Anda di halaman 1dari 15

“Informed Consent dan Informed Refusal “

Oleh :
1. Ricka Herlina (20089151001)
2. Putu Yunika Wulandari (20089151005)
3. Ni Luh Made Krisna Dwipayanti ( 20089151007)

Dosen Pengampu :
Indrie lutfiana, SST.,MH

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG


PRODI S1 KEBIDANAN
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR
Om Swastastu

Segala Puji Syukur, kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul “Informed Consent dan Informed Refusal”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
kuliah Profesionalisme Kebidanan .

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan untuk kepentingan proses
belajar dan dengan adanya makalah ini kita dapat belajar bersama demi kemajuan kita dan
kemajuan ilmu pengetahuan.

Melalui kata pengantar ini kami terlebih dahulu meminta maaf dan memohon
permakluman bila mana isi makalah ini tentu jauh dari kata sempurna, oleh karena itu segala
kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini dan
untuk pelajaran bagi kita semua dalam pembuatan dimasa mendatang.

Om Santih, Santih, Santih Om

Singaraja , 01 November 2021


DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa kesehatan merupakan hak asasi


manusia. Pada pasal 28 hasilkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan jiwa yang baik dan sehat serta berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan. Melakukan pelayanan kesehatan dalam rangka
mempertahankan kesehatan yang optimal harus dilakukan bersama-sama, oleh semua tenaga
kesehatan sebagai pertimbangan dari kebijakan.

Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan pasal 22 ayat 1 untuk tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan telkom
profesinya berkewajiban untuk review diantaranya adalah Kewajiban untuk review menghormati
hak Pasien, memberikan information yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan
dilakukan, dan kewajiban untuk review meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan
dilakukan.

Tenaga kesehatan yang tidak menunaikan hak pasien untuk memberikan informed consent
yang jelas, bisa dikategorikan ditolak kasus hukum (mewakili sifat hukum medik)dan dapat
menimbulkan gugatan yang diduga sebagai praktik. Belakangan ini masalah malpraktek medik
(malpraktik medis) yang semakin merugikan pasien semakin mendapat perhatian dari
masyarakat dan sorotan media massa. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan Pusat di
Jakartamelaporkan sekitar 150 kasus malpraktik telah terjadi di Indonesia.

Penjelasan dan persetujuan yang kurang jelas belum bisa dikalkulasikan, tetapi kasus-kasus
malpraktek baru mulai bermunculan. Dalam hal ini terkait dengan Penelitian Kesehatan.
Penelitian kesehatan merupakan langkah metode ilmiah yang berorientasikan atau memfokuskan
kegiatannya pada masalah-masalah yang timbul di bidang kesehatan. Kesehatan itu sendiri terdiri
dari dua sub bidang utama, yaitu pertama kesehatan individu yang berorientasikan klinis,
pengobatan. Sub bidang yang berorientasi pada kelompok atau masyarakat, yang saling
bertentangan. Selanjutnya sub bidang kesehatan ini terdiri dari berbagai disiplin ilmu, seperti
pendidikan, keperawatan, epidemiologi, pendidikan kesehatan, kesehatan lingkungan,
manajemen pelayanan kesehatan, dsb gizi. Sub bidang tersebut saling terkait dengan masalah
kesehatan masyarakat pada umumnya. Terkait dengan latar belakang tersebut, penelitian
kesehatan dapat diartikan sebagai suatu pertolongan untuk memecahkan suatu pertentangan
kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitasi serta masalah yang berkaitan dengan
tidak pasti tersebut; dengan mencari bukti dan dilakukan melalui langkah-langkah tertentu yang
dapat diubah ilmiah, sistematis dan logis.

Akhir-akhir ini banyak dibicarakan di media massa masalah dunia kebidanan yang
dihubungkan dengan hukum. Bidang kebidanan yang dahulu dianggap profesi mulia, seakan-
akan sulit tersentuh oleh orang awam, kini mulai dimasuki unsur hukum. Salah satu tujuan dari
hukum atau peraturan atau deklarasi atau kode etik kesehatan atau apapun namanya, adalah
untuk melindungi kepentingan pasien disamping mengembangkan kualitas profesi bidan atau
tenaga kesehatan. Keserasian antara kepentingan pasien dan kepentingan tenaga kesehatan,
merupakan salah satu penunjang keberhasilan pembangunan sistem kesehatan.

