Anda di halaman 1dari 65

Tugas Mata Kuliah : Hukum dan Etika Profesi

Dosen Pengampu : Dr. Melyana Nurul Widyawati, S.SiT.,M.Kes

SURROGATE PATIENT

OLEH KELOMPOK II (KELAS B) :

1. MARIA WELFRIDA F. MEGA_P1337424721044 9. ANGELINA DORCY NDIKEN_P1337424721053


2. FITRI CICILIA_P1337424721045 10. MARDIAH_P1337424721054
3. AGUSTINA SIMBOLON_P1337424721046 11. PRATIWI_P1337424721055
4. DIAH WIDYATUN_P1337424721047 12. NURSITA ISTIQOMAH_P1337424721056
5. NISRINA_P1337424721048 13. MAR’ATU MUTIAH_P1337424721057
6. MUSYORRAFA MUSTAFA_P1337424721049 14. SAFNI MULIA ROZA_P1337424721058
7. THEOFANI ZAHRA_P1337424721050 15. SUNDARI_P1337424721059
8. TIN ENOVIT BELAWA_P1337424721051

PROGRAM STUDI KEBIDANAN MAGISTER TERAPAN KESEHATAN


PROGRAM PASCASARJANA POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iv
BAB I.......................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................3
C. Tujuan Penelitian..........................................................................................3
D. Manfaat Penelitian........................................................................................3
BAB II......................................................................................................................5
A. Imunisasi......................................................................................................5
B. INFORMED CONSENT...........................................................................29
C. Peran Orang Tua........................................................................................41
BAB III..................................................................................................................44
A. Desain Penelitian........................................................................................44
B. Sumber Data...............................................................................................44
C. Kriteria Inklusi dan Eksklusi......................................................................44
D. Prosedur Pengumpulan Literatur................................................................45
E. Sintesis Data...............................................................................................46
BAB IV..................................................................................................................47
BAB V....................................................................................................................53
BAB VI..................................................................................................................57
A. Kesimpulan................................................................................................57
B. SARAN......................................................................................................58
DAFTAR PUSTAKA

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadiran Tuhan yang maha Esa atas segala berkatnya
kami dari kelompok II Prodi Kebidanan Kelas B, dapat menyelesaikan tugas
kelompok Surrogate Patient dengan melakukan telaah beberapa jurnal yang
disebut systematic literature review.

Makalah ini dapat kami selesaikan berkat bantuan seluruh anggota kelompok yang
aktif memberikan pendapat sehingga kami ucapkan banyak terima kasih atas
perhatian kita semua. Dan kami juga menyadari makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan karena ini adalah pengalaman pertama kami membuat systematic
literature review oleh sebab itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik untuk
penyempurnaan tugas kami selanjutnya.

Akhir kata kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca.

Penyusun,

Kelompok II

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis. Menurut UU No. 36 tahun 2009 menyatakan
setiap orang berhak atas kesehatan. Salah satu bentuk upaya mendapatkan
kesehatan adalah dengan menjalani pengobatan dengan mendapatkan
tindakan medis. Tetapi Sebelum tindakan medis diperlukan sebuah
persetujuan yang diberikan oleh klien atau keluarganya setelah mendapatkan
informasi dan penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap klien tersebut. Hal ini sejalan dengan pasal 5 (3) setiap orang
berhak secara mandiri dan bertanggungjawab menentukan sendiri pelayanan
kesehatan yang diperlukan bagi dirinya sendiri. Dan pada pasal 7 dinyatakan
setiap orang berhak untuk memperoleh informasi tentang data kesehatan
dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan
diterimanya dari tenaga kesehatan. (Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, 2009)
Proses pengambilan keputusan tindakan medis merupakan suatu proses
yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien
sehingga diketahui apa yang akan dan tidak dilakukan terhadap pasien yang
disebut dengan informed consent. Karena persetujuan hanya berasal dari klien
atau keluarga, maka informed consent bukanlah sebuah perjanjian kedua
belah pihak melainkan persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan
pihak lain. Atau dapat dikatakan sebagai pernyataan sepihak orang dari pasien
atau walinya yang izinnya berupa izin atau persetujuan kepada dokter/tenaga
kesehatan untuk melakukan tindakan medis setelah mendapat
penjelasan/informasi atas tindakan yang akan dilakukan.
Dalam memberikan persetujuan diperlukan semua kemampuan yang
dianggap kompeten apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan

1
mental yang baik sehingga dapat membuat keputusan yang tepat. Anak-anak
dianggap rentan dalam melakukan pengambilan keputusan karena kapasitas
pengambilan keputusan yang terbatas (yaitu, kemampuan untuk membuat
keputusan yang masuk akal) sehingga dalam hal pengambilan keputusan
tindakan medis terhadap anak biasany dilakukan oleh orangtua atau wali yang
dianggap kompeten mengambil keputusan tersebut.
Vaksin merupakan adalah zat yang sengaja dibuat untuk merangsang
pembentukan kekebalan tubuh dari penyakit sehingga bisa mencegah
terjangkitnya penyakit tertentu tersebut. Saat ini sudah ada 30 jenis vaksin
yang diciptakan sejak konsep vaksinasi dilakukan Edward Jenner pertama
kalinya pada tahun 1796. Salah satu bukti keberhasilannya adalah
memusnahkan penyakit Variola (small pox) pada tahun 1979. Sehingga
dengan adanya vaksinasi, kesehatan sebagai salah satu hak manusia dapat
terpenuhi. Walapun memiliki manfaat, tidak sedikit orang juga menolak
menerima vaksin karena khawatir dengan efek samping vaksinasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, orang tua menjadi lebih meremehkan
vaksinasi anak-anak. Penelitian menunjukkan alasan mengapa orang tua
sangat kritis dan terkadang menolak vaksinasi untuk anak-anak mereka. Ini
termasuk kecemasan tentang efek samping, persepsi bahwa penyakit yang
dapat dicegah dengan vaksin tidak serius, dan kurangnya kepercayaan pada
kekebalan kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua yang menolak
vaksinasi khawatir tentang masalah kesehatan jangka panjang akibat
vaksinasi dan meragukan keamanan vaksin. Tetapi dengan tidak memberikan
vaksinasi kepada anak, orangtua juga telah mencegah anak untuk
memperoleh hak kesehatannya. Ini memiliki implikasi kesehatan masyarakat
karena mereka yang tidak divaksinasi memiliki risiko lebih tinggi untuk
terinfeksi penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin.(Harmsen et al., 2012)
Oleh karena itu dibutuhkan sebuah gambaran bagaimana orangtua/wali
memberikan keputusan dalam pemberian tindakan medis kepada anak dari
hasil systematic literature review untuk mengetahui apa yang

2
melaratarbelakangi orangtua/wali anak dapat mengizinkan tindakan medis
khususnya vaksinasi kepada anak.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah dalam
penelitian ini sebagai berikut
1. Bagaimana peran, sikap dan kepercayaan orangtua pada vaksinasi
anak ?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi orangtua dalam
pengambilan keputusan terkait vaksinasi anak ?
3. Bagaimana menghadapi orangtua yang ragu dan enggan dalam
memvaksinasi anak?
4. Bagaimana pertimbangan etika mengenai vaksinasi pada anak?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis peran orangtua dalam pengambilan keputusan serta
persetujuan sebagai pemegang tanggungjawab terhadap anak terkait
vaksinasi pada anak ditinjau dari etika kebidanan dengan systematic
literature review
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui bagaimana peran, sikap dan kepercayaan
orangtua terkait vaksinasi pada anak
b. Untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
orangtua dalam pengambilan keputusan terkait vaksinasi pada anak
c. Untuk mengetahui bagaimana cara menghadapi orangtua yang ragu
dan enggan dalam memvaksinasi anak
d. Untuk menganalisis pertimbangan etika mengenai vaksinasi pada
anak

3
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi tentang
pengambilan keputusan serta persetujuan sebagai pemegang
tanggungjawab terhadap anak terkait vaksinasi pada anak.

2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai
pengambilan keputusan serta persetujuan sebagai pemegang
tanggungjawab terhadap anak terkait vaksinasi pada anak bagi masyarakat
terutama kepada orang tua mengenai akibat yang ditimbulkan akibat
keputusan yang diambil atas tindakan medis tersebut.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Imunisasi
1. Pengertian Imunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit sehingga bila
suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya
mengalami sakit ringan (Permenkes RI 12, 2017).

2. Tujuan Imunisasi
Tujuan imunisasi terutama untuk memberikan perlindungan
terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Menurut
Permenkes RI (2017), program imunisasi di Indonesia memiliki tujuan
umum untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian akibat
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Sedangkan,
tujuan khusus dari imunisasi ini diantaranya, tercapainya cakupan
imunisasi dasar lengkap (IDL) pada bayi sesuai target RPJMN (target
tahun 2019 yaitu 93%), tercapainya Universal Child Immunization/UCI
(prosentase minimal 80% bayi yang mendapat IDL disuatu
desa/kelurahan) di seluruh desa/kelurahan, dan tercapainya reduksi,
eliminasi, dan eradikasi penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

3. Manfaat Imunisasi
Manfaat imunisasi tidak hanya dirasakan oleh pemerintah dengan
menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi, tetapi dapat dirasakan oleh :

a. Anak, yaitu mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit dan


kemungkinan cacat atau kematian.
b. Keluarga, yaitu menghilangkan kecemasan dan biaya pengobatan bila
anak sakit, mendorong pembentukan keluarga apabila orangtua yakin
bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman.

5
c. Negara, yaitu memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa
yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara
(Proverawati, 2010)
4. Jenis Penyelenggaraan Imunisasi Program
Imunisasi program adalah Imunisasi yang diwajibkan kepada
seseorang sebagai bagian dari masyarakat dalam rangka melindungi yang
bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit yang dapat dicegah
dengan Imunisasi. Imunisasi program terdiri dari imunisasi rutin,
imunisasi tambahan, dan imunisasi khusus (Permenkes RI 12, 2017).
a. Imunisasi Rutin
Imunisasi rutin merupakan imunisasi yang dilaksanakan secara
terus menerus dan berkesinambungan yang terdiri dari imunisasi dasar
dan imunisasi lanjutan (Permenkes RI 12, 2017).
b. Imunisasi Dasar
Imunisasi dasar merupakan imunisasi awal yang diberikan kepada
bayi sebelum berusia satu tahun. Pada kondisi ini, diharapkan sistem
kekebalan tubuh dapat bekerja secara optimal. Setiap bayi (usia 0-11
bulan) diwajibkan untuk mendapatkan imunisasi dasar lengkap yang
terdiri dari 1 dosis Hepatitis B, 1 dosis BCG, 3 dosis DPT-HB-HiB, 4
dosis polio tetes, dan 1 dosis campak/MR (Kemenkes RI, 2018).
c. Imunisasi Lanjutan
Imunisasi lanjutan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
menjamin terjaganya tingkat imunitas pada anak baduta, anak usia
sekolah, dan wanita usia subur (Permenkes RI 12, 2017).
1) Imunisasi Lanjutan Pada Anak Baduta
Imunisasi lanjutan merupakan ulangan imunisasi dasar untuk
mempertahankan tingkat kekebalan dan untuk memperpanjang
masa perlindungan anak yang sudah mendapatkan imunisasi dasar
yaitu dengan diberikan 1 dosis DPT-HB-Hib pada usia 18 bulan dan
1 dosis campak/MR pada usia 24 bulan. Perlindungan optimal dari
pemberian imunisasi lanjutan ini hanya didapatkan apabila anak

6
tersebut telah mendapatkan imunisasi dasar secara lengkap
(Kemenkes RI, 2018).
2) Imunisasi Anak Sekolah
Imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak usia SD diberikan
pada kegiatan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) yang
diintegrasikan dengan kegiatan UKS. Imunisasi yang diberikan
adalah imunisasi campak, tetanus, dan difteri. Imunisasi ini
diberikan pada kelas 1 (campak dan DT), kelas 2 (Td), dan kelas 5
(Td) (Kemenkes RI, 2018).
3) Imunisasi Pada Wanita Usia Subur
Imunisasi yang diberikan pada wanita usia subur adalah
imunisasi tetanus toksoid difteri (Td) yang berada pada kelompok
usia 15-39 tahun baik itu WUS hamil (ibu hamil) dan tidak hamil
(Kemenkes RI, 2018).
d. Imunisasi Tambahan
Imunisasi tambahan merupakan jenis Imunisasi tertentu yang
diberikan pada kelompok umur tertentu yang paling berisiko terkena
penyakit sesuai dengan kajian epidemiologis pada periode waktu
tertentu (Kemenkes RI, 2018).

e. Imunisasi Khusus
Imunisasi khusus dilaksanakan untuk melindungi seseorang dan
masyarakat terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu seperti
persiapan keberangkatan calon jemaah haji/umroh, persiapan
perjalanan menuju atau dari negara endemis penyakit tertentu
(Kemenkes RI, 2018).
5. Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
Menurut buku ajar imunisasi yang disusun oleh pusat pendidikan
dan pelatihan tenaga kesehatan (2014), dijelaskan bahwa terdapat
beberapa penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi yaitu sebagai
berikut :

7
a. Tuberculosis (TBC)
Penyakit TBC merupakan penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosa disebut juga batuk darah yang ditularkan
melalui pernafasan dan melalui bersin atau batuk.

b. Difteri
Difteri merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium diphtheriae yang ditularkan melalui kontak fisik dan
pernafasan.Komplikasi yang dapat diakibatkan dari penyakit difteri
adalah gangguan pernafasan yang berakibat kematian.

c. Pertusis
Pertusis merupakan penyakit pada saluran pernafasan yang
disebabkan oleh bakteri Bordetella pertusis yang ditularkan melalui
percikan ludah (droplet infection) dari batuk atau bersin. Gejala yang
timbul berupa pilek, mata merah, bersin, demam, batuk ringan yang
lama kelamaan menjadi parah dan menimbulkan batuk yang cepat dan
keras. Komplikasi yang dapat diakibatkan dari penyakit pertusis adalah
Pneumonia bacterialis yang dapat menyebabkan kematian.
d. Tetanus
Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh Clostridium
tetani yang menghasilkan neurotoksin dan ditularkan melalui kotoran
yang masuk ke dalam luka yang dalam. Gejala awal yang timbul
berupa kaku otot pada rahang, disertai kaku pada leher, kesulitan
menelan, kaku otot perut, berkeringat dan demam. Pada bayi terdapat
gejala berhenti menetek antara 3-28 hari setelah lahir dan gejala
berikutnya berupa kejang yang hebat dan tumbuh menjadi kaku.
Komplikasi yang dapat diakibatkan dari penyakit tetanus adalah patah
tulang akibat kejang, Pneumonia, infeksi lain yang dapat menimbulkan
kematian.

