MOH.SHOLEH
NIM. 1019144530017
UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN
KESEHATAN
SURABAYA
2020
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya
atas berkah limpahan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini
dengan baik dan tepat waktu.
Makalah ini membahas mengenai “Informed Consent, Sebagai Upaya
Preventif Tindakan Malpraktek (studi kasus Studi Kasus Pasien Meninggal
Setelah Enam Jam Selesai Operasi di Rumah Sakit ”. Makalah ini disusun selain
dalam rangka menyelesaikan tugas tengah semester mata kuliah Hukum
Kesehatan, juga untuk mengetahui lebih dalam bagaimana informed consent,
sebagai upaya preventif tindakan malpraktek.
Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Begitu pula isi dari makalah ini.
Penulis berharap para pembaca memberikan saran dan kritik yang membangun
untuk kemajuan penulis di masa mendatang.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
iii
2.4.2. Malpraktek dan Kaitannya dengan Pengertian Standar profesi
kedokteran ............................................................................................. 28
2.4.3. Jenis-Jenis Malpraktek .......................................................................... 31
2.4.4. Penanggulangan Malpraktek Medis ...................................................... 33
2.4.4.1.Pada Bidang Kedokteran .......................................................... 33
2.4.4.2.Pada Bidang Hukum ................................................................. 34
2.5.Tanggung Jawab Perawat dan Rumah Sakit .................................................... 35
2.5.1. Tanggung Jawab Perawat ...................................................................... 35
2.5.2. Tanggung Jawab Rumah Sakit ............................................................... 36
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pekerjaan dokter mempunyai ciri khusus, antara lain merupakan hubungan
yang sangat pribadi karena didasarkan pada kepercayaan. Pasien senantiasa harus
percaya kepada kemampuan dokter yang menanganinya. Namun keadaan
demikian lama-kelamaan mengalami perubahan, sehubungan dengan
perkembangan yang terjadi dalam pelbagai bidang kehidupan. Dengan semakin
meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap tanggung jawab
atas kesehatannya sendiri, maka kepercayaan yang semula tertuju pada
kemampuan dokter secara pribadi, sekarang bergeser pada kemampuan ilmunya.
Timbul kesadaran masyarakat untuk menuntut suatu hubungan yang seimbang dan
1
tidak lagi sepenuhnya pasrah kepada dokter. Husein Kerbala mengatakan bahwa
selain kepercayaan tidak lagi pada dokter secara pribadi, akan tetapi kepada
kemampuan ilmu kedokteran, perubahan pola hubungan dokter-pasien terjadi
karena:
a. ada kecenderungan untuk menyatakan bahwa kesehatan itu bukan lagi keadaan
tanpa penyakit, akan tetapi berarti kesejahteraan fisik, mental dan sosial.
b. semakin banyaknya peraturan yang memberikan perlindungan hukum kepada
pasien.
1
Banyak kasus bermunculan setelah kasus dr. Setyaningrum, dimana pasien
atau keluarga pasien menggugat dan menuntut tenaga medis dalam berbagai kasus
malpraktek. Kasus-kasus seperti “Keluarga Bayi Jared-Jayden dan RS Omni”
serta “Keluarga Bayi Ismi dan RS Borromeus” baru-baru ini merupakan contoh
nyata fenomena ini. Dari sini terlihat, pemahaman Informed Consent yang
memadai amat dibutuhkan sebagai upaya preventif tindakan malpraktek.
Permasalahan ini yang hendak penulis angkat, apa dan bagaimana “Informed
Consent, Sebagai Upaya Preventif Tindakan Malpraktek”.
1.2.Rumusan Masalah
2
5. Mengetahui bagaimana informed consent sebagai upaya preventif tindakan
malpraktek?
BAB II
PEMBAHASAN
3
dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau
masyarakat (Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan). Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan menyatakan bahwa tenaga kesehatan terdiri dari:
a. tenaga medis;
b. tenaga keperawatan;
c. tenaga kefarmasian;
e. tenaga gizi;
Tenaga medis menurut Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini meliputi
dokter dan dokter gigi. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
memberikan definisi dokter dan dokter gigi. Pasal 1 ayat (2) menjelaskan Dokter
dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi
spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam
maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
4
Menurut Pasal 1 Angka 5 UU ini, Registrasi adalah pencatatan resmi
terhadap dokter dan dokter gigi yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan
telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk
melakukan tindakan profesinya.
5
seorang dokter atau dokter gigi dapat melampaui kewenangannya manakala
kondisi gawat darurat guna penyelamatan jiwa atau pencegahan kecacatan pasien.
