Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“ KESEHATAN REPRODUKSI”
“ PEMILIHAN DAN PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS ”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 11

1. Shinta Mandar Suaib (A1A223057)


2. Nurinsani Fahmi (A1A223064)
3. Aisyah (A1A223066)

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN


UNIVERSITAS MEGAREZKY MAKASSAR
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
Rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
tepat waktu. Makalah ini berjudul “Pemilihan dan Persetujuan Tindakan Medis”.
Makalah ini disusun dalam rangka melengkapi Tugas Mata Kuliah “Kesehatan
Reproduksi”.
Kami selaku penulis, berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua
dengan menambah wawasan serta pengetahuan. Sebagai penulis, kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini pasti akan ada banyak kekurangan
yang disebabkan oleh keterbatasan, kemampuan pengalaman penulis, oleh karena itu
kami mengharapkan adanya kritik, saran ataupun usulan yang membangun agar
kedepannya makalah ini dapat perbaikan yang lebih baik dan lebih banyak memuat
pengetahuan yang bermanfaat untuk para pembaca.
Semoga makalah ini dapat dipahami oleh setiap pembaca dan mohon maaf
jika dalam makalah ini ada kesalahan atau pun pemahaman yang sekiranya tidak
sepaham dengan pengetahuan para pembaca, oleh karena itu perlunya masukan akan
pengetahuan yang dimiliki pembaca berkaitan dengan materi makalah ini.

Makassar, 09 Oktober 2023

Kelompok 11

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................iii
BAB I..........................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB II........................................................................................................3
PEMBAHASAN.........................................................................................3
2.1 Definisi Informed Consent...................................................................3
2.2 Dasar Hukum Informed Consent..........................................................3
2.3 Prosedur Pelaksanaan Informed Consent.............................................6
2.4 Fungsi dan Tujuan Informed Consent..................................................8
2.5 Bentuk Persetujuan Informed Consent.................................................8
2.7 Pemberi Informasi dan Penerima Persetujuan....................................11
2.8 Pemberi Persetujuan...........................................................................11
2.10 Penundaan Persetujuan.....................................................................13
2.11 Pembatalan Persetujuan Yang Telah Diberikan...............................13
2.12 Lama Persetujuan Berlaku................................................................14
2.13 Dampak Pelaksanaan informant consent..........................................14
BAB III....................................................................................................16
PENUTUP................................................................................................16
Daftar pustaka...........................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada hakikatnya, persetujuan atas dasar informasi atau dikenal dengan istilah
informed consent, merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri yang
berfungsi di dalam pelayanan kesehatan. Penentuan nasib sendiri adalah nilai dan
sasaran dari informed consent, dan intisari dari permasalahan informed consent adalah
alat. Secara konkret persyaratan informed consent ditujukan untuk setiap tindakan
baik yang bersifat diagnostic ataupun terapeutik, dan pada dasarnya senantiasa
diperlukan persetujuan pasien yang bersangkutan. Agar pemberian pertolongan dapat
berfungsi di dalam pelayanan medis, para pemberi pertolongan perlu memberikan
informasi atau keterangan pada pasien tentang keadaan dan situasi kesehatannya.
Hubungan antara informasi dan persetujuan dinyatakan dalam istilah informed
consent. Serta bisa disebut juga persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh
pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Aspek
utama Informed Consent adalah memberikan perlindungan kepada pasien serta
memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat
negatif.
Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan diharapkan terlaksana hubungan
yang lancar antara pasien dan tenaga kesehatan. akan tetapi dapat terjadi masalah
diantara 2 prinsip, yaitu prinsip memberikan kebaikan kepada pasien yang bertolak
dari sudut pandang nilai etika dan ilmu kesehatan berdasarkan pengetahuan,
keterampilan dan pengalaman tenaga kesehatan, dan prinsip menghormati hak
menentukan diri sendiri dari sudut pandang pasien. Sehingga terdapat benturan yang
dilematis antara tanggung jawab moral profesi dan hak asasi manusia yang universal
dalam hubungannya dengan kesehatan. dengan demikian informed consent dibuat
dengan tujuan untuk:

1
(1) memberikan perlindungan kepada pasie atas segala tindakan medis
(2) memberikan perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang tidak
terduga yang dianggap merugikan pihak lain.
Secara aspek hukum informed consent dapat disimpulkan yaitu persetujuan
yang diberikan oleh pasien atau keluarga atas dasar informasi dan penjelasan
mengenai tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien yang tertera dalam
Permenkes No 290/MENKES/PER/11/2008 Pasal 1 Ayat (1). Tujuan Informed
Consent adalah melindungi hak individu untuk menentukan nasibnya sendiri (self-
determination).
Untuk itu, sangat diperlukan tenaga kesehatan serta masyarakat untuk
mengetahui tentang aspek hukum informed consent. Selain itu perlu pula mengetahui
isi dari informed consent serta format informed consent yang sah secara hukum.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Informed Chonsent


2. Apa Dasar Hukum Informed Consent
3. Apa saja Prosedur Pelaksanaan Informed Consent
4. Apa Fungsi dan Tujuan Informed Consent
5. Apa Bentuk Persetujuan Informed Consent
6. Apa Unsur-unsur dalam persetujuan medis
7. Siapa Pemberi Informasi dan Penerima Persetujuan
8. Siapa Pemberi Persetujuan
9. Apa saja Penolakan Pemeriksaan/ Tindakan
10. Apa itu Penundaan Persetujuan
11. Apa itu Pembatalan persetujuan
12. Berapa lama persetujuan berlaku
13. Apa Dampak Pelaksanaan informant consent

C. Tujuan

Tujuan pembuatan makalah ini untuk mengetahui dan memahami dengan baik
mengenai Etika Biomedis dan Aplikasinya dalam Praktik Kebidanan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Informed Consent

Informed Consent teridiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti
informasi atau keterangan dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi
izin. jadi pengertian Informed Consent adalah suatu persetujuan yang diberikan
setelah mendapat informasi. Dengan demikian Informed Consent dapat di
definisikan sebagai pernyataan pasien atau yang sah mewakilinya yang isinya
berupa persetujuan atas rencana tindakan kedokteran yang diajukan oleh dokter
setelah menerima informasi yang cukup untuk dapat membuat persetujuan atau
penolakan. Persetujuan tindakan yang akan dilakukan oleh Dokter harus
dilakukan tanpa adanya unsur pemaksaan.
Istilah Bahasa Indonesia Informed Consent diterjemahkan sebagai
persetujuan tindakan medik yang terdiri dari dua suku kata Bahasa Inggris yaitu
Inform yang bermakna Informasi dan consent berarti persetujuan. Sehingga
secara umum Informed Consent dapat diartikan sebagai persetujuan yang
diberikan oleh seorang pasien kepada dokter atas suatu tindakan medik yang
akan dilakukan, setelah mendapatkan informasi yang jelas akan tindakan
tersebut.
Informed Consent menurut Permenkes No.585 / Menkes / Per / IX / 1989,
Persetujuan Tindakan Medik adalah Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut.

2.2 Dasar Hukum Informed Consent

Persetujuan tindakan Kedokteran telah diatur dalam Pasal 45 Undang –


undang no. 29 tahun 2004 tentang praktek Kedokteran. Sebagaimana dinyatakan
setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan
sebagaimana dimaksud diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara
lengkap, sekurang-kurangnya mencakup : diagnosis dan tata cara tindakan

3
medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan
risikonya,risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap
tindakan yang dilakukan.20 Persetujuan tersebut dapat diberikan baik secara
tertulis maupun lisan. Disebutkan didalamnya bahwa setiap tindakan kedokteran
atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/ 2008 tentang
persetujuan tindakan Kedokteran dinyatakan dalam pasal 1, 2, dan 3 yaitu :
Pasal 1
1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
terhadap pasien.
2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak
kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.
3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan
kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik,
terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien.
4. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat
mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien.
5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis
yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan
kematian atau kecacatan.
6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter
gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di
dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut
peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu
kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami

4
kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit
mental sehingga mampu membuatkeputusan secara bebas.
Pasal 2
1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis
maupun lisan.
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran
dilakukan.
Pasal 3
1. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
2. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
3. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk
pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk
ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan
sebagai ucapan setuju.
5. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
Peraturan Informed Consent apabila dijalankan dengan baik antara Dokter
dan pasien akan sama-sama terlindungi secara Hukum. Tetapi apabila terdapat
perbuatan diluar peraturan yang sudah dibuat tentu dianggap melanggar Hukum.
Dalam pelanggaran Informed Consent telah diatur dalam pasal 19 Permenkes No.
290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap
dokter yang melakukan tindakan tanpa Informed Consent dapat dikenakan sanksi
berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin
Praktik. Informed Consent di Indonesia juga di atur dalam peraturan berikut:
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan.
2) Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).