8
e. Hepatitis B
Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus
hepatitis B yang merusak hati (penyakit kuning). Ditularkan secara
horizontal dari produknya, suntikan yang tidak aman, transfusi
darah, melalui hubungan seksual dan secara vertikal dari ibu ke bayi
selama proses persalinan. Gejala yang ditimbul berupa merasa lemah,
gangguan perut, flu, urin menjadi kuning, kotoran menjadi pucat, dan
warna kuning bisa terlihat pada mata ataupun kulit. Komplikasi yang
diakibatkan dari penyakit hepatitis B adalah penyakit bisa menjadi
kronis yang menimbulkan pengerasan hati (Cirhosis Hepatitis), kanker
hati (Hepato Cellular Carsinoma) dan menimbulkan kematian.
f. Campak
Campak merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus
myxovirus viridae measles dan ditularkan melalui udara (percikan
ludah) dari bersin atau batuk penderita. Gejala awal yang timbul
berupa demam, bercak kemerahan, batuk, pilek, konjungtivitis (mata
merah) dan koplik spots, selanjutnya timbul ruam pada muka dan
leher, kemudian menyebar ke tubuh dan tangan serta kaki. Komplikasi
yang diakibatkan dari penyakit campak adalah diare hebat, peradangan
pada telinga, infeksi saluran nafas (Pneumonia).
g. Rubella
Rubella atau campak jerman merupakan penyakit yang disebabkan
oleh virus rubella, sebuah togavirus yang menyelimuti dan memiliki
RNA genom untai tunggal. Virus ini ditularkan melalui jalur
pernafasan dan bereplikasi dalam nasofaring dan kelenjar getah bening
serta ditemukan dalam darah 5-7 hari setelah infeksi dan menyebar ke
seluruh tubuh. Rubella ditularkan melalui oral droplet, dari
nasofaring atau rute pernafasan. Gejala rubella pada anak biasanya
berlangsung dua hari yang ditandai dengan ruam awal pada wajah
yang menyebar ke seluruh tubuh, demam rendah kurang dari 38,3˚C,
dan posterior limfadenopati servikal. Sedangkan gejala pada anak

9
yang lebih tua dan orang dewasa gejala tambahan berupa
pembengkakan kelenjar, dingin seperti gejala, dan sakit sendi terutama
pada wanita muda. Masalah serius dapat terjadi berupa infeksi otak
dan perdarahan (Ankas, 2015).

h. Poliomielitis
Poliomielitis merupakan penyakit pada susunan saraf pusat yang
disebabkan oleh virus polio tipe 1, 2, atau 3 dan secara klinis
menyerang anak di bawah usia 15 tahun dan menderita lumpuh layu
akut dengan ditularkan melalui kotoran manusia (tinja) yang
terkontaminasi. Gejala yang timbul berupa demam, nyeri otot dan
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi yang
diakibatkan dari penyakit poliomielitis adalah bisa menyebabkan
kematian jika otot pernafasan terinfeksi dan tidak segera ditangani.
i. Radang selaput Otak
Radang selaput otak (meningitis) adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, jamur, cacing, dan protozoa.
Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri. Meningitis yang
disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal dibandingkan meningitis
penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan gangguan otak yang
disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih berat. Penularan
kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan
droplet (tetesan) infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus,
cairan bersin, dan cairan tenggorokan penderita (Ariya, 2012).
Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas
mendadak, letargi, muntah, dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan
dengan pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) melalui fungsi lumbal.
Pada stadium I selama 2-3 minggu ditandai dengan gejala ringan dan
nampak seperti gejala infeksi biasa, stadium II berlangsung selama 1-3
minggu ditandai dengan gejala penyakit lebih berat dimana penderita
mengalami nyeri kepala yang hebat dan sangat gelisah, sedangkan

10
stadium III ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran
sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam
waktu tiga minggu bila tidak mendapat pengobatan sebagaimana
mestinya (Ariya, 2012).

j. Radang Paru-Paru
Radang paru-paru (pneumonia) adalah sebuah penyakit pada
paru-paru dimana (alveoli) yang bertanggungjawab menyerap oksigen
dari atmosfer meradang dan terisi oleh cairan. Radang paru-paru dapat
disebabkan oleh beberapa penyebab, termasuk infeksi oleh bakteri,
virus, jamur, atau parasit. Radang paru-paru dapat juga disebabkan
oleh penyakit lainnya, seperti kanker paru-paru atau terlalu berlebihan
minum alkohol. Gejala yang berhubungan dengan radang paru-paru
termasuk batuk, demam. Radang paru-paru terjadi di seluruh
kelompok umur dan merupakan penyebab kematian peringkat atas di
antara orangtua dan orang yang sakit menahun (Sahroni, 2012).

6. Jadwal Pemberian Imunisasi


Tabel 2.1 Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar Pada Bayi
Umur Jenis Imunisasi Yang Interval Minimal untuk
Diberikan Jenis Imunisasi Yang Sama
0-24 jam Hepatitis B
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT-HB-Hib 1, Polio 2
3 bulan DPT-HB-Hib 2, Polio 3
1 bulan
4 bulan DPT-HB-Hib 3, Polio 4, IPV
9 bulan Campak
Sumber: Permenkes RI 12, 2017 Catatan:
a. Pemberian Hepatitis B paling optimal diberikan pada bayi <24 jam
pasca persalinan, dengan didahului suntikan vitamin K1 2-3 jam
sebelumnya, khusus daerah dengan akses sulit, pemberian Hepatitis B
masih diperkenankan sampai <7 hari.
b. Bayi lahir di Institusi Rumah Sakit, Klinik dan Bidan Praktik Swasta,
Imunisasi BCG dan Polio 1 diberikan sebelum dipulangkan.

11
c. Pemberian BCG optimal diberikan sampai usia 2 bulan, dapat
diberikan sampai usia <1 tahun tanpa perlu melakukan tes mantoux.
d. Pada kondisi tertentu, semua jenis vaksin kecuali HB 0 dapat diberikan
sebelum bayi berusia 1 tahun.
7. Pelayanan Kesehatan Imunisasi
Pelayanan kesehatan sebagai suatu sistem terdiri dari subsistem
pelayanan medis, pelayanan keperawatan, pelayanan rawat inap, rawat
jalan, dan sebagainya dan masing-masing subsistem terdiri sub-subsistem
lagi (Notoatmodjo, 2011 : 100). Jenis pelayanan kesehatan dasar menurut
PMK RI no 43 tahun 2016, terdiri dari pelayanan kesehatan ibu hamil, ibu
bersalin, bayi baru lahir, balita, pada usia pendidikan dasar, pada usia
produktif, pada usia lanjut, penderita hipertensi, penderita DM, orang
dengan gangguan jiwa berat, orang dengan TB, dan pelayanan kesehatan
orang dengan risiko terinfeksi HIV.
Pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada bayi dan balita salah satunya
yaitu pemberian imunisasi dasar lengkap. Untuk pelayanan imunisasi
dasar dapat diperoleh di sarana Upaya Kesehatan Bersumberdaya
Masyarakat (UKMB) maupun di sarana pelayanan kesehatan non UKBM.
a. Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM)
Menurut PMK nomor 65 tahun 2013, UKBM adalah wahana
pemberdayaan masyarakat yang dibentuk atas dasar kebutuhan
masyarakat, dikelola oleh, dari, untuk, dan bersama masyarakat
dengan bimbingan dari petugas puskesmas, lintas sektor, dan lembaga
terkait lainnya. Pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya
fasilitasi yang bersifat non instruktif guna meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan masyarakat, agar mampu mengidentifikasi masalah
yang dihadapi, potensi yang dimiliki, merencanakan dan melakukan
pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat.

1) Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)

12
Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) adalah wujud upaya
kesehatan bersumber daya masyarakat yang dibentuk oleh, untuk
dan bersama masyarakat setempat atas dasar musyawarah, dengan
bantuan dari tenaga profesional kesehatan dan dukungan sektor
terkait termasuk swasta dalam kerangka desa siaga demi
terwujudnya desa sehat. Kesehatan yang dilaksanakan adalah
pelayanan kesehatan dasar, mulai dari upaya promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif yang dipadukan dengan upaya kesehatan
lain yang berwawasan kesehatan dan berbasis masyarakat
setempat. Kegiatan tersebut dalam pelaksanaannya didukung oleh
unsur-unsur tenaga, sarana, prasarana dan biaya yang dihimpun
dari masyarakat, swasta, pemerintah (Kemenkes RI, 2016).

2) Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)


Posyandu adalah salah satu wadah peran serta masyarakat
yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk, dan bersama
masyarakat guna memperoleh pelayanan kesehatan dasar dan
memantau pertumbuhan balita dalam rangka meningkatkan
kualitas sumber daya manusia secara dini. Kegiatan posyandu
terdiri dari kegiatan utama dan kegiatan pengembangan atau
pilihan. Kegiatan utama ini diantaranya Kesehatan Ibu dan Anak
(KIA), Keluarga Berencana (KB), imunisasi, gizi, serta
pencegahaan dan penanggulangan diare (Kemenkes RI, 2016).

3) Pondok Bersalin Desa (Polindes)


Polindes (Pos Bersalin Desa) adalah bangunan yang
dibangun dengan bantuan dana pemerintah dan partisipasi
masyarakat desa untuk tempat pertolongan persalinan dan
pemondokan ibu bersalin, sekaligus tempat tinggal Bidan di desa.
Di samping pertolongan persalinan juga dilakukan pelayanan
antenatal dan pelayanan kesehatan lain sesuai kebutuhan

13
masyarakat dan kompetensi teknis bidan tersebut (Kemenkes RI,
2016).

b. Non Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (Non UKBM)


1) Rumah Sakit
Menurut PMK RI no 56 tahun 2014, rumah sakit adalah
institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Tugas dan
fungsi rumah sakit yaitu melaksanakan pelayanan medis,
pelayanan penunjang medis, medis tambahan, penunjang medis
tambahan, kedokteran kehakiman, medis khusus, rujukan
kesehatan, kedokteran gigi, kedokteran sosial, penyuluhan
kesehatan, rawat jalan atau rawat darurat dan rawat tinggal
(observasi), rawat inap, administratif, melaksanakan pendidikan
paramedis, membantu pendidikan tenaga medis umum tenaga
medis spesialis, penelitian dan pengembangan kesehatan, dan
kegiatan penyelidikan epidemiologi (Mardiah, 2010).

2) Puskesmas
Menurut PMK RI no 75 tahun 2014, puskesmas adalah
fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya
kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat
pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Upaya kesehatan di
puskesmas dilaksanakan secara terintegrasi dan berkesinambungan
yang meliputi upaya kesehatan masyarakat esensial dan upaya
kesehatan masyarakat pengembangan. Upaya kesehatan
masyarakat esensial yaitu meliputi :

a) Pelayanan promosi kesehatan

14
b) Pelayanan kesehatan lingkungan
c) Pelayanan kesehatan ibu, anak dan keluarga berencana
d) Pelayanan gizi
e) Pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit
Upaya kesehatan masyarakat pengembangan merupakan
upaya kesehatan masyarakat yang kegiatannya memerlukan upaya
yang sifatnya invatif dan/atau bersifat ekstensifikasi dan
intensifikasi pelayanan, disesuaikan dengan prioritas masalah
kesehatan, kekhususan wilayah kerja dan potensi sumber daya
yang tersedia di masing-masing puskesmas.
3) Pustu
Puskesmas Pembantu (Pustu) adalah unit pelayanan
kesehatan yang sederhana dan berfungsi menunjang dan membantu
memperluas jangkauan puskesmas dengan melaksanakan kegiatan-
kegiatan yang dilakukan puskesmas dalam ruang lingkup wilayah
yang lebih kecil serta jenis dan kompetensi pelayanan yang
disesuaikan dengan kemampuan tenaga dan sarana yang tersedia
(Kemenkes RI, 2016).