Setiap penyelenggara Rumah Sakit wajib memiliki izin, yang terdiri dari
izin mendirikan dan izin operasional. Izin sebagaimana dimaksud itu diberikan
setelah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini
(Pasal 25 UU Rumah Sakit).
6
a. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit;
b. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan
medis;
c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan;
dan
7
Ada dua kategori perjanjian dalam hukum perdata, yakni sebagai berikut.
7
dengan pasiennya, serta dokter ahli orthopedi yang membuat prothesa kaki untuk
pasiennya.
2. Inspanningsverbintenis, yaitu perikatan berdasarkan daya upaya/usaha yang
maksimal. Di sini dokter tidak menjanjikan kesembuhan, tetapi berjanji
berdaya upaya maksimal untuk kesembuhan pasien. Contohnya kontrak
8
terapuetik dokter-pasien.
10
2.2.2. Berdasarkan Undang-Undang (Ius delicto)
8
dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dapat
diharapkan daripadanya dalam pergaulan sesama warga masyarakat.
Namun tidak saja terhadap suatu perbuatan yang dilakukan, tetapi juga
terhadap suatu kelalaian yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain dapat
pula dimintakan penggantian kerugian. Hal ini dirumuskan di dalam pasal 1366
KUHPerdata yang berbunyi:
9
dan kewajiban di pihak lainnya. Dengan lain perkataan bahwa hak pihak pertama
merupakan kewajiban pihak kedua dan sebaliknya kewajiban pihak pertama itu
merupakan hak bagi pihak kedua. Demikian juga dengan hubungan hukum antara
dokter dengan pasiennya pun terdapat hak dan kewajiban.
11
Pada literatur hukum kesehatan terdapat beberapa hak pasien antara lain:
Berkaitan dengan informed consent sebagai hak pasien di satu sisi, di sisi
lain lain pasien juga mempunyai kewajiban memberikan penjelasan lengkap,
sebanyak mungkin tentang penyakitnya. Kewajiban pasien ini dapat dikaitkan
dengan hak dokter atas “itikad baik” pasien.12
10
untuk menghormati hak-hak pasien, yang dalam penjelasan pasal Peraturan
Pemerintah ini dikatakan hak-hak pasien itu meliputi hak atas informasi dan hak
untuk memberikan/menolak persetujuan. Informed Consent juga diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran. Berikut beberapa pasal yang mengatur
mengenai informed consent.
Pasal 2
Ayat (1): Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
Ayat (3): Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan
kedokteran dilakukan.
Pasal 7
Pasal 8
(1) Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat meliputi :
a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut;
11
b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka
sekurangkurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding;
c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya
tindakan kedokteran;
d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan
tindakan.
(2) Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi :
a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif,
diagnostik, terapeutik, ataupun rehabilitatif.
b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama
dan sesudah tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang
mungkin terjadi.
c. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya
dibandingkan dengan tindakan yang direncanakan.
12
2.3.2. Pengertian Informed Consent
Dengan kedua hak dasar itu dokter dan pasien bersama-sama menemukan terapi
(cara penyembuhan) yang paling tepat akan diterapkan pada diri pasien. Dari sini
13
pangkal informed consent lahir.
Berikut beberapa pendapat yang pernah disampaikan mengenai definisi
informed consent.
a. Secara harfiah, informed consent terdiri dari dua kata yaitu informed dan
consent. Informed berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan atau
13
d. Menurut Black’s Law Dictionary maka dikatakan bahwa informed consent
adalah: A person's agreement to allow something to happen, made with full
knowledge of the risks involved and the alternatives. For the legal profession,
informed consent is defined in Model Rule of Professional Conduct l.O(e). 2.
A patient's knowing choice about a medical treatment or procedure, made
after a physician or other healthcare provider discloses whatever information
a reasonably prudent provider in the medical community would give to a
patient regarding the risks involved in the proposed treatment or procedure. -
17
Also termed knowing consent.
14
2.3.3. Kode Etik Kedokteran dan Informed Consent
Dari segi etik, penerapan informed consent dianggap sebagai upaya dokter
untuk membuktikan kesungguhannya dalam mematuhi primum non nocere
(yang paling diutamakan adalah untuk tidak mencelakakan pasien), serta
prinsip mengutamakan kepentingan pasien. Dokter yang memegang prinsip
primum non nocere akan selalu menerima apa pun yang diputuskan oleh
pasiennya. Sehingga dapat dikatakan bahwa aspek etik dari informed consent
sangatlah luas dan besar dan menjadi landasan moral bagi kalangan tenaga
18
kesehatan, khususnya para dokter.
