Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DOKTER

DOSEN PENGAMPU :

NURHASLINDA SIREGAR,M.KEB

DI SUSUN OLEH :

AGUS HERIANTO

NIM : 2202002

STIKES PALUTA HUSADA GUUNG TUA

PROGRAM STUDI S1 ADMINISTRASI RUMAH SAKIT

TAHUN 2023-2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “
PERLINDUNGAN HUKUM TERRHADAP DOKTER ” Ini pada tepat waktu.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dosen/guru pada mata kuliah PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
DOKTER. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi
para pembaca dan juga bagi para penulis.

Kami ucapakan terimakasih kepada ibu NURHASLINDA


SIREGAR,M.Keb selaku dosen mata kuliah yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang saya tekuni.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah


membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Gunung Tua Januari 2023

Penulis

i
DFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ i

DAFTAR ISI............................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1


2.1 Rumus Masalah................................................................................ 3
3.1 Tujuan Penelitian............................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................... 4

2.1 Tinjauan Perjanjian Terauputik........................................................ 4

2.2 Landasan Yulidis.............................................................................. 6

2.3 Landasan Teori................................................................................. 8

BAB III PENUTUP.................................................................................... 10

3.1 Kesimpulan...................................................................................... 10

3.2 Saran................................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan merupakan modal utama dalam rangka pertumbuhan dan
kehidupan bangsa dan mempunyai peranan penting dalam pembentukan
masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Kesehatan merupakan salah satu
unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa
Indonesia sebagaimana dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945
melalui pembangunan nasional yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar1945. Kesehatan juga merupakan faktor yang
sangat penting bagi kehidupan manusia, dimana dengan keadaan yang sehat,
manusia bisa hidup dengan produktif untuk menghasilkan sesuatu hal yang
bermanfaat bagi hidupnya. Oleh karena itu kesehatan merupakan suatu
kebutuhan yang tidak bisa diganggu gugat.
Pelayanan kesehatan secara umum diketahui adanya pemberi pelayanan
dalam hal ini dokter dan yang menerima pelayanan atau melakukan upaya
kesehatan dalam hal ini adalah pasien. Sejak dahulu dikenal dengan adanya
hubungan kepercayaan yang disebut dengan transaksi teraupetik, dimana
transaksimerupakan hubungan timbal balik yang dihasilkan melalui
komunikasi, sedangkan teraupetik diartikan sebagai sesuatu yang mengandung
unsur atau pengobatan. Secara yuridis transaksi teraupetik diartikan sebagai
hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis secara
profesional didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan
keterampilan tertentu di bidang kedokteran, pelayanan yang diberikan bersifat
pemberian pertolongan atau bantuan yang didasarkan kepercayaan pasien
terhadap dokter.
Transaksi teraupetikini berbeda dengan transaksi yang biasa dilakukan oleh
masyarakat. Transaksi teraupetikmemiliki sifat atau ciri yang khusus yang
berbeda dengan perjanjian pada umumnya, kekhususannya terletak pada atau
mengenai objek yang diperjanjikan, objek dari perjanjian ini adalah berupa
upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien. Jadi menurut hukum objek