4) Dokter Praktek
Dokter yang berprofesi khusus sebagai dokter praktek umum
yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan strata pertama
(pelayanan kesehatan primer) dengan menerapkan prinsip-prinsip
kedokteran keluarga, terkadang dapat berfungsi di rumah sakit
sebagai koordinator, pembela hak pasien dan teman (advokasi)
dari tindakan-tindakan medis yang mungkin tidak optimal
(Mardiah, 2010).

5) Bidan Praktek
Bidan praktek merupakan petugas kesehatan yang
memberikan pelayanan yang berkualitas, ramah-tamah, aman

15
nyaman, terjangkau dalam bidang kesehatan reproduksi, keluarga
berencana dan kesehatan umum dasar (Mardiah, 2010).
8. Kelengkapan Imunisasi Dasar
Seorang bayi dikatakan telah memperoleh imunisasi lengkap apabila
sebelum berumur satu tahun bayi sudah mendapatkan lima imunisasi dasar
lengkap yaitu satu kali imunisasi Hepatitis B diberikan pada bayi <24 jam
atau sampai <7 hari pasca persalinan, satu kali imunisasi BCG diberikan
ketika bayi berumur 1-2 bulan, tiga kali imunisasi DPT-HB-HiB diberikan
ketika bayi berumur 2,3,4 bulan dengan interval minimal empat minggu,
empat kali imunisasi polio diberikan pada bayi ketika berumur 1,2,3,4
dengan interval minimal empat minggu, dan satu kali imunisasi
campak/MR diberikan pada bayi berumur 9 bulan.
Idealnya seorang anak mendapatkan seluruh imunisasi dasar sesuai
umurnya sehingga kekebalan tubuh terhadap penyakit-penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi dapat optimal (Depkes dalam Mulyati, 2013).
Adapun jenis-jenis imunisasi dasar lengkap yang diberikan pada bayi
sebelum berusia satu tahun, yaitu:
a. Imunisasi Hepatitis B
Imunisasi hepatitis B adalah imunisasi yang diberikan untuk
menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit hepatitis B yaitu
penyakit infeksi yang dapat merusak hati. Efek samping imunisasi
umumnya tidak ada, jika pun terjadi yaitu berupa keluhan nyeri pada
tempat suntikan yang disusul demam dan pembengkakan, reaksi ini
akan menghilang dalam waktu dua hari. Kontra-indikasi imunisasi
hepatitis B yaitu tidak dapat diberikan pada anak yang menderita sakit
berat (Maryunani, 2010).

b. Imunisasi BCG
Imunisasi BCG adalah imunisasi yang diberikan untuk
menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberculosis (TBC),
yaitu penyakit paru-paru yang sangat menular. Efek samping

16
umumnya tidak ada, namun pada beberapa anak timbul pembengkakan
kelenjar getah bening di ketiak atau leher bagian bawah dan biasanya
akan sembuh sendiri. Kontra-indikasi imunisasi BCG yaitu tidak dapat
diberikan pada anak yang berpenyakit TB atau menunjukan uji
mantoux positif atau pada anak yang mempunyai penyakit kulit yang
berat/menahun (Maryunani, 2010).

c. Imunisasi DPT-HB-Hib
Imunisasi DPT-HB-Hib merupakan imunisasi yang diberikan
untuk mencegah terjadinya penyakit difteri, pertusis, tetanus,
pneumonia (radang paru), dan meningitis (radang selaput otak). Efek
samping biasanya berupa bengkak, nyeri dan kemerahan pada lokasi
suntikan disertai demam dapat timbul. Kontra-indikasi imunisasi yaitu
tidak dapat diberikan pada anak yang mempunyai penyakit atau
kelainan saraf baik bersifat keturunan atau bukan, seperti epilepsy,
menderita kelainan saraf, anak yang sedang demam/sakit keras dan
yang mudah mendapatkan kejang dan mempunyai sifat alergi, seperti
eksim atau asma (Maryunani, 2010).

d. Imunisasi Polio
Imunisasi polio adalah imunisasi yang diberikan untuk
menimbulkan kekebalan terhadap penyakit poliomyelitis, yaitu
penyakit radang yang menyerang saraf dan dapat mengakibatkan
lumpuh. Kontra-indikasi imunisasi polio yaitu ditangguhkan pada anak
dengan diare berat atau sedang sakit parah seperti demam tinggi (di
atas 38˚C) dan tidak diberikan pada anak yang menderita penyakit
gangguan kekebalan, HIV/AIDS, penyakit kanker atau keganasan,
serta pada anak yang sedang menjalani pengobatan steroid dan
pengobatan radiasi umum (Maryunani, 2010).

e. Imunisasi Campak

17
Imunisasi campak adalah imunisasi yang diberikan untuk
menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit campak. Kontra-
indikasi imunisasi campak yaitu pada anak dengan penyakit infeksi
akut yang disertai demam, gangguan kekebalan, TBC tanpa
pengobatan, kekurangan gizi berat, penyakit keganasan, serta pada
anak dengan kerentanan tinggi terhadap protein telur, kanamisin, dan
eritromisin (antibiotik) (Maryunani, 2010).

9. Vaksin Covid-19 Pada Anak


Saat ini kita berada di tengah pandemi global, banyak negara
menggantungkan harapan mereka pada vaksin penyakit virus corona-
2019 (COVID-19) sebagai solusinya. Saat ini ada 247 kandidat vaksin
yang sedang diuji, 10 di antaranya dalam tahap II atau III. Ketika
vaksin yang aman dan efektif tersedia, fokusnya adalah pada siapa
yang harus menerima itu dan bagaimana itu akan diluncurkan baik
secara nasional maupun internasional. Salah satu isu yang akan
menjadi perdebatan hangat adalah apakah vaksin harus wajib dan
apakah harus diamanatkan untuk anak-anak. Beberapa ahli etika telah
membuat kasus umum untuk vaksinasi COVID-19 wajib, tanpa
berdebat secara khusus untuk vaksinasi anak, mengingat asumsi
tertentu tentang ketersediaan dan profil risiko vaksin, dan
menyarankan bahwa akan ada sedikit hambatan hokum, untuk itu di
AS Vaksinasi wajib untuk anak-anak mungkin diperlukan jika
penyerapan vaksin tidak cukup tinggi atau jika pemerintah memiliki
alasan yang masuk akal untuk mempercayainya. Karena implementasi
tepat waktu dari kebijakan vaksinasi yang efektif menyelamatkan
nyawa, mungkin ada alasan untuk mempertimbangkan vaksinasi
wajib, termasuk untuk anak-anak, sebelum kebijakan yang kurang
memaksa.
Penilaian etik mengenai kebijakan wajib vaksinasi, atas dasar
pertimbangan risiko vaksin untuk kelompok sasaran, dalam hal ini

18
vaksin COVID-19 untuk anak-anak. Kami mengidentifikasi 3 kriteria
yang relevan secara etis:
 Apakah penyakit tersebut merupakan ancaman serius bagi
kesehatan masyarakat,
 Manfaat komparatif positif yang diharapkan dari vaksinasi wajib,
dan
 Paksaan yang proporsional.
Vaksinasi wajib berarti bahwa beberapa bentuk paksaan
digunakan untuk membuat orang memvaksinasi diri mereka sendiri
dan/atau anak-anak mereka. Mandat vaksin pada dasarnya adalah
tentang membatasi kebebasan individu atau orang tua untuk
kepentingan publik atau untuk kebaikan anak itu sendiri. Pemaksaan
berarti bahwa ancaman hukuman digunakan untuk membatasi pilihan
seseorang, dengan membuat pilihan tertentu (misalnya, penolakan
vaksin untuk diri sendiri atau untuk anak) jauh lebih mahal.
Perhatikan bahwa pengecualian agama atau ideologis dari persyaratan
vaksinasi tidak berarti kebijakan tidak wajib. Jika, seperti yang sering
terjadi misalnya dengan wajib militer, "penentang hati nurani" diminta
untuk memberikan beberapa alternatif dan kontribusi yang cukup
memberatkan untuk kepentingan kolektif, maka kebijakan tersebut
akan tetap dianggap sebagai kewajiban. Namun, yang sering
diinginkan oleh penentang hati nurani adalah menolak vaksinasi untuk
diri mereka sendiri atau anak-anak mereka tanpa biaya atas nama
kebebasan memilih atau hati nurani. Mandat vaksinasi dengan
prosedur opt-out dapat dilihat sebagai bentuk kebijakan nudging
belaka (yang tidak memaksa) atau sebagai bentuk paksaan, tergantung
pada biaya prosedur pengecualian
Vaksinasi wajib untuk anak-anak sudah diterapkan di beberapa
bagian dunia, Di AS, misalnya, anak-anak tidak dapat didaftarkan di
sekolah negeri jika jadwal vaksinasi mereka tidak up to date, kecuali
mereka memiliki pengecualian medis yang sah. Banyak negara

19
bagian mengizinkan pengecualian nonmedis untuk alasan moral atau
agama pribadi, tetapi beberapa negara bagian telah mulai menghapus
pengecualian nonmedis (misalnya, California dengan RUU SB277)
atau membuatnya sangat berat untuk diperoleh (misalnya,
Michigan), misalnya dengan meminta orang tua yang keberatan
mengikuti kursus pendidikan imunisasi. Di Australia, pembayaran
bantuan keuangan, termasuk tunjangan pengasuhan anak, potongan
harga penitipan anak, dan tunjangan pajak keluarga, tunjangan akhir
tahun, dipotong jika keluarga tidak sepenuhnya memvaksinasi anak-
anak mereka sesuai dengan jadwal Program Imunisasi Nasional (“No
Jab , Tanpa Bayaran”) atau akses ke pendidikan anak usia dini
termasuk Taman Kanak-Kanak garten ditahan (“No Jab, No Play”).
Italia memperkenalkan bentuk vaksinasi wajib pada tahun 2017 yang
mencakup denda hingga 500 euro untuk orang tua dari anak-anak
yang tidak divaksinasi yang bersekolah.
Pembenaran tipikal yang ditawarkan untuk vaksinasi wajib
adalah pembenaran yang sama yang diberikan untuk pemaksaan
dalam pengelolaan penyakit menular dalam kasus karantina, isolasi,
dan pengawasan: seseorang yang membawa atau dianggap
membawa agen infeksi mewakili risiko bahaya bagi orang lain.
Pembenaran ini didasarkan pada Prinsip-Harm John Stuart Mill:
setiap individu harus bebas kecuali jika mereka menimbulkan risiko
bahaya yang signifikan bagi orang lain. Satu-satunya pembenaran
untuk penggunaan paksaan negara adalah pencegahan kerugian
serius bagi orang lain, termasuk ketika kerugian disebabkan oleh
kelambanan tindakan. Menyakiti diri sendiri tidak pernah menjadi
jaminan yang cukup, selama agen tersebut kompeten untuk membuat
keputusan yang otonom dan merugikan diri sendiri.
a) Persetujuan Pediatri
Menurut definisi, anak-anak merupakan populasi yang
rentan, yang berhubungan langsung dengan kapasitas

20
pengambilan keputusan yang terbatas (yaitu, kemampuan untuk
membuat keputusan yang masuk akala tau benar). Anak-anak
dan remaja dengan kondisi yang tidak dapat disembuhkan
memiliki sumber kerentanan tambahan, mereka mungkin
mengalami tekanan emosional dan psikologis yang signifikan
terkait dengan prognosa. Selanjutnya, anak-anak yang lebih tua
dan remaja dengan penyakit kronis sering bergantung pada
orang tua atau petugas kesehatan untuk banyak aspek kehidupan
sehari-hari (mandi, makan, laten) pada saat anak-anak yang
sehat sedang mengeksplorasi dan mengambil manfaat dari
kemerdekaan yang berkembang. Sebagai pengambil keputusan
pengganti yang tepat untuk juga, hanya orang tua (atau wali sah)
yang dapat secara sah memberikan izin (persetujuan) untuk
pengobatan dan prosedur untuk anak mereka.
Persetujuan yang diinformasikan mencakup hal-hal berikut:
 Pengungkapan informasi kepada pasien dan penggantinya
 Penilaian pemahaman pasien dan pengganti tentang informasi
dan kecepatan untuk pengambilan keputusan medis
 Memperoleh informed consent sebelum perawatan dan
intervensi
Gagasan persetujuan berdasarkan informasi saat ini dalam
praktik medis menemukan dukungan dalam etika teori dalam
konsep otonomi, yang dipahami sebagai hak otonomi agen
untuk membuat keputusan yang dipandu oleh alasannya sendiri.
2) Tujuan dari proses persetujuan
Yang meliputi melindungi dan mempromosikan
kesehatan terkait kepentingan dan mengikut sertakan pasien
dan/atau keluarga dalam pengambilan keputusan perawatan
kesehatan, berlaku untuk populasi anak dan dewasa dan
didasarkan pada etika yang sama prinsip kebaikan, keadilan,
dan penghormatan terhadap otonomi.