Dalam profesi kedokteran, dikenal adanya suatu kode etik yang disusun
berdasarkan asas etik. Dasar etik tersebut berlaku sejak zaman Hippocrates dan
merupakan asas yang tidak pernah berubah, yang secara universal dipakai di
seluruh dunia. Jika dijabarkan terdapat enam asas dalam profesi kedokteran
19
yakni:
1. Asas menghormati otonomi pasien
Pasien mempunyai kebebasan untuk mengetahui apa yang akan
dilakukan oleh dokter serta memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya
sendiri sehingga kepadanya perlu diberikan informasi yang cukup.
Pasien berhak untuk dihormati pendapat dan keputusannya, dan tidak
boleh dipaksa. Untuk itu maka perlu adanya informed consent.
2. Asas kejujuran
Dokter hendaknya mengatakan hal yang sebenarnya secara jujur
akan apa yang terjadi , apa yang akan dilakukan, serta akibat/risiko
yang dapat terjadi.
3. Asas tidak merugikan
Dokter berpedoman pada primum non nocere, tidak melakukan
tindakan yang tidak perlu, dan mengutamakan tindakan yang tidak
merugikan pasien, serta mengupayakan risiko fisik, risiko psikologis,
maupun risiko sosial akibat tindakan tersebut seminimal mungkin.
4. Asas manfaat
Semua tindakan dokter yang dilakukan terhadap pasien harus
bermanfaat bagi pasien guna mengurangi penderitaan atau
memperpanjang hidupnya.
15
Untuk itu dokter wajib membuat rencana perawatan/tindakan yang
berlandaskan pada pengetahuan yang sahih dan dapat berlaku secara
umum.
5. Asas kerahasiaan
Dokter harus menghormati kerahasiaan pasien, meskipun pasien
tersebut sudah meninggal dunia.
6. Asas keadilan
Dokter harus berlaku adil, tidak memandang kedudukan atau
kepangkatan, tidak memandang kekayaan, dan tidak berat sebelah
dalam merawat pasien.
dalam KUHPerdata Buku III Bab II Bagian Kedua Tentang Syarat-Syarat yang
Diperlukan Untuk Sahnya Suatu Perjanjian. Syarat sahnya suatu perjanjian dalam
pasal 1320 Buku III Bab II Bagian Kedua KUHPerdata disebutkan ada empat,
yaitu:
16
3) Suatu hal tertentu;
4) Suatu sebab yang halal.
undang. Jikalau yang diancam itu suatu perbuatan yang diizinkan oleh undang-
undang, misalnnya ancaman akan menggugat yang bersangkutan di depan hakim
23
dengan penyitaan barang, itu tidak dapat dikatakan suatu paksaan.
24
Kekhilafan dapat terjadi, baik menyangkut subjek maupun objeknya.
Misalnya, seseorang yang ingin mengobati penyakitnya datang ke seorang dokter.
Sebenarnya ia ingin berobat kepada seorang dokter spesialis, tetapi karena
ketidaktahuannya ia datang ke dokter umum. Sebaliknya dokter umum itu
mengira bahwa calon pasien itu tahu bahwa dirinya memang hanya seorang dokter
25
umum dan sungguh ingin berobat kepadanya. Kekhilafan mengenai objeknya,
17
terjadi jika hal yang dijadikan objek perjanjian itu sesungguhnya bukan yang
26
dimaksudkan oleh pihak-pihak.
Bentuk informed consent tidak harus tertulis, tetapi bisa secara lisan.
Ketentuan mengenai ini tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran yang bunyinya: “Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.” Namun untuk tindakan kedokteran
yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan (Pasal 3 ayat (1)
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008). Berikut Pasal
3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran.
18
Pasal 3
19
Selain kecakapan berlandaskan faktor usia, kecakapan juga ditentukan
30
berdasarkan faktor kesehatan mental. Kecakapan juga ditentukan oleh undang-
31
undang. Misalnya, seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medis
haruslah tenaga kesehatan yang telah memperoleh Surat Izin Praktek dan tindakan
medis tersebut adalah sebatas tindakan (wewenang) yang memang ditulis dalam
Surat Izin Praktek Tenaga Kesehatan itu dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Seringkali ditemui kasus dimana seorang tenaga kesehatan melampaui
wewenangnya, misalnya kasus seorang dokter gigi yang membuka klinik
kecantikan untuk operasi plastik padahal ia hanya mempunyai Surat Izin Praktek
(SIP) sebagai dokter gigi yanbg tentu saja wewenangnya sebatas tindakan medis
oleh dokter gigi yang tercantum dalam SIP itu. Lebih lanjut mengenai SIP akan
dibahas dalam sub-bab “Aspek Administratif Informed Consent”.
