DOSEN PENGAMPU :
DINI FITRI DAMAYANTI, S.SiT, M.Kes.
Kelompok
13
ii
Daftar Isi
Cover..............................................................................................................
Kata Pengantar...............................................................................................
Daftar Isi.........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................
1.3 Tujuan.........................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Hukum Kesehatan .................................................. 2
2.2 Pengantar Hukum Kesehatan.................................................... 2
2.3 Pengelompokkan Hukum Kesehatan........................................ 3
2.4 Aspek Hukum Kesehatan.......................................................... 7
2.5 Kedudukan Hukum Kesehatan ................................................. 7
2.6 Aspek Hukum Dalam Praktik Kebidanan................................. 7
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..............................................................................................
3.2 Saran .......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
ii
i
BAB I
PENDAHULUAN
i
BAB II
PEMBAHASAN
ii
4) Kelompok masalah dakam pelayanan kuratif, antara lain kewajiban
memberika pertolongan medis, menjaga mutu, eksperimen – eksperimen
medis, batas – batas pemberiaan pertolongan medis, penyakit menular.
Dokumentasi medis dan lain – lain.
5) Kelompok tentang pelaksanaan profesi dan kepentingan pihak ketiga
antara lain kesehatan industry, pelaksanaan medis skrining, keterangan
medis, saksi ahli, asuransi kesehatan social.
Hak asasi manusian yang berhubungan dengan kesehatan manusia dimulai dari
tiga hak asasi, yaitu :
1. The right to health care ( Hak untuk mendapat pelanyanan kesehatan )
2. The right to self dateminartion ( hak untuk menentukan nasib sendiri )
3. The righ toinformation ( Hak untuk mendapat informasi )
2.3 Pengelompokkan Hukum Kesehatan
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka hukum kesehatan dapat di
kelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu:
1) Hukum kesehatan yang terkait langsung dengan pelayanan kesehatan
kebidanan yaitu antara lain :
a. KepMenkes No 938/Menkes/SK/VIII/2007 (Standar Asuhan
Kebidanan)
Standar Asuhan Kebidanan adalah acuan dalam proses
pengambilan keputusan dan Tindakan yang dilakukan oleh bidan
sesuai dengan wewenang dan ruang lingkup praktiknya berdasarkan
ilmu dan kiat kebidanan. Mulai dari pengkajian, perumusan diagnose
dan atau masalah kebidanan, perencanaan, implementasi, evaluasi, dan
pencatatan asuhan kebidanan
b. Permenkes RI no 28 Tahun 2017 (Izin dan Penyelenggaraan Praktik
Bidan)
Pasal 3 :
(1) Setiap Bidan harus memiliki STRB untuk dapat melakukan praktik
keprofesiannya.
ii
i
(2) STRB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh setelah
Bidan memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) STRB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 5
(lima) tahun.
(4) Contoh surat STRB sebagaimana tercantum dalam formulir II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
c. Permenkes no 585/Menkes/Per/IX/1989 (Persetujuan Tindakan Medik)
Hal-hal yang diatur dalam pelaksanaan informed consent berisi
sebagai berikut :
a. Persetujuan atau Penolakan Tindakan Medis diberikan untuk
tindakan medis yang dinyatakan secara spesifik (the consent must
be for what will be actually performed). Dan persetujuan atau
Penolakan Tindakan Medis di-berikan oleh seseorang (pasien)
yang sehat mental dan yang memang berhak memberikan-nya dari
segi hukum.
b. Informasi dan penjelasan tentang alternatif tin-dakan medis lain
yang tersedia dan serta risi-konya masing-masing (alternative
medical prosedure and risk). Dan informasi dan penjelasan tentang
prognosis penyakit apabila tindakan medis tersebut dila kukan
(prognosis with and without medical produce)
c. Yang berhak memberikan persetujuan ialah mereka yang dikatakan
meiliki sehat mental dan dalam keadaan sadar. Diman kurang lebih
berumur 21 dalam status telah menikah. Tetapi dibawah
pengampu. Maka persetujuan diberikan oleh wali pengampu,bagi
mereka yamg berada dibawah umur 21 dan belum menikah
diberikan oleh orang tua atau wali atau keluarga terdekat.
d. Bila terdapat dokter yang melakukan tindakan medis tanpa
persetujuan,dilaksanakan sanksi administrasi berupa pencabutan
surat izin praktik.
e. Pemberian informasi ini diberikan oleh dokter yang bersangkutan
dalam hal berhalangan dapat diberikan oleh dokter lain dengan
i
v
sepengatahuan dan tanggung jawab dari dokter yang bersangkutan,
dibedakan antara tindakan operasi dan bukan operasi,untuk
tindakan operasi harus dokter memberikan informasi ,untuk bukan
tindakan operasi sebaiknya dokter yang bersangkutan tetapi dapat
juga oleh perawat.
d. Permenkes 290 Tahun 2008 (Informed Consent)
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/ 2008
tentang persetujuan tindakan Kedokteran dinyatakan dalam pasal 1, 2,
dan 3 yaitu :
Pasal 1
1. Persetujuan tindakan adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedoketran gigi yang
dilakukan terhadap pasien.
