Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH UNDANG-UNDANG ETIKA KEFARMASIAAN

“ Hukum Informed Consent”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 3

ANGGOTA :

Nauratul Islamiyah (G70123076) Eulistinah Djanun (G70123016)

Dina Auliya Putri (G70123026) Reva Anastasya (G70123108)

Silvy Holfiani (G70123073) Sukma Novita Sari (G 701 23 014)

Natjwa Rizki Awaliyah (G7013091 Ni Luh Putu Shintya Riani (G70123033)

Ni Made Vinaca Diah Savitri (G70123096) Wina Ali Datuamas (G 701 23 099

Dia Rahmatanti (G70123074)

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2024

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah menganugerahkan nikmat iman serta
limpahan barakah kepada kami, sehingga kami berkesempatan untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad
SAW, Yakni suri tauladan ummat, hingga menjadi motivasi kami untuk berkarya melalui ilmu
bermanfaat. Tak lupa kami haturkan terima kasih kepada dosen pembimbing, yang telah
memberikan kami pemahaman akan beberapa disiplin ilmu sehingga kami mempunyai bekal
dalam menyelesaikan makalah kami, karena tanpa bimbingan dosen maka sulit bagi kami
untuk bisa menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang

Dalam makalah ini kami membahas tentang


secara luas, dengan berpatokan pada berbagai referensi yang telah kami tampung
menjadi satu referensi, meliputi referensi cetak, jejaring social, serta referensi jurnal kesehatan
tentang , dalam format PDF .

Tiada lain tujuan kami menyusun makalah ini, kecuali hanya untuk menambah
pengethuan kita dalam bidang etika dan hukum kesehatan, maka kami sediakan makalah ini
yang di dalamnya telah kami bahas secara spesifik tentang informed consent mulai dari
pengertian dasar serta penerapannya.

kami berharap dengan hadirnya makalah ini maka akan menambah ilmu pengetahuan
dan harapan besar kami semoga makalah ini bisa bermamfaat untuk kami dan pembaca
semuanya.

2
DAFTAR ISI

COVER… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … …

KATA PENGANTAR .........................................................................................................................1

DAFTAR ISI ......................................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang .............................................................................................................3

1.2 . Rumusan masalah.......................................................................................................4

1.3 . Tujuan… … ....................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Pengertian informed consent… … … .… … ................................................................. ..4


2.2. Tujuan perlunya informed consent… … … … … … … ...… ..............................................5
2.3 Fungsi informed consent… … … … … … … … … … … … .… … … … … … … … … … … ..… ....6
2.4 Bentuk- bentuk dan unsur informed consent… … … … … … … … … … … … … .… .. … ...7
2.5 Tata laksana informed consent… … … … … … … … … … … … … … … … … … .. .… … ..… .8
2.6 Aspek – aspek penting dalam informed consent… … … … … … … … … … … … ..… ... 8
2.7 Dasar hukum informed consent… … … … … … … … … … … … … … ... … … … … … … ....13
2.8 Sanksi hukum terhadap informed consent… … … … … … … … … … … … … … … ..… .. 15

3
BAB 1II PENUTUP

3.1. Kesimpulan… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … .… … .15

3.2. Saran… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … ..… … … … ...… 16

DAFTAR PUSTAKA… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … ... … ...16

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada hakikatnya, persetujuan atas dasar informasi atau dikenal dengan istilah
informed consent, merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri yang
berfungsi di dalam pelayanan kesehatan. Penentuan nasib sendiri adalah nilai dan sasaran
dari , dan intisari dari permasalahan adalah alat. Secara
konkret persyaratan ditujukan untuk setiap tindakan baik yang bersifat
diagnostic ataupun terapeutik, dan pada dasarnya senantiasa diperlukan persetujuan pasien
yang bersangkutan. Agar pemberian pertolongan dapat berfungsi di dalam pelayanan medis,
para pemberi pertolongan perlu memberikan informasi atau keterangan pada pasien tentang
keadaan dan situasi kesehatannya. Hubungan antara informasi dan persetujuan dinyatakan
dalam istilah Serta bisa disebut juga persetujuan tindakan kedokteran yang
diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Aspek
utama Informed Consent adalah memberikan perlindungan kepada pasien serta memberi
perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif.

Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan diharapkan terlaksana hubungan yang


lancar antara pasien dan tenaga kesehatan. akan tetapi dapat terjadi diantara 2
prinsip, yaitu prinsip

, dan prinsip .
Sehingga terdapat benturan yang dilematis antara tanggung jawab moral profesi dan hak
asasi manusia yang universal dalam hubungannya dengan kesehatan. dengan demikian
informed consent dibuat dengan tujuan untuk (1) memberikan perlindungan kepada pasie
atas segala tindakan medis dan (2) memberikan perlindungan tenaga kesehatan terhadap
terjadinya akibat yang tidak terduga yang dianggap merugikan pihak lain.

