Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

KEDUDUKAN INFORMED CONSENT DALAM PERJANJIAN TRANSAKSI


TERAPEUTIK DALAM PELAYANAN KESEHATAN YANG DIHUBUNGAN
DENGAN HUKUM PERIKATAN

Dosen : Dr. Hj. M. Faiz Mufidi, S.H, M.H

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Hukum Perikatan


Program Studi Magister Ilmu Hukum
Konsentrasi Hukum Kesehatan
Universitas Islam Bandung

Dibuat Oleh :

Ratih Sari Putri 20040018005


Islamiawati Satalam Sangaji 20040018018
Sanella Arieska 20040018029
Iman Tedjarachmana 20040018087
Desiana 20040018108

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT penentu segala kehidupan didunia dan
diakhirat. Dengan berkat rahmat dan inayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Kedudukan Informed Consent Dalam Perjanjian Transaksi
Terapeutik Dalam Pelayanan Kesehatan Yang Dihubungan Dengan Hukum
Perikatan”. Adapun makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester
mata kuliah Hukum Perikatan.
Ucapan terimakasih tidak lupa kami sampaikan kepada Dr. Hj. M. Faiz Mufidi,
S.H, M.H. atas bimbingan serta materi-materi yang telah diberikan selama ini yang
tentunya sangat berguna bagi penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan, kritik dan saran yang bersifat membangun dari Dosen dan para
pembaca sangat diharapkan. Walau hasilnya masih jauh dari apa yang diharapkan,
namun sebagai awal pembelajaran dan agar menambah semangat dalam menimba ilmu,
tidak berlebihan kiranya jika kami mengucapkan kata syukur dan terimakasih.
Semoga makalah ini dapat menambah referensi dan menjadi ilmu pengetahuan
yang baru, serta membawa manfaat bagi kita semua, Jazaakumullahy khairan katsira.

Bandung, 12 April 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................. ii


DAFTAR ISI ............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................... 4
A. Kedudukan Informed Consent Dalam Perjanjian Teraupetik ......... 4
BAB III PENUTUP .................................................................................. 20
A. Simpulan ........................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan salah satu modal untuk berlangsungnya kehidupan

manusia. Produltivitas dan aktivitas seseorang dipengerahui oleh kondisi

kesehatanorang tersebut. Kesehatan yang dimiliki seseorang tidak hanya ditinjau

dari kesehatan fisik semata. Kesehatan seseorang bersifat, menyeluruh, yaitu

kesehatan jasmani dan rohani. Kesehatan juga merupakan salah satu faktor penentu

tingkat kesejahteraan seseorang. Hal tersebut diatas dapat kita lihat pada Undang-

Undang Dasar 1945 amandemen Pasal 28H ayat (1) yang berbunyi :

“setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan”
Pada awalnya hubungan dokter dan pasien didasarkan pada hubungan

paternalistik. Hubungan paternalistik ini merupakan pola hubungan yang

didasarkan pada adanya rasa kepercayaan antara pasien kepada seorang dokter.

Pola hubungan yang didasarkan pada kepercayaan ini diartikan bahwa seorang

pasien akan menyerahkan sepenuhnya pengobatan penyakitnya pada dokter.

Artinya pasien pasrah dan menerima apapun yang dilakukan dokter atas tubuhnya

demi kesembuhannya. Sikap pasrah ini tercermin bila akibat pengobatan tersebut

pasien menjadi cacat atau bahkan meninggal dunia, maka hal itu dianggap sebagai

takdir dari Tuhan YMK. Oleh karena itu dulu jarang terdengar pasien atau

keluarganya, menyalahkan atau menuntut dokter yang merawatnya.

1
Selanjutnya, seiring dengan perkembangan jaman hubungan dokter dan

pasien yang berpola paternalistik berubah menjadi horizontal kontraktual.

Hubungan horizontal kontraktual menyebabkan dokter dan pasien mempunyai

kedudukan yang sejajar yaitu bahwa dokter dan pasien sepakat, untuk saling

memberi prestasi (dengan berbuat atau tidak berbuat) di bidang pelayanan

kesehatan. Dokter dan pasien adalah subjek hukum yang membentuk hubungan

medik maupun hubungan hukum dengan objek berupa pemeliharaan kesehatan

maupun pengobatan penyakit. Hubungan ini menimbulkan hak dan kewajiban yang

harus dipenuhi oleh para pihak. Adanya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi

oleh para pihak, dan konsekuensinya tentu berupa pertanggungjawaban secara

hukum. Oleh karena itu antara dokter dan pasien ada hubungan hukum berupa

perjanjian atau transaksi terapeutik.