5
3) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis.
4) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang
Penyelanggaraan Praktik Kedokteran.
5) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.
6) Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88.

2.3 Prosedur Pelaksanaan Informed Consent

Persetujuan Tindakan Medis (informed consent) telah diatur dalam hukum


positif yang berlaku di Indonesia sehingga menjadi kewajiban hukum yang harus
dipaksakan terhadap dokter dalam pelaksanaan tindakan medis terhadap pasien.
Dengan diaturnya persetujuan tindakan medis dalam undang-undang memberikan
kepastian hukum danperlindungan hukum terhadap dokter dan pasien sebagai hak
dan kewajiban yang harus dipenuhi sebelum pelaksanaan tindakan medis.
Kepastian hukum pelaksanaan persetujuan tindakan medis. bagi pasien
merupakan hak pasien untuk mendapatkan informasi medis yang jelas dan
lengkap dari seorang dokter mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan
diagnosa penyakit, pelaksanaan tindakan medis, resiko atau komplikasi yang
mungkin terjadi dan menentukan persetujuan atau penolakan terhadap tindakan
medis yang akan dilakukan oleh dokter. Sedangkan perlindungan hukum atas
pelaksanaan tindakan medis bagi pasien merupakan hak pasien untuk melakukan
penuntutan terhadap seorang dokter yang melakukan kesewenang- wenangan
dengan melaksanakan tindakan medis tanpa persetujuan pasien.
Prosedur pelaksanaan persetujuan tindakan medis tidak dirinci dengan jelas
dalam hukum positif yang mengatur tentang pelaksanaan informed consent,
namun secara tersirat dan dapat dikonstruksikan sebagai berikut:
1. Pada tahapan persiapan.
Pada tahap persiapan, dokter menetukan jadwal, waktu dan tempat
pelaksanaan informed consent agar tidak terkesan dilaksanakan secara
serampangan atau formalitas belaka, melainkan sesuatu yang sengaja
dirancang untuk terwujudnya proses komunikasi terapeutik yang efektif.
Selanjutnya dokter menyusun dan mempersiapkan informasi medis yang akan
disampaikan kepada pasien atau keluarganya, karena tidak semua pasien
memiliki diagnose penyakit dan perjalanan penyakit yang sama, sehingga tata

6
cara pelaksanaan tindakan medis tidak selamanya sama dan resikonyapun
berbeda-beda.
2. Tahap Pelaksanaan.
Pada tahapan pelaksanaan, dokter menawarkan tindakan medis yang akan
dilakukannya sebagai tindakan pilihan dan tindakan alternatif lainnya yang
akan dilakukan kepada pasien, sesuai indikasi medis yang jelas mengapa
tindakan medis tersebut harus dilaksanakan. Pada saat melakukan penawaran,
dokter berkewajiban untuk memberikan informasi medis dan penjelasan yang
lengkap dengan menggunakan bahasa komunikasi yang mudah dipahami oleh
pasien untuk mencegah terjadinya kekeliruan pemahaman dari pasien pada
saat memberikan persetujuannya. Setelah mendapatkan informasi dan
penjelasan yang lengkap, maka pasien akan memberikan respon atas
penawaran tindakan tersebut dengan membuat keputusan untuk memberikan
persetujuan atau penolakan atas penawaran tindakan medis yang diberikan
yang diberikan oleh dokter. Persetujuan atau penolakan tindakan medis yang
ditawarkan oleh dokter sepenuhnya menjadi hak pasien yang dilaksanakan
secara bebas tanpa tekanan atau paksaan dari pihak manapun.
3. Tahapan Pasca pelaksanaan
Pada tahapan pasca pelaksanaan pesetujuan tindakan medis, maka dilanjutkan
dengan penandatanganan pasien atau keluarganya pada berkas. persetujuan
tindakan medis yang telah disiapkan oleh dokter atau pihak rumah sakit
dengan nama terang dan jelas, kemudian disusul dengan penandatanganan
oleh pihak dokter yang akan memberikan tindakan medis dengan nama
terang dan jelas. Selanjutnya disusul oleh penandatanganan dari pihak saksi
juga dengan nama terang dan jelas. Berkas yang telah ditandatangani tersebut
kemudian disatukan dengan berkas lainnya dalam rekam medis pasien.
Berkas persetujuan tindakan medis yang telah ditanda tangani oleh para pihak
dan saksi-saksi tersebut, kini bukanlah lagi sekadar kelengkapan berkas
adminstratif biasa, melainkan telah menjadi sebuah berkas hukum yang dapat
digunakan sebagai alat bukti hukum yang sah, jika suatu ketika terjadi
gugatan atau tuntutan hukum dari pasien atau keluarganya. Dalam Pasal 184
ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana ("KUHAP")
disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.Berkas persetujuan tindakan

7
medis termasuk bukti surat dalam sistem pembuktian kesalahan atau
kelalaian medis.