1
perjanjian dalamtransaksi teraupetikbukan kesembuhan pasien melainkan
mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien.
Pada awalnya hubungan hukum antara dokter dan pasien ini adalah
hubungan vertikal atau hubungan kepercayaan yang bersifat paternalistik,
dimana tenaga kesehatan dianggap paling superior (father know best),
kedudukan atau posisi dokter dan pasien tidak sederajat, karena dokter
dianggap paling tahu tentang segala seluk- beluk penyakit, sedangkan pasien
dianggap tidak tahu apa-apa tentang penyakit tersebut dan ia menyerahkan
sepenuhnya kepada dokter. Dokter ditempatkan sebagai patron (pelindung)
dan pasien ditempatkan sebagai klien (orang yang dilindungi).Pola hubungan
vertical paternalistik antara dokter dan pasien mengandung dampak positif dan
dampak negatif. Dampak positif daripada pola paternalistik ini sangat
membantu pasien dalam hal awam terhadap penyakit, sebaliknya dampak
negatif karena tindakan dokter yang berupa langkah-langkah upaya
penyembuhan penyakit pasien itu merupakan tindakan-tindakan yang tidak
menghiraukan otonomi pasien, yang justru menurut sejarah perkembangan
budaya dan hak-hak dasar manusia sudah ada sejak lahir.
Saat ini bentuk hubungan hukum bergeser ke bentuk yang lebih demokratis,
yaitu hubungan horizontal kontaraktual atau partisipasi bersama, hubungan
hukum kesederajatan antara pasien dan dokternya, segala sesuatu
dikomunikasikan antar kedua belah pihak, kesepakatan ini lazim disebut
dengan Informed Consent atau persetujuan tindakan medik, sehingga tuntutan
kehati-hatian dan profesionalitas dari kalangan dokter akan semakin
mengemuka. Pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien
haruslah didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai atau dengan
kata lain fasilitas yang menunjang dimana fasilitas itulah yang dapat
membantu dokter dalam melakukan pelayanan kesehatan terhadap pasien.
Salah satu fasilitas kesehatan yaitu klinik, dimana Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 tentang kesehatan (selanjutnya disebut Undang-Undang
Kesehatan) tidak mengatur dan mendefinisikan tentang klinik. Dengan begitu,
Undang-Undang kesehatan ini merujuk dan mengatur masalah klinik dengan
adanya Peraturan Menteri kesehatan No. 28 Tahun 2011 tentang klinik

2
(selanjutnya disebut PERMENKES NO. 28 TAHUN 2011) yang dimana
menyebutkan bahwa klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan medis
dasar dan/ atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga
kesehatan dan dipimpin oleh seorang tenaga medis.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang akibat praktik kedokteran dengan menggunakan


layanan klinik secara onlinetersebut diatas,yang menjadi pokok permasalahan
dalam penulisan ini adalah:

1. Bagaimanakah keberadaan pelayanan praktik kedokteran dengan


menggunakan layanan klinik secara onlineberdasarkan Undang-Undang
Kesehatan dikaitkan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik ?

2. Bagaimana pertanggungjawaban dokter secara hukum yang melakukan


pelayanan kesehatan secara online apabila terjadi kerugian yang dialami oleh
pasien ditinjau dariKUHPerdata, KUHPidana, dan Undang-Undang
Administrasi ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahuibagaimanakah keberadaan pelayanan praktik kedokteran


dengan menggunakan layanan klinik secara onlineberdasarkan Undang-
Undang Kesehatan dikaitkan dengan Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik.

2. Untuk mengetahuipertanggungjawaban dokter secara hukum yang


melakukan pelayanan kesehatan secaraonline apabila terjadi kerugian yang
dialami oleh pasien ditinjau dari KUHPerdata, KUHPidana, dan Undang-
Undang Administrasi

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Perjanjian Terapeutik

Perjanjian terapeutik disebut juga dengan transaksi terapeutik. Perjanjian


terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien yang memberikan
kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan memberikan pelayanan
kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan keterampilan.1 Dengan
adanya perjanjian terapeutik ini, tentu terjadi suatu hubungan hukum antara
dokter dan pasien dimana dokter dan pasien merupakan subyek hukum yang
tentunya melahirkan suatu hak dan kewajiban yang harus dipenuhi masing-
masing pihak. Menurut Sofwan Dahlan dalam Armanda Dian Kinanti, et all,

“transaksi terapeutik antara pasien dan dokter tidak dimulai dari


saat pasien memasuki tempat praktik dokter sebagaimana yang
diduga banyak orang tetapi justru sejak dokter menyatakan
kesediaannya yang dinyatakan secara lisan (oral statement) atau
yang tersirat (implied statement) dengan menunjukan sikap atau
tindakan yang menyimpulkan kesediaan seperti misalnya
menerima pendaftaran, memberikan nomor urut, menyediakan
serta mencatat rekam medisnya dan sebagainya.”