Perjanjian terapeutik atau transaksi terapeutik adalah perjanjian antara

dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk

melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan

keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut. Dari hubungan

hukum dalam transaksi terapeutik tersebut, timbulah hak dan kewajiban masing-

masing pihak, pasien mempunyai hak dan kewajibannya, demikian juga sebaliknya

dengan dokter.

Di dalam hubungan dokter dan pasien, hukum melindungi kepentingan

pasien maupun dokter. Hukum merupakan sarana untuk menciptakan keserasian

antara kepentingan dokter dan pasien guna menunjang keberhasilan pelayanan

2
medis berdasarkan sistem kesehatan nasional. Dalam pandangan masyarakat,

dokter dan pasien adalah dua subjek hukum yang terkait dalam hukum kedokteran.

Keduanya membentuk hubungan medik maupun hubungan hukum. Hubungan

medik dan hubungan hukum antara dokter dan pasien adalah hubungan yang

objeknya pemeliharaan kesehatan pada umumnya dan pelayanan kesehatan pada

khususnya. Dalam hubungan dokter dan pasien ini dapat terjadi sengketa medik

yang timbul karena adanya kesenjangan antara harapan pasien/keluarga pasien

dengan kenyataan yang ada setelah dilakukan upaya medik, ditambah lagi

kurangnya pemahaman tentang masalah teknis medis dari pihak pasien serta

informasi dari pihak dokter yang tidak memuaskan pasien/keluarga pasien.

B. Rumusan Masalah :

1. Bagaimana kedudukan Informed Consent dalam perjanjian terapeutik?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kedudukan Informed Consent Dalam Perjanjian Teraupetik

Hubungan dokter dan pasien berawal saat pasien datang ke dokter untuk

meminta bantuan atas permasalahannya di bidang kesehatan, sehingga dengan

adanya hal tersebut sudah terdapat suatu kontrak atau perjanjian antara dokter dan

pasien yang disebut kontrak atau transaksi terapeutik.1

Kontrak Terapeutik menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak yang

terikat didalamnya, yaitu dokter dan pasien. Hal tersebut menunjukkan adanya

perikatan sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata, tentang perikatan yang

lahir karena perjanjian. Hak dan kewajiban dokter dan pasien menimbulkan prestasi

dan kontraprestasi yang wajib dipenuhi oleh masing-masing pihak.

Sebelum terjadinya transaksi terapeutik, dokter memberikan informed

consend kepada pasien, dengan tujuannya agar pasien mengeteahui informasi yang

benar tentang keluhannya. Peranan Informed Consent Dalam Perjanjian

TerapeutikSuatu persetujuan medis akan timbul setelah pasien diberi penjelasan

secara adekuat mengenai penyakitnya, akibat-akibatnya serta efek samping atau

resiko yang bisa terjadi selama dalam perawatan atau proses penyembuhan

penyakitnya. Izin perawatan ini disebut informed consent. Pemberian izin ini baru

dapat diberikan setelah pasien mengetahui segala sesuatu tentang penyakitnya.

1
Desriza Ratman, Aspek Hukum Informed Consent dan Rekam Medis Dalam Transaksi Terapeutik, Keni
Media, Bandung, 2013,hlm 15.

4
Pasien berhak untuk memberikan atau menolak perawatan yang dilakukan oleh

dokter, sepanjang keadaan pasien tidak dalam keadaan gawat darurat.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, dikemukakan oleh Thiroux

(1980:269) bahwa informed consent merupakan suatu pendekatan terhadap

kebenaran, dan keterlibatan pasien dalam keputusan mengenai pengobatannya.

Hubungan antara dokter dengan pasiennya, pada saat ini sudah berkembang

menjadi hubungan yang sejajar dan merupakan partner kerja serta saling

membutuhkan. Informed consent ini merupakan dasar dari transaksi terapeutik

yang harus dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya dalam rangka memperoleh

persetujuan upaya perawatan selanjutnya, baik berupa pengobatan, perawatan,

maupun tindakan operasi. Informed consent dapat dilakukan secara tegas atau

diam-diam.

