DOSEN PENGAMPU :
NURHASLINDA SIREGAR,M.KEB
DI SUSUN OLEH :
AGUS HERIANTO
NIM : 2202002
TAHUN 2023-2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “
PERLINDUNGAN HUKUM TERRHADAP DOKTER ” Ini pada tepat waktu.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dosen/guru pada mata kuliah PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
DOKTER. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi
para pembaca dan juga bagi para penulis.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
3.1 Kesimpulan...................................................................................... 10
3.2 Saran................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
perjanjian dalamtransaksi teraupetikbukan kesembuhan pasien melainkan
mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien.
Pada awalnya hubungan hukum antara dokter dan pasien ini adalah
hubungan vertikal atau hubungan kepercayaan yang bersifat paternalistik,
dimana tenaga kesehatan dianggap paling superior (father know best),
kedudukan atau posisi dokter dan pasien tidak sederajat, karena dokter
dianggap paling tahu tentang segala seluk- beluk penyakit, sedangkan pasien
dianggap tidak tahu apa-apa tentang penyakit tersebut dan ia menyerahkan
sepenuhnya kepada dokter. Dokter ditempatkan sebagai patron (pelindung)
dan pasien ditempatkan sebagai klien (orang yang dilindungi).Pola hubungan
vertical paternalistik antara dokter dan pasien mengandung dampak positif dan
dampak negatif. Dampak positif daripada pola paternalistik ini sangat
membantu pasien dalam hal awam terhadap penyakit, sebaliknya dampak
negatif karena tindakan dokter yang berupa langkah-langkah upaya
penyembuhan penyakit pasien itu merupakan tindakan-tindakan yang tidak
menghiraukan otonomi pasien, yang justru menurut sejarah perkembangan
budaya dan hak-hak dasar manusia sudah ada sejak lahir.
Saat ini bentuk hubungan hukum bergeser ke bentuk yang lebih demokratis,
yaitu hubungan horizontal kontaraktual atau partisipasi bersama, hubungan
hukum kesederajatan antara pasien dan dokternya, segala sesuatu
dikomunikasikan antar kedua belah pihak, kesepakatan ini lazim disebut
dengan Informed Consent atau persetujuan tindakan medik, sehingga tuntutan
kehati-hatian dan profesionalitas dari kalangan dokter akan semakin
mengemuka. Pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien
haruslah didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai atau dengan
kata lain fasilitas yang menunjang dimana fasilitas itulah yang dapat
membantu dokter dalam melakukan pelayanan kesehatan terhadap pasien.
Salah satu fasilitas kesehatan yaitu klinik, dimana Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 tentang kesehatan (selanjutnya disebut Undang-Undang
Kesehatan) tidak mengatur dan mendefinisikan tentang klinik. Dengan begitu,
Undang-Undang kesehatan ini merujuk dan mengatur masalah klinik dengan
adanya Peraturan Menteri kesehatan No. 28 Tahun 2011 tentang klinik
2
(selanjutnya disebut PERMENKES NO. 28 TAHUN 2011) yang dimana
menyebutkan bahwa klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan medis
dasar dan/ atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga
kesehatan dan dipimpin oleh seorang tenaga medis.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
terlaksananya kerjasama yang baik dan tercapainya tujuan dari perjanjian
terapeutik yaitu kesembuhan pasien.4 Selain itu, hubungan hukum juga
terjadi antara rumah sakit dengan pasien dimana terdapat kesepakatan antara
pihak rumah sakit dengan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan
kamar perawatan untuk pasien. Syarat sah dari suatu perjanjian terapeutik
tetap bersumber pada Pasal 1320 KUHPerdata karena berdasarkan Pasal 1319
KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian, baik yang
mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu
nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam
bab ini dan bab yang lain. Syarat sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320
KUHPerdata yaitu :
5
undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.”
3. Suatu hal tertentu
Maksudnya ialah terkait dengan suatu objek dalam perjanjian yang
akan dibuat oleh para pihak. Dalam perjanjian terapeutik, objek
perjanjiannya ialah upaya penyembuhan. Dokter akan berupaya
semaksimal mungkin untuk mengobati seorang pasien, dimana yang
hasilnya belum pasti akan sembuh. Ini juga dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti kondisi pasien, penyakit pasien, dan lain-lain.