Secara aspek hukum informed consent dapat disimpulkan yaitu persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarga atas dasar informasi dan penjelasan mengenai tindakan
yang akan dilakukan terhadap pasien yang tertera dalam Permenkes No
290/MENKES/PER/III/2008 Pasal 1 Ayat (1). Tujuan Informed Consent adalah melindungi hak
individu untuk menentukan nasibnya sendiri (self-determination).

Peraturan apabila dijalankan dengan baik antara Dokter dan pasien


akan sama-sama terlindungi secara Hukum. Tetapi apabila terdapat perbuatan diluar

5
peraturan yang sudah dibuat tentu dianggap melanggar hukum. Dalam pelanggaran
telah diatur dalam pasal 19 Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap dokter yang melakukan tindakan tanpa
dapat dikenakan sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan
pencabutan Surat Ijin Praktik.

Dalam masalah “ informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak
dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum
administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.

Untuk itu, sangat diperlukan bagi dokter, tenaga kesehatan serta masyarakat untuk
mengetahui tentang aspek hukum Selain itu perlu pula mengetahui isi dari
serta format yang sah secara hukum.

1.2 Rumusan Masalah

Pengertian Informed consent


Tujuan perlunya informed consent
Fungsi informed consent
Bentuk- bentuk dan unsur informed consent
Tata laksana informed consent

Aspek – aspek penting dalam informed consent


Dasar hukum informed consent
Sanksi hukum terhadap informed consent
1.3 Tujuan

Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui Informed consent


Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui fungsi dan tujuan informed consent
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui Bentuk- bentuk dan unsur informed
consent
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui bagaimana tata laksana informed

consent
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui aspek-aspek penting dalam informed
consent
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui dasar hukum informed consent

6
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui sanksi hukum terhadap informed
consent

7
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Informed Consent

adalah istilah yang telah diterjemahkan dan lebih sering disebut


dengan Persetujuan Tindakan Medik. Secara harfiah, terdiri dari dua
kata, yaitu : dan . berarti telah
mendapatinformasi/penjelasan/keterangan. berarti memberi persetujuan atau
mengizinkan. Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “ dirumuskan
sebagai “ suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan
dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis
yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang
mungkin terjadi.

Pengertian yang lebih luas terkait informed consent yakni adalah memberi izin atau
wewenang kepada seseorang untuk melakukan suatu informed consent(IC),dengan demikian
berarti suatu pernyataan setuju atau izin oleh pasien atau secara sadar, bebas dan rasional
setelah memperoleh informasi yang , dari tenaga kesehatan/doker yang
memahami tentang penyakitnya. Kata dipahami harus digaris bawahi atau ditekankan, karena
pemahaman suatu informasi oleh tenaga kesehatan/dokter belum tentu dipahami juga oleh
pasien. Harus diingat bahwa yang terpenting adalah pemahaman oleh pasien (Hendrik,
2010,hal.57).

Definisi operasional dari adalah persetujuan yang diberikan oleh


pasien(orang tua/wali/suami/istri/orang yang berhak ,mewakilinya) kepada tenaga
kesehatan/dokter untuk dilakukan suatu tindakan medis yang bertujuan untuk kesembuhan
penyakit yang dideritanya. Dalam hal ini tenaga kesehatan ataudokter telah memberikan
informasi yang cukup yang diperlukan pasien mengenai tindakan yang harus dilakukan.

Dalam pengertian demikian, informed consent(persetujuan tindakan medis) dapat


dilihat dari dua sudut, yaitu pertama membicarakan Persetujuan Tindakan Medik dari
pengertian umum, adalah persetujan yang diperoleh dokter sebelum melakukan pemeriksaan,
pengobatan dan tindakan medik apapun yang akan dilakukan. Dan kedua membicarakan
Persetujuan Tindakan Medik dari pengertian khusus, adalah Persetujuan Tindakan Medik yang
dikaitkan dengan persetujuan atau izin tertulis dari pasien/keluarga pada tindakan operatif,
lebih dikenal sebagai Surat Izin Operasi (SIO), surat perjanjian dan lain– lain, istilah yang
dirasa sesuai oleh rumah sakit tersebut (Amri, 1999).

