik, membunuh, dan sebagainya.
Unsur - unsur tindak pidana dalam sebuah praktik kedokteran yang
dapat dituntut / diselesaikan melalui proses pidana adalah malapraktik yang
memenuhi unsur-unsur:
1. Ada kesalahan dokter;
2. Kesalahan tersebut akibat dokter tidak mempergunakan ilmu
pengetahuan dan tingkat keterampilan yang seharusnya dilakukan;
3. Tidak berdasarkan standar profesi (yang telah ditentukan
berdasarkan bidang keahliannya); dan
4. Sehingga mengakibatkan pasien terluka atau cacat atau meninggal

15
Ni Komang Hyang Permata, “Pertanggungjawaban Perdata Tenaga Medis Apabila Melakukan
malapraktik Medis”, Jurnal Kertha Semaya, Volume 8, No.4 2020, hal. 514-516

26
Apabila, dokter dalam menjalankan praktik kedokteran telah
memenuhi unsur-unsur di atas, maka dokter tersebut dikatakan sebagai telah
melakukan tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa suatu perbuatan
dapat dikatakan sebagai tindak pidana jika memenuhi unsur-unsur; adanya
perbuatan (manusia), memenuhi rumusan undang-undang, dan bersifat
melawan hukum. Tindak pidana pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua,
yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur yang
terdapat dalam diri si pelaku tindak pidana. Unsur subjektif tersebut
meliputi :
1. Kesengajaan (dolus)
Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur
kesengajaan (dolus), yang layak mendapatkan hukuman
pidana adalah orang yang melakukan sesuatu dengan
kesengajaan. Kesengajaan harus mengenai ketiga unsur dari
tindak pidana, yaitu: pertama, perbuatan yang dilarang;
kedua, akibat yang menjadi pokok, alasan diadakan larangan
itu; dan ketiga, bahwa perbuatan itu melanggar hukum.
Umumnya, kesengajaan itu terdapat tiga macam, yaitu ke-1:
kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai
sesuatu (opzet als oogmerk); ke-2: kesengajaan yang bukan
mengandung suatu tujuan, melainkan disertai keinsyafan
bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (opzet bij zekerheidan
sebagainyaewustzijn) atau kesengajaan secara keinsyafan
kepastian; dan ke-3: kesengajaan seperti sub-2 tetapi dengan
disertai keinsyafan hanya ada kemungkinan (bukan
kepastian) bahwa sesuatu akibat akan terjadi (opzet bij
mogelijkheids-bewustzijn atau kesengajaan secara
keinsyafan kemungkinan).

27
2. Ketidaksengajaan (culpa)
Culpa adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi
dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis,
yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang
tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati
sehingga akibat yang tidak sengaja terjadi. Lebih lanjut
tentang kealpaan ini, diatur dalam Pasal 359 KUHP, yang
berbunyi, “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaan nya)
menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling
lama satu tahun”. kata kesalahan tersebut diartikan sebagai
lalai atau culpa. Dalam hukum pidana sendiri, kelalaian juga
dikenal sebagai tindak pidana, yaitu dengan pembagian delik
dolus (delik kesengajaan) dan delik culpa (delik kelalaian).
Untuk lebih mendalami bagaimana kelalaian dapat menjadi
tindak pidana yang harus diberi sanksi, maka harus dilihat
unsur-unsur yang ada dalam diri si pelaku, antara lain:
adanya kekurangan pemikiran (penggunaan akan yang
diperlukan); kekurangan pengetahuan yang diperlukan; dan
kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan. Dari ketiga
kekurangan ini, terjadinya kesalahan dalam membuat
diagnosis dengan akibat timbul kesalahan dalam mengambil
keputusan pemberian pengobatan yang sesuai. Dalam
menjalankan praktiknya, seorang dokter terkadang harus
dengan sengaja menyakiti atau menimbulkan luka pada
tubuh pasien, misalnya : saat harus mengoperasi pasien,
pastilah seorang dokter akan membedah tubuh sang pasien,
disaat itulah dokter akan meninggalkan bekas dari bedahnya

28
di tubuh pasien tersebut namun, hal itu dilakukan sendiri
untuk menyelamatkan pasien. Dokter juga harus berhati-hati
dalam meninggalkan bekas luka di badan pasien agar
dikemudian hari tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,
misalnya : terjadi infeksi di luka bekas operasi yang dahulu
pernah dijalani oleh pasien tersebut. Bila hal ini terjadi,
pasien akan menganggap dokter melakukan
kelalaian/kealpaan.
3. Niat (voornemen)
Hal ini terdapat dalam percobaan (poging) - Pasal 53
KUHP, yang berbunyi; “Mencoba melakukan kejahatan
dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan
itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri.” Menurut Pasal 53 KUHP, supaya percobaan pada
kejahatan dapat dihukum, maka harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut: 1. Niat sudah ada untuk berbuat
kejahatan itu; 2. Orang sudah memulai berbuat kejahatan itu;
dan 3. Perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai, oleh
karena terhalang oleh sebab-sebab yang timbul kemudian,
tidak terletak dalam kemauan penjahat itu sendiri.
4. Maksud (oogmerk)
Pada pasal 362 KUHP menyebutkan; “Barang siapa
mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak
enam puluh ribu”. Dalam hal ini dirumuskan sebagai