20
menentukan dan menjelaskan, atau memberikan informasi mengenai upaya medik
34
yang akan dilakukannya, maka berarti syarat ini tidak terpenuhi.
Syarat terakhir adalah sebab yang halal. Sebab yang halal maksudnya
adalah isi dari suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum dan kesusilaan. Pengertian tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang di sini adalah undang-undang yang bersifat melindungi
kepentingan umum, sehingga jika dilanggar akan membahayakan kepentingan
35
umum. Misalnya, menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan menentukan bahwa tindakan pengguguran kandungan merupakan
perjanjian dengan sebab terlarang, kecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis
dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi
korban perkosaan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang ini
(Pasal 75 dan Pasal 76).
21
Tindakan-tindakan itu bukan suatu penganiayaan menurut Hukum Pidana
38
manakala:
Ad. b. tindakan medik itu berdasarkan suatu indikasi medik, dan ditujukan pada
suatu tujuan yang konkrit
22
Suatu penanganan yang tidak dapat dipertangungjawabkan secara
intrumental atau menurut tujuan itu harus diberikan kualifikasi sebagai suatu
penganiayaan. Sebagai suatu kekecualian dapat terjadi bahwa bagi seorang pasien
itu terdapat perbedaan antara tujuan dengan pelayanan, misalnya pada percobaan-
percobaan pada manusia, tetapi jika orang menginginkan agar tindakan tersebut
tidak dapat disebut sebagai suatu tindakan yan sifatnya melawan hukum secara
material, maka tindakan itu harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan bagi
suatu percobaan.
Syarat-syarat yang disebutkan dalam huruf b dan huruf c di atas juga dapat
disebut dengan “bertindak lege artis” (bertindak menurut standar profesional
medis). Dengan demikian, menurut Leenen, maka
suatu pembedahan yang dilakukan dengan hati-hati dan didasarkan pada
indikasi yang baik itu, jika karena suatu hal ternyata gagal, tidaklah bersifat
melawan hukum.39
Jika dokter memenuhi ketiga syarat itu, maka ia tidak dapat dikenakan
pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Ketiga syarat itu harus semua dipenuhi.
Satu sama lain saling berhubungan. Upaya ini menurut Leenen meniadakan “de
materieele wederechtelykheid”, yaitu menghilangkan sifat yang bertentangan
dengan hukum. Fred Ameln menyebutnya dengan “Buitenwettelyke schuld-
uitsluitingsgrond” atau dasar peniadaan culpa di luar undang-undang. Selain itu
juga dikenal prinsip AVAS yang berarti “afwezighyd van alle schuld”, tidak
40
terdapat suatu kelalaian sama sekali.
23
2.3.6. Aspek Administratif Informed Consent
Dasar hukum Surat Izin Praktek adalah Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut
UU Kesehatan) sebagai berikut.
Penjelasan Pasal 23 ayat (1) menyatakan “kewenangan yang dimaksud dalam ayat
ini adalah kewenangan yang diberikan berdasarkan pendidikannya setelah melalui
proses registrasi dan pemberian izin dari pemerintah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”.
Selain dalam UU Kesehatan, mengenai surat izin praktek juga diatur dalam
Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan.
Pasal 4
(1) Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga
kesehatan yang bersangkutan memiliki ijin dari Menteri.
24
(2) Dikecualikan dari pemilikan ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi
tenaga kesehatan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur oleh Menteri.
Pasal 5
(1) Selain ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), tenaga medis dan
tenaga kefarmasian lulusan dari lembaga pendidikan di luar negeri hanya
dapat melakukan upaya kesehatan setelah yang bersangkutan melakukan
adaptasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
diatur oleh Menteri.
25
a. Pasien yang akan menjalani pengobatan dengan “placebo” (sugestif
42
therapeuticum)
43
b. Pasien yang akan merasa dirugikan bila mendengar informasi tersebut
Bila keadaan pasien sudah sangat parah dan labil, misalnya berpenyakit
lemah jantung yang sudah akut, maka dokter dapat menyampingkan hak pasien
tersebut atas informasi. Bila hasil diagnosa menunjukkan pasien mengalami
komplikasi dengan penyakit lever, dan lain-lain maka informasi tentang ini dapat
disampaikan kepada keluarga pasien yang berwenang.
44
c. Pasien yang sakit jiwa
45
d. Pasien yang belum dewasa
26
belum dewasa dapat dikategorikan grup B jika mereka oleh dokter dinilai cukup
matang untuk menerima infomasi tentang penyakitnya.