Pada awal abad ke-20 telah tumbuh bidang hukum yang bersifat khusus (lex spesialis), salah
satunya hukum kesehatan, yang berakar dari pelaksanaan hak asasi manusia memperoleh
kesehatan (the Right to health care). Masing-masing pihak, yaitu yang memberi pelayanan
(medical providers) dan yang menerima pelayanan (medical receivers) mempunyai hak dan
kewajiban yang harus dihormati.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa Pengertian dari Informed Consent dan Informed Refusal ?
1.2.2 Bagaimana Bentuk – Bentuk Informed Consent ?
1.2.3 Bagaimana Fungsi Informed Consent ?
1.2.4 Kapan Waktu yang tepat dalam pembuatan Informed Consent ?
1.2.5 Bagaimana Format isian Informed Consent ?
1.2.6 Bagaimana Hak Pasien dalam Informed Consent ?
1.2.7 Apa saja Peraturan yang mengatur Informed Consent di Indonesia?
1.2.8 Bagaimana Tujuan dari Informed Refusal ?
1.2.9 Bagaimana Persyaratan dari Informed Refusal dan Hal yang harus di sampaikan
Informed Refusal ?
1.2.10 Bagaimana Pertanggung Jawaban Hukum Mengenai Informed Consent dan
Refusal ?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk Mengetahui Pengertian dari Informed Consent dan Informed Refusal
1.3.2 Untuk Mengetahui Bentuk – Bentuk Informed Consent
1.3.3 Untuk Mengetahui Fungsi Informed Consent
1.3.4 Untuk Mengetahui Waktu yang tepat dalam pembuatan Informed Consent
1.3.5 Untuk Mengetahui Format isian Informed Consent
1.3.6 Untuk Mengetahui Hak Pasien dalam Informed Consent
1.3.7 Untuk Mengetahui Peraturan yang mengatur Informed Consent di Indonesia
1.3.8 Untuk Mengetahui Tujuan dari Informed Refusal
1.3.9 Untuk Mengetahui Persyaratan dari Informed Refusal dan Hal yang harus di
sampaikan Informed Refusal
1.3.10 Untuk Mengetahui Pertanggung Jawaban Hukum Mengenai Informed Consent dan
Refusal
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Informed Consent dan Informed Refusal

1. Informed Consent
Informed Consent teridiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti informasi atau
keterangan dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi pengertian
Informed Consent adalah suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi.
Dengan demikian Informed Consent dapat di definisikan sebagai pernyataan pasien atau
yang sah mewakilinya yang isinya berupa persetujuan atas rencana indakan kedokteran
yang diajukan oleh dokter setelah menerima informasi yang cukup untuk dapat membuat
persetujuan atau penolakan. Persetujuan indakan yang akan dilakukan oleh Dokter harus
dilakukan tanpa adanya unsur pemaksaan. Istilah Bahasa Indonesia Informed Consent
diterjemahkan sebagai persetujuan indakan medik yang terdiri dari dua suku kata Bahasa
Inggris yaitu Inform yang bermakna Informasi dan consent berarti persetujuan. Sehingga
secara umum Informed Consent dapat diartikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh
seorang pasien kepada dokter atas suatu indakan medik yang akan dilakukan, setelah
mendapatkan informasi yang jelas akan indakan tersebut.
Informed Consent menurut Permenkes No.585 / Menkes / Per / IX / 1989, Persetujuan
Tindakan Medik adalah Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas
dasar penjelasan mengenai indakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.