8
2.2 Tujuan Perlunya Informed Consent

Di Indonesia informed Consent tentu memiliki maksud tujuan diatur terlihat


dari arti pentingnya perlindungan terhadap hak-hak azasi pasien untuk menentukan
nasib sendiri (hak informasi tentang penyakitnya, hak untuk menerima/menolak
rencana perawatan). Juga merupakan suatu tindakan konkrit atas penghormatan
kalangan kesehatan terhadap hak perorangan. mengingat perlu dan pentinya
pembatasan Otorisasi Tenaga kesehatan terhadap pasien juga merupakan hal yang
bisa dilepaskan.

Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari


tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga
dan bersifat negatif, misalnya terhadap “ risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan
walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik.
Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali
jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan
(ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.

Menurut Appelbaum(Veronica K,1999) untuk menjadi doktrin informed consent harus


memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Adanya kewajiban dari tenaga kesehatan untuk menjelaskan informasi kepada pasien
2. Adanya kewajiban dari tenaga kesehatan untuk mendapatkan izin atau persetujuan
dari pasien, sebelum dilaksanakan perawatan/pengobatan.

Dari pernyataan diatas, timbul persepsi di kalangan para tenaga kesehatan bahwa
tampaknya kewajiban itu hanya membebani para tenaga kesehatan, sedangkan risiko yang
dihadapi dalam pelayanan medis tertentu tergolong tinggi. Dalam hal ini, informed consent
diartikan sebagai perwujudan prinsip mengutamakan kepentingan pasien, tetapi kepentingan
tenaga kesehatan tersebut terabaikan. Selain itu, ada juga yang menafsirkan bahwa informed
consent secara tertulis dari pasien dapat dijadikan alat bukti ada tidaknya kesalahan dalam
tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Didasarkan pada asas tidak
merugikan, penetapan syarat informed consent justru bertujuan agar tenaga kesehatan dapat
menghindarkan risiko sekecil apapun demi kepentingan pasiennya.

Untuk menghindari tuntutan pasien terhadap tenaga kesehatan, di dalam informed


consent secara tertulis dicantumkan syarat bahwa
Syarat yang dimaksudkan antara lain menyatakan bahwa,

Akan tetapi rumusan tersebut jika ditinjau


dari segi hukum tidak mempunyai arti atau kekuatan hukum. Dalam khazanah hukum, izin
seperti ini disebut dengan b yang sama seklai tidak mempunyai kekuatan atau

9
arti dalam hal legalitas. Maksudnya, izin seperti ini tidak dapat digunakan sebagai dasat
pembelaan terhadap tenaga kesehatan/dokter, apabila terjadi sesuatu pada pasien. Dengan
demikian, semuanya harus dikembalikan kepeada pemenuhan standar profesi medis. Di
samping itu, seseorang tidak dapat membebaskan diri dari tanggungjawabnya atas kesalahan
yang belum dilakukan(bertentangan dalam pasal 1335-1337 KUH Perdata).

Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent


mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :

1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia;


2. promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri;

3. untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien;


4. menghindari penipuan dan misleading oleh dokter;
5. mendorong diambil keputusan yang lebih rasional;
6. mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan;
7. sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan;

Pada prinsipnya informed consent diberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan
tetapi, urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-kasus
sebagai berikut :
1. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi

2. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai teknologi baru
yang sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.
3. dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak efek
samping, seperti terapi dengan sinar laser, dll.
4. dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien
5. dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset dan
eksperimen dengan berobjekan pasien.
Tujuan lain dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup
untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent
juga berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat
terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan
sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila
informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.

10
2.3 Fungsi Informed Consent

Fungsi informed consent secara umum adalah:

Proteksi dari pasien dan subyek;

Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;

Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan introspeksi


terhadap diri sendiri;
Promosi dari keputusan-keputusan rasional;
Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai
social dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan biomedik.

itu sendiri menurut jenis tindakan / tujuannya dibagi tiga, yaitu:

a. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek penelitian)
b. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis;
c. Yang bertujuan untuk terapi.

2.4 Bentuk Informed Consent

Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medik ( ) yaitu :

1. Tersirat atau dianggap telah diberikan ( ), yaitu bisa dalam keadaan


normal (biasa) atau darurat, umumnya tindakan yang biasa dilakukan atau sudah
diketahui umum misal menyuntik pasien. Bila pasien dalam keadaan gawat
darurat ” ” memerlukan tindakan segera, sementara pasien dalam
keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya pun tidak ditempat,
maka dokter dapat melakukan tindakan edik terbaik menurut dokter (Permenkes
No. 585 tahun 1989, pasal 11).
2. Dinyatakan ( ), yaitu persetujuan dinyatakan secara lisan atau
tertulis. Persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan medis yang tidak
mengandung resiko tinggi seperti pencabutan kuku, sedangkan persetujuan secara
tertulis mutlak diperlukan pada tindakan medis yang mengandung resiko tinggi
seperti tindakan pembedahan perlu surat pernyataan dari pasien/keluarga. (Amri,
1999).