Secara tegas dapat disampaikan dengan kata-kata langsung baik secara lisan

maupun tertulis. Bahkan dapat dinyatakan dengan dengan sikap menyerah pada

prosedur yang telah dispesifikasikan. Informed consent baik dalam pelayanan

medis maupun dalam penelitian kedokteran jika didasarkan pada prinsip hukum

perikatan, maka pada hakekatnya merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi

agar masing-masing pihak dapat memenuhi kewajiban hukumnya sesuai dengan

harkat dan martabatnya yaitu sebagai subyek hukum yang bertanggungjawab.

Informed consent merupakan suatu ikatan yang harus memenuhi syarat-

syarat persetujuan dalam hukum perdata. Oleh sebab itu dokter harus memberi

informasi lengkap, yang disampaikan secara sederhana dan dimengerti oleh pasien,

5
tentang tindakan medisnya. Jika informasi itu kurang atau tidak jelas, maka

persetujuannya menjadi tidak sah dan batal. Sebab tidak mustahil pasien atau

keluarganya menuduh dokter telah melakukan penganiayaan. Kecuali dalam

keadaan darurat, tetapi jika keadaan darurat sudah terlewati maka harus mengikuti

aturan yang normal kembali.

Selanjutnya, kedudukan hukum informed consent dalam perjanjian

informed consent dalam perjanjian terapeutik dan sebagi syarat sahnya perjanjian

terapeutik atau keabsahan transaksi terapeutik sesuai dengan Pasal 1320

KUHperdata. Konsekuensi hukum tidak dilaksanakannya informed consent seperti

diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

adalah dari segi hukum perdata, tindakan medis tanpa adanya persetujuan pasien,

maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat

telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechmatiigdaad) berdasarkan

Pasal 351 KHUP tentang penganianyaan. Dari segi hukum administrasi negara,

apabila dokter memang benar-benar tidak memberikan informed consent dalam

melakukan tindakan medis maka sanksi yang akan diterima oleh dokter adalah

pencabutan izizn praktik, ini sesuai dengan ketentuan yang ada pada peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 Tahun 2008 Tentang

Persetujuan Tindakan Kedokteran.2

2
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran

6
Transaksi berarti perjanjian atau persetujuan, yaitu hubungan timbal balik

antara dua pihak yang bersepakat dalam satu hal. Terapeutik adalah terjemahan dari

therapeutic yang berarti dalam bidamg pengobatan. Istilah ini tidak sama dengan

therapy atau terapi yang berarti pengobatan. Persetujuan yang terjadi antara dokter

dan pasien bukan di bidang pengobatan saja tetapi lebih luas mencakup bidang

diagnostik, preventif, rehabilitatif, maupun promotif sehingga persetujuan ini

disebut persetujuan terapeutik atau transaksi terapeutik.3

Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien berupa

hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.4

Dalam transaksi terapeutik, pasien berhak untuk menolak pemeriksaan, menunda

persetujuan dan bahkan membatalkan persetujuan. Apabila pasien menolak untuk

dilakukan tindakan medis, maka dokter wajib memberikan informasi mengenai

baik buruknya tindakan tersebut bagi pasien.

Transaksi terapeutik itu dikategorikan sebagai perjanjian yang diatur dalam

ketentuan Pasal 1601 Bab 7A Buku III KUH Perdata, yaitu termasuk jenis

perjanjian untuk melakukan jasa yang diatur dalam ketentuan khusus.5 Ketentuan

khusus yang dimaksudkan adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan. Selain itu, jika dilihat ciri yang dimilikinya yaitu pemberian

3
M.Jusuf Hanafiah, dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 4, EGC, Jakarta,
2013.hlm.43.
4
Nasution, Bahder Johan, Hukum Kesehatan : Pertanggungjawaban dokter, PT Rineka Jaya, Jakarta,
2005, hlm. 11.
5
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

7
pertolongan yang dapat dikategorikan sebagai pengurusan urusan orang lain

(zaakwaarnerning) yang diatur dalam Pasal 1354 KUH Perdata, maka transaksi

terapeutik merupakan perjanjian ius generis. Adapun yang dimaksud dengan

perjanjian pemberian jasa, yaitu suatu perjanjian di mana pihak yang satu

menghendaki pihak lawannya melakukan suatu pekerjaan untuk mencapai suatu

tujuan dengan kesanggupan membayar upahnya, sedangkan cara yang akan

dilakukan untuk mencapai tujuan rsebut diserahkan pada pihak lawannya. Pihak

lawan tersebut adalah seorang ahli dalam bidangnya dan telah memasang tarif

untuk jasanya.