2. Informed Refusal
Dalam dunia medis Penolakan Tindakan Medis biasa disebut Informed Refusal.
Penolakan yang diinformasikan adalah indakan dari informed consent, perpanjangan
alami dari doktrin. Informed consent dibahas dengan sangat rinci dalam literatur medis,
hukum, dan manajemen risiko; sedangkan penolakan berdasarkan informasi kurang
mendapat perhatian. Tentu saja, informed consent sangat penting untuk mengenali
otonomi pasien, melindungi status pasien sebagai manusia, dan menyediakan sarana
untuk pengambilan keputusan yang rasional indak melindungi penyedia layanan indakan
dari risiko yang terkait dengan harapan yang tidak selaras. Proses informed consent
berkaitan dengan ketentuan pengungkapan risiko dan manfaat dari pengobatan yang
diusulkan, sering pada pasien yang indakan cenderung menerima pengobatan yang
diusulkan. Dengan kata lain, jika seorang pasien sedang berdiskusi tentang pengobatan
yang diusulkan, tampaknya logis bahwa pasien menyatakan minat pada pengobatan yang
disarankan dan sedang mencari informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan
yang rasional dan berdasarkan informasi. Sebaliknya, indak seorang pasien tidak tertarik
pada prosedur dan tidak terlibat dalam proses informed consent, perhatian yang memadai
mungkin tidak dibayarkan untuk mendapatkan penolakan informasi. Kekhawatirannya
adalah bahwa proses penolakan yang diinformasikan tidak didekati dengan cara yang
sama atau dianggap dengan tingkat kepentingan yang sama dengan informed consent.
Inti dari Informed Refusal adalah penolakan dari pasien untuk dilakukan indakan medis
tertentu diputuskan sesudah diberikan informasi oleh dokternya yang menyangkut segala
sesuatu yang berkenaan dengan indakan tersebut. Maksudnya pasien sudah memahami
segala konsekwensi yang mungkin timbul sebagai akibat penolakan tersebut. Penolakan
yang diinformasikan terkait dengan proses informed consent, karena pasien memiliki hak
untuk menyetujui, tetapi juga dapat memilih untuk menolak.

2.2 Bentuk – Bentuk Informed Consent

Ada dua macam bentuk imformed consent yaitu :

a. Dengan pernyataan (expression), dapat secara lisan dan secara tertulis.


Expression consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, bila
yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa.
Sebaiknya pasien diberikan pengertian terlebih dahulu tindakan apa yang akan
dilakukan. Misalnya, pemeriksaan dalam lewat anus atau dubur atau pemeriksaan
dalam vagina, dan lain-lain yang melebihi prosedur pemeriksaan dan tindakan umum.
Di sini belum diperlukan pernyataan tertulis, cukup dengan persetujuan secara lisan
saja. Namun bila tindakan yang akan dilakukan mengandung resiko tinggi seperti
tindakan pembedahan atau prosedur pemeriksaan dan pengobatan invasif, harus
dilakukan secara tertulis.
b. Dianggap diberikan, tersirat (implied) yaitu dalam keadaan biasa atau normal dan
dalam keadaan gawat darurat.
Implied consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa
pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap pasien pada
waktu dokter melakukan tindakan, misalnya pengambilan darah untuk pemeriksaan
laboratorium, pemberian suntikan pada pasien, penjahitan luka dan sebagainya.
Implied consent berlaku pada tindakan yang biasa dilakukan atau sudah diketahui
umum.

2.3 Fungsi Informed Consent


Fungsi Informed Consent :
a) Promosi dan hak otonomi perorangan.
b) Proteksi dari pasien dan subjek.
c) Mencegah terjadinya penipuan dan paksaan.
d) Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk.
e) Mengadakan instropeksi terhadap diri sendiri (self secrunity)
f) Promosi dari keputusan-keputusan rasional.
g) Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai
sosial dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan bio-medik (Alexander
Capron)