Persetujuan tertulis dalam suatu tindakan medis dibutuhkan saat:

1. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko atau efek
samping yang bermakna;
2. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi;
3. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi
kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien;

11
4. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.

Menurut J.Guwandi, SH.(2004) terdapat 3 bagian dari informed consent:


1. Pengungkapan dan penjelasan ( ) kepada pasien dalam
bahasa yang dapat dimengerti oleh pasiennya tentang:
Penegakan diagnosis;
Sifat dan prosedur atau tindakan medic yang diusulkan;
Kemungkinan timbulnya resiko;
Manfaatnya;
Alternative (jika ada)
2. a. memastikan bahwa pasien mengerti apa yang telah dijelaskan kepadanya(harus
diperhitungkan tingkat intelektualnya)
b. bahwa pasien menerima risiko-risiko tersebut
c. bahwa pasien mengizinkan dilakukan prosedur atau tindakan medic tersebut
3. harus didokumentasikan ( )

Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga)
unsure sebagai berikut :

Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter;


Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan;
Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.

2.5 Tata Laksana Informed Consent

Pada umumnya, keharusan adanya Informed Consent secara tertulis yang


ditandatangani oleh pasien sebelum dilakukannya tindakan medik tertentu itu, dilakukan di
sarana kesehatan yaitu di Rumah Sakit atau Klinik, karena erat kaitannya dengan
pendokumentasiannya ke dalam catatan medik (Medical Record). Hal ini disebabkan, Rumah
Sakit atau Klinik tempat dilakukannya tindakan medik tersebut, selain harus memenuhi
standar pelayanan rumah sakit juga harus memenuhi standar pelayanan medik sesuai dengan
yang ditentukan dalam keputusan Menteri Kesehatan No. 436/MENKES/SK/VI/1993 Tentang
Berlakunya Standar Pelayanan di Rumah Sakit. Dengan demikian, Rumah Sakit turut
bertanggung jawab apabila tidak dipenuhinya persyaratan Informed Consent. Apabila
tindakan medik yang dilakukan tanpa adanya Informed Consent, maka dokter yang
bersangkutan dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin praktik,
Berarti, keharusan adanya Informed Consent secara tertulis dimaksudkan guna kelengkapan
administrasi Rumah Sakit yang bersangkutan.

Dengan demikian, penandatanganan Informed Consent secara tertulis yang dilakukan


oleh pasien sebenarnya dimaksudkan sebagai penegasan atau pengukuhan dari persetujuan
yang sudah diberikan setelah dokter memberikan penjelasan mengenai tindakan medik yang

12
akan dilakukannya. PERMENKES No.585/MENKES/PER/IX/1989 Pasal 3 dan 4 menyatakan
bahwa penandatangan Informed Consent secara tertulis dilakukan oleh yang berhak
memberikan persetujuan yaitu baik pasien maupun keluarganya, setelah pasien atau
keluarganya mendapat informasi yang lengkap.

Oleh karena itu, dengan ditandatanganinya Informed Consent secara tertulis tersebut,
maka dapat diartikan bahwa pemberi tanda tangan bertanggung jawab dalam menyerahkan
sebagian tanggung jawab pasien atas dirinya sendiri kepada dokter yang bersangkutan,
beserta resiko yang mungkin akan dihadapinya. Untuk itu, tindakan medik yang ditentukan
oleh dokter harus dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan standar profesinya.(Guwandi,
2004).

2.6 Aspek-aspek Penting dalam informed consent

Beberapa aspek-aspek penting terkait pelaksanaan informed consent ialah sebagai


berikut:

Bagian yang terpenting dalam Informed Consent adalah mengenai informasi atau
penjelasan yang perlu disampaikan kepada pasien atau keluarga. Yaitu informasi mengenai
apa (what) yang harus disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit
pasien. Tindakan apa yang akan dilakukan tentunya prosedur tindakan yang akan dijalani baik
diagnostik maupun terapi dan lain – lain sehingga pasien/keluarga dapat memahaminya. Ini
mencakup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan dan alternatif
terapi. Mengenai kapan (when) disampaikan, tergantung pada waktu yang tersedia setelah
dokter akan memutuskan akan melakukan tindakan invasif dimaksudkan.

Pasien/keluarganya harus diberi waktu yang cukup untuk menentukan keputusannya.