27
Oleh karena itu, persetujuan untuk pasien yang tidak sadar, tergantung
dokter:
(1) Bisa menunggu sampai keluarganya datang atau sampai siuman, tanpa
membahayakan jiwa pasien.
(2) Segera melakukan tindakan medik atas dasar:
a. Live-saving
b. Fiksi hukum (Leenen)
c. Zaakwaarneming (van der Mijn)
29
a) Berbuat secara teliti atau seksama (zorgvuldig handelen) dikaitkan dengan
culpa atau kelalaian. Bila seorang dokter yang bertindak “onvoorzichteg”,
tidak teliti, tidak berhati-hati maka ia memenuhi unsur kelalaian; bila ia
sangat tidak berhati-hati ia memenuhi culpa lata.
b) Sesuai ukuran ilmu medik (volgens de medische standaard).
c) Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medik yang
sama (gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie).
d) Situasi dan Kondisi yang sama (gelijke omstandigheden).
e) Sarana upaya (middelen) yang sebanding atau proposional (asas
proposionalitas) dengan tujuan konkret tindakan atau perbuatan medik
tersebut.
Kelima unsur dari standar ini harus dipakai untuk menguji apakah suatu
perbuatan medik merupakan malpraktek atau tidak. Ternyata unsur perumusan
Standar profesi kedokteran menurut Leenen yang paling lengkap dan memiliki
lebih banyak unsur yang sangat relevan.
a. Ukuran Medis
Ukuran medis merupakan unsur yang paling penting dari Standar
profesi kedokteran . Tiap perbuatan medis seorang dokter harus sesuai ukuran
medis yang berlaku. Pengertian ukuran medis menurut Leenen dapat
dirumuskan sebagai: “suatu cara melakukan tindakan medis dalam suatu
kasus yang konkret menurut suatu ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu
medik dan pengalaman.
Harus disadari bahwa sukar sekali untuk memberikan kriterium yang
eksak untuk dipakai pada tiap tindakan medik karena perbedaan situasi
kondisi dan pula fisik pasien yang berbeda-beda yang dapat menghasilkan
reaksi yang berbeda pula walaupun diberikan terapi yang sama.
30
b. Tujuan Medik
35
31
benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai
kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan
berdasarkan standar profesi”.
51
2.4.3. Jenis-Jenis Malpraktek
Malpraktek terdiri dari dua bentuk, yaitu malpraktek etika dan malpraktek
yuridis, ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.
a. Malpraktek Etika
32
b. Malpraktek Yuridik
33
2. Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)
c. Malpraktek Administratif
52
2.4.4. Penanggulangan Malpraktek Medis
2.4.4.1. Pada Bidang Kedokteran
34
Audit medik dapat dilaksanakan dalam rumah sakit maupun praktek pribadi para
dokter. Audit medik dapat dibagi menjadi tiga metode:
1. Prospectief
2. Retrospectif. Metode ini banyak dipakai oleh para tenaga kesehatan.
3. Simultaan
a. Melindungi masyarakat
35
53
2.5.Tanggung Jawab Perawat dan Rumah Sakit
2.5.1. Tanggung Jawab Perawat
Untuk perawat yang bekerja dan digaji oleh seorang dokter, maka pada
umumnya dokterlah yang bertanggung jawab terhadap tindakan perawat yang
dilakukan atas perintah dokter, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1367
KUHPerdata. Akan tetapi apabila perawat melakukan sesuatu tindakan medik
yang tidak sesuai dengan ijazah yang ia miliki, perawat itu sendiri yang harus
bertanggung jawab. Apabila seorang perawat di dalam praktik diperintahkan
untuk meminta tanda tangan dari seorang pasien pada formulir persetujuan, maka
perawat tersebut secara etik moral harus bertanya terlebih dahulu kepada pasien,
apakah ia telah mendapat keterangan atau informasi dari dokter akan penyakit dan
tindakan medik yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya, serta apakah ia telah
memahami keterangan tersebut.
Selanjutnya untuk perawat yang bekerja dan diberi gaji oleh rumah sakit dan
diperbantukan kepada dokter maka rumah sakit secara perdata bertanggung jawab
atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perawat. Terhadap tanggung jawab
rumah sakit ini, dapat digunakan konstruksi pasal 1367 KUHPerdata, karena
perawat dalam menjalankan tugas keperawatannya di rumah sakit itu atas dasar
perintah dari pihak rumah sakit. Namun dalam hal-hal tertentu maka perawat pun
tetap harus bertanggung-jawab atas yang ia lakukan sendiri.