2.4 Waktu yang Tepat dalam Pembuatan Informed Consent


Waktu yang tepat dalam pembuatan informed consent
Keharusan adanya informed consent secara tertulis yang ditandatangani oleh
pasien sebelum dilakukannya tindakan medik dilakukan di sarana kesehatan seperti
rumah sakit atau klinik karena erat kaitannya dengan pendokumentasiannya ke dalam
catatan medik (medical record). Dengan demikian, rumah sakit turut bertanggungjawab
apabila tidak terpenuhinya persyaratan informed consent, maka tenaga medis yang
bersangkutan dapat dikenakan sanksi.
Informed consent baru diakui bila pasien telah mendapatkan informasi yang jelas
tentang tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya. Dalam pemberian
informasi ini, dokter berkewajiban untuk mengungkapkan dan menjelaskan kepada
pasien dalam bahasa sesederhana mungkin sifat penyakitnya, sifat pengobatan yang
disarankan, alternatif pengobatan, kemungkinan berhasil dan resiko yang dapat timbul
serta komplikasi-komplikasi yang tak dapat diubah. Pasien dapat saja menolak
memberikan persetujuan setelah diberikan informasi melalui informed consent,
penolakan tersebut dikenal dengan istilah informed refusal. Hal ini dapat dibenarkan
berdasarkan hak asasi seseorang untuk menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap
dirinya. Untuk informed refusal maka pasien harus memahami segala konsekuensi yang
akan terjadi pada dirinya yang mungkin timbul akibat penolakan tersebut dan tentunya
dokternya tidak dapat dipersalahkan akibat karena penolakan tersebut. Untuk penolakan
tersebut maka dilakukan penandatangan oleh pasien pada lembar Penolakan Tindakan
Kedokteran.

2.5 Format isian Informed Consent


Format isian Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent), dengan ketentuan sebagai
berikut :
a. Diketahui dan ditanda tangani oleh dua orang saksi. Perawat bertindak sebagai
salah satu saksi
b. Materai tidak diperlukan
c. Formulir asli harus disimpan dalam berkas re-kam medis pasien
d. Formulir harus sudah diisi dan ditandatangani 24 jam sebelum tindakan medis
dilakukan.
e. Dokter harus ikut membubuhkan tanda tangan sebagai bukti bahwa telah
diberikan informasi dan penjelasan secukupnya.
f. Sebagai ganti tanda tangan, pasien atau keluarganya yang buta huruf
harus membubuh-kan cap jempol ibu jari tangan kanan.
2.6 Hak Pasien dalam Informed Consent
Hak Pasien dalam Informed Consent :
1. Hak untuk memperoleh informasi mengenai penyakitnya dan tindakan apa yang
hendak dilakukan oelh dokter terhadap dirinya.
2. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan yang diajukannya.
3. Hak untuk memilih alternatif lain, jika ada
4. Hak untuk menolak usul tindakan yang hendak dilakukan

2.7 Peraturan yang mengatur Informed Consent di Indonesia

Peraturan yang mengatur informed consent di Indonesia Sebagai berikut :

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.


2. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang
Penyelanggaraan Praktik Kedokteran.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.Surat
Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88

2.8 Tujuan dari Informed Refusal

Hasil penelitian dapat diketahui bahwa Pasien memiliki hak untuk menolak
dilakukannya tindakan kedokteran. Hal ini didasarkan pada adanya transaksi terapeutik
antara dokter dan pasien yang erat kaitannya dengan pelaksanaan hak dasar pasien atas
pelayanan kesehatan (the right to health care), dan hak untuk menentukan nasib sendiri
(the right of self determination) yang harus diakui dan dihormati, Inti dari adanya
penolakan tindakan kedokteran oleh pasien adalah pasien akan menanggung segala akibat
dari penolakan tindakan kedokteran tersebut, Akibat hukum dari adanya penolakan
tindakan kedokteran oleh pasien adalah pasien akan menanggung sendiri risiko yang
terjadi atas dampak penolakan tindakan kedokteran tersebut. Selain itu pasien tidak dapat
mengajukan gugatan terhadap dokter ataupun rumah sakit sebagai sarana pelayanan
kesehatan apabila terjadi hal-hal yang merugikan pasien akibat dari adanya penolakan
tindakan kedokteran oleh pasien tersebut.