2. Keluarga tedekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung,
anak kandung , saudara kandung atau pengampunya.
3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi selan’’jutnya disebut
tindakan kedokteran adalah suatu tidakan medis berupa preventif,
diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi terhadap pasien.
4. Tindakan infasif adalah tindakan medis yang lansung yang
mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien
5. Tindakan kedokteran yang mengandung resiko tinggi adalah
tindakan medis yang berdasarkan tingkat probilitas tertentu, dapat
mengakibatkan kematian dan kecacatan
6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi
dan dokter gigi sepesialis lulusan kedokteran atau kedokteran gigi
baik didalam maupun diluar negeri yang diakui oleh pemerintah
republik indonesia dengan peraturan perundang- undangan.
7. Pasien kompetan adalah pasien dewasa atau bukan anak-anak
menurut peraturan perundang-undangan atau telah pernah
menikah,tidak kesadaran fisiknya, maupun berkomunukasi secara
v
wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan (reterdasi)
mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu
membuat keputusan secara bebas.
2) Hukum Kesehatan yang tidak secara laingsung terkait dengan pelayanan
Kesehatan antara lain:
a. Hukum Pidana
Pasal-pasal hukum pidana yang terkait dengan pelayanan
kesehatan. Misalnya Pasal 359 KUHP tentang kewajiban untuk
bertanggung jawab secara pidana bagi tenaga kesehatan atau sarana
kesehatan yang dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan
menyebabkan pasien mengalami cacat, gangguan fungsi organ tubuh
atau kematian akibat kelalaian atau kesalahan yang dilakukannya.
b. Hukum Perdata.
Pasal-pasal Hukum perdata yang terkait dengan pelayanan
kesehatan. Misalnya Pasal 1365 KUHPerd. mengatur tentang
kewajiban hukum untuk mengganti kerugian yang dialami oleh pasien
akibat adanya perbuatan wanprestasi dan atau perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan sarana kesehatan
dalam memberikan pelayanan terhadap pasien
c. Hukum Administrasi
Ketentuan-ketentuan penyelenggaraan pelayanan kesehatan
baik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan maupun oleh sarana
kesehatan yang melanggar hukum adminstrasi yang menyebabkan
kerugian pada pada pasien menjadi tanggung jawab hukum dari
penyelenggara pelayanan kesehatan tersebut
3) Hukum Kesehatan yang berlaku secara Internasional
a Konvensi
b Yurisprudensi
c Hukum Kebiasaan
4) Hukum Otonomi
a. Perda (Peraturan Daerah) tentang kesehatan
b. Kode etik profesi
v
i
2.4 Aspek Hukum Kesehatan
Pada masa kini dapat disepakati luas ruang lingkup peraturan hukum
untuk kegiatan pelayanan kesehatan menurut ilmu kedokteran mencakup
aspek-aspek di bidang pidana, hukum perdata, hukum administrasi, bahkan
sudah memasuki aspek hukum tatanegara. Persyaratan pendidikan keahlian,
menjalankan pekerjaan profesi, tatacara membuka praktek pengobatan, dan
berbagai pembatasan serta pengawasan profesi dokter masuk dalam bagian
hukum administrasi. Hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan
pelayanan kesehatan, persetujuan antara dokter dan pasien serta keluarganya,
akibat kelalaian perdata serta tuntutannya dalam pelayanan kesehatan masuk
bagian hukum perdata. Kesaksian, kebenaran isi surat keterangan kesehatan,
menyimpan rahasia, pengguguran kandungan, resep obat keras atau narkotika,
pertolongan orang sakit yang berakibat bahaya maut atau luka-luka masuk
bagian hukum pidana.
2.5 Kedudukan Hukum Kesehatan
Perkembangan hukum di bidang kedokteran dan kesehatan dapat
ditelaah mengenai pengertiannya, kedudukan pengembangan ilmunya, dan
proyeksinya. Seringkali terdapat keraguan pemakaian istilah mana yang dapat
dipakai untuk memilih istilah hukum kedokteran ataukah hukum kesehatan
ataukah hukum kedokteran - kesehatan.