4. Suatu sebab yang halal
Pasal 1335 KUHPerdata menyebutkan bahwa “Suatu perjanjian tanpa
sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau
terlarang, tidak mempunyai kekuatan.” Contohnya dalam perjanjian
terapeutik ini ialah adanya tindakan aborsi atau pengguguran
kandungan. Aborsi tentunya dilarang dalam semua aturan, kecuali
jika ada alasan medis demi menyelematkan pasien maka aborsi boleh
dilakukan. Dalam Pasal 1336 KUHPerdata juga menyebutkan bahwa
“Jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang
halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan,
perjanjiannya namun demikian adalah sah.” 11 Contohnya ialah
dilakukannya pembedahan untuk tujuan penelitian terapeutik
6
"Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau
lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih."
7
Pada malpraktek medis, unsur pidana harus dipenuhi agar
pembuktian tersebut dapat dikatakan sah dan sesuai. Apabila malpraktek
medik tersebut memiliki unsur pidana, maka pembuktiannya pun harus
sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku, yaitu Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (untuk selanjutnya ditulis KUHAP).
8
2. Teori Perlindungan Hukum oleh Phillipus M. Hadjon
Perlindungan Hukum merupakan suatu hak asasi manusia yang
diberikan perlindungan secara harkat dan markabat serta mendapatkan
pengakuan akan hak tersebut yang dimiliki oleh setiap masyarakat
sesuai ketentuan hukum.25
Menurut Philipus M. Hadjon, ada 2 sarana perlindungan hukum,
antara lain:
a) Sarana Perlindungan Hukum Preventif
Dalam sarana ini, kesempatan diberikan kepada subyek hukum
agar keberatan dapat diajukan sebelum suatu keputusan pemerintah
berbentuk definitif. Hal ini bertujuan untuk mencegah timbulnya sengketa.
Perlindungan preventif ini berdampak besar bagi tindak pemerintahan
yang dilakukan berdasarkan kebebasan bertindak. Sehingga, pemerintah
dalam bertindak dan mengambil keputusan berdasarkan diskresi tersebut
dapat lebih berhati-hati. Pengaturan khusus terkait perlindungan hukum
preventif belum ada di Indonesia sampai saat ini.
b) Sarana Perlindungan Hukum Represif
Sarana ini mempunyai tujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Kategori perlindungan hukum ini meliputi perlindungan hukum oleh
Pengadilan Administrasi ataupun Pengadilan Umum. Konsep mengenai
perlindungan hak asasi manusia dan pengakuan diarahkan kepada
pembatasan dan peletakan kewajiban pemerintah dan masyarakat.
Selanjutnya prinsip negara hukum juga menjadi prinsip dasar perlindungan
hukum terhadap tindakan pemerintah yang berkaitan dengan tujuan dari
negara hukum sendiri yaitu melindungi segenap hak asasi manusia yang
dimiliki oleh seluruh masyarakat.
9
BAB III
PENUTUP
1.3 Kesimpulan
1.Pertanggungjawaban pidana malpraktek dokter dalam hukum positif
yaitu pada Pasal 359 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun karena
kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, dan dalam
Pasal 360 KUHP yaitu dipidana hukuman penjara selama-lamanya
sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau
denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah karena kesalahannya
menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi
sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau
pekerjaannya sementara;
2. Ditinjau dari hukum pidana Islam bentuk pertanggungjawaban pidana
malpraktek dokter yaitu Qishash apabila dilakukan dengan sengaja,
Dhaman tanggung jawab materil berupa ganti rugi atau diyat apabila
karena kesalahan (tidak sengaja) dan Ta’zir.
2.3 Saran
2. Masyarakat sebagai objek suatu tindakan medis harus sadar hukum dan
peka terhadapat permasalahan hukum yang terjadi disekitar ataupun yang
dialaminya terkhusus disini terhadap permasalahan malpraktek medis yang
harus dipertanggungjawabkan oleh dokter maupun tenaga medis lainnya
apabila terdapat suatu kerugian yang disebabkan oleh dokter ataupun
tenaga medis tersebut
10
DAFTAR PUSTAKA
11