2.4 Fungsi dan Tujuan Informed Consent

Fungsi dari Informed Consent adalah :


1. Promosi dari hak otonomi perorangan.
2. Proteksi dari pasien dan subyek.
3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan.
4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan
introspeksi terhadap diri sendiri.
5. Promosi dari keputusan-keputusan rasional.
6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu
nilai social dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan biomedik.
Informed Consent itu sendiri menurut jenis tindakan / tujuannya dibagi
tiga,yaitu:
1) Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek
penelitian).
2) Yang bertujuan untuk mencari diagnosis.
3) Yang bertujuan untuk terapi.
Tujuan dari Informed Consent menurut J.Guwandi adalah :
a. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan
tanpa sepengetahuan pasien.
b. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang
tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment
yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan
semaksimal mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.

2.5 Bentuk Persetujuan Informed Consent

A. Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medis, yaitu :


1. Implied Consent (dianggap diberikan) Umumnya implied consent
diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat menangkap
persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang diberikan/dilakukan
pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan dokter
memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa

8
memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter
dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter.
2. Expressed Consent (dinyatakan) Dapat dinyatakan secara lisan maupun
tertulis. Dalam tindakan medis yang bersifat invasive dan mengandung
resiko, dokter sebaiknya mendapatkan persetujuan secara tertulis, atau
yang secara umum dikenal di rumah sakit sebagai surat izin operasi.
B. Persetujuan tertulis dalam suatu tindakan medis dibutuhkan saat:
1. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko atau
efek samping yang bermakna.
2. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.
3. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi
kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien.
4. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.

2.6 Unsur-unsur dalam persetujuan medis


Berdasarkan pengertian persetujuan tindakan medis (informed consent) yang
telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat diketahui unsur-unsur yang
terkandung di dalamnya, yaitu antara lain :
1. Unsur Informasi Medis
Unsur informasi medis merupakan syarat yang harus terpenuhi sebelum
pasien memberikan persetujuan tindakan medis. Informasi medis yang
diterima oleh pasien tersebut harus jelas dan akurat yang diberikan oleh
dokter yang bertujuan untuk menimbulkan pemahaman pasien mengenai
kondisi kesehatannya saat tersebut, alasan mengapa perlu dilakukan
tindakan medis, cara pelaksanaan tindakan medis dan kemungkinan
terjadinya resiko medis atas pelaksanaan tindakan medis tersebut.
Berdasarkan pemahaman pasien atas informasi medis yang jelas dan
akurat tersebut, barulah pernyataan persetujuan tindakan medis yang
diberikan oleh pasien dianggap sah dan memiliki kekuatan hukum yang
mengikat. Beberapa aturan tentang pelaksanaan pemberian informasi
medis dan penjelesan yang lengkap sebelum pasien menyatakan
persetujuannya,antara lain :