Hubungan terapeutik adalah hubungan yang khusus, karena apabila ada

konflik atau sengketa antara penyedia jasa kesehatan dan penerima jasa pelayanan

kesehatan, maka masing-masing pihak tunduk pada konsep hukum yang

mengaturnya. Karakteristik perikatan dalam transaksi terapeutik adalah

inspanning, yang berarti bahwa suatu perikatan terapeutik adalah tidak didasarkan

pada hasil akhir akan tetapi didasarkan pada upaya yang sungguh-sungguh untuk

mencapai kesembuhan pasien.

Hubungan terapeutik adalah hubungan perdata antara dokter dengan pasien,

pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa: “suatu persetujuan adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

dua orang atau lebih”, menjelaskan bahwa adanya hubungan ini. Sebagai akibat

dari pihak yang saling setuju tersebut adalah timbulnya perjanjian, karena terdapat

8
2 (dua) pihak yang saling setuju dan berjanji untuk melakukan sesuatu,

mengakibatkan adanya perikatan antara dokter dan pasien.

Di dalam transaksi terapeutik, pihak penerima pelayanan medis, adalah

pasien. Yang terdiri dari orang dewasa yang cakap untuk bertindak, orang dewasa

yang tidak cakap untuk bertindak, yang memerlukan persetujuan dari

pengampunya, anak yang berada di bawah umur yang memerlukan persetujuan dari

orang tuanya atau walinya. Kecakapan harus datang dari kedua belah pihak yang

memberikan pelayanan maupun yang memerlukanpelayanan. Kalangan dokter

harus mempunyai kecakapan yang memadai atau dituntut oleh pasien. Sedangkan

dari pihak pasien tentu dituntut orang yang cakap membuat perikatan, yaitu orang

dewasa yang waras. Bila lain dari itu tentu harus ada yang mengantar sebagai

pendamping pasien.

Mengenai kecakapan membuat perikatan Pasal 1329 KUH Perdata

menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, apabila

oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Lebih lanjut mengenai

kecakapan ini, Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa kriteria orang-orang

yang tidak cakap untuk membuat perjanjian menurut undang-undang adalah:

1) Orang yang belum dewasa

2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang telah

melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

9
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa kecakapan bertindak merupakan

kewenangan yang umum untuk mengikatkan diri, sedangkan kewenangan

bertindak merupakan kewenangan yang khusus. Dalam perjanjian terapeutik, pihak

penerima layanan medis terdiri dari orang dewasa yang cakap untuk bertindak yang

memerlukan persetujuan dari pengampunya, anak yangberada diawah umur, tetapi

telah dianggap dewasa atau matang, anak dibawah umur yang memerlukan

persetujuan dari orang tua atau walinya.

Dalam hukum perikatan sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, dikenal

adanya 2 macam perjanjian:

1. Inspaning verbintenis ,yakni perjanjian upaya artinya kedua belah pihak yang

berjanji berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang

diperjanjikan.

2. Resultaatverbintenis ,yakni Transaksi pihak yang berjanji akan memberikan

suatu resultaat yaitu suatu hasil yang nyata sesuai dengan apa yang

diperjanjikan. 6

Perjanjian antara dokter dengan pasien berbeda dengan perjanjian pada

umumnya, yaitu terletak pada objek perjanjiannya, tujuan utama perjanjian bukan

dilihat dari hasilnya (resultaatverbintenis), namun pada upaya untuk kesembuhan

pasien (inspaning verbintenis.). Jadi dalam suatu upaya pengobatan, dokter tidak

6
Ibid. hlm. 13.

10
bisa menjamin atau berjanji 100% atas kesembuhan pasien, namun berikhtiar

melakukan yang terbaik dan pasien diharapkan mengerti akan hal ini. 7

Timbulnya hubungan hukum antara dokter dengan pasien berdasarkan

perjanjian mulai terjadi saat pasien datang ketempat praktek dokter atau ke rumah