2.6 Aspek Hukum Dalam Praktik Kebidanan
Akuntabilitas bidan dalam praktik kebidanan merupakan suatu hal
yang penting dan di tuntut dari suatu profesi, terutama profesi yang
berhubungan dengan keselamatan jiwa manusia, adalah pertanggung jawaban
dan tanggung gugat (accountability) atas semua tindakan yang
dilakukuannya. Sehingga semua tindakan yang dilakukan oleh bidan harus
berbasis kompetensi dan didasari suatu evidence based. Accountability
diperkuat dengan satu landasan hukum yang mengatur batas-batas wewenang
profesi yang bersangkutan.
Dengan adanya legitimasi kewenangan bidan yang lebih luas, bidan
memiliki hak otonomi dan mandiri untuk bertindak secara profesional yang
dilandasi kemampuan berfikir logis dan sitematis serta bertindak sesuai
v
ii
standar profesi dan etika profesi.
Praktek kebidanan merupakan inti dari berbagai kegiatan bidan dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus terus-menerus ditingkatkan
mutunya melalui:
1. Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan
2. Pengembangan ilmu dan teknologi dalam kebidanan
3. Akreditasi
4. Sertifikasi
5. Registrasi
6. Uji kompetensi
7. Lisensi
Beberapa dasar dalam otonomi pelayanan kebidanan antara lain
sebagai berikut:
1. Kepmenkes 900/Menkes/SK/VII/2002 tentanng registrasi dan praktik
bidan
2. Standar Pelayanan Kebidanan
3. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
4. PP No 32/ Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan
5. Kepmenkes 1277/Menkes/SK/XI/2001 tentang oraganisasi dan tata
kerja Depkes
6. UU No 22/1999 tentang Otonomi daerah
7. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
8. UU tentang aborsi, adopsi, bayi tabung dan transplantasi
v
ii
dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati
dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang
terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de
Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma
etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya
kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang
kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical
malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.
Hal ini perlu dipahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku
norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu
dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada
perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan
dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya
ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.
Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice
akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical
malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
1) Malpraktek Dibidang Hukum
Untuk malpraktek hukum (yuridical malpractice) dibagi dalam 3
kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice,
Civil malpractice dan Administrative malpractice.
A. Criminal malpractice
Criminal malpractice adalah seseorang yang melakukan
perbuatan yang mana perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik
pidana yaitu seperti positive act / negative act yang merupakan
perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin yang salah yang
berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau
kealpaan (negligence).
B. Civil Malpractice
Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice
i
x
apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan
prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
1. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan.
2. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi terlambat melakukannya.
3. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi tidak sempurna.
4. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya
dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat
individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain
berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka
rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan
yang dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam
rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
C. Administrative Malpractice
Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice
manakala bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu
diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai
kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan,
misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya
(Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban
bidan.
Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang
bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
2. Landasan Hukum Wewenang Bidan
Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan tenaga
kesehatan ditetapkan di dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah.
Tugas dan kewenangan bidan serta ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan
praktik bidan diatur di dalam peraturan atau Keputusan Menteri Kesehatan.
x
Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat
mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap bidan memiliki tanggung jawab memelihara kemampuan
profesionalnya. Oleh karena itu bidan harus selalu meningkatkan pengetahuan
dan ketrampilannya dengan cara mengikuti pelatihan, pendidikan
berkelanjutan, seminar, dan pertemuan ilmiah lainnya.
a. Syarat Praktik Profesional Bidan
1) Harus memiliki Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB) baik bagi bidan yang
praktik pada sarana kesehatan dan/atau perorangan Bdan Praktek
Swasta (BPS).
2) Bidan yang praktik perorangan harus memenuhi persyaratan yang
meliputi tempat dan ruangan praktik, tempat tidur, peralatan, obat-
obatan dan kelengkapan administrasi.
3) Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus sesuai dengan
kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman
serta berdasarkan standar profesi.
4) Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus menghormati hak
pasien, memperhatikan kewajiban bidan, merujuk kasus yang tidak
dapat ditangani, meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan
dan melakukan medical record dengan baik.
5) Dalam menjalankan praktik profesionalnya bidan wajib melakukan
pencatatan dan pelaporan.
b. Wewenang Bidan dalam Menjalankan Praktik Profesionalnya
Dalam menangani kasus seorang bidan diberi kewenangan sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia
No:900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan,yang
disebut dalam BAB V praktik bidan antara lain:
1) Pasal 14 : bidan dalam menjalankan prakteknya berwenang untuk
memberikan pelayanan yang meliputi : (a). Pelayanan kebidanan, (b).
Pelayanan keluarga berencana, dan (c). Pelayanan kesehatan
masyarakat.
x
i
2) Pasal 15 :
a Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf
(pelayanan kebidanan) ditujukan pada ibu dan anak.
b Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pra nikah, pra hamil,
masa hamil, masa bersalin, masa nifas, menyusui dan masa antara
(periode interval).
c Pelayanan kebidanan pada anak diberikan pada masa bayi baru
lahir,masa bayi,masa anak balita dan masa pra sekolah.
3) Pasal 16 :
a. Pelayanan kebidanan kepada meliputi :
• Penyuluhan dan konseling
• Pemeriksaan fisik
• Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
• Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil
dengan abortus iminens, hiperemesis grafidarum tingkat 1, pre
eklamsi ringan dan anemia ringan.
• Pertolongan persalinan normal
• Pertolongan persalinan abnormal yang mencakup letak sungsang,
partus macet kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa
infeksi, perdarahan post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena
inersia uteri primer, post aterm dan preterm.
• Pelayanan ibu nifas normal
• Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio
plasenta,renjatan dan infeksi ringan
• Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang meliputi
keputihan,perdarahan tidak teratur dan penundaan haid.
b. Pelayanan kebidanan kepada anak meliputi:
• Pemeriksaan bayi baru lahir
• Perawatan tali pusat
• Perawatan bayi
• Resusitasi pada bayi baru lahir
• Pemantauan tumbuh kembang anak
x
ii
• Pemberian imunisasi
• Pemberian penyuluhan
x
ii
a Ayat (1): Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk
menyclamatkan jiwaibu hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan
tindakan medis tertentu.
b Ayat (2): Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya dapat dilakukan :
• Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan
tersebut;
• Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk
itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan
pertimbangan tim ahli;
• Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau
keluarganya;
• Pada sarana kesehatan tertentu.
2) Pasal 80
• Ayat (1): Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu
terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus
dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya,
yakni: apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang
tercela dan apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea)
yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga
mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus
dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan
sikap
x
i
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum kesehatan yang terkait dengan etika profesi dan pelanyanan
kebidanan. Ada keterkaitan atau daerah bersinggunan antara pelanyanan
kebidanan, etika dan hukum atau terdapat “grey area”. Sebagaimana di
ketahui bahwa bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan. Sebelum menginjak kehal – hal yang
lebih jauh, kita perlu memahami beberapa konsep dasar dibawah ini :
1. Bidan adalah seorang yang telah menyelesaikan Program Pendidikan
Bidan yang diakui Negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi izin
untuk menjalankan praktek kebidanan di Negara itu. Dia harus mampu
memberikan supervise, asuhan dan memberikan nasehat yang dibutuhkan
kepada wanita selama masa hmil, persalinan dan masa pasca persalinan,
memimpin persalianan atas tanggung jawab sendiri serta asuhan pada bayi
baru lahir dan anak.
2. Pekerjaan itu termaksud pendidikan antenatal, dan persiapan untuk
menjadi orangtua dan meluas kedaerah tertentu dari ginekologi, KB dan
Asuhan anak, Rumah Perawatan, dan tempat – tempat pelayanan lainnya
(ICM 1990
3.2 Saran
Sikap etis profesional berarti bekerja sesuai dengan standar,
melaksanakan advokasi, keadaan tersebut akan dapat memberi jaminan bagi
keselamatan pasen, penghormatan terhadap hak-hak pasen, akan berdampak
terhadap peningkatan kualitas asuhan kebidanan.
x
v
DAFTAR PUSTAKA
x
v
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menyusui adalah keterampilan yang dipelajari oleh ibu dan bayi,
dimana keduanya membutuhkan waktu dan kesabaran untuk pemenuhan
nutrisi pada bayi selama 6 bulan (Mulyani, 2013). Teknik menyusui yang
benar adalah cara memberikan ASI kepada bayi dengan perlekatan dan
posisi ibu dan bayi dengan benar (Rini dan Kumala, 2017). Manfaat dari
teknik menyusui yang benar yaitu putting susu tidak lecet, perlekatan
menyusu pada bayi kuat, bayi menjadi tenang dan tidak terjadi gumoh
(Wahyuningsih, 2019).
Hasil penjelasan di atas, dapat disimpulkan teknik menyusui yaitu
cara ibu memberikan ASI kepada anaknya dengan memperhatikan
perlekatan dan posisi yang benar, sehingga putting susu ibu tidak lecet atau
luka saat menyusui dan bayi menyusu dengan nyaman dan tidak gumoh.
3.2 Saran
Sebagai seorang Bidan sangat ditekankan akan pelayanan yang
maksimal. Tuntutan seorang bidan sangatlah berat dan berisiko tinggi pada
ibu. Maka dari itu seorang bidan wajib melakukan tugas sesuai prosedur
dan filosofi kebidanan yang sudah ditentukan.
1
DAFTAR PUSTAKA