Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

INFORM CONCENT PADA PROSEDUR PENANGANAN PASIEN COVID-19


DI RUMAH SAKIT

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH ETIKA PROFESI


DAN HUKUM KESEHATAN

Dosen Pembimbing : Ns. Fathra AN, M.Kep., Sp.Kep.J

OLEH KELOMPOK 4

B 2020

2011166006 Anita Astuti 2011166601 Rahmat Hidayat

2011166001 Fenny Arzi 2011166014 Sandra Moreyna

2011165993 Intan Ayuza 2011165373 Sekar Dyka Pratiwi

20111660 10 Nora Situmeang 2011165996 Winda Gaolis

ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah Studi Kasus ini dengan baik.
Makalah studi kasus ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
salah satu tugas Mata Kuliah Etika Profesi Dan Hukum Kesehatan.

Tugas studi kasus ini berisi tentang “Inform Concent Pada Prosedur
Penanganan Pasien Covid-19 Di Rumah Sakit”. Selama proses penyusunan
Makalah studi kasus ini, penulis tidak lepas dari bimbingan, dukungan dan arahan
dari berbagai pihak, oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan


makalah ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini serta perbaikan dimasa mendatang.

Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, Desember 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 2


1.3 Tujuan Pembelajaran ...................................................................... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 3


2.1 Definisi Informed ........................................................................... 3

2.2 Bentuk-bentuk Informed Consent .................................................. 5


2.3 Syarah Sah Informed Consent ........................................................ 6
2.4 Penangan Pasien COVID-19 ........................................................... 6

2.5 Langkah penyelesaian Issue Keperawatan ..................................... 7


2.6 Aspek Hukum Issue Keperawatan................................................... 11

2.7 Aspek Hukum, Sosial dan Agama ................................................... 14

2.8 Dasar Hukum atau Aturan yang Berkaitan dengan Issue Etik terhadap
Informed Consent COVID-19 ......................................................... 16
2.9 Langkah Penyelesaian Kasus .......................................................... 18

BAB 3 PENUTUP ............................................................................................. 20

3.1 Kesimpulan..................................................................................... 20

3.2 Saran .............................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Informed Consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan


oleh pasien atau keluarganya setelah mendapat informasi tindakan medis yang akan
dilakukan terhadap dirinya serta segala resiko. Bentuk dari persetujuan tindakan
medik (informed consent) sendiri, terdiri dari pernyataan (expression) yaitu
persetujuan tindakan medik secara lisan (oral), dan tertulis (written) , pernyataan yang
dianggap diberikan (implied consent) yaitu persetujuan tindakan medik dalam keadaan
biasa (normal) dan dalam keadaaan gawat darurat, dan presumed consent yaitu apabila
pasien dalam kondisi sadar dianggap akan menyetujui tindakan dokter atau petugas
kesehatan tersebut.
Pelaksanaan hak atas persetujuan tindakan medis atas informasi, juga
dicantumkan pada ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan
edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab”. Tetapi, dalam
pelaksanaan tindakan medis berupa implied consent untuk keadaan emergency,
terhadap pasien gawat darurat, tidak dimungkinkan bagi pasien maupun wali dan
keluarga pasien untuk mendapatkan informasi terlebih dahulu, karena pasien harus
segera dilakukan tindakan untuk penyelamatan nyawa oleh dokter dengan melakukan
tindakan medik terbaik menurut dokter. Ketentuan tentang implied consent terhadap
keadaan darurat juga terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
menyatakan bahwa dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien
dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan suatu persetujuan tindakan kedokteran.
Tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran disini dalam arti dokter mengambil
tindakan medis sendiri untuk penyelamatan nyawa pasien tanpa meminta persetujuan
terlebih dahulu dari keluarga maupun wali dari pasien

1
5

b. Rumusan Masalah

a. Apa definisi informed consent?

b. Apa bentuk-bentuk informed consent?

c. Apa syarat sahnya informed consent?

d. Bagaimana penangan pasien COVID-19?

e. Bagaimana langkah penyelesaian masalah issue etik ?

f. Bagaima aspek hukum dari issue etik tersebut?

g. Bagaimana aspek social, hukum dan agama dari issue etik tersebut?

h. Apa dasar hukum atau aturan yang berkaitan dengan issue etik terhadap
informed consent COVID-19?
i. Bagaimana langkah penyelesaian kasus?

j. Apa saja prinsip etika yang terdapat pada Issue etik?

c. Tujuan Pembelajaran

a. Tujuan Umum

Mahasiswa/i mengetahui dan memahami tentang konsep Trend dan Issue


Keperawatan mengenai Inform Concent Pada Prosedur Penanganan Pasien
Covid-19 Di Rumah Sakit
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Informed Consent