sakit dan dokter menyanggupinya dengan dimulai anamnesa (tanya jawab) dan

pemeriksaan oleh dokter. Dari seorang dokter harus dapat diharapkan bahwa ia

akan berusaha sebaik mungkin untuk menyembuhkan pasiennya. Dokter tidak bisa

menjamin bahwa ia pasti akan dapat menyembuhkan penyakit pasiennya, karena

hasil suatu pengobatan sangat tergantung kepada banyak faktor yang berkaitan

(usia, tingkat keseriusan penyakit, macam penyakit, komlikasi dan lain-lain).

Dengan demikian maka perjanjian antara dokter - pasien itu secara yuridis

dimasukkan kedalam golongan inspanningsverbitenis.

Sedangkan segala peraturan yang mengatur tentang perjanjian tetaplah

harus tunduk pada peraturan dan ketentuan dalam KUHPerdata. Ketentuan

mengenai perjanjian dalam KUHPerdata itu diatur dalam buku III yang mempunyai

sifat terbuka, dimana dengan sifatnya yang terbuka itu akan memberikan kebebasan

berkontrak kepada para pihaknya, dengan adanya asas kebebasan berkontrak

memungkinkan untuk setiap orang dapat membuat segala macam perjanjian.

7
Ibid. hlm. 11.

11
Suatu perikatan atau tunduk pada asas-asas umum perikatan sebagaimana

diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, dimana disebutkan untuk syarat sahnya

persetujuan ada 4 (empat) syarat, yaitu:

1) Sepakat mengikatkan diri

2) Cakap membuat perikatan

3) Ada hal tertentu

4) Karena sebab yang halal

Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subjeknya atau pihakpihak

dalam pejanjian sehingga disebut syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan

keempat disebut syarat objektif karena mengenai objek suatu perjanjian. Dalam hal

syarat subjektif tidak terpenuhi maka salah satu pihak mempunyai hak untuk

meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan

adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak

bebas. Sehingga perjanjian yang dibuat tersebut mengikat selama tidak dibatakan

oleh keputusan pengadilan atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan

tadi. 68 Dengan demikian perjanjian yang demikian selalu mengandung resiko

pembatalan atau disebut juga “vernietigbaar”.

Ada beberapa asas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun

ada dua diantaranya yang merupakan asas terpenting dan karenanya perlu untuk

diketahui, yaitu:

1. Asas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul

telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam

12
perjanjian tidak menentukan lain. Asas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320

KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.

2. Asas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian

bebas untuk menentukan isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan

dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Asas ini tercermin jelas

dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian

yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya.8 Sesuai dengan Pasal 1233 KUH Perdata, perikatan yang lahir

dari perjanjian artinya dua orang atau lebih dapat menjadi terikat untuk

melakukan hak dan kewajiban masing-masing dikarenakan mereka menyetujui

sebuah perjanjian. perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak akan

mempunyai kekuatan mengikat sebagai mana undang – undang bagi keduanya.

Adanya pelanggaran terhadap hak subjektif seseorang dapat dikatakan

perbuatan melanggar hukum sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata. Selain itu

setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan

perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian

atau kesembronoannya sesuai dengan Pasal 1366 KUH Perdata. Jika dokter

bekerja di Rumah Sakit, maka jika terbukti melakukan perbuatan melawan

hukum, pihak Rumah Sakit sebagai instansi ikut bertanggung jawab atas

peristiwa ini, tertuang pada Pasal 1367 KUH Perdata.

8
Subekti, R, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-21, PT Intermasa, Jakarta, 2005, hlm.15.

13
Beberapa asas yang dapat dijadikan dasar oleh para dokter dan dokter gigi

dalam menyelenggarakan praktik kedokteran adalah :

1. Asas Legalitas

Pelayanan kesehatan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang

kompeten, baik pendidikannya maupun perizinannya sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas legalitas ini lebih

ditekankan lagi pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran, khususnya Pasal 26 sampai 29 yang mengatur Tentang Standar