9
a. Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Kedokteran dengan tegas
menyatakan bahwa persetujuan pasien dibuat setelah mendapatkan
penjelasan.
b. Pasal 2 ayat (3) Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 Tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran, menyebutkan bahwa persetujuan
tindakan kedokteran diberikan setelah pasien mendapat penjelasan
yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
c. Pasal 10 Kode Etik Kedokteran Indonesia dan pedoman
pelaksanaannya tahun 2012, tentang kewajiban dokter menghargai
hak-hak pasien, yang mencakup kewajiban memberikan informasi
yang jelas dan memadai serta menghormati pendapat atau tanggapan
pasien atas penjelasan dokter. Seorang dokter seharusnya tidak
menyembunyikan informasi yang dibutuhkan pasien, kecuali dokter
berpendapat hal tersebut untuk kepentingan pasien, dalam hal ini
dokter dapat menyampaikan informasi ini kepada pihak keluarga atau
wali pasien.
2. Unsur Pemberi Informasi Medis
Unsur pemberi informasi medis memegang peranan penting dalam
pelaksanaan persetujuan tindakan medis,yaitu dokter atau tenaga
kesehatan lainnya sesuai dengan kewenangannya menurut ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Pemberi informasi medis yang terbaik
adalah dokter yang akan melakukan tindakan medis itu sendiri, sehingga
tidak dapat diwakilkan kepada dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang
tidak terlibat dalam pelaksanaan tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap pasien. Pentingnya hal tersebut mengingat bahwa diagnosis,
perjalan penyakit dan tindakan medis yang dibutuhkan oleh pasien hanya
dipahami oleh dokter yang menangani pasien yang bersangkutan.
Pemberian informasi medis dan tindakan medis yang akan dilakukan
menjadi tidak akurat jika diwakilkan kepada dokter lainnya sehingga
berpotensi menimbulkan pemahaman yang berbeda atau keliru dari
pasien.
3. Unsur Pemberi Persetujuan Tindakan
Unsur pemberi persetujuan tindakan medis tidak lain adalah pasien itu
sendiri atau keluarganya. Pasien atau keluarganya berada dalam posisi

10
sentral yang menentukan dapat atau tidak dapat dilakukan tindakan medis.
Hal tersebut sesuai dengan hak otonomi pasien yang bersumber dari hak
asasi manusia yaitu the right to self determination. Pasienlah yang paling
berhak menentukan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh dokter
terhadap dirinya sendiri. Pernyataan persetujuan tindakan medis yang
diberikan oleh pasien kepada dokter sebelum pelaksanaan tindakan medis,
tunduk pada ketentuan syarat sahnya perjanjian terapeutik. Kedudukan
pasien dalam perjanjian terapeutik adalah sebagai subyek hukum
perjanjian, sama seperti dokter atau pihak rumah sakit.

2.7 Pemberi Informasi dan Penerima Persetujuan


Pemberi informasi dan penerima persetujuan merupakan tanggung jawab
dokter pemberi perawatan atau pelaku pemeriksaan/ tindakan untuk memastikan
bahwa persetujuan tersebut diperoleh secara benar dan layak. Dokter memang
dapat mendelegasikan proses pemberian informasi dan penerimaan persetujuan,
namun tanggung jawab tetap berada pada dokter pemberi delegasi untuk
memastikan bahwa persetujuan diperoleh secara benar dan layak.
Seseorang dokter apabila akan memberikan informasi dan menerima
persetujuan pasien atas nama dokter lain, maka dokter tersebut harus yakin
bahwa dirinya mampu menjawab secara penuh pertanyaan apapun yang
diajukan pasien berkenaan dengan tindakan yang akan dilakukan terhadapnya–
untuk memastikan bahwa persetujuan tersebut dibuat secara benar dan layak.

2.8 Pemberi Persetujuan


Persetujuan diberikan oleh individu yang kompeten. Ditinjau dari segi usia,
maka seseorang dianggap kompeten apabila telah berusia 18 tahun atau lebih
atau telah pernah menikah. Sedangkan anak-anak yang berusia 16 tahun atau
lebih tetapi belum berusia 18 tahun dapat membuat persetujuan tindakan
kedokteran tertentu yang tidak berrisiko tinggi apabila mereka dapat
menunjukkan kompetensinya dalam membuat keputusan. Alasan hukum yang
mendasarinya adalah sebagai berikut:

11
1) Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka seseorang yang
berumur 21 tahun atau lebih atau telah menikah dianggap sebagai orang
dewasa dan oleh karenanya dapat memberikan persetujuan.
2) Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka
setiap orang yang berusia 18 tahun atau lebih dianggap sebagai orang
yang sudah bukan anak-anak. Dengan demikian mereka dapat
diperlakukan sebagaimana orang dewasa yang kompeten, dan oleh
karenanya dapat memberikan persetujuan.
3) Mereka yang telah berusia 16 tahun tetapi belum 18 tahun memang
masih tergolong anak menurut hukum, namun dengan menghargai hak
individu untuk berpendapat sebagaimana juga diatur dalam UU No 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka mereka dapat
diperlakukan seperti orang dewasa dan dapat memberikan persetujuan
tindakan kedokteran tertentu, khususnya yang tidak berrisiko tinggi.
Untuk itu mereka harus dapat menunjukkan kompetensinya dalam
menerima informasi dan membuat keputusan dengan bebas. Selain itu,
persetujuan atau penolakan mereka dapat dibatalkan oleh orang tua atau
wali atau penetapan pengadilan.
Sebagaimana uraian di atas, setiap orang yang berusia 18 tahun atau
lebih dianggap kompeten. Seseorang pasien dengan gangguan jiwa yang
berusia 18 tahun atau lebih tidak boleh dianggap tidak kompeten sampai nanti
terbukti tidak kompeten dengan pemeriksaan. Sebaliknya, seseorang yang
normalnya kompeten, dapat menjadi tidak kompeten sementara sebagai akibat
dari nyeri hebat, syok, pengaruh obat tertentu atau keadaan kesehatan
fisiknya. Anak-anak berusia 16 tahun atau lebih tetapi di bawah 18 tahun
harus menunjukkan kompetensinya dalam memahami sifat dan tujuan suatu
tindakan kedokteran yang diajukan. Jadi, kompetensi anak bervariasi
bergantung kepada usia dan kompleksitas tindakan.