Informed concent atau persetujuan setelah penjelasan (PSP) adalah persetujuan


yang diberikan pasien atau keluarga berdasarkan penjelasan mengenai tindakan medik
yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut (Bardosono, 2009). Peraturan Menteri
Kesehatan No.290 tahun 2008 istilah informed consent ini diterjemahkan dengan
Persetujuan Tindakan Medik (PTM), peraturan ini berlaku sejak tanggal 26 Maret
2008.
Informed artinya memperoleh atau diberi penjelasan. Consent artinya member
persetujuan, mengijinkan. Pengertian informed consent adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien setelah mendapat penjelasan atau informasi, dengan tujuan
untuk menolong pasien. Informed consent bukan sekedar formulir persetujuan yang
didapat dari pasien, tetapi merupakan suatu proses komunikasi. Tercapainya
kesepakatan antara dokter–pasien merupakan dasar dari seluruh proses tentang
informed consent, formulir itu hanya merupakan pengukuhan atau pendokumentasian
dari apa yang telah disepakati (Manuaba, 2007).
Sedangkan informed concent keperawatan adalah persetujuan setelah pemberian
informasi oleh perawat mengenai persetujuan tindakan perawatan, meliputi :
a. Persetujuan untuk pengobatan: persetujuan dilakukan untuk pengobatan
kecuali perawatan yang diberikan pada situasi kegawatdaruratan tertentu.
Persetujuan harus berhubungan dengan pengobatan yang sedang diusulkan dan
telah di informasikan, kemudian bersifat sukarela, serta tidak dilakukan keliru
atau penipuan.
b. Persetujuan untuk masuk fasilitas perawatan.

c. Persetujuan untuk layanan bantuan pribadi.

d. Tujuan informed concent

Informed consent yang diberikan oleh pasien dianggap tidak sah, apabila
diberikan dengan paksaan, karena memberikan gambaran yang salah atau belainan
dari seseorang yang belum dewasa, dari seseorang yang tidak berwenang, dan dalam

3
4

keadaan yang tidak sepenuhnya sadar karena tidak sesuai dengan tujuan dari informed
concent. Tujuan informed concent menurut Vera (2014) yaitu :
a. Melindungi pasien terhadap unsanctioned operasi.

b. Melindungi tenaga medis, perawat dan rumah sakit terhadap tindakan hukum
oleh klien yang menganggap bahwa prosedur tidak sah dilakukan.
c. Untuk memastikan bahwa klien memahami sifat pengobatannya termasuk
kemungkinan komplikasi dan cacat.
d. Untuk menunjukan bahwa keputusan klien dibuat tanpa paksaan atau
tekanan.

Dampak positif Informed consent

a. Perlindungan pasien untuk segala tindakan medik

b. Perlindungan tenaga kesehatan dokter/perawat terhadap terjadinya akibat


yang tidak terduga serta dianggap merugikan pihak lain
c. Perlindungan terhadap pasien dimaksudkan segala tindakan medic yang
ditujukan pada badaniah dan rohaniah yang dilakukan tanpa sepengetahuan
pasien dari perlakuan prosedur medik yang sebenarnya tidak perlu atau tanpa
ada dasar kepentingan medik yang pada titik klimaksnya merupakan
penyalahgunaan dari standar profesi medic yang merugikan/membahayakan
pasien

d. Perlindungan terhadap dokter atau perawat yang telah melakukan tindakan


medik atas dasar standar profesi medik tetapi menghadapi adanya akibat yang
tidak terduga serta dianggap merugikan pihak lain, maka tindakan medik
yang bermasalah itu memperoleh jaminanperlindungan berdasarkan “risk of
treatment” dan “error of judgement”untuk kepentingan kesehatan

Dampak Negatif proses informed consent

a. Kondisi pasien yang memerlukan pertolongan dengan segera,sehingga baik


pasien atau pun keluarga dengan cepat mengatakan telah mengerti dengan
apa yang telah di sampaikan oleh dokter.
b. Informasi yang di sampaikan oleh tenaga kesehatan tidak dipahami oleh
pasien
5

c. System pelayanan rumah sakit yang tidak fleksibel,artinya pasien merasa di


persulit dalam kondisi dirinya yang memerlukan pengobatan
d. Pemberian informasi sampai meminta tanda tangan pasien dan keluarga di
lembar informed consent,terkadang di lakukan perawat padahal itu
wewenang dokter
e. Pasien sering tidak di beri kesempatan untuk membaca kembali formulir
yang di berikan,sehingga pasien dan keluarga sering merasa tidak pernah di
berikan informasi sebelum di lakukan tindakan medis

2.2 Bentuk-Bentuk Informed Consent

a. Implied Constructive Consent (keadaan normal)


