Anda di halaman 1dari 8

KEBIJAKAN DAN KEPEMIMPINAN KESEHATAN

ANALISA PENOLAKAN IMUNISASI DIKALANGAN ORANG TUA

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Kebijakan dan Kepemimpinan Kesehatan
Dosen Pengampu : Dr. Bedjo Santoso, S.Si.T, M.Kes

DISUSUN OLEH :

BILQIS AR-ROHMAN
NIM. P1337424721005
KELAS KEBIDANAN A

PROGRAM STUDI MAGISTER TERAPAN KEBIDANAN


PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER TERAPAN KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN
SEMARANG
2021
Pertanyaan:
Imunisasi terhadap balita, tidak secara maksimal tercapai. Hal tersebut salah satunya
disebabkan karena penolakan dari orang tua.
1. Buat analisis terkait penolakan tersebut
2. Buatlah kajian terhadap kebijakan imunisasi yang ada
3. Bagaimana konstruksi imunisasi berjalan maksimal

PENDAHULUAN

Cakupan Imunisasi Di Indonesia


Pemberian imunisasi merupakan upaya kesehatan masyarakat yang terbukti paling
cost-effective serta berdampak positif untuk mewujudkan derajat kesehatan ibu dan anak di
Indonesia. Imunisasi tidak hanya melindungi seseorang tetapi juga masyarakat dengan
memberikan perlindungan komunitas atau yang disebut dengan herd immunity. Arah
pembangunan kesehatan saat ini menitikberatkan pada upaya promotif dan preventif tanpa
meninggalkan aspek kuratif dan rehabilitatif. Salah satu upaya preventif adalah
dilaksanakannya program imunisasi. Pemberian imunisasi dapat mencegah dan mengurangi
kejadian kesakitan, kecacatan, dan kematian akibat Penyakit yang Dapat Dicegah dengan
Imunisasi (PD3I) yang diperkirakan 2 hingga 3 juta kematian tiap tahunnya. Imunisasi adalah
suatu upaya untuk menimbulkan/ meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap
suatu penyakit sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit
atau hanya mengalami sakit ringan. Beberapa penyakit menular yang termasuk ke dalam
(PD3I) antara lain Hepatitis B, TBC, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio, Campak, Rubela, dan
radang paru-paru. Undang - Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 menyatakan bahwa
setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan. Imunisasi
dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak. Ketentuan
mengenai penyelenggaraan imunisasi ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
12 Tahun 2017 yang diundangkan tanggal 11 April 2017.
Pada tahun 2020, cakupan imunisasi dasar lengkap secara nasional sebesar 83,3%
(Gambar 5.31). Angka ini belum memenuhi target Renstra tahun 2020 yaitu sebesar 92,9%.
Cakupan imunisasi dasar lengkap pada tahun 2020 merupakan cakupan imunisasi dasar
lengkap yang terendah dalam kurun waktu 2011 – 2020 sebagai dampak dari adanya pandemi
COVID-19. Sedangkan apabila dilihat menurut provinsi, terdapat 6 provinsi yang dapat
mencapai target Renstra tahun 2020 yaitu Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Jambi.

Pada Gambar 5.32 di atas, diketahui bahwa provinsi dengan cakupan imunisasi dasar
lengkap tertinggi adalah di Provinsi Bali (99,4%), Nusa Tenggara Barat (99,1%), dan Jawa
Tengah (98,8%). Sedangkan provinsi dengan capaian terendah yaitu Aceh (41,8%).
1. Analisis terkait penolakan imunisasi
Riset Kesehatan Dasar 2018 Kementerian Kesehatan RI menunjukkan cakupan
status imunisasi dasar lengkap (IDL) pada anak (usia 12-23 bulan) menurun dari 59,2%
(2013) menjadi 57,9% (2018). Artinya, dari sekitar 6 juta anak berusia 12-23 bulan hanya
sekitar 2,5 juta anak saja yang lengkap imunisasinya. Jumlah anak yang belum diimunisasi
lengkap itu hampir setara dengan separuh jumlah penduduk Singapura. Sebaliknya anak
yang diimunisasi tapi tidak lengkap meningkat dari 32,1% menjadi 32,9% pada periode
yang sama. Angka imunisasi dasar lengkap anak di pedesaan lebih rendah (53,8%)
dibandingkan anak-anak di perkotaan (61,5%). Dua kondisi tersebut cukup
mengkhawatirkan untuk masa depan kesehatan anak-anak.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2018 ada sekitar 20 juta
anak di dunia yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap, bahkan ada yang tidak
mendapatkan imunisasi sama sekali. Padahal Untuk mendapatkan kekebalan komunitas
(herd Immunity) dibutuhkan cakupan imunisasi yang tinggi (paling sedikit 95%) dan
merata. Akan tetapi, saat ini masih banyak anak Indonesia yang belum mendapatkan
imunisasi lengkap. Bahkan ada pula anak yang tidak pernah mendapatkan imunisasi sama
sekali sejak lahir.
Analisa terhadap dilema etik tentang penolakan imunisasi oleh orang tua, penting
untuk mempertimbangkan tanggung jawab dari perawat pelaksana dalam memberikan
pelayanan kesehatan pada anak dan keluarga. Analisa yang akan digunakan antara lain
dengan studi literature tentang prinsip-prinsip etik termasuk autonomy, beneficence dan
nonmaleficence dan berdasarkan pada teori-teori etik termasuk utilitarianisme, dan
deontologisme.
Kasus yang mendapat penolakan orang tua terhadap tindakan imunisasi dikarenakan
alasan agama, maka analisa akan dilakukan dengan studi literature Islam. Ditinjau dari
Prinsip Etik Dalam area praktek perawat, semua pemberi pelayanan dibatasi oleh prinsip
prinsip etik tertentu termasuk autonomy, beneficence dan nonmaleficence. Dengan
merujuk prinsip-prinsip etik tersebut, pemberi pelayanan kesehatan dan orang tua secara
teoritis harus mampu untuk bekerja bersama untuk mencapai konsensus. Prinsip etik yang
pertama adalah autonomy dimana pasien dalam hal ini adalah anak mempunyai kebebasan
dan kemerdekaan untuk memilih tindakan tertentu yang memperbolehkan setiap orang
untuk memutuskan apa yang terbaik untuk dirinya.
Berdasarkan prinsip-prinsip etik ini, orang tua yang memutuskan untuk
mengimunisasikan anak atau tidak harus berdasarkan pada apa yang menurut mereka
terbaik bagi anak-anaknya. Walaupun persepsi terhadap apa yang terbaik untuk anak
bersifat sangat subyektif dan mungkin berlawanan dengan persepsi petugas kesehatan.
Pemikiran tenaga professional harus didasarkan pada ‘scientific research” dan ‘evidence‘.
Alternatif solusi yang lain yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, seperti yang
pernah dialami oleh penulis adalah selalu memberikan “informed consent” setiap kali akan
melakukan tindakan pemberian imunisasi pada anak. Dengan dasar ini, kita secara
kewajiban sudah menyampaikan tentang jadwal dan keuntungan imunisasi serta
menyampaikan efek samping yang dapat ditimbulkan jika anak tidak atau mendapatkan
imunisasi.Sehingga tidak disoalkan secara hukum. Upaya untuk memberikan pemahaman
dari berbagai sumber diantaranya dari tenaga pengelola vaksin, dinas kesehatan, organisasi
profesi yang terlibat organisasi profesi, organisasi agama, tokoh masyarakat setempat.
Sehingga diputuskan jika penolakan tetap terjadi maka informed consent lah yang harus
diberikan.

Penolakan orang tua terhadap imunisasi terjadi karena:


1. Penyebab karena kesalahpahaman terhadap informasi tentang imunisasi yang mereka
dapatkan. Pengambilan keputusan dipengaruhi oleh kepercayaan orang tua, mereka
menginginkan diskusi dengan petugas sebelum imunisasi diberikan dan mengharapkan
norma budaya tetap diperhatikan, mereka juga khawatir aka bahaya imunisasi dapat
menyebabkan kerusakan permanen pada anaknya mereka yakin bahwa anaknyatidak
berisiko.
2. Pengetahuan tentang manfaat dan efek imunisasi, Penolakan imunisasi yang
dikemukakan oleh orang tua adalah karena takut akan efek samping yang ditimbulkan,
alasan agama atau filosofi, kepercayaan bahwa penyakit tidak membahayakan,
sentimen anti pemerintah. pentingnya komunikasi yang lebih efisien antara orang tua
dengan pemberi pelayanan kesehatan.
3. Penolakan orang tua juga terjadi karena orang tua menganggap semua penyakit berasal
dari Tuhan dan yang menyembuhkan juga Tuhan. Masyarakat beranggapan bahwa
imunisasi bukan satu-satunya cara untuk mencegah penyakit, tetapi masih ada cara lain
misalnya dengan menggunakan obat herbal tanpa bahan kimia dan sudah ada sejak
zaman Nabi (Ika Purnamasari, 2015).
2. Kajian terhadap imunisasi yang ada
Imunisasi lengkap terdiri dari imunisasi BCG, Hepatitis B, DPT-HB, Polio dan
Campak. Imunisasi dasar sebagaimana dimaksudkan yang terdiri atas imunisasi terhadap
penyakit hepatitis B, poliomyelitis, tuberkulosis, difteri, pertusis, tetanus, pneumonia dan
meningitis yang disebabkan oleh Hemophilus Influenza tipe b (Hib) dan campak. Anak yang
telah diberi imunisasi dapat terlindungi dari berbagai penyakit berbahaya yang termasuk
dalam PD3I yaitu TBC, Difteri, Tetanus, Hepatitis B, Pertusis, Campak, Polio, radang selaput
otak, dan radang paru-paru (Permenkes, 2017).
Program pengembangan imunisasi mencakup satu kali HB-0, satu kali imunisasi
BCG, tiga kali imunisasi DPT- HB-Hib, empat kali imunisasi polio, dan satu kali imunisasi
campak. Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan, imunisasi polio
pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya diberikan dengan jarak paling cepat empat
minggu, imunisasi DPT-HB-Hib pada bayi umur dua bulan, tiga bulan empat bulan dengan
interval minimal empat minggu dan imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan
menunjukkan cakupan tiap jenis imunisasi yaitu HB-0, BCG, polio empat kali (polio 4),
DPTHB kombo tiga kali (DPT-HB 3), dan campak menurut provinsi (Pratiwi Sulistiyani,
Zahroh Shaluhiyah, 2017).
Suatu riset meta-analisis kualitatif dari berbagai penelitian yang sudah dipublikasikan
online tentang faktor pendorong keraguan terhadap imunisasi di beberapa negara
berpenghasilan tinggi, sebenarnya tidak menunjukkan sesuatu yang mengejutkan. Umumnya
penolakan orang tua terhadap imunisasi bervariasi untuk tiap imunisasi, sesuai dengan
konteks sosial-budaya, keadaan sosial dan pengalaman pribadi masing-masing Walau latar
belakang para orang tua sangat heterogen, pola pengambilan keputusan orang tua terhadap
imunisasi memiliki gambaran yang mirip.
Tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan keamanan imunisasi
merupakan faktor yang sangat penting. Kepercayaan masyarakat yang rendah dapat
menyebabkan masyarakat enggan dan menolak program imunisasi. Contohnya di Ukraina,
WHO melaporkan [adanya kejadian luar biasa (KLB) campak] dengan total kasus mencapai
28.182 kasus dengan 13 kematian hingga Agustus 2018 akibat adanya kecemasan tentang
keamanan imunisasi, ketidakpercayaan terhadap pemerintahan, dan sistem kesehatan yang
tidak baik (Uki, Heny Purwati and Sulastri, 2020).
3. Konstruksi imunisasi agar berjalan maksimal
Konstruksi yang dilakukan agar imunisasi berjalan maksimal, yaitu :
a. Gerakan pro-imunisasi
Gerakan pro-imunisasi ini harus terus dilakukan oleh layanan kesehatan, agar cakupan
imunisasi pada balita terus mengalami peningkatan. Tenaga kesehatan juga harus terus
aktif dan bekerja keras untuk menyakinkan masyarakat, khusunya orang tua mengenai
manfaat dari imunisasi pada balita.
b. Pendekatan persuasif dan melawan hoax
Penyebaran informasi tidak akurat lewat media massa atau media sosial macam
Facebook pada sentimen dan perilaku publik, termasuk merusak kepercayaan
masyarakat terhadap imunisasi. Kondisi ini memicu penolakan terhadap imunisasi dan
meningkatkan risiko wabah penyakit. Banyak orang tua di Indonesia memilih tidak
memberikan imunisasi pada anaknya atau menolak imunisasi yang disiapkan
pemerintah akibat pengaruh hoax. (Khasanah and Padmawati, 2019).
c. Pemerintah Indonesia harus mewajibkan orang tua memberikan imunisasi dasar yang
lengkap sebagai satu syarat sebelum anak-anak itu memasuki sekolah dasar.
d. Perlu ada hotline atau pusat informasi imunisasi yang gampang diakses, baik secara
online maupun secara langsung di dinas kesehatan setempat, ruang tunggu rumah sakit,
puskesmas atau klinik untuk membantu meredakan berita hoax dan memungkinkan
orang tua yang ragu-ragu untuk mau memberikan imunisasi pada anaknya (Biruni,
2019)
REFERENSI

Ika Purnamasari (2015) ‘Dilema Etik Penolakan Imunisasi, Antara Hak Orang Tua Dan
Tanggung Jawab Pemberi Pelayanan Kesehatan’, Jurnal Manajemen Keperawatan,
3(1), pp. 7–12.
Kemenkes RI (2018) ‘Imunisasi Lengkap Indonesia Sehat’, in Kemenkes RI.
Permenkes, R. (2017) ‘Permenkes RI No 12 tentang penyelenggaraan imunisasi’, in
Permenkes, RI. Permenkes RI, pp. 67–72.
Pratiwi Sulistiyani, Zahroh Shaluhiyah, K. C. (2017) ‘Gambaran Penolakan Masyarakat
Terhadap Imunisasi Dasar Lengkap Bagi Balita (Studi Di Kelurahan Sendangmulyo,
Kecamatan Tembalang, Kota Semarang)’, Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal),
5(5), pp. 1081–1091.
Profil Kesehatan Indonesia 2020
Uki, E., Heny Purwati, N. and Sulastri, T. (2020) ‘Analisis Faktor Yang Berhubungan
Dengan Pemberian Imunisasi Measles Rubella Pada Anak Balita’, Jurnal Ilmiah
Kesehatan Pencerah, 09(2), pp. 72–80. Available at: https://stikesmu-sidrap.e-
journal.id/JIKP/article/view/147.

Anda mungkin juga menyukai