29
pencurian, pengambilan barang orang lain, dengan maksud
memiliki barang tersebut secara melawan hukum.
Pentingnya adalah danya maksud dalam melakukan tindak
pidana tersebut
5. Dengan rencana terlebih dahulu (met voorbedachte rade)
Adanya perencanaan sebelum melakukan tindak
pidana tersebut. Hal ini dapat dilihat di dalam pasal 340
KUHP; “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana
terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun.”
6. Perasaan takut (vrees)
Sebuah perbuatan pembelaan baru dapat dikatakan
sebagai pembelaan terbatas yang melampaui batas ketika
keadaan batin atau jiwa benar-benar berguncang dengan
hebat, tidak hanya karena faktor perasaan takut atau
ketakutan karena serangan dan ancaman serangan yang ia
terima tetapi juga harus terdapat faktor kemarahan dari
dalam dirinya yang sangat mempengaruhi jiwanya. Sebuah
pembelaan terpaksa yang melampaui batas dapat dikatakan
terpenuhi unsurnya apabila semua faktor-faktor di dalamnya
terpenuhi. 16
Unsur objektif yaitu unsur di luar diri si pelaku tindak pidana, meliputi :
1. Perbuatan atau kelakuan manusia

16
Arya Bagus Wardhana, “ Makna Yuridis Kegoncangan Jiwa Yang Hebat Dalam Pasal 49 Ayat
(2) KUHP Berkaitan Dengan Tindak Pidana Penganiayaan”, Jurnal Ilmiah, (Agustus, 2015).

30
Tidak melaporkan kepada yang berwajib atau kepada yang
terancam, sedangkan ia mengetahui ada suatu permufakatan
jahat, adanya niat untuk melakukan suatu kejahatan tertentu.
2. Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik
Hal ini terdapat dalam delik-delik materiil atau delik-delik
yang dirumuskan secara materiil, misalnya pembunuhan-
Pasal 338 KUHP, penganiayaan-Pasal 351 KUHP,
penipuan-Pasal 378 KUHP, dan lain lainnya.
3. Unsur melawan hukum
Sekalipun dalam rumusan delik terdapat unsur melawan
hukum, namun tidak berarti bahwa perbuatan tersebut lalu
tidak bersifat melawan hukum.
4. Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana
Ada beberapa tindak pidana yang untuk dapat memperoleh
sifat tindak pidananya itu memerlukan hal-hal objektif yang
menyertainya, seperti: penghasutan-Pasal 160 KUHP;
melanggar kesusilaan-Pasal 282 KUHP; pengemisan-Pasal
504 KUHP; mabuk-Pasal 536 KUHP. Tindak pidana
tersebut harus dilakukan di muka umum.
5. Unsur yang memberatkan pidana
Hal ini terdapat dalam delik-delik yang dikualifikasikan oleh
akibatnya, yaitu karena timbulnya akibat tertentu, maka
ancaman pidananya diperberat. Seperti: merampas
kemerdekaan seseorang.
6. Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana
Pada hakikatnya tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas
unsur-unsur lahir oleh karena perbuatan, yang mengandung
kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya, adalah

31
suatu kejadian dalam alam lahir. Karena keadaan yang
memberatkan tersebut dinamakan unsur-unsur yang
memberatkan pidana. Biasanya dengan adanya perbuatan
tertentu seperti yang dirumuskan, maka sifat pantang
dilakukannya perbuatan itu sudah tampak dengan wajar.
Sifat yang demikian ini, adalah sifat melawan hukumnya
perbuatan, tidak perlu dirumuskan lagi sebagai elemen atau
unsur tersendiri.