Pendidikan Profesi Kedokteran dan Kedokteran Gigi. Konsil Kedokteran

Indonesia yang mengesahkan standar pendidikan bagi dokter dan dokter gigi

setelah melihat dan mendengar masukan dari berbagai pihak.. Untuk

menindaklanjuti asas legalitas tersebut, maka bagi dokter dan dokter gigi

sebelum melakukan praktik kedokteran diwajibkan memiliki surat tanda

registrasi (STR) dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi yang diberikan

oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Setelah itu dokter dan dokter gigi

diwajibkan memiliki surat izin praktik (SIP) yang dikeluarkan oleh pejabat

kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik akan

dilaksanakan. Setelah memperoleh izin tersebut, barulah dokter berwenang

melaksanakan tugas memberikan pelayanan kesehatan, baik pada rumah sakit

pemerintah, rumah sakit swasta, puskesmas, klinik, atau melakukan praktik

pribadi secara perseorangan.

14
2. Asas Keseimbangan

Asas ini terdapat dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran. Fungsi hukum selain memberikan kepastian dan

perlindungan terhadap kepentingan manusia, hukum juga harus bisa

memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu.

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus secara seimbang antara

kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, juga

keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil, antara manfaat

dan risiko yang ditimbulkan dari upaya medis.9

3. Asas Tepat Waktu

Asas tepat waktu ini merupakan asas yang sangat penting diperhatikan

oleh para petugas kesehatan khususnya dokter, karena keterlambatan

penanganan seorang pasien dapat berakibat fatal. Dalam Pasal 55 Undang-

Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan bahwa setiap orang

berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga

kesehatan sehingga kepentingan pasien tidak dapat ditunda karena alasan

pribadi dokter.10 Penanganan yang terkesan lamban dan asal-asalan terhadap

pasien sangat bertentangan dengan asas ini. Kecepatan dan ketepatan

penanganan terhadap pasien merupakan salah satu faktor pendukung

kesembuhan pasien.

9
Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
10
Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

15
4. Asas Itikad Baik

Di dalam Pasal 1338 KUH Perdata ayat (3) disebutkan bahwa perjanjian

harus dilaksanakan dengan itikad baik, artinya masing-masing pihak harus

berbuat baik, jujur, dan pantas. Asas ini bersumber pada prinsip etis berbuat

baik yang perlu diterapkan dalam pelaksanaan kewajiban dokter terhadap

pasien. Dalam menerapkan asas itikad baik ini akan tercermin dari

penghormatan terhadap hak pasien dan pelaksanaan praktik kedokteran yang

selalu berpegang teguh pada standar profesi.

5. Asas Kejujuran

Sesuai dengan Pasal 50 hingga 53 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran, kejujuran antara dokter dan pasien merupakan salah satu

hal penting dalam hubungan dokter dengan pasien guna mencapai tujuan

pelayanan kesehatan yang maksimal.

6. Asas Kehati-hatian

Dalam memberikan pelayanan kesehatan, dokter harus selalu berhati-

hati dan senantiasa mengutamakan keselamatan pasien. Sesuai dengan Pasal 45

UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pelaksanaan kewajiban

dokter untuk mematuhi standar profesi berkaitan erat dengan persetujuan dan

penjelasan mengenai diagnosis, tujuan dan tindakan medis.

7. Asas Keterbukaan

16
Keterbukaan informasi dari dokter kepada pasien serta dari pasien

kepada dokter akan menunjang langkah-langkah upaya pengobatan yang

dilakukan

sesuai dengan Pasal 2 (c) UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.11

Apabila transaksi terapeutik dilihat sebagai rangkaian kegiatan dalam

pelayanan medik, maka yang terpenting adalah pelaksanaanya. Di dalam Pasal

1338 ayat (1) KUHPerdata disebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara

sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena

itu, jika transaksi terapeutik telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka semua kewajiban yang timbul

mengikat baik dokter maupun pasiennya.17Maka berartu dokter dan pasien bebas

untuk membuat perjanjian, mengatur sendiri kewajibannya dan dapat memasukkan

berbagai syarat yang mengikat dirinya sebagai undang-undang. Namun sebagai

dokter memiliki tanggung jawab khusus yang tidak dapat dikesampingkan atau

dibatasi dengan alasan adanya resiko yang tinggi dalam tindakan medik yang

dilakukannya. Oleh karena itu, dokter bertanggung jawab untuk melaksanakan

kewajiban profesionalnya dengan usaha keras dan bersikap hati-hati.12

Didalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata dinyatakan bahwa, suatu

perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah

11
Veronika Komalasari, Hukum dan Etika Dalam Praktik Dokter, Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1989,
hlm. 128.
12
Ibid, Hlm 167