Objek dari perjanjian terapeutik bukanlah kesembuhan pasien namun suatu


upaya yang tepat untuk menyembuhkan pasien. Perjanjian terapeutik
termasuk dalam inspanningsverbintenis yaitu dimana seorang dokter akan
berupaya semaksimal mungkin untuk menyembuhkan pasiennya bukan
merupakan suatu

Perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua subjek hukum yang


saling mengikatkan diri yang didasarkan pada sikap saling percaya. Di dalam
perjanjian terapeutik sikap saling percaya akan tumbuh apabila antara dokter
dan pasien terjalin komunikasi yang saling terbuka, karena masing-masing
akan saling memberikan informasi atau keterangan yang diperlukan bagi

4
terlaksananya kerjasama yang baik dan tercapainya tujuan dari perjanjian
terapeutik yaitu kesembuhan pasien.4 Selain itu, hubungan hukum juga
terjadi antara rumah sakit dengan pasien dimana terdapat kesepakatan antara
pihak rumah sakit dengan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan
kamar perawatan untuk pasien. Syarat sah dari suatu perjanjian terapeutik
tetap bersumber pada Pasal 1320 KUHPerdata karena berdasarkan Pasal 1319
KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian, baik yang
mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu
nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam
bab ini dan bab yang lain. Syarat sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320
KUHPerdata yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya


Sepakat yang dimaksud adalah tidak adanya suatu paksaan ataupun
kekhilafan dalam membuat suatu perjanjian diantara para pihak. Para
pihak ini minimal terdiri dari 2 (dua) subjek hukum. Jadi dalam
perjanjian terapeutik terjadinya suatu kesepakatan adalah ketika
seorang pasien yang menyatakan keluhannya kepada seorang dokter
dan dokter tersebut menanggapi keluhannya. Secara tidak langsung
antara dokter dan pasien sudah saling mengikatkan dirinya satu sama
lain dan sudah ada kesepakatan yang menimbulkan suatu perjanjian
terapeutik dimana objeknya ialah upaya penyembuhan yang akan
dilakukan seorang dokter kepada pasiennya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan terkait dengan
kemampuan seseorang untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian.
Karena terdapat juga orang yang tidak cakap dalam membuat
perjanjian seperti yang tertuang dalam Pasal 1330 KUHPerdata “Tak
cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
a) Orang-orang yang belum dewasa;
b) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
c) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa

5
undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.”
3. Suatu hal tertentu
Maksudnya ialah terkait dengan suatu objek dalam perjanjian yang
akan dibuat oleh para pihak. Dalam perjanjian terapeutik, objek
perjanjiannya ialah upaya penyembuhan. Dokter akan berupaya
semaksimal mungkin untuk mengobati seorang pasien, dimana yang
hasilnya belum pasti akan sembuh. Ini juga dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti kondisi pasien, penyakit pasien, dan lain-lain.
4. Suatu sebab yang halal
Pasal 1335 KUHPerdata menyebutkan bahwa “Suatu perjanjian tanpa
sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau
terlarang, tidak mempunyai kekuatan.” Contohnya dalam perjanjian
terapeutik ini ialah adanya tindakan aborsi atau pengguguran
kandungan. Aborsi tentunya dilarang dalam semua aturan, kecuali
jika ada alasan medis demi menyelematkan pasien maka aborsi boleh
dilakukan. Dalam Pasal 1336 KUHPerdata juga menyebutkan bahwa
“Jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang
halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan,
perjanjiannya namun demikian adalah sah.” 11 Contohnya ialah
dilakukannya pembedahan untuk tujuan penelitian terapeutik

2.2. Landasan Yuridis

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Adanya aturan dalam KUHPerdata juga memberikan perlindungan


bagi pihak dokter ataupun pasien, karena dalam kalangan kedokteran
menyebutkan hubungan pasien dengan dokter sebagai transaksi terapeutik.

Transaksi terapeutik ini merupakan istilah kedokteran terhadap


KUHPerdata pasal 1313 yang berbunyi:

6
"Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau
lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih."