Siapa (who) yang menyampaikan, tergantung dari jenis tindakan yang akan dilakukan. Dalam
Permenkes dijelaskan dalam tindakan bedah dan tindakan invasif lainnya harus diberikan
oleh dokter yang akan melakukan tindakan. Dalam keadaan tertentu dapat pula oleh dokter
lain atas sepengetahuan dan petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Bila bukan tindakan
bedah atau invasif sifatnya, dapat disampaikan oleh dokter atau perawat. Mengenai informasi
yang mana (which) yang harus disampaikan, dalam Permenkes dijelaskan haruslah yang
selengkap– lengkapnya, kecuali dokter menilai informasi tersebut dapat merugikan
kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak memberikan informasi. Bila perlu
informasi dapat diberikan kepada keluarga pasien (Amri, 1999).

Dalam uu no.36 tahun 2009 menyatakan bahwa dokter harus menyampaikan


informasi atau penjelasan kepada pasien/keluarga diminta atau tidak diminta, jadi informasi
harus disampaikan. Informasi harus diberikan sebelum dilakukannya suatu tindakan operasi
atau yang bersifat invasif, baik yang berupa diagnostik maupun terapeutik.

13
Menurut Kerbala (1993), fungsi informasi dokter kepada pasien sebelum pasien
memberikan consent-nya, dapat dibedakan atas :

Berfungsi sebagai perlindungan atas hak pasien untuk menentukan diri sendiri. Dalam
arti bahwa pasien berhak penuh untuk diterapkannya suatu tindakan medis atau tidak.

Dilihat dari pihak dokter maka informasi dalam proses Informed consent pun
mempunyai fungsi yang tidak kecil. Azwar (1991) mengemukan ada 5 hal pentingnya fungsi
informasi terlebih dokter:

1. Dapat membantu lancarnya tindakan kedokteran

Dengan penyampaian informasi kepada pasien mengenai penyakit, terapi, keuntungan,


risiko, dan lain-lain. Dari tindakan medis yang akan dilakukan maka terjalin hubungan yang
baik antara dokter dan pasien. Sementara pasien pun akan menentukan hal yang terbaik
dengan landasan informasi dokter tadi, sehingga tindakan-tindakan medis pun akan lancar
dijalani oleh kedua pihak karena keduanya telah memahami kegunaan semua tindakan medis
itu.

2. Dapat mengurangi timbulnya akibat sampingan dan komplikasi

Dengan penyampaian informasi yang baik akan memberi dampak yang baik dalam
komunikasi dokter pasien terutama dalam menerapkan terapi. Misal dokter sebelum
menyuntik pasien dengan penisilin bertanya, apakah pasien alergi terhadap penisilin? Bila
pasien memang alergi maka akibat/risiko yang besar jika terjadi anafilaktik shock dapat
dihindari. Betapa risiko besar itu akan menimpa pasien bila dokter tidak bertanya kepada
pasien.

3. Dapat mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan penyakit

Sama halnya dengan kelancaran tindakan, maka sebagai akibat adanya pengetahuan
dan pemahaman yang cukup dari pasien terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan,
maka proses pemulihan dan penyembuhan penyakit akan lebih cepat. Keadaan yang demikian
juga jelas akan menguntungkan dokter, karena dapat mengurangi beban kerja.

4. Dapat meningkatkan mutu pelayanan

Keberhasilan meningkatkan mutu pelayanan disini adalah sebagai akibat dari lancarnya
tindakan kedokteran, berkurangnya akibat sampingan dan komplikasi serta cepatnya proses
pemulihan dan penyembuhan penyakit.

14
5. Dapat melindungi dokter dari kemungkinan tuntutan hukum

Perlindungan yang dimaksudkan disini adalah apabila disuatu pihak, tindakan dokter
yang dilakukan memang tidak menimbulkan masalah apapun, dan dilain pihak, kalaupun
kebetulan sampai menimbulkan masalah, misalnya akibat sampingan dan atau komplikasi,
sama sekali tidak ada hubungannya dengan kelalaian dan ataupun kesalahan tindakan
(malpractice). Timbulnya masalah tersebut semata– mata hanya karena berlakunya prinsip
ketidakpastian hasil dari setiap tindakan kedokteran/medis. Dengan perkataan lain, semua
tindakan kedokteran yang dilakukan memang telah sesuai dengan standar pelayanan profesi
(standar profesi medis) yang telah ditetapkan.

Menurut Guwandi (2004), informasi yang harus diberikan sebelum dilakukan tindakan
operasi oleh dokter kepada pasien atau keluarga adalah yang berkenaan dengan :

a. Tindakan operasi apa yang hendak dilakukan.


b. Manfaat dilakukan operasi tersebut.
c. Resiko yang terjadi pada operasi tersebut.
d. Alternatif lain apa yang ada (ini kalau memang ada dan juga kalau mungkin
dilakukan).
e. Apa akibatnya jika operasi tidak dilakukan.