21
3) Prinsip persetujuan pediatrik
Mengakui bahwa anak-anak (terutama remaja) mampu
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait perawatan
mereka dan memberikan proses yang digunakan untuk
memenuhi tujuan ini bagi anak-anak dan remaja yang tidak
dapat memberikan persetujuan. Di Amerika Serikat, usia 18
tahun dianggap usia kedewasaan dan usia legal di mana remaja
dianggap kompeten. tanda untuk membuat keputusan sendiri.
Namun, para ahli kesehatan dan hukum anak mengakui tidak
ada batas usia tertentu di mana seorang anak atau remaja tiba-
tiba memperoleh kapasitas pengambilan keputusan penuh.
Sebaliknya, persyaratan persetujuan membutuhkan kebutuhan
untuk mengenali dan menghormati keinginan anak-anak saat
mereka berkembang secara kognitif dan dewasa. Pendekatan
perkembangan untuk menyetujui mengantisipasi berbagai
tingkat pemahaman sendiri dari anak-anak seiring
bertambahnya usia. factor usia , bukan satu-satunya yang
mempengaruhi kemampuan anak untuk mengambil keputusan
yang benar tetapi juga dipengaruhi oleh pengetahuan, status
kesehatan, kecemasan, pengalaman dalam pengambilan
keputusan, dan keunikan budaya, keluarga, latar belakang
agama, dan nilai-nilai semuanya berperan dalam pemahaman
anak-anak tentang bagaimana mereka melihat situasi dan
mempengaruhi kemampuan mereka untuk membuat keputusan.
Anak-anak yang hidup dengan serius penyakit sering
mengalami kehilangan kendali atas tubuhnya, kehidupan
sosial, dan kemampuan untuk membuat pilihan bagi diri
mereka sendiri. Namun, pada saat yang sama, anak-anak yang
memiliki pengalaman dalam kehidupan seringkali memiliki
kemampuan dalam pengambilan keputusan.

22
Model pediatrik perawatan yang berpusat pada pasien dan
keluarga mengakui bahwa pasien dan keluarga mereka adalah mitra
integral dengan tim perawatan kesehatan dan bahwa anak dan
Perspektif keluarga adalah komponen penting dari pengambilan
keputusan klinis berkualitas tinggi. Dengan beberapa pengecualian,
orang tua diberikan wewenang untuk membuat keputusan medis
atas nama anak-anak di bawah umur, termasuk remaja. Orang tua
umumnya memberikan banyak keleluasaan dalam hal pilihan yang
mereka buat, selama mereka pilihan tidak menempatkan anak pada
risiko bahaya serius dibandingkan dengan alternative. Untuk anak-
anak dengan penyakit kronis yang membatasi hidup, pengambilan
keputusan medis tidak peristiwa terpisah tetapi proses di mana
keluarga mengasimilasi informasi baru dan membuat keputusan
dari waktu ke waktu sebagai kondisi klinis anak berkembang dan,
sering, memburuk.
Menurut Abraham, untuk anak-anak dengan penyakit yang
mengancam jiwa setidaknya 14 tahun, orang tua tidak dapat dituntut
dengan kelalaian medis karena menolak pengobatan yang
direkomendasikan secara medis jika
a. Keputusan dibuat bersama oleh anak dan orang tua.
b. Anak cukup dewasa untuk memiliki pendapat yang terinformasi
tentang pengobatan.
c. Perawatan lain telah dipertimbangkan.
d. Mereka percaya dengan itikad baik bahwa pilihan mereka adalah
demi kepentingan terbaik anak.
Tim perawatan kesehatan terutama bertanggung jawab untuk
menentukan apakah penolakan remaja merupakan pilihan yang masuk
akal. Seperti yang disinggung, karena neurobiologis perkembangan,
remaja mungkin tidak membuat keputusan yang sepadan dengan
kapasitas pengambilan keputusan. Namun, pengecualian dapat dibuat
untuk remaja yang dapat menunjukkan tidak hanya kemampuan untuk

23
memahami dan menalar, tetapi siapa yang juga memiliki tingkat
kematangan psikososial yang tinggi. Komponen kematangan
psikososial yang berkembang selama masa remaja meliputi:
a. Kemampuan mengendalikan impuls termasuk impuls agresif;
b. Kemampuan untuk mempertimbangkan sudut pandang lain, termasuk
yang mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang atau yang
mengambil sudut pandang orang lain; dan
c. Kemampuan untuk mengambil tanggung jawab pribadi atas perilaku
seseorang dan menolak paksaan pengaruh orang lain
4) Anak
a) Pengertian anak
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan terdapat dalam Undang-undang
No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut
menjelaskan bahwa, anak adalah siapa saja yang belum berusia 18
tahun dan termasuk anak yang masih didalam kandungan, yang
berarti segala kepentingan akan pengupayaan perlindungan terhadap
anak sudah dimulai sejak anak tersebut berada didalam kandungan
hingga berusia 18 tahun (Damayanti,2008)
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan terdapat dalam Undang-undang
No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut
menjelaskan bahwa, anak adalah siapa saja yang belum berusia 18
tahun dan termasuk anak yang masih didalam kandungan, yang
berarti segala kepentingan akan pengupayaan perlindungan terhadap
anak sudah dimulai sejak anak tersebut berada didalam kandungan
hingga berusia 18 tahun.

b) Kebutuhan Dasar Anak


Kebutuhan dasar untuk tumbuh kembang anak secara umum
digolongkan menjadi kebutuhan fisik-biomedis (asuh) yang

24
meliputi, pangan atau gizi, perawatan kesehatan dasar, tempat
tinggal yang layak, sanitasi, sandang, kesegaran jasmani atau
rekreasi. Kebutuhan emosi atau kasih saying (Asih), pada tahun-
tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat, mesra dan selaras
antara ibu atau pengganti ibu dengan anak merupakansyarat yang
mutlakuntuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik,
mental maupun psikososial. Kebutuhan akan stimulasi mental
(Asah), stimulasi mental merupakan cikal bakal dalam proses
belajar (pendidikan dan pelatihan) pada anak. Stimulasi mental ini
mengembangkan perkembangan mental psikososial diantaranya
kecerdasan, ketrampilan, kemandirian, kreativitas, agama,
kepribadian dan sebagainyaTingkat perkembangan anak
Menurut Damaiyanti (2008), karakteristik anak sesuai tingkat
perkembangan :

1) Usia bayi (0-1 tahun)


Pada masa ini bayi belum dapat mengekspresikan
perasaan dan pikirannya dengan kata-kata. Oleh karena itu,
komunikasi dengan bayi lebih banyak menggunakan jenis
komunikasi non verbal. Pada saat lapar, haus, basah dan
perasaan tidak nyaman lainnya, bayi hanya bisa
mengekspresikan perasaannya dengan menangis. Walaupun
demikian, sebenarnya bayi dapat berespon terhadap tingkah laku
orang dewasa yang berkomunikasi dengannya secara non verbal,
misalnya memberikan sentuhan, dekapan, dan menggendong
dan berbicara lemah lembut.
Ada beberapa respon non verbal yang biasa ditunjukkan
bayi misalnya menggerakkan badan, tangan dan kaki. Hal ini
terutama terjadi pada bayi kurang dari enam bulan sebagai cara
menarik perhatian orang. Oleh karena itu, perhatian saat

25
berkomunikasi dengannya. Jangan langsung menggendong atau
memangkunya karena bayi akan merasa takut. Lakukan
komunikasi terlebih dahulu dengan ibunya. Tunjukkan bahwa
kita ingin membina hubungan yang baik dengan ibunya.
2) Usia pra sekolah (2-5 tahun)
Karakteristik anak pada masa ini terutama pada anak
dibawah 3 tahun adalah sangat egosentris. Selain itu anak juga
mempunyai perasaan takut oada ketidaktahuan sehingga anak
perlu diberi tahu tentang apa yang akan akan terjadi padanya.
Misalnya, pada saat akan diukur suhu, anak akan merasa melihat
alat yang akan ditempelkan ke tubuhnya. Oleh karena itu
jelaskan bagaimana akan merasakannya. Beri kesempatan
padanya untuk memegang thermometer sampai ia yakin bahwa
alat tersebut tidak berbahaya untuknya.
Dari hal bahasa, anak belum mampu berbicara fasih. Hal
ini disebabkan karena anak belum mampu berkata-kata 900-
1200 kata. Oleh karena itu saat menjelaskan, gunakan kata-kata
yang sederhana, singkat dan gunakan istilah yang dikenalnya.
Berkomunikasi dengan anak melalui objek transisional seperti
boneka. Berbicara dengan orangtua bila anak malu-malu. Beri
kesempatan pada yang lebih besar untuk berbicara tanpa
keberadaan orangtua.
Satu hal yang akan mendorong anak untuk
meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi adalah
dengan memberikan pujian atas apa yang telah dicapainya.
3) Usia sekolah (6-12 tahun)
Anak pada usia ini sudah sangat peka terhadap stimulus
yang dirasakan yang mengancam keutuhan tubuhnya. Oleh
karena itu, apabila berkomunikasi dan berinteraksi sosial
dengan anak diusia ini harus menggunakan bahasa yang mudah

26
dimengerti anak dan berikan contoh yang jelas sesuai dengan
kemampuan kognitifnya.
Anak usia sekolah sudah lebih mampu berkomunikasi
dengan orang dewasa. Perbendaharaan katanya sudah banyak,
sekitar 3000 kata dikuasi dan anak sudah mampu berpikir secara
konkret.
4) Usia remaja (13-18)
Fase remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari
akhir masa anak-anak menuju masa dewasa. Dengan demikian,
pola pikir dan tingkah laku anak merupakan peralihan dari anak-
anak menuju orang dewasa. Anak harus diberi kesempatan
untuk belajar memecahkan masalah secara positif. Apabila anak
merasa cemas atau stress, jelaskan bahwa ia dapat mengajak
bicara teman sebaya atau orang dewasa yang ia percaya.
Menghargai keberadaan identitas diri dan harga diri
merupakan hal yang prinsip dalam berkomunikasi. Luangkan
waktu bersama dan tunjukkan ekspresi wajah bahagia.
b. Tugas Perkembangan Anak
Tugas perkembangan menurut teori Havighurst (1961) adalah
tugas yang harus dilakukan dan dikuasai individu pada tiap tahap
perkembangannya. Tugas perkembangan bayi 0-2 adalah berjalan,
berbicara,makan makanan padat, kestabilan jasmani. Tugas
perkembangan anak usia 3-5 tahun adalah mendapat kesempatan
bermain, berkesperimen dan berekplorasi, meniru, mengenal jenis
kelamin, membentuk pengertian sederhana mengenai kenyataan social
dan alam, belajar mengadakan hubungan emosional, belajar
membedakan salah dan benar serta mengembangkan kata hati juga
proses sosialisasi.
Tugas perkembangan usia 6-12 tahun adalah belajar menguasai
keterampilan fisik dan motorik, membentuk sikap yang sehat
mengenai diri sendiri, belajar bergaul dengan teman sebaya,

27
memainkan peranan sesuai dengan jenis kelamin, mengembangkan
konsep yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, mengembangkan
keterampilan yang fundamental, mengembangkan pembentukan kata
hati, moral dan sekala nilai, mengembangkan sikap yang sehat
terhadap kelompok sosial dan lembaga. Tugas perkembangan anak
usia 13-18 tahun adalah menerima keadaan fisiknya dan menerima
peranannya sebagai perempuan dan laki- laki, menyadari hubungan-
hubungan baru dengan teman sebaya dan kedua jenis kelamin,
menemukan diri sendiri berkat refleksi dan kritik terhadap diri sendiri,
serta mengembangkan nilai-nilai hidup.
c. Hak-hak anak
Berikut ini merupakan hak-hak anak menurut beberapa
peraturan perundang-undangan yang berlaku Di Indonesia antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Dalam Bab II Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, mengatur tentang hak-hak anak atas
kesejahteraan, yaitu :
1) Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan.
2) Hak atas pelayanan.
3) Hak atas pemeliharaan dan perlindungan.
4) Hak atas perlindungan lingkungan hidup.
5) Hak mendapatkan pertolongan pertama.
6) Hak untuk memperoleh asuhan.
7) Hak untuk memperoleh bantuan.
8) Hak diberi pelayanan dan asuhan.
9) Hak untuk memeperoleh pelayanan khusus.
10) Hak untuk mendapatkan bantuan dan pelayanan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak ini, hak-hak anak
diatur dalam Pasal 4 - Pasal 18, yang meliputi:
1) Hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi,