36
2.5.2. Tanggung Jawab Rumah Sakit
Secara umum dalam kaitannya dengan tanggung jawab rumah sakit maka
pada dasarnya rumah sakit bertanggung jawab secara perdata terhadap semua
tindakan medis maupun non medis di rumah sakit itu. Hal ini juga berdasarkan
pasal1367 KUHPerdata.
41
37
tindakan medis atau formulir operasi sebelum tindakan medis atau operasi
itu dilakukan. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab yang dipikul
rumah sakit terhadap kelengkapan administratif.
3. Tanggung jawab yang berkaitan dengan duty of care
Duty of care diartikan dengan kewajiban memberi perawatan. Hal ini
sebenarnya terletak dalam bidang medik dan perawatan, sehingga
penilaiannya juga harus ditafsirkan oleh kedua bidang tersebut. Mengenai
hal yang sangat berkaitan dengan duty of care untuk saat ini adalah unit
emergensi atau unit gawat darurat.
Apabila emergensi dikaitkan dengan hal informed consent, maka
dalam keadaan emergensi kewajiban untuk memberikan informasi dan
kewajiban untuk memberikan persetujuan pasien atau keluarganya lebih
dahulu sebelum tindakan medik dilakukan tidak berlaku bila:
1) Keadaan mengharuskan segera dilakukan operasi
Dalam pasal 45 ayat (2) UU Rumah Sakit menyebutkan bahwa
Rumah Sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam
rangka penyelamatan jiwa manusia.
2) Consent express tidak mungkin diperoleh dalam waktu singkat dari:
i. Pasien sendiri karena berada dalam keadaan tidak sadar, atau
dari keluarga terdekat yang berwenang untuk bertindak atas
namanya
ii. Jika tidak segera dilakukan pembedahan akan sangat
membahayakan kesehatan atau jiwa pasien.
38
BAB III
Pada hari selasa tanggal 9 juli 2019 jam 17.00 WIB Bapak R usia 65 tahun
dibawa ke IGD RS.L oleh keluarganya dengan keluhan nyeri perut sebelah kanan
bawah disertai perut membesar dan sesak sejak 1 bulan yang lalu Kemudian
dilakukan pemeriksaan oleh dokter Y Pasien didiagnosis Appendicitis Perforasi
dengan penyulit COPD. Kemudian direncanakan tindakan operasi cito. Dokter Y
sudah memberi penjelasan kepada keluarga dan operasi yang dilakukan. Di
'informed consent' (persetujuan tindakan medis) itu, dokter juga sudah menjelaskan
efek samping atau risiko setelah dilakukan operasi sehingga keluarga tahu.
Kemudian ditawarkan oleh dokter bedah Y:
1. Operasi dilakukan Cito dengan kemungkinan terburuk pasien meninggal
karena penyulit yang diderita oleh pasien.
2. Operasi ditunda sampai namun dengan resiko perforasi yang semakin parah
dan pasien dapat meninggal dengan sepsis.
Pada tanggal 10 Juli 2019 jam 06.00 Perawat rawat inap P. Melakukan
observasi Bapak R. untuk menanyakan keluhan dan melakukan pemeriksaan tanda
vital dan didapatkan bahwa Bapak R. Dalam kondisi stabil dengan tensi 120/70 nadi
87 suhu 36 RR 24 .Pada jam 08.00 istri pasien, yaitu ibu D dengan panik
memanggil perawat rawat inap dan memberitahukan perawat bahwa bapak R tiba2
tidak sadarkan diri .
39
Perawat P. Segera memeriksa keadaan pasien dan dengan segera
memanggil dokter jaga , yaitu dokter A untuk segera memberikan pertolongan , dari
hasil pemeriksaan didapatkan pasien sudah tidak sadar ,tidak bernafas .
Dokter A meminta persetujuan keluarga pasien untuk melakukan RJP ,
setelah mendapatkan persetujuan segera Dokter A dengan dibantu perawat P
melakukan RJP kepada bapak R. Setelah melakukan RJP 3 siklus , Dokter A
memeriksa kembali keadaan bapak R dan didapatkan pupil sudah melebar sekitar
5mm dan tidak ada gerakan nafas , setelah itu dilakukan pemeriksaan ekg dan
didapatkan asystole .Bapak R. Dinyatakan meninggal pada jam 08.15 oleh dokter A.
Keluarga pasien menerima dengan sabar dan meminta untuk segera dilakukan
persiapan untuk membawa pulang jenazah bapak R ke rumah duka sekitar 60km dari
RS.L .