Transaksi terapeutik ini diawali dengan kedatangan pasien yang


ingin melakukan pengobatan kepada pasien. Transaksi ini terjadi pada saat
pasien mengikatkan dirinya pada dokter.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


Suatu tindakan dapat dikatakan sebagai medical malpraktek,
apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
a) Adanya kelalaian yang mengakibatkan matinya orang lain
sebagaimana diatur dalam pasal 359 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (untuk selanjutnya ditulis KUHP)
b) Terdapat kelalaian yang mengakibatkan suatu cacat ataupun
luka berat pada orang lain (Pasal 360 KUHP)
c) Karena pekerjaan atau suatu jabatan yang ditindak salah
sehingga mengakibatkan pihak lain luka berat atau bahkan
meninggal, sanksi terhadap hal tersebut akan diperberat atau
ditambah sepertiga.

Beban pembuktian tidak dibebani terhadap seseorang yang


dituduhkan akan hal tersebut dalam ranah pidana. Penuntut umum yang
berkewajiban untuk membuktikan suatu hal tertentu. Dalam hal ini,
memang sangat sulit bagi pasien maupun penuntut umum untuk
mendapatkan suatu pembuktian yang sah, karena pada dasarnya seluk
beluk ilmu kedokteran tidak diketahui oleh masyarakat awam. Sehingga,
biasanya dibutuhkan keahlian dari Meryana. Analisis Yuridis Peniadaan
Pertanggungjawaban Hukum Dokter Atas Dugaan Medical Malpraktek
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran di Kota Batam, 2020. saksi ahli profesi kedokteran. Akan
tetapi, kesaksian yang diberikan tersebut tidak mengikat hakim dalam
menjatuhkan putusan, karena hakim juga dapat memanggil saksi ahli yang
lain.

7
Pada malpraktek medis, unsur pidana harus dipenuhi agar
pembuktian tersebut dapat dikatakan sah dan sesuai. Apabila malpraktek
medik tersebut memiliki unsur pidana, maka pembuktiannya pun harus
sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku, yaitu Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (untuk selanjutnya ditulis KUHAP).

2.3. Landasan Teori


Teori yang dapat digunakan dalam judul skripsi yang diambil
penulis, antara lain:
1. Teori Hukum Progresif
Teori Hukum progresif ini tidak lepas dari gagasan Prof. Satjipto
Rahardjo. Menurut Rahardjo, pemikiran hukum perlu kembali pada
filosofi dasar, yakni hukum untuk manusia. Dengan berdasarkan
filosofi itu, manusia lah yang menjadi penentu dan titik orientasi
hukum. Di mana hukum memiliki tugas untuk melayani manusia, tidak
sebaliknya. Mutu hukum dinilai dari kemampuannya untuk mengabdi
pada kesejahteraan manusia. Sehingga hal ini membuat hukum
progresif menganut ideologi sebagai hukum yang pro-keadilan dan
pro-rakyat.
Bagi hukum progresif, peraturan tidak lagi menjadi pusat akan
suatu proses perubahan, melainkan pada kreativitas pelaku hukum
untuk melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada,
tanpa harus menunggu perubahan peraturan. Suatu peraturan yang
buruk bukan lah penghalang untuk mendapatkan keadilan bagi.hukum
progresif, karena dalam hal ini, pelaku hukum dapat melakukan
interpretasi baru terhadap peraturan. Karena titik orientasi dalam
hukum progresif adalah kepentingan manusia, maka ia harus peka pada
persoalan yang timbul dalam hubungan-hubungan manusia, baik
politik, ekonomi maupun sosial budaya.