2.9 Penolakan Pemeriksaan/ Tindakan


Pasien yang kompeten (dia memahami informasi, menahannya dan
mempercayainya dan mampu membuat keputusan) berhak untuk menolak suatu
pemeriksaan atau tindakan kedokteran, meskipun keputusan pasien tersebut

12
terkesan tidak logis. Kalau hal seperti ini terjadi dan bila konsekuensi penolakan
tersebut berakibat serius maka keputusan tersebut harus didiskusikan dengan
pasien, tidak dengan maksud untuk mengubah pendapatnya tetapi untuk
mengklarifikasi situasinya. Untuk itu perlu dicek kembali apakah pasien telah
mengerti informasi tentang keadaan pasien, tindakan atau pengobatan, serta
semua kemungkinan efek sampingnya.
Kenyataan adanya penolakan pasien terhadap rencana pengobatan yang
terkesan tidak rasional bukan merupakan alasan untuk mempertanyakan
kompetensi pasien. Meskipun demikian, suatu penolakan dapat mengakibatkan
dokter meneliti kembali kapasitasnya, apabila terdapat keganjilan keputusan
tersebut dibandingkan dengan keputusankeputusan sebelumnya. Dalam setiap
masalah seperti ini rincian setiap diskusi harus secara jelas didokumentasikan
dengan baik.

2.10 Penundaan Persetujuan

Persetujuan suatu tindakan kedokteran dapat saja ditunda pelaksanaannya


oleh pasien atau yang memberikan persetujuan dengan berbagai alasan,
misalnya terdapat anggota keluarga yang masih belum setuju, masalah
keuangan, atau masalah waktu pelaksanaan. Dalam hal penundaan tersebut
cukup lama, maka perlu di cek kembali apakah persetujuan tersebut masih
berlaku atau tidak.

2.11 Pembatalan Persetujuan Yang Telah Diberikan


Prinsipnya, setiap saat pasien dapat membatalkan persetujuan mereka
dengan membuat surat atau pernyataan tertulis pembatalan persetujuan
tindakan kedokteran. Pembatalan tersebut sebaiknya dilakukan sebelum
tindakan dimulai. Selain itu, pasien harus diberitahu bahwa pasien
bertanggung jawab atas akibat dari pembatalan persetujuan tindakan. Oleh
karena itu, pasien harus kompeten untuk dapat membatalkan persetujuan.
Kompetensi pasien pada situasi seperti ini seringkali sulit. Nyeri, syok atau
pengaruh obat-obatan dapat mempengaruhi kompetensi pasien dan
kemampuan dokter dalam menilai kompetensi pasien. Bila pasien dipastikan
kompeten dan memutuskan untuk membatalkan persetujuannya, maka dokter
harus menghormatinya dan membatalkan tindakan atau pengobatannya.

13
Kadang-kadang keadaan tersebut terjadi pada saat tindakan sedang
berlangsung. Bila suatu tindakan menimbulkan teriakan atau tangis karena
nyeri, tidak perlu diartikan bahwa persetujuannya dibatalkan. Rekonfirmasi
persetujuan secara lisan yang didokumentasikan di rekam medis sudah cukup
untuk melanjutkan tindakan. Tetapi apabila pasien menolak dilanjutkannya
tindakan, apabila memungkinkan, dokter harus menghentikan tindakannya,
mencari tahu masalah yang dihadapi pasien dan menjelaskan akibatnya
apabila tindakan tidak dilanjutkan. Dalam hal tindakan sudah berlangsung
sebagaimana di atas, maka penghentian tindakan hanya bisa dilakukan apabila
tidak akan mengakibatkan hal yang membahayakan pasien.