2.9 Persyaratan dari Informed Refusal dan Hal yang harus di sampaikan Informed
Refusal
A. Persyaratan dari Informed Refusal :
1. Perawatan atau pengujian yang diusulkan
2. Risiko dan manfaat penolakan
3. Hasil yang diharapkan dengan dan tanpa pengobatan dan
4. Terapi alternatif, jika tersedia.

B. Hal yang Harus disampaikan :


1. Situasi dan kondisi yang sedang dihadapi pasien
2. Deskripsi mengenai bentuk prosedur yang akan dilakukan
3. Deskripsi mengenai kelebihan dan resiko prosedur yang di
rekomendasikan
4. Alternatif prosedur lain yang ada di sertai keuntungan dan resiko
5. Hasil yang dicapai disertai prognosis keberhasilan ( termasuk penjelasan
apa yang di maksud dengan berhasil )
6. Kemungkinan yang anda hadapi apabila tidak di lakukan prosedur
tindakan
7. Siapa saja orang yang terlibat dalam melakukan tindakan
8. Informasi lain yang di tanyakan atau di perlukan pasien atau orang yang
mewakilinya

2.10 Pertanggung Jawaban Hukum Mengenai Informed Consent dan Refusal


Penyampaian informasi untuk melakukan tindakan medis lazim dikenal dengan
istilah ‘informed consent’. Pelaksanaan informed consent dan informed refusal tidak
hanya mengikuti protap (prosedur tetap) tetapi sesungguhnya mempunyai pertanggung
jawaban hukum. Sebagai berikut :
 Undang-Undang Kesehatan yang lama (UUK No 23 Tahun 1992), Informed
consent tidak tercantum secara khusus. Kita hanya dapat melihat dan disinggung
sedikit bahwa dalam keadaan darurat dimana dibutuhkan tindakan medis maka
hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau
suami atau keluarganya (pasal 15 ayat 2 huruf c).
 Undang-Undang Kesehatan yang baru (UUK No. 36 Tahun 2009), informed
consent (menggunakan istilah bukan informed consent) sudah lebih banyak
disinggung. Misalnya pada pasal 8 yang berbunyi, “Setiap orang berhak
memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan
pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan”.
 Selanjutnya pasal 56 ayat 1 berbunyi: “Setiap orang berhak menerima atau
menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan
kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan
tersebut secara lengkap”.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Hak pasien yang pertama adalah hak atas informasi. Dalam UU No 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak pasien adalah hak
atas informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik atas dasar informasi
(informed consent). Jadi, informed consent merupakan implementasi dari kedua hak
pasien tersebut. Hak pasien tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang
dilindungi Undang-Undang.

Dalam dunia medis Penolakan Tindakan Medis biasa disebut Informed Refusal.
Penolakan yang diinformasikan adalah antitesis dari informed consent, perpanjangan
alami dari doktrin. Informed consent dibahas dengan sangat rinci dalam literatur medis,
hukum, dan manajemen risiko; sedangkan penolakan berdasarkan informasi kurang
mendapat perhatian. Tentu saja, informed consent sangat penting untuk mengenali
otonomi pasien, melindungi status pasien sebagai manusia, dan menyediakan sarana
untuk pengambilan keputusan yang rasional sambil melindungi penyedia layanan
kesehatan dari risiko yang terkait dengan harapan yang tidak selaras.

3.2 Saran
Perlu peningkatan penyuluhan dari tenaga medis kepada masyarakat secara
umum khususnya tentang Consent And Refusal. Supaya masyarakat memahami hal
tersebut karena hal tersebut cukup penting bagi masyarakat itu sendiri. Untuk
meminimalisir keputusan pihak keluarga pasien yang menyerahkan keputusan nya
kepada pihak medis karena keputusan dari keluarga pasien sangat lah penting.
Dalam penulisan makalah ini pula di harapkan para pembaca mampu memahami
penjelasan dari Consent And Refusal lebih detail lagi.

DAFTAR PUSTAKA

http://repository.unimus.ac.id/4022/2/BAB%20I.pdf

https://media.neliti.com/media/publications/17980-ID-implikasi-hukum-penolakan-
tindakan-medik.pdf

Anda mungkin juga menyukai