Pada tanggal 29 juli 2019 dua orang yang mengaku LSM ke RS.L jam
09.00 untuk menemui direktur RS.L , namun direktur sedang dalam perjalanan luar
kota sehingga dua orang tersebut ditemui oleh sekretaris dan manajer pelayanan
medis RS.L .Dua orang tersebut menunjukkan surat kuasa atas nama saudara T.
yang merupakan anak dari bapak R. Yang meninggal 2 minggu yang lalu di
RS.L .Dua orang tersebut meminta rekam medik Bapak R. dan ingin melakukan
investigasi atas kasus meninggalnya bapak R. Sekretaris dan manajer pelayanan
medis RS.L meminta kedua orang tersebut untuk datang 1 minggu lagi untuk
dipertemukan dengan Direktur RS.L dan Dokter penanggung jawab pasien bapak R.
Pada tanggal 5 agustus 2019 jam 10.00 diadakan pertemuan antara dua
orang LSM , Direktur dan DPJP dokter Y di ruang direktur disaksikan oleh
manajemen RS.L .Pertemuan dimulai dengan pernyataan masalah yang ingin
disampaikan oleh LSM atas meninggalnya bapak R setelah itu dokter Y melakukan
klarifikasi atas tindakan bedahnya dan menyatakan bahwa sudah dilakukan informed
concern kepada ibu D istri dari bapak R untuk dilakukan operasi dan penjelasan
tentang resiko yang mungkin terjadi setelah operasi . LSM tersebut tidak puas
dengan penjelasan dokter Y dan meminta direktur untuk menunjukkan rekam medis
bapak R.
40
Direktur menyetujui untuk memperlihatkan rekam medis dengan syarat
tidak boleh dilakukan perekaman atas rekam medis yang ditunjukkan tersebut.
Setelah ditunjukkan rekam medis , LSM tersebut menyatakan bahwa puas setelah
melihat rekam medis namun tidak menjamin bahwa kasus tersebut tidak dibawa ke
ranah hukum , maka Direktur RS.L menyatakan ingin bertemu dengan saudara T.
Untuk mendapatkan penjelasan langsung mengenai kasus bapak R , namun LSM
tersebut tidak bersedia melakukan negosiasi langsung antara Direktur dan saudara T.
Kesepakatan tersebut ditanda tangani oleh kedua pihak, beserta dengan saksi, dan
masalah dianggap telah selesai tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.
42
4. Tindakan negosiasi langsung kepada keluarga bapak R yang dilakukan oleh
Direktur RS.L merupakan tindakan yang tepat karena melalui jalan negosiasi
langsung tidak ada pihak lain atau kepentingan lain yang terlibat untuk
menyelesaikan kasus bapak R
5. Tindakan Direktur RS.L dalam memberikan santunan merupakan hal yang baik
dilakukan karena menunjukkan rasa empati kepada keluarga bapak R.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. Dari segi etik, penerapan informed consent dianggap sebagai upaya dokter
untuk membuktikan kesungguhannya dalam mematuhi primum non nocere
(yang paling diutamakan adalah untuk tidak mencelakakan pasien), serta
prinsip mengutamakan kepentingan pasien. Sehingga dapat dikatakan bahwa
aspek etik dari informed consent sangatlah luas dan besar dan menjadi
landasan moral bagi kalangan tenaga kesehatan, khususnya para dokter.
Dalam profesi kedokteran, dikenal adanya suatu kode etik yang disusun
berdasarkan asas etik. Kode etik kedokteran yang berlaku sekarang
dinyatakan mulai berlaku pertama kali dengan Keputusan Menteri Kesehatan
No. 434/Men. Kes/Sk/X/1983 tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran
Indonesia (Kodeki) bagi para dokter di seluruh Indonesia.
Dari segi hukum, seorang dokter juga terikat aturan-aturan hukum, yang
meliputi hukum perdata yang mengatur kaedah-kedah hukum dalam
hubungan antar individu dalam masyarakat, hukum pidana yang berisi aturan
hukum yang bersifat publik dan mengatur masalah tindak pidana yang timbul
dalam masyarakat serta menyelesaikan tindak pidana tersebut, serta hukum
administrasi. Dengan demikian di dalam menjalankan tugasnya, seorang
dokter di samping harus mematuhi etika kedokteran juga harus mematuhi
hukum yang berlaku.
43
2. Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
menyebutkan dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa
pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan
kedokteran. Selain itu, terdapat doktrin mengenai alasan-alasan yang dapat
mengecualikan informed consent, yaitu sebagai berikut. (1) Pasien yang akan
;
menjalani pengobatan dengan “placebo” (sugestif therapeuticum) (2) Pasien
43
44
yang akan merasa dirugikan bila mendengar informasi tersebut; (3) Pasien
yang sakit jiwa; (4) Pasien yang belum dewasa; dan (5) Pasien Tidak Sadar.