2.12 Lama Persetujuan Berlaku

Teori menyatakan bahwa suatu persetujuan akan tetap sah sampai dicabut
kembali oleh pemberi persetujuan atau pasien. Namun demikian, bila
informasi baru muncul, misalnya tentang adanya efek samping atau alternatif
tindakan yang baru, maka pasien harus diberitahu dan persetujuannya
dikonfirmasikan lagi. Apabila terdapat jedah waktu antara saat pemberian
persetujuan hingga dilakukannya tindakan, maka alangkah lebih baik apabila
ditanyakan kembali apakah persetujuan tersebut masih berlaku. Hal-hal
tersebut pasti juga akan membantu pasien, terutama bagi mereka yang sejak
awal memang masih ragu-ragu atau masih memiliki pertanyaan.

2.13 Dampak Pelaksanaan informant consent

Pelaksanaan Persetujuan tindakan medis (informed consent) yang sesuai


dengan prosedur dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku akan
berdampak luas terhadap sistem pelayanan kesehatan.Pelaksanaan Persetujuan
tindakan medis (informed consent) sesuai dengan prosedur dan ketentuan
hukum yang berlaku, akan memberi dampak positif. Dampak terhadap Rumah
sakit atau sarana pelayanan kesehatan Persetujuan tindakan medis yang
diberikan oleh pasien sesuai dengan prosedur dan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku akan berdampak terhadap rumah sakit tempat
dilakukannya tindakan medis oleh dokter. Dengan terhindar nya dokter atas
segala tuntutan hukum yang bekerja di rumah sakit atau fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya akan berdampak terhadap peningkatan kepercayaan dan

14
kepuasan pasien, karena pelayanan medis yang diterimanya dari para dokter
yang profesional yang melakukan tindakan medis atas persetujuan dokter dan
sesuai dengan apa yang disetujui oleh pasien, yang dalam melaksanakan
tindakan medis senantiasa bertindak secara teliti dan hati-hati serta sesuai
dengan standar profesi kedokteran. Kepuasan dan kepercayaan pasien akan
mempengaruhi tingkat loyalitas pasien untuk setiap saat berkujung ke rumah
sakit tersebut ketika mengalami gangguan kesehatan. Selain itu juga akan
terhindar dari kerugian oleh karena gugatan atau tuntutan hukum yang
dilakukan oleh pasien terhadap dokter maupun pihak rumah sakit. Rumah
sakit tidak dapat menghindar dari pertanggung tanggung jawaban hukum atas
kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh para dokter yang bekerja di
rumah sakit tersebut berdasarkan doktrin Vicarious liability. Doktrin
Vicarious liability mengajarkan bahwa Rumah sakit sebagai korporasi
dianggap sebagai majikan akan bertanggung jawab terhadap atas kesalahan
dokter yang bekerja sebagai karyawan di rumah sakit tersebut.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Informed Choice adalah membuat pilihan setelah mendapatkan penjelasan


tentang alternatif asuhan yang akan dialaminya, pilihan (choice) Informed Consent
adalah persetujuan tindakan kesehatan yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan yang
akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Persetujuan (consent) penting dari sudut
pandang tenaga kesehatan, karena berkaitan dengan aspek hukum yang memberikan
otoritas untuk semua prosedur yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Pilihan (choice)
lebih penting dari sudut pandang wanita (pasien) sebagai konsumen penerima jasa
asuhan.

B. Saran

Sebelum melakukan tindakan medis, bidan dan klien harus membuat dan/atau
menyetujui informed consent dan informed choice agar dapat menanggulangi masalah
secara proporsional dan mencegah apa yang dinamakan malpraktek di bidang
kebidanan.

16
Daftar pustaka

Busro, A. (2018). Aspek Hukum Persetujuan Tindakan Medis (Inform Consent)


Dalam Pelayanan Kesehatan. Law, Development and Justice Review, 1(1),1-
18.

Matippanna, A. (2022). Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent). Jurnal


Pro Hukum: Vol, 11(4).

Pakendek, A. P. A. (2010). Informed consent dalam pelayanan kesehatan. AL-


IHKAM: Jurnal Hukum & Pranata Sosial, 5(2), 309-318.

17

Anda mungkin juga menyukai