Inti dari persetujuan adalah persetujuan harus didapat sesudah pasien mendapat informasi
yang adekuat. Berpedoman pada uu no.36 tahun 2009 tentang persetujuan tindakan medik
maka yang menandatangani perjanjian adalah pasien sendiri yang sudah dewasa (diatas 21
tahun atau sudah menikah) dan dalam keadaan sehat mental. Dalam banyak perjanjian
tindakan medik yang ada selama ini, penandatanganan persetujuan ini sering tidak dilakukan
oleh pasien sendiri, tetapi lebih sering dilakukan oleh keluarga pasien. Hal ini mungkin
berkaitan dengan kesangsian terhadap kesiapan mental pasien untuk menerima penjelasan
tindakan operasi dan tindakan medis yang invasive tadi serta keberanian untuk
menandatangani surat tersebut, sehingga beban demikian diambil alih oleh keluarga pasien.

Tindakan medis yang diambil oleh dokter tanpa persetujuan pasien terlebih dahulu,
meski untuk kepentingan pasien tetap tidak dapat dibenarkan secara etika kedokteran dan
hukum, sebagaimana telah ditegaskan oleh fatwa IDI tentang Informed Consent (dokter tidak
berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun
untuk kepentingan pasien itu sendiri).

Namun terhadap ketentuan tersebut terdapat pengecualian, yaitu dalam keadaan


gawat darurat dan terjadinya perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya serta
dilakukan dalam rangka life saving. Dalam keadaan-keadaan seperti ini dokter dapat
melakukan tindakan medis tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu.

15
Persetujuan dalam tindakan medik terdiri dari dua bentuk, yaitu :

1. Persetujuan Tertulis

Bentuk persetujuan tertulis ini harus dimintakan dari pasien/keluarganya jika dokter
akan melakukan suatu tindakan medik invasif yang mempunyai resiko besar. Hal ini
dinyatakan dengan jelas dalam pasal 3 (1) Permenkes No.585 tahun 1989. Persetujuan–
persetujuan tertulis itu dalam bentuk formulir– formulir persetujuan bedah, operasi dan
lain-lain yang harus diisi (umumnya) dengan tulisan tangan. Dan dari sudut hukum positif,
formulir persetujuan ini sangat penting sebagai bukti tertulis yang dapat dikemukan oleh para
pihak kepada hakim bila terjadi kasus malpraktek. Oleh karena itu, pengisian data pada
formulir itu haruslah tepat dan benar sehingga tidak akan menimbulkan masalah dikemudian
hari bagi para pihak.

2. Persetujuan Lisan

Terhadap tindakan medik yang tidak invasif dan tidak mengandung resiko besar maka
persetujuan dari pasien dapat disampaikan secara lisan kepada dokter. Segi praktis dan
kelancaran pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter merupakan alasan dari penyampaian
persetujuan itu secara tertulis. Meski persetujuan lisan itu diperbolehkan untuk tindakan,
dokter membiasakan diri untuk menulis/mencatat persetujuan lisan pasien itu pada rekam
medis/rekam kesehatan, karena segala kegiatan yang dilakukan oleh dokter harus dicatat
dalam rekam medis termasuk persetujuan pasien secara lisan.

Penolakan Pemeriksaan/ Tindakan

Pasien yang kompeten (dia memahami informasi, menahannya dan mempercayainya


dan mampu membuat keputusan) berhak untuk menolak suatu pemeriksaan atau tindakan
kedokteran, meskipun keputusan pasien tersebut terkesan tidak logis. Kalau hal seperti ini
terjadi dan bila konsekuensi penolakan tersebut berakibat serius maka keputusan tersebut
harus didiskusikan dengan pasien, tidak dengan maksud untuk mengubah pendapatnya tetapi
untuk mengklarifikasi situasinya. Untuk itu perlu dicek kembali apakah pasien telah mengerti
informasi tentang keadaan pasien, tindakan atau pengobatan, serta semua kemungkinan efek
sampingnya.

Kenyataan adanya penolakan pasien terhadap rencana pengobatan yang terkesan


tidak rasional bukan merupakan alasan untuk mempertanyakan kompetensi pasien. Meskipun
demikian, suatu penolakan dapat mengakibatkan dokter meneliti kembali kapasitasnya,
apabila terdapat keganjilan keputusan tersebut dibandingkan dengan keputusan-keputusan
sebelumnya. Dalam setiap masalah seperti ini rincian setiap diskusi harus secara jelas
didokumentasikan dengan baik.

16
Penundaan Persetujuan

Persetujuan suatu tindakan kedokteran dapat saja ditunda pelaksanaannya oleh


pasien atau yang memberikan persetujuan dengan berbagai alasan, misalnya terdapat
anggota keluarga yang masih belum setuju, masalah keuangan, atau masalah waktu
pelaksanaan. Dalam hal penundaan tersebut cukup lama, maka perlu di cek kembali apakah
persetujuan tersebut masih berlaku atau tidak.

Pembatalan Persetujuan Yang Telah Diberikan

Prinsipnya, setiap saat pasien dapat membatalkan persetujuan mereka dengan


membuat surat atau pernyataan tertulis pembatalan persetujuan tindakan kedokteran.
Pembatalan tersebut sebaiknya dilakukan sebelum tindakan dimulai. Selain itu, pasien harus
diberitahu bahwa pasien bertanggungjawab atas akibat dari pembatalan persetujuan tindakan.
Oleh karena itu, pasien harus kompeten untuk dapat membatalkan persetujuan.

Kompetensi pasien pada situasi seperti ini seringkali sulit. Nyeri, syok atau pengaruh
obat-obatan dapat mempengaruhi kompetensi pasien dan kemampuan dokter dalam menilai
kompetensi pasien. Bila pasien dipastikan kompeten dan memutuskan untuk membatalkan
persetujuannya, maka dokter harus menghormatinya dan membatalkan tindakan atau
pengobatannya. Kadang-kadang keadaan tersebut terjadi pada saat tindakan sedang
berlangsung. Bila suatu tindakan menimbulkan teriakan atau tangis karena nyeri, tidak perlu
diartikan bahwa persetujuannya dibatalkan. Rekonfirmasi persetujuan secara lisan yang
didokumentasikan di rekam medis sudah cukup untuk melanjutkan tindakan. Tetapi apabila
pasien menolak dilanjutkannya tindakan, apabila memungkinkan, dokter harus menghentikan
tindakannya, mencari tahu masalah yang dihadapi pasien dan menjelaskan akibatnya apabila
tindakan tidak dilanjutkan. Dalam hal tindakan sudah berlangsung sebagaimana di atas, maka
penghentian tindakan hanya bisa dilakukan apabila tidak akan mengakibatkan hal yang
membahayakan pasien.

Lama Persetujuan Berlaku

Teori menyatakan bahwa suatu persetujuan akan tetap sah sampai dicabut kembali oleh
pemberi persetujuan atau pasien. Namun demikian, bila informasi baru muncul, misalnya
tentang adanya efek samping atau alternatif tindakan yang baru, maka pasien harus
diberitahu dan persetujuannya dikonfirmasikan lagi. Apabila terdapat jedah waktu antara saat
pemberian persetujuan hingga dilakukannya tindakan, maka alangkah lebih baik apabila
ditanyakan kembali apakah persetujuan tersebut masih berlaku. Hal-hal tersebut pasti juga
akan membantu pasien, terutama bagi mereka yang sejak awal memang masih ragu-ragu
atau masih memiliki pertanyaan.

17
Pengukuran pengetahuan dapat diukur dengan wawancara yang menanyakan sesuatu
yang ingin diukur tentang pengetahuan dari subjek penelitian (Notoatmodjo, 2003). Untuk
mengukur pengetahuan dokter tentang Informed Consent maka perlu diketahui pengertiannya
tentang Informed Consent, manfaat seerta peraturan tertera dalam uu no 36 tahun 2009.

. Allport (1954), seperti yang dikutip dari Notoatmodjo (2003), menjelaskan bahwa sikap
terdiri dari 3 komponen pokok yaitu :

1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.


2. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.
3. Kecendrungan untuk bertindak (trend to behave).

Ketiga komponen ini secara bersama– sama membentuk sikap yang utuh (total
attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini pengetahuan berpikir, keyakinan, dan emosi
memegang peranan penting,bahwa pasienlah yang harus memutuskan apakah mereka akan
melakukan suatu tindakan medis dan oleh petugas kesehatan memberi tahu mengenai
prosedur, risiko, dan efektifitas sehingga mereka bisa mengambil keputusan yang tepat.

adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi suatu perbuatan nyata. Tindakan juga
merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk nyata atau terbuka
(Notoatmodjo, 2003). Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan
atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh
karena itu disebut juga over behavior.

2.7 Dasar Hukum Informed Consent

Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan
pasien) bertindak sebagai “ subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan
kewajiban, sedangkan “ jasa tindakan medis” sebagai “ obyek hukum” yakni sesuatu yang
bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum
yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja
maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “ informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak
dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum

administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.

18
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah “ kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil
dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan

pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara
umum berlaku pada “ barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi” .
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolak ukur yang dipergunakan adalah “ kesalahan
berat” (culpa lata). Oleh karena itu, adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan
tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolak ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.

Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa
tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis
(pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan

persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat
telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal
1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak
atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;

Aspek Hukum Pidana, “ informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya
pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu
tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan
pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa

tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah
melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.

Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa
“ informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara
pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing
pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari
informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu
inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan

19
secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian
yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed
consent ini.

Adanya kewajiban dari pihak pemberi informasi dalam menyampaikan sebuah


persetujuan tindak medik yang akan dilakukan atau setelah dilakukan. Tentunya tenaga
kesehatan harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien/ keluarga diminta
atau tidak diminta. Informasi tersebut: harus dengan jelas yang berkaitan dengan penyakit
pasien ; prosedur diagnostik, tindakan/terapi, alternatif terapi dan pembiayaan serta resiko
yang mungkin timbul dari proses tersebut dan harus dijelaskan selengkap-lengkapnya, kecuali
dipandang merugikan pasien atau pasien menolak untuk diberikan informasi. Informasi itu
juga sewajarnya diberikan oleh tenaga kesehatan yang melakukan tindakan atau tenaga
kesehatan lain yang diberi wewenang, dan bila dipandang perlu informasi bisa diberikan pada

pihak keluarga pasien

Persetujuan dari pasien dari merupakan hal yang harus sangat diperhatikan, pasien tepat tidak
dibawah tekanan hubungan tenaga – pasien. Sebelum dan sesudahnya telah mendapatkan
informasi lengkap, dan pihak yang membuat persetujuan adalah mereka pasien dewasa
(lebih dari 21 tahun atau sudah menikah ) atau dapat diwakilkan pihak Keluarga/ Wali/ induk
semang.
Syarat sahnya persetujuan tindakan medik yang dilakukan oleh tenaga medis
terhadap pasien, sejatinya pasien diberikan secara bebas, diberikan oleh orang yang sanggup

membuat perjanjian.Telah mendapatkan penjelasan dan memahaminya, Mengenai susuatu


hal yang khas dari persetujuan ini, tindakan dilakukan pada situasi yang sama.
Tetapi penolakan (informed refusal) bisa juga dilakukan oleh pasien, karena merupakan hak
pasien/ keluarga pasien dan tiada satupun tenaga kesehatan yang bisa memaksa sekalipun
berbahaya bagi pasien maka sebaiknya pihak rumah sakit/ dokter meminta pasien/ kel
menandatangani surat penolakan terhadap anjuran tindakan medik tersebut di lembaran
khusus.
Seperti yang telah di atur dalam peraturan berikut:
Undang-Undang Republik Indonesia no.36 tahun 2009

20
Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang
Penyelanggaraan Praktik Kedokteran.

2.8 Sanksi Hukum Informed Consent

Sanksi pidana

Apabila seorang tenaga kesehatan menorehkan benda tajam tanpa persetujuan

pasien dipersamakan dengan adanya penganiayaan yang dapat dijerat Pasal 351

KUHP

Sanksi perdata

Tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang mengakibatkan kerugian dapat

digugat dengan 1365, 1367, 1370, 1371 KUHPer

Sanksi administratif

Pasal 13 Pertindik mengatur bahwa :

Terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien atau

keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin praktik.

21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Di Indonesia perkembangan “ informed consent” secara yuridis formal, ditandai


dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “ informed consent”
melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan
PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “ Persetujuan Tindakan Medik atau Informed
Consent” . Serta dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004.

informed Consent yang diperoleh dengan tata cara yang tidak benar tidak dapat di anggap
sebagai penemu hak otonomi pasien, sehingga tindakan tersebut merupakan tindakan
melanggar hukum namun demikian pelaksanaan informed Consennt di indonesia hanya

dilakukan dengan mengindahkan nilai-nilai dalam budaya setempat yang sangat bervariasi.

3.2 Saran

Dalam Hal ini semoga dapat membatu pengetahuan dan menambah ilmu
pengetahuan kita dalam kesehatan , dan yang terpenting adalah dalam hal ini Pemerintah
Bertanggung jawab merencanakan , mengatur, menyelenggarakan dan membina Serta
mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masayarakat.
Juga sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk
memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, terhadap Informed Consent agar kelak

tidak terjadi perselisihan

22
DAFTAR PUSTAKA

Guwandi,J.2004. .Fakultas Kedokteran Indonesia:


Jakarta
Hendrik,SH.M.Kes.2010. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

https://www.academia.edu/6608171/Informed_Consent_dan_Rahasia_Medis.html

http://www.Unsu.ac.id/makalah Informed consent Chapter II.html Format PDF

http://www.Undip.ac.id/daftar pustaka informed consent.html Format PDF

23

Anda mungkin juga menyukai