8
2. Teori Perlindungan Hukum oleh Phillipus M. Hadjon
Perlindungan Hukum merupakan suatu hak asasi manusia yang
diberikan perlindungan secara harkat dan markabat serta mendapatkan
pengakuan akan hak tersebut yang dimiliki oleh setiap masyarakat
sesuai ketentuan hukum.25
Menurut Philipus M. Hadjon, ada 2 sarana perlindungan hukum,
antara lain:
a) Sarana Perlindungan Hukum Preventif
Dalam sarana ini, kesempatan diberikan kepada subyek hukum
agar keberatan dapat diajukan sebelum suatu keputusan pemerintah
berbentuk definitif. Hal ini bertujuan untuk mencegah timbulnya sengketa.
Perlindungan preventif ini berdampak besar bagi tindak pemerintahan
yang dilakukan berdasarkan kebebasan bertindak. Sehingga, pemerintah
dalam bertindak dan mengambil keputusan berdasarkan diskresi tersebut
dapat lebih berhati-hati. Pengaturan khusus terkait perlindungan hukum
preventif belum ada di Indonesia sampai saat ini.
b) Sarana Perlindungan Hukum Represif
Sarana ini mempunyai tujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Kategori perlindungan hukum ini meliputi perlindungan hukum oleh
Pengadilan Administrasi ataupun Pengadilan Umum. Konsep mengenai
perlindungan hak asasi manusia dan pengakuan diarahkan kepada
pembatasan dan peletakan kewajiban pemerintah dan masyarakat.
Selanjutnya prinsip negara hukum juga menjadi prinsip dasar perlindungan
hukum terhadap tindakan pemerintah yang berkaitan dengan tujuan dari
negara hukum sendiri yaitu melindungi segenap hak asasi manusia yang
dimiliki oleh seluruh masyarakat.

9
BAB III
PENUTUP
1.3 Kesimpulan
1.Pertanggungjawaban pidana malpraktek dokter dalam hukum positif
yaitu pada Pasal 359 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun karena
kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, dan dalam
Pasal 360 KUHP yaitu dipidana hukuman penjara selama-lamanya
sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau
denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah karena kesalahannya
menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi
sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau
pekerjaannya sementara;
2. Ditinjau dari hukum pidana Islam bentuk pertanggungjawaban pidana
malpraktek dokter yaitu Qishash apabila dilakukan dengan sengaja,
Dhaman tanggung jawab materil berupa ganti rugi atau diyat apabila
karena kesalahan (tidak sengaja) dan Ta’zir.

2.3 Saran

1. Dalam melaksakan suatu tindakan medis perlunya suatu kehatihatian


dan perhatian khusus jangan sampai terjadinya kealfaan ataupun kelalaian
yang bisa menyebabkan suatu tindakan malpraktek yang merugikan pasien
dan berujungkan suatu pertanggungjawaban pidana yang harus dihadapi
bagi dokter maupun tenaga medis lainya.

2. Masyarakat sebagai objek suatu tindakan medis harus sadar hukum dan
peka terhadapat permasalahan hukum yang terjadi disekitar ataupun yang
dialaminya terkhusus disini terhadap permasalahan malpraktek medis yang
harus dipertanggungjawabkan oleh dokter maupun tenaga medis lainnya
apabila terdapat suatu kerugian yang disebabkan oleh dokter ataupun
tenaga medis tersebut

10
DAFTAR PUSTAKA

Adi.P.2010.Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam rangka


Penanganan Tindak Pidana Malapraktik Kedokteran (Tesis).Semarang:Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro. Achadiat,C.M. 1996. Pernik

pernik Hukum Kedokteran Melindungi Pasien dan Dokter.Widya


Medika.Jakarta.

2004.Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam tantangan Zaman,


Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta .

Ameln,Fred.1991.Kapita Selekta Hukum Kedokteran, ctk.Pertama,


Grafika Tama Jaya, Jakarta Amir,A.1997.Bunga Rampai Hukum
Kesehatan.Widya Medika.Jakarta.

Arief,B.N.1994.Pembaharuan Hukum Pidana dan Masalah Kebijakan


Delik AduanDalam Masalah-Masalah Hukum, FH UNDIP.Semarang

2005.Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian


Perbandingan, PT Citra Adhya Bakti.Bandung.

2008.Masalah Penegakan Hukum Pidana dalam Penanganan


Kejahatan.Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

2008.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan


Penyusunan Konsep KUHP Baru.Jakarta Kencana.Jakarta

2010.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan


Penyusunan Konsep KUHP Baru.Jakarta

Kencana.Jakarta Chazawi,A.2000.Kejahatan Terhadap Tubuh dan


Nyawa.PT Raja Grafido Persada.Jakarta.

11

Anda mungkin juga menyukai