Persetujuan yang diberikan kepada pasien secara tersirat dan tanpa pernyataan
tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap dan tindakan pasien.
Umumnya tindakan dokter disini adalah tindakan yang biasa dilakukan atau
sudah diketahui umum. Misalnya pengambilan darah untukpemeriksaan
laboratorium, memberikan suntikan pada pasien, menjahit luka, dan lain
sebagainya.
b. Implied Emergency Consent (keadan gawat)
Apabila pasien dalam keadaan gawat darurat (emergency) sedang dokter
memerlukan tindakan segera, sementara pasien dalam keadaan tidak bisa
memberikan persetujuan dan keluarganya pun tidak ditempat. Maka dokter
dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter. Misalnya kasus pada
pasien yang mengalami sesak nafas atau gagal jantung.
c. Expressed Consent
Persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, bila yang akan
dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa. Dalam
keadaan demikian sebaiknya kepada pasien disampaikan terlebih dahulu
tindakan apa yang akan dilakukan supaya tidak sampai terjadi salah
pengertian.
6

2.3 Syarat Sahnya Perjanjian atau Consent (KUHP 1320)

a. Adanya Kesepakatan
Sepakat dari pihak tenaga kesehatan maupun klien tanpa paksaan, tipuan
maupun kekeliruan setelah diberi informasi sejelas – jelasnya.
b. Kecakapan
Artinya seseorang memiliki kecakapan memberikan persetujuan, jika orang itu
mampu melakukan tindakan hukum, dewasa dan tidak gila. Bila pasien
seorang anak yang berhak memberikan persetujuan adalah orangtuanya,
pasien dalam keadaan sakit tidak dapat berpikir sempurna sehingga ia tidak
dapat memberikan persetujuan untuk dirinya sendiri, seandainya dalam
keadaan terpaksa tidak ada keluarganya dan persetujuan diberikan oleh pasien
sendiri dan perawat dalam melakukan tindaknnya maka persetujuan tersebut
dianggap tidak sah.
c. Suatu Hal Tertentu
Obyek persetujuan antara perawat dan pasien harus disebutkan dengan jelas
dan terinci.
d. Suatu Sebab yang Hal
Isi persetujuan tidak boleh bertentangan dengan undang – undang, tata tertib,
kesusilaan, norma dan hukum

2.4 Penangan Pasien COVID-19

a. Deteksi Dini Pasien dalam Pengawasan COVID 19

1) Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu demam


(≥38oC) atau riwayat demam; disertai salah satu gejala/tanda penyakit
pernapasan seperti: batuk/ sesak nafas /sakit tenggorokan /pilek/
pneumonia ringan hingga berat dan tidak ada penyebab lain berdasarkan
gambaran klinis yang meyakinkan dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul
gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah yang
melaporkan transmisi local
2) Orang dengan demam (≥380C) atau riwayat demam atau ISPA dan pada 14
hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus
konfirmasi COVID-19.
7

3) Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat yang membutuhkan


perawatan di rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan
gambaran klinis yang meyakinkan

b. Penanganan Pasien dalam Pengawasan

1) Pisahkan dengan pasien yang lain

2) Tempatkan pasien di kamar tersendiri dengan pintu tertutup atau di


area yang telah ditetapkan
3) Pastikan petugas patuh pada kewaspadaan standar, kontak dan
droplet
4) Hanya petugas yang ditugaskan khusus di ruangan tersebut yang dapat
masuk ke ruangan dan memakai APD yang tepat
5) Beritahukan Komisi/Tim PPI atau staf yang berwenang

c. Kriteria Sembuh dan Pemulangan


Pasien dinyatakan sembuh bila:

1) Klinis perbaikan

2) Hasil PCR coronavirus SARS-COV-2 dari swab tenggorok / aspirat


saluran napas 2 kali berturut turut negatif dalam selang waktu 2 hari
Pasien dipulangkan bila:

1) Pasien dinyatakan sembuh

2) Komorbid teratasi dan stabil

3) Pasien diberikan edukasi untuk isolasi diri di rumah selama 14 hari ke


depan dan diberikan leaflet yang berisi informasi tentang apa yang harus
dilakukan selama di rumah.

2.5 Langkah Penyelesaian Masalah Dilema Etik

Kerangka pemecahan dilema etik banyak diutarakan oleh para ahli dan pada
dasarnya menggunakan kerangka proses keperawatan/pemecahan masalah secara
ilmiah, antara lain :
a. Model Pemecahan Masal (Megan)
8

1) Mengkaji situasi

2) Mendiagnosa masalah etik moral

3) Membuat tujuan dan rencana pemecahan

4) Melaksanakan rencana

5) Mengevaluasi hasil

b. Kerangka Pemecahan Dilema Etik (Kozier & Erb)

1) Mengembangkan data dasar. Untuk melakukan ini perawat


memerlukan pengumpulan informasi sebanyak mungkin meliputi : Siapa
yang terlibat dalam situasi tersebut dan keterlibatannya
i. Apa tindakan yang diusulkan
ii. Apa maksud dari tindakan yang diusulkan
iii. Apa konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan yang
diusulkan.
2) Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi tersebu
3) Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan
dan mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut
4) Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut.
5) Mengidentifikasi kewajiban perawat
6) Membuat keputusan
7) Model Murphy - Mengidentifikasi masalah kesehatan
8) Mengidentifikasi masalah etik
9) Siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan
10) Mengidentifikasi peran perawat
11) Mempertimbangkan berbagai alternatif-alternatif yang mungkin
dilaksanakan
12) Mempertimbangkan besar kecilnya konsekuensi untuk setiap alternatif
keputusan
13) Memberi keputusan
14) Mempertimbangkan bagaimana keputusan tersebut hingga sesuai dengan
falsafah umum untuk perawatan klien
15) Analisa situasi hingga hasil aktual dari keputusan telah tampak dan
9

menggunakan informasi tersebut untuk membantu membuat keputusan


berikutnya

c. Model Curtin

1) Mengumpulkan berbagai latar belakang informasi yang


menyebabkan masalah

2) Identifikasi bagian-bagian etik dari masalah pengambilan keputusan

3) Identifikasi orang-orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan

4) Identifikasi semua kemungkinan pilihan dan hasil dari npilihan itu

5) Aplikasi teori, prinsip dan peran etik yang relevan

6) Memecahkan dilemma

7) Melaksanakan keputusan

d. Model Levine – Ariff dan Gron

1) Mendefinisikan dilema

2) Identifikasi faktor-faktor pemberi pelayanan

3) Identifikasi faktor-faktor bukan pemberi pelayanan Pasien dan keluarga

4) Faktor-faktor eksternal

5) Pikirkan faktor-faktor tersebut satu persatu

6) Identifikasi item-item kebutuhan sesuai klasifikasi

7) Identifikasi pengambil keputusan

8) Kaji ulang pokok-pokok dari prinsip-prinsip etik

9) Tentukan alternatif-alternatif

10) Menindaklanjuti

e. Langkah-langkah menurut Purtillo dan Casse

1) Mengumpulkan data yang relevan


10

2) Mengidentifikasi dilemma

3) Memutuskan apa yang harus dilakukan

4) Melengkapi tindakan

f. Langkah-langkah menurut Thompson & Thompson

1) Meninjau situasi untuk menentukan masalah kesehatan, keputusan yang


diperlukan, komponen etis dan petunjuk individual

2) Mengumpulkan informasi tambahan untuk mengklasifikasi situasi

3) Mengidentifikasi issue etik

4) Menentukan posisi moral

5) Menentukan posisi moral pribadi dan professional

6) Mengidentifikasi posisi moral dari petunjuk individual yang terkait

7) Mengidentifikasi konflik nilai yang ada

SKENARIO

Tn. A masuk IGD RS X dengan keluhan sesak nafas, demam,batuk, setelah di


anamnesa oleh petugas IGD Tn. A disarankan untuk dirawat inapkan dan dilakukan
screening Covid-19. Dari tanda dan gejala Tn. A disarankan untuk tes swab jika hasil
swab Reaktif maka Tn A masuk ruangan Covid dengan prosedur yang telah
ditetapkan. Saat perawat meminta inform consent, Keluarga menolak untuk dilakukan
swab tes. Keluarga Tn. A mengenal salah satu petinggi perawat di RS X tersebut.
Setelah menghubungi kenalan dari keluarga nya Tn. A tidak jadi dilakukan swab tes
dan di rawat di ruangan rawat biasa.
Setelah di rawat 1 hari kondisi Tn. A menurun, demam tinggi dan bertambah sesak.
Akhirnya pasien dan keluarga bersedia dilakukan swab test pada Tn. A. Hasil Petugas
segera meminta persetujuan kepada keluarga/inform consent untuk di rawat di ruang
Covid-19 dengan resiko dan prosedur yang telah ditetapkan oleh RS X. Setelah masuk
ruangan covid ,Tn. A meninggal di ruang Covid dan diselenggarakan secara protocoler
Covid, tetapi ada dari pihak keluarga yang tidak setuju dan melaporkan RS X ke
badan hukum ,dan keluarga mengatakan Pihak dari RS X memaksa keluarga
11

menandatangani surat persetujuan untuk di rawat di ruang Covid.