17
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk

itu. Dalam ayat ini terkadung asas kekuatan mengikat suatu perjanjian yang telah

dibuat secara sah. Akan tetapi, dari ayat ini dapat diartikan bahwa di satu pihak

ketentuan ini memberikan jaminan kekuatan mengikat suatu perjanjian, tetapi di

lain pihak juga mengandung pengecualian, yaitu perjanjian yang dibuat dapat tidak

mengikat jika disepakati oleh kedua belah pihak.

Demikian juga dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyakatan

bahwa, suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Hal ini dapat berarti

bahwa, sekalipun telah dibuat perjanjian yang memenuhi syarat sahnya perjanjian

dan mempunyai kekuatan mengikat, namun dapat juga tidak mengikat jika

perjanjian itu dilaksakan tidak dengan itikad baik. Agar perjanjian dilaksanakan

sesuai dengan tujuan dibuatnya perjanjian. Bahwa masalah itikad baik merupakan

norma tidak tertulis yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian, apabila pelaksanaan

perjanjian menurut isinya akan menimbulkan ketidakpatuhan.

Dihubungkan dengan pelaksanaan transaksi terapeutik, berarti bahwa

sekalipun pasien telah menyetujui dilakukannya suatu tindakan medik tertentu

dengan menandatangani Surat Persetujuan Tindakan, namun jika secara medik

tindakan itutidak ada manfaatnya atau tidak menyebabkan meningkatkan kesehatan

pasien, bahkan dapat menimbulkan resiko kerugian bagi pasien, maka tidak

sepatutnya untuk dilaksanakan. Dibandingkan dengan norma tidak tertulis lainnya

yang terkandung dalam perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365

KUHPerdata, yaitu norma kecermatan yang patut dalam pergaulan masyarakat.

18
Oleh karena itu, dalam transaksi terapeutik kewajiban terhadap diri sendiri, baik

dari dokter maupun pasien yang bersumber pada tanggung jawab masing-masing,

sebenarnya didasarkan asas itikad baik dan kecermatan yang patut dalam pergaulan

masyarakat. Untuk itulah agar hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan dibuatnya

transaksi terapeutik.13

13
Ibid, Hlm 170

19
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan merupakan hubungan hukum

yang saling kait mengait antara pemberian layanan kesehatan (health provider) dan

penerima layanan kesehatan (health receiver), dimana hubungan tersebut akan

menimbulkan suatu transaksi terapeutik. Transaksi terapeutik ini menimbulkan hak

dan kewajiban diantara para pihak. Transaksi terapeutik ini sebagai landasan

pemberian persetujuan tindakan medis (informed consent), karena informed

consent merupakan hak atas informasi seorang pasien. Dalam hal ini, informed

consent memegang peranan penting dalam perjanjian yang akan menjadi dasar

terjadinya transaksi terapeutik. Walaupun secara teori kedudukan pasien dengan

dokter sama secara hukum, namun karena kurangnya pemahaman hukum mengenai

hak dan kewajiban masing-masing pihak, pelanggaran masih sering terjadi.

Pengaturan hak dan kewajiban dimana salah satuhnya adalah adannya persetujuan

tindakan medis, secara yuridis dimaksudkan untuk memberikan perlindungan yang

seimbang dan objektif baik terhadap dokter maupun masyarakat.

20
DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU
Desriza Ratman, Aspek Hukum Informed Consent dan Rekam Medis Dalam
Transaksi Terapeutik, Keni Media, Bandung, 2013

M.Jusuf Hanafiah, dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan
Edisi 4, EGC, Jakarta, 2013.

Nasution, Bahder Johan, Hukum Kesehatan : Pertanggungjawaban dokter, PT


Rineka Jaya, Jakarta, 2005

Veronika Komalasari, Hukum dan Etika Dalam Praktik Dokter, Bina Rupa
Aksara, Jakarta, 1989,

II. UNDANG-UNDANG
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 Tahun 2008 Tentang


Persetujuan Tindakan Kedokteran

Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

21

Anda mungkin juga menyukai