28
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
2) Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan.
3) Hak untuk beribadah menurut agamanya.
4) Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial.
5) Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran.
6) Bagi anak yang menyandang cacat juga hak memperoleh
pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki
keunggulan juga hak mendapatkan pendidikan khusus
7) Hak menyatakan dan didengar pendapatnya.
8) Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang..
9) Bagi anak penyandang cacat berhak memperoleh
rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf
kesejahteraan sosial.
10) Bagi anak yang berada dalam pengasuhan orang tua/ wali,
berhak mendapat perlindungan dari perlakuan
 diskriminasi;
 eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
 penelantaran;
 kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
 ketidakadilan; dan
 perlakuan salah lainnya.
11) Hak untuk memperoleh perlindungan dari :
 penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
 pelibatan dalam sengketa bersenjata;
 pelibatan dalam kerusuhan sosial;
 pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;
dan
 pelibatan dalam peperangan.
12) Hak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

29
13) Setiap anak yang dirampas kebebasannya hak untuk :
 mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa;
 memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
 membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan
anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup
untuk umum.
14) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual
atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
15) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana
berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainny
B. INFORMED CONSENT
1. Pengertian Informed Consent
Informed Consent teridiri dari dua kata yaitu “informed” yang
berarti informasi atau keterangan dan “consent” yang berarti persetujuan
atau memberi izin. jadi pengertian Informed Consent adalah suatu
persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian
Informed Consent dapat di definisikan sebagai pernyataan pasien atau
yang sah mewakilinya yang isinya berupa persetujuan atas rencana
tindakan kedokteran yang diajukan oleh dokter setelah menerima
informasi yang cukup untuk dapat membuat persetujuan atau penolakan.
Persetujuan tindakan yang akan dilakukan oleh Dokter harus dilakukan
tanpa adanya unsur pemaksaan.
Istilah Bahasa Indonesia Informed Consent diterjemahkan sebagai
persetujuan tindakan medik yang terdiri dari dua suku kata Bahasa Inggris
yaitu Inform yang bermakna Informasi dan consent berarti persetujuan.
Sehingga secara umum Informed Consent dapat diartikan sebagai
persetujuan yang diberikan oleh seorang pasien kepada dokter atas suatu
tindakan medik yang akan dilakukan, setelah mendapatkan informasi yang
jelas akan tindakan tersebut.17 8 Informed Consent menurut Permenkes

30
No.585 / Menkes / Per / IX / 1989, Persetujuan Tindakan Medik adalah
Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar
penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien
tersebut.

2. Dasar Hukum Informed Consent


Persetujuan tindakan Kedokteran telah diatur dalam Pasal 45
Undang – undang no. 29 tahun 2004 tentang praktek Kedokteran.
Sebagaimana dinyatakan setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus
mendapat persetujuan. Persetujuan sebagaimana dimaksud diberikan
setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap, sekurang-kurangnya
mencakup : diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis
yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya,risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan. Persetujuan tersebut dapat diberikan baik secara tertulis
maupun lisan. Disebutkan didalamnya bahwa setiap tindakan kedokteran
atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan
dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/2008
tentang persetujuan tindakan Kedokteran dinyatakan dalam pasal 1, 2, dan
3 yaitu :
Pasal 1
a. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang
akan dilakukan terhadap pasien.
b. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung,
anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.

31
c. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut
tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif,
diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi terhadap pasien.
d. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat
mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien.
e. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan
medis yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat
mengakibatkan kematian atau kecacatan.
f. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan
dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran
gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah
Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
g. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut
peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak 10
terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar,
tidak mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan
tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu
membuatkeputusan secara bebas.
Pasal 2
a. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
harus mendapat persetujuan.
b. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan
secara tertulis maupun lisan.
c. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya
tindakan kedokteran dilakukan.
Pasal 3
a. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus
memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang
berhak memberikan persetujuan.

32
b. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan
persetujuan lisan.
c. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam
bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat
untuk itu.
d. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan
dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan
kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju.
e. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan
persetujuan tertulis.
Peraturan Informed Consent apabila dijalankan dengan baik antara
Dokter dan pasien akan sama-sama terlindungi secara Hukum. Tetapi
apabila terdapat perbuatan diluar peraturan yang sudah dibuat tentu
dianggap melanggar Hukum. Dalam pelanggaran Informed Consent telah
diatur dalam pasal 19 Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap dokter yang melakukan
tindakan tanpa Informed Consent dapat dikenakan sanksi berupa teguran
lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik.
Informed Consent di Indonesia juga di atur dalam peraturan berikut:
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan.
b. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).
c. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medis.
d. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2005
tentang Penyelanggaraan Praktik Kedokteran.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga
Kesehatan.
f. Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88.

33
3. Fungsi dan Tujuan Informed Consent
Fungsi dari Informed Consent adalah :
a. Promosi dari hak otonomi perorangan;
b. Proteksi dari pasien dan subyek;
c. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;
d. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan
introspeksi terhadap diri sendiri;
e. Promosi dari keputusan-keputusan rasional;
f. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai
suatu nilai social dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan
biomedik.
Informed Consent itu sendiri menurut jenis tindakan / tujuannya dibagi
tiga, yaitu:
a. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek
penelitian).
b. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis.
c. Yang bertujuan untuk terapi.
Tujuan dari Informed Consent menurut J. Guwandi adalah :
a. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien;
b. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang
tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment
yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan
semaksimal mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.
4. Bentuk Persetujuan Informed Consent
a. Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medis, yaitu :
1) Implied Consent (dianggap diberikan)
Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal,
artinya dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis
tersebut dari isyarat yang diberikan/dilakukan pasien. Demikian
pula pada kasus emergency sedangkan dokter memerlukan tindakan

34
segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan
persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter dapat
melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter.
2) Expressed Consent (dinyatakan)
Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan
medis yang bersifat invasive dan mengandung resiko, dokter
sebaiknya mendapatkan persetujuan secara tertulis, atau yang secara
umum dikenal di rumah sakit sebagai surat izin operasi.
b. Persetujuan tertulis dalam suatu tindakan medis dibutuhkan saat:
1) Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko
atau efek samping yang bermakna.
2) Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.
3) Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna
bagi kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial
pasien.
4) Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.
5. Pemberi Informasi dan Penerima Persetujuan
Pemberi informasi dan penerima persetujuan merupakan tanggung
jawab dokter pemberi perawatan atau pelaku pemeriksaan/ tindakan untuk
memastikan bahwa persetujuan tersebut diperoleh secara benar dan layak.
Dokter memang dapat mendelegasikan proses pemberian informasi dan
penerimaan persetujuan, namun tanggung jawab tetap berada pada dokter
pemberi delegasi untuk memastikan bahwa persetujuan diperoleh secara
benar dan layak.
Seseorang dokter apabila akan memberikan informasi dan
menerima persetujuan pasien atas nama dokter lain, maka dokter tersebut
harus yakin bahwa dirinya mampu menjawab secara penuh pertanyaan
apapun yang diajukan pasien berkenaan dengan tindakan yang akan 15
dilakukan terhadapnya–untuk memastikan bahwa persetujuan tersebut
dibuat secara benar dan layak.
6. Pemberi Persetujuan

35
Persetujuan diberikan oleh individu yang kompeten. Ditinjau dari
segi usia, maka seseorang dianggap kompeten apabila telah berusia 18
tahun atau lebih atau telah pernah menikah. Sedangkan anak-anak yang
berusia 16 tahun atau lebih tetapi belum berusia 18 tahun dapat membuat
persetujuan tindakan kedokteran tertentu yang tidak berrisiko tinggi apabila
mereka dapat menunjukkan kompetensinya dalam membuat keputusan.
Alasan hukum yang mendasarinya adalah sebagai berikut:
a. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka seseorang
yang berumur 21 tahun atau lebih atau telah menikah dianggap sebagai
orang dewasa dan oleh karenanya dapat memberikan persetujuan.
b. Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka
setiap orang yang berusia 18 tahun atau lebih dianggap sebagai orang
yang sudah bukan anak-anak. Dengan demikian mereka dapat
diperlakukan sebagaimana orang dewasa yang kompeten, dan oleh
karenanya dapat memberikan persetujuan.
c. Mereka yang telah berusia 16 tahun tetapi belum 18 tahun memang
masih tergolong anak menurut hukum, namun dengan menghargai hak
individu untuk berpendapat sebagaimana juga diatur dalam UU No 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka mereka dapat
diperlakukan seperti orang dewasa dan dapat memberikan persetujuan
tindakan kedokteran 16 tertentu, khususnya yang tidak berrisiko tinggi.
Untuk itu mereka harus dapat menunjukkan kompetensinya dalam
menerima informasi dan membuat keputusan dengan bebas. Selain itu,
persetujuan atau penolakan mereka dapat dibatalkan oleh orang tua atau
wali atau penetapan pengadilan.
Sebagaimana uraian di atas, setiap orang yang berusia 18 tahun
atau lebih dianggap kompeten. Seseorang pasien dengan gangguan jiwa
yang berusia 18 tahun atau lebih tidak boleh dianggap tidak kompeten
sampai nanti terbukti tidak kompeten dengan pemeriksaan. Sebaliknya,
seseorang yang normalnya kompeten, dapat menjadi tidak kompeten
sementara sebagai akibat dari nyeri hebat, syok, pengaruh obat tertentu

36
atau keadaan kesehatan fisiknya. Anak-anak berusia 16 tahun atau lebih
tetapi di bawah 18 tahun harus menunjukkan kompetensinya dalam
memahami sifat dan tujuan suatu tindakan kedokteran yang diajukan.
Jadi, kompetensi anak bervariasi bergantung kepada usia dan
kompleksitas tindakan.
7. Penolakan Pemeriksaan/Tindakan
Pasien yang kompeten (dia memahami informasi, menahannya dan
mempercayainya dan mampu membuat keputusan) berhak untuk menolak
suatu pemeriksaan atau tindakan kedokteran, meskipun keputusan pasien
tersebut terkesan tidak logis. Kalau hal seperti ini terjadi dan bila
konsekuensi penolakan tersebut berakibat serius maka keputusan tersebut
17 harus didiskusikan dengan pasien, tidak dengan maksud untuk
mengubah pendapatnya tetapi untuk mengklarifikasi situasinya. Untuk itu
perlu dicek kembali apakah pasien telah mengerti informasi tentang
keadaan pasien, tindakan atau pengobatan, serta semua kemungkinan efek
sampingnya.
Kenyataan adanya penolakan pasien terhadap rencana pengobatan
yang terkesan tidak rasional bukan merupakan alasan untuk
mempertanyakan kompetensi pasien. Meskipun demikian, suatu penolakan
dapat mengakibatkan dokter meneliti kembali kapasitasnya, apabila
terdapat keganjilan keputusan tersebut dibandingkan dengan keputusan-
keputusan sebelumnya. Dalam setiap masalah seperti ini rincian setiap
diskusi harus secara jelas didokumentasikan dengan baik.
8. Penundaan Persetujuan
Persetujuan suatu tindakan kedokteran dapat saja ditunda
pelaksanaannya oleh pasien atau yang memberikan persetujuan dengan
berbagai alasan, misalnya terdapat anggota keluarga yang masih belum
setuju, masalah keuangan, atau masalah waktu pelaksanaan. Dalam hal
penundaan tersebut cukup lama, maka perlu di cek kembali apakah
persetujuan tersebut masih berlaku atau tidak.
9. Pembatalan Persetujuan Yang Telah Diberikan

37
Prinsipnya, setiap saat pasien dapat membatalkan persetujuan
mereka dengan membuat surat atau pernyataan tertulis pembatalan 18
persetujuan tindakan kedokteran. Pembatalan tersebut sebaiknya dilakukan
sebelum tindakan dimulai. Selain itu, pasien harus diberitahu bahwa
pasien bertanggungjawab atas akibat dari pembatalan persetujuan
tindakan. Oleh karena itu, pasien harus kompeten untuk dapat
membatalkan persetujuan.
Kompetensi pasien pada situasi seperti ini seringkali sulit. Nyeri,
syok atau pengaruh obat-obatan dapat mempengaruhi kompetensi pasien
dan kemampuan dokter dalam menilai kompetensi pasien. Bila pasien
dipastikan kompeten dan memutuskan untuk membatalkan
persetujuannya, maka dokter harus menghormatinya dan membatalkan
tindakan atau pengobatannya. Kadang-kadang keadaan tersebut terjadi
pada saat tindakan sedang berlangsung. Bila suatu tindakan menimbulkan
teriakan atau tangis karena nyeri, tidak perlu diartikan bahwa
persetujuannya dibatalkan. Rekonfirmasi persetujuan secara lisan yang
didokumentasikan di rekam medis sudah cukup untuk melanjutkan
tindakan. Tetapi apabila pasien menolak dilanjutkannya tindakan, apabila
memungkinkan, dokter harus menghentikan tindakannya, mencari tahu
masalah yang dihadapi pasien dan menjelaskan akibatnya apabila tindakan
tidak dilanjutkan. Dalam hal tindakan sudah berlangsung sebagaimana di
atas, maka penghentian tindakan hanya bisa dilakukan apabila tidak akan
mengakibatkan hal yang membahayakan pasien.
10. Lama Persetujuan Berlaku
Teori menyatakan bahwa suatu persetujuan akan tetap sah sampai
dicabut kembali oleh pemberi persetujuan atau pasien. Namun demikian,
bila informasi baru muncul, misalnya tentang adanya efek samping atau
alternatif tindakan yang baru, maka pasien harus diberitahu dan
persetujuannya dikonfirmasikan lagi. Apabila terdapat jedah waktu antara
saat pemberian persetujuan hingga dilakukannya tindakan, maka alangkah
lebih baik apabila ditanyakan kembali apakah persetujuan tersebut masih

38
berlaku. Hal-hal tersebut pasti juga akan membantu pasien, terutama bagi
mereka yang sejak awal memang masih ragu-ragu atau masih memiliki
pertanyaan.
11. Keutamaan Informed Consent
Dengan adanya informed consent yang jelas dan baik, pasien akan
memahami segala manfaat dan risiko serta tujuan pengobatan yang akan
diberikan dokter, termasuk tingkat keberhasilan tindakan atau terapi. Hal
ini penting untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman pasien yang sering
kali menganggap suatu tindakan sebagai malpraktik jika hasilnya tidak
sesuai harapan.
Di klinik, puskesmas, atau rumah sakit, informed consent biasanya
akan diminta dalam suatu formulir atau lembar surat tertulis yang
mencakup:
a. Identitas pasien dan dokter
b. Nama penyakit atau informasi mengenai diagnosis atau kondisi medis
pasien
c. Jenis prosedur pemeriksaan atau pengobatan yang direkomendasikan
atau akan dilakukan oleh dokter
d. Risiko dan manfaat dari tindakan medis yang akan dilakukan
e. Risiko dan manfaat alternatif tindakan, termasuk jika tidak memilih
prosedur tersebut
f. Perkiraan biaya tindakan medis dan pengobatan
g. Harapan kesembuhan atau tingkat keberhasilan tindakan atau terapi
Setelah pasien membaca dan menyetujui informed consent, artinya
pasien tersebut:
a. Menerima semua informasi tentang pilihan prosedur dan pengobatan
yang akan diberikan oleh dokter
b. Memahami informasi yang diberikan dan memiliki kesempatan untuk
mengajukan pertanyaan
c. Memutuskan apakah akan menjalani langkah penanganan yang
direkomendasikan atau menolak tindakan tersebut

39
Jika pasien setuju untuk menjalani tindakan medis dari dokter, baik
untuk tujuan pemeriksaan atau pengobatan, dokter atau perawat akan
meminta pasien untuk menandatangani surat informed consent yang
menyatakan persetujuan tersebut.
Namun, apabila pasien menolak, dokter atau perawat juga dapat
meminta pasien untuk menandatangani surat informed consent yang
menyatakan bahwa pasien tidak setuju untuk menjalani tindakan medis
dan memahami konsekuensi atas pilihannya tersebut.
Idealnya, informed consent diberikan sebelum tindakan medis
dilakukan, terutama tindakan yang berisiko tinggi. Beberapa tindakan
medis yang umumnya memerlukan informed consent dari pasien adalah:
a. Pemberian obat bius atau anestesi
b. Transfusi darah dan donor darah
c. Terapi radiasi atau radioterapi dan kemoterapi
d. Penjahitan luka
e. Imunisasi
f. Pemeriksaan medis kejiwaan
g. Pemeriksaan penunjang tertentu, misalnya biopsi, aspirasi sumsum
tulang, pungsi lumbal, dan tes HIV atau VCT
h. Prosedur donor dan penerimaan organ
Namun, dalam kondisi darurat, informed consent dapat diberikan
setelah tindakan medis dilakukan, misalnya pada kasus emergensi di IGD
rumah sakit. Hal ini guna mencegah keterlambatan penanganan pasien
yang dapat menimbulkan kecacatan atau bahkan kematian. Di luar tujuan
diagnosis atau pengobatan, informed consent juga diminta ketika pasien
hendak mengikuti penelitian klinis tentang efektivitas obat-obatan atau
vaksin.
12. Informed Consent Dapat Diwakilkan
Informed consent umumnya diberikan kepada pasien yang sudah
dewasa secara hukum (usia 18 tahun atau lebih), bisa memahami
penjelasan dokter dengan baik, sadar penuh, dan memiliki kondisi

40
kejiwaan yang sehat. Jika dianggap tidak dapat memutuskan informed
consent, pasien bisa diwakili. Berikut ini adalah beberapa kondisi ketika
informed consent dapat diwakilkan:
a. Pasien di bawah umur
Untuk pasien usia muda, seperti bayi dan anak-anak, atau
remaja di bawah usia 18 tahun, persetujuan informed consent dapat
diwakilkan oleh orang tua atau walinya.

b. Kondisi yang tidak memungkinkan


Untuk pasien dengan kondisi kehilangan kesadaran, seperti
pingsan atau koma, sehingga tidak memungkinkan untuk diberikan
penjelasan atau diminta pendapatnya, persetujuan informed consent
dapat diwakilkan oleh keluarga atau walinya. Hal ini juga berlaku
pada pasien yang mengalami gangguan berpikir, seperti penyakit
Alzheimer atau gangguan mental. Saat berkonsultasi ke dokter,
ingatlah untuk meminta penjelasan selengkap mungkin terkait
diagnosis penyakit, saran pengobatan atau tindakan medis, serta risiko
dan manfaat dari langkah penanganan yang akan dilakukan. Sebelum
memutuskan untuk menjalani pengobatan, pahami segala risiko dan
manfaat dari tindakan yang hendak dijalani, serta konsekuensinya jika
tidak menjalani tindakan tersebut. Apabila sudah paham dengan
penjelasan dokter, Anda dapat menyetujui atau menolak tindakan
tersebut melalui informed consent.

C. Peran Orang Tua


1. Pengertian Peran Orang Tua
Orang tua yaitu terdiri dari ayah dan ibu. Orang tua memiliki peran
penting dalam membimbing dan mendampingi anak-anaknya baik dalam
pendidikan formal maupun non-formal. Peran orang tua itu sendiri dapat
mempengaruhi perkembangan anak dalam aspek kognitif, efektif, dan
psikmotor.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) “peran yaitu perangkat

41
tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam
masyarakat. Sedangkan Hamalik (2011) menyatakan bahwa“peran adalah
pola tingkah laku tertentu yang merupakan ciri-ciri khas semua petugas dari
pekerjaan atau jabatan tertentu”.
Menurut Lestari (2012) “peran orang tua merupakan cara yang
digunakan oleh orang tua berkaitan dengan pandangan mengenai tugas
yang harus dijalankan dalam mengasuh anak”. Hadi (2016) menyatakan
bahwa “orang tua memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk
mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak”. Berdasarkan
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa peran orang tua yaitu cara
yang digunakan oleh orang tua atau keluarga dalam menjalankan tugas
dalam mengasuh, mendidik, melindungi, dan mempersiapkan anak dalam
keidupan bermasyarakat. Peran orang tua sangat penting dalam
perkembangan anak baik dari aspek kognitif, efektif dan psikomotor.
Selain itu peran orang tua juga sangat penting dalam keluarga.
2. Peran orang tua dalam keluarga
Peran orang tua dalam keluarga sangat penting terhadap perkembangan
anak. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang sering dijumpai anak.
Lingkungan keluarga akan mempengaruhi perilaku anak. Oleh karena itu,
orang tua harus membimbing dan memberikan contoh yang baik pada anak.
Menurut Hadi (2016) “keluarga merupakan ikatan laki-laki dan
perempuan berdasarkan hukum dan undang-undang perkawinan yang sah
dan pondasi utama dalam pendidikan selanjutnya”. Ki Hajar Dewantara
(dalam Tirtarahardja, 2005) menyatakan bahwa “suasana kehidupan
keluarga merupakan tempat yang sebaik-baiknya untuk melakukan
pendidikan individual maupun pendidikan sosial”.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan
tempat terbaik untuk melakukan pendidikan dan dalam keluarga terjadi
interaksi pendidikan pertama dan utama. Keluarga terdiri dari ayah, ibu dan
anak. Setiap anggota keluarga memiliki peranan masing-masing.
Peran keluarga menurut Jhonson (2010) sebagai berikut: “1) ayah

42
berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa
aman, serta sebagai kepala keluarga; 2) ibu berperan sebagai pengurus
rumah tangga, pelindung, pengasuh, dan pendidik anak-anaknya; 3) anak-
anak melaksanakan peranan psikososial sesuai dengan tingkat
perkembangannya”. Tirtarahardja (2005) menyimpulkan bahwa “peran
orang tua dalam keluarga sebagai panutan, sebagai pengajar, dan sebagai
pemberi contoh”
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bawa peran orang
tua dalam keluarga yaitu sebagai pendidik, pelindung, pengasuh, dan
pemberi contoh. Selain peran yang harus dilakukan oleh orang untuk
anak-anaknya , orang tua juga harus memahami tentang fungsi keluarga.
3. Fungsi Keluarga
Menurut Jhonson (2010) “fungsi keluarga terdiri dari fungsi sosialisasi
anak, fungsi afeksi, fungsi edukatif, fungsi religius, fungsi protektif, fungsi
rekreatif, fungsi ekonomis, dan fungsi status sosial”. Sedangkan menurut
Hadi (2016) “fungsi keluarga terdiri dari fungsi biologis, fungsi edukatif,
fungsi religius, fungsi protektif, fungsi sosialisasi anak, dan fungsi
rekreatif”.
Berikut penjelasan dari fungsi keluarga yaitu :
a) Fungsi sosialisasi anak : kelurga merupakan tempat untuk
membentuk kepribadian anak dan mempersiapkan anak menjadi
anggota masyarakat yang baik.
b) Fungsi afeksi : keluarga merupakan tempat terjadinya hubungan sosial
penuh kasih sayang dan rasa aman.
c) Fungsi edukatif : keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang
pertama dan utama bagi perkembangan kepribadian anak.
d) Fungsi religius : berkaitan dengan kewajiban orang tua untuk
mengenalkan, membimbing dan melibatkan anak mengenai nilai-nilai
dan kaidah-kaidah dan perilaku beragama.
e) Fungsi protektif : keluarga berfungsi merawat, memelihara dan
melindungi anak baik fisik maupun sosialnya, termasuk dalam

43
memelihara kesehatan dengan cara melakukan imunisasi pada anak
f) Fungsi rekreatif : keluarga merupakan tempat yang dapat memberikan
ketenangan, kegembiraan, dan melepas lelah.

44
BAB III
METODE PENELITIAN

Metode penulisan hasil penelitian berdasarkan Systematic literature review/


Review Artikel Terstruktur terdiri dari beberapa komponen, antara lain :

A. Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian deskriptif dengan
menggunakan metode Systematic literature review/ Review Artikel
Terstruktur.

B. Sumber Data
Data sekunder merupakan data yang digunakan dalam melakukan penelitian
ini. Dimana data yang didapatkan tidak langsung terjun pengawasan, tetapi
mengambil dari data penelitian terdahulu yang telah dilaksanakan. Sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari penelusuran jurnal-
jurnal akademik, jurnal internasional terindeks SCOPUS menggunakan
database e-resources Perpusnas, PMC, Ebsco, ProQuest, Sciencedirect, dan
Google scholar yang relevan dengan topik permasalahan dalam kurun waktu
10 tahun terakhir.

C. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


Strategi pencarian literature dengan menggunakan PICOS Framework, yang
terdiri dari :
1) Population/problem yaitu populasi atau masalah yang akan di analisis
sesuai dengan tema yang sudah ditentukan dalam literature review
2) Intervention yaitu suatu tindakan penatalaksanan terhadap kasus
perorangan atau masyarakat serta pemaparan tentang penatalaksanaan
studi sesuai dengan tema yang sudah ditentukan dalam literature review.
3) Comparation yaitu intervensi atau penatalaksanaan lain yang digunakan
sebagai pembanding, jika tidak ada bisa menggunakan kelompok control
dalam studi yang terpilih.

45
4) Outcome yaitu hasil atau luaran yang diperolah pada studi terdahulu
yang sesuai dengan tema yang sudah ditentukan dalam literature
review.
5) Study design yaitu desain penelitian yang digunakan dalam artikel
yang akan di-review.
Tabel. 3.1 Format PICOS dalam Literature Review
Kriteria Inklusi Eksklusi
Problem Jurnal internasional dari Jurnal internasional dari
database yang berbeda dan database yang berbeda dan
berkaitan dengan variabel berkaitan dengan variabel
penelitian yakni Etika Hukum penelitian yakni Etika Hukum
Pengganti Pasien (Surrogate Pengganti Pasien (Surrogate
Patient) pada Anak Patient) pada Anak
Intervention Pengambilan keputusan Bukan yang termasuk
vaksinasi pada anak pengambilan keputusan
vaksinasi pada anak
Comparation Tidak ada pembanding
Outcome Dampak, Manfaat dan Bukan yang termasuk dampak,
perubahan yang diharapkan Manfaat dan perubahan yang
dalam keputusan pengambilan diharapkan dalam keputusan
vaksinasi pengambilan vaksinasi
Study Design Pendekatan meta etnografi, Tanpa eksklusi
Focus Group Study,
Systematic review
Longitudinal Research,
Penelitian Kuantitatif, Cohort
Study (Prospective
Observational Study)
Qualitative research, cross-
sectional studies, and Case
Reports and Series.
Tahun Terbit Jurnal International yang terbit Jurnal yang terbit sebelum
pada tahun 2011 sampai 2021 tahun 2011
Bahasa Bahasa Indonesia dan Bahasa Bahasa selain bahasa
Inggris Indonesia dan bahasa Inggris

D. Prosedur Pengumpulan Literatur


Untuk membuat penulisan literature review ini maka langkah-langkah yang
telah dilakukan adalah sebagai berikut :
1) Memilih topik yang akan direview
2) Melacak dan memilih artikel yang cocok/relevan,.

46
3) Melakukan analisis dan sintesis literatur (tabel sintesis)
4) Mengorganisasi penulisan review

E. Sintesis Data
Tabel. 3.2 Daftar artikel hasil pencarian

N Author Tahu Judul Metode


o n

1 Irene A. Harmsen, 2012 Factors That Influence Focus Group


Robert AC Ruiter, Vaccination Decision-Making Study
Theo GW Paulussen, by Parents Who Visit an
Liesbeth Molema, Anthroposophical Child
Gerjo Kok, dan Welfare Center
Hester E. de Melker
2 Catharina J. Alberts1, 2017 A longitudinal study on Longitudinal
Maarten F. Schim determinants of HPV Research
van der Loeff1, vaccination uptake in
Yvonne Hazeveld, parents/guardians from
Hester E. de Melker, different ethnic backgrounds
Marcel F. van der in Amsterdam, the
Wal, Astrid Nielen, Netherlands
Fatima El Fakiri,
Maria Prins dan Theo
GWM Paulussen
3 Silvana Barone, MD 2018 Ethical Issues Around Deskriptif
a dan Yoram Pediatric Death Navigating
Unguru, MD, MS, Consent, Assent, and
MA B Disagreement Regarding
Life-Sustaining Medical
Treatment
4 Amalie Dyda, 2020 A systematic review of Systematic
Catherine King, studies that review
Aditi, Julie Leask dan measure parental vaccine
Adam G. Dunn attitudes and beliefs in
childhood vaccination
5 Julian Savulescu, 2021 Global Ethical Considerations Deskriptif
PhD, Alberto Regarding Mandatory
Giubilini, Ph, dan Vaccination
Margie Danchin, PhD
6 Sara Fernández- 2021 Encountering Parents Who Meta-
Basanta, Manuel Are Hesitant or Reluctant to etnografi
Lagoa-Millarengo, Vaccinate Their Children: A interpretatif
and María-Jesús Meta-Ethnography
Movilla-Fernández

47
48
BAB IV
HASIL PENELITIAN

Enam artikel utama dianalisis, dengan fokus pada pengalaman professional


kesehatan menghadapi orang tua yang dalam mengambil keputusan ragu-ragu atau
menahan diri dari memvaksinasi anak-anak mereka. Penelitian ini dilakukan di
Swedia, Belanda, Pakistan, Israel, Amerika Serikat, Inggris, Slovakia, Kanada,
dan Australia. Jumlah peserta dalam studi primer berkisar antara 11 sampai 58.
Sampel terdiri dari tenaga kesehatan yang terlibat dalam pemberian vaksin anak,
terutama dokter anak, dokter umum, perawat, dan penyedia vaksinasi anak.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur
mendalam dan kelompok fokus. Meja 4 menunjukkan karakteristik utama dari
studi yang disertakan.
Keyakinan yang salah tentang vaksinasi, terutama berdasarkan kurangnya
informasi, mitos atau pengaruh budaya dan agama lokal, diidentifikasi sebagai
penyebab utama keraguan atau penolakan terhadap vaksinasi. Ada dua profil
utama orang tua yang ragu-ragu atau enggan untuk memvaksinasi. Di satu sisi,
adalah mereka yang mungkin terlalu banyak informasi dan mengetahui risiko dan
manfaat dari vaksinasi anak. Secara khusus, orang tua yang tergabung dalam
asosiasi menentang imunisasi anak merupakan tantangan penting bagi
professional kesehatan . Anggota asosiasi ini sangat terinformasi dan bersatu,
yang membuat mereka berdiri teguh dalam keputusan mereka untuk tidak
memvaksinasi, seperti yang dijelaskan oleh seorang perawat.
Di sisi lain, ada yang kurang mengetahui dan tidak mengetahui manfaat
program imunisasi pada anak. Orang tua ini takut untuk memberikan vaksin
karena masalah keamanan, efektivitas, atau jumlah dosis. Secara khusus,
ketakutan orang tua juga ditunjukkan dengan membangkitkan rasa aman yang
salah mengenai vaksinasi. Salah satu kepercayaan palsu yang paling menonjol
adalah hubungan antara vaksin MMR dan perkembangan autisme dan penyakit
usus tertentu. Meskipun teori ini didiskreditkan, gagasan bahwa vaksinasi akan
menyebabkan kebodohan pada anak-anak mereka adalah tersebar luas secara

49
sosial. Selanjutnya, homeopati atau pengobatan tradisional/alternatif juga, bagi
banyak orang tua, merupakan sumber yang lebih dapat diandalkan.
Motif agama merupakan faktor penyebab penting dalam keraguan vaksin,
seperti yang ditunjukkan dalam penelitian oleh Khan dan Sahibzada (2016).
Misalnya, beberapa pemuka agama berpendapat bahwa darah beberapa hewan
yang dilarang oleh Islam adalah bagian dari komposisi vaksin. Keyakinan ini
sering dikaitkan dengan keyakinan yang salah bahwa vaksinasi dapat
menyebabkan infertilitas pada anak, bersama dengan kurangnya pengetahuan
dasar tentang aspek umum vaksinasi anak. Pengaruh perusahaan farmasi dan
adanya kepentingan ekonomi juga berkontribusi pada keraguan orang tua untuk
membenarkan keputusan mereka untuk tidak melakukan vaksinasi, karena brosur
informasi terkadang disponsori oleh perusahaan farmasi besar. Perubahan yang
sering terjadi dalam program vaksinasi terkait dengan pengaruh perusahaan
farmasi, menimbulkan ketidak percayaan di antara orang tua
Profesional perawatan kesehatan sering kekurangan sumber daya, dukungan,
dan pelatihan untuk menghadapi keraguan atau penolakan imunisasi. Kurangnya
sarana diwakili dalam metafora sebagai kurangnya alat pemodelan. Kurangnya
pelatihan dan informasi tentang vaksinasi di kalangan tenaga kesehatan, sebagian
besar perawat, membuat sulit untuk menasihati orang tua yang ragu-ragu . Para
profesional kesehatan menganggap bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan
yang cukup tentang efek samping dan aspek lain dari vaksin untuk menghadapi
orang tua ini, mengantisipasi kemungkinan pertanyaan mereka, atau tahu
bagaimana menjawabnya dengan informasi yang akurat dan terkini. Perawat
sering bertemu dengan orang tua yang berpengetahuan luas yang bertanya kepada
mereka tentang beberapa aspek vaksinasi yang mereka tidak tahu bagaimana
menjawabnya.
Strategi meyakinkan didasarkan pada penghormatan terhadap pendapat, nilai, dan
kekuatan pengambilan keputusan orang tua. Menghindari konfrontasi dan
mengutamakan hubungan saling percaya yang saling menghormati diyakini
memiliki pengaruh yang sangat positif terhadap hasil jangka panjang yang
diperoleh. Melawan orang tua akan merusak kerja sama dengan mereka. Dalam

50
situasi di mana orang tua menolak vaksinasi sejak awal, hubungan yang positif
dan empati adalah kunci untuk mengatasi masalah di pertemuan mendatang.
Selain itu, memberikan informasi berdasarkan bukti ilmiah adalah ukuran
mendasar. Di dalam informasi, rincian tentang efek samping harus dimasukkan,
dan ini harus ditransmisikan sedikit demi sedikit dengan memungkinkan
partisipasi orang tua. Profesional kesehatan melaporkan bahwa tujuan dari
rekomendasi mereka adalah untuk menyampaikan keamanan vaksin dan membuat
orang tua melihat bahwa risiko tertular penyakit yang dicegah oleh vaksin jauh
lebih tinggi daripada efek samping yang disebabkan oleh vaksinasi. Ada juga
profesional yang mendukung penjadwalan ulang kunjungan, menunda vaksinasi
atau menerapkan kalender alternatif.
Terlepas dari upaya mereka, para professional kesehatan tidak selalu
mencapai tujuan mereka, dan akhirnya beberapa orang tua akhirnya menolak
vaksin. Ini memicu perasaan seperti kemarahan, ketidak berdayaan dan akhirnya
kegagalan pribadi.
Penelitian, Judul penelitian Desain Subyek penelitian Hasil
tahun, penelitian penelitian
negara
Juli 2021 Encountering Pendekatan Petugas kesehatan Para
Parents Who Are meta etnografi dalam hal profesional
Hesitant or pengalaman ini
Reluctant to perawatan menemukan
Vaccinate Their profesional dua profil
Children: A kesehatan dalam orang tua:
Meta- pertemuan mereka yang
Ethnography mereka dengan mendapat
orang tua yang informasi
ragu atau berlebihan
menolak untuk atau mereka
memvaksinasi yang
anak-anak mereka posisinya

51
sangat
menentang
vaksinasi, dan
mereka yang
ragu-ragu
tentang
vaksinasi atau
tidak
memiliki
cukup
informasi
October Factors That Peserta dan dilakukan dengan Semua orang
2012 Influence Prosedur.Secara orang tua yang tua
Vaccination total, tiga mengunjungi menunjukkan
Decision-Making kelompok focus CWC bahwa
by (n = antroposofis. mereka telah
Parents Who 16) Dokter dan menunda
Visit an perawat dari tiga vaksinasi
Anthroposophical CWC untuk
Child Welfare antroposofis setidaknya
Center: yang berbeda di satu anak.
A Focus Group Belanda Satu orang
Study mengundang tua
orang tua untuk telah menolak
berpartisipasi. semua
vaksinasi
untuk anak-
anaknya,
sementara
orang tua
lainnya telah

52
memvaksinasi
sebagian anak
mereka
2017 A longitudinal mengisi orang tua/wali Sebanyak
study on kuesioner yang tinggal di 1.309 orang
determinants of tentang Amsterdam tua/wali
HPV vaccination determinan berpartisipasi
uptake in parents/ sosial- (tingkat
guardians from psikologis dari partisipasi
different ethnic proses 33%). Di
backgrounds in pengambilan semua
Amsterdam, the keputusan kelompok
Netherlands mereka kami
mengenai menemukan
vaksinasi HPV niat ibu
anak untuk
perempuan menjadi
mereka prediktor
dan terkuat dari
karakteristik serapan
sosio- vaksinasi
demografis HPV anak
perempuan
mereka.
2020 A systematic penelitian sikap dan Sebanyak 116
review of studies primer keyakinan orang penelitian
that kuantitatif tua tentang memenuhi
measure parental vaksinasi yang kriteria
vaccine attitudes direkomendasika inklusi, 99
and n untuk anak- menggunakan
beliefs in anak desain

53
childhood penelitian
vaccination cross
sectional, 5
menggunakan
studi kasus
desain studi
kontrol,

54
BAB V
PEMBAHASAN

Keyakinan yang salah tentang vaksinasi, terutama berdasarkan kurangnya


informasi, mitos atau pengaruh budaya dan agama lokal, diidentifikasi sebagai
penyebab utama keraguan atau penolakan terhadap vaksinasi. Ada dua profil
utama orang tua yang ragu-ragu atau enggan untuk memvaksinasi. Di satu sisi,
adalah mereka yang mungkin terlalu banyak informasi dan mengetahui risiko dan
manfaat dari vaksinasi anak. Secara khusus, orang tua yang tergabung dalam
asosiasi menentang imunisasi anak merupakan tantangan penting bagi profesional
kesehatan. Anggota asosiasi ini sangat terinformasi dan bersatu, yang membuat
mereka berdiri teguh dalam keputusan mereka untuk tidak memvaksinasi, seperti
yang dijelaskan oleh seorang perawat: “Saya percaya kebanyakan orang tua kritis
berpendidikan tinggi, sulit untuk mengarahkan argumen ke rumah, memiliki
pendapat sendiri tetapi tidak selalu membaca literatur ilmiah.” Di sisi lain, ada
yang kurang mengetahui dan tidak mengetahui manfaat program imunisasi pada
anak. Orang tua ini takut untuk memberikan vaksin karena masalah keamanan,
efektivitas, atau jumlah dosis. Secara khusus, ketakutan orang tua juga
ditunjukkan dengan membangkitkan rasa aman yang salah mengenai vaksinasi
human papillomavirus (HPV). (Fernandez-basanta & Movilla-fernandez, 2021)
Untuk kerangka teoritis, kami menemukan bahwa HBM paling sering
digunakan untuk mendukung pengembangan kuesioner, yang konsisten dengan
sebelumnya ulasan. HBM berpendapat bahwa persepsi kerentanan tibility,
keparahan, manfaat dan hambatan, isyarat untuk bertindak dan efikasi diri
memprediksi perilaku. Ini dan model lainnya menempatkan penekanan pada
penilaian risiko sebagai prediksi penting tor vaksinasi. Penggunaan HBM
diperumit oleh fakta bahwa semua persepsi terkait dapat diterapkan pada vaksin
penyerapan cination sebanyak hasil penyakit. Sejak model ini melihat faktor
psikologis individu denganpenyakit atau vaksin, yang lebih mungkin efektif
dalam meningkatkan penyerapan, jika mereka ditangani. Lebih jauh, banyak
model gagal mengukur kepercayaan, namun kepercayaan pada vaksin asi muncul

55
sebagai fenomena yang relevan di kedua kualitas rekening tive dari di bawah-
vaksinasi dan pengaruh dari ketakutan keamanan vaksin. Kepercayaan sering kali
“tidak jelas dan konsep yang diukur secara longgar”. Karya terbaru di landasan
moral perilaku menunjukkan bahwa mengukur konstruksi seperti kontaminasi dan
kebebasan juga relevan. Pekerjaan lebih lanjut diperlukan untuk memasukkan
landasan moral, perasaan dan sikap lain serta keyakinan dan kepercayaan menjadi
satu model perilaku vaksinasi iour dan menguji ketahanannya (Dyda Amelie
2020).
Secara historis, pengambilan keputusan medis untuk anak di bawah umur
berpusat pada kepentingan terbaik standar (BIS), yang mengarahkan pengganti
untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalkan merugikan anak di bawah
umur. Konflik seputar pengambilan keputusan akhir kehidupan berpusat
Pemberhentian atau penghentian LSMT sering kali berasal dari ketidaksepakatan
atas perbedaan gagasan tentang apa yang merupakan kepentingan terbaik pasien.
Terlepas dari terkait beban, beberapa orang tua mungkin berpikir bahwa
mempertahankan hidup adalah satu-satunya yang berharga tujuan dan, oleh karena
itu, semua upaya harus diarahkan untuk mempertahankan dan/atau dalam
kehidupan anak mereka. Remaja mungkin lebih menekankan pada kemampuan
fungsional dan kualitas hidup dan ingin memiliki suara di mana dan bagaimana
mereka menghabiskan waktu mereka hari dan minggu terakhir. Meskipun BIS
telah menjadi landasan moral klinis etika pediatrik, itu juga merupakan topik
perdebatan di antara ahli bioetika pediatrik. Di dalam kenyataannya, beberapa
orang berpendapat bahwa itu adalah standar yang mustahil untuk ditegakkan.
Bagian dari masalah lem berhubungan dengan persetujuan. Persetujuan secara
harfiah didefinisikan sebagai "merasakan atau merasakan," dan menekan sesuatu
untuk diri sendiri. Dalam menyetujui, seseorang melakukannya berdasarkan
keyakinan atau nilai pribadinya sendiri. Oleh karena itu, kritik terhadap BIS
menyatakan bahwa itu adalah individualistik, mengutamakan kepentingan orang
tua, membebani kepentingan yang lain. Yang penting, tidak ada orang yang dapat
menyetujui orang lain, tetapi mereka mungkin memberikan izin mereka. Oleh

56
karena itu, ketika membahas keputusan orang tua untuk anaknya, izin adalah
istilah yang diterima. (Silvana Barone, MD a , Yoram Unguru, MD, MS, MA B)
Vaksinasi wajib anak-anak untuk influenza dengan paksaan ringan hingga
sedang dapat dibenarkan. Praktek ini mungkin termasuk prosedur opt-out yang
cukup berat atau mungkin denda yang ringan. Alternatifnya, skema insentif dapat
dibenarkan. Vaksinasi wajib anak-anak (atau skema insentif) untuk COVID-19
lebih sulit dibenarkan, mengingat tingkat keparahan penyakit yang lebih rendah
dibandingkan dengan orang dewasa dan ketidakpastian seputar efektivitas dan
profil risiko untuk anak-anak. Namun, kombinasi COVID-19 dan influenza
menimbulkan ancaman yang jauh lebih besar bagi kesehatan masyarakat daripada
kedua penyakit yang dipertimbangkan secara terpisah. Jadi, jika kasus vaksinasi
wajib COVID-19 untuk anak-anak tidak kuat, maka kasus vaksinasi wajib
influenza untuk anak-anak mungkin lebih kuat dari biasanya, karena kebutuhan
individu yang rentan untuk dilindungi dari influenza lebih besar, seperti
kebutuhan. untuk mempertahankan kapasitas rumah sakit. Bahkan jika ada
beberapa risiko pada anak, jika risiko itu cukup kecil, maka orang tua mungkin
bebas untuk memaksakan risiko itu demi orang lain, dan jika perlu untuk
melindungi yang rentan, negara dapat secara wajar memaksakan beberapa tingkat
paksaan pada anak. orang tua. Kita perlu memastikan bahwa manfaat kesehatan
masyarakat sebenarnya cukup besar untuk membenarkan pengenaan risiko kecil.
Misalnya, jika anak-anak tidak menyebarkan virus ke tingkat yang signifikan,
maka manfaat vaksinasi anak-anak bagi orang lain juga akan berkurang. Dan, jika
ada kebijakan lain, seperti identifikasi kasus dan pelacakan kontak, yang
mengurangi kebutuhan untuk memvaksinasi anak, maka ini mungkin lebih baik.
Pada akhirnya, apakah merelakan anak-anak untuk vaksin baru untuk penyakit
yang bukan ancaman utama bagi mereka, atau mewajibkan vaksin, atau memberi
insentif, tergantung pada informasi yang sangat tepat tentang sifat penyakit,
tingkat keparahannya, penyebarannya, dan vaksinnya. diri. Tetapi itu juga
membutuhkan keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kewajiban kepada
orang lain, dan kebebasan dengan kegunaan. (Julian Savulescu, PhD1, Alberto
Giubilini, PhD2, dan Margie Danchin, PhD, 2021)

57
Penelitian ini menunjukkan bahwa orang tua yang antroposofis dalam
penelitian ini tidak menentang vaksinasi pada umumnya. Milik mereka keputusan
tidak semata-mata didasarkan pada pertimbangan risiko vaksinasi terhadap risiko
non-vaksinasi; itu juga tergantung pada gaya hidup orang tua dan pandangan
tentang perkembangan anak yang sehat. Orang tua dalam penelitian ini
melaporkan kebutuhan informasi tentang vaksinasi anak. Namun, tidak semua
orang tua menginginkan jumlah informasi yang sama seperti yang dibutuhkan
orang tua ini. Oleh karena itu, informasi berlapis mungkin merupakan metode
yang tepat untuk memenuhi kebutuhan informasi semua orang tua. Referensi yang
memadai ke sumber yang mengandung lebih banyak informasi tentang vaksinasi
anak harus disediakan, terutama mengenai efektivitas vaksin dan komponen
vaksin serta manfaat dan risiko vaksinasi, seperti kemungkinan efek samping. Hal
ini dapat memenuhi kebutuhan informasi orang tua dan memungkinkan mereka
untuk membuat pilihan yang cukup terinformasi apakah akan memvaksinasi anak
mereka atau tidak. Penelitian lebih lanjut diperlukan tentang bagaimana informasi
ini dapat menjangkau orang tua yang membutuhkannya dan apakah informasi
yang ditujukan untuk orang tua antroposofis harus berbeda dari informasi yang
ditujukan untuk orang tua yang menolak vaksinasi anak pada umumnya.( Irene A.
Harmsen,1, 2 Robert AC Ruiter,2 Theo GW Paulussen, 2012)

58
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan jurnal terkait, menunjukkan bahwa orang tua tidak
semuanya menentang vaksinasi pada umumnya. Bagi mereka keputusan tidak
semata-mata didasarkan pada pertimbangan risiko vaksinasi terhadap risiko
non-vaksinasi; itu juga tergantung pada gaya hidup orang tua dan pandangan
tentang perkembangan anak yang sehat. Orang tua dalam penelitian ini
melaporkan kebutuhan informasi tentang vaksinasi anak. Namun, tidak semua
orang tua menginginkan jumlah informasi yang sama seperti yang dibutuhkan
orang tua ini. Oleh karena itu, informasi tambahan mungkin merupakan
metode yang tepat untuk memenuhi kebutuhan informasi semua orang tua.
Referensi yang memadai ke sumber yang mengandung lebih banyak
informasi tentang vaksinasi anak harus disediakan, terutama mengenai
efektivitas vaksin dan komponen vaksin serta manfaat dan risiko vaksinasi,
seperti kemungkinan efek samping. Hal ini dapat memenuhi kebutuhan
informasi orang tua dan memungkinkan mereka untuk membuat pilihan yang
cukup terinformasi apakah akan memvaksinasi anak mereka atau tidak.
Penelitian lebih lanjut diperlukan tentang bagaimana informasi ini dapat
menjangkau orang tua yang membutuhkannya dan informasi tambahan
ditujukan untuk orang tua yang menolak vaksinasi anak pada umumnya
Ditemukan dua profil orang tua: mereka yang mendapat informasi
berlebihan atau mereka yang posisinya sangat menentang vaksinasi, dan
mereka yang ragu-ragu tentang vaksinasi atau tidak memiliki cukup
informasi. Perilaku ini dipengaruhi oleh keyakinan yang salah tentang
vaksinasi dan konteks budaya dan agama. Selain itu, profesional kesehatan
menemukan diri mereka dalam konteks yang kekurangan sarana, dukungan
dan pelatihan. Dalam skenario ini dan berdasarkan rasa tanggung jawab dan
kewajiban profesional, para profesional menggunakan strategi mereka sendiri,

59
berdasarkan pada pembentukan hubungan kepercayaan dan rasa hormat,
untuk meningkatkan tingkat kepatuhan terhadap imunisasi.
B. SARAN
Diperlukan perluasan pengetahuan disiplin yang terkait pada
professional kesehatan tentang vaksinasi anak serta memberikan informasi
penting untuk membantu mempromosikan perubahan dalam praktik klinis,
seperti pembuatan strategi komunikasi yang lebih jelas, pembentukan aliansi
terapeutik, literasi kesehatan, dan pemberdayaan orang tua. Selain itu,
penggabungan profesional kesehatan dalam pengambilan keputusan dan
penguatan tim multidisiplin yang menghadapi orang tua ini membutuhkan
perhatian mengingat pentingnya vaksinasi pada anak.

60
DAFTAR PUSTAKA

____ 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia . Edisi Ketiga. Tim Penyusun Kamus
Pusat Bahasa. Jakarta : Balai Pustaka

Alberts, C. J., Van Der Loeff, M. F. S., Hazeveld, Y., De Melker, H. E., Van Der
Wal, M. F., Nielen, A., El Fakiri, F., Prins, M., & Paulussen, T. G. W. M.
(2017). A longitudinal study on determinants of HPV vaccination uptake in
parents/guardians from different ethnic backgrounds in Amsterdam, the
Netherlands. BMC Public Health, 17(1), 1–13.
https://doi.org/10.1186/s12889-017-4091-4

Barone, S., & Unguru, Y. (2018). Ethical Issues Around Pediatric Death:
Navigating Consent, Assent, and Disagreement Regarding Life-Sustaining
Medical Treatment. Child and Adolescent Psychiatric Clinics of North
America, 27(4), 539–550. https://doi.org/10.1016/j.chc.2018.05.009

Damayanti, M. (2008). Komunikasi Teraupetik Dalam Praktek Keperawatan


Bandung. PT. Refika Adama

Dyda, A., King, C., Dey, A., Leask, J., & Dunn, A. G. (2020). A systematic
review of studies that measure parental vaccine attitudes and beliefs in
childhood vaccination. BMC Public Health, 20(1), 1–8.
https://doi.org/10.1186/s12889-020-09327-8

Fernandez-basanta, S., & Movilla-fernandez, M. L. M. (2021). Menghadapi


Orang Tua yang Ragu atau Enggan Memvaksinasi Anaknya : Sebuah Meta-
Etnografi.

Hamalik, Oemar. 2011. Proses Belajar Mengajar. Jakarta. PT. Bumi Aksara

Harmsen, I. A., Ruiter, R. A. C., Paulussen, T. G. W., Mollema, L., Kok, G., & de
Melker, H. E. (2012). Factors That Influence Vaccination Decision-Making
by Parents Who Visit an Anthroposophical Child Welfare Center: A Focus
Group Study. Advances in Preventive Medicine, 2012, 1–7.
https://doi.org/10.1155/2012/175694

Havighurst. (1961). Human Development and Education. New York. David


Mckay Co

L. Johnson. (2010). Buku Ajar Keperawatan Keluarga. Yogyakarta : Nuha


Medika

Lestari, Sri. 2021. Psikologi Keluarga Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik
dalam Keluarga. Jakarta : Kharisma Putra Utama

1
Permenkes RI No.290/Menkes/PER/III/2008

Savulescu, J., Giubilini, A., & Danchin, M. (2021). Global Ethical Considerations
Regarding Mandatory Vaccination in Children. Journal of Pediatrics, 231,
10–16. https://doi.org/10.1016/j.jpeds.2021.01.021

Tirta Rahardjo, Umar. 2005. Pengantar Pendidikan : Rineka Cipta

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.


(2009).

UU No 4 Tahun 1979

UU No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak

Anda mungkin juga menyukai