3. Dilihat dari segi hukum, malpraktek ada tiga, yakni Malpraktek Perdata,
Malpraktek Pidana, dan Malpraktek Administratif, Malpraktek
Perdata,Terjadi ketika terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya
isi perjanjian dalam transaksi teurapetik oleh tenaga kesehatan, atau
terjadinya perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada
pasien. Pada Malpraktek Pidana, terdapat tiga bentuk malpraktek. Pertama,
malpraktek pidana karena kesengajaan, misalnya adalah melakukan aborsi
tanpa indikasi medis yang membenarkan, eutanasia, hingga membocorkan
rahasia pasien. Kedua, malpraktek pidana karena kecerobohan, misalnya
melakukan tindakan medis tanpa disetujui oleh pasien. Ketiga, malpraktek
pidana karena kealpaan, misalnya kesalahan operasi yang menyebabkan
pasien cacat atau meninggal dunia. Malpraktek Administratif terjadi apabila
ada pelanggaran hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya
menjalankan praktek tanpa surat izin praktek atau menjalankan praktek tanpa
membuat catatan medik.
4. Peranan perawat juga sangat besar dalam pelaksanaan informed consent.
Meskipun hal tersebut bukan merupakan kewenangan perawat, melainkan
kewenangan dokter yang dapat didelegasikan kepada perawat. Untuk perawat
yang bekerja dan digaji oleh seorang dokter, maka pada umumnya dokterlah
yang bertanggung jawab terhadap tindakan perawat yang dilakukan atas
perintah dokter, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata.
untuk perawat yang bekerja dan diberi gaji oleh rumah sakit dan
diperbantukan kepada dokter maka rumah sakit secara perdata bertanggung
jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perawat. Terhadap
tanggung jawab rumah sakit ini, dapat digunakan konstruksi pasal 1367
KUHPerdata. Akan tetapi apabila perawat melakukan sesuatu tindakan medik
yang tidak sesuai dengan ijazah yang ia miliki, perawat itu sendiri yang harus
bertanggung jawab. Mengenai tanggung jawab Rumah Sakit, apabila
tanggung jawab rumah sakit dikaitkan dengan hal pelaksanaan informed
consent dan personalia, maka pada dasarnya rumah sakit bertanggung jawab
45
secara perdata terhadap semua tindakan medis maupun non medis di rumah
sakit itu. Hal ini juga berdasarkan pasal 1367 KUHPerdata.
5. Dengan adanya informed consent ini, diharapkan dapat diminimalisasi
sengketa kedokteran yang terjadi atau yang dewasa ini sering disebut sebagai
malpraktik, walaupun pada kenyataannya sengketa kedokteran hingga saat ini
masih seringkali terjadi dan masih banyak ditemui pasien yang tidak
mengetahui hak-hak mereka sebagai pasien. Kemudian perlu juga
digarisbawahi terkait minimalisasi sengketa kedokteran dengan adanya
informed consent bukan berarti bahwa informed consent merupakan sarana
yang dapat membebaskan dokter dari tanggung jawab hukum jika terjadi
malpraktik. Malpraktik adalah masalah lain yang erat kaitannya dengan
pelaksanaan pelayanan medis yang tidak sesuai dengan standar. Meskipun
sudah mengantongi informed consent, tetapi jika pelaksanaannya tidak sesuai
standar, maka dokter tetap harus bertanggung jawab atas kerugian yang
terjadi.
4.2. Saran
46
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. cet. ke-1. Jakarta: Grafikatama
Jaya, 1991.
Cahyono, Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata. ed.
ke-1. cet. ke-1. Jakarta: CV Gitama Jaya, 2008.
Garner, Bryan A. Ed. Black's Law Dictionary 9th ed. St. Paul Min: West Group,
2009.
Kerbala, Husein. Segi-Segi Etis dan Yuridis Informed Consent. cetakan ke-1.
Jakarta: PT Penebar Swadaya, 1993.
Leenen, H.J.J. Pelayanan Kesehatan dan Hukum. Eds. A.F. Lamintang. Bandung:
Binacipta, 1991.
Mariyanti, Ninik. Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata.
Jakarta: Bina Aksara, 1998.
Sardjono, Agus. Buku Ajar (Buku A) Hukum Dagang. Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004.
47
Soekanto, Soerjono. Aspek Hukum Kesehatan Suatu Kumpulan Catatan. Jakarta:
Penerbit IND-HILL-CO, 1989.
Yunanto, Ari dan Helmi. Hukum Pidana Malpraktik Medik. Yogyakarta: Andi
Offset, 2010.
INTERNET:
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
48
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran
49
50
li