Kembali lagi pada pembahasan awal kita mengenai malapraktik


sebagai tuntutan pidana, Malapraktik medis adalah kelalaian seorang dokter
untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang
lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran di lingkungan yang sama. Kelalaian yang dimaksudkan
disini adalah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang
seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar atau
sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan
melakukannya dalam situasi tersebut. Dapat juga disebut kelalaian jika
tindakan dokter dilakukan di bawah standar pelayanan medis.
Selama ini dalam praktik tindak pidana yang dikaitkan dengan
dugaan malapraktik medis sangat terbatas. Untuk malapraktik medis yang
dilakukan dengan sikap batin culpa hanya 2 pasal yang biasa diterapkan
yaitu Pasal 359 (jika mengakibatkan kematian korban) dan Pasal 360 (jika
korban luka berat). Pada tindak pidana aborsi criminalis (Pasal 347 dan 348
KUHP). Hampir tidak pernah jaksa menerapkan pasal penganiayaan (pasal
351-355 KUHP) untuk malapraktik medis. Dalam setiap tindak pidana pasti
terdapat unsur sifat melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas
ataupun tidak. Secara umum sifat melawan hukum malapraktik medis

32
terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik
tadi.
Ada perbedaan akibat kerugian oleh malapraktik perdata dengan
malapraktik pidana. Kerugian dalam malapraktik perdata lebih luas dari
akibat malapraktik pidana. Akibat malapraktik perdata termasuk perbuatan
melawan hukum terdiri atas kerugian materil dan kerugian yang
menyangkut dengan gagasan dasar bernegera (idiil), bentuk kerugian ini
tidak dicantumkan secara khusus dalam UU. Berbeda dengan akibat
malapraktik pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai dengan akibat yang
menjadi unsur pasal tersebut. malapraktik kedokteran hanya terjadi pada
tindak pidana materil (yang melarang akibat yang timbul, dimana akibat
menjadi syarat selesainya tindak pidana). Dalam hubungannya dengan
malapraktik medis pidana, kematian, luka berat, rasa sakit atau luka yang
mendatangkan penyakit atau yang menghambat tugas dan mata pencaharian
merupakan unsur tindak pidana. Jika dokter hanya melakukan tindakan
yang bertentangan dengan etik kedokteran maka ia hanya telah melakukan
malapraktik etik.
Apabila kelalaian atau kesalahan itu sudah mencapai suatu tingkat
tertentu dan tidak memperdulikan benda atau keselamatan jiwa atau benda
orang lain, maka sifat kelalaian atau kesalahan itu bisa berubah menjadi
serius dan kriminal. Hukum tidak lagi bisa tinggal diam, karena sifat
kelalaian ini sudah merupakan pelanggaran terhadap kepentingan umum
serta, pelanggaran terhadap perundang undangan. Jika sebagai akibatnya
sampai mencelakakan, mencederai atau bahkan merenggut nyawa orang
lain, maka oleh hukum tingkat kelalaian atau kesalahan itu digolongkan
sudah termasuk perumusan pidana sebagaimana tercantum di dalam Pasal
359 KUHP. Jadi malapraktik tentunya dapat ditindak pidana.

33
2.5. Malapraktik dalam Hukum Administrasi
Malapraktik kedokteran juga dapat berujung pada gugatan yang
sifatnya administrasi, yaitu melalui proses yang dilakukan oleh organisasi
profesi kedokteran dan dicabutnya izin praktik kedokteran yang merupakan
izin dari aparatur pejabat yang berwenang. Kode etik profesi kedokteran
telah menentukan standarisasi kewajiban profesional yang digunakan
sebagai fondasi dari penyelesaian sengketa medis secara administratif.

2.5.1. Kode Etik dan Kode Etik Profesi


Secara harfiah, “kode” artinya aturan, dan “etik” artinya
kesopanan (tata susila), atau hal-hal yang berhubungan dengan
kesusilaan dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Dengan demikian,
kode etik keprofesian (professional code of ethic) pada hakekatnya
merupakan suatu sistem peraturan atau perangkat prinsip-prinsip
keperilakuan yang telah diterima oleh kelompok orang-orang yang
tergabung dalam himpunan organisasi keprofesian tertentu. Adanya
penerimaan atas suatu kode etik itu mengandung makna selain
adanya pengakuan dan pemahaman atas ketentuan dan/atau prinsip-
prinsip yang terkandung di dalamnya, juga adanya suatu ikatan
komitmen dan pernyataan kesadaran untuk mematuhinya dalam
menjalankan tugas dan perilaku profesinya, serta kesiapan dan
kerelaan atas kemungkinan adanya konsekuensi dan sanksi
seandainya terjadi kelalaian terhadapnya 17
Kode etik profesi telah menentukan standarisasi kewajiban
profesional anggota kelompok profesi sehingga pemerintah atau
masyarakat tidak perlu lagi campur tangan untuk menentukan

17
Cicih Sutarsih, “Etika Profesi”, Desember; 2009, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama RI , hlm 113.

34
bagaimana seharusnya anggota kelompok profesi melaksanakan
kewajiban profesionalnya. Hubungan antara pengemban profesi dan
masyarakat, misalnya antara pengacara dan klien, antara dosen dan
mahasiswa, antara dokter dan pasien, tidak perlu diatur secara detail
dengan undang-undang oleh pemerintah, atau oleh masyarakat
karena kelompok profesi telah menetapkan secara tertulis norma
atau patokan tertentu berupa kode etik profesi.
Suatu kode etik profesi yang baik mencerminkan nilai moral
anggota kelompok profesi sendiri dan pihak yang membutuhkan
pelayanan profesi yang bersangkutan. Kode etik merupakan bagian
dari hukum positif tertulis tetapi tidak mempunyai sanksi yang
keras. Keberlakuan kode etik profesi semata-mata berdasarkan
kesadaran moral anggota profesi, berbeda dengan keberlakuan
undang- undang yang bersifat memaksa dan dibekali dengan sanksi
yang keras.
Bilamana orang tidak patuh kepada undang-undang, dia akan
dikenakan sanksi oleh negara. Kode etik tidak mempunyai sanksi
keras, maka dari itu pelanggar kode etik profesi tidak merasakan
akibat dari perbuatannya. Suatu kode etik agar dapat ditegakkan
memerlukan suatu sistem sanksi agar sebuah kode etik dapat
menjadi norma wajib yang dapat diterapkan sanksi bagi
pelanggarnya, dengan demikian maka kode etik dianggap sebagai
bagian dari hukum positif.18

2.5.2. Kode Etik Kedokteran


Etika kedokteran adalah salah satu cabang dari etika yang
berhubungan dengan masalah moral yang timbul dalam praktik

18
Budianto dan Utama, Op.Cit., hal 280.

35
pengobatan. Etika kedokteran di Indonesia diatur oleh Majelis
Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) berupa KODEKI. Kode
Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) merupakan kumpulan norma
untuk menuntun dokter di Indonesia selaku kelompok profesi
berpraktik di masyarakat.19
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) merupakan
kumpulan peraturan etika profesi yang digunakan sebagai penuntun
perilaku ideal dan penahan godaan penyimpangan profesi para
dokter di indonesia selaku kelompok profesi dalam pelaksanaan
pelayanan kesehatan di masyarakat 20
Kode etik kedokteran Indonesia yang diberlakukan saat ini
adalah berdasarkan Surat Keputusan pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) No. 221/PB/A.4/04/2002 tentang Penerapan Kode
Etik Kedokteran Indonesia. Keputusan ini mencabut KODEKI hasil
rakernas Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK)- Majelis
Pembinaan dan Pembelaan Anggota (MP2A) tahun 1993.
Dalam Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Indonesia
dikatakan, bahwa sejak perintisan profesi kedokteran telah
membuktikan sebagai profesi yang luhur dan mulia. Keluhuran dan
kemuliaan ini ditunjukkan oleh 6 sifat dasar yang harus ditunjukkan
oleh setiap dokter yaitu: Sifat keTuhanan; Kemurnian niat;
Keluhuran budi; Kerendahan hati; Kesungguhan kerja; dan
Integritas ilmiah dan sosial. Oleh karenanya, dalam melakukan
pekerjaan kedokteran, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian

19
Rieke Arya Putri, , “Gambaran Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia pada Dokter Umum
di Puskesmas di Kota Padang”, Jurnal Kesehatan Andalas, Vol. 4 No. 2, 2005, hlm 463.
20
Olvhantiara Sukma, “Penerapan Nilai Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) Pada Era
Jaminan Kesehatan Nasional Di Kabupaten Indragiri Hilir”, Jurnal Online Mahasiswa Fakultas
Kedokteran, Vol. 4 No. 1, 2017. Hlm 9.

36
profesi. Meskipun dalam melaksanakan pekerjaan profesi, dokter
memperoleh imbalan, namun hal ini tidak dapat disamakan dengan
usaha penjualan jasa lainnya.21

2.5.3. Produk Hukum Administrasi Negara


Apabila dokter melakukan kelalaian dalam menjalankan
profesinya, maka tindakan pertanggungjawaban dokter tersebut juga
masuk ke dalam aspek hukum administrasi. Aspek ini melihat pada
sisi kewenangan, apakah dokter yang menjalankan praktik tersebut
telah mendapatkan izin untuk praktik atau tidak. Setiap dokter yang
telah menyelesaikan pendidikan dan ingin menjalankan praktik
kedokteran dipersyaratkan untuk memiliki izin. Ada 3 jenis surat
izin kedokteran yang sesuai dengan Permenkes RI No. 560 dan
561/Menkes/Per/1981, yaitu sebagai berikut:
a. Surat Izin Dokter (SID) yang merupakan izin yang dikeluarkan
bagi dokter yang menjalankan pekerjaan sesuai dengan bidang
profesinya di wilayah RI.
b. Surat Izin Praktik (SIP), yaitu izin yang dikeluarkan bagi dokter
yang menjalankan pekerjaan sesuai dengan bidang profesinya
sebagai swasta perseorangan di samping tugas/fungsi lain pada
pemerintahan atau unit pelayanan kesehatan swasta. Tujuan
perlunya adanya SIP bagi seorang dokter adalah sebagai berikut:
1. Perlindungan bagi masyarakat dan tenaga kesehatan, apabila
dari praktik kedokteran tersebut menimbulkan akibat yang
merugikan kesehatan fisik, mental, atau nyawa pasien

21
Budianto dan Utama, Op.Cit., hal 155.

37
2. Petunjuk bagi tenaga kesehatan dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat harus mempunyai kualifikasi,
kompetensi, dan lisensi
3. Pemberdayaan masyarakat, organisasi profesi dan institusi
yang ada22
c. Surat Izin Praktik (SIP) semata-mata, yaitu izin yang dikeluarkan
bagi dokter yang menjalankan pekerjaan sesuai dengan profesinya
sebagai swasta perseorangan semata-mata, tanpa tugas pada
pemerintahan atau unit pelayanan kesehatan swasta.
Ketiga izin merupakan hukum administrasi yang lebih lanjut diatur
dalam UU Praktik Kedokteran. Surat izin praktik adalah bukti
tertulis yang diberikan pemerintah kepada dokter dan dokter gigi
yang akan menjalankan praktik kedokteran setelah memenuhi
persyaratan merupakan bentuk ketentuan yang membolehkan
seseorang atau badan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan izin
yang diterima. Perizinan sendiri merupakan suatu instrumen
pemerintah yang sifatnya yuridis preventif digunakan sebagai sarana
administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat. Apabila
dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara maka perizinan merupakan suatu
keputusan tata usaha negara. Dikatakan bahwa:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berisi tindakan Tata Usaha Negara
yang berdasarkan peraturan perundang- undangan yang

22
I Ketut Sudiarta, “Implementasi Surat Izin Praktik Terhadap Dokter dalam Melakukan Praktik
Kesehatan di RS. Bhakti Rahayu”, Jurnal Kertha Negara, Vol. 5 , No. 2, April 2015. Hlm 2.

38
berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat bagi seseorang atau badan perdata.”23
Lembaga yang berwenang mengeluarkan izin juga
didasarkan pada kemampuan untuk melakukan penilaian
administratif dan teknis kedokteran. Pengeluaran izin dilandaskan
pada asas-asas keterbukaan, ketertiban, ketelitian, keputusan yang
baik, persamaan hak, kepercayaan, kepatutan dan keadilan.
Selanjutnya apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi (lagi)
maka izin dapat ditarik kembali. 24

2.5.4. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)


Maraknya laporan maupun pengaduan dan bahkan tuntutan
atas dugaan kelalaian medis dokter di Indonesia mempengaruhi
kepercayaan masyarakat terhadap kalangan dokter. Tuntutan hukum
diidentikan sebagai satu kegagalan dokter dalam melakukan
tindakan medis adalah permasalahan yang harus disikapi secara
serius oleh pemerintah demi melakukan satu perlindungan terhadap
pasien dan dokter. Oleh karena itu, untuk menjembatani isu diatas,
pemerintah melalui UU Praktik Kedokteran membentuk satu majelis
khusus bagi memberikan perlindungan kepentingan kedua belah
pihak. Majelis khusus tersebut bernaung dibawah Konsil
Kedokteran Indonesia yang dikenali sebagai Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia, (selanjutnya disingkat MKDKI).
Secara umum UU Praktik Kedokteran belum memberikan
definisi mengenai kesalahan medis dokter atau kelalaian medis.
Namun demikian, MKDKI yang merupakan amanah dari UU

23
Budianto dan Utama, Op.Cit., hal 161. ”
24
Iswandari, Op.Cit., hal. 53.

39
Praktik Kedokteran adalah satu majelis khusus yang diberi tugas
untuk melakukan penilaian terhadap ada tidaknya kesalahan
tindakan medis dokter, sekaligus melakukan pemeriksaan, dan
memutuskan terkait dengan tindakan dokter yang diduga melakukan
satu kesalahan tindakan medis. Akan tetapi, pengaduan pasien atau
masyarakat kepada MKDKI tidak menghilangkan haknya untuk
melaporkan dugaan kesalahan tindakan medis ini kepada pihak
berwenang untuk diproses pidana maupun digugat secara perdata.25
Dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor
15/KKI/Per/VIII/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja MKDKI
dan MKDKI di Tingkat Provinsi, dikatakan bahwa tugas MKDKI
adalah (a). menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan
kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan; dan
(b). menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus
pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi. Dalam melaksanakan
tugas tersebut diatas, MKDKI mempunyai kewenangan untuk:
1. Menerima pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter
gigi;
2. Menetapkan jenis pengaduan pelanggaran disiplin atau
pelanggaran etika atau bukan keduanya;
3. Memeriksa pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan
dokter gigi;
4. Memutuskan ada tidaknya pelanggaran disiplin dokter dan
dokter gigi;

25
Sapta Aprilianto, “Peran Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
Terhadap Dugaan Kelalaian Medis Dokter”, Jurnal Yuridika, Vol. 30, No. 3, September 2015.
Hlm 525.

40
5. Menentukan sanksi terhadap pelanggaran disiplin dokter dan
dokter gigi;
6. Melaksanakan keputusan MKDKI;
7. Menyusun tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin
dokter dan dokter gigi;
8. Menyusun buku pedoman MKDKI dan MKDKI-P;
9. Membina, mengkoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan
tugas MKDKI-P;
10. Membuat dan memberikan pertimbangan usulan
pembentukan MKDKI-P kepada Konsil Kedokteran
Indonesia; dan
11. Mengadakan sosialisasi, penyuluhan, dan diseminasi tentang
MKDKI dan MKDKI-P mencatat dan mendokumentasikan
pengaduan, proses pemeriksaan, dan keputusan MKDKI.
Dengan demikian, mekanisme aduan tuduhan dan
penyelidikan pelanggaran disiplin adalah sebagai berikut: jika
terdapat dugaan dokter melakukan kelalaian, maka sesuai dengan
kewenangannya, MKDKI dapat menerima aduan dan memeriksa
aduan tersebut, jika terhadap aduan tersebut: Dokter/dokter gigi
yang diadukan telah teregistrasi di Konsil Kedokteran Indonesia;
Tindakan medis yang dilakukan oleh dokter/dokter gigi yang
diadukan terjadi setelah tanggal 6 Oktober 2004 (setelah
diundangkannya UU Praktik Kedokteran); Terdapat hubungan
profesional dokter-pasien dalam kejadian tersebut; dan Terdapat
dugaan kuat adanya pelanggaran disiplin kedokteran/kedokteran
gigi.
Apabila keempat hal tersebut telah terpenuhi, maka aduan
tersebut diteruskan ke Majelis Pemeriksa Disiplin (MPD) untuk

41
dilakukan pemeriksaan. Sifat dari pemeriksaan MPD ini adalah
tertutup, yaitu ketika MPD meminta keterangan dari dokter teradu
dan pengadu secara tersendiri. Sidang pemeriksaan MPD dilakukan
secara tertutup dengan tujuan, bahwa sidang MPD MKDKI
mengutamakan prinsip menjaga rahasia kedokteran dan penegakan
disiplin oleh MKDKI pada hakikatnya dilakukan dalam rangka
membina dan meningkatkan kinerja dokter dan dokter gigi. Namun
dalam pembacaan keputusan atas hasil pemeriksaan MPD, sidang
terhadap pembacaan putusan ini sifatnya terbuka.
Jika dokter atau dokter gigi teradu oleh MPD MKDKI
terbukti telah melakukan pelanggaran disiplin, maka sesuai dengan
UU Praktik Kedokteran, sanksi disiplin dalam keputusan MKDKI
dapat berupa: Pemberian peringatan tertulis; Rekomendasi
pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Izin Praktik
(SIP); dan/atau Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di
institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi. Keputusan
MKDKI ini bersifat final dan mengikat dokter/dokter gigi yang
diadukan, KKI, Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, serta instansi terkait. Dokter/dokter gigi yang
diadukan dapat mengajukan keberatan terhadap keputusan MKDKI
kepada Ketua MKDKI dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari
sejak dibacakan atau diterimanya keputusan tersebut dengan
mengajukan bukti baru yang mendukung keberatannya. 26

2.5.5. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)


Dengan banyaknya kasus malapraktik medis, kebanyakan
pasien sebagai konsumen jasa yang ekonominya sedang dan ke

26
Budianto dan Utama, Op.Cit., hal 168.

42
bawah akan menyerahkan perkaranya ke pengacara atau penasihat
hukum, dan pengacara atau penasihat hukum akan membuat gugatan
yang (biasanya) tidak masuk akal, karena kerugian immateriilnya.
Kadang-kadang juga tidak cermat dalam membuat gugatan sehingga
banyak gugatan pasien yang kandas. Dengan kata lain, justru pasien
kehilangan lebih banyak kerugian, selain kerugian yang disebabkan
kelalaian rumah sakit atau dokter itu sendiri. Oleh karena itu, dapat
ditempuh jalur penyelesaian luar pengadilan dengan menempatkan
pasien sebagai konsumen jasa dan dokter atau rumah sakit sebagai
pelaku usaha atau pemberi jasa. UU Perlindungan Konsumen
memperkenalkan model penyelesaian di luar peradilan atau jalur
peradilan karena di dalam UU Perlindungan Konsumen diatur,
dalam Pasal 49 ayat (1) berbunyi, “Pemerintah membentuk badan
penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat I untuk
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan”. Pasal 1 butir
11 UUPK menyebutkan; “Bahwa BPSK adalah badan yang bertugas
menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dengan
konsumen”. BPSK dibentuk untuk menyelesaikan kasus-kasus
sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana.
Keberadaan BPSK dapat menjadi bagian dari Pemerataan keadilan,
terutama bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha,
karena sengketa di antara konsumen dengan pelaku usaha biasanya
nominalnya kecil sehingga tidak mungkin mengajukan sengketanya
di pengadilan karena tidak sebanding antara biaya perkara dengan
besarnya kerugian yang akan dituntut.
Pembentukan BPSK sendiri didasarkan pada adanya
kecenderungan masyarakat yang segan untuk beracara di pengadilan
karena konsumen yang secara sosial dan finansial tidak seimbang

43
dengan pelaku usaha. BPSK yang dibentuk oleh Pemerintah adalah
Badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara
pelaku usaha dengan konsumen, tetapi bukanlah merupakan bagian
dari Institusi kekuasaan kehakiman. Pemerintah membentuk BPSK
di daerah Tingkat II untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar
Pengadilan tetapi BPSK bukanlah Pengadilan.
Dalam praktik putusan BPSK sulit untuk dimintakan fiat
eksekusi antara lain karena:
1. Putusan BPSK tidak memuat Irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”, sehingga tidak
mungkin dapat dieksekusi.
2. Belum terdapat Peraturan atau petunjuk tentang tata cara
mengajukan permohonan eksekusi terhadap Putusan
BPSK.27
BPSK memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan
atas kebenaran laporan dan keterangan dari para pihak yang
bersengketa, melihat atau meminta tanda bayar, tagihan atau
kuitansi, hasil test lab atau bukti-bukti lain, keputusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bersifat mengikat dan
penyelesaian akhir bagi para pihak (UU. No 8/1999). Terkait
peranan sebagai lembaga yang memiliki fungsi untuk melindungi
konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam
ketentuan Pasal 52 tugas dan wewenang BPSK adalah;
1. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa
konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau
konsiliasi;

27
Dahlia, “Peran BPSK Sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Perspektif
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”, Jurnal Ilmu Hukum,
Maret 2014. hlm 85.

44
2. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
3. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula
baku;
4. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi
pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini;
5. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari
konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
6. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa
perlindungan konsumen;
7. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
8. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau
setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran
terhadap undang-undang ini;
9. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku
dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa
konsumen;
10. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen,
atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
11. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya
kerugian di pihak konsumen;
12. Memberitahukan pelaku usaha pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
13. Memberitahukan pelaku usaha pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;

45
14. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan undang-undang ini.28
Dalam tugas dan wewenang badan ini, disebutkan adanya
penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara
melalui mediasi, arbitrase, konsiliasi. Namun menurut penjelasan
pasal 45 ayat (2), penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat
pula diselesaikan secara damai oleh mereka yang bersengketa. Yang
dimaksud dengan cara damai adalah penyelesaian yang dilakukan
kedua belah pihak tanpa melalui pengadilan ataupun Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen. Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan tidak boleh menghilangkan tanggung jawab pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU Perlindungan
Konsumen. Hal ini disebabkan karena penyelesaian sengketa diluar
pengadilan adalah bersifat perdata sehingga UU mengatur bahwa
penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menjadi alasan untuk
menghilangkan tanggung jawab pidana.29

28
Zainul Akhyar, “Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Banjarmasin”,
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, Vol. 5, No. 10, Nov 2015. hlm 775.
29
Budianto dan Utama, Op.Cit., hal 172.

46
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan pada bagian pembahasan,


kita dapat menarik kesimpulan bahwa setiap kelalaian pada profesi kedokteran
dapat menimbulkan resiko berupa gugatan perdata maupun tuntutan pidana di
pengadilan. Gugatan perdata dapat dilakukan atas dasar wanprestasi maupun
perbuatan melawan hukum. Namun pada umumnya, kasus malapraktik medis
digugat secara perdata atas dasar perbuatan melawan hukum, karena dalam kasus
malapraktik medis, terdapat kelalaian yang merupakan salah satu unsur dari
perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Sedangkan
apabila dituntut secara pidana, kelalaian pada profesi kedokteran yang telah
memenuhi unsur tindak pidana dalam sebuah praktik kedokteran dan
mengakibatkan pasien menjadi celaka, cidera atau bahkan meninggal dapat
menimbulkan sanksi pidana yaitu pemenjaraan. Selain itu dapat disimpulkan juga
bahwa pada inspanningsverbintenis, dokter berjanji untuk memberikan upaya
maksimal terhadap penyembuhan pasien, bukan menjanjikan akan kesembuhan
maupun keberhasilan atas setiap tindakan medis yang dilakukan. Dikarenakan tidak
ada sesuatu yang pasti di dalam ilmu kedokteran, hal tersebut juga selaras dengan
ilmu hukum dimana tidak mengenal hubungan ikhtiar dikarenakan hubungan
ikhtiar tidak memberikan kepastian hukum dan dapat menyebabkan hubungan
hukum yang berat sebelah (unconscionability).

47
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Budianto, Agus, dan Gwendolyn Utama. (2010). “Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan
Dalam Perspektif Perlindungan Pasien”. Bandung: Karya Putra Darwati.

JURNAL

Akhyar, Zainul. (2015). “Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen


(BPSK) Kota Banjarmasin”, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, Vol. 5,
No. 10, hlm 775.

Aprilianto, Sapta. (2015). “Peran Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran


Indonesia (MKDKI) Terhadap Dugaan Kelalaian Medis Dokter”, Jurnal
Yuridika, Vol. 30, No. 3, Hlm 525.

Dahlia. (2014). “Peran BPSK Sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Konsumen


Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen”, Jurnal Ilmu Hukum, hlm 85.

Hadi, I Gusti. (2018). “Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pertanggungjawaban


Dokter Terhadap Tindakan malapraktik Medis”. Jurnal Yuridis Volume 5,
No.1, 98-113.

Khanifa, Nurma. (2016). “Ganti Rugi Akibat malapraktik Kelalaian Medik:


Komparasi Hukum Islam dan Hukum Perdata”. Jurnal Syariati Volume I,
No.03.

iii
Komang, Ni Hyang. (2020). “Pertanggungjawaban Perdata Tenaga Medis Apabila
Melakukan malapraktik Medis”, Jurnal Kertha Semaya Volume 8, No.4,
510-519.

Mannas, Yussy. (2018). “Hubungan Hukum Dokter dan Pasien Serta Tanggung
Jawab Dokter
Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan”, Jurnal Cita Hukum, Vol. 6
No. 1, Hal. 163.

MKEK, Jakarta: Fakultas kedokteran USU. (2004). “Kode Etik Kedokteran


Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia”.

Putra, Sarsintorini. (2001). “Inspanning Verbintenis dan Resultaat Verbintenis


dalam Transaksi Terapeutik Kaitannya dengan UU No.8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen”. Jurnal Hukum Volume 8, No.18, 199-
211.

Putri, Rickie Arya. (2005). “Gambaran Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia
pada Dokter Umum di Puskesmas di Kota Padang”, Jurnal Kesehatan
Andalas, Vol. 4 No. 2, hlm 463.

Sariono, Joko. “Akibat malapraktik Dalam Profesi Kedokteran (Suatu Tinjauan


HukumPerdata)”. Jurnal Perspektif Volume VI, no. 2 (April, 2001).

Suhardini, Eni Dasuki. “Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Sebagai Pengguna


Jasa Pelayanan Rumah Sakit Swasta”, diakses dari
https://media.neliti.com/media/publications/281784-perlindungan-hukum-
terhadap-pasien-sebag-0c99d14b.pdf

Sukma, Olvhantiara. (2017). “Penerapan Nilai Kode Etik Kedokteran Indonesia


(Kodeki) Pada Era Jaminan Kesehatan Nasional Di Kabupaten Indragiri

iv
Hilir”, Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Kedokteran, Vol. 4 No. 1, Hlm
9.

Sulistyani, Venny. (2015). “Pertanggungjawaban Perdata Seorang Dokter dalam


Kasus malapraktik Medis”. Lex Jurnalica Volume 12, No.2.

Sutarsih, Cicih. (2009). “Etika Profesi”, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan


Islam Kementerian Agama RI , hlm 113.

Wardhana, Arya Bagus. (2015). “Makna Yuridis Kegoncangan Jiwa Yang Hebat
Dalam Pasal 49 Ayat (2) KUHP Berkaitan Dengan Tindak Pidana
Penganiayaan”. Jurnal Ilmiah.

Wiradinata, Wahyu. (2014). “Dokter, Pasien, dan malapraktik”. Mimbar Hukum


Vol. 26, No.1 (Februari 2014). Hal. 43-53.

Sudiarta, I Ketut. (2015).“Implementasi Surat Izin Praktik Terhadap Dokter dalam


Melakukan Praktik Kesehatan di RS. Bhakti Rahayu”, Jurnal Kertha
Negara, Vol. 5 , No. 2,. Hlm 2.

Anda mungkin juga menyukai