2.6 Informed consent di tinjau dari beberapa Aspek

a. Aspek Medis
Persetujuan tindakan medis/informed consent adalah persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarga atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang
akan dilakukan pada pasien tersebut,,kutipan dari Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia 585/Menkes/Per/IX/ 1989 Tentang Persetujuan
TindakanMedis pada Bab 1, huruf (a) yang ditindaklanjuti dengan Sk Dirjen
Yanmed 21 April 1999 Hal-hal yang diatur dalam pelaksanaan informed
consent berisi sebagai berikut :
1) Persetujuan atau Penolakan Tindakan Medis diberikan untuk tindakan medis
yang dinyatakan secara spesifik (the consent must be for what will be
actually performed). Dan persetujuan atau Penolakan Tindakan Medis di-
berikan oleh seseorang (pasien) yang sehat mental dan yang memang berhak
memberikan-nya dari segi hukum.
2) Informasi dan penjelasan tentang alternatif tin-dakan medis lain yang
tersedia dan serta risi-konya masing-masing (alternative medical prosedure
and risk). Dan informasi dan penjelasan tentang prognosis penyakit apabila
tindakan medis tersebut dilakukan (prognosis with and without medical
produce)
3) Yang berhak memberikan persetujuan ialah mereka yang dikatakan meiliki
sehat mental dan dalam keadaan sadar. Diman kurang lebih berumur 21
dalam status telah menikah. Tetapi dibawah pengampu. Maka persetujuan
diberikan oleh wali pengampu,bagi mereka yamg berada dibawah umur 21
dan belum menikah diberikan oleh orang tua atau wali atau keluarga
terdekat.
4) Bila terdapat dokter yang melakukan tindakan medis tanpa
persetujuan,dilaksanakan sanksi administrasi berupa pencabutan surat izin
praktik.
5) Pemberian informasi ini diberikan oleh dokter yang bersangkutan dalam hal
berhalangan dapat diberikan oleh dokter lain dengan sepengatahuan dan
tanggungjawab dari dokter yang bersangkutan, dibedakan antara tindakan
12

operasi dan bukan operasi,untuk tindakan operasi harus dokter memberikan


informasi ,untuk bukan tindakan operasi sebaiknya dokter yang
bersangkutan tetapi dapat juga oleh perawat

b. Aspek Etik (Norma)


Dasar hukum pelaksanaan etika profesi dokter dilaksanakan rumah sakit sesuai
dengan UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 13 ayat (3) yang
berbunyi “Setiap tenaga kesehatan yang berkerja dirumah sakit harus bekerja
dengan standar profesi, standar pelayanan rumah sakit, standar operasional yang
berlaku, etika profesi dan menghormati hak dan keselamatan pasien” etika
profesi yang berfungsi sebagai petunjuk moral dalam profesi khususnya bagi
profesi dokter dan dokter gigi. Petunjuk moral bagi profesidokter untuk
menghormati otonomi pasien termuat di dalam Pasal 5 Kode Etik
KedokteranIndonesia yang berbunyi, “Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang
mungkin melemahkandayatahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh
persetujuan pasien/keluarganya danhanya diberikan untuk kepentingan dan
kebaian pasien tersebut”. Etika Keperawatan Kesepakatan/peraturan tentang
penerapan nilai moral dan keputusan- keputusan yang ditetapkan untuk profesi
keperawatan (Wikipedia, 2008).

c. Aspek social
Manusia merupakan makhluk sosial, yaitu makhluk yang membutuhkan
interaksi dengan manusia lainnya. Interaksi antar manusia tersebut tidak hanya
komunikasi saja tetapi juga menyangkut seluruh aspek kehidupan, tidak
terkecuali aspek hukum. Hubungan hukum ini selanjutnya disebut transaksi,
yang dalam hukum disebut perjanjian, dan dalam pelayanan kesehatan disebut
“perjanjian terapeutik”. Disini pasien merupakan pihak yang meminta
pertolongan pertolongan sehingga relatif lemah kedudukannya dibandingkan
dokter untuk mengurangi kelemahan tersebut telah bertambah prinsip yang
dikenal dengan informend consent, yaitu suatu hak pasien untuk mengizinkan
dilakukannya suatu tindakan medis

d. Aspek Hukum
informed consent diatur dalam beberapa dasar hukum, antara lain:
13

1) Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga


Kesehatan (“UU Tenaga Kesehatan”).Bahwa tenaga kesehatan,pasien,dan
Rumah Sakit(Sarana pelayanan kesehatan)saling berkaitan dalam proses
terjadinya informed consent sebagai bentuk persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis
yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
2) Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”)
menyebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian, diperlukan empat syarat
yang harus dipenuhi, yaitu:
i. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
ii. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
iii. suatu pokok persoalan tertentu;
iv. suatu sebab yang tidak terlarang.
3) Undang undang no 36 tahun 2009 tentang kesehatan
Pasal 8 UU Kesehatan
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya
termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan
diterimanya dari tenaga kesehatan.
4) Peraturan Menteri Kesehatan No 290/MENKES/PER/II/2008 Tentang
persetujuan tindakan kedokteran
Pasal 2 Permenkes 290/2018
i. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan;
ii. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara
tertulis maupun lisan;
iii. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan
kedokteran dilakukan.
5) Undang Undang Tenaga Kesehatan
Pasal 68 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan
Setiap tindakan pelayanan kesehatan perseorangan yang dilakukan oleh
Tenaga Kesehatan harus mendapat persetujuan.
Pada prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan adalah penerima
pelayanan kesehatan yang bersangkutan. Apabila penerima pelayanan
14

kesehatan tidak kompeten atau berada di bawah pengampuan (under


curatele), persetujuan atau penolakan tindakan pelayanan kesehatan dapat
diberikan oleh keluarga terdekat, antara lain suami/istri, ayah/ ibu kandung,
anak kandung, atau saudara kandung yang telah dewasa.

e. Aspek Agama
Informend Consent Dalam Hukum Pidana Islam
Menurut hukum pidana Islam, dalam melakukan tindak pidana jika dilihatdari
niatnya, tindak pidana terbagi menjadi dua yaitu: Tindak pidana disengaja
(doleus delicten/jara’im maqsu'dah,) artinya sipelaku dengan sengaja melakukan
perbuatannya serta mengetahui bahwaperbuatannya dilarang2. Tidak disengaja
(colpose delicten/jara’im gair maqsu'dah), artinya si pelaku tidak sengaja
melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi perbuatannyatersebut terjadi akibat
kekeliruan. Pembunuhan karena keliru dalam bahasa Arabnya adalah Qatlu al-
Khatha’, Kata Khath’ dalam bahasa Arab di sini bermakna lawan dari
kesengajaan(al-'amad) atau yang biasa kita kenal dengan kelalainansebagaimana
firman AllahSWT:
َ َ‫أ‬
‫طخ ا َّل ِِإ اًن ِْمؤُم َلُتْقَي ْنَأ ٍنِ ْمؤُمِل َناَك ا َ َمو‬
“Dan tidak layak bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin(yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja)”

2.7 Dasar Hukum atau Aturan yang Berkaitan dengan Isue Etika Terhadap
Informed Consent COVID-19

Secara harfiah Consent artinya persetujuan, atau lebih „tajam‟ lagi, ”izin”.
Jadi Informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga
yang berhak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis pada pasien,
seperti pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lain-lain untuk menegakkan
diagnosis, memberi obat, melakukan suntikan, menolong bersalin, melakukan
pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan tindak-lanjut jika terjadi
kesulitan, dsb. Selanjutnya kata Informed terkait dengan informasi atau
penjelasan. Dapat disimpulkan bahwa Informed Consent adalah persetujuan atau
izin oleh pasien (atau keluarga yang berhak) kepada dokter untuk melakukan
tindakan medis atas dirinya, setelah kepadanya oleh dokter yang bersangkutan
15

diberikan informasi atau penjelasan yang lengkap tentang tindakan itu.


Hal ini dijabarkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
585/Men.kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam
keadaan emergency tidak diperlukan Informed consent. Sesuai dengan yang
terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008
Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, bahwa dalamkeadaan gawat darurat,
untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak
diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
Implementasi persetujuan tindakan medis (informed consent) dalam pelayanan
kesehatan. Persetujuan Tindakan Medis diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yaitu UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU No
44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Permenkes
No. 290/Menkes/Per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Setiap
tindakan yang akan dilakukan dalam pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medis
berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang ada, berdasar formulir
persetujuan tindakan medik yang baku. Pelaksanaan persetujuan tindakan medik
(informed consent) dalam pelayanan kesehatan. Keharusan adanya Informed
Consent secara tertulis yang ditandatangani oleh pasien sebelum dilakukannya
tindakan medik, karena erat kaitannya dengan pendokumentasiannya ke dalam
catatan medik (Medical Record).

Informed Consent sebagai Pondasi Tindakan Medis di Masa Kritis Pandemi


Covid 19
Informed consent menjadi isu yang menarik terkait dengan pandemi Covid- 19
karena beberapa pasien menyampaikan informasi tidak secara jujur (atau
menutupi sebagian informasi) ketika mengakses pelayanan medis kepada
Dokter. Akibatnya, selain terapi yang diberikan oleh Dokter menjadi tidak
maksimal, maka Dokter berpotensi terpapar Covid-19 jika ternyata pasien yang
sedang dilayaninya merupakan carier dari Covid-19. Hal ini memprihatinkan
karena beberapa peraturan perundang-undangan telah mengamanahkan agar
pasien menyampaikan informasi dengan jujur ketika mengakses pelayanan
medis.
Pasal 50 huruf (c) UU Praktik Kedokteran menyatakan bahwa, “Dokter atau
16

Dokter Gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak


memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.”
Pasal 7 ayat (2) huruf (a) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 11 tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien mewajibkan kepada pasien
dan keluarganya untuk memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap dan
jujur. Oleh karena itu, ketentuan ini perlu disosialisasikan kembali kepada
pasien dan keluarganya dalam rangka melaksanakan pendidikan kesehatan
kepada pasien agar dapat terwujud pasien yang cerdas dan berkontribusi dalam
peningkatan mutu layanan kesehatan.
Selain itu, pola komunikasi antara Dokter dengan pasien juga harus diperbaiki.
Mayoritas sengketa medis disebabkan karena komunikasi yang tidak selaras
antara Dokter dengan pasien. Misalnya, Dokter tidak memberikan penjelasan,
atau minim dalam memberikan penjelasan, atau memberikan penjelasan dengan
menggunakan gaya bahasa yang tidak dipahami oleh pasien.

2.8 Langkah Penyelesaian Kasus

Ketiadaan informed consent yang digolongkan sebagai wanprestasi. Jika


dikaitkan dengan wanprestasi, maka ketiadaan informed consent dapat dijabarkan
lebih jauh menjadi empat bentuk berikut:
a) Tidak memenuhi prestasi: misalnya dalam suatu transaksi terapeutik, pasien dan
dokter telah menyepakati pengangkatan kista di dua titik di tubuh pasien.
Ternyata, yang diangkat hanya satu, tidak sesuai dengan apa yang telah disetujui
pasien, dan menyebabkan pasien mengalami kerugian;
b) Memenuhi prestasi, namun tidak seperti yang diperjanjikan: misalnya pasien dan
dokter telah sepakat untuk melakukan operasi pengangkatan usus buntu dengan
metode paling mutakhir yang tidak memerlukan operasi besar, namun ternyata
akhirnya pengangkatan usus buntu tersebut dilakukan dengan operasi
konvensional yang tidak sesuai dengan persetujuan pasien dan merugikan pasien;
c) Memenuhi prestasi, namun terlambat: misalnya pasien dan dokter telah sepakat
untuk melakukan operasi pada hari dan tanggal yang telah ditentukan, namun
pada hari-h, ketika pasien telah siap, ternyata dokter datang terlambat, operasi
ditunda sehingga merugikan pasien; dan
d) Melakukan apa yang diperjanjikan tidak boleh dilakukan: misalnya pasien
17

memberikan persetujuan untuk mengambil jenis obat tertentu dan menolak jenis
obat lain yang akan diresepkan oleh dokter. Namun, dokter tetap menulis obat
yang ditolak oleh pasien, yang mengakibatkan efek samping yang tidak
diinginkan oleh pasien.

Ketiadaan informed consent yang digolongkan sebagai perbuatan melawan


hukum atau onrechtmatigedaad sesuai Pasal 1365 KUH Perdata. Pasal ini menyatakan
bahwa “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
menggantikan kerugian tersebut.”
Demi mengajukan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum, perlu dipenuhi
syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu:
1. Pasien harus mengalami suatu kerugian

2. Ada kesalahan

3. Ada hubungan kausal antara kesalahan dan kerugian

4. Perbuatan itu melawan hukum

Mengenai kriteria perbuatan apa yang dapat digolongkan sebagai perbuatan


melawan hukum, sejak perkara Lindenbaum Cohen Arrest Hoge Raad 31 Januari
1919, yurisprudensi menetapkan empat kriteria perbuatan melawan hukum, yaitu:
1. Perbuatan itu bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku;

2. Perbuatan itu melanggar hak orang lain;

3. Perbuatan itu melanggar kaidah tata susila;

4. Perbuatan itu bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-
hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan sesama warga
masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.

Jika teori di atas diaplikasikan terhadap hubungan sebab akibat yang terjadi pada
tuntutan ketiadaan informed consent, maka pasien harus dapat membuktikan hal-hal
sebagai berikut:
1) Bahwa antara pasien dan dokter atau tenaga kesehatan telah ada hubungan
hukum;
18

2) Bahwa dokter atau tenaga kesehatan gagal memenuhi informed consent;

3) Bahwa pasien mengalami kerugian akibat dokter atau tenaga kesehatan gagal
memenuhi informed consent.

Menjadi kesimpulan bahwa ketiadaan informed consent baru menimbulkan


masalah hukum apabila tindakan dokter tersebut menimbulkan kerugian bagi pasien.
Kerugian yang dimaksud mempunyai lingkup yang cukup luas; baik kerugian materil
seperti rasa sakit atau bekas luka yang menganggu kehidupan sehari-hari maupun
kerugian psikis seperti pelanggaran atas keyakinan atau agama tertentu-pun dapat
dijadikan alas gugat.
Jadi, kesimpulan buat kasus skenario, maka pihak keluarga pasien, tidak berhak
menuntut perawat ataupun rumah sakit dikarenakan telah menandatangani informed
consent, dan menurut kelompok pihak pasien tidak mengalami kerugian

yang signifikan, dan demi mengajukan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum,
perlu dipenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata, dan pihak
keluarga pasien tidak memenuhi syarat tersebut

2.9 Prinsip Etika yang Terdapat Pada Issue Etik

Dalam dunia medis dikenal 4 prinsip etika dasar, yaitu: tidak merugikan, berbuat
baik, keadilan, dan otonomi. Otonomi merupakan suatu bentuk kebebasan bertindak di
mana seseorang mengambil keputusan sesuai dengan rencana yang ditentukannya
sendiri dan dapat dikatakan sebagai hak atas perlindungan privasi. Baik dokter
maupun pasien, masing-masing pihak mempunyai otonomi dalam perawatan medis.
Informed consent sebagai suatu bentuk komunikasi dokter-pasien merupakan
suatu upaya untuk memenuhi kewajiban etik dan persyaratan hukum. Otonomi pasien
merupakan cerminan konsep self governance, liberty rights, dan individual choices
dan merupakan dasar dari Informed consent. Declaration of Lisbon oleh World
Medical Association (WMA) dan Patient`s Bill of Right oleh American Hospital
Association (AHA), menekankan hak pasien untuk menerima atau menolak suatu
tindakan medis setelah menerima berbagai informasi yang berkaitan dengan
penyakitnya.
Berbagai kasus dalam praktik Kedokteran yang menyebabkan dokter terkena
19

gugatan perdata atau sanksi pidana selama ini mendorong perlunya peraturan hukum
antara dokter dan pasien dalam apa yang disebut dengan persetujuan medik. Oleh
karena itu, masalah perlunya Informed consent tidak hanya menyangkut hak- hak
pasien, tetapi sekaligus melindungi dokter dalam menjalankan profesi sehari- hari.
Informed consent tidak hanya berkaitan dengan hukum tetapi juga mempunyai
landasan etik. Dasar etik yang terkuat dalam Informed consent ini adalah keharusan
bagi setiap dokter untuk menghormati kemandirian (otonomi) pasiennya. Hubungan
antara dokter dengan pasien berada dalam kedudukan yang seimbang karena masing-
masing mempunyai kebebasan dan mempunyai kedudukan yang setara. Kedua belah
pihak lalu mengadakan suatu perikatan atau perjanjian di mana masing-masing pihak
harus melaksanakan peranan atau fungsinya satu terhadap yang lain di mana peranan
tersebut berupa hak dan kewajiban. Permasalahan yang

sering memicu masalah antara pasien dengan sarana pelayanan kesehatan/dokter


adalah kedua belah pihak kurang mengerti hak & kewajibannya dan juga komunikasi
yang buruk.
Secara etik dokter diharapkan untuk memberikan yang terbaik untuk pasien.
Apabila dalam suatu kasus ditemukan unsur kelalaian dari pihak dokter, maka dokter
tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Begitu pula dari pihak
pasien, mereka tidak bisa langsung menuntut apabila terjadi hal-hal diluar dugaan
karena harus ada bukti-bukti yang menunjukkan adanya kelalaian.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Informed Consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan


oleh pasien atau keluarganya setelah mendapat informasi tindakan medis yang akan
dilakukan terhadap dirinya serta segala resiko. Informed concent keperawatan adalah
persetujuan setelah pemberian informasi oleh perawat mengenai persetujuan tindakan
perawatan. Ketiadaan informed consent akan menimbulkan masalah hukum apabila
tindakan dokter tersebut menimbulkan kerugian bagi pasien. Kerugian yang dimaksud
mempunyai lingkup yang cukup luas; baik kerugian materil seperti rasa sakit atau
bekas luka yang menganggu kehidupan sehari-hari maupun kerugian psikis seperti
pelanggaran atas keyakinan atau agama tertentu- pun dapat dijadikan alas gugat.
Kesimpulan pada kasus scenario yang telah dibahas adalah pihak keluarga
pasien, tidak berhak menuntut perawat ataupun rumah sakit dikarenakan telah
menandatangani informed consent, dan menurut kelompok pihak pasien tidak
mengalami kerugian

3.2 Saran

a. Bagi mahasiswa/i

Mahasiswa/i dapat menjadikan makalah ini sebagai bahan bacaan dan


pembelajaran tentang Trend dan Issue dalam Keperawatan.
b. Bagi institusi

Kelompok berharap Makalah ini dapat memberikan informasi lebih lanjut


sebagai bahan referensi dan penunjang proses pembelajaran untuk
pengetahuan mengenai Trend dan Issue dalam Keperawatan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Amelia Nindya.2013. Buku Prinsip Etika Keperawatan. Bandung : Divapress. Bahder


Johan Nasution. 2005 Hukum Kesehatan – Pertanggungjawaban Dokter.
Jakarta : Rineka Cipta,.

Carol T,Carol L, Priscilla LM. 1997. Fundamental Of Nursing Care, Third Edition, by
Lippicot Philadelpia, New York.

Kathleen koenig Blass. 2006. Praktik Keperawatan Profesional: Konsep dan


Perspektif Edisi 4.Jakarta : EGC

Komalawati, D. Veronika. 2002. Peranan Infomed Consent Dalam Transaksi

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/Menkes/Per/III/2008


tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Realita, Friska. 2014 Implementasi Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)


pada Kegiatan Bakti Sosial Kesehatan di Rumah Sakit Islam Sultan Agung
Semarang. Jurnal Involusi Kebidanan, Vol. 4, No. 7, Januari 2014, hal. 26

Samino. 2014. Analisis Pelaksanaan Informed Consent. Jurnal Kesehatan, Volume V,


Nomor 1, April 2014, hlm 71

Sigid Suseno. 2012 Yurisdiksi Tindak Pidana Siber, Bandung : Refika Aditama.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.

Anda